HUKUM TA TA RUANG edit

BAB I
HUKUM TATA RUANG
A. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk disuatu negara menuntut pemerintahnya untuk mampu menyediakan
berbagai sarana dan pemenuhan hidup rakyatnya. Negara dituntut untuk berperan lebih jauh dan
melakukan campur tangan terhadap aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam rangka
mensejahterakan rakyatnnya.
Bagi Indonesia, keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dalam usaha memacu
pertumbuhan yang mendukung pemerataan serta peningkatan petumbuhan ekonomi, diupayakan
sejalan dengan kemampuan alam Indonesia dan kebutuhan masyarakat yang semakin beraneka
ragam sekali. Campur tangan pemerintah dalam urusan masyarakat tersebut sesungguhnya
merupakan peran sentral, tetapi bukan berarti rakyat berpangku tangan. Sebagai sebuah negara
berkembang, Republik Indonesia saat ini sedang mengalami proses perubahan yang sangat
penting. Globalisasi membuat suatu tatanan dunia berubah. Nilai-nilai seperti demokrasi dan
persamaan hak selalu dikedepankan pergaulan antar bangsa.
Wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah nasional sebagai suatu kesatuan wilayah
provinsi dan wilayah baupaten/kota yang masing-masing merupakan sub-sistem menurut batasan
administrasi. Secara makro, kegiatan pembagunan ekonomi meliputu berbagai aktivitas,
pembangunan, mulai dari pembangunan sektor perumahan, industri, transportasi, perdagangan
dan lain-lain.
Penggunaan lahan oleh setiap aktivitas pembangunan sedikitnya akan mengubah rona

lingkungan awal menjadi rona lingkungan baru, sehingga menjadi perubahan kesinambungan
lingkungan, yang kalau tidak dilakukan pengharapan secara cermat dan bijaksana, akan terjadi
kemerosotan kualitas lingkungan, merusak dan bahkan memusnahkan kehidupan habitat tertentu
dalam ekosistem bersangkutan. Pembangunan di Indonesia, khususnya dibeberapa wilayah
perkotaan tertentu, harus memiliki suatu perencanaan atau konsep tata ruang, yang dulu sering
disebut master plan.
Masalah tata ruang, baik dalam ruang lingkup makro maupun mikro, kini semakin
mendapatkan perhatian yang cukup serius. Adalah suatu fakta bahwa jumlah penduduk serta
kebutuhan yang semakin meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain adanya
keterbatasan lahan, permasalahan tata ruang semakin rumit, karena kondisi perekonomian
Indonesia pada saat ini semakin hari semakin meningkat.
Pengelolaan tata ruang menjadi bertambah penting manakala tekanan terhadap penggunaan
ruang semakin besar dikarenakan selain kondisi perekonomian semakin pesat juga diakibatkan
oleh pertumbuhan penduduk, yang berimbas kepada pertumbuhan kawasan perumahan dan
permukiman. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menghendaki kita untuk menggunakan dan
memanfaatkan bumi, air dan kekayaan alam yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu wilayah kesatuan Republik Indonesia harus dapat dimanfaatkan serta
didayagunakan secara efektif dengan memperhatikan nilai-nilai konsepsi dasar manusia,
masyarakat, serta ekosistem yang terdapat di Indonesia. Selain itu juga permasalahan lain yang
timbul yaitu pada system pemerintahan Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah, dimana daearah diberikan keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan
potensi sumber daya yang dimilikinya. Akan tetapi apabila ditinjau dari aspek hukum tata ruang,

terdapat potensi timbulnya konflik antar daerah, terutama pemanfaatan lahan di daerah
perbatasan.
B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM TATA RUANG
Pengertian-pengertian yang tercakup dalam konsep hukum tata ruang sebenarnya sudah
tercantum dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun demikian
untuk dapat menambah khasnah, penulis akan mengemukakan juga pengertian dan konsep dasar
dari tata ruang, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut beberapa ahli.
1. RUANG
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud
dengan ruang adalah :
“wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidup.”
Sedangkan menurut D.A Tisnaamidjaja, yang dimaksud dengan pengertian ruang adalah
“wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi
manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak.”
Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 327/KPTS/2002

tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang
adalah:
“wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah
tempat manusia dan mahluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya.”
Pasal 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa ruang terbagi dalam
beberapa kategori, yang diantaranya adalah :
a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan daratan,
termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah.
b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari
sisi laut dari sisi garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya,
dimana negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
c. Ruang Udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang lautan
sekitas wilayah negara dan melekat pada bumi, dimana negara Indonesia memiliki hak
yuridiksinya.
2. TATA RUANG
Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menjelaskan
yang dimaksud dengan tata ruang adalah “wujud struktural ruang dan pola ruang.” Selanjutnya
masih dalam peraturan tersebut, yaitu Pasal 1 angka 5 yang dimaksud dengan penataan ruang
adalah “ suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang”.
3. RENCANA TATA RUANG
Perencanaan atau planning merupakan suatu proses, sedangkan hasilnya berupa “rencana”
(plan), dapat dipandang sebagai suatu bagian dari setiap kegiatan yang lebih sekedar refleks yang

