Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Tentang Manfaat Konsumsi Teh Hijau
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil ‘tahu’ dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang man penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penlihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. (Notoatmodjo,2007)
Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai meningat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang
dipelajari
antara
lain
menyebutkan,
menguraikan,
mendefinisikan,
menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan
dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi ini diartikan dapat
sebagai aplikasi atau penggunann hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini
dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan,
mengelompokkan dan seperti sebagainya. Analisis merupakan kemampuan
untuk mengidentifikasi, memisahkan dan sebagainya.
5. Sintesa (Syntesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakan atau menggabungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang, baru dengan kata lain sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari informasiinformasi yang ada misalnya dapat menyusun, dapat menggunakan, dapat
meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang
telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melalukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian itu berdasarkan suatu
kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau anket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responder kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai
dengan tingkatan-tingkatan diatas.
2.2. Teh Hijau
2.2.1. Definisi
Negara pertama yang menanam teh adalah India dan Cina. Teh dibuat dari
daun tanaman teh Camellia sinensis yang dipetik dan mengalami proses pemanasan
untuk mencegah oksidasi atau bisa diartikan minuman yang dihasilkan dari seduhan
daun teh tersebut. Tanaman teh tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan curah
hujan sepanjang tahun tidak kurang dari 1500 mm. Tanaman ini memerlukan
kelembapan tinggi dan temperature udara antara 13-29,5˚C (Sutejo, 1972).
Teh
termasuk minuman segar yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan
diyakini memiliki khasiat kesehatan bagi tubuh. Terdapat penelitian yang melaporkan
bahwa komponen-komponen dalam teh tradisional ini memiliki kegunaan penting di
bidang kesehatan. (American Journal of Clinical Nutrition).
Teh digolongkan ke dalam:
Kingdom
: Plantae
Diviso
: Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class
: Dicotiledonaea
Ordo
: Guttiferales
Famili
: Tehaceae
Genus
: Camelia
Spesies
: Camelia sinensis
Daun tanaman Camellia sinensis memilik tiga variasi utama yaitu teh hijau, teh
hitam, dan teh oolong. Perbedaan dari variasi teh tersebut adalah pada proses
pembuatannya. Proses pembuatan teh diatur untuk membiarkan polifenol yang
terdapat dalam teh teroksidasi secara alami oleh polyphenol oxidase yang terdapat
pada daun teh. Teh hijau diproses dengan cara menginaktivasi polyphenol oxidase
pada daun yang masih segar dengan cara dipanaskan atau diuapkan, yang akan
mencegah oksidasi catechin(komponen flavonoid terbanyak pada ekstrak teh hijau).
Tahap pengolahan teh hijau terdiri dari pelayuan, penggulungan, pengeringan, sortasi
kering, serta pengemasan.
Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis teh dan cara pemprosesannya
2.2.2 Komposisi Teh Hijau
Komposisi kimia teh hijau sangat kompleks, yaitu: protein (15 - 20% berat
kering)
sebagai enzim; aminoacids (1-4% berat kering), seperti teanine atau 5-
Nethylglutamine, asam glutamat, triptofan, glisin, serin, asam aspartat, tirosin, valin,
leusin, treonin, arginin, lisin; karbohidrat (5-7% berat kering) seperti selulosa, pektin,
glukosa, fruktosa, sukrosa, lipid sebagai linoleat dan asam linolenat; sterol sebagai
stigmasterol; vitamin (B, C, E); Xanthic basa seperti kafein dan teofilin (Gambar 2);
pigmen klorofil dan karotenoid, senyawa volatil seperti aldehida, alkohol, ester,
lakton, hidrokarbon, dll; mineral dan elemen (5% berat kering) seperti Ca, Mg, Cr,
Mn, Fe, Cu, Zn, Mo, Se, Na, P, Co, Sr, Ni, K, F dan Al.
Karena besar pentingnya kehadiran mineral dalam teh, banyak penelitian telah
dilakukan untuk menentukan kadarnya dalam daun teh hijau. Misalnya, Costa LM
(2002) diamati besar variasi kandungan mineral (Al, Ca, Mg dan Mn) dalam warna
hijau teh dari asal yang berbeda. Shu WS (2003) mengamati variasi besar di antara
varietas teh yang berbeda dalam mengumpulkan fluoride dan aluminium.
Polifenol merupakan kelompok yang paling menarik dari komponen daun teh
hijau, dan karena itu, teh hijau dapat dianggap sebagai sumber polifenol, khususnya
flavonoid. Flavonoid adalah turunan fenol yang disintesis dalam jumlah besar (0.51.5%) dan bervariasi (lebih dari 4000 diidentifikasi), dan didistribusikan secara luas
di antara tanaman lainnya. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) baru-baru
ini menerbitkan sebuah database untuk kandungan flavonoid pada makanan.
Flavonoid utama yang ada dalam teh hijau meliputi katekin (flavan-3-ols). Keempat
catechin utama (-) - epigallocatechin-3-gallate (EGCG), yang mewakili sekitar 59%
dari total katekin, (-)-epigallocatechin (EGC) (kurang lebih 19%); (-)-Epicatechin-3gallate (ECG) (kurang lebih 13,6%); dan epikatekin (EC) (kurang lebih 6,4%). Teh
hijau juga mengandung asam galat (GA) dan asam fenolat lain seperti asam
klorogenat dan asam caffeic, dan flavonol seperti kaempferol, myricetin dan
quercetin. Manfaat yang berbeda pada teh hijau dapat diperoleh dari keunikan
kandungannya yang memberikan kapasitas antioksidan yang kuat. Teh hijau kaya
dengan manfaat polyphenol yang dikenali sebagai katekins. Epigallo-catechin-gallate
(EGCG) terkaya dengan katekin dalam teh hijau. EGCG adalah komponen polifenol
pada teh hijau yang paling banyak dipelajari dan merupakan zat yang paling aktif.
(Mukhtar and Ahmad,2000). Teh hijau turut mengandung alkaloids, termasuk
kafeine, theobromine, dan theophylline. Mereka memberikan efek stimulan pada teh
hijau. L-theanine, komponen asam amino yang ditemukan pada teh hijau, telah diteliti
untuk efeknya sebagai penenang sistem saraf.(UMM,alt,Med article)
Gambar. 3 menunjukkan struktur kimia GA dan empat catechin utama hadir
dalam teh hijau. Isi katekin teh hijau relatif tergantung pada cara daun diproses
sebelum pengeringan (fermentasi dan pemanasan daun teh selama proses pembuatan
dapat mengakibatkan polimerisasi monopolyphenolic senyawa seperti katekin, yang
menyebabkan perubahan sifat-sifatnya). McKay dan Blumberg (2002) melaporkan
bahwa dekafeinasi mengurangi sedikit kandungan catechin dalam teh. Persiapan
instan dan penyajian dingin dapat mengurangi kandungan katekin dalam teh.
Produksi botol minuman teh hijau telah mengalami masalah perubahan warna
(brownish) terutama disebabkan oleh oksidasi katekin. Wu dan Wei (2002)
menunjukkan bahwa secangkir teh hijau (2,5 g daun teh hijau/200 mL air) dapat
mengandung 90 mg EGCG. Lin et al. (2003) menganalisis 31 teh komersial dan
mendeteksi bahwa tingkat katekin EGCG yang terbanyak dengan urutan yaitu teh
hijau (daun tua), teh hijau (muda daun) dan teh oolong, teh hitam. Jumlah katekin
selalu lebih tinggi di teh hijau, EGCG dan EGC adalah katekin utama dengan isi ratarata 7,358% dan 3,955%, masing-masing EKG disajikan nilai berkisar antara 0.910
dan 3.556%. Cabrera et al.(2003) melaporkan isi rata-rata dari empat katekin utama
(EGCG, EGC, EKG dan EC) dan gallic asam dalam 45 sampel dari berbagai jenis teh
termasuk hitam, merah, oolong dan teh hijau, tingkat EGCG semakin tinggi muncul
pada sampel teh hijau. Hasilnya diringkas dalam Gambar. 4.
