Review Paper Prinsip Penggantian Antidep

Review Paper
Prinsip Penggantian Antidepresan, Waktu Terbaik Melakukan Penggantian,
dan Parameter Keberhasilan Terapi Antidepresan pada Pasien Penderita
Depresi

Dibuat sebagai Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Pelayanan Informasi Obat

Disusun Oleh :
Nama

: Ajeng Inggit Anindita

NIM

: 12613018

Kelas

:A


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015

1

A. Prinsip Penggantian (Switching) antidepresan dengan antidepresan lain.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa Depresi adalah ganguan mental
umum yang menyajikan gangguan mood, kehilangan minat atau kesenangan, perasan
bersalah atau rendah diri, tidur tergangu atau nafsu makan, energi rendah, dan hilang
konsentrasi. Masalah ini dapat menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan ganguan
besar dalam kemampuan individu untuk mengurus tangung jawab sehari-harinya (WHO,
2011).
Antidepresan sendiri adalah obat yang dikonsumsi pasien depresi untuk
meningkatkan suasana jiwa (mood), dengan meringankan atau menghilangkan gejala
keadaan murung. Antidepresan tidak bekerja pada orang sehat. Antidepresan secara umum
diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu heterosiklik dan monoamine inhibitor
oksidase (MAOI). Heterosiklik merupakan antidepresan yang paling sering digunakan.
Heterosiklik dikelompokkan lagi menjadi beberapa jenis obat, yaitu trisiklik (terbagi atas

amin tersier dan amin sekunder) dan antidepresan generasi kedua. Trisiklik amin tersier
terdiri dari imipramin, klomipramin, dan amitripilin. Trisiklik amin sekunder terdiri dari
desipramin, nortriptilin, dan protriptilin. Sedangkan antidepresan generasi kedua terdiri dari
fluoxetin, sertralin, citalopram, fluvoxamine, mianserin, mirtazapin, dan venlafaxine.
Pada penggunaan obat Antidepresi sulit diprediksi sebelumnya mana yang lebih
efektif, karena itu peresepan obat depresi pertama kali dilakukan secara empiris. Faktor
yang biasanya dapat menjadi pertimbangan pemilihan obat pertama kali diantaranya adalah
riwayat respons pasien terhadap obat, farmakogenetik, jenis depresi, kemungkinan interaksi
obat dan profil adverse event obat. Karena Pemilihan obat Antidepresan yang pertama kali
ini masih berdasarkan resep empiris maka dimungkinkan adanya switching (penggantian)
atau discontinuing (penghentian) karena pasien dalam rentang waktu terapi tidak kunjung
mencapai target keberhasilan terapi.
Beberapa strategi untuk mengatasi pasien yang tidak berespon atau res-ponnya
parsial tersebut adalah:
1. Mengganti dengan antidepresan lainnya dari klas farmakologik berbeda
(misalnya dari SSRI ke TCA)
2. Mengganti dengan antidepresan lain dari klas farmakologi sama (misalnya, dari
SSRI ke SSRI lainnya)
3. Mengombinasi dua antidepresan dari klas berbeda (TCA ditambah dengan
SSRI).


2

4. Menambah antidepresan dengan obat lain, misalnya litium, hormon tiroid, atau
dengan antipsikotika atipik.
Young Min Lee dalam penelitiannya tentang waktu yang tepat untuk menghentikan
pengobatan SGA (Second Generation Antidepressant) yang mengkatagorikan status
kepatuhan pasien depresi yang menjalani terapi antidepresan dikategorikan sebagai
penggantian (switching), penghentian (discontinuing) dan sedang diperjuangkan sembuh
(persistent). Jika resep terlambat ditebus untuk antidepresan pertama kali dalam waktu 30 hari, pasien diklasifikasikan sebagai
discontinuing. Jika terapi tidak diaktifkan atau dihentikan, pasien diklasifikasikan sebagai
persistent. Jika antidepresan diganti, tanggal pengeluaran resep antidepresan baru tercatat
sebagai tanggal switch. Hasilnya Tidak ada perbedaan signifikan dalam rasio hazard untuk
switching atau discontinuing antara ketiga SGA (Second Generation Antidepressant) bahkan
ketika sampel telah heterogen dan memperhatikan perwakilan antar populasi seperti usia,
jenis kelamin, obat co-resep, dan CIRS untuk penyakit medis yang kronis (Young Min Lee
et al, 2011).
Prinsip utama yang harus dipegang dalam switching Antidepresan ini adalah Jika
respon tidak tercapai dalam waktu 6 – 8 minggu terapi, maka diganti dengan antidepresan
lain dengan golongan sama, jika belum berhasil, diganti ke antidepresan golongan yang lain.