berdasarkan perasaan semata. Pada negara hukum suatu rencana hukum tidak dapat dihilangkan
dari hukum administrasi. Rencana dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintah,
misalnya dalam pengaturan tata ruang. Rencana yang demikian itu dapat dihubungkan dengan
stelsel perizinan (misalkan suatu perizinan pembangunan akan ditolak oleh karena tidak sesuai
dengan rencana peruntukan). Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, sehingga dapat
dikatakan bahwa perencanaan adalah sebuah species dari genus kebijaksanaan.
Dalam kamus tata ruang dikemukakan yang dimaksud dengan rencana tata ruang adalah
“rekayasa atau metode pengaturan perkembangan tata ruang dikemudian hari.” Maksud
diadakannnya perencanaan tata ruang adalah untuk menyerasikan berbagai kegiatan sector
pembagunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal,
efisien, dan serasi. Sedangkan tujuan diadakan adanya suatu perencanaan tata ruang adalah untuk
mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsionalnya yang serasi dan seimbang,
dalam rangkan memanfaatkan sumber daya manusia, sehingga tercapainya hasil pembangunan
yang optimal dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup secara
berkelanjutan.

4. KAWASAN PEDESAAN
Yang dimaksud dengan kawasan pedesaan dalam konsep penataan ruang adalah kawasan
yang memiliki kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintah,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
5. KAWASAN PERKOTAAN
Yang dimaksud dengan kawasan perkotaan dalam konsep penataan ruang adalah kawasan
yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
6. KAWASAN LINDUNG
Yang dimaksud dengan kawasan lindung dalam konsep penataan ruang adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan.
7. KAWASAN BUDIDAYA
Yang dimaksud dengan kawasan budidaya dalam konsep penataan ruang adalah kawasan
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi atau potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
C. KONSEP DASAR HUKUM TATA RUANG
Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan hukum apabila

hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok
dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan ketertiban ini, merupakan syarat pokok
(fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur; disamping itu tujuan lainnya adalah
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan uurannya, menurut masyarakat pada zamannya.
Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang didalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4
yang berbunyi:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia…”

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat berbunyi: “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Mochtar Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana
pembangunan. Disini berarti hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya hukum yang
dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan
dengan fungsi tersebut maka pembentuk undang-undang meletakkan berbagai dasar yuridis
dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan, sebagai salah satu yaitu dalam pembuatan
undang-undang mengenai penataan ruang.
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang

pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan undang-undang tersebut diharapkan selain sebagai
konsep dasar hukum dalam melaksanakan perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan acuan pemerintah dalam penataan dan pelesteraian lingkungan hidup.
D. SEJARAH PENGATURAN TATA RUANG DI INDONESIA
Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia telah mulai
diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal
abad ke-17, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara intensif pada awal abad ke-20.
Peraturan pertama yang dapat dicatat disini adalah De Statuten van 1642 yang dikeluarkan oleh
VOC khusus untuk kota Batavia.
Berikut ini akan diuraikan sekilas perkembangan peraturan yang berkenaan dengan penataan
ruang, khususnya untuk perencanaan ruang kota yang telah diterbitkan oleh Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum:
1. Surat Edaran Mendagri No. 18/3/8 Tahun 1970 tentang Perencanaan Pembangunan kota
untuk ibukota kabupaten yang masih mengacu pada SVO.
2. Peraturan Mendagri No.4 Tahun 1980 tentang Penyusunan Rencana Kota, dimana
peraturan ini menyusun rencana kota yang menyeluruh, dan disertai dengan peraturanperaturan lainnya sebagai ketentuan pelaksananya.
3. SKB Mendagri dan Menteri PU No. 650-1595 dan No. 503/KPTS/1985 tentang TugasTugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota yang menyerahkan urusan administrasi ke
Depdagri dan urusan teknis ke Dept PU, serta menyeragamkan jenis dan spesifikasi kota.
4. Kepmen PU No. 40/ KPTS/ 1986 tentang Prencanaan Tata Ruang kota.
5. Permendagri No. 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota yang

mengatur aspek administrasi perencanaa kota.
6. Kepmendagri No. 7 Tahun 1986 tentang Penetapan Batas-Batas Wilayah Kota di Seluruh
Indonesia.
7. Imendagri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau dan Wilayah
Perkotaan.
BAB II
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG TERHADAP KONSEP PERTANAHAN DI
INDONESIA
A. KONSEP DAN DASAR PERTANAHAN
1. KONSEP PERTANAHAN
Pesatnya serta keragaman pembangunan yang terjadi, ternyata dihadapkan pada persoalanpersoalan seperti, yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan :

a. Terbatasnya lahan ya ng tersedia dengan berbagai fungsi peruntukan
b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta pola tata ruang yang belum sepenuhnya
dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh
c. Penggunaan lahan seringkali terjadi penyimpangan dari peruntukannya
d. Persaingan mendapatkan lokasi lahan yang telah didukung atau yang berdekatan dengan
berbagai fasilitas perkotaan, sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan kota
e. Masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kepatutuan atas kewajiban
sebagai warga negara.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, aspek pertanahan dan penataan ruang sangat perlu dan
mutlak di pertimbangkan, karena tanah merupakan salah satu sumber daya kegiatan
penduduk yang dapat dinilai sifat, keadaan, proses dan penggunaannya. Firey, Chapin
menggolongkan tanah kedalam tiga kelompok, yang diantaranya adalah :
a. Nilai keuntungan, yang berhubungan dengan nilai ekonomi, dan yang dapat dicapai
dengann jual beli tanah dipasar bebas.
b. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturssn untuk masyakarat
umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
c. Nilai sosial, yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidapan.
Hal ini misalnya dapat ditunjukan dengan perbedaan penggunaan tanah dipedesaan
dengan penggunaan tanah di perkotaan. Tanah dipedesaan dipergunakan bagi kehidupan
sosial dan kehidupan ekonomi. Kehidupan sosial seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat,
berekreasi, berolahraga dan lain sebagainya, sedangkan untuk kegiatan seperti bertani,
berkebun, berternak, menebang kayu dihutan.
Namun sebaliknya diperkotaan, karena nilai tanah demikian berharga secara ekonomis,
penggunaan tanah dilakukan secara efisien dan seefektif mungkin, karena dapat saja terjadi
pencampuran penggunaannya.
2. ASAS-ASAS DALAM HUKUM TANAH
a. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Yang menjadi landasan ini adalah Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang menyatakan bahwa

seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
dalam wilayah Republik Indonesia merupakan sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa,
bagi bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
b. Asas Persatuan Indonesia
Asas ini termuat dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA, yang menyatakan, “Hanya
warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan
ruang angkasa”.
c. Asas Demokkrasi dan Kerakyatan
Dalam asas ini, sesaui dengan apa yang ditegaskan didalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang
berbunyi:
Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh suatu hak atas tanah seerta unntuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik
bagi diri sendiri maupun untukk orang lain
d. Asas Musyawarah
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan
dengan musyawarah. Proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima
pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas

tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk
dan besarnya ganti rugi.

e. Asas Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Asas ini dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 10 UUPA, yang berbunyi, “ Kewajiban
untuk mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian yang dipunyai
seseorang atau badan hukum harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
f. Asas Keadilan Sosial
Harus diperhatikan perbedaan keadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi
dengan tetap menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah.
Golongan ekonomi lemah tersebut warga negara asli maupun warga negara keturunan asing.
Keberadaan asas ini diatur dan termuat didalam ketentuan Pasal 11, 13, 15, dan Pasal 10, 17,
53, UUPA.
g. Sifat Komunalistik Religius
Asas ini tertuang didalam ketentauan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan, “Semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial”.
h. Asas Pemisahan Horizontal
Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang
ada diatasnya, perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan
dan tanaman yang ada diatasnya. Namun dalam prakteknya dimungkinkan suatu perbuatan
hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.
i. Asas Spesialitas
Bahwa tanah yang didaftarkan harus jelas-jelas diketahui dan nyata ada pada lokasi
tanahnya.
j. Asas Publisitas
Bahwa setiap orang dapat mengetahui sesuatu bidang tanah tersebut milik siapa, seberapa
luasnya dan apakah ada beban diatasnya.
k. Asas Negatif
Bahwa pemilikan suatu bidang tanah yang terdaftar atas nama seseorang tidak berarti
mutlak adanya, sebab dapat saja dipersoalkan siapa yang menjadi pemiliknya, dan hal untuk
membuktikannya dapat ditempuh melalui pengadilan.
B. KEBIJAKSANAAN PERTANAHAN TERHADAP PERENCANAAN KOTA
Pengertian tanah menurut UUPA No. 5 Tahun 1960, dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1),
yang berbunyi, “Tanah adalah permukaan bumi atau kulit bumi”. Pasal 4 ayat (2),
menjelaskan tentang pengertian hak atas tanah , yang berbunyi: hak atas tanah adalah hak
untuk menggunakan tanah sampai batas-batas tertentu meliputi tubuh bumi, air, dan ruang
angkasa di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah.
Pasal 6 UUPA, yang berbunyi, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Beberapa
macam hak atas tanah berdasarkan UUPA, yang diantaranya adalah:
a. Hak menguasai negara, dimana hak ini di landasi oleh ketentuan pasal 33 UUD 1945, dan
hak menguasai negara dapat berupa kegiatan:
(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
(2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air, dan ruang angkasa

b.

c.
d.
e.
f.

(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Hak Milik, merupakan hak yang turun-temurun, terkuat, dan terpenuh. Dalam hal ini
hanya orang Indonesia asli yang boleh memiliki status tanah hak milik, walaupun hak ini
dapat dialihkan kepada pihak lain, namun tetap orang yang menerimanya harus tetap
Indonesia asli.
Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai,
Hak Sewa

