Karakter Bangsa yang berBhineka Tunggal
Karakter Bangsa yang berBhineka Tunggal IKa: Peran PPKn dalam
Merivitalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum 2013.
Oleh:
Candra Cuga1
Yuliadhani
Abstrak
Dalam konteks kekinian bila melihat kebijakan nasional dalam upaya pelaksanaan
kurikulum 2013. Hal ini merupakan momentum untuk kembali mengkaji
(revitalisasi) dan mengartikulasikan berbagai persoalan bangsa, terutama dalam
kaitannya moralitas warga negara yang kian jauh dari cita-cita dan falasafa
Pancasila sebagai rujukan hakekat kenegaraan dalam melakoni kehidupan seharihari. Tentu saja, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai
Pancasila melalui sistem pendidikan nasional di setiap jenis, jenjang, dan jalur
pendidikan melalui PPKn itu sendiri. Adanya kurikulum PPKn 2013 menuntut
perlunya penghayatan baru kita terhadap PPKn sebagai suatu konsep
keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada
gilirannya dapat menumbuhkan “civic intelligence” dan “civic participation” serta
“civic responsibility” sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia yang
mampu mengembangkan rasa nasionalisme yang tinggi yakni manusia
Pancasilais.
Kata Kunci: PPKn, Kurikulum 2013, Pancasila, Karakter Bangsa
Pendahuluan
Dinamika demokratisasi yang terjadi dalam negara Indonesia yang dibayangi
oleh isu-isu global kontemporer ikut berpengaruh terhadap eksistensi dan relevansi
ideologi dalam menata kehidupan yang kian tidak menampakkan batas-batas wilayah
sehingga muncul warga non state atau lebih dikenal dengan netcitizen atau bahkan global
citizen. Selain itu, isu-isu global kontemporer atau globalisasi juga mengakibatkan
kebangkrutan banyak ideologi baik universal maupun lokal tetapi pada pihak lain,
nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacam ethnonationalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Indonesia sebagai negara bangsa
yang memiliki karakteristik masyarakat yang multicultural bahkan plural menjadi
tantangan tersendiri untuk tetap terintegrasi pada bingkai kesatuan yang berBhineka
tunggal Ika.
Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis
moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis
ideologis, common platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang
plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya tiga faktor yang
membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi.
Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila
sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto
juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa
1
Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo.
382
melalui Penataran P4. Kedua , liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh
tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini
memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan
agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi
common platform dalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi
daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak
diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat
tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja
maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra, 2008: 3).
Padahal sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945,
Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup,
ideology nasional, dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Dengan demikian, Pancasila adalah dasar
statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dimanis,
yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti
itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan huluan
keselamatan bangsa. Soekarno melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa
Indonesia itu secara padat dan meyakinkan:
Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschaung, satu dasar falsafah,
Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya
Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Marauke hanyalah dapat bersatu
pada diatas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk
diatasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada
hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan
segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit
terutam sekali, imprealisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan
melawan imprealisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan
sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua
bangsa yang cara berjoangannya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara
berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada
hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian yang
terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam
perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya (Soekarno
dalam Latif Y, 2011: 41)
Pernyataan yang diungkapkan oleh Soekarno dalam melukiskan urgensi
Pancasila memberi ilustrasi bahwa Negara Indonesia memiliki karakteristik
tersendiri, dan mempunyai landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas
dan visioner. Ini merupakan titik tolak dari sebuah tujuan dan cita-cita yang
fundamental bagi peradaban suatu bangsa. Pentingnya konsepsi dan cita-cita ideal
sebagai landasan moralitas suatu bangsa diamini oleh salah satu cendekiawan dan
politisi Amerika Serikat Jhon Gardner “No nation can achieve greatness unless it
believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain
a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika
bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu
memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Gardner dalam
(Latif Y, 2011: 42).
383
Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila
memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setip Sila
memiliki nilai-nilai luhur yang merupakan pengejewantahan dari justifikasi
historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati,
dipercaya, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaiaanpencapaian sebuah peradaban bangsa.
Kini permasalahannya adalah bagaimana memperdalam pemahaman,
penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada
setiap sila-sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian
diamalkan secara konsisten di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada bahasan ini, yang diperlukan adalah bagaimana merevitalisasi nilai-nilai
Pancasila sebagai gerakan massif dan menajadi agenda nasional yang terencana
dan epektif serta tepat sasaran. Baik melalui saluran politik, ekonomi, social,
budaya maupun dalam dunia Pendidikan.
Dalam konteks makalah ini, penulis ingin membatasi ruang lingkup
bahasannya dengan mencoba menelaah dan mengkaji lebih jauh bagaimana peran
bidang Pendidikan khususnya bidang kajian Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) sebagai wahana merevitalisasi nilai-nilai Pancasila
untuk manakar karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika.
PPKn sebagai wahana revitalisasi nilai-nilai Pancasila
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan salah
satu bidang kajian dalam konteks pendidikan nasional yang memiliki peran
strategis bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building )
ditengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Realitas pluralitas dan heterogenitas
tesebut tergambar dalam prinsip berbhineka, tetapi integrasi dalam kesatuan.
Untuk itu, PKn menemukan momentumnya menjadi topik sentral dalam
membangun negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, Masyarakat
multikultural Indoensia tidak bisa dibangun secara taken for granted atau trial
and error , sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis,
integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi yang bisa dilakukan
dalam konteks tersebut adalah melalui PPKn (Candra, 2012:1).
Hal ini tentu saja bukan hal baru untuk didiskusikan dalam wacana
akademik, akan tetapi menjadi urgen dalam konteks kekinian bila melihat
kebijakan nasional dalam upaya pelaksanaan kurikulum 2013. Hal ini merupakan
momentum untuk kembali mengkaji dan mengartikulasikan berbagai
persoalan bangsa, terutama dalam kaitannya moralitas warga negara yang
kian jauh dari cita-cita dan falasafa Pancasila sebagai rujukan hakekat
kenegaraan dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Tentu saja, pemerintah
melalui
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui
sistem pendidikan nasional di setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan melalui
PPKn itu sendiri.
Berdasarkan kurikulum 2013 yang baru diberlakukan untuk 6325 sekolah,
mata pelajaran “PKn” menjadi “PPKn” mendapat tambahan jam, dalam
pembelajarannya. Melalui pendekatan scientific, dan menggunakan model
384
pembelajaran problem based learning, discovery, dan project based learning. Hal
ini dilakukan agar pendidikan Pancasila tidak hanya pada tataran teori, namun
praktek dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari harus ditampilkan semenarik
mungkin (Etin Solihatin, 2013: 6)
Hemat penulis, perubahan nama mata pelajaran PKn menjadi PPKn
memang merupakan sebuah “niat baik” sebagai upaya meyakinkan kepada kita
akan pentingnya Pancasila sebagai landasan filosofis bagi bidang kajian PPKn,
tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang amat krusial. Hal yang paling esensi adalah
bagaimana peran pendidik (guru dan dosen) dengan “cermat dan cerdas”
melaksanakan proses pembelajaran di sekolah/perguruan tinggi melalui beragam
media, stategi dan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif serta sesuai
kebutuhan dan karakteristik peserta didik dalam membentuk karakter yang
berBhineka Tunggal Ika yang tidak lain wujudnya adalah karakter Pancasila itu
sendiri.
Memang patut disadari bahwa dalam konteks kenegaraan setiap rezim dan
pemimpin memiliki ”dialektika” dalam membangun bangsa tidak terkecuali dalam
kaitannya kebijakan nasional dalam bidang politik maupun pendidikan. Tiga
periodesasi yang dialami oleh bangsa Indonesia berpengaruh dalam tatanan
politik, hukum, ekonomi termasuk pendidikan itu sendiri. Bahkan UUD 1945
sebagai salah satu pilar bangsa mengalami amandemen yang menjadi bagian dari
dianamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, perubahan bukan sekedar
perihal nama semata, asal beda dari masa lalu, melainkan pada tataran substansi
kajian serta kinerja dan yang paling esensi adalah perubahan dalam implementasi
proses pembangunan perilaku serta karakter warga negara yang cerdas dan baik
(good and smart citizen).