Sebagai contoh, evidence dari prinsip switching antidepresan ini adalah > 50% pasien yang
gagal terhadap sertralin, memberikan respon baik terhadap fluoksetin (Thase M.E et al,
1997). Terlebih ketika pilihan switching yang berbeda dibandingkan, seperti beralih ke
venlafaxine setelah kegagalan untuk merespon pada SSRI pada minggu ke 5 terapi sedikit
lebih baik daripada beralih ke SSRI lain tetapi tidak ada bukti yang kuat untuk
merekomendasikan golongan lain antidepresan (Toshi A. Furukawa et al, 2011).
Evidence berikutnya menyatakan bahwa diperoleh manfaat positif untuk mengganti
(switch) obat dari SSRI ke TCA atau sebaliknya pada pasien yang mengalami depresi kronik
dan resisten terhadap antidepresan, misalnya switching antara sertralin dengan imipramin
terbukti efektif (Thase M.E. et al, 2002).
Pada gangguan depresi Mayor, dimana gejala ini adalah gangguan mental dengan
prevalensi cukup tinggi di USA dengan nilai 16,2 dan eropa dengan nilai 6,2 % dari total
gangguan mental.

Agen antidepressan yang efektif meliputi HCA (Heterocyclic

Antidepressants), monoamine oxidase inhibitors (MAOI), selective serotonin reuptake
inhibitors

(SSRI),


serotonin

and

noradrenaline
3

reuptake

inhibitors

(SNRI),

noradrenalinergic and specific serotonergic antidepressant (NaSSA) dan yang lainnya
seperti bupropion. Peledakan konsumsi antidepressant terjadi di negara berkembang dimana
Indonesia adalah salah satu negara berkembang di dunia. Selama hampir dua dekade ini
menunjukkan peningkatan konsumsi SSRI, SNRI, dan generasi antidepressants yang baru
ditunjukkan dengan banyaknya peresepan dokter atas obat-obat tersebut. Perlakuan pada
depresi mayor tidaklah mudah karena hanya sekitar 50 % menimbulkan respon. Ketika

pasien penderita depresi mayor tidak menunjukkan respon pada obat lini pertama,
pengobatan lini kedua harus segera dimulai. Rekomendasi guideline untuk pengobatan lini
kedua meliputi peningkatan dosis dan penggantian untuk antidepresan dari golongan
berbeda.
Penggantian ke mirtazapin adalah pilihan yang masuk akal sebagai pengobatan lini
kedua karena alasan Studi menunjukkan MANGA mirtazapin mungkin yang paling efektif
sebagai antidepresan generasi baru. Switching ini bisa dibilang lebih disukai karena
menggabungkan dua obat yang sebelumnya dikenal dan efek samping yang minimal
daripada tetap menggunakan obat sebelumnya (Toshi A. Furukawa et al, 2011).
Sementara Frederic R. Curtiss meneliti khasiat relatif 4 strategi pengobatan pada
pasien remaja dengan diagnosis utama Major Depresive Disorders (MDD) yang tidak
merespon setelah 2 bulan pengobatan awal dengan SSRI. Pada 334 pasien berusia 12-18
tahun, 12 minggu CBT ditambah beralih ke salah satu alternatif SSRI lain (20 mg-40 mg
per hari paroxetine, citalopram, atau fluoxetine) atau venlafaxine (150 mg- 225 mg per hari)
menimbulkan tingkat respons yang lebih tinggi (54,8%; 95% confidence interval [CI] =
47% -62%) daripada penggantian golongan obat (40,5%; 95% CI = 33% -48%) (Frederic R.
Curtiss et al, 2008).
Penelitian switching Antidepresan pada penderita Bipolar Disorder menunjukkan
bahwa Dalam beberapa pasien bipolar teridentifikasi bahwa data penelitian "tidak
menyarankan switching kembali pada yang sudah umum digunakan pada antidepresan

komplikasi awal" Namun, dengan tingkat beralih 10% dengan TCA, mereka juga
menyimpulkan bahwa "Mungkin lebih bijaksana untuk menggunakan SSRI atau inhibitor
monoamine oxidase daripada TCA sebagai pengobatan lini pertama". (Heinz C.R. Grunze,
MD, 2008)
Beth McHugh dan Rajeev Krishnadas dalam Guide to safely withdrawing
antidepressants in primary care menyatakan bahwa pada pasien depresi dengan tingkat
keparahan severe, Jika konsumsi SSRI dihentikan penggantian ke fluoxetine dapat dicoba;
ini tidak hanya memiliki keuntungan dalam sediaan cair, tetapi memiliki waktu paruh yang
4

panjang dan tampaknya memiliki risiko rendah menyebabkan discontinuing (Beth McHugh
dan Rajeev Krishnadas, 2011)

B. Waktu Terbaik melakukan penggantian antidepresan
Sebagian besar antidepresan berpengaruh terhadap metabolisme neurotransmiter
monoamin dan reseptornya terutama norepinefrin (NE) dan serotonin (5HT). Ada tiga fase
pengobatan pasien depresi yang perlu dipahami:
1. Fase akut selama 6–10 minggu yang bertujuan mencapai remisi (sampai gejala tidak
ada lagi), merupakan fase yang sangat penting dalam pengobatan depresi.
2. Fase lanjutan selama 4–9 bulan se telah tercapai remisi bertujuan menghilangkan

gejala sisa atau men cegah relaps (relaps adalah kemunculan gejala dalam 6 bulan
setelah remisi).
3. Fase pemeliharaan selama 12–36 bulan yang bertujuan mencegah rekurensi (sudah
sembuh namun ganggu an kembali berulang).
Durasi pengobatan sangat bergantung pada resiko dan berat ringan depresi masingmasing pasien. Ada pasien yang sampai perlu pengobatan seumur hidup. Perhatikan efek
samping masing-masing obat pada penggunaan jangka panjang. Hentikan atau ganti
pengobatan bila risiko efek samping lebih besar daripada manfaat terapinya.
Setelah 2-4 minggu pemberian antidepresan, respon terapi hendaklah dievaluasi. Bila
tidak adekuat, dosis obat harus dioptimalkan. Dibutuhkan paling sedikit sekitar 8-10 minggu
untuk menyatakan penurunan gejala. Bila terapi awal dihentikan karena efek samping yang
tidak dapat ditoleransi, penggantian ke terapi lain hendaklah segera dilakukan. (Verena
Engkel, 2008)
Mengganti terapi terlalu cepat dapat menyebabkan kesalahan mengambil simpulan,
misalnya menganggap obat tidak efektif sehingga dapat pula mengecewakan pasien.
Sebaliknya, mempertahankan terapi terlalu lama tanpa respon, dapat menyebabkan
pemanjangan penderitaan pasien dan lamanya durasi episode.
Konsensus umum adalah, bila tidak terlihat sedikit pun perbaikan setelah 2-4 minggu
terapi antidepresan sedangkan dosisnya sudah lebih tinggi dari dosis standar, kemungkinan
akan berespons dengan obat tersebut – bila terapi dilanjutkan - sangat kecil. Apabila pasien


5

memperlihatkan respons parsial setelah 2-4

minggu, ada kemungkinan pasien akan

berespons sempurna setelah 8-12 minggu. (Verena Engkel, 2008)
Mungkin orang akan berasumsi bahwa "switch" dalam antidepresan akan terjadi
dalam depresi episode yang sama, dengan mungkin kesenjangan antara terapi tidak lebih
dari 15-30 hari. Namun, dalam mendefinisikan jeda penggantian antar obat, Frederic R.
Curtiss menyatakan tidak ada persyaratan khusus jeda waktu penghentian obat lama dengan
pemakaian pertama Antidepresan baru. Jarak mengakibatkan pengobatan antidepresan bisa
saja selama 360 hari, dan kesenjangan rata-rata di terapi obat adalah 60-61 hari (Frederic R.
Curtiss, 2008).
Mengenai resistensi pengobatan, efek samping, atau sesuatu yang lain? Bahkan jika
semua pasien dengan penggunaan berurutan antidepresan yang berbeda golongan yang
benar-benar dilakukan switching, wajar sebenarnya jika ada keraguan mengenai sebenarnya
berapa besar adanya kemungkinan resistensi pengobatan. Efek samping memang terlibat
sebagai faktor penting yang mendorong penghentian pengobatan antidepresan atau
penggantian sekalipun. Dalam survei telepon dari 226 pasien yang menjalani penghentian

pengobatan SSRI (n = 189) atau beralih ke antidepresan yang berbeda (n = 37) dalam waktu
3 bulan pengobatan inisiasi, 43% melaporkan bahwa perubahan perlakuan mereka adalah
karena minimal 1 efek samping yang mengganggu. Untuk memaksimalkan kemungkinan
(meskipun tanpa jaminan) beralih yang disebabkan karena efek samping yang kurang
nyaman, pendekatan yang masuk akal sebaiknya diterapkan jeda minimum terapi obat
antidepresan awal sebelum penggantian (Frederic R. Curtiss et al, 2008).
Sebenarnya tidak mungkin bahwa seorang praktisi kesehatan akan langsung beralih
terapi setelah, misalnya, hanya 1 minggu pengobatan yang tidak menimbulkan respon.
Namun memang sebaiknya dilakukan analisa farmakokinetik obat untuk mengetahui periode
wash out berupa 5 kali waktu paruh obat dari obat sebelumnya sehingga dapat diprediksikan
klirens obat dan secara umum dapat diprediksi posisinya dalam tubuh pasien sehingga dapat
diganti obat baru.
Dalam Buku “Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan Depresif” yang
diterbitkan oleh Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Kemenkes RI ditemukan kasus bahwapada penderita yang menerima
suatu SRRI dalam kombinasi dengan MAOI, telah dilaporkan reaksi serius yang terkadang
fatal termasuk hipertermia, kekakuan, mioklonus, instabilitas otonom disertai fluktuasi cepat
pada tanda vital, dan perubahan status mental termasuk agitasi hebat, yang meningkat

6


menjadi delirium dan koma. Reaksi ini telah terjadi pada penderita yang baru saja
menghentikan SRRI dan baru mulai menggunakan MAOI.
Bila terjadi pengalihan dari SRRI ke MAOI, maka harus ada selang 2 minggu
diantara pergantian. Setelah penghentian fluoxetin, maka harus ada selang 1 atau 2 minggu
sebelum mulai menggunakan MAOI. Jangan memberikan MAOI bersama atau segera
setelah antidepresan trisiklik. Kombinasi ini menyebabkan seizure, koma, hipereksitabilitas,
hipertermia, takhikardia, takhipnea, sakit kepala, midriasis, kemerahan kulit, kebingungan,
koagulasi intravaskular meluas, dan kematian. Beri selang paling tidak 14 hari diantara
penghentian MAOI dan mulainya antidepresan trisiklik. Pada beberapa laporan kasus, krisis
hipertensif, pendarahan serebral, dan kematian dapat terjadi karena penggantian MAOI ke
obat lain tanpa adanya periode jeda. Periode jeda selama 10-14 hari dianjurkan jika
mengganti suatu MAOI ke yang lainnya atau dari suatu senyawa dibenzazepin (misalnya
amitriptilin, perfenazin).
Jika seseorang memiliki respon minimal terhadap antidepresan setelah 3-4 minggu
pengobatan dengan dosis terapi antidepresan pertama, NICE guideline merekomendasikan
baik meningkatkan dosis sesuai dengan SPC atau beralih untuk antidepresan kedua.
Switching antidepresan harus juga harus dipertimbangkan jika ada efek samping yang
signifikan mengganggu.
Ketika penggantian antidepresan, sebagian bisa diabsorbsi dengan aman dan tidak
perlu dibersihkan sama sekali sebelum memulai obat yang baru. Namun demikian, beberapa
pengecualian penting untuk ini, untuk contoh jeda 14-hari diperlukan setelah pemberhentian
MAOI sebelum mulai antidepresan lain. Di kasus fluoxetine, di mana paruh cukup panjang,
dianjurkan untuk menunggu jangka waktu empat sampai tujuh hari sebelum memulai lagi
antidepresan baru. Ketika beralih antara antidepresan ada baiknya memeriksa apa yang
dianjurkan untuk setiap cirikhas individu (Pertimbangan Farmakogenomik) menurut
Maudsley Prescribing Guidelines dan GP Psychotropic Handbook

yang keduanya

menyediakan tabel yang berguna untuk menginformasikan proses switching (Beth McHugh
dan Rajeev Krishnadas, 2011).

C. Parameter keberhasilan terapi Antidepresan
Ada tiga fase pengobatan depresi:
1. Fase akut, biasanya berlangsung selama 6-10 minggu
2. Fase lanjutan, sering berlangsung sekitar 16-20 minggu dan dapat hingga 9-12 bulan
3. Fase rumatan; pada pasien depresi rekuren, fase ini dapat berlangsung selama hidup.
7

Tujuan terapi pada fase lanjutan yaitu untuk mempertahankan atau untuk
meningkatkan respons terhadap terapi akut dan mencegah relaps. Terapi rumatan bertujuan
untuk mencegah rekurensi. Depresi merupakan penyakit kronik yang cenderung rekuren.
Tujuan pengobatan depresi adalah asimptomatik atau pulih.
Ada tiga jenis luaran (outcome) terapi depresi:
1. Responsif, yaitu berkurangnya gejala depresi, bila dibandingkan dengan saat terapi
dimulai (baseline), sebanyak ≥50%, dinilai dengan HAM-D17, selama tiga minggu
berturut-turut.
2. Remisi, yaitu gejala depresi hampir atau tidak ada sama sekali. Nilai skor HAMD17
≤7 atau skor MADRS ≤3, tiga minggu berturut-turut.
3. Pulih, yaitu menetapnya remisi (asimptomatik) dalam waktu yang lebih lama (± 4-6
bulan). Fungsi pekerjaan dan sosial kembali pulih seperti semula.
Untuk menilai ada/tidaknya depresi, Structured Clinical Interview for DSM-IV
(SCID) dapat digunakan. Instrumen yang dapat digunakan untuk menilai beratnya derajat
depresi, antara lain, adalah Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D) dan MontgomeryAsberg Depression Rating Scale (MADRS). Ada dua gejala kunci pada GDM, yaitu mood yang
sedih dan hilangnya minat. Kedua gejala ini tidak boleh ada dalam keadaan remisi. Sebuah
penelitian naturalistik, yang mengikutsertakan 1.014 pasien rawat inap, melaporkan bahwa setelah
dua minggu pertama pengobatan, skor HAM-D21 turun sebanyak 34% dan skor MADRS sebanyak
33% (Seemuller F. et al,2008)

Konsensus American College of Neuropsychopharmacology (ACNP) menetapkan
kriteria remisi, yaitu bila nilai HAM-D17 ≤7 menetap dalam tiga minggu berturut-turut.
Fungsi sehari-hari bukan merupakan kriteria remisi.Kriteria lain untuk remisi adalah bila
skor HAM-D17 ≤7 atau HAM-D7 ≤3. Dikatakanremisi parsial bila skor HAM-D17 antara
7-13. Skor 3 pada HAM-D7 ekuivalen dengan skor 7 pada HAM-D17. Skala HAM-D7
cukup sensitif untuk menilai beratnya gejala depresi. Apabila menggunakan MADRS, skor
untuk menilai remisi bervariasi, yaitu ≤8, ≤9, ≤10, atau ≤11 (Carmody TJ et al, 2006).
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa angka remisi setelah terapi selama 8-12
minggu dengan bupropion dan SSRI, skor HAMD17 ≤7 tercatat sebanyak 47%, sedangkan
pada kelompok yang mendapat plasebo adalah 36%. Angka remisi pada praktik klinik,
setelah diterapi selama 8-12 minggu, terlapor lebih rendah, yaitu sebesar 32% (HAM-D ≤8).
Angka remisi yang dilaporkan oleh penelitian Sequenced Treatment Alternatives to Relieve

8

Depression (STAR*D), menggunakan citalopram setelah pengobatan 12 minggu, nilai skor
HAM-D ≤ 8 tercatat sebanyak 27,5%. Tidak ada perbedaan angka remisi antara pasien yang
diobati di perawatan primer (26,6%) dengan yang dirawat di perawatan psikiatri (28,0%)
(Trivedi MH et al 2006).
Definisi remisi parsial adalah:
a. Beberapa gejala depresi mayor masih ada (residual), tetapi tidak lagi
memenuhi kriteria episode depresi, atau
b. Gejala depresi tidak ada lagi, tetapi lamanya kurang dari dua bulan. Remisi
parsial atau adanya gejala sisa merupakan faktor risiko relaps. Menetapnya
gejala, meskipun ringan, dapat mengurangi harapan pulihnya fungsi secara
sempurna. Karena itu, mengevaluasi gejala sisa merupakan strategi terapeutik
untuk mencapai remisi sempurna (Thase ME et al, 2003).
Penelitian lain pada 11.760 pasien Gejala Depresi Mayor (GDM) rawat jalan
menunjukkan bahwa setelah dua minggu pengobatan dengan escitalopram, terjadi
penurunan skor MADRS sebanyak 30% (Moller HJ, 2003).

9

Tabel Summary
Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul
Metodologi Penelitian
Hasil
Kesimpulan
Refrensi
Penilaian

:
:
:
:
:
:
:
:

Depression
http://www.who.int/mental_health/management/depression/en/
Baik

Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul
Metodologi Penelitian
Hasil
Kesimpulan
Refrensi

:
:
:
:
:
:
:

Joseph T.Dipiro, Robert L. Talbert, et al
2008
Buku
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition
Dipiro,T. Joseph, Talbert L.Robert, et al. Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach Seventh Edition. New York: The Mac

Penilaian

Graw Hill Medical.
: Sangat Baik

Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul

: Thase ME, Blomgren SL, Birkett MA, Apter JT, Tepner RG.
: 1997
: Fluoxetine treatment of patients with major depressive disorder who

Metodologi Penelitian

failed initial treatment with sertraline.
: Pasien rawat jalan dewasa (N = 106) dengan DSM-III-R penyakit
depresi dan sejarah baik intoleransi (N = 34) atau nonresponse (N =
72) untuk pengobatan dengan sertraline diobati dengan fluoxetine
(rata-rata dosis = 37,2 mg / hari ) standar, open-label, percobaan 6minggu klinis. Hasil dinilai pada setiap kunjungan menggunakan
Hamilton Rating Scale untuk Depresi (HAM-D), Clinical Global
Impressions

Hasil

(CGI-Peningkatan

dan

CGI-Severity)

skala,

dan

Peningkatan global (PGI) skala Pasien.
: Sembilan puluh satu pasien (86%) menyelesaikan studi. Enam puluh
tujuh pasien (63%) menanggapi fluoxetine (yaitu, mengalami> atau =
50% pengurangan HAM-D28 skor total pada titik akhir dibandingkan
baseline). Selain itu, secara klinis dan statistik perbaikan yang
10

signifikan yang dicatat pada semua ukuran gejala depresi dan fungsi
global. Ada kecenderungan yang tidak signifikan untuk pasien dengan
riwayat percobaan sertraline untuk merespon lebih baik terhadap
fluoxetine. Terapi Fluoxetine ditoleransi dengan baik, dan hanya ada
sedikit perbedaan dalam efek samping yang dilaporkan oleh pasien
yang telah toleran terhadap sertraline dibandingkan mereka yang tidak
Kesimpulan

menanggapi.
: Temuan ini menunjukkan bahwa fluoxetine dan sertraline, dua obat
paling banyak digunakan di SSRI, Pasien yang baik menoleransi
kesulitan atau tidak menanggapi sertraline dapat melakukannya

Refrensi

dengan baik pada pengobatan fluoxetine.
: Thase ME1, Blomgren SL, et al, 1997, Fluoxetine treatment of patients
with major depressive disorder who failed initial treatment with
sertraline,1997, J Clin Psychiatry. 1997 Jan;58(1):16-21 Available at

Penilaian

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9055832
: Kurang baik

Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul

: Young Min Lee, MD and Kyoung-Uk Lee, MD, PhD
: 2011
: Time to discontinuation among the three second-generation

Metodologi Penelitian

antidepressants in a naturalistic outpatient setting of depression
: Data dari retrospektif. Ulasan rekam medis pasien yang dirujuk ke
sebuah klinik rawat jalan psikiatri antara Januari 2003 sampai
Desember 2005. kelompok pasien (paroxetine-, venlafaxine-, dan
mirtazapin diobati) dibandingkan satu sama lain berkaitan dengan
penghentian mereka kali untuk jangka waktu 6 bulan setelah

Hasil

pengobatan diinisiasi.
: Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penghentian kali antara

Kesimpulan

TSA selama 6 bulan Periode setelah memulai terapi obat.
: Dalam pengaturan naturalistik untuk perawatan depresi, tampaknya
tidak ada perbedaan penghentian kali antara ketiga secondgeneration

Refrensi

antidepresan.
: Young Min Lee, Kyoung-Uk Lee, Time to discontinuation among the
three second-generation antidepressants in a naturalistic outpatient
setting of depression Psychiatry and Clinical Neurosciences 2011; 65:
630–637
11

Penilaian

: Cukup baik

Nama Peneliti

: Michael E. Thase, MD; A. John Rush, MD; Robert H. Howland, MD;
Susan G. Kornstein, MD; James H. Kocsis, MD; Alan J. Gelenberg,
MD; Alan F. Schatzberg, MD; Lorrin M. Koran, MD; Martin B.
Keller, MD; James M. Russell, MD; Robert M. A. Hirschfeld, MD;
Lisa M. LaVange, PhD; Daniel N. Klein, PhD; Jan Fawcett, MD;

Tahun Penelitian
Judul

Wilma Harrison, MD
: 2002
: Double-blind Switch Study of Imipramine or Sertraline Treatment

Metodologi Penelitian

of Antidepressant-Resistant Chronic Depression
: Penelitian ini merupakan penelitian multisite di mana pasien rawat
jalan dengan depresi berat kronis (dengan atau tanpa dysthymia
bersamaan), yang gagal untuk menanggapi 12 minggu pengobatan
double-blind dengan baik sertraline hydrochloride (n = 117) atau
imipramine hydrochloride (n = 51), yang menyeberang atau beralih ke
12 minggu tambahan pengobatan double-blind dengan obat alternatif.
Ukuran hasil termasuk 24-item Hamilton Rating Scale untuk Depresi

Hasil

dan Clinical global Tayangan-Severity dan skala Perbaikan.
: Beralih dari sertraline ke imipramine (rata-rata dosis, 221 mg / d) dan
dari imipramine untuk sertraline (rata-rata dosis, 163 mg / d)
menghasilkan data klinis dan statistik perbaikan yang signifikan.
Beralih ke pengobatan sertraline dikaitkan dengan keluhan efek
samping yang lebih sedikit dan kurang signifikan karena efek
samping. Walaupun pengobatan sertraline juga mengakibatkan respon
signifikan lebih tinggi dalam sampel intent-to-treat (60% pada
kelompok sertraline dan 44% pada kelompok imipramine), baik
tingkat remisi intent-to-treat maupun respon dan remisi tarif antara
studi berbeda secara signifikan. Selain itu, setelah mempertimbangkan
efek gesekan, tidak ada efek pengobatan signifikan pada persamaan
estimasi yang lebih komprehensif umum analisis terus menerus

Kesimpulan

tergantung tindakan.
: Lebih dari 50% dari nonresponden antidepresan kronis terkena
manfaat dari beralih dari imipramine untuk sertraline, atau sebaliknya,
meskipun kronisitas tingkat tinggi. Seperti dalam hipotesis awal,
12

sertraline umumnya baik ditoleransi daripada imipramine. Beralih ke
antidepresan pada standar kelas yang berbeda adalah strategi
pengobatan yang berguna untuk tidak menanggapi antidepresan dan
dapat dianggap sebagai standar perbandingan untuk studi masa depan
Refrensi

strategi alternatif baru.
: Michael E. Thase, MD, et al, Double-blind Switch Study of
Imipramine or Sertraline Treatment of Antidepressant-Resistant

Penilaian

Chronic Depression, Arch Gen Psychiatry. 2002;59(3):233-239
: Baik

Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul

: Heinz C.R. Grunze, MD,
: 2008
: Switching, Induction of Rapid Cycling, and Increased Suicidality

Metodologi Penelitian
Hasil
Kesimpulan

With Antidepressants in Bipolar Patients: Fact or Overinterpretation?
: : Review article
: Artikel ini tidak akan mengakhiri diskusi pada kegunaan dan risiko
antidepresan di pasien bipolar. Selain membangun atau menolak
klaim bahwa antidepresan berkhasiat, kami masih perlu menyelidiki
lebih lanjut resikonya, meskipun setidaknya antidepresan modern yang
tampaknya tidak dikaitkan dengan peningkatan TEH, frekuensi dan
bunuh

diri

meningkat

pada

umumnya,

kita

masih

perlu

mengidentifikasi prediktor pasien yang baik melakukan baik atau
Refrensi

buruk pada penggunaan antidepresan.
: Heinz C.R. Grunze, MD, Switching, Induction of Rapid Cycling, and
Increased Suicidality With Antidepressants in Bipolar Patients: Fact

Penilaian

or Overinterpretation? CNS Spectr. 2008;13(9):790-795
: Cukup baik

Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul
Metodologi Penelitian
Hasil
Kesimpulan
Refrensi

:
:
:
:
:
:
:

Beth McHugh, Rajeev Khrisnadas MD,
2011
Guide to safely withdrawing antidepressants in primary care
Cukup baik
Beth McHugh, Rajeev Khrisnadas MD, Guide to safely withdrawing
antidepressants in primary care, 2011, Stopping Drug Presciber

13

Penilaian

Guideline
: Kurang Baik

Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul
Metodologi Penelitian
Hasil
Kesimpulan
Refrensi

:
:
:
:
:
:
:

Penilaian

Yogyakarta: Bursa Ilmu.
: Baik

Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Judul

: Verena Engkel et al
: 2008
: Does early improvement triggered by antidepressants predict

Prof. Zullies Ikawati ph. D, Apt.
2011
Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat
Buku
Ikawati, Zullies. 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat .

response/remission? — Analysis of data from a naturalistic study on a
Metodologi Penelitian

large sample of inpatients with major depression
: Ini merupakan salah satu studi prospektif. Semua pasien (N = 795)
yang dirawat di rumah sakit dan memenuhi kriteria DSM-IV untuk
depresi menurut wawancara klinis terstruktur (SCID). Penilaian
dilakukan dua kali seminggu. Beberapa definisi perbaikan awal (20%,
25% dan pengurangan 30% di Hamd-21 awal skor total) pada dua
kunjungan yang berbeda diuji. Sensitivitas, spesifisitas dan prediksi
nilai dihitung untuk definisi yang berbeda dari perbaikan awal. ROCanalisis serta model regresi logistik telah dilakukan. Respon
didefinisikan sebagai peningkatan 50% dari total dasar Hamd-21 skor
dan remisi sebagai skor ≤7 di debit. Selain itu, waktu respon dianalisis
dengan menghitung perkiraan survival dari Kaplan-Meier. Definisi
perbaikan awal dibandingkan dengan peningkatan non awal. Analisis
subkelompok dilakukan untuk menguji apakah hasilnya konsisten di

Hasil

seluruh subkelompok perawatan.
: Hasilnya 48,8% dari pasien dalam sampel kami melakukan
penggantian. Tingkat respons keseluruhan adalah 79,6%. Penurunan
20% dari Hamd-21 skor total awal di hari 14 memberikan sensitivitas
75% dan spesifisitas 59% untuk prediksi respon. Artinya perbaikan

14

awal lebih sensitif untuk remisi (80%) dengan kekhususan yang
terbatas (43%). Nilai AUC sekitar 0,68 untuk respon awal
(peningkatan 20%) menunjukkan prediktabilitas yang baik untuk
kedua interval waktu diuji (Hari 14 dan Hari 28) dan berubah hanya
sedikit dengan peningkatan persentase pengurangan skor (AUC = 0,71
dan 0,73, masing-masing). Lebih dari sepertiga (37%) dari semua
pasien yang tidak membaik pada hari ke-14 menunjukkan tidak respon
dalam program perawatan selanjutnya (ini adalah kasus selama hampir
setengah dari semua pasien (43%) pada Hari 28). Hasil yang sama
diperoleh oleh Kaplan-Meier. Log-rank test menunjukkan waktu jauh
lebih lama untuk respon pada pasien dengan peningkatan non-awal (p
Kesimpulan