2.2.3. Teh Hijau dan Kesehatan Manusia
Teh hijau telah dianggap sebagai obat dan minuman sehat sejak zaman kuno.
Obat tradisional Cina telah merekomendasikan tanaman ini untuk sakit kepala, nyeri
tubuh dan sakit, pencernaan, depresi, detoksifikasi, sebagai penambah tenaga, dan
secara umum, untuk memperpanjang hidup. Daun teh hijau mengandung tiga
komponen utama yang bertindak atas kesehatan manusia yaitu basis xanthic (kafein
dan teofilin), minyak esensial, dan senyawa polifenol. Kafein bertindak terutama pada
sistem saraf pusat, merangsang keterjagaan, meningkatkan konsentrai dan menambah
semangat (Chapman & Hall 1994). Beberapa dari efek yang disebabkan oleh kafein
dipengaruhi oleh teofilin dalam kandungan teh. Teofilin menginduksi aktivitas
psikoaktif, juga memiliki sedikit efek inotropik dan vasodilator, dan banyak efek
diuretik lebih tinggi dari kafein. Namun, efek yang paling menarik dapat dilihat pada
sistem pernapasan. Teofilin menyebabkan relaksasi non-spesifik pada stimulasi otot
polos bronkus. Teh hijau adalah jenis teh dengan persentase yang lebih tinggi minyak
esensial (Chapman &Hall, 1994). Namun, teh hijau lebih mendapat perhatian
terutama kandungan polifenolnya sebagai antioksidan. Sejumlah penelitian juga
menunjukkan bahwa ekstrak GTP (Green Tea Polyphenol) memiliki sifat
antimutagenik, antidiabetes, antibakteri, anti-inflamasi, dan hipokolesterolemik. Efek
menguntungkan pada penyakit mulut seperti perlindungan terhadap karies gigi,
periodontal penyakit, dan tanggalnya gigi (yang secara signifikan dapat
mempengaruhi kesehatan secara keseluruhan seseorang) juga telah dijelaskan (Wu
CD,2002). Di antara semua GTP, catechin, dan asam galat, dianggap menjadi pemain
utama dalam manfaatnnya pada kesehatan manusia. Berikut rinciannya :
a. Kegiatan antioksidan.
Teh hijau dianggap sebagai makanan sumber antioksidan yang kaya akan polifenol
(terutama catechin dan asam galat), tetapi juga mengandung karotenoid, tokoferol,
asam askorbat (vitamin C), mineral seperti Cr, Mn, Zn atau Se, dan senyawa
fitokimia tertentu. Senyawa ini dapat meningkatkan efek antioksidan GTP potensial.
Mereka juga berfungsi sebagai antioksidan secara tidak langsung melalui
penghambatan faktor redoxsensitive transcription, penghambatan enzim 'prooksidan’, seperti yang diinduksi oleh nitrat oksida sintase, lipoxygenases,
cyclooxygenases dan xantin oksidase, dan induksi enzim antioksidan, seperti
glutathione-S-transferase dan superoksida dismutase. Kapasitas antioksidan GTP
telah dinilai oleh beberapa metode. Misalnya, Cao et al(1996) menggunakan
kapasitas penyerapan radikal oksigen (Oxygen Resorption Assay Capacity)
menemukan bahwa teh hijau memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi
terhadap radikal peroxyl dibandingkan sayuran seperti bawang putih, kangkung,
bayam dan kecambah brussels. Saffari dan Sadrzadeh (2004) meneliti kapasitas
antioksidan EGCG menggunakan membran eritrosit terikat. ATPase sebagai model,
dan hasilnya menunjukkan bahwa EGCG adalah antioksidan kuat yang mampu
melindungi ATPase membrane bound eritrosit terhadap stres oksidatif. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa EGCG dapat bertindak secara in vitro sebagai
antioksidan dengan menghambat radikal proxyl dan peroksidasi lipid (ZhangMH
2004). Namun, kapasitas antioksidan katekin ditentukan secara in vitro tergantung
pada jenis tes yang digunakan dan tidak mencerminkan faktor-faktor seperti
bioavailabilitas dan metabolisme. Fakta bahwa catechin dengan cepat dan ekstensif
dimetabolisme menekankan pentingnya menunjukkan aktivitas antioksidan secara in
vivo untuk mewakili dampak fisiologis konsumsi teh hijau. Frei dan Higdon (2003)
melaporkan bahwa untuk menentukan apakah atau tidak GTP bertindak sebagai
antioksidan yang efektif dalam vivo, studi masa depan pada hewan dan manusia harus
menggunakan biomarker sensitif dan spesifik dari kerusakan oksidatif lipid, protein
dan DNA. Namun demikian, sejumlah besar studi yang mengintervensi manusia
dengan teh hijau menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas
antioksidan plasma pada manusia setelah konsumsi dengan jumlah moderat (1-6
cangkir / hari). Ada juga indikasi awal yang menunjukkan bahwa potensi antioksidan
darah yang meningkat mengurangi kerusakan oksidatif pada makromolekul, seperti
DNA dan lipid (Rietveld A,2003). McKay dan Blumberg (2002) melaporkan bahwa
konsumsi ulang teh hijau dan encapsulated ekstrak teh hijau selama satu sampai
empat minggu telah menunjukkan pengurangan status oksidatif. Erba et al.(2005)
menunjukkan kemampuan teh hijau yang dikonsumsi dalam jumlah yang seimbang,
meningkatkan keseluruhan status antioksidan dan melindungi tubuh terhadap
kerusakan oksidatif.