3. PENATAAN RUANG DAN TATA GUNA TANAH
Pasal 16 UUPA mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai
presiden, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam ke perluan pembangunan.
Dalam UUPA sendiri tidak ada penegasan arti dari ketiga istilah tersebut. Namun Nampak tujuan
dari setiap rencana ini tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam
pasal 33 UUD 1945, yakni untuk kemakmuran rakyat.
Rencana umum penggunaan tanah adalah usaha penuhaan tanah untuk rencana pembangunan
atau program-program yang ada. Dengan demikian, rencana umum penggunaan tanah baru dapat
disusun setelah adanya program pembangunan, sedangkan penyusunan rencana umum mengenai
peruntukan tanah maupun persediaan tanah tidak perlu menunggu program-program
pembangunan.
Hal untuk menentukan tanah tersebut memiliki nilai sosial dapat diterangkan secara
ekologisyang berhubungan dengan sifat fisik tanah , dan dengan proses organisasi yang
berhubungan dengan masyarakat, yang kesemuanya itu memiliki kaitan dengan tingkah laku dan
perbutan kelompok masyarakat. Tingkah laku tersebut dipengaruhi oleh:
a. Konsentrasi penduduk dalam wilayah yang luas.
b. Sentralisasi dan desentralisasi penduduk disebabkan oleh tuntutan prasarana sosial ekonomi.
c. Segregasi penduduk (terkumpulnya kelompok yang sejenis, sehingga menyebabkan terpisah
dari kelompok lain ).
d. Dominasi penduduk atau hal yang menonjol (misalnya prestise atau gengsi jika tinggal atau
domisili di bagian kota tertentu).
e. Serbuan penduduk atau invasi dari kelompok lain yang berbeda dalam kedaan sosial,
ekonomi, dan budaya. Hal ini biasanya terjadi pada kawasan penduduk biasa, kemudian di
sekitarnya didirikan perumahan mewah, maka seringkali penduduk lama menjadi terusir.
4. PERLINDUNGAN HUKUM PADA MASYARAKAT YANG TANAHNYA TERKENA
GARIS RENCANA KOTA
Peran serta masayarakat merupakan salah satu faktor terpenting dalam melaksanakan
pembangunan, karena melalui masyarakat inilah berbagai kegiatan pembangunan dapat di
laksanakan serta terlaksananya dengan baik. Salah satu wujud peran serta masyarakat dalam
pembangunan adalah dengan adanya hak-hak yang di miliki oleh masyarakat terambil, yang
salah satu contohnya adalah penggunaan lahan atau tanah masyarakat yang terkena garis rencana
kota untuk melaksanakan pembangunan kota.

C. KONSOLIDASI TANAH
1. Pengertian Konsolidasi Tanah
Konsolidasi tanah menurut Badan Pertahanan Nasional sesuai dengan pasal 1 ayat (1)
Kepala Badan Pertahanan Nasional No 4 Tahun 1991 adalah:
kebijakan pertahanan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta
usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas
lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat.
Sementara itu, menurut Johara T. Jayadinata berpendapat bahwa konsolidasi tanah adalah :
Merupakan salah satu model pembangunan dibidang pertanahan, yang mencakup wilayah
perkotaan dan wilayah pertanian dan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan tanah
dalam hubungannya dengan pemanfaatan, peningkatan produktivitas, dan konservasi bagi
kelestarian lingkungan.
Berdasarkan letak administrasi obyek konsolidasi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu :
a. Konsolidasi tanah perkotaan atau land consolidation;
b. Konsolidasi tanah pedesaan atau rural land consolidation.
Mengidentifikasikan beberapa elemen substansial dari konsolidasi tanah, yaitu :
a. konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;
b. konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan dan pengadaan
tanah.
c. Konsolidasi bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas
lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam.
d. Konsolidasi tanah harus dilakuan dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
2. Tujuan dan Sasaran Konsolidasi Tanah.
a.Tujuan Konsolidasi Tanah
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Perturan Kepala Badan Pertanahan Nasional, tujuan
konsolidasi tanah adalah : “untuk pemanfaatan tanah secara optimal melalui
peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah.
b.
Sasaran Konsolidasi Tanah
Sasaran yang ingin dicapai dari penyelenggaraan konsolidasi tanah adalah terwujudnya
suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.
3. Fungsi dan Manfaat Konsolidasi Tanah
a.Fungsi Konsolidasi Tanah
Konsolidasi tanah berfungsi untuk :
1) Membantu Pemda dalam rangka pembangunan daerah sesuai RTRW
2) Mengatur penguasaan atas tanah, baik bentuk, letak, serta ukuran bidang-bidang
ukuran tanah.
3) Menyesuaikan penggunaan tanah dengan RTRW
4) Menyediakan tanah untuk kepentingan pembangunan pada umunya (prasarana jalan
dan fasilitas umum).
5) Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam.
4. Subyek dan Obyek Konsolidasi Tanah
a. Subyek Konsolidasi Tanah