Secara teoritis, dampak perubahan mendasar dalam konstitusi sebuah
negara- bangsa dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan. Hal ini pernah dikemukakan oleh para ahli politik, seperti Aristoteles
(dalam Barker,1995:90) yang mengemukakan bahwa secara konstitusional
“...different constitutions require different types of good citizen... because there
are different sorts of civic function ,” sedangkan Cogan dalam (Sapriya:2012: 51)
mengidentifikasi lima atribut kewarganegaraan yang mungkin akan berbeda di
tiap negara sesuai dengan sistem politik dan konstitusi negara masing-masing,
yakni: (1) a sense of identity; (2) the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment
of corresponding obligations; (4) a degree of interest and involvement in public
affairs; and (5) an acceptance of basic societal values. Bagi Indonesia,
pembangunan karakter kewarganegaraan akan memiliki kekhususan sesuai
dengan ideologi yang dianut, yakni Pancasila dan Konstitusi yang berlaku di
Indonesia, ialah UUD Negara RI 1945. Warga negara Indonesia yang baik yang
dicita-citakan/diharapkan adalah warga negara yang patriotik, demokratis, dan
Pancasilais (Sapriya, dkk:2012: 51).
Bila menlaah sejumlah komponen berpengaruh tersebut, komponen
pendidikan memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Pendidikan sebagai
wahana transformasi budaya, nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
bahkan seni telah menjadi pusat untuk pembangunan karakter bangsa baik melalui
jalur pendidikan formal maupun nonformal. Sejumlah bahan kajian dan mata
385
pelajaran pun telah ditawarkan, baik yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah
untuk jangka waktu tertentu maupun berdasarkan pada tuntutan perkembangan
zaman serta kebutuhan masyarakat. Salah satu bidang kajian yang telah menjadi
program pendidikan dan ditawarkan di Indonesia yang tetap eksis hingga kini
adalah PPKn. Bidang kajian ini secara akademik dikenal sebagai Civic Education
atau Citizenship Education. Bagaimana rasionalisasi bidang kajian PPKn
sehinggga masih senantiasa relevan dengan kebutuhan dan tuntutan bagi bentukan
karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika?
Civic education atau PPKn sebagai suatu bidang kajian ilmiah dan
sistem pembelajaran didasarkan pada paradigma pendidikan yang bertolak
dari, dikembangkan dengan kerangka, dan bermuara pada perwujudan citacita, nilai dan prinsip nasionalisme ke Indonesiaan, dengan menitikberatkan
pada pengembangan warga negara yang mampu dan terbiasa mengambil
keputusan yang cerdas dan bernalar.
Secara paradigmatik maka dapat dikatakan bahwa sistem PPKn memiliki
tiga komponen, yakni (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b)
program kurikuler PPKn; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, yang
secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan
pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan
keterampilan kewarganegaraan.
Apabila dilihat secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis,
PPKn memegang misi suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab (Winataputra dan Budimansyah, 2007:156). Hal tersebut
dapat ditelusuri dari rumusan pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang secara imperatif menggariskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.
Secara khusus PPKn dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”
(Penjelasan Pasal 37 ayat (1)). Dalam konteks itu pendidikan
kewarganegaraan atau PPKn pada dasarnya merupakan pendidikan
kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan
itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan
kewarganegaraan atau PPKn sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi,
dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan
“civic intelligence” dan “civic participation” serta “civic responsibility” sebagai
anak bangsa dan warga negara Indonesia yang mampu mengembangkan rasa
nasionalisme yang tinggi.
386
Disamping itu, PPKn sebagai pendidikan disiplin ilmu dengan identitas
bidang kajian eklektik yang dinamakan “an integrated system of knowledge”,
“synthetic discipline”, “multidimensional”, dan “kajian konseptual sistemik”
memiliki ontologi yang terdiri atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagai landasan pokok, Pancasila sebagai landasan filosofis, UUD 1945 sebagai
landasan normatif, dan perilaku warga negara sebagai landasan psikologis
sedangkan landasan material meliputi nusantara, manusia sebagai pribadi,
kekayaan alam dan budaya, kesadaran sebagai manusia, dan jatidiri sebagai
bangsa. Secara fungsional, PPKn memiliki dua tugas, yakni (1) tugas dalam
bidang telaah untuk membangun body of knowledge sesuai dengan
karakteristiknya sebagai scientific boundary line pendidikan disiplin ilmu yang
dikembangkan secara fungsional dan/atau hirarkhi dan (2) tugas dalam bidang
pengembangan untuk transformasi konsep, nilai, cita-cita, dan keterampilan hidup
berkewarganegaraan (Wahab dan Sapriya, 2011)
Apabila menelaah bahasan di atas PPKn sebagai program kurikuler dapat
menjadi wadah dalam merivitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai upaya
pembentukan karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika. Dalam Desain Induk
Pembangunan Karakter Bangsa (2010: 7) menyebutkan bahwa karakter bangsa
merupakan “kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang unik-baik tercermin
dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara
dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau
sekelompok orang”. Sehingga individu yang telah dijiwai oleh sila-sila Pancasila
melaksanakan nilai-nilai berikut :
1. Karakter yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa,
jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab berempati,
berani, mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa
patriotik
2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif,
inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi ipteks dan reflektif
3. Karakter yang bersumber dari olah raga antara lain: bersih, sehat, sportif,
tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif,
kompetitif, ceria, dan gigih
4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain,
kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah,
hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit, mengutamakan
kepentingan umum, cinta tanah air, bangga mengunakan bahasa dan
produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja (Desain Induk
Pembangunan Karakter Bangsa, 2010: 22).
Upaya membentuk karakter bangsa pada dasarnya adalah
proses
pewarisan nilai-nilai, cita-cita, dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi
negara serta pesan para pendiri negara (the founding fathers). Pancasila yang
memiliki nilai-nilai yang sangat fundamental untuk dikenalkan, dipahamkan dan
diperaktekkan kepada peserta didik. Yudi Latif dalam buku “Negara Paripurna”
melukiskan pokok-pokok moralitas Pancasila sebagai haluan kebangsaankenegaraan diantaranya adalah:
387
Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan
(religiositas) sebagai sumber etika dan spritualitas (yang bersifat verticaltransendental) dianggap penting sebagai fundamental kehidupan
bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah Negara sekuler yang
ekestrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” dan berpretensi untuk
menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas… sebagai negara
yang dihuni oleh penduduk dengan multi agama dan mutikeyakinan,
negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap
semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan…
Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusian
universal yang bersumber dari hokum Tuhan, hokum alam, dan sifat-sifat
social manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai
fundamen etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia itu
dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar,
Bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang
dimilikinya untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban
dunia…”. Kedalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak
dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat
persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”.
Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, dalam internalisasi nilai-nilai
persaudaraan kemanusiaa, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan
yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari
kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi
kebangsaan yang mengekpresikan persatuan dalam keberagaman, dan
keberagaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan
dengan ungkapan “bhineka tunggal ika”…
Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai
kemanusian serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan
yang dipimpin oleh hikamat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi
permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan
daulat rakyat, ketika kebebasan politik dengan kesetaraan ekonomi yang
menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka “musyawarah
mufakat”…
Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai
kemanusaian, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan
itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan
social. Di satu sisi, perwujudan keadilan social itu harus mencerminkan
imperative etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman
sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan social dalam
prikehidupan kebangsaan… (Latif Y, 2011: 42-45)
Lebih jauh Sumantri, (2008) memberi cirri-ciri manusia Indonesia dalam
mengamalkan prinsip dan nilai-nilai Pancasila. Diantaranya adalah:
388
1. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa Prinsip ini meminta masyarakat
Indonesia mengakui keberadaan Tuhan, dengan kata lain prinsip
percaya pada Tuhan YME mencerminkan kepercayaan rakyat
Indonesia terhadap kehidupan setelah hidup di dunia atau alam baka…
Ciri-ciri manusia seperti di atas adalah pencerahan, toleransi,
berpandangan luas, hormat, kerjasama, harmonis, keadilan, kebenaran,
kewajaran, kenetralan dan kebijaksanaan. Monoteisme diasumsikan
dalam keyakinan ini.
2. Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab berharap manusia untuk
diperlakukan secara bermartabat sesuai dengan makhluk ciptaan
Tuhan. Tujuan utama dari keyakinan ini adalah keselarasan antara
nasional dan internasional... Jika dalam pandangan Tuhan semua
manusia sama. Kalau begitu pasti terdapat persaudaraan diantara
mereka. Ciri-ciri manusia seperti di atas adalah kelurusan moral, tidak
berpihak terhadap politisi, kesadaran global, penghormatan terhadap
rakyat lain, komitmen untuk kebenaran dan keadilan, bermartabat dan
kemanusiaan.
3. Prinsip Persatuan Indonesia mempromosikan tentang nasionalisme,
cinta tanah air dan kebutuhan untuk selalu memelihara kesatuan negara
dan mempromosikan integrasi nasional. Tujuan utama dari keyakinan
ini adalah menjaga keserasian nasional dan dunia berdasarkan pada
kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian dunia. Ciri-ciri manusia
seperti diatas yakni sikap nasionalis, cinta tanah air, saling menolong,
pengorbanan diri, keberanian, perdamaian dan tanggung jawab.
4. Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan menekankan bahwa demokrasi Pancasila
yang terinspirasi dan menyatu dengan prinsip lain Pancasila…Tujuan
utama dari keyakinan ini untuk mendirikan, menjaga dan
meningkatkan kesepakatan demokrasi untuk pembangunan bangsa dan
negara. Rakyat Indonesia percaya bahwa pernyataan berikut ini benar
”bahwasanya manusia itu berdaulat”, dan mereka mewakilkan
kedaulatan meraka pada Dewan Perakilan Rakyat yang mereka pilih.
Setiap rakyat diharapkan untuk memiliki kepercayaan di
masyarakatnya dan percaya pada kesederajatan objektivitas dan
kejujuran.
5. Prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bertujuan pada
pembagian kesejahteraan yang adil diantara manusia, tidak dengan
cara statis tapi denga cara dinamis dan progresif…Tujuan utama dari
prinsip ini adalah keselaran sosial dan keberadaan yang diterima baik.
Ciri-ciri manusi bekerja untuk kemulian sosial dan bekerja untuk
mengakhiri eksploitasi. Kerjaan ini membutuhkan ketulusan,
kemanusiaan, kehormatan dan kepatuhan. Untuk meningkatkan
integritas sosial, keterbukaan pikiran, kekeluargan dan penghormatan
sosial budaya sebagai sesuatu yang penting (Sumantri, 2008: 99-105)
Demikianlah para pendiri bangsa ini telah mewariskan suatu dasar fasafah
dan pandangan hidup negara yang begitu visioner dan fundamental. Suatu dasar
389
falasafah yang memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang
kuat, sehingga apabila dipahami secara mendalam, diyakini secara teguh, dan
diamalkan secara konsisten diyakini dapat membentuk karakter bangsa yang
Berbhineka Tunggal Ika. Dengan demikian pokok-pokok moralitas, prinsip dan
nilai-nilai Pancasila harus mampu diimpelmentasikan dalam kurikulum PPKn
2013 sebagai wadah membentuk good and smart citizen.
Guru dalam Kurikulum 2013 dan Guru sebagai Hidden Curriculum
Berdasarkan hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 27-29
Mei 2011, dengan 12.056 responden yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, ibu
rumah tangga, pengusaha, tokoh masyarakat, TNI, POLRI dan lainnya, di 33
provinsi. Adapun pertanyaan yang diajukan “Bagaimana cara yang tepat untuk
memahami Pancasila?” Hasilnya 30% melalui pendidikan, 19% keteladanan
pejabat negara dan pemerintah, 14% keteladanan tokoh masyarakat, 12% melalui
media massa, 10% ceramah keagamaan. Pertanyaan selanjutnya “Siapa yang
paling tepat melakukan edukasi dan sosialisasi Pancasila?” Hasilnya 43%
responden menyatakan para guru dan dosen, 28% tokoh masyarakat dan pemuka
agama, 20% badan khusus pemerintah, 3% elit politik. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa dunia pendidikan termasuk di dalamnya guru dan dosen
sebaiknya menjadi ujung tombak dalam revitalisasi (menghidupkan atau
menggiatkan kembali) nilai-nilai Pancasila. Namun dalam melakukan revitalisasi
harus didukung, difasilitasi oleh semua unsur dalam negara ini (tidak bisa
sendirian), baik lembaga negara, pejabat negara, pemerintah, tokoh masyarakat,
pemuka agama, dan media. Dengan demikian secara bersama-sama melaksanakan
revitalisasi nilai-nilai Pancasila di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
(Etin Solihatin, 2013: 8).
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie (2012) mengungkapkan bahwa dalam
bidang pendidikan, Pancasila harus tercerminkan (i) dalam kebijakan materi
(kurikulum dan satuan ajar) pendidikan, dan (ii) dalam proses kegiatan belajar
mengajar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak
sampai ke Perguruan Tinggi. Materi pendidikan dapat dikembangkan bersifat
khusus berupa mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila dan UUD 1945, akan
tetapi yang jauh lebih penting adalah menempatkan Pancasila dan UUD 1945
dalam proses belajar mengajar. Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 selama ini
hanya dilihat dalam perspektif kurikulum berbasis konten (content based
curriculum) dan dengan orientasi pada hasil atau keluaran (output oriented
policy). Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 juga harus dilihat dan bahkan
terutama sebagai proses kegiatan belajar mengajar melalui mana nilai-nilai dan
prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945 dipraktikkan dalam kegiatan nyata.
Meski mata kuliah atau mata pelajarannya tidak ada, tetapi kegiatan belajar
mengajar dilakukan dalam rangka praktik penerapan nilai-nilai luhur Pancasila
dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945, maka pendidikan
demikian tentu dapat lebih diandalkan untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945 daripada kegiatan pendidikan yang mengandalkan kurikulum secara
kuantitatif. Dengan demikian, nilai-nilai pendidikan Pancasila dan UUD 1945
haruslah tercermin dalam:
390
1. Kurikulum pendidikan dan materi satuan ajar atau materi satuan acara
perkuliahan;
2. Kebijakan kegiatan belajar mengajar yang mempraktikkan dan
menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
3. Di samping itu, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 harus pula
dicontohkan dalam teladan perilaku para guru, pengurus sekolah,
dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan semua pihak yang mempunyai
kedudukan menentukan atau lebih menentukan, sehingga orang lain
dapat belajar mengenai bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD
1945 diterapkan dalam perilaku nyata dalam kegiatan praktik.
(Asshiddiqie, 2011:12-13).
Pemikiran dan gagasan yang diungkapkan oleh beberapa kalangan terkait
dengan pentingnya peran Pendidikan untuk melakukan revitalisasi nilai-nilai
Pancasila dapat ditemukan jawabannya dalam naskah akademik yakni kurikulum
2013, tidak terkecuali bidang mata pelajaran PPKn yang juga mengalami
perubahan yang cukup siginifikan sehingga dibutuhkan penelaan lebih jauh dalam
menerjemahkan maksud dan cara mengimpelementasikan dalam tahapan praktis.
Ini juga harus menjadi tugas dan kewajiban para pendidik, pemerhati dan penggiat
PPKn sehingga tidak salah kaprah dalam mengartikulasikan kurikulum tersebut.
Berdasarkan draf Lampiran Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan baik untuk jenjang SMP
maupun SMA, keluaran Puskurbuk 2012, muatan Pancasila dapat ditelusuri dari
rumusan-rumasan pada Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan penjabaran dari
lebih lanjut dari Kompetensi Inti (KI). Kemudian KI inilah yang
mengorganisasikan KD dalam 4 cakupan yakni KI (1) Sikap, KI (2) Sikap
spiritual, KI (3) Sikap Sosial dan KI (4) Keterampilan. Ini menunjukkan luaran
yang diingkinkan oleh Kurikulum 2013 yakni warga negara yang memiliki
kecerdasan intelektual, spiritual, sosial dan emosional.