b. Potensi Antimutagenik dan antikarsinogenik
Penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup, seperti kanker ataupun penyakit yang
berhubungan dengan penuaan, merupakan faktor utama penyebab penyakit. Oleh
karena itu, pencegahan penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup akan
tergantung pada penundaan proses penuaan dan pencegahan penampakan klinis
penyakit. Komponen makanan yang mampu memperlambat penuaan sel dan
menghambat pertumbuhan sel-sel kanker tanpa mempengaruhi pertumbuhan sel
normal menerima perhatian yang cukup besar bagi pengembangan pencegahan
kanker (Lambert JD,2003). Peran teh hijau dalam melindungi sel terhadap kanker
telah didukung oleh banyak bukti dari penelitian dalam kultur sel dan model hewan
(Chung FL,2003). Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa teh hijau menghambat
karsinogenesis pada kulit, paru-paru, rongga mulut, kerongkongan, lambung, hati,
ginjal, prostat dan organ lainnya (Lambert JD,2003). Saat ini, teh hijau diterima
sebagai pencegah kanker atas dasar banyaknya penelitian secara in vitro, in vivo, dan
epidemiologi. The Chemoprevention Cabang National Cancer Institute telah memulai
rencana untuk mengembangkan senyawa teh sebagai agen chemopreventive dalam
percobaan manusia (SiddiquiIA,2004). Efek chemopreventive teh hijau tergantung
pada kerja antioksidan yang menginduksi enzim-enzim proses detoksifikasi. Teh
hijau juga berperan dalam pertumbuhan, perkembangan sel dan apoptosis, dan
peningkatan selektif bakteri flora dalam usus. D'Alessandro T (2003) juga
menunjukkan bahwa aspek penting dari risiko kanker berhubungan dengan inflamasi
respon, Saat ini, agen anti-inflamasi digunakan dalam strategi kemopreventif. Respon
inflamasi melibatkan produksi sitokin proinflamasi dan oksidan, seperti sebagai asam
hipoklorit dan peroksinitrit yang diproduksi oleh neutrophil dan makrofag. Reaktor
inflamasi ini bereaksi dengan residu tirosin oksidan fenolik pada protein untuk
membentuk chloro dan nitrotyrosine. Selain itu, besar mekanisme aktivitas
antikanker dari teh hijau pada hewan adalah dengan menghambat interaksi dengan
DNA karsinogen yang menyebabkan mutasi sel. Namun demikian, kerja teh hijau
serta mekanisme yang mendasarinya harus ditinjau dan peran GTP, yang
dikendalilkan komponen bioaktif dan kafein, harus dievaluasi secara kritis. EGCG
dari teh hijau terutama memberikan efek penghambatan pertumbuhan pada sel kanker
(Int J Oncol,2004). EGCG menjanjikan antikanker yang potensial karena sifat
antioksidan,
antimutagenik,
dan
kemopreventifnya
(Br
J
Cancer,
2004).
Rosengren(2003) menunjukkan bahwa katekin teh hijau mengurangi proliferasi sel
kanker payudara secara in vitro dan menurunkan pertumbuhan tumor payudara pada
tikus. Selanjutnya, studi in vitro telah menunjukkan bahwa kombinasi EGCG dan
tamoxifen bersinergis memberi efek sitotoksik pada sel-sel kanker payudara. Menurut
Wu et al.(2003), peminum teh hijau secara signifikan dapat mengurangi risiko kanker
payudara dibandingkan dengan wanita yang tidak minum teh hijau secara teratur
(yaitu, kurang dari sekali sebulan). Selain itu, ada kecenderungan penurunan risiko
yang signifikan dengan meningkatnya jumlah konsumsi teh hijau. Dua penelitian
pada wanita Jepang yang terdiagnosa kanker payudara menunjukkan bahwa konsumsi
teh hijau berbanding terbalik dengan tingkat kekambuhan, terutama pada tahap awal
kanker payudara (Inoue M, 2001). Zhang (2002) melaporkan bahwa risiko kanker
ovarium menurun dengan meningkatnya frekuensi dan durasi konsumsi teh hijau. Teh
hijau juga merupakan agen kemopreventif yang efektif untuk kanker prostat pada
manusia. Pada penelitian yang sama, Yu et al.(2004) melaporkan bahwa EGCG
menghambat pertumbuhan kanker prostat sel adenoma dan menginduksi apoptosis.
Jian et al.(2004) melakukan studi kasus-kontrol di China untuk menyelidiki apakah
konsumsi teh hijau memiliki hubungan dengan penurunan kanker prostat. Risiko
kanker prostat menurun dengan meningkatnya frekuensi, durasi, dan jumlah
konsumsi teh hijau. Hubungan dosis dan respon menunjukkan bahwa teh hijau dapat
melindungi sel prostat terhadap kanker. Di satu sisi, studi epidemiologi telah
menyarankan bahwa konsumsi tinggi teh hijau mengurangi perkembangan gastritis
aktif kronis dan risiko kanker perut. Di samping itu, konsumsi teh hijau sebelum
puasa melindungi mukosa usus terhadap atrofi (Asfar S,2003). Dengan metode yang
sama, Hoshiyama(2003) dan Koizumi(2003) menemukan adany hubungan antara
konsumsi teh hijau dan risiko kanker perut. Para penulis menunjukkan bahwa
konsumsi teh hijau tidak memiliki efek perlindungan terhadap kanker lambung, dan
lebih bergantung pada faktor-faktor lain, seperti usia, merokok, status sosial ekonomi,
infeksi Helicobacter pylori, sejarah ulkus peptik, dan riwayat keluarga kanker perut
bersama dengan komponen makanan tertentu.
c. Efek Anti-hipertensi Dan Risiko Penyakit Kardiovaskular
Teh hijau telah lama diyakini memiliki efek hipotensi dalam pengobatan Cina
populer. Namun, hasil yang bertentangan telah menunjukkan adanya perbedaan
antara percobaan dan studi hewan, dihubungankan dengan konsumsi teh terhadap
tekanan darah. Bukti-bukti epidemiologis tentang efek jangka panjang dari teh hijau
pada risiko hipertensi juga tidak konsisten. Yang et al. (2004) menyimpulkan bahwa
kebiasaan konsumsi teh hijau 120 mL/ hari atau lebih selama 1 tahun secara
signifikan mengurangi risiko berkembangnya hipertensi pada penduduk Cina.
Hodgson et al.(2003) melaporkan bahwa konsumsi jangka panjang teh hijau mungkin
memiliki efek yang menguntungkan pada tekanan darah pada wanita yang lebih tua.
Namun, penelitian lain tidak mendukung efek hipotensi teh hijau. Singh et al.(2003),
dan Murakami dan Ohsato (2003) melaporkan bahwa asupan teh hijau pada diet
mempertahankan dan meningkatkan elastisitas arteri dan fungsi endotel. Oksidasi
LDL-cholesterol, dikaitkan dengan risiko aterosklerosis dan penyakit jantung, dapat
dihambat dengan konsumsi teh hijau karena EC dan aktivitas antioksidan EGCG.
Aktivitas antioksidan EGCG pada Oksidasi LDL secara in vitro lebih kuat dari EC
(Gomikawa S,2002). Sesuai dengan pengamatan ini, Trevisanato dan Kim (2000)
mengindikasikan bahwa GTP dapat memperlambat aterosklerosis dengan mengurangi
efek oksidatif dengan modifikasi peristiwa LDL-kolesterol dan juga pembentukan sel
busa, sitotoksisitas endotel, dan induksi sitokin proinflamasi. Gomikawa dan
Ishikawa (2002) menyatakan bahwa katekin menekan kerentanan LDL terhadap
proses oksidasi oleh CuSO4 secara in vitro dan plasma oksidasi secara in vivo setelah
mengonsumsi teh hijau. Data lain melaporkan bahwa katekin telah terbukti
mengurangi kadar kolesterol plasma dan tingkat penyerapan kolesterol. Trigliserida
dalam plasma dan HDL tidak berubah secara signifikan. Para penulis mengatakan
bahwa salah satu mekanisme yang mendasari EGCG mempengaruhi metabolisme
lipid adalah dengan mengganggu solubilisasi misel kolesterol dalam saluran
pencernaan, yang kemudian pada gilirannya menurunkan penyerapan kolesterol.