Konsolidasi tanah adalah dari, oleh dan untuk masyarakat pemilik tanah dan/atau
penggarap tanah.
b. Obyek Konsolidasi Tanah
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991,
yang menjadi konsolidasi tanah adalah: “Tanah negara non-pertanian dan /atau tanah
hak, wilayah perkotaan atau pedesaan yang ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional untuk dikonsolidasikan.”
5. Dasar Hukum Konsolidasi Tanah
Adapun landasan hukum dari konsolidasi tanah tersebut adalah :
1. Landasan oidilnya adalah Pancasila
2. Landasan konstitusionalnya adalah Pasal 33 UU Dasar 1945
3. Landasan operasionalnya adalah :
a. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Khususnya Pasal 2, 6, 12 dan 14)
b. UU No. 56 Tahun Prp Tahun 1960 tentang Land Reform (khususnya Pasal 12)
c. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, khususnya Pasal 5
ayat (1), 18, 25 dan 32.
d. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
e. PP No. 224 Tahun 1961. Jo PP No. 41 Tahun 1964.
f. Kepres No. 26 Tahun 1988
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987.
h. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-245 Tanggal 7 Desember
1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah.
6. TAHAPAN PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH
a. Persiapan
Hal yang perlu untuk dipersiapkan pada tahapan ini adalah :
1) Penjajagan
2) Penetapan lokasi atau pemilihan lokasi
3) Penyuluhan
4) Pengajuan DURK
b. Pendapatan
Pada tahap ini dilakukan tahapan-tahapan yang meliputi:
1) Identifikasi Subyek dan Obyek
2) Pengukuran atau Pemetaan Keliling
3) Pemetaan Rincian
4) Pengukuran Topograafi dan Pemetaan Penggunaan Tanah
c. Penataan
d. Kontruksi
e. Pembiayaan
f. Organisasi
7. HASIL PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH
a. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Indonesia
Secara teoritis konseptual, pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia pada hakikatnya
merupakan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dibidang pertanahan. Namun
secara praktis operasional, pada saat itu tindakan tersebut belum diformulasikan secara

substansif didalam berbagai perangkat peraturan perundang-undangan dibidang
pertanahan dengan menggunakan istilah konsolidasi.
b. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Beberapa Negara
1. Jepang
Konsolidasi tanah di Jepang sudah berkembang puluhan tahun yang lalu, antara
lain dipakai untuk membangun perkotaan yang hancur akibat bencana alam dan
perang, selain itu juga untuk mengakhiri landreform yang mengatur pembatasan
sistem pemilikan tanah yang luas.
2. Taiwan
Di Taiwan, konsolidasi tanah dikembangkan pada tahun 1985, baik itu
konsolidasi tanah perkotaan maupun konsolidasi tanah pertanian. Sampai pada tahun
1988 telah dilaksanakan untuk tanah pertanian seluas 360. 728 Ha di 675 lokasi,
sedangkan konsolidasi tanah perkotaan mencapai 7. 073 Ha.
3. Korea Selatan
Program konsolidasi tanah perkotaan dikenalkan di Korea Selatan pada tahun
1934. Sampai pada tahun 1989 telah dan sedang diselesaikan 58 proyek yang meliputi
areal 13. 847 Ha.
4. Belanda
Di Belanda, konsolidasi tanah diatur dalam The Land Consolidation Act tahun
1985 yang merupakan pengganti dari The Land Consolidastion Act tahun 1954.
8. FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
PELAKSANAAN
KONSOLIDASI TANAH.
a. Faktor Pendukung
Faktor dominan sebagai faktor pendukung konsolidasi tanah perkotaan adalah
berkaitan dengan:
1) Pelestarian Kemampuan Fungsi Lingkungan Hidup Perumahan dan Pemukiman
2) Pertumbuhan dan Perkembangan Tanah Perkotaan
3) Pertumbuhan dan Peningkatan Sektor Ekonomi
b. Faktor Penghambat
1) Materi Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan yang tidak Aspiratif
2) Disfungsionalisasi Koordinasi Antar Instansi Terkait
3) Keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam Pelaksanaan Konsolidasi Tanah
Perkotaan
4) Budaya Hukum Aparat dan Masyarakat Peserta Konsolidasi Tanah Perkotaan.
BAB III
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG TERHADAP KONSEP LINGKUNGAN
HIDUP
A. KONSEP DASAR LINGKUNGAN HIDUP
Sejak berlakunya undang-undang otonomi daerah, maka daerah pun diberikan keleluasaan
untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya. Antara pemerintah
daearah dan pusat hendaknya mengelola secara terpadu dan terkoordinasi, terutama dalam

menentukan kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, dan
pengawasan.
1. KONSEP DASAR HUKUM LINGKUNGAN
Konsep dasar lingkungan, tertuang dalam UUD 1945 alinea IV dan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 amandemenke empat, yang menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Dari pengertian tersebut, dapat ditemukan dua substansi pokok dari
kewenagan negara dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam, yaitu :
a. Pemanfaatan sumber daya alam (eksploitasi), untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
b. Perlindungan, pemeliharaan, dan pengendalian alam (lingkungan) dari kerusakan dan/
pencemaran.
2. RUANG LINGKUP PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Konsep lingkungan dilakukan melalui pendekatan pembangunan yang berkelanjutan,
seimbang, serasi, selaras untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimuat dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berkaitan dengan itu, Siti
Sundari Rangkuti mengungkapkan, bahwa ketentuan pengelolaan lingkungan hidup
mencerminkan konsep penataan yang terpadu. Menurut rumusan dimaksud mengandung arti
“contradiction in terminis”, yaitu terpadu dan masing-masing tidak mungkin dilaksanakan.
B. INSTRUMEN HUKUM LINGKUNGAN
Dalam penegakan hukum lingkungan, menurut hemat penulis, instrumen hukum tersebut
terduri dari perizinan, baku mutu lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan, tat ruang
wilayah dan unsur peran masyarakat.
1. Perizinan
Salah satu bentuk instrument yang pertama dalam konteks pemanfaatan sesuatu adalah izin.
Izin merupakan salah satu instrumen hukum yang berfungsi mengendalikan perilaku orang atau
lembaga (badan usaha) yang bersifat preventif. Ateng Syafrudin mengungkapkan bahwa izin
bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. Sedangan
menurut Asef Warlan Yusuf mengungkapkan, bahwa izin adalah suatu instrument pemerintah
yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk
mengendalikan perilaku masyarakat.
2. Baku Mutu Lingkungan
Baku mutu lingkungan adalah tolak ukur limitatif normatif yang bersifat teknis. Artinya
sejauh mana suatu kegiatan dapat diizinkan untuk beroperasi.
3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
AMDAL merupakan setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, wajb memiliki alanisis mengenai dampak lingkungan intuk
memperoleh izin untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
4. Tata Ruang Wilayah
Instrumen tata ruang wilayah merupakan jawaban terhadap persoalan universal dari tuntutan
masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan sumber daya alam, khususnya tanah. Dalam
memenuhi kebutuhan tanah untuk berbagai macam kegiatan, secara konseptual harus ditata dan
diarahkan sesuai denga jenis dan/atau kegiatan usahanya masing-masing.
5. Peran Serta Masyarakat

Peran dan kontrol masyarakat dalam pemeliharaan dan fungsi lingkungan hidup, dalam
tataran implementasi secara yuridis, dapat diakomodasikan kedalam sebagai lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang diharapkan sebagai referensi masyarakat dalam mengupayakan
perlindungan hukum akibat perusakan lingkungan.
C. SISTEM DAN POLA HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG
LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa implikasi
perkembangan pengelolaan lingkungan hidup pada perubahan yang sangat mendasar, dengan
dibidang diberlakukannya otonomi daearah. Secara garis besar, kewenagnan pemerintah pusat
lingkungan hidup tidak lagi menjadi pelaksanan, akan tetapi sebagai penyusun kebijakan makro
dan menetapkan berbagai norma, standar, kriteria dan prosedur dari lima aspek yang meliputi ::
1. Penetapan pedoman pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam dan pelestaraian fungsi
lingkungan.
2. Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya laut diluar 12
mil.
3. Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan potensial berdampak negative
pada msyarakat luas dan menyangkut pertahanan dan keamanan.
4. Penetapan baku metu lingkungan hidup.
5. Penetapan pedoman tentang konservasi sumber daya alam.
Sementara itu, kewenagan pemerintah provinsi pada bidang lingkungan hidup meliputi :
1. Pengendalian lingkungan hidup pada lintas kabupaten/kota.
2. Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumberdaya laut 4 mil sampai
dengan 12 mil.
3. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas kabupaten.
4. Penilaian AMDAL bagi kegiatan yang potensial berdampak negative pada masyarakat luas
yang berlokasi meliputi lebih dari satu kabupaten/kota.
5. Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten/kota.
6. Penetapan baku mutu lingkungan nasional.
BAB IV
PERENCANAAN TATA RUANG DI DAERAH PERBATASAN KABUPATEN/KOTA
DIHUBUNGKAN DENGAN KEWENAGAN DAEARAH.
A. SISTEM DAN POLA HUBUNGAN PEMERINTAH DAEARAH DI BIDANG
PERENCANAAN TATA RUANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN
2004
Landasan yuridis hubungan pemerintah tersebut tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945
hasil amandemen yang menegaskan, bahwa :
Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daearah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daearah, yang diatur dengan undang-undang. Bagir Manan mengungkapkan,
paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah otonom, yaitu :
hubungan kewenagan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan yang timbul
dari susunan organisasi pemerintahan di daerah.

Selanjutnya pada pasal 11 ayat (1) dan (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dengan jelas menyatakan:
1. Menyelenggarakan urusan pemerintah dibagi berdasarkan kriteria eksternalisasi,
akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan
pemerintah.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan pelaksana
hubungan kewenangan atara pemerintah, pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung
dan sinergi sebagai satu sistem pemerintahan.
B. PENYUSUNAN PERENCANAAN TATA RUANG DI DAERAH PERBATASAN
KABUPATEN/KOTA
1. KONSEP DASAR PERENCANAAN TATA RUANG KOTA
Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara
yang mengupayakan terlaksanya suatu keadaan tertentu yang tertib (teratur), dan rencana
semacam itu dapat dikaitkan dengan stelsel perizinan (misalnya suatu permohonan izin
bangunan harus ditolak mana kala hal ini bertentangan dengan rencana peruntukan).
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan mengenai
kewenagan-kewenagan yang dimiliki oleh setiap tingkatan pemerintah sebagai berikut :
a. Kewenagan Pemerintah dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1)
sampai dengan ayat (6) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
1. Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, provinsi,
kabupaten/kota
2. Wewenang pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional
3. Wewenang pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional
4. Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan kawasan strategis
nasional sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf c dan hurf d dapat dilaksanakan
pemerintah daerah melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.
5. Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang pemerintah berwenang menyusun dan
menetapkan pedoman bidang penataan ruang.
6. Dalam rangka pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), (3), (4)
dan (5) pemerintah :
a. Menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1) Rencana umum dan rencana rinci tat ruang dalam rangka pelaksanaan
penataan ruang wilayah nasional.
2) Arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
3) Menetakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
b. Kewenagan pemerintah provinsi dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan
Pasal 10 ayat (1) sampai dengan ayat (7) Undang-undamg No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
1) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;

c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
d. provinsi; dan
e. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antarkabupaten/kota.
2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis provinsi;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat
dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah
provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.
6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
(1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi;
(2) arahan peraturan zonasi untuk system provinsi yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
(3) petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan
minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenagan pemerintah kabupaten/kota dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan
Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (6) Undang-undang No. 26 Tahun Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang :
1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

3)

4)
5)

6)

b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan
petunjuk pelaksanaannya.
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci
tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan
minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah
penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG PERBATASAN
Sesuai dengan amanat UUD 1945 Negara Republik Indonesia, pemerintah daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantu. Bila melihat ketentuan didalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah, khususnya pasal 13 ayat (1) dan 14 ayat (1), masing-masing
daerah memiliki kewenagan dalam melakukan perencanaan tata ruang, baik itu pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Hal itu sudah dijelaskan dalam Pasal 17 ayat
(5) Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang menyatakan bahwa rencana
tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antara wilayah, antar fungsi kawasan dan
antarfungsi kegiatan.
3. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Rencana Tata Ruang di Daerah Perbatasan
Otonomi daerah yang dikehendaki oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, namun dengan
adanya keleluasaan tersebut bukan berarti semua urusan diserahkan kepada daerah. Hal ini
termaktub dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang proporsional antara pemerintahan
provinsi, kabupaten/kota terhadap permasalahan yang bersifat lintas administratif atau daerah
perbatasan, perlu disusun suatu kriteria permasalahan yang meliputi eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan
urusan pemerintahan.
C. SISITEM KOORDINASI DALAM KEGIATAN RENCANAN TATA RUANG
DIDAERAH PERBATASAN
1. Pengertian Tentang Koordinasi Pemerintah

Koordinasi dalam pelaksanaan suatu rencanan pada dasarnya merupakan salah satu aspek
dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi disini adalah suatu proses rangkaian
kegiatan yang menghubungkan, bertujuan untuk menyerasikan setiap langkah dan kegiatan
dalam berorganisasi agar tercapai gerak yang cepat untuk mencapai tujuan-tujuan yang
ditetapkan. Dengan pengendalian dengan koordinasi yang baik, maka dalam
penyelenggaraan pemerintahan akan tercapai suatu keadaan :
a. Dapat dicegah dan dihilangkan titik pertentangan.
b. Para pejabat atau petugas terpaksa berfikir dan berbuat dalam hubungan sasaran dalam
tujuan bersama.
c. Dapat dicegah terjadinya kesimpangsiuran dan duplikasi kegiatan.
d. Dapat mengembangkan prakarsa dan daya improvisasi para pejabat, karena dalam rangka
koordinasi, mau tidak mau mereka harus mendapatkan cara dan jalan yang cocok bagi
pelaksanaan-pelaksanaan tugas secara menyeluruh dan mencapai keseimbangan dan
keserasian.
2. Badan Koordinasi Dalam Penanganan Daerah Perbatasan
Adanya suatu kelemahan koordinasi dalam bidang perencanaan tata ruang, khususnya
didaerah perbatasan, sering dialami oleh pihak pemerintah sendiri. Belum adanya suatu asas
hukum tentang suatu perselisihan antara wewenang memang bukan hanya menghambat dan
mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan. Melihat keadaan tersebut, khususnya
penataan rencana tata ruang didaerah perbatasan, maka kiranya perlu dibentuk suatu badan
koordinasi untuk menyelesaikan masalah-masalah penataan rencana tata ruang didaerah
perbatasan, sehingga dimungkinkan nantinya, badan tersebut berfungsi sebagai badan
pengendali dan pengkoordinasi antara pemerintah yang memiliki kepentingan.
BAB V
PERENCANAAN PERIZINAN DALAM PEMBANGUNAN DI DAERAH
A. KONSEP DASAR PERIZINAN
1. Pengertian Perizinan
Untuk mengendalikan setiap kegiatan setiap kegiatan atau perilaku orang atau badan
yang sifatnya preventif adalah melalui izin. Ada beberapa bentuk yang sifatnya mengandung
pengertian izin, seperti dispensasi, izin dan konsesi. Dispensasi adalah keputusan
administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang
menolak perbuatan itu. Izin adalah suatu keputusan administrasi negara yang
memperkenankan perbuatan yang pada umumnya dilarang, tetapi diperkenankan dan bersifat
konkret. Konsesi adalah suatu perbuatan yang penting bagi umum, tetapi pihak swasta dapat
turut serta dengan syarat pemerintah turut campur tangan.
Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan. Hal
yang dilarang menjadi boleh. Penolakan atas permohonan izin memerlukan perumusan
limitatif. Asef Warlan Yusuf, mengatakan izin “adalah suatu instrument pemerintah yang
bersifat yuridis preventif, yang digunakkan sebagai sarana hukum administrasi untuk
mengendalikan perilaku masyarakat”.
2. Jenis Pemberian Izin
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan kebebesan untuk
menyelenggarakan urusan rumah tanggnya, maka izin oleh pemerintah daerah dijadikan
sebagai salah satu pendapatan daerah guna membuiayai jalannya pemerintahan, maka
pemerintah memberikan pengelompokan perizinan yang diantaranya :

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.
y.

Izin lokasi
Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Izin Gangguan (HO)
Surat Izin Usaha Keparawisataan (SUIK)
Izin Reklame
Izin Pemakaian Tanah dan Bangunan Milik/Dikuasai Pemerintah Kota
Inzin Trayek
Izin Penggunaan Trotoar
Izin Pembuatan Jalan Masuk Pekarangan
Izin Penggalian Damija Jalan (Daerah Milik Jalan)
Izin Pematangan Tanah
Izin Pembuatan Jalan di Dalam Komplek Perumahan, Pertokoan dan Sejenisnya
Izin Pemanfaatan Titik Tiang Pancang Reklame, Jembatan Penyeberangan Orang dan
Sejenisnya
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
Izin Usaha Perdagangan
Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri
Tanda Dftar Gudang
Izin Pengambilan Air Permukaan
Izin Pembuangan Air Buangan ke Sumber Air
Izin Perubahan alur, Bentuk, Dimensi, dan Kemiringan Dasar Saluran/Sungai
Izin Perubahan atau Pembuatan Bangunan dan Jaringan Pengairan Serta Penguatan
Tanggul Yang di Bangun oleh Masyarakat.
Izin Pembangunan Lintasan yang Berada di Bawah/ di Atasnya.
Izin Pemanfaatan Bangunan Pengairan dan Lahan pada Daerah Sepadan
Saluran/Sungai
Izin Pemanfaatan Lahan Mata Air dan Lahan Pengairan Lainnnya.

B. Konsep Dasar Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Perizinan
1. Pengertian Kewenangan dan Wewenang
Menurut Bahasa Indonesia, kata kewenagan mengandung arti: (1) Hal wewenang, dan (2)
Hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Sedangkan kata wewenang
mengandung arti, (1) Hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenaganan (2) kekuasaan
membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain.
Menurut Prajudi Atmosudirjo, yang dimaksud dengan kewenagan (authority gezag) adalah:
“Apa yang dimaksud dengan kekuasaan formal, yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi
oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif/ administratif.
Sedangkan yang dimaksud dengan wewenang (competence bevoegdheid), menurut
Prajudi adalah:
“Kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/menerbitkan surat-surat izin dari seorang
pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenagannya masih berada pada tangan menteri
(delegasi wewenang).
2. Kewenagan Pemerintah Daerah Dalam Perizinan
Pejabat administrasi negara yang memiliki kewenagan untuk memberikan perizinan
berada/terletak pada tangan Kepala Daerah sebagaimana tercantum dalam peraturan daerah

dan Keputusan Kepala Daerah yang berisikan tentang perizinan merupakan salah satu bentuk
ketetapan (beschikking) yang terdapat dalam lapangan hukum public.
C. IMPLEMENTASI INSTRUMEN PERIZINAN SEBAGAI SIKAP TINDAKAN
ADMINISTRASI NEGARA
Sjachran Basah mengemukakan tentang adanya fungsi hukum, yaitu:
1. Direktif, sebagai pengarah dalam membagun untuk membentuk masyarakat yang hendak
dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
2. Integratif, sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan
menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
3. Prespektif, sebagai menyempurna, baik terhadap sikap tindak administrasi negara
maupun sikap tindak warga, apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
4. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak, baik administrasi negara maupun warga,
apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
Sebagai salah satu contoh dari atribusi yang memberikan “Freies Ermessen/diskresi
kepada administrasi negara adalah Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan
Daerah yang menentukan sumber pendapatan daerah, yang diantaranya adalah :
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
4. Lain-lain dan PAD yang sah
5. Dana perimbangan
6. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
D. PENGATURAN SANKSI DI BIDANG PERIZINAN
Sanksi administrasi dalam bidang perizinan adalah
1. Besturrdwang (paksaan pemerintah)
2. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran dan
lain-lain)
3. Pengenaan denda administrasi
4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)
Sanksi atas pelanggaran izin dapat berbentuk sanksi administrasi, yaitu dapat berupa
pencabutan izin, sanksi perdata, dapat berupa penjara dan pidana denda.
E. TATA BANGUNAN
1. Obyek dan Subyek Dalam Perizinan Bangunan
Subyek mendirikan bangunan adalah setiap orang atau badan hukum yang ingin
mendirikan bagunan, sedangkan yang menjadi obyek izin mendirikan bangunan adalah setiap
bangunan yang didirikan untuk keperluan tertentu.
2. Pengawasan dan Penegakan Hukum Dalam Tata Bangunan
Setiap pelaksanaan kegiatan, baik itu pada permulaan, pelaksanaan maupun setelah
pelaksanaan, perlu diadakannya suatu pengawasan yang konsisten. Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadinya suatu penyimpangan terhadap izin yang telah diberikan kepada pemohon.
3. Sanksi Dalam Tata Bangunan

Adapun sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran tata bagunan adalah :
Sanksi pidana atau denda yang dikenakan dengan uang paksa dwangsom, melakukan
pembongkaran, penyegelan, dan selain itu juga dikenakan sanksi bestuursdwang dengan
sanksi administrasi berupa :
a. Pencabutan izin pembagunan
b. Pencabutan izin untuk menggunakan dan atau kelayakan untuk menggunakan bangunan
c. Penundaan izin.
BAB VI
KONSEP KERJASAMA PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENYELESAIAN
PERSE