Lebih jauh, bila menulusuri draf metodologi pembelajaran dan penilaiaan
PPKn tahun 2012, maka empat pilar bangsa menjadi muatan materi yang memiliki
ruang lingkup Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika). Hal tersebut dapat dilihat dari substansi
materi dalam PPKn yang meliputi Pancasila sebagai dasar negara, ideology dan
pandangan hidup bangsa, UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi
landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kesepakatan final bentuk Negara
Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud filosofi kesatuan
dibalik keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara bangsa.
(Winarno, 2013:4).
Untuk menjabarkan materi tersebut harus bermuara pada kompetensi
kewarganegaraan. Secara teoritis, civic competence bermuara pada tiga hal yakni
civic kenowlodge (pengetahuan), civic disposition (watak) dan civic skill
(keterampilan) (Branson, 1998). Jika disandingkan dengan konsep Bloom maka
(1965) mencakup tiga ranah yakni kognetif, apektif, dan psikomotorik. Dalam
kurikulum 2013, tampaknya ranah apektif dan psikomotorik mendapat temapat
391
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ranah kognetif itu sendiri yang pada
kurikulum sebelumnya justru mewarnai materi dan kompetensi yang harus
dicapai.
Akan tetapi, keberhasilan pembelajaran PPKn tidak hanya tergantung pada
kemampuan pendidik dalam mengembangkan kompetensi dan materi
pembelajaran saja, tetapi juga didukung oleh metode pembelajaran yang
tepat. Pemilihan metode yang tepat dalam proses pembelajaran PKn akan
sangat membantu guru maupun siswa untuk mencapai keberhasilan pembelajaran
yang dilaksanakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, mestinya ada sejumlah pendekatan
pembelajaran yang dapat diterapakan dan dikembangkan. Pembelajaran PKn
dapat menerapkan pendekatan pembelajaran orang dewasa (adult
learning/andragogy). Penerapannya lebih menekankan pada paradigma
humanistik, dan pengalaman belajar kontekstual (learning expriences and
contextual) agar proses pembelajaran menjadi menyenangkan, lebih bermakna,
dialogis, partisipatif dan kreatif. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu digunakan
strategi-strategi pembelajaran yang mampu mendekatkan peserta didik pada
realitas sosial, dimana peserta didik bisa menemukan jati dirinya sebagai manusia
yang sadar akan tanggungjawab individu dan sosial (learning to be), terdorong
untuk berbuat sesuatu (learning to do) dan dapat membangun kehidupan bersama
(learning to live together) (Rosyada dkk, 2004:22)
Meskipun adanya kurikulum PPKn 2013, guru sebagai hidden Currikulum
menjadi sesuatu yang sangat penting dalam merivitalisasi nilaii-nilai Pancasila
dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebagai kurikulum yang baru, kemampuan
duru sebagai pedagok yang kreatif harus mampu mengeksplor dan
mengartikulasikan kemungkinan dan alternative yang dapat ditempuh dalam
mengimpelemntasikan kurikum PPKn 2013. Hal tesebut sebagaimana temuan
Candra (2012) sebagai grounded theory dalam bahwa ada beberapa kompetensi
atau kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dan dosen dalam melaksanakan
pembelajaran PPKn sebagai wahana pendidikan multicultural dalam upaya
membentuk karakter warga negara yang multicultural-Bhineka Tunggal Ika: (a)
memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas; (b) terbuka dan fleksibel dalam
mengelola keragaman peserta didik; (c) memfasilitasi peserta didik dalam ruang
yang demokratis; (d) mampu berkolaborasi dengan pihak mana pun dalam
rangka pengembangan materi dan strategi pembelajaran (e) menguasai berbagai
pendekatan dan teknik pembelajaran yang mampu megintegrasikan berbagai
perbedaan peserta didik, (f) mampu menjadikan lingkungan budaya menjadi
sumber belajar, (g) mampu menjadi role mode sebagai warga negara
mulitkultural, dan (h) mampu sebagai hidden curriculum dalam pembelajaran.
(Candra, 2012: 297). (adaptasi dari temuan penelitian tersebut).
Berbagai kompetensi guru yang ditunjukkan di atas, menjadi penting
dalam menghadapi kurikulum PPKn 2013, yang masih membutuhkan waktu dan
tenaga serta pemikiran dalam menangkap substansi untuk dipraktekkan dalam
proses pembelajaran. Dibutuhkan kemampuan pedagok (guru/dosen) sebagai role
mode dalam mendesiminasikan nilai-nilai Pancasila sebagai (nurturant effects)
sebagai “hidden curriculum” yang selama lebih banyak menekankan justru
392
menekan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada
penguasaan materi (content matery) atau dengan kata lain hanya menekankan
pada dimensi kognitifnya saja
Simpulan
Upaya untuk melakukan revitalisai nilai-nilai Pancasila dalam bidang
Pendidikan merupakan langkah yang strategis untuk mewujudkan karakter bangsa
yang berbhineka tunggal ika. PPKn sebagai mata pelajaran dan juga merupakan
salah satu bidang kajian yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam
membentuk good and smart citizen. Dimana misi suci (mission sacre) dari
PPKn itu sendiri yakni membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan
manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Adanya kurikulum PPKn 2013 menuntut perlunya penghayatan baru kita
terhadap PPKN sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis
pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan “civic
intelligence” dan “civic participation” serta “civic responsibility” sebagai anak
bangsa dan warga negara Indonesia yang mampu mengembangkan rasa
nasionalisme yang tinggi yakni manusia Pancasilais.
Daftar PUstaka
Aristotle. (alih bahasa: Ernest Barker, revisi R.F. Stanley). (1995). Politics. New
York: Oxford University Press.
Asshiddiqie, J. (2011). Membudayakan nilai-nilai pancasila dan Kaedah-kaedah
Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945. Kongres 1 Kongres
Pancasila III, diselenggarakan atas kerjasama Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan Universitas Airlangga, di Surabaya, 1 Juni, 2011
(Makalah). Diakses pada tanggal 9 desember 2013.
Azra,
A. (2008). Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif
Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. (Makalah) Semula
disampaikan sebagai makalah Round Table Discussion, Eksistensi
Pancasila sebagai Ideologi dan Pandangan Hidup Bangsa di Tengah
Pergeseran Peradaban Dunii, Lemhanas, 13 Nopember 2007.dimuat pada
alamat http://www.setneg.go.id. Diakses pada tanggal 10 desember 2013.
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.
Candra, C. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan
Multikultural dalam membangun warga negara demokratis (Penelitian
grounded Theory pada Universitas Negeri Jakarta. Tesis PKn SPs UPI,
Bandung: tidak diterbitkan.
Etin, Solihatin, (2013). Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila di Bidang Politik,
Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Perspektif Dunia Pendidikan.” .”
MPR RI dengan Universitas Negeri Jakarta, tanggal 2 Desember 2013 di
Gedung Dharma Wanita Patra Jasa Cempaka Putih (makalah). Diakses
pada tanggal 10 desember 2013.
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
393
Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Desain Induk Pembangunan Karakter
Bangsa Tahun 2010-2025.
Rosyada, Dede, dkk . (2004). Buku Panduan Dosen Pendidikan Kewarganegaran
(Civic Education). ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dan The Asia
Foundation.
Sapriya dkk (ed). (2012). Transformasi 4 Pilar Kebangsaan Dalam Mengatasi
Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung: CV Maulana Media Grafika.
Sumantri, E. (2008). An Outline Civic Education in South-Asia.Bandung:
Rajawali.
Wahab, Aziz & Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Winarno, (2013). Pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui Pendidikan
Kewarganegaraan di Sekolah (analisis isi kurikulum PPKn 2013).
Makalah disajikan pada sesi panel Kongres Pancasila di UGM,
Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni 2013. Diakses pada tanggal 10
Desember 2013.
Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007) Civic Education: Konteks,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
394
395
396
397
398
399
400
Merivitalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum 2013.
Oleh:
Candra Cuga1
Yuliadhani
Abstrak
Dalam konteks kekinian bila melihat kebijakan nasional dalam upaya pelaksanaan
kurikulum 2013. Hal ini merupakan momentum untuk kembali mengkaji
(revitalisasi) dan mengartikulasikan berbagai persoalan bangsa, terutama dalam
kaitannya moralitas warga negara yang kian jauh dari cita-cita dan falasafa
Pancasila sebagai rujukan hakekat kenegaraan dalam melakoni kehidupan seharihari. Tentu saja, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai
Pancasila melalui sistem pendidikan nasional di setiap jenis, jenjang, dan jalur
pendidikan melalui PPKn itu sendiri. Adanya kurikulum PPKn 2013 menuntut
perlunya penghayatan baru kita terhadap PPKn sebagai suatu konsep
keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada
gilirannya dapat menumbuhkan “civic intelligence” dan “civic participation” serta
“civic responsibility” sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia yang
mampu mengembangkan rasa nasionalisme yang tinggi yakni manusia
Pancasilais.
Kata Kunci: PPKn, Kurikulum 2013, Pancasila, Karakter Bangsa
Pendahuluan
Dinamika demokratisasi yang terjadi dalam negara Indonesia yang dibayangi
oleh isu-isu global kontemporer ikut berpengaruh terhadap eksistensi dan relevansi
ideologi dalam menata kehidupan yang kian tidak menampakkan batas-batas wilayah
sehingga muncul warga non state atau lebih dikenal dengan netcitizen atau bahkan global
citizen. Selain itu, isu-isu global kontemporer atau globalisasi juga mengakibatkan
kebangkrutan banyak ideologi baik universal maupun lokal tetapi pada pihak lain,
nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacam ethnonationalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Indonesia sebagai negara bangsa
yang memiliki karakteristik masyarakat yang multicultural bahkan plural menjadi
tantangan tersendiri untuk tetap terintegrasi pada bingkai kesatuan yang berBhineka
tunggal Ika.
Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis
moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis
ideologis, common platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang
plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya tiga faktor yang
membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi.
Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila
sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto
juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa
1
Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo.
382
melalui Penataran P4. Kedua , liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh
tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini
memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan
agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi
common platform dalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi
daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak
diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat
tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja
maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra, 2008: 3).
Padahal sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945,
Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup,
ideology nasional, dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Dengan demikian, Pancasila adalah dasar
statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dimanis,
yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti
itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan huluan
keselamatan bangsa. Soekarno melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa
Indonesia itu secara padat dan meyakinkan:
Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschaung, satu dasar falsafah,
Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya
Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Marauke hanyalah dapat bersatu
pada diatas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk
diatasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada
hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan
segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit
terutam sekali, imprealisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan
melawan imprealisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan
sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua
bangsa yang cara berjoangannya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara
berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada
hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian yang
terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam
perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya (Soekarno
dalam Latif Y, 2011: 41)
Pernyataan yang diungkapkan oleh Soekarno dalam melukiskan urgensi
Pancasila memberi ilustrasi bahwa Negara Indonesia memiliki karakteristik
tersendiri, dan mempunyai landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas
dan visioner. Ini merupakan titik tolak dari sebuah tujuan dan cita-cita yang
fundamental bagi peradaban suatu bangsa. Pentingnya konsepsi dan cita-cita ideal
sebagai landasan moralitas suatu bangsa diamini oleh salah satu cendekiawan dan
politisi Amerika Serikat Jhon Gardner “No nation can achieve greatness unless it
believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain
a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika
bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu
memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Gardner dalam
(Latif Y, 2011: 42).
383
Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila
memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setip Sila
memiliki nilai-nilai luhur yang merupakan pengejewantahan dari justifikasi
historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati,
dipercaya, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaiaanpencapaian sebuah peradaban bangsa.
Kini permasalahannya adalah bagaimana memperdalam pemahaman,
penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada
setiap sila-sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian
diamalkan secara konsisten di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada bahasan ini, yang diperlukan adalah bagaimana merevitalisasi nilai-nilai
Pancasila sebagai gerakan massif dan menajadi agenda nasional yang terencana
dan epektif serta tepat sasaran. Baik melalui saluran politik, ekonomi, social,
budaya maupun dalam dunia Pendidikan.
Dalam konteks makalah ini, penulis ingin membatasi ruang lingkup
bahasannya dengan mencoba menelaah dan mengkaji lebih jauh bagaimana peran
bidang Pendidikan khususnya bidang kajian Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) sebagai wahana merevitalisasi nilai-nilai Pancasila
untuk manakar karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika.
PPKn sebagai wahana revitalisasi nilai-nilai Pancasila
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan salah
satu bidang kajian dalam konteks pendidikan nasional yang memiliki peran
strategis bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building )
ditengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Realitas pluralitas dan heterogenitas
tesebut tergambar dalam prinsip berbhineka, tetapi integrasi dalam kesatuan.
Untuk itu, PKn menemukan momentumnya menjadi topik sentral dalam
membangun negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, Masyarakat
multikultural Indoensia tidak bisa dibangun secara taken for granted atau trial
and error , sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis,
integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi yang bisa dilakukan
dalam konteks tersebut adalah melalui PPKn (Candra, 2012:1).
Hal ini tentu saja bukan hal baru untuk didiskusikan dalam wacana
akademik, akan tetapi menjadi urgen dalam konteks kekinian bila melihat
kebijakan nasional dalam upaya pelaksanaan kurikulum 2013. Hal ini merupakan
momentum untuk kembali mengkaji dan mengartikulasikan berbagai
persoalan bangsa, terutama dalam kaitannya moralitas warga negara yang
kian jauh dari cita-cita dan falasafa Pancasila sebagai rujukan hakekat
kenegaraan dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Tentu saja, pemerintah
melalui
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui
sistem pendidikan nasional di setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan melalui
PPKn itu sendiri.
Berdasarkan kurikulum 2013 yang baru diberlakukan untuk 6325 sekolah,
mata pelajaran “PKn” menjadi “PPKn” mendapat tambahan jam, dalam
pembelajarannya. Melalui pendekatan scientific, dan menggunakan model
384
pembelajaran problem based learning, discovery, dan project based learning. Hal
ini dilakukan agar pendidikan Pancasila tidak hanya pada tataran teori, namun
praktek dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari harus ditampilkan semenarik
mungkin (Etin Solihatin, 2013: 6)
Hemat penulis, perubahan nama mata pelajaran PKn menjadi PPKn
memang merupakan sebuah “niat baik” sebagai upaya meyakinkan kepada kita
akan pentingnya Pancasila sebagai landasan filosofis bagi bidang kajian PPKn,
tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang amat krusial. Hal yang paling esensi adalah
bagaimana peran pendidik (guru dan dosen) dengan “cermat dan cerdas”
melaksanakan proses pembelajaran di sekolah/perguruan tinggi melalui beragam
media, stategi dan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif serta sesuai
kebutuhan dan karakteristik peserta didik dalam membentuk karakter yang
berBhineka Tunggal Ika yang tidak lain wujudnya adalah karakter Pancasila itu
sendiri.
Memang patut disadari bahwa dalam konteks kenegaraan setiap rezim dan
pemimpin memiliki ”dialektika” dalam membangun bangsa tidak terkecuali dalam
kaitannya kebijakan nasional dalam bidang politik maupun pendidikan. Tiga
periodesasi yang dialami oleh bangsa Indonesia berpengaruh dalam tatanan
politik, hukum, ekonomi termasuk pendidikan itu sendiri. Bahkan UUD 1945
sebagai salah satu pilar bangsa mengalami amandemen yang menjadi bagian dari
dianamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, perubahan bukan sekedar
perihal nama semata, asal beda dari masa lalu, melainkan pada tataran substansi
kajian serta kinerja dan yang paling esensi adalah perubahan dalam implementasi
proses pembangunan perilaku serta karakter warga negara yang cerdas dan baik
(good and smart citizen).
Secara teoritis, dampak perubahan mendasar dalam konstitusi sebuah
negara- bangsa dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan. Hal ini pernah dikemukakan oleh para ahli politik, seperti Aristoteles
(dalam Barker,1995:90) yang mengemukakan bahwa secara konstitusional
“...different constitutions require different types of good citizen... because there
are different sorts of civic function ,” sedangkan Cogan dalam (Sapriya:2012: 51)
mengidentifikasi lima atribut kewarganegaraan yang mungkin akan berbeda di
tiap negara sesuai dengan sistem politik dan konstitusi negara masing-masing,
yakni: (1) a sense of identity; (2) the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment
of corresponding obligations; (4) a degree of interest and involvement in public
affairs; and (5) an acceptance of basic societal values. Bagi Indonesia,
pembangunan karakter kewarganegaraan akan memiliki kekhususan sesuai
dengan ideologi yang dianut, yakni Pancasila dan Konstitusi yang berlaku di
Indonesia, ialah UUD Negara RI 1945. Warga negara Indonesia yang baik yang
dicita-citakan/diharapkan adalah warga negara yang patriotik, demokratis, dan
Pancasilais (Sapriya, dkk:2012: 51).
Bila menlaah sejumlah komponen berpengaruh tersebut, komponen
pendidikan memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Pendidikan sebagai
wahana transformasi budaya, nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
bahkan seni telah menjadi pusat untuk pembangunan karakter bangsa baik melalui
jalur pendidikan formal maupun nonformal. Sejumlah bahan kajian dan mata
385
pelajaran pun telah ditawarkan, baik yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah
untuk jangka waktu tertentu maupun berdasarkan pada tuntutan perkembangan
zaman serta kebutuhan masyarakat. Salah satu bidang kajian yang telah menjadi
program pendidikan dan ditawarkan di Indonesia yang tetap eksis hingga kini
adalah PPKn. Bidang kajian ini secara akademik dikenal sebagai Civic Education
atau Citizenship Education. Bagaimana rasionalisasi bidang kajian PPKn
sehinggga masih senantiasa relevan dengan kebutuhan dan tuntutan bagi bentukan
karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika?
Civic education atau PPKn sebagai suatu bidang kajian ilmiah dan
sistem pembelajaran didasarkan pada paradigma pendidikan yang bertolak
dari, dikembangkan dengan kerangka, dan bermuara pada perwujudan citacita, nilai dan prinsip nasionalisme ke Indonesiaan, dengan menitikberatkan
pada pengembangan warga negara yang mampu dan terbiasa mengambil
keputusan yang cerdas dan bernalar.
Secara paradigmatik maka dapat dikatakan bahwa sistem PPKn memiliki
tiga komponen, yakni (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b)
program kurikuler PPKn; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, yang
secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan
pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan
keterampilan kewarganegaraan.
Apabila dilihat secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis,
PPKn memegang misi suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab (Winataputra dan Budimansyah, 2007:156). Hal tersebut
dapat ditelusuri dari rumusan pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang secara imperatif menggariskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.
Secara khusus PPKn dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”
(Penjelasan Pasal 37 ayat (1)). Dalam konteks itu pendidikan
kewarganegaraan atau PPKn pada dasarnya merupakan pendidikan
kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan
itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan
kewarganegaraan atau PPKn sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi,
dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan
“civic intelligence” dan “civic participation” serta “civic responsibility” sebagai
anak bangsa dan warga negara Indonesia yang mampu mengembangkan rasa
nasionalisme yang tinggi.
386
Disamping itu, PPKn sebagai pendidikan disiplin ilmu dengan identitas
bidang kajian eklektik yang dinamakan “an integrated system of knowledge”,
“synthetic discipline”, “multidimensional”, dan “kajian konseptual sistemik”
memiliki ontologi yang terdiri atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagai landasan pokok, Pancasila sebagai landasan filosofis, UUD 1945 sebagai
landasan normatif, dan perilaku warga negara sebagai landasan psikologis
sedangkan landasan material meliputi nusantara, manusia sebagai pribadi,
kekayaan alam dan budaya, kesadaran sebagai manusia, dan jatidiri sebagai
bangsa. Secara fungsional, PPKn memiliki dua tugas, yakni (1) tugas dalam
bidang telaah untuk membangun body of knowledge sesuai dengan
karakteristiknya sebagai scientific boundary line pendidikan disiplin ilmu yang
dikembangkan secara fungsional dan/atau hirarkhi dan (2) tugas dalam bidang
pengembangan untuk transformasi konsep, nilai, cita-cita, dan keterampilan hidup
berkewarganegaraan (Wahab dan Sapriya, 2011)
Apabila menelaah bahasan di atas PPKn sebagai program kurikuler dapat
menjadi wadah dalam merivitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai upaya
pembentukan karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika. Dalam Desain Induk
Pembangunan Karakter Bangsa (2010: 7) menyebutkan bahwa karakter bangsa
merupakan “kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang unik-baik tercermin
dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara
dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau
sekelompok orang”. Sehingga individu yang telah dijiwai oleh sila-sila Pancasila
melaksanakan nilai-nilai berikut :
1. Karakter yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa,
jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab berempati,
berani, mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa
patriotik
2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif,
inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi ipteks dan reflektif
3. Karakter yang bersumber dari olah raga antara lain: bersih, sehat, sportif,
tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif,
kompetitif, ceria, dan gigih
4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain,
kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah,
hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit, mengutamakan
kepentingan umum, cinta tanah air, bangga mengunakan bahasa dan
produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja (Desain Induk
Pembangunan Karakter Bangsa, 2010: 22).
Upaya membentuk karakter bangsa pada dasarnya adalah
proses
pewarisan nilai-nilai, cita-cita, dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi
negara serta pesan para pendiri negara (the founding fathers). Pancasila yang
memiliki nilai-nilai yang sangat fundamental untuk dikenalkan, dipahamkan dan
diperaktekkan kepada peserta didik. Yudi Latif dalam buku “Negara Paripurna”
melukiskan pokok-pokok moralitas Pancasila sebagai haluan kebangsaankenegaraan diantaranya adalah:
387
Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan
(religiositas) sebagai sumber etika dan spritualitas (yang bersifat verticaltransendental) dianggap penting sebagai fundamental kehidupan
bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah Negara sekuler yang
ekestrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” dan berpretensi untuk
menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas… sebagai negara
yang dihuni oleh penduduk dengan multi agama dan mutikeyakinan,
negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap
semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan…
Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusian
universal yang bersumber dari hokum Tuhan, hokum alam, dan sifat-sifat
social manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai
fundamen etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia itu
dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar,
Bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang
dimilikinya untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban
dunia…”. Kedalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak
dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat
persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”.
Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, dalam internalisasi nilai-nilai
persaudaraan kemanusiaa, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan
yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari
kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi
kebangsaan yang mengekpresikan persatuan dalam keberagaman, dan
keberagaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan
dengan ungkapan “bhineka tunggal ika”…
Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai
kemanusian serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan
yang dipimpin oleh hikamat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi
permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan
daulat rakyat, ketika kebebasan politik dengan kesetaraan ekonomi yang
menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka “musyawarah
mufakat”…
Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai
kemanusaian, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan
itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan
social. Di satu sisi, perwujudan keadilan social itu harus mencerminkan
imperative etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman
sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan social dalam
prikehidupan kebangsaan… (Latif Y, 2011: 42-45)
Lebih jauh Sumantri, (2008) memberi cirri-ciri manusia Indonesia dalam
mengamalkan prinsip dan nilai-nilai Pancasila. Diantaranya adalah:
388
1. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa Prinsip ini meminta masyarakat
Indonesia mengakui keberadaan Tuhan, dengan kata lain prinsip
percaya pada Tuhan YME mencerminkan kepercayaan rakyat
Indonesia terhadap kehidupan setelah hidup di dunia atau alam baka…
Ciri-ciri manusia seperti di atas adalah pencerahan, toleransi,
berpandangan luas, hormat, kerjasama, harmonis, keadilan, kebenaran,
kewajaran, kenetralan dan kebijaksanaan. Monoteisme diasumsikan
dalam keyakinan ini.
2. Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab berharap manusia untuk
diperlakukan secara bermartabat sesuai dengan makhluk ciptaan
Tuhan. Tujuan utama dari keyakinan ini adalah keselarasan antara
nasional dan internasional... Jika dalam pandangan Tuhan semua
manusia sama. Kalau begitu pasti terdapat persaudaraan diantara
mereka. Ciri-ciri manusia seperti di atas adalah kelurusan moral, tidak
berpihak terhadap politisi, kesadaran global, penghormatan terhadap
rakyat lain, komitmen untuk kebenaran dan keadilan, bermartabat dan
kemanusiaan.
3. Prinsip Persatuan Indonesia mempromosikan tentang nasionalisme,
cinta tanah air dan kebutuhan untuk selalu memelihara kesatuan negara
dan mempromosikan integrasi nasional. Tujuan utama dari keyakinan
ini adalah menjaga keserasian nasional dan dunia berdasarkan pada
kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian dunia. Ciri-ciri manusia
seperti diatas yakni sikap nasionalis, cinta tanah air, saling menolong,
pengorbanan diri, keberanian, perdamaian dan tanggung jawab.
4. Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan menekankan bahwa demokrasi Pancasila
yang terinspirasi dan menyatu dengan prinsip lain Pancasila…Tujuan
utama dari keyakinan ini untuk mendirikan, menjaga dan
meningkatkan kesepakatan demokrasi untuk pembangunan bangsa dan
negara. Rakyat Indonesia percaya bahwa pernyataan berikut ini benar
”bahwasanya manusia itu berdaulat”, dan mereka mewakilkan
kedaulatan meraka pada Dewan Perakilan Rakyat yang mereka pilih.
Setiap rakyat diharapkan untuk memiliki kepercayaan di
masyarakatnya dan percaya pada kesederajatan objektivitas dan
kejujuran.
5. Prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bertujuan pada
pembagian kesejahteraan yang adil diantara manusia, tidak dengan
cara statis tapi denga cara dinamis dan progresif…Tujuan utama dari
prinsip ini adalah keselaran sosial dan keberadaan yang diterima baik.
Ciri-ciri manusi bekerja untuk kemulian sosial dan bekerja untuk
mengakhiri eksploitasi. Kerjaan ini membutuhkan ketulusan,
kemanusiaan, kehormatan dan kepatuhan. Untuk meningkatkan
integritas sosial, keterbukaan pikiran, kekeluargan dan penghormatan
sosial budaya sebagai sesuatu yang penting (Sumantri, 2008: 99-105)
Demikianlah para pendiri bangsa ini telah mewariskan suatu dasar fasafah
dan pandangan hidup negara yang begitu visioner dan fundamental. Suatu dasar
389
falasafah yang memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang
kuat, sehingga apabila dipahami secara mendalam, diyakini secara teguh, dan
diamalkan secara konsisten diyakini dapat membentuk karakter bangsa yang
Berbhineka Tunggal Ika. Dengan demikian pokok-pokok moralitas, prinsip dan
nilai-nilai Pancasila harus mampu diimpelmentasikan dalam kurikulum PPKn
2013 sebagai wadah membentuk good and smart citizen.
Guru dalam Kurikulum 2013 dan Guru sebagai Hidden Curriculum
Berdasarkan hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 27-29
Mei 2011, dengan 12.056 responden yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, ibu
rumah tangga, pengusaha, tokoh masyarakat, TNI, POLRI dan lainnya, di 33
provinsi. Adapun pertanyaan yang diajukan “Bagaimana cara yang tepat untuk
memahami Pancasila?” Hasilnya 30% melalui pendidikan, 19% keteladanan
pejabat negara dan pemerintah, 14% keteladanan tokoh masyarakat, 12% melalui
media massa, 10% ceramah keagamaan. Pertanyaan selanjutnya “Siapa yang
paling tepat melakukan edukasi dan sosialisasi Pancasila?” Hasilnya 43%
responden menyatakan para guru dan dosen, 28% tokoh masyarakat dan pemuka
agama, 20% badan khusus pemerintah, 3% elit politik. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa dunia pendidikan termasuk di dalamnya guru dan dosen
sebaiknya menjadi ujung tombak dalam revitalisasi (menghidupkan atau
menggiatkan kembali) nilai-nilai Pancasila. Namun dalam melakukan revitalisasi
harus didukung, difasilitasi oleh semua unsur dalam negara ini (tidak bisa
sendirian), baik lembaga negara, pejabat negara, pemerintah, tokoh masyarakat,
pemuka agama, dan media. Dengan demikian secara bersama-sama melaksanakan
revitalisasi nilai-nilai Pancasila di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
(Etin Solihatin, 2013: 8).
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie (2012) mengungkapkan bahwa dalam
bidang pendidikan, Pancasila harus tercerminkan (i) dalam kebijakan materi
(kurikulum dan satuan ajar) pendidikan, dan (ii) dalam proses kegiatan belajar
mengajar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak
sampai ke Perguruan Tinggi. Materi pendidikan dapat dikembangkan bersifat
khusus berupa mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila dan UUD 1945, akan
tetapi yang jauh lebih penting adalah menempatkan Pancasila dan UUD 1945
dalam proses belajar mengajar. Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 selama ini
hanya dilihat dalam perspektif kurikulum berbasis konten (content based
curriculum) dan dengan orientasi pada hasil atau keluaran (output oriented
policy). Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 juga harus dilihat dan bahkan
terutama sebagai proses kegiatan belajar mengajar melalui mana nilai-nilai dan
prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945 dipraktikkan dalam kegiatan nyata.
Meski mata kuliah atau mata pelajarannya tidak ada, tetapi kegiatan belajar
mengajar dilakukan dalam rangka praktik penerapan nilai-nilai luhur Pancasila
dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945, maka pendidikan
demikian tentu dapat lebih diandalkan untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945 daripada kegiatan pendidikan yang mengandalkan kurikulum secara
kuantitatif. Dengan demikian, nilai-nilai pendidikan Pancasila dan UUD 1945
haruslah tercermin dalam:
390
1. Kurikulum pendidikan dan materi satuan ajar atau materi satuan acara
perkuliahan;
2. Kebijakan kegiatan belajar mengajar yang mempraktikkan dan
menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
3. Di samping itu, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 harus pula
dicontohkan dalam teladan perilaku para guru, pengurus sekolah,
dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan semua pihak yang mempunyai
kedudukan menentukan atau lebih menentukan, sehingga orang lain
dapat belajar mengenai bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD
1945 diterapkan dalam perilaku nyata dalam kegiatan praktik.
(Asshiddiqie, 2011:12-13).
Pemikiran dan gagasan yang diungkapkan oleh beberapa kalangan terkait
dengan pentingnya peran Pendidikan untuk melakukan revitalisasi nilai-nilai
Pancasila dapat ditemukan jawabannya dalam naskah akademik yakni kurikulum
2013, tidak terkecuali bidang mata pelajaran PPKn yang juga mengalami
perubahan yang cukup siginifikan sehingga dibutuhkan penelaan lebih jauh dalam
menerjemahkan maksud dan cara mengimpelementasikan dalam tahapan praktis.
Ini juga harus menjadi tugas dan kewajiban para pendidik, pemerhati dan penggiat
PPKn sehingga tidak salah kaprah dalam mengartikulasikan kurikulum tersebut.
Berdasarkan draf Lampiran Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan baik untuk jenjang SMP
maupun SMA, keluaran Puskurbuk 2012, muatan Pancasila dapat ditelusuri dari
rumusan-rumasan pada Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan penjabaran dari
lebih lanjut dari Kompetensi Inti (KI). Kemudian KI inilah yang
mengorganisasikan KD dalam 4 cakupan yakni KI (1) Sikap, KI (2) Sikap
spiritual, KI (3) Sikap Sosial dan KI (4) Keterampilan. Ini menunjukkan luaran
yang diingkinkan oleh Kurikulum 2013 yakni warga negara yang memiliki
kecerdasan intelektual, spiritual, sosial dan emosional.
Lebih jauh, bila menulusuri draf metodologi pembelajaran dan penilaiaan
PPKn tahun 2012, maka empat pilar bangsa menjadi muatan materi yang memiliki
ruang lingkup Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika). Hal tersebut dapat dilihat dari substansi
materi dalam PPKn yang meliputi Pancasila sebagai dasar negara, ideology dan
pandangan hidup bangsa, UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi
landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kesepakatan final bentuk Negara
Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud filosofi kesatuan
dibalik keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara bangsa.
(Winarno, 2013:4).
Untuk menjabarkan materi tersebut harus bermuara pada kompetensi
kewarganegaraan. Secara teoritis, civic competence bermuara pada tiga hal yakni
civic kenowlodge (pengetahuan), civic disposition (watak) dan civic skill
(keterampilan) (Branson, 1998). Jika disandingkan dengan konsep Bloom maka
(1965) mencakup tiga ranah yakni kognetif, apektif, dan psikomotorik. Dalam
kurikulum 2013, tampaknya ranah apektif dan psikomotorik mendapat temapat
391
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ranah kognetif itu sendiri yang pada
kurikulum sebelumnya justru mewarnai materi dan kompetensi yang harus
dicapai.
Akan tetapi, keberhasilan pembelajaran PPKn tidak hanya tergantung pada
kemampuan pendidik dalam mengembangkan kompetensi dan materi
pembelajaran saja, tetapi juga didukung oleh metode pembelajaran yang
tepat. Pemilihan metode yang tepat dalam proses pembelajaran PKn akan
sangat membantu guru maupun siswa untuk mencapai keberhasilan pembelajaran
yang dilaksanakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, mestinya ada sejumlah pendekatan
pembelajaran yang dapat diterapakan dan dikembangkan. Pembelajaran PKn
dapat menerapkan pendekatan pembelajaran orang dewasa (adult
learning/andragogy). Penerapannya lebih menekankan pada paradigma
humanistik, dan pengalaman belajar kontekstual (learning expriences and
contextual) agar proses pembelajaran menjadi menyenangkan, lebih bermakna,
dialogis, partisipatif dan kreatif. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu digunakan
strategi-strategi pembelajaran yang mampu mendekatkan peserta didik pada
realitas sosial, dimana peserta didik bisa menemukan jati dirinya sebagai manusia
yang sadar akan tanggungjawab individu dan sosial (learning to be), terdorong
untuk berbuat sesuatu (learning to do) dan dapat membangun kehidupan bersama
(learning to live together) (Rosyada dkk, 2004:22)
Meskipun adanya kurikulum PPKn 2013, guru sebagai hidden Currikulum
menjadi sesuatu yang sangat penting dalam merivitalisasi nilaii-nilai Pancasila
dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebagai kurikulum yang baru, kemampuan
duru sebagai pedagok yang kreatif harus mampu mengeksplor dan
mengartikulasikan kemungkinan dan alternative yang dapat ditempuh dalam
mengimpelemntasikan kurikum PPKn 2013. Hal tesebut sebagaimana temuan
Candra (2012) sebagai grounded theory dalam bahwa ada beberapa kompetensi
atau kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dan dosen dalam melaksanakan
pembelajaran PPKn sebagai wahana pendidikan multicultural dalam upaya
membentuk karakter warga negara yang multicultural-Bhineka Tunggal Ika: (a)
memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas; (b) terbuka dan fleksibel dalam
mengelola keragaman peserta didik; (c) memfasilitasi peserta didik dalam ruang
yang demokratis; (d) mampu berkolaborasi dengan pihak mana pun dalam
rangka pengembangan materi dan strategi pembelajaran (e) menguasai berbagai
pendekatan dan teknik pembelajaran yang mampu megintegrasikan berbagai
perbedaan peserta didik, (f) mampu menjadikan lingkungan budaya menjadi
sumber belajar, (g) mampu menjadi role mode sebagai warga negara
mulitkultural, dan (h) mampu sebagai hidden curriculum dalam pembelajaran.
(Candra, 2012: 297). (adaptasi dari temuan penelitian tersebut).
Berbagai kompetensi guru yang ditunjukkan di atas, menjadi penting
dalam menghadapi kurikulum PPKn 2013, yang masih membutuhkan waktu dan
tenaga serta pemikiran dalam menangkap substansi untuk dipraktekkan dalam
proses pembelajaran. Dibutuhkan kemampuan pedagok (guru/dosen) sebagai role
mode dalam mendesiminasikan nilai-nilai Pancasila sebagai (nurturant effects)
sebagai “hidden curriculum” yang selama lebih banyak menekankan justru
392
menekan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada
penguasaan materi (content matery) atau dengan kata lain hanya menekankan
pada dimensi kognitifnya saja
Simpulan
Upaya untuk melakukan revitalisai nilai-nilai Pancasila dalam bidang
Pendidikan merupakan langkah yang strategis untuk mewujudkan karakter bangsa
yang berbhineka tunggal ika. PPKn sebagai mata pelajaran dan juga merupakan
salah satu bidang kajian yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam
membentuk good and smart citizen. Dimana misi suci (mission sacre) dari
PPKn itu sendiri yakni membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan
manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Adanya kurikulum PPKn 2013 menuntut perlunya penghayatan baru kita
terhadap PPKN sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis
pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan “civic
intelligence” dan “civic participation” serta “civic responsibility” sebagai anak
bangsa dan warga negara Indonesia yang mampu mengembangkan rasa
nasionalisme yang tinggi yakni manusia Pancasilais.
Daftar PUstaka
Aristotle. (alih bahasa: Ernest Barker, revisi R.F. Stanley). (1995). Politics. New
York: Oxford University Press.
Asshiddiqie, J. (2011). Membudayakan nilai-nilai pancasila dan Kaedah-kaedah
Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945. Kongres 1 Kongres
Pancasila III, diselenggarakan atas kerjasama Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan Universitas Airlangga, di Surabaya, 1 Juni, 2011
(Makalah). Diakses pada tanggal 9 desember 2013.
Azra,
A. (2008). Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif
Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. (Makalah) Semula
disampaikan sebagai makalah Round Table Discussion, Eksistensi
Pancasila sebagai Ideologi dan Pandangan Hidup Bangsa di Tengah
Pergeseran Peradaban Dunii, Lemhanas, 13 Nopember 2007.dimuat pada
alamat http://www.setneg.go.id. Diakses pada tanggal 10 desember 2013.
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.
Candra, C. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan
Multikultural dalam membangun warga negara demokratis (Penelitian
grounded Theory pada Universitas Negeri Jakarta. Tesis PKn SPs UPI,
Bandung: tidak diterbitkan.
Etin, Solihatin, (2013). Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila di Bidang Politik,
Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Perspektif Dunia Pendidikan.” .”
MPR RI dengan Universitas Negeri Jakarta, tanggal 2 Desember 2013 di
Gedung Dharma Wanita Patra Jasa Cempaka Putih (makalah). Diakses
pada tanggal 10 desember 2013.
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
393
Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Desain Induk Pembangunan Karakter
Bangsa Tahun 2010-2025.
Rosyada, Dede, dkk . (2004). Buku Panduan Dosen Pendidikan Kewarganegaran
(Civic Education). ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dan The Asia
Foundation.
Sapriya dkk (ed). (2012). Transformasi 4 Pilar Kebangsaan Dalam Mengatasi
Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung: CV Maulana Media Grafika.
Sumantri, E. (2008). An Outline Civic Education in South-Asia.Bandung:
Rajawali.
Wahab, Aziz & Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Winarno, (2013). Pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui Pendidikan
Kewarganegaraan di Sekolah (analisis isi kurikulum PPKn 2013).
Makalah disajikan pada sesi panel Kongres Pancasila di UGM,
Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni 2013. Diakses pada tanggal 10
Desember 2013.
Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007) Civic Education: Konteks,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
394
395
396
397
398
399
400