KARYA TULIS ILMIAH bs jawa

KARYA TULIS ILMIAH
BAHASA JAWA 1
TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA
(MADYA)

NOVIAN DIKA WAHYUDI
150110201033
KELAS A
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JEMBER
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat,
taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang
berjudul “Bahasa jawa (Madya)” dengan tepat waktu.
Karya Tulis Ilmiah ini berisikan uraian secara tuntas tentang tingkat tutur bahasa Jawa
(Madya). Semoga Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca agar
dapat memahami tingkat tutur dibahasa jawa yaitu Basa Madya.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini masih jauh dari kesempurnaan,

karenanya saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna perbaikan pembuatan
Karya Tulis Ilmiah (KTI) selanjutnya.
Terima kasih.

Jember, 4 April 2016
Penyusun,

DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR
ISI............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan dan Manfaat
BAB II PEMBAHASAN

2.1
Pengertian
2.2
Tingkat Madya
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran-saran
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................8

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuturan sebagai salah satu represententasi bahasa merupakan salah satu kajian budayanya dengan
penutur sebagai anggota dari suatu komunitas. Dimensi tuturan hanya dapat ditangkap dengan
mempelajari apa yang dilakukan penutur terhadap bahasanya, dengan cara menghubungkan kata dan
gesture sesuai Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011 -86- konteks dimana
tanda tersebut dihasilkan; yang menunjukan bahwa tuturan dapat menghasilkan tindak sosial.
Jika seseorang memiliki bahasa yang sama namun berbeda komunitas, maka dikatakan bahwa
keduanya berada pada komunitas bahasa yang berbeda. Sebagai contoh adalah komunitas bahasa
Jawa kraton (Solo dan Yogyakarta) dan komunitas bahasa Jawa pesisir yang memiliki komunitas
bahasa yang berbeda. Keduanya menggunakan dialek bahasa Jawa yang sama namun berbeda

penerapannya pada situasi sosial. Masyarakat bahasa Jawa kraton menggunakan bahasa ngoko jika
itu mengacu pada dirinya sendiri. Misalnya ketika ia berkomunikasi dengan orang lain, maka
performasinya adalah ‘Tenggo sekedhap nggih kula badhe adus. Mangga panjenengan pinarak
rumiyin’. Dalam hal ini penutur menggunakan bahasa ngoko untuk dirinya sendiri (adus), dan
menggunakan bahasa krama untuk mitra tuturnya (pinarak). Sedangkan bagi masyarakat bahasa
pesisir, mereka cenderung menggunakan bahasa Jawa krama untuk dirinya sendiri seperti contoh :
‘Kula badhe siram rumiyin monggo mang entosi sekedhap ngih’ (Suryadi, 2010 : 205). Pada data di
atas menunjukkan bahwa penutur menggunakan bahasa Jawa krama untuk dirinya sendiri. Bagi
mereka hal itu merupakan hal yang santun dan menghormati mitra tuturnya. Namun hal ini
bertentangan dengan ideologi dari masyarakat Jawa kraton dan ini dianggap sesuatu yang tidak
santun. Penggunanan kata ‘siram’ yang berbeda (walaupun sama-sama dialek bahasa Jawa)
menunjukkan bahwa masyarakat Jawa kraton dan masyarakat Jawa pesisir merupakan komunitas
bahasa yang berbeda atau dengan kata lain dikatakan bahwa keduanya tidak berada dalam satu
komunitas bahasa.

1.2 Rumusan Masalah
Secara umum, rumusan masalah pada makalah “Tingkat tutur bahasa jawa (madya)” ini dapat
dirumuskan seperti pada pertanyaan berikut :
1. Bagaimana cara berbicara dengan teman?
2. Bagaimana bicara dengan orang yang lebih tua atau orang tua?

3. Bagaimana berbahasa dengan baik kepada seseorang menggunakan bahasa jawa (madya)?

1.3 Tujuan dan Manfaat
1. Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi tugas matakuliah Bahasa Jawa.
2. Pembaca agar dapat memahami Basa Madya.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Bahasa Jawa adalah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal terutama di daerah Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh
masyarakat Banten sebelah Utara, di Lampung, di dekat Medan dan di daerah-daerah transmigrasi
yang menjadi kantong-kantong bahasa Jawa sebagai akibat masyarakat Jawa yang beremigrasi ke
daerah tersebut dan masih mempergunakan bahasa Jawa sebagai bahasa minoritas. Bahasa Jawa
memiliki berbagai dialek geografis seperti dialek Banyumas, Tegal, Yogya-solo, Surabaya, Samin,
Osing, dan sebagainya yang masing-masing memiliki subdialek sendiri. Disamping dialek,
masyarakat Jawa juga mengenal ragam bahasa seperti formal, informal, dan ragam indah, yang
masing-masing memiliki bentuk fonologi, morfologi, sintaksis, maupun leksikon yang berbeda.
Ragam tersebut tercermin dalam tingkat tutur (undha usuk) yang sangat kompleks penggunaanya.
Menurut Soepomo (1975), tingkat tutur adalah variasi bahasa yang perbedaan antar tingkat satu
dengan yang lain ditentukan oleh perbedaan kesopanan penutur terhadap mitra tutur

(Poedjasoedarma, 1979:3).

2.2 Tingkat Madya
Tingkat Madya, pada dasarnya adalah tingkat tutur krama yang telah mengalami proses
penurunan, proses informalisasi dan ruralisasi (Soepomo, 1979:12).
Dalam diagram juga tampak bahwa, tingkat Madya dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yakni :
2.2.1. Tingkat tutur Madya Ngoko
Dipergunakan oleh sesama teman, pembicara dan mitra bicara memperlakukan pembicara
sederajat, misalnya antar pedagang (bakul). Tingkat tutur ini juga dipakai antara atasan kepada
bawahan, priyayi kepada bawahan dalam suasana akrab, tidak resmi dan santai. Bentuk tingkat
tutur ini: madya, ngoko, kowe diganti ”ndiko”.
Contoh:
• Ndiko wayah ngeten kok lungo teng pasar.
• Kulo ajeng mantuk riyin.
2.2.2. Tingkat Madyatara
Dipakai oleh pembicara kepada mitra bicara yang lebih muda atau yang mempunyai
derajat yang lebih rendah. Seorang priyayi, bila berbicara dengan saudara yang lebih muda, atau
seorang priyayi bila berbicara dengan priyayi lain yang sederajat dan telah akrab memilih tingkat
tutur ini. Bentuknya ialah: madya, ngoko, ’kowe’ (kamu) diganti ’kang sliro’ atau ’sampeyan’.
Contoh:

• Sampeyan (kang sliro) napa duwe perlu wigati kok gita-gita?
• Kang sliro saiki nyambut gawe ana ngendi?

2.2.3. Tingkat tutur Madya krama
Dipergunakan untuk menghormati orang lain, tetapi sifatnya sementara, dalam suasana
yang akrab. Dalam tingkat tutur ini tidak ada kosa kata ngoko, kecuali akhiran –e, dan –ake.
Bentuk tingkat tutur ini ialah madya, krama, dan krama inggil. Kosa kata ’kowe’ diganti
sampeyan.
Contoh:
• Wanci ngeten kok sampun kondur, napa empun rampung pandamelan sampeyan?

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah ini, saya dapat menyimpulkan bahwa cara penuturan bahasa jawa (madya),
Madya Ngoko Dipergunakan oleh sesama teman, pembicara dan mitra bicara memperlakukan
pembicara sederajat, misalnya antar pedagang (bakul). Madyatara dipakai oleh pembicara kepada
mitra bicara yang lebih muda atau yang mempunyai derajat yang lebih rendah. Madya krama
dipergunakan untuk menghormati orang lain, tetapi sifatnya sementara, dalam suasana yang
akrab.


3.2 Saran-saran
Seharusnya masyarakat lebih memahami dan memaknai setiap tingkat tutur
kata dalam bahasa jawa, ketika kita berbicara dengan teman yang digunakan madya
ngoko. Ketika kita berbicara dengan yang lebih muda berarti kita harus menggunakan
madyatara. Dan ketika kita berbicara dengan orang lain untuk menghormati tetapi
sifatnya sementara dalam suasana yang akrab berati kita harus menggunakan madya
krama.

Daftar Pustaka

http://ki-demang.com/kbj5/index.php/makalah-kunci/1132-09-tingkat-tutur-bahasa-jawa-wujudkesantunan-manusia-jawa
Holmes, Janet. 2001. Introduction to Sociolinguistics. Edinburgh Gate: Pearson Education
♦ Magniz-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisis Filsafat tentang Kebijasanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Penerbit Gramedia.
♦ Ngadiman, Agustinus. 2006. Sikap Generasi Muda Masyarakat Jawa terhadap Bahasa Jawa
dan Implikasinya bagi Penguatan Bheneka Tunggal ♦ Ika. Kongres Bahasa Jawa IV. Semarang:
Kumpulan Makalah. Komisi Pendidikan Infomal dan Nonformal
♦ Ngadiman, Agustinus. 2008. Patterns of Javanese Rhetoric in Various Settings. Surabaya:
Penerbit Larus.
♦ Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Purwadadi, 2008. Etika
Jawa. Yogyakarta
♦ Sudaryanto (Ed) .1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
♦ Wolf, John U. dan Soepomo Poedjo Soedarmo. 1982. Communicative Codes in Central Java.
Linguistic Series VIII. New York: Cornel University.
Duranty, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Ekowardono B. Karno, Soenardji, Hardyanto, dan M.A. Sudi Yatmana. 1991. Kaidah Penggunaan
Ragam Krama Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gaplek
Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, Gloria Soepomo, dan Alip Soeharso. 1979. Tingkat
Tutur Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab.
Blora (A. Muhid) -103-

Saville-Troike, Murriel. 2003. The Ethnography of Communication. Oxford: Blackwell Publishing
Ltd.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran linguistik Abad XX. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan

Tenaga Kependidikan.
Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
--------------- 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
Suryadi, M. 2010. Konstruksi Leksikal Tuturan Jawa Pesisir yang Bertautan dengan Nilai
Kesantunan. Jurnal Seminar Nasional Bahasa dan Budaya. Semarang: Universitas Diponegoro.