Yokozawa et al. (2002) melaporkan bahwa kerja GTP efektif menghambat LDLkolesterol oksidasi dan peningkatan aktivitas antioksidan
serum. Selanjutnya, GTP meningkatkan kadar HDL, yang menyebabkan peningkatan
dosage-dependent dari indeks aterogenik. Dengan demikian, GTP mungkin berperan
sebagai antiatherosklerotik berdasarkan sifat antioksidan dan peningkatan tingkat
HDLnya. Teh hijau memiliki manfaat dalam aktivitas oksida nitrat yang disebabkan
oleh gangguan endothelium yang berkontribusi terhadap patogenesis aterosklerosis
dalam sirkulasi coroner yang telah dikaitkan dengan kejadian penyakit kardiovaskuler
di masa depan. Selanjutnya, disfungsi endotel ini dikaitkan dengan peningkatan stres
oksidatif dan dapat diturunkan dengan intervensi antioksidan. Kemungkinan variasi
antara studi yang berbeda mungkin juga disebabkan karena ketidaktahuan, faktor
sosial ekonomi, dan gaya hidup yang terkait dengan minum teh hijau (yaitu,
perbedaan geografis, kelas sosial, indeks massa tubuh, gaya hidup sehat, prevalensi
merokok yang tinggi, asupan lemak yang tinggi, asupan alcohol dan kopi).
d. Kesehatan Mulut
Penyakit mulut termasuk karies gigi, penyakit periodontal, dan kehilangan gigi secara
signifikan dapat berdampak pada kesehatan seseorang secara keseluruhan. Di
antaranya, karies gigi adalah penyakit menular multifaktorial yang terkait dengan
gizi, infeksi mikrobia, dan host respond. Laporan sebelumnya, pada hewan percobaan
dan manusia, menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau (tanpa tambahan gula)
mengurangi karies gigi (Wu CD,2002). Linke dan LeGeros (2003) menunjukkan
bahwa asupan teh hijau secara rutin dapat menurunkan pembentukan karies, bahkan
dengan penambahan gula dalam diet. Pada studi hewan secara in vivo telah
menunjukkan bahwa tikus yang terinfeksi Streptococcus mutans dan kemudian
mendapat diet kariogenik yang mengandung GTP memiliki memiliki skor karies yang
lebih rendah (Otake S,1991). Penambahan air minum tikus dengan 0,1% GTP
bersama dengan diet kariogenik juga secara signifikan mengurangi total celah lesi
karies (Wu CD 2002). Temuan terbaru dari Okamoto et al.(2004) menunjukkan
bahwa
katekin
teh
‘periodontalbreakdown’
hijau
yang
mungkin
memiliki
dihasilkan
dari
potensi
aktivitas
dalam
mengurangi
proteinase
dalam
Porphyromonas gingivalis. Selain itu, teh hijau ‘decoctions’ menghambat α-amilase
dalam air liur manusia yang mengurangi pelepasan maltosa sebesar 70% dan efektif
menurunkan potensi kariogenik dari makanan yang mengandungi kanji (McKay
DL,2002). Demikian pula, Zhang dan Kashket (1998) melaporkan bahwa ekstrak teh
hijau menghambat amilase dan dapat mengurangi potensi kariogenik pada makanan
yang mengandung kanji seperti kerupuk dan kue karena mereka dapat mengurangi
kecenderungan jenis makanan tersebut sebagai sumber ‘slow release’ fermentasi
karbohidrat. Sangat mungkin bahwa kariogenik dapat dikurangi dengan kehadiran
simultan teh hijau dalam diet. Selain dari kandungan polifenol dalam teh hijau, baik
yang berwarna hijau atau hitam, merupakan sumber alami fluoride dan penghantar
yang efektif fluoride dalam rongga mulut. Menurut Simpson et al (2001), setelah
membersihkan mulut dengan teh, sekitar 34% fluoride dipertahankan dan
menunjukkan kemampuan yang kuat untuk berinteraksi dengan jaringan mulut dan
integumen permukaannya. Kandungan fluoride mungkin memiliki dampak yang
menguntungkan pada karies dan dapat pula mencegah kehilangan gigi dan kanker
mulut (Sugimoto A,2004). Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa ekstrak
GTP mungkin bertanggungjawab terhadap kesehatan mulut dan juga telah dibuktikan
GTP sebagai fluoride berkontribusi terhadap potensi antikariogenik (Makimura
M,1991) dengan menghambat pertumbuhan bakteri mulut seperti Escherichia coli,
Streptococcus salivarius, dan Streptococcus mutans. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa GTP menghambat pertumbuhan, produksi asam, metabolisme,
dan aktivitas enzim glukosiltransferase S. mutans dan bakteri plak gigi lainnya (WU
CD,2002). Karena itu, teh hijau telah dianggap sebagai makanan fungsional untuk
kesehatan mulut dan secara luas digunakan dalam formulasi pasta gigi.
e. Perlindungan Sinar Ultraviolet
Epidemiologi, uji klinis dan studi biologi telah menunjukkan bahwa sinar matahari
(UV) adalah karsinogen lengkap dan paparan berulang dapat menyebabkan
perkembangan berbagai gangguan kulit, termasuk melanoma dan kanker kulit nonmelanoma. EGCG dianggap agen utama pelindung terhadap beberapa jenis radiasi,
karena dapat mencegah penyakit kulit, dan masalah kanker akibat photoaging (Singh
D,2001). Tampaknya sisa katekin juga mendukung proses ini. Katiyar (2003)
menunjukkan bahwa pengobatan topikal atau konsumsi oral GTP menghambat
karsinogen kimia terhadap kulit akibat radiasi UV karsinogenesis pada hewan di
laboratorium yang berbeda. Pengobatan topikal GTP atau ECCG dan konsumsi oral
GTP mencegah respon inflamasi akibat UVB, imunosupresi, dan stres oksidatif, yang
merupakan biomarker dari beberapa kondisi penyakit kulit. Fakta ini dikaitkan
dengan penghambatan infiltrasi inflamasi akibat UVB oleh leukosit. Penelitian in
vitro dan in vivo pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa GTP adalah
photoprotective di alam, dan dapat digunakan sebagai agen farmakologis untuk
pencegahan paparan UVB yang menyebabkan gangguan kulit, termasuk kanker kulit.
f. Pengendalian Berat Badan
Obesitas telah meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun
terakhir dan sekarang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Masalah yang
berlaku dalam asupan makanan fungsional dalam mengontrol berat badan telah
difokuskan pada bahan-bahan tanaman
yang mampu menghambat
sistem
sympathoadrenal (Dullo AG,1999). Efek dari konsumsi jangka panjang katekin telah
banyak dipelajari, dan beberapa peneliti menunjukkan peran potensial dari teh hijau
dalam tubuh. Selain itu, kafein dan theanine telah ditemukan mampu memperkuat
efek polifenol dalam mengontrol berat badan dan mengurangi akumulasi lemak pada
tikus (Zheng G,2004). Dalam penelitian in vitro dengan ekstrak teh hijau yang
mengandung 25% katekin (dalam kondisi mirip dengan yang fisiologis),
menunjukkan secara signifikan dapat menghampat aktivitas lipase lambung, dan
dalam tingkat yang lebih rendah juga lipase pankreas. Dengan demikian, lipolisis dari
trigliserida rantai panjang berkurang sebanyak 37% (Juhel C,2000). Studi in vitro
juga telah menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau meningkatkan proses emulsifikasi
lemak, yang terjadi sebelum enzim berkerja, dan sangat diperlukan untuk penyerapan
lipid di usus (Chantre P,2002). Teh hijau juga menunjukkan pengaruh terhadap
aktivitas lemak dalam menghambat sintase asam (Tian WX,2004). Selain itu, teh
hijau mungkin memiliki sifat thermogenik tidak hanya disebabkan oleh kandungan
kafein, tetapi juga memberi efek yang sama seperti kafein dan catechin. EGCG dapat
bertindak atas tingkat AMPc dengan meningkatkan pengeluaran energi (Juhel
C,2000). Dulloo et al.(1999) menggunakan ekstrak teh hijau yang kaya dengan
katekin dan kafein, menyimpulkan bahwa teh hijau memiliki sifat termogenik dan
mempromosikan oksidasi lemak melampaui dari yang dijelaskan oleh kandungan
kafein, di mana ekstrak teh hijau mungkin memainkan peran dalam mengendalikan
berat tubuh melalui aktivasi simpatik thermogenesis, oksidasi lemak, atau keduanya.
Dulloo et al.(1999) menunjukkan bahwa adanya sifat termogenik teh hijau karena
terdapat interaksi antara kadar katekin yang tinggi dan kehadiran kafein dengan
noradrenalin simpatik, karena polifenol diketahui mampu menghambat katekol-ometil-transferase (enzim yang mendegradasi noradrenalin), dan penghambatan kafein
oleh phosphodiesterases trancellular (enzim yang memecah noradrenalin-induced
AMPc). Interaksi sinergis antara polifenol dan kafein dapat meningkatkan dan
memperpanjang stimulasi simpatik thermogenesis yang membantu pengelolaan
obesitas. Kovacs et al.(2004) melaporkan bahwa pemeliharaan berat badan setelah
7,5% penurunan berat badan pada orang yang obesitas maupun obesitas sedang tidak
dipengaruhi oleh konsumsi teh hijau, tetapi dengan konsumsi kafein secara teratur
dan asupan teh hijau dapat memberi pengaruh terhadap pemeliharaan berat badan.
Menurut beberapa penulis, ekstrak teh hijau (dengan 25% dari konten catechin)
dianjurkan untuk pengobatan kelebihan berat badan pada pasien yang IMT-nya
berkisar antara 25 dan 29,9 kg/m2, hanya jika mereka tidak alergi (sensitiveness)
terhadap basis xantic (Kovacs EM,2004)
g. Toleransi Glukosa dan Insulin Sensitivitas
Pengamatan epidemiologi dan penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa teh
hijau memiliki efek terhadap toleransi glukosa dan sensitivitas insulin. Anderson dan
Polansky(2002) melaporkan bahwa teh hijau meningkatkan aktivitas insulin dan
senyawa aktif dominan adalah EGCG. Penulis yang sama menunjukkan bahwa
penambahan teh lemon tidak mempengaruhi aktivitas insulin-potentiating, tapi
penambahan 50g per cangkir susu menurunkan aktivitas potential insulin sekitar
90%. Wu et al.(2004) meneliti pengaruh suplementasi teh hijau pada toleransi
glukosa dan sensitivitas insulin pada tikus. Tikus dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok control, yang diberi makan dengan standar chow dan air suling deionisasi,
sementara yang lain diberi makan dengan diet yang sama, tapi dengan teh hijau bukan
air (0,5 g bubuk teh hijau lyophilized yang dilarutkan dalam 100 mL air suling
deionisasi). Setelah 12 minggu pemberian suplemen teh hijau, kelompok ini memiliki
tingkat glukosa plasma puasa, insulin, trigliserida, dan asam lemak bebas yang lebih
rendah dari tikus kontrol. Selain itu, GTP secara signifikan meningkatkan insulin
yang dirangsang penyerapan glukosa oleh sel basal dan adiposa (McKay DL,2002).
Beberapa penyelidikan juga menunjukkan bahwa EGCG tidak hanya mengatur
tingkat glukosa dalam darah, tetapi juga dapat merehabilitasi kerusakan beta-sel, yang
bertanggung jawab untuk memproduksi insulin (Wu CH,2003).
h. Efek lainnya
Katekin dalam teh hijau dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dan antivirus.
Efektivitas teh hijau terhadap semua jenis diare dan tipus telah dikenal di Asia sejak
zaman kuno (Wu AH,2003). Teh hijau juga dikenal sebagai penghambat reproduksi
dan pertumbuhan bakteri, di antaranya seperti Salmonella, Clostridium, atau Bacillus.
Takabayashi (2004) dan Yee et al.(2002) melaporkan katekin dalam teh hijau
memiliki efek yang menghambat infeksi Helicobacter pylori. Selain itu, teh hijau
juga mempengaruhi flora usus, yang merupakan agen bakterisida yang baik.
Mengenai efek antivirusnya, teh hijau dikenal dapat mencegah tanaman tembakau
dari serangan 'virus mosaik'. Investigasi baru telah mengkonfirmasi bahwa katekin
sangat menghambat pertumbuhan dan reproduksi virus mosaik[3]. Pengaruh teh hijau
menghambat virus influenza, terutama pada tahap awal, serta terhadap Herpes
simplex virus juga telah dibuktikan (Yam TS,1997). Selanjutnya, Weber et.al(2003)
mengamati infeksi adenovirus dapat dihambat secara in vitro oleh katekin dalam teh
hijau. Hirasawa dan Takada (2004) menunjukkan adanya aktivitas antijamur katekin
dalam teh hijau terhadap Candida albicans, dan kombinasi pengobatan dengan
katechin dan antimycotics dosis rendah dapat menghindari efek samping antimycotic
tersebut. Park et al.(2003) mengamati efek positif ekstrak teh hijau dan GTP terhadap
proliferasi dan aktivitas sel-sel tulang. Wu dan Wei (2002) menunjukkan kepadatan
mineral dalam tulang mungkin dipengaruhi oleh beberapa senyawa kimia yang
terkandung dalam ekstrak teh (yaitu, kafein, phytostrogen, fluoride, ...). Polifenol
dalam teh hijau diketahui memiliki sifat antifibrosis pada kulit dan arteri.
Perkembangan sel stellata hati berkaitan erat dengan perkembangan fibrosis hati pada
penyakit hati kronis, dan EGCG memiliki potensi menghambat proliferasi sel-sel
tersebut (DorchiesOM,2003). Teh hijau memperkuat sistem kekebalan tubuh karena
teh hijau melindungi tubuh dari oksidan dan radikal. Bayer et al.(BayerJ 2004)
menunjukkan bahwa asupan oral teh hijau dapat bertindak sebagai terapi adjuvan
untuk mencegah penolakan transplantasi pada manusia. Studi baru menunjukkan
bahwa GTP dapat melindungi tubuh dari penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer
dan penyakit neurodegeneratif lainnya (Weinreb O,2004). GTP menunjukkan
aktivitas neuroprotectant pada kultur sel dan hewan percobaan, seperti mencegah sel
dari neurotoksik. Efek biologis dari GTP bermanfaat bagi pasien dengan penyakit
Parkinson, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki keamanan dan
efektivitas teh hijau pada manusia dan menentukan perbedaan mekanisme teh hijau
sebagai pelindung saraf (Pan TH,2003). Teh hijau dianggap berguna sebagai
antiinflamasi
akibat
sengatan
serangga
dan
kemampuannya
menghentikan
pendarahan (Dvorakova K,1999). Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan
antara konsumsi teh hijau dengan risiko pembentukan batu ginjal (Ishizuk H,2003)
.Selain itu, ekstrak teh hijau memperlambat perkembangan kerabunan lensa mata
pada tikus dan katarak yang disebabkan oleh Selenite(Thiagarajan G,2001). Gupta et
al(2002) melaporkan bahwa tindakan teh hijau dengan mempertahankan efek
antioksidan pada lensa. Skrzydlewska et al.(2002) menunjukkan efek menguntungkan
dari teh hijau pada keracunan alkohol. Selain sebagai makanan fungsional (Ferrari
CKB,2003), teh hijau juga memiliki kegunaan dalam sediaan farmasi, pembuatan
pasta gigi dan kosmetik (Arburjai T,2003). Aktivitas antioksidan teh hijau
membuatnya menjadi produk yang alami, efisien, dan bebas pengawet. Gagal ginjal
juga merupakan kondisi dimana teh hijau telah terbukti memiliki efek perlindungan.
Penurunan fungsi ginjal adalah karena efek penuaan dan gagal ginjal adalah penyebab
sering fatal. Studi di Mansoura Universitas di Egyp telah menjelajahi kemungkinan
untuk melindungi fungsi ginjal dari kegagalan mengancam kehidupan adalah dengan
sering mengonsumsi teh hijau. Mereka menemukan hewan dengan gagal ginjal ketika
diobati dengan 50mg/kg EGCG ditampilkan secara signifikan laju filtrasi glomerulus
pulih dalam masa 7 hari. Hasilnya adalah malondialdehid dan sitokin inflamasi
berkurang dan berlaku peningkatkan gluthationes (level antioksidan) dibandingkan
dengan resveratrol dan quercetin.
2.2.4 Nilai Gizi Teh Hijau
Konsumsi teh hijau berkontribusi terhadap keseluruhan asupan cairan harian, dan jika
tidak ditambahkan gula, asupan kalorinya menjadi tidak signifikan. Di samping itu,
asupan kafein dalam teh hijau lebih rendah daripada kopi, teh hitam atau minuman
ringan lainnya. Selain itu, kontribusi senyawa antioksidan (katekin dan zat fitokimia
lainnya, vitamin tertentu seperti vitamin C, dan mineral seperti Mn, Cr, Se, Zn)
sangat baik bagi kesehatan manusia, dan lebih bernutrisi daripada minuman
nonalkohol lainnya. Kandungan Mn dalam teh hijau juga tinggi(Powel JJ,1998).
Mangan merupakan konstituen dari tiga metalloenzymes (yaitu, arginase,
karboksilase piruvat, dan Mn-superoksida dismutase) yang dapat mengaktifkan
sejumlah besar enzim, seperti transferases glicosil, yang terlibat dalam sintesis
mukopolisakarida (Mann J,1998). Kekurangan mangan dapat menyebabkan kelainan
pada metabolisme karbohidrat, glikosaminoglikan, dan kolesterol (Shils ME,1994).
Kromium, selenium, dan seng juga memainkan peranan penting dalam metabolisme
manusia, dan kebutuhan akan elemen ini meningkat karena ada laporan yang
berkaitan dengan status trace-element dan penyakit oksidatif. Kromium terlibat dalam
metabolisme karbohidrat dan lipid yaitu tanda yang paling sering muncul pada
defisiensi Cr adalah peningkatan toleransi glukosa. Hal ini berkaitan dengan diabetes
dan penyakit jantung (Mann J,1998). Efek menguntungkan dari suplemen Cr,
khususnya pada kelompok yang mengalami defisiensi Cr, telah dilaporkan (Shils
ME,1998). Fungsi Selenium melalui selenoproteins, beberapa di antaranya adalah
sebagai enzim pertahanan terhadap oksidan. Se bertindak sebagai kofaktor enzim
glutation
peroksidase
dalam
mengeliminasi
radikal
peroksida.
Penelitian
epidemiologi telah menunjukkan kemungkinan efek Se terhadap pencegahan dan
regresi kanker (Mann dan Shils,1998,1994). Enzim seng berpartisipasi dalam
berbagai proses metabolisme termasuk karbohidrat, lipid, dan sintesis atau degradasi
protein. Unsur ini diperlukan untuk sintesis deoksiribonukleat dan asam ribonukleat,
tetapi juga mungkin memainkan peran dalam menstabilkan membran plasma (Shils
ME,1998). Zinc telah diakui sebagai kofaktor dari enzim superoksida dismutase,
yang terlibat dalam perlindungan terhadap proses oksidatif (Mann J,1994). Selain itu,
teh hijau mengandung lebih banyak vitamin C daripada teh hitam dan teh
oolong(Hasegawa N,2002), tapi kandungan total vitamin C dalam daun teh menurun
selama proses fermentasi teh (Shimada K,1994. Namun, semua sifat-sifat di atas
menunjukkan bahwa teh hijau dapat dianggap sebagai minuman alternatif yang
memiliki kandungan energi dan/atau kafein yang lebih tinggi daripada minuman lain
yang lebih kaya gula dan alkohol.
2.2.5. Efek Berbahaya Konsumsi Teh berlebihan
Efek berbahaya dari konsumsi teh hijau adalah karena tiga faktor utama yaitu
kandungan
kafein,
kehadiran
aluminium,
dan
efek
polifenol
teh
pada
bioavailabilitasnya terhadap besi. Konsumsi teh hijau dalam jangka yang panjang
dapat meningkatkan kinerja kognitif dan psikomotor pada orang dewasa yang sehat
karena cara kerjanya yang mirip dengan kopi, tapi teh hijau (yang mengandung lebih
sedikit kafein) kurang mengganggu kualitas tidur di malam hari dibandingkan dengan
kopi (McKay DL,2002). Terlalu banyak teh hijau, lebih dari lima cangkir per hari,
mungkin tidak aman. Hal ini disebabkan karena efek samping dari kafein. Efek
samping ini dapat berkisar dari ringan sampai berat, seperti sakit kepala, gugup,
ganguan tidur, muntah, diare, iritasi, denyut jantung tidak teratur, tremor, mulas,
pusing, telinga berdenging, kejang, dan kebingungan (Bruneton J,2001). Teh hijau
tampaknya mengurangi penyerapan zat besi dari makanan. Konsumsi teh hijau
dengan dosis yang sangat tinggi dapat berakibat fatal. Dosis fatal kafein dalam teh
hijau diperkirakan 10-14 gram (150-200 mg per kilogram). Tabel 4 mencakup data
tentang kandungan kafein dalam jumlah minuman yang dikonsumsi. Kandungan
kafein dalam teh hijau dapat bervariasi sesuai dengan jenis teh dan bentuk sediaan
umumnya. Konsumsi teh hijau tidak dianjurkan pada orang yang sensitive terhadap
xanthic. Umumnya, teh kantong menghasilkan persentase kafein yang lebih tinggi
dari daun teh (Willson kC,1999). Efek negative Teofilin mirip dengan kafein, tetapi
hal ini hanya terjadi dengan asupan yang tinggi.
Teh hijau tidak harus diambil oleh pasien yang menderita kondisi jantung atau
masalah kardiovaskular yang berat. Wanita hamil dan yang menyusui tidak
seharusnya minum teh hiaju lebih dari satu atau dua cangkir per hari. Hal ini karena,
kafein dapat menyebabkan peningkatan irama jantung dan ini meningkatkan risiko
keguguran serta efek negatif lainnya. (Brineton J,2001). Selain itu, hal ini juga
penting untuk mengendalikan konsumsi seiring teh hijau dan beberapa obat, karena
efek diuretik kafein. Beberapa penelitian mengungkapkan kapasitas daun teh dapat
mengakumulasi tingkat tinggi aluminium. Aspek ini penting bagi pasien menderita
gagal ginjal kronis karena aluminium dapat diakumulasikan oleh tubuh, sehingga
memuci ke penyakit saraf. Demikian, asupan makanan perlu di kontrol dengan
jumlah tinggi logam ini ( Costa LM,2002). Menurut beberapa penulis, asupan
makanan Al tidak boleh melebihi 6 mg / hari untuk menghindari tingkat yang
berpotensi beracun(Massey RC,1991). Demikian juga, katekin dalam teh hijau
mungkin memiliki afinitas untuk besi, dan infus teh hijau dapat menyebabkan
penurunan yang signifikan dari bioavailabilitas besi dari diet. (Hamdaoui MH,2003)
Pediatrik : Teh hijau belum diteliti pada anak-anak, sehingga tidak direkomendasikan
untuk penggunaan pediatrik.
Dewasa : Tergantung pada merek, 2-3 cangkir teh hijau per hari (untuk total 240-320
mg polifenol) atau 100-750 mg per hari dari ekstrak teh hijau standar dianjurkan.
Produk bebas kafein tersedia dan direkomendasikan.
2.7 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Konsumsi Teh Hijau
Teh hijau yang telah dikaji secara ekstensif di seluruh dunia yang dianggap salah
satu agen diet terbukti sebagai mencegah dan mengobati banyak penyakit
berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Teh hijau telah
dikonsumsi di Cina dan Jepang sejak zaman kuno untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan. Hal ini terbukti, Cina, Jepang, dan negara-negara barat
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai manfaat konsumsi teh hijau,
berdasarkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap mereka
(Functional Foods in Health and Disease, 2012). Belum ada penelitian yang
dilakukan sebelumnya mengenai tingkat pengetahuan manfaat mengkonsumsi teh
hijau di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara tentang manfaat konsumsi teh hijau bagi kesehatan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil ‘tahu’ dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang man penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penlihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. (Notoatmodjo,2007)
Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai meningat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang
dipelajari
antara
lain
menyebutkan,
menguraikan,
mendefinisikan,
menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan
dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi ini diartikan dapat
sebagai aplikasi atau penggunann hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini
dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan,
mengelompokkan dan seperti sebagainya. Analisis merupakan kemampuan
untuk mengidentifikasi, memisahkan dan sebagainya.
5. Sintesa (Syntesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakan atau menggabungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang, baru dengan kata lain sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari informasiinformasi yang ada misalnya dapat menyusun, dapat menggunakan, dapat
meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang
telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melalukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian itu berdasarkan suatu
kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau anket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responder kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai
dengan tingkatan-tingkatan diatas.
2.2. Teh Hijau
2.2.1. Definisi
Negara pertama yang menanam teh adalah India dan Cina. Teh dibuat dari
daun tanaman teh Camellia sinensis yang dipetik dan mengalami proses pemanasan
untuk mencegah oksidasi atau bisa diartikan minuman yang dihasilkan dari seduhan
daun teh tersebut. Tanaman teh tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan curah
hujan sepanjang tahun tidak kurang dari 1500 mm. Tanaman ini memerlukan
kelembapan tinggi dan temperature udara antara 13-29,5˚C (Sutejo, 1972).
Teh
termasuk minuman segar yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan
diyakini memiliki khasiat kesehatan bagi tubuh. Terdapat penelitian yang melaporkan
bahwa komponen-komponen dalam teh tradisional ini memiliki kegunaan penting di
bidang kesehatan. (American Journal of Clinical Nutrition).
Teh digolongkan ke dalam:
Kingdom
: Plantae
Diviso
: Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class
: Dicotiledonaea
Ordo
: Guttiferales
Famili
: Tehaceae
Genus
: Camelia
Spesies
: Camelia sinensis
Daun tanaman Camellia sinensis memilik tiga variasi utama yaitu teh hijau, teh
hitam, dan teh oolong. Perbedaan dari variasi teh tersebut adalah pada proses
pembuatannya. Proses pembuatan teh diatur untuk membiarkan polifenol yang
terdapat dalam teh teroksidasi secara alami oleh polyphenol oxidase yang terdapat
pada daun teh. Teh hijau diproses dengan cara menginaktivasi polyphenol oxidase
pada daun yang masih segar dengan cara dipanaskan atau diuapkan, yang akan
mencegah oksidasi catechin(komponen flavonoid terbanyak pada ekstrak teh hijau).
Tahap pengolahan teh hijau terdiri dari pelayuan, penggulungan, pengeringan, sortasi
kering, serta pengemasan.
Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis teh dan cara pemprosesannya
2.2.2 Komposisi Teh Hijau
Komposisi kimia teh hijau sangat kompleks, yaitu: protein (15 - 20% berat
kering)
sebagai enzim; aminoacids (1-4% berat kering), seperti teanine atau 5-
Nethylglutamine, asam glutamat, triptofan, glisin, serin, asam aspartat, tirosin, valin,
leusin, treonin, arginin, lisin; karbohidrat (5-7% berat kering) seperti selulosa, pektin,
glukosa, fruktosa, sukrosa, lipid sebagai linoleat dan asam linolenat; sterol sebagai
stigmasterol; vitamin (B, C, E); Xanthic basa seperti kafein dan teofilin (Gambar 2);
pigmen klorofil dan karotenoid, senyawa volatil seperti aldehida, alkohol, ester,
lakton, hidrokarbon, dll; mineral dan elemen (5% berat kering) seperti Ca, Mg, Cr,
Mn, Fe, Cu, Zn, Mo, Se, Na, P, Co, Sr, Ni, K, F dan Al.
Karena besar pentingnya kehadiran mineral dalam teh, banyak penelitian telah
dilakukan untuk menentukan kadarnya dalam daun teh hijau. Misalnya, Costa LM
(2002) diamati besar variasi kandungan mineral (Al, Ca, Mg dan Mn) dalam warna
hijau teh dari asal yang berbeda. Shu WS (2003) mengamati variasi besar di antara
varietas teh yang berbeda dalam mengumpulkan fluoride dan aluminium.
Polifenol merupakan kelompok yang paling menarik dari komponen daun teh
hijau, dan karena itu, teh hijau dapat dianggap sebagai sumber polifenol, khususnya
flavonoid. Flavonoid adalah turunan fenol yang disintesis dalam jumlah besar (0.51.5%) dan bervariasi (lebih dari 4000 diidentifikasi), dan didistribusikan secara luas
di antara tanaman lainnya. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) baru-baru
ini menerbitkan sebuah database untuk kandungan flavonoid pada makanan.
Flavonoid utama yang ada dalam teh hijau meliputi katekin (flavan-3-ols). Keempat
catechin utama (-) - epigallocatechin-3-gallate (EGCG), yang mewakili sekitar 59%
dari total katekin, (-)-epigallocatechin (EGC) (kurang lebih 19%); (-)-Epicatechin-3gallate (ECG) (kurang lebih 13,6%); dan epikatekin (EC) (kurang lebih 6,4%). Teh
hijau juga mengandung asam galat (GA) dan asam fenolat lain seperti asam
klorogenat dan asam caffeic, dan flavonol seperti kaempferol, myricetin dan
quercetin. Manfaat yang berbeda pada teh hijau dapat diperoleh dari keunikan
kandungannya yang memberikan kapasitas antioksidan yang kuat. Teh hijau kaya
dengan manfaat polyphenol yang dikenali sebagai katekins. Epigallo-catechin-gallate
(EGCG) terkaya dengan katekin dalam teh hijau. EGCG adalah komponen polifenol
pada teh hijau yang paling banyak dipelajari dan merupakan zat yang paling aktif.
(Mukhtar and Ahmad,2000). Teh hijau turut mengandung alkaloids, termasuk
kafeine, theobromine, dan theophylline. Mereka memberikan efek stimulan pada teh
hijau. L-theanine, komponen asam amino yang ditemukan pada teh hijau, telah diteliti
untuk efeknya sebagai penenang sistem saraf.(UMM,alt,Med article)
Gambar. 3 menunjukkan struktur kimia GA dan empat catechin utama hadir
dalam teh hijau. Isi katekin teh hijau relatif tergantung pada cara daun diproses
sebelum pengeringan (fermentasi dan pemanasan daun teh selama proses pembuatan
dapat mengakibatkan polimerisasi monopolyphenolic senyawa seperti katekin, yang
menyebabkan perubahan sifat-sifatnya). McKay dan Blumberg (2002) melaporkan
bahwa dekafeinasi mengurangi sedikit kandungan catechin dalam teh. Persiapan
instan dan penyajian dingin dapat mengurangi kandungan katekin dalam teh.
Produksi botol minuman teh hijau telah mengalami masalah perubahan warna
(brownish) terutama disebabkan oleh oksidasi katekin. Wu dan Wei (2002)
menunjukkan bahwa secangkir teh hijau (2,5 g daun teh hijau/200 mL air) dapat
mengandung 90 mg EGCG. Lin et al. (2003) menganalisis 31 teh komersial dan
mendeteksi bahwa tingkat katekin EGCG yang terbanyak dengan urutan yaitu teh
hijau (daun tua), teh hijau (muda daun) dan teh oolong, teh hitam. Jumlah katekin
selalu lebih tinggi di teh hijau, EGCG dan EGC adalah katekin utama dengan isi ratarata 7,358% dan 3,955%, masing-masing EKG disajikan nilai berkisar antara 0.910
dan 3.556%. Cabrera et al.(2003) melaporkan isi rata-rata dari empat katekin utama
(EGCG, EGC, EKG dan EC) dan gallic asam dalam 45 sampel dari berbagai jenis teh
termasuk hitam, merah, oolong dan teh hijau, tingkat EGCG semakin tinggi muncul
pada sampel teh hijau. Hasilnya diringkas dalam Gambar. 4.
2.2.3. Teh Hijau dan Kesehatan Manusia
Teh hijau telah dianggap sebagai obat dan minuman sehat sejak zaman kuno.
Obat tradisional Cina telah merekomendasikan tanaman ini untuk sakit kepala, nyeri
tubuh dan sakit, pencernaan, depresi, detoksifikasi, sebagai penambah tenaga, dan
secara umum, untuk memperpanjang hidup. Daun teh hijau mengandung tiga
komponen utama yang bertindak atas kesehatan manusia yaitu basis xanthic (kafein
dan teofilin), minyak esensial, dan senyawa polifenol. Kafein bertindak terutama pada
sistem saraf pusat, merangsang keterjagaan, meningkatkan konsentrai dan menambah
semangat (Chapman & Hall 1994). Beberapa dari efek yang disebabkan oleh kafein
dipengaruhi oleh teofilin dalam kandungan teh. Teofilin menginduksi aktivitas
psikoaktif, juga memiliki sedikit efek inotropik dan vasodilator, dan banyak efek
diuretik lebih tinggi dari kafein. Namun, efek yang paling menarik dapat dilihat pada
sistem pernapasan. Teofilin menyebabkan relaksasi non-spesifik pada stimulasi otot
polos bronkus. Teh hijau adalah jenis teh dengan persentase yang lebih tinggi minyak
esensial (Chapman &Hall, 1994). Namun, teh hijau lebih mendapat perhatian
terutama kandungan polifenolnya sebagai antioksidan. Sejumlah penelitian juga
menunjukkan bahwa ekstrak GTP (Green Tea Polyphenol) memiliki sifat
antimutagenik, antidiabetes, antibakteri, anti-inflamasi, dan hipokolesterolemik. Efek
menguntungkan pada penyakit mulut seperti perlindungan terhadap karies gigi,
periodontal penyakit, dan tanggalnya gigi (yang secara signifikan dapat
mempengaruhi kesehatan secara keseluruhan seseorang) juga telah dijelaskan (Wu
CD,2002). Di antara semua GTP, catechin, dan asam galat, dianggap menjadi pemain
utama dalam manfaatnnya pada kesehatan manusia. Berikut rinciannya :
a. Kegiatan antioksidan.
Teh hijau dianggap sebagai makanan sumber antioksidan yang kaya akan polifenol
(terutama catechin dan asam galat), tetapi juga mengandung karotenoid, tokoferol,
asam askorbat (vitamin C), mineral seperti Cr, Mn, Zn atau Se, dan senyawa
fitokimia tertentu. Senyawa ini dapat meningkatkan efek antioksidan GTP potensial.
Mereka juga berfungsi sebagai antioksidan secara tidak langsung melalui
penghambatan faktor redoxsensitive transcription, penghambatan enzim 'prooksidan’, seperti yang diinduksi oleh nitrat oksida sintase, lipoxygenases,
cyclooxygenases dan xantin oksidase, dan induksi enzim antioksidan, seperti
glutathione-S-transferase dan superoksida dismutase. Kapasitas antioksidan GTP
telah dinilai oleh beberapa metode. Misalnya, Cao et al(1996) menggunakan
kapasitas penyerapan radikal oksigen (Oxygen Resorption Assay Capacity)
menemukan bahwa teh hijau memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi
terhadap radikal peroxyl dibandingkan sayuran seperti bawang putih, kangkung,
bayam dan kecambah brussels. Saffari dan Sadrzadeh (2004) meneliti kapasitas
antioksidan EGCG menggunakan membran eritrosit terikat. ATPase sebagai model,
dan hasilnya menunjukkan bahwa EGCG adalah antioksidan kuat yang mampu
melindungi ATPase membrane bound eritrosit terhadap stres oksidatif. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa EGCG dapat bertindak secara in vitro sebagai
antioksidan dengan menghambat radikal proxyl dan peroksidasi lipid (ZhangMH
2004). Namun, kapasitas antioksidan katekin ditentukan secara in vitro tergantung
pada jenis tes yang digunakan dan tidak mencerminkan faktor-faktor seperti
bioavailabilitas dan metabolisme. Fakta bahwa catechin dengan cepat dan ekstensif
dimetabolisme menekankan pentingnya menunjukkan aktivitas antioksidan secara in
vivo untuk mewakili dampak fisiologis konsumsi teh hijau. Frei dan Higdon (2003)
melaporkan bahwa untuk menentukan apakah atau tidak GTP bertindak sebagai
antioksidan yang efektif dalam vivo, studi masa depan pada hewan dan manusia harus
menggunakan biomarker sensitif dan spesifik dari kerusakan oksidatif lipid, protein
dan DNA. Namun demikian, sejumlah besar studi yang mengintervensi manusia
dengan teh hijau menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas
antioksidan plasma pada manusia setelah konsumsi dengan jumlah moderat (1-6
cangkir / hari). Ada juga indikasi awal yang menunjukkan bahwa potensi antioksidan
darah yang meningkat mengurangi kerusakan oksidatif pada makromolekul, seperti
DNA dan lipid (Rietveld A,2003). McKay dan Blumberg (2002) melaporkan bahwa
konsumsi ulang teh hijau dan encapsulated ekstrak teh hijau selama satu sampai
empat minggu telah menunjukkan pengurangan status oksidatif. Erba et al.(2005)
menunjukkan kemampuan teh hijau yang dikonsumsi dalam jumlah yang seimbang,
meningkatkan keseluruhan status antioksidan dan melