NASKAH TA BIR GEMPA ANTARA MITIGASI BENC

NASKAH TA’BIR GEMPA:
ANTARA MITIGASI BENCANA DAN KEARIFAN LOKAL DI ACEH
(Kajian Terhadap Naskah-naskah Kuno)1
Oleh:
Hermansyah

The 2004 Indian Ocean earthquake is an undersea megathrust earthquake that
occurred, with an epicentre off the west coast of Aceh, Sumatra, Indonesia. The quake
itself is known by the scientific community as the Sumatra-Andaman earthquake, which
are invariably associated with megathrust events in subduction zones, have seismic
moments that can account for a significant fraction of the global earthquake moment
across century-scale time periods. The sudden vertical rise of the seabed by several
metres during the earthquake displaced massive volumes of water, resulting in a
tsunami that struck the coasts of the Indian Ocean. Especially in the Aceh, at 2004
earthquake and tsunami is the deadliest in recorded history. Prior to 2004, the
deadliest recorded tsunami in the Bengkulu and Simeulu-Aceh Ocean was in November
1833 (Rajab 1249 H) and in Mentawai-Padang was in 1797 (1211 H). In the Ta’bir
Gempa manuscripts wrote the effect of earthquakes focus on the potential of local
wisdom to improve disaster risk reduction policies and early warning systems.

A. Pendahuluan

Aceh menjadi pusat perhatian dunia sejak Minggu pagi 26 December 2004,
setelah gempa dan tsunami mengguncang di wilayah pesisir Barat Aceh dengan
kekuatan megatrust. Gempa berpusat di Samudera Hindia (2,9 LU dan 95,6 BT) di
kedalaman 20 KM laut berjarak sekitar 150 KM sebelah Barat Aceh sedalam 10 KM,
menurut data Pacific Tsunami Warning Center berkekuatan 9.3 SR, namun United
States Geological Survey (USGS) menetapkan 9.1 SR. Dampak ikutan gempa
mengakibatkan tsunami menghantam perairan Sumatera (Indonesia), Sri Langka, India,
Thailand, Malaysia, Myanmar, Maldives, Bangladesh, Somalia sampai ke Tanzania dan
Afrika Selatan.

1

Dipresentasikan pada Seminar Internasional Aceh Development International Conference
(ADIC) ke III, 2012, Kuala Lumpur, 26-28 Maret 2012. (Published: Proceeding ADIC III, Kuala Lumpur,
2012)

1

Gempa merupakan getaran yang tiba-tiba terjadi akibat adanya pergeseran
lapisan batu-batuan di dalam bumi yang terletak di litosfir (lapisan bumi paling atas),

hiposentrum (bawah kerak bumi) dan episentrum (terletak tegak lurus). Hingga detik
ini, gempa tidak pernah dapat diprediksi dimana dan kapan terjadi. Secara fisik (zahir),
gempa dapat membentuk bencana ikutan setelahnya, tergantung wilayah epicenter
gempa terjadi dengan kekuatan tertentu, apabila terjadi di laut akan berakibat tsunami,
atau di wilayah perbukitan dapat berefek longsor, atau di gunung aktif dapat
memunculkan letusan.
Akan tetapi, para leluhur (pendahulu) memiliki tafsiran dan prediksi yang
istimewa. Ciri khas tersebut sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan masyarakat
setempat (lokal), bahwa tidak selamanya bencana gempa bumi membawa duka dan luka
walaupun menelan korban. Pengetahuan tersebut kemudian ditulis dan disalin dalam
naskah Ta’bir Gempa. Hal tersebut menunjukkan bahwa perhatian mereka terhadap
gempa lebih dalam dan intens daripada bencana lainnya, seperti letusan gunung, banjir,
angin topan dan sebagainya.
Pada dasarnya, perhatian dan mitigasi bencana gempa sudah menjadi fokus
utama para pendahulu (leluhur) sesuai dengan pengetahuan dan perkembangan
teknologi yang dimiliki pada masa tersebut. Dalam catatan sejarah menyebutkan bahwa
bencana gempa dan dampak ikutannya pernah menimpa Aceh dan sekitarnya pada akhir
abad ke-18 dan ke-19. Catatan sejarah tersebut diukir dalam naskah Ta’bir Gempa oleh
para leluhur sebelumnya. Bahkan, para pendahulu menempatkan perhatiannya terhadap
gempa melebihi daripada bencana lainnya seperti longsor, banjir dan gunung meletus.

Hal tersebut dapat tergambar dari karya-karya tulis mereka yang lebih fokus dan intens
terhadap gempa, itu bukti nyata paradigma preventif orang-orang terdahulu –atau
sebagian besar intelektual dan arif- dengan cara menulis dan menyalin pengetahuannya
dalam manuskrip (naskah kuno) sesuai dengan setting sosial dan geografis untuk
diwariskan kepada anak cucuknya.

B. Rekaman Sejarah Gempa Aceh-Sumatera
Gempa dan tsunami 24 Desember 2004 bukanlah yang pertama kali terjadi di
Aceh khususnya, dan wilayah Sumatera secara keseluruhan, dengan skala dan kekuatan
yang hampir sama. Dalam catatan sejarah gempa Aceh-Sumatera menunjukkan bahwa
gempa pernah terjadi pada Jum’at 10 Februari 1797 M (12 Sya’ban 1211 H) di Selat

2

Mentawai Padang yang mengakibatkan tsunami hingga ke Simeulu dan pantai barat
wilayah Aceh. Pada periode berikut diikuti gempa pada hari Senin 24 November 1833
M (12 Rajab 1249 H) sekitar pukul 10.20 WIB berkekuatan 8,8 SR di laut Sumatera,
disebabkan pecahnya segmen palung Sumatera, juga berakibat tsunami di perairan
Sumatera termasuk Aceh, Simeulue, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu serta
menerjang kawasan Maladewa dan Sri Langka.2

Kuat dugaan gempa itulah yang terukir dalam teks naskah Ta’bir Gempa,
disebutkan;
“Bab pada menyatakan gempa pada bulan Rajab, Jika pada waktu Shubuh
gempa alamat akan isi negeri sakit padanya, Jika waktu Dhuha gempa
alamat air laut keras padanya”.
Pada periode ini, masyarakat Simeulu mengenalnya dengan istilah “smong”,
sedangkan masyarakat pesisir barat Aceh hingga ke Kutaradja (Banda Aceh), secara
umum menyebut “ie beuna”. Ini terbukti dengan terjadinya gempa di Banda Aceh pada
hari Jum’at 29 September 1837 (28 Jumadi al-Akhir 1253 H) berkekuatan 7.3 SR,
tepatnya pada periode Sultan Muhammad Syah (1824-1838), yang mengakibatkan
mesjid Baiturrahman dan sekitar kota Banda Aceh banjir. Dan, gempa kembali terjadi
pada Senin 14 Desember 1885 (7 Rabi’ al-Awal 1303 H) dan hari Minggu 31 Januari
1886 (25 Rabi’ al-Akhir 1303 H) walaupun tidak sekuat sebelumnya.
Pantai barat Aceh adalah wilayah paling rawan dan sering mengalami gempa,
terutama –yang terekam- abad ke-19 M. Di tahun 1861 (1277 H) Aceh-Sumatera terjadi
gempa secara beruntun, 12 Februari di Singkel, 16 Februari di Siberut-Mentawai (8.5),
9 Maret (7.0 SR), 26 April (7.0 SR) dan 17 Juni (6.8 SR) di Nias dan sekitarnya.
Kemungkinan besar volume gempa yang sering terjadi ini diakibatkan oleh efek gempa
besar sebelumnya. Sebagaimana gempa-gempa yang sering terjadi di Aceh dan
sekitarnya pasca gempa dahsyat 24 Desember 2004.

Banyak para ilmuwan menghubungkan gempa-gempa yang sering terjadi
diakibatkan oleh efek dari gempa 2004. Setidaknya lima tahun pasca gempa bumi dan
tsunami 2004 di Aceh, seperti gempa pada 25 Maret 2005 di Pulau Nias (Samudera
Hindia) (8,2 SR), 27 Mei 2006 gempa bumi tektonik di Yogyakarta (5,9-6,2 SR), 17
Juli 2006 di Cilacap dan Ciamis (7,7 SR), 11 Agustus 2006 di Pulau Simeulue (6,0 SR),
2

C. Sinadinovski, “The Event Of 26th Of December 2004 - The Biggest Earthquake In The
World In The Last 40 Years”. Bulletin Of Earthquake Engineering. 2006.

3

6 Maret 2007 di Padang dan Bukit Tinggi (6,4 SR), 12 September 2007 di kepulauan
Mentawai (7,7 SR), 30 September 2009 di Padang Sumatera Barat (7,6 SR), 7 April
2010 di Sinabang (7,2 SR), 9 Mei 2010 di Aceh Barat (7,2 SR)
Salah satunya gempa yang terekam dahulu yang terjadi pada hari Selasa 12
Februari 1861 (1 Sya’ban 1277 H) di kota Singkil, yang menghancurkan wilayah
tersebut karena dilanda gempa tektonik dan gelombang laut yang sangat dahsyat.
Daerah lain di pantai barat Aceh yang dilanda gempa bumi tersebut adalah sebagian
dari wilayah Aceh Selatan, seperti Meukek, Susoh, dan Kuala Batee. Gempa bumi

tersebut telah mengakibatkan hancurnya hampir semua infrastruktur yang dibangun
pemerintah Belanda sebelum tahun 1852 dan juga telah menghancurkan perkebunan
lada penduduk di Singkil dan daerah lain di pantai barat Aceh.3
Menurut Pusat Penelitian Geoteknologi, bahwa gempa yang terjadi pada tahun
1797 terulang kembali di abad berikutnya pada tahun 1833 berkekuatan 8,8 SR di jalur
yang sama, yaitu laut Sumatera. Maka dengan berbagai penelitian berkesimpulan bahwa
gempa yang akan datang berdampak tsunami dapat lebih besar dari tahun 1797 dan
1833 apabila energi gempa yang terkumpul di segmen sumber gempa ini dilepaskan
sekaligus.4
Satu abad setelahnya, Aceh-Sumatera masih sering dilanda bencana gempa, di
antaranya gempa pada 23 Agustus 1936 (5 Jumadil Akhir 1355 H) (7.3 SR) dan 12
April 1967 (2 Muharram 1387 H) (6.1 SR) di Lhokseumawe dan sekitarnya. Menurut
masyarakat setempat, gempa yang terjadi sebelum kemerdekaan mengakibatkan air laut
membanjiri kota Lhokseumawe. Selain itu, gempa juga terjadi di Simeulu, Rabu 12
November 1969 (2 Ramadan 1389 H) berkuatan 7,7 SR. Sedangkan di Banda Aceh
pada hari Senin 9 Mei 1949 (11 Ra’jab 1368 H) (6,7 SR), Senin 4 April 1983 (20
Jumadil Akhir 1403 H) dan 2 April 1964 di Aceh Besar dan sekitarnya.
Tidak banyak yang menulis (merekam) kondisi gempa Aceh yang terjadi di
abad ke-20, atau kita belum banyak menemukan referensi dalam bentuk manuskrip atau
naskah-naskah. Hanya gempa pada hari Kamis 2 April 1964 (19 Zulqa’dah 1383 H)

diperoleh informasi dalam bentuk syair Syeh Rih Krueng Raya saat gempa melanda
wilayah Aceh Besar, Krueng Raya dan sekitar kaki gunung Seulawah.5 Syeh Rih
3

E.B Kielstra, “The Geographical Journal“ (1892). Lihat, Sudirman, Sejarah Maritim Singkel
Danny Hilman Natawidjaja, Penelitian Potensi Tsunami Di Padang, Sumatera Barat,
(Bandung: Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2006)
5
Syeh Rih Kruengraya, Geumpa Di Atjeh, (Banda Aceh: Anzib Lamnyong, 1964).
4

4

Krueng Raya tidak menyebut kekuatan gempa di kampung halamannya, akan tetapi
kemudian dapat diketahui melalui National Geophysical Data Centre (NOAA) sebesar
7.0 SR.
Namun, gempa di Aceh Besar luput dari amatan dunia, karena di periode yang
sama di belahan Alaska juga terjadi gempa yang lebih besar pada 4 Februari 1964 (8,7
SR) dan 28 Maret 1964 (9,2 SR) yang mengakibatkan tsunami di wilayah Alaska, barat
Yukon dan Canada. Menurut Julie Martinez (2004) ahli geofisik dari USGS (United

States Survey Geological) di Golden, Colorado, ini adalah gempa bumi terkuat sejak
tahun 1900.6 Tentunya, kita sulit menarik hubungan dan keterkaitan antara ketiga
bencana tersebut.
Syeh Rih Krueng Raya, selain menceritakan guncangan gempa di darat dan
dilaut: “Di Keutjhik Ali ka gli anggeeta, Bak tanoh data geudjak dong keudeeh # Djaloe
lam laoot djiboot mubara, Meugisa-gisa keunoe ngon keudeeh”. Juga menyebutkan
bantuan dari Pemerintah Daerah, Pusat, lemabaga dan masyarakat yang dimuat di
media Pantjatjita sebesar dua juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah.7 Sejauh
pengetahuan penulis syair Gempa di Aceh, ia mengemukakan sebagaimana
pengetahuan yang dimiliki, melalui ungkapan syair dapat diperoleh bahwa telah terjadi
kepanikan di masyarakat di pesisir pantai Krueng Raya, Lamteuba hingga perbatasan
kaki gunung Seulawah. Ini memang sebagian kecil masyarakat Aceh yang merekam
melalui ukiran pena dalam lembaran kertas. Selebihnya hanya disadur melalui lisan dari
satu generasi ke generasi, sama halnya dengan pengetahuan dan fenomena atau gejala
alam, perilaku (tabi’at) binatang di hutan atau di dalam tanah, atau burung di luar
kebiasaan.
Dari rentetan sejarah gempa tersebut, dari abad ke-18 hingga ke-20
menunjukkan bahwa masyarakat Aceh kerap dilanda musibah gempa, dan bukan
“pengetahuan asing” bagi masyarakat Aceh dapat menyesuaikan diri dan meminimalisir
korban jiwa akibat gempa dan dampak ikutannya seperti apa yang dilakukan di

Simeulu, Nias dan Sabang di tahun 2004. Sebagian besar masyarakat mewarisi
pengetahuan mitigasi bencana secara lisan (haba) dari generasi ke generasi, dan
sebagian lagi menulisnya dalam naskah untuk diajarkan dan diingat oleh generasinya.
6

CNN, Asia Quake Death Toll Top 13.000, (CNN, 27 Desember 2004), Website:
Http://Articles.Cnn.Com/2004-12-26/World/Asia.Quake_1_Tsunamis-Giant-Waves-MagnitudeQuake?_S=PM:WORLD
7
Syeh Rih Kruengraya, Geumpa Di Atjeh, (Banda Aceh: Anzib Lamnyong, 1964). 5 dan 20

5

C. Inventarisasi dan Originalitas Naskah Ta’bir Gempa
Naskah atau manuskrip ialah bahan tulisan tangan pada kertas, lontar, kulit kayu
dan rotan peninggalan leluhur (nenek moyang).8 Dalam bahasa latin disebut codex, dan
bahasa Inggris manuscript, Belanda dan Jerman disebut handschrift, dan manuscrit
dalam bahasa Perancis. Pada periode Kesultanan di Aceh, pernah memegang peranan
penting dalam perkembangan keilmuan, baik dalam bidang keagamaan maupun
pengetahuan umum lainnya. Tradisi menulis semakin bergairah dengan adanya
transaksi bisnis alat tulis (kertas) dari Eropa sejak abad 16 hingga abad 19, selain

produksi kertas lokal yang sudah berkembang di wilayah Nusantara.
Salah satu metode untuk mengidentifikasi usia naskah-naskah kuno melalui cap
air (watermark) yang tersirat di dalam kertas, terutama kertas Eropa. Metode lainnya
melalui penjelasan di ekplisit (keterangan pengarang) atau kolofon (keterangan
penyalin) di akhir teks naskah. Setidaknya dengan dua metode di atas akan diketahui
usia penulisan atau penyalinan teks dalam naskah, termasuk pada naskah Ta’bir Gempa
yang tersimpan di beberapa skriptorium manuskrip, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Langkah inventarisasi terhadap naskah Ta’bir Gempa dilakukan melalui
penelusuran dalm katalog dan pengolksi naskah, maka diperoleh beberapa informasi
tentang keberadaan naskah tersebut, terutama yang ada di dalam negeri. Di antaranya:
1. Tiga naskah koleksi Museum Negeri Aceh (MNA)
a. Satu edisi teks naskah koleksi MNA bernomor Inv. 07.824. naskah
tergolong dalam kumpulan teks do’a-do’a dan hikayat Nabi bercukur dalam
bahasa Aceh. Naskah ini diperoleh dari Zainun Idris dan Boni Taufiq,
Lamlagang, Banda Aceh. Pada tahun 2006 menjadi koleksi milik Museum
Negeri Aceh, sampai saat ini masih terawat dan jelas terbaca, ditulis dalam
bentuk khat Naskhi berwarna hitam dan rubrikasi merah diatas alas kertas
Eropa yang memiliki cap (watermark) Bulan Sabit bersusun tiga,
diperkirakan tahun 1823-1824 M.

b. Dua edisi teks dalam satu bundel naskah koleksi MNA bernomor Inv.
07.523. Naskah satu bundel terdiri dari beberapa tema, Naskah ini
menceritakan tentang seorang perempuan yang bernama Fartin Salam
8

Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: CV Manasco, 2002).

6

tentang pengabdian istri kepada suami. Dalam naskah ini terdapat juga tata
cara salat, puasa, nasehat-nasehat dalam bentuk nazam, di antaranya ibadah,
ta’bir gempa, gerhana matahari dan bulan, cara bertarekat, dan mujarabat.
2. Satu edisi teks koleksi Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (YPAH) kode nomor
29C/LL/10/YPAH/2005. Kondisi naskah ini rusak, banyak halaman kertas
berlubang dimakan rayap, teks yang ditulis dengan khat naskhi dan riq’ah dengan
tinta hitam menggunakan kertas Eropa tidak bisa dibaca seutuhnya, teks naskah ini
bercampur dengan halaman berisi do’a atau rajah yang digunakan untuk keperluan
tertentu.9
3. Satu edisi teks koleksi Perpustakaan Nasional RI Jakarta dalam bundel No. ML 464.
Naskah ini tergolong dalam bermacam-macam pembahasan di antaranya; ramalan
tentang gempa, obat-obatan, do’a dan azimat.10 Ukuran naskah ini termasuk lebih
kecil dibandingkan dengan naskah lainnya, dan berbeda metode penulisan teks
karna tidak dibagi perbab seperti biasa naskah ta’bir gempa.
4. Satu edisi koleksi pribadi masyarakat Sdr. Tarmizi A Hamid Banda Aceh. Naskah
terdiri dari enam halaman, dari karakter bahasa lebih tua daripada usia kertas
berasal dari Eropa

yang memiliki watermark berbentuk Bulan Sabit Sejajar

bersusun Tiga (Venice, 1725), ditulis dalam khat naskhi berwarna hitam dan
rubrikasi merah, naskah ini juga tersusun dengan bab-bab pembahasan lainnya.
5. Satu edisi koleksi pribadi masyarakat di Surau Lubuk Ipuh Padang-Sumatera Barat.
Hanya naskah ini yang memiliki tanggal penyalinan dalam kolofonnya disebut
“…pada hari jumat sangat pagi pada tujuh belas hari bulan Sya’ban pada 1396
hijrah Nabi SAW bersetuju dengan 1976 Masehi yang menulis Pakih Yahuza”,
6. Catatan di sampul naskah Fath al-wahhâb bi-sharh manhaj al-Tullāb karangan Abû
Yahyá Zakarîyâ al-Ansharî al-Shâfi‘î (823-936 H/1420-1529 M), tertulis gempa
besar “al-zalzalah tsaniyah” yang terjadi pada hari Kamis, 9 Jumadil akhir 1248 H/3
November 1832 M.
7. Satu naskah ta’bir gempa juga tersimpan di luar negeri seperti dalam koleksi naskah
divinatory texts ini tercatat dalam Supplement-Catalogus oleh van Ronkel (1921:
170) di antaranya terdapat di Malaysia dan di Perpustakaan Leiden (No. Or.
9

Oman Fathurahman & Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, Jakarta: C-DATSTUFS, 2007, h. 275
10
T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia Vol. 4, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia / École Française d'Extrême Orient, 1998, h. 291

7

12.234), Belanda. Naskah ini sebanyak 10 halaman tentang ta’bir gempa yang
berada di Universitas Leiden berbeda pada permulaiannya menyebutkan Fasal pada
menyatakan risalah gempa bumi, teks naskah terkumpul dalam satu bundel dengan
terasul surat segala raja-raja, ilmu hari baik buruk memulai perang dan ilmu
firasat.11
Juga diyakini, masih ada beberapa lembaga koleksi manuskrip yang memiliki
segudang naskah yang belum ditelaah sepenuhnya, seperti Perpustaakan Zawiyah
Tanoh Abee di Seulimum, Aceh Besar, dan di zawiyah Awee Geutah di Aceh Utara. Di
luar negeri, puluhan ribu naskah yang sama tersimpan di lembaga koleksi dapat
ditemukan seperti di Perpustakaan Negara Malaysia, Library of University Leiden
Belanda, di negara Inggris dan lain sebagainya, dengan tema yang sama.
Tidak mudah untuk menemukan teks Ta’bir Gempa di dalam naskah, karena
keseluruhan naskah bercampur dengan teks-teks judul naskah lainnya dalam satu
bundel, teks gempa digabung dengan teks-teks kearifan lokal lainnya dalam satu
bundel, seperti ta’bir mimpi, do’a, azimat, hari baik dan buruk, petuwah, ramalan, obatobatan, ilmu falak, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa ta’bir gempa menjadi
bacaan harian dan pegangan bagi masyarakat periode tersebut.
Semua naskah Ta’bir Gempa ditulis dan disalin dengan menggunakan tulisan
Jawi yaitu beraksara Arab dan berbahasa Melayu. Akan tetapi, belum dapat dipastikan
penulis dan penyalin naskah Ta’bir Gempa hingga kini, karena tidak ditemukan nama
penulis secara khusus di kolofon teks naskah, serta juga tidak disebut nama empunya
kitab pada salinan teks Ta’bir Gempa di berbagai kitab karangan ulama. Sejauh ini,
keberadaan naskah hanya diketahui melalui karakteristik alas naskah (kertas) yang
banyak disalin sejak awal abad ke-18.
Hadirnya penafsiran ta’bir gempa hingga saat ini ada dua hal kemungkinan;
Pertama

ta’bir

gempa

disadur

berdasarkan

sejarah

lisan

yang

kemudian

didokumentasikan melalui tulisan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, sehingga penyalinannya tidak mendetail dan akurat termasuk tempat, waktu
dan siapa penyalinnya. Kedua, karakteristik lokal dan pemahaman masyarakat setempat
yang berkembang pada masa tersebut menunjukkan para pengarang dan penyalin
naskah untuk selalu memiliki sifat rendah hati dan menjauhi sikap riya’.
11

Jun Just Witkam, Inventory of The Oriental Manuscripts of The Library of The University of
Leiden, Vol. 13, Belanda: Ter Lugt Press Leiden, 2007, h. 100

8

Inventarisasi dan penelusuran naskah merupakan langkah awal dalam dunia
pernaskahan, keberadaan naskah sangat penting untuk mengetahui geografis, setting
sosial

dan

budaya

masyarakat

setempat

bagaimana

langkah-langkah

dalam

penanggulangan bencana. Karena karya Ta’bir Gempa disalin sesuai rekaman jejak
sejarah dan wilayah gempa, sehingga mampu menunjukkan ciri khas tersendiri dalam
naskah

tersebut,

dan

diwariskan

secara

turun

temurun

untuk

mengetahui

penanggulangan pasca gempa dan mengurangi resiko bencana. Sejauh ini, fokus utama
pada naskah yang diperoleh di Aceh, Padang dan Jakarta.

D. Teks dan Konteks Gempa Dalam Naskah
Kajian di dalam naskah Ta’bir Gempa dapat ditelusuri dari dua sisi; Pertama,
kajian gempa dipandang dari bidang agama atau takdir Tuhan. Kedua, gempa dikaji dari
konsteks lokal masyarakat setempat, setting sosial dan geografis wilayah. Hal inilah
yang menarik perhatian bagi para peneliti untuk menelusuri bagaimana konsep Islam
murni dilebur dengan fenomena masyarakat lokal (setempat). Dimana setiap wilayah
(daerah) memiliki fenomena tersendiri dari daerah lainnya, seperti gempa di Aceh akan
berbeda efeknya dengan gempa di Padang, demikian juga akan berbeda pula
penafsirannya dengan gempa di Bengkulu dan di Jawa.
Kontekstulisasi tidak diabaikan oleh para leluhur sebelumnya, dengan menelaah
(konservasi), mengkaji (investigasi) dan mengintropeksi setiap kejadian pasca gempa,
tujuannya untuk penggulangan dini secara cepat, tepat dan akurat baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, sesuai dengan pengetahuan yang ada dan
teknologi yang tersedia pada masa tersebut. Sama halnya dengan sistem teknologi yang
digunakan sekarang ini seperti Early Warning System (sistem peringatan dini),
geotomography dan teknologi Global Positioning System (GPS), tujuannya adalah
penanganan dini terhadap bencana saat gempa atau pasca gempa terjadi untuk
mengurangi korban jiwa dalam jumlah banyak di masyarakat.
Pengetahuan masyarakat abad ke-18 dan ke-19 terhadap konsep kearifan lokal
(local wisdom) dan fenomena alam sekitarnya sangat mendalam. Gejala-gejala aneh
yang tidak biasanya terjadi di lingkungan atau alam adalah pertanda akan terjadi
sesuatu, seperti burung atau bangau putih kembali ke darat (pantai) di pagi atau siang
hari secara tiba-tiba, pertanda buruk akan atau sedang terjadi di laut. Demikian juga,
saat binatang yang sering berdiam di dalam tanah di hutan atau sepanjang arus sungai

9

keluar secara bergerombolan dan masuk ke pemukiman penduduk, masyarakat
terdahulu memaknai akan terjadi gunung meletus, atau banjir bandang akan menerjang.
Fenomena alam tersebut sudah diketahui oleh masyarakat dan diwariskan secara turuntemurun kepada generasinya.
Di dalam naskah Ta’bir Gempa, setting sosial budaya lokal, pemahaman
masyarakat dan geografis wilayah sangat mendominasi untuk mengisahkan kehidupan
masyarakat di saat kejadian atau pasca gempa. Naskah yang ada di Aceh misalnya,
kandungan isi naskah lebih dominan pada pola kekuasaan (kerajaan), peperangan atau
huru hara dan kehidupan sosial. Berbeda dengan naskah gempa yang ditemukan di
Sumatera Barat (Padang) yang lebih menonjolkan akan kerugian dan keuntungan
ekonomis, perdagangan dan agrobisnis. Sedangkan naskah yang ditelusuri di Jakarta
(Jawa) menguraikan konteks Islam lokal dengan pemikiran mistis, kerajaan dan
agronomi masyarakat.
Semua naskah memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda-beda, walaupun
dapat dipastikan ada persamaan dan keterkaitannya. Namun, konteks lokal yang
diungkapkan di atas telah memberikan ciri khas dan keistimewaan tersendiri terhadap
masing-masing teks naskah. Hubungan antar naskah dapat dilihat pada beberapa sisi
penafsiran gempa yang terjadi menyebutkan fenemona yang sama. Di dalam kedua
edisi teks Aceh:
“Bab pada menyatakan gempa pada bulan Ra’jab, jika waktu Dhuha
gempa alamat akan air laut keras padanya”,
Dalam edisi teks naskah Jakarta:
“Bab pada menyatakan gempa pada bulan Ra’jab, dan jika waktu
Dhuha gempa alamat air laut keras akan datang padanya”
Di dalam teks naskah Padang:
“Bab pada menyatakan gempa bulan Ra’jab. Dan jika pada waktu
Dhuha gempa itu alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negri
itu”
Arti dari “air laut keras” adalah hempasan kencang air laut ke daratan, ombak
besar menghantam wilayah darat, atau dikenal smong, ie beuna, atau tsunami. Menurut
tafsiran naskah Ta’bir Gempa bahwa gempa dan tsunami pernah melanda wilayah
kepulauan Nusantara.
Bagan di bawah ini salah satu contoh untuk memudahkan perbandingan teks:

10

Bulan Waktu
Gempa
Subuh

Naskah A
(Banda Aceh)
Wabah penyakit

Air laut keras
-

Zuhur

Perseturuan dan
huru hara
Wabah penyakit

Rajab

Dhuha
Siang

Ashar

Magrib

Eksodus /
mengungsi

Naskah B
(Jakarta)
isi negeri dan
binatang pun
banyak mati
Air laut keras
Wabah
penyakit, gajah
kuda, kerbau,
lembu banyak
mati
Perseturuan
dan huru hara
Negeri kaya
lalu mewabah
penyakit
Pendatang luar
ke dalam
negeri

Naskah C
(Banda Aceh)
Wabah penyakit

Naskah D
(Padang)
Negeri susah/
duka

Air laut keras
-

Air laut keras
Negeri kerugian

Perseturuan
Negeri menjadi
kaya(makmur)

Musuh datang ke
dalam negeri
Negeri jadi kaya
(makmur)

Pendatang luar
ke dalam negeri

Musuh datang
dari benua lain

Bagan di atas merekam sejarah gempa terjadi pada bulan Ra’jab, sesuai dengan
periodenisasi waktu, yang menunjukkan bahwa antara teks-teks naskah memiliki
persamaan. Perbedaan di antara teks naskah tersebut menunjukkan konteks lokal atau
daerah gempa terjadi, sehingga terjadi perbedaan penafsiran dan pemaknaan, walaupun
hubungan antara teks naskah tetap ada. Sedangkan persamaan jelas terlihat saat gempa
terjadi pada waktu Dhuha bulan Rajab.
Sejarah mencatat gempa hari Senin 25 November 1833 di wilayah barat Aceh
dan Simeulu yang berakibat tsunami, masyarakat lokal menyebutnya smong. Jika
dikonversi tanggal tersebut bertepatan dengan 12 Rajab 1249 H, terjadi gempa sekitar
pukul 10.20 WIB waktu Dhuha berkekuatan 8,8 SR. Dengan kata lain, keempat naskah
di atas merekam kejadian yang sama, bahwa naskah yang ditulis pada abad ke-18,
kemudian disalin ulang periode berikutnya sesuai kejadian di wilayah tersebut. Oleh
karenanya, gempa yang terekam pada tahun 1833 sesuai dengan salinan dalam naskah
pada bulan Ra’jab.
Ini menunjukkan perbedaan bahwa naskah ta’bir gempa tidak disalin pada
periode gunung Krakatau meletus yang mengakibatkan tsunami pada hari Minggu 2627 August 1883 (22-23 Syawal 1300), karena ia tidak menyebut “air laut keras” atau
tsunami. Akan tetapi, naskah lainnya yang merekam jejak letusan Krakatau, yaitu Syair

11

Lampung Karam, Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut karangan Muhammad Saleh
diterbitkan di Singapura 21 November 1884 (2 Safar 1302 H), dan Syair Lampung dan
Anyer dan tanjung Karang Naik Air Laut, terbit 3 Januari 1886 (27 Rabiul Awal 1301
H) oleh Haji Said, dan Inilah Syair Lampung Karam adanya, juga diterbitkan di
Singapura 16 Oktober 1888 (10 Safar 1306 H), lebih bersifat syair kewartaan atau
pemberitaan karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik.12
Tentunya, seluruh teks syair Krakatau di atas berbeda dengan teks Ta’bir
Gempa, karena teks syair Krakatau hanya mengulas kondisi ketika itu, ia merekam apa
yang terjadi atau penulis meresakannya. Sedangkan teks ta’bir gempa menceritakan
secara keseluruhan, setiap gempa ditulis sesuai dengan konteks masyarakat lokal dan
geografis daerah gempa. Oleh karena itu, walaupun memiliki judul sama ta’bir gempa,
tetapi kontens di dalamnya berbeda.
Sebagai contoh, gempa yang terjadi pada bulan Ra’jab dalam naskah A dan C
koleksi Aceh, memiliki kemiripan dan persamaan, kecuali gempa saat Ashar dan
Magrib. Demikian juga naskah D koleksi Padang, memiliki hubungan dengan naskah
lainnya, walaupun kandungan naskah koleksi Padang lebih condong bersifat
“ekonomis” seperti penyebutan “negeri kerugian” “dagang tidak bertambah”. Demikian
juga naskah koleksi Jakarta yang lebih bersifat mistis dan di luar nalar, –mungkindipercaya oleh masyarakat setempat, sebut saja seperti penyebutan “datang hantu tiga
kepala ke negeri itu” di bulan Safar dan Jumadil Awal, dimana tafsiran tersebut tidak
disebutkan di naskah lainnya.
Selain penafsiran di atas, ada beberapa faktor yang diakibatkan oleh bencana
gempa seperti terjadi pengungsian (eksodus), krisis ekonomi dan pangan, wabah
penyakit menular, dan perang di dalam negeri. Dalam penafsiran penulis atau penyalin
naskah, akan ada beberapa perbedaan, sebagaimana yang tercantum pada ta’bir gempa
di bulan Jumadil Akhir di bawah ini:
“Jika waktu Shubuh gempa alamat akan hendak juga membunuh akan
negeri orang padanya”
Di dalam naskah Aceh lainnya menyebutkan:
“Jika waktu Shubuh gempa alamat murka Allah padanya”
Sedangkan di dalam teks naskah Jakarta tercantum:
“Jika waktu Shubuh gempa alamat akan kebajikan isi negeri dalamnya”
12

Kompas, “Letusan Krakatau di Mata Pribumi” (12 September 2008)

12

Dan, berbeda dengan naskah yang ada di Padang:
“Jika waktu Shubuh gempa alamat makhluk banyak yang kikir di dalam
negeri”.
Bulan Waktu
Gempa
Subuh

Zuhur

Saling
membinasakan
antar manusia

Ashar

Banyak orang
mati terbunuh

Naskah B
(Jakarta)
Kebajikan isi
negeri
Dosa besar dan
murka Allah
Rakyat
bermusuhan
Datang hantu 3
kepala / 1
kepala ke
negeri, negeri
binasa
Banyak orang
mati terbunuh

Magrib

Angin kencang

Angin kencang

Angin kencang

Isya’

Ditimpa
kejahatan
-

Ditimpa
kejahatan
Pasir keras
tahun tsb

-

Dhuha

Jumadil Awal

Siang

Malam

Naskah A
(Banda Aceh)
Pembunuhan
dalam negeri
Dosa besar dan
murka Allah
-

Naskah C
(Banda Aceh)
Murka Allah
Dosa besar dan
murka Allah
Pertikaian antar
manusia

Banyak orang
mati terbunuh

-

Naskah D
(Padang)
Manusia banyak
kikir
Kenikmatan
dalam negeri
Hama dan
penyakit
Bala dan waba’
dalam negeri

Manusia yang
meninggal &
panen buahbuahan
Angin kencang
dan penyakit
Bala dalam
negeri
-

Setiap peristiwa pasca gempa di atas menunjukkan karakteristik daerah tertentu.
Berbeda penafsiran antara kandungan teks naskah yang ada Aceh dengan kandungan
naskah di Jawa dan Padang. Di Aceh, dalam konteks -sangat memungkinkan- sedang
terjadi gejolak perang antara Aceh dengan Belanda sejak awal tahun 1807. Tentunya
berbeda dengan di Padang dengan waktu (periode) yang relatif lebih muda (tahun
1976), menunjukkan fenomena cultural masyarakat setempat.
Hadirnya naskah ta’bir gempa dapat disamakan dengan takwil atau ta’bir
mimpi, dimana mengutamakan rekaman sejarah dan proses pengetahuan yang telah
terjadi pada alam sebagai pengalaman, ataupun peristiwa yang diwariskan baik secara
lisan maupun tulisan, bukan sebaliknya meramal atau memprediksi masa depan. Karena
tujuan dari penulisan teks dan penyalinan adalah untuk kesiapan penanganan dan

13

pengurangan korban (mitigasi) pasca bencana, sekaligus mewarisi pengetahuan
kebencanaan untuk generasi mendatang.
Perbedaan menonjol bukan hanya pada tragedi pasca gempa, akan tetapi juga
pada fenomena masyarakat saat itu. Pada naskah edisi Jakarta yang diperkirakan disalin
pada abad ke-18 seperti:
“Jika pada bulan Muharram gempa keluar pagi-pagi gempa alamat akan
berperang padanya. Jika pada ketika Dhuha gempa alamat beras padi
murah”.
Sedangkan edisi naskah Aceh tertulis :
“Bab ini pada menyatakan ta’bir gempa, pertama pada bulan Muharram
gempa pada waktu Shubuh alamat akan perang padanya.
Jika pada waktu Dhuha gempa alamat beras padi murah”.
Sedangkan edisi naskah Padang yang disalin tahun 1976 tertera:
“Pasal pada menyatakan takwil gempa. Jika gempa pada bulan
muharram. Jika bergerak gempa pada waktu Shubuh alamatnya kita
akan berperang sama-sama kita, jika pada waktu Dhuha alamatnya
beras padi”.
Selain faktor geografis dan fenomena masyarakat di Aceh, juga terdapat sisi
religi (religious) dalam kandungan naskah gempa, dan itu sangat mempengaruhi
pemikiran positif dan menunjukkan keimanan yang kuat, sabar dan tabah menghadapi
bencana. Oleh karena itu, tidak sedikit dalam kandungan naskah gempa yang
mengandung tafsiran gempa dinilai posisitf. Sebagaimana direkam dalam teks naskah:
“Bab jika pada bulan Rabiul Akhir … Jika pada ketika Dhuha alamat
dianugerah Allah Ta'ala bumi ini padanya. Jika pada waktu Zuhur alamat
beroleh arti padanya dan segala buah-buahan pun menjadi.
Masyarakat lokal menerima bencana gempa tersebut dengan keikhlasan dan
kerelaan. Masyarakat dapat memaknai bencana gempa dapat memberikan beberapa
faedah, dan itu kemudian dipercaya dan diyakini, sebagaimana direkam dalam teks
gempa. Menurut paham mereka, bencana gempa bumi, tidak selamanya membawa
petaka atau kerugian pada suatu negeri atau daerah bencana. Akan tetapi, sebaliknya
terdapat hikmah dan keberuntungan pasca gempa yang berdampak baik setelahnya,
walaupun harus dilalui dengan duka dan kerugian yang tak terhingga.

14

Oleh karena itu, sangat banyak disebutkan di dalam keempat naskah akan
kebaikan, Rahmat dan Anugerah Allah. Atau juga disebut dalam bentuk kesempurnaan,
pertanda baik, negeri jadi kaya. Hal tersebut jelas yang tersurat dan terungkap dalam
naskah ta’bir gempa bahwa ada kebaikan dan kerugian pasca gempa sesuai hitungan
bulan Qamariyah (tahun Hijriyah). Walaupun sejauh ini, belum dapat diketahui secara
pasti bagaimana memprediksi baik dan buruknya bencana pasca gempa bumi. Akan
tetapi, disinilah terletak kearifan lokal masyarakat Aceh dalam memahami suatu
bencana, mampu menafsirkan dan langkah-langkah ke depan yang harus ditangani dan
dilakukan oleh masyarakat nantinya. Ini memberi pelajaran penting bagi manusia untuk
berpikir positif dan bersikap bijaksana terhadap Sang Pencipta, bahwa pada satu sisi
manusia melihat sebuah kehancuran, namun di sisi lain tersirat itu sebagai awal
kebangkitan.

E. Kesimpulan
Gempa merupakan bencana alam yang sering terjadi di wilayah kepulauan
Nusantara (Indonesia), terutama di perairan laut Aceh-Sumatera, dan dapat berdampak
pada bencana susulan setelahnya, seperti tsunami, longsor, gunung meletus dan lainnya.
Sejak dahulu, para leluhur sudah menanamkan pengetahuan dan kearifan lokal secara
lisan dan tulisan untuk generasinya supaya dapat mempersiapkan diri dan menangani
bencana sesuai pemahaman, kepercayaan dan pengetahuan. Para leluhur yang arif dan
bijaksana sudah merekam jejak sejarah gempa yang pernah terjadi dan dampak ikutan
yang ditimbulkan olehnya, dan memahaminya suatu bencana antara baik dan buruk.
Naskah ta’bir gempa memberi pelajaran penting untuk generasinya bahwa setiap gempa
memiliki kebaikan dan keburukan sebagai intropeksi diri dan mitigasi bencana.

15

F. Referensi
Teks Naskah Ta’bir Gempa, (4 Teks MSs), Koleksi Museum Negeri Aceh. Banda Aceh
Teks Naskah Ta’bir Gempa, (MS) Koleksi Yayasan Pendidikan Ali Hasjmi. Banda
Aceh
Teks Naskah Ta’bir Gempa, (MS) Koleksi Tarmizi A Hamid, Banda Aceh
Teks Naskah Ta’bir Gempa, (MS) Koleksi Rijal, Banda Aceh
Teks Naskah Ta’bir Gempa, (3 Teks MS) Koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta.
Naskah Ta’wil Gempa, (MS) Koleksi Surau Lubuk Ipuh Padang-Sumatera Barat
C. Sinadinovski, The Event Of 26th Of December 2004 - The Biggest Earthquake In
The World In The Last 40 Years. Bulletin Of Earthquake Engineering. 2006.
CNN, Asia Quake Death Toll Top 13.000, (CNN, 27 Desember 2004), Website:
Http://Articles.Cnn.Com/2004-12-26/World/Asia.Quake_1_Tsunamis-GiantWaves-Magnitude-Quake?_S=PM:WORLD
Danny Hilman Natawidjaja, Penelitian Potensi Tsunami Di Padang, Sumatera Barat,
Bandung: Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2006
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, Gempa Bumi Dan Tsunami, Bandung:
Direktorat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005
Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: CV Manasco, 2002).
Faizal Andriansyah, Tsunami Siapa Yang Tahu?, (Banda Aceh; Serambi Indonesia,
Kamis, 10 Maret 2005)
Jun Just Witkam, Inventory of The Oriental Manuscripts of The Library of The
University of Leiden, Vol. 13, Belanda: Ter Lugt Press Leiden, 2007.
Kompas, “Letusan Krakatau di Mata Pribumi” (12 September 2008)
Syeh Rih Kruengraya, Geumpa Di Atjeh, Banda Aceh: Anzib Lamnyong, 1964.
T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia Vol. 4, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia / École Française
d'Extrême Orient, 1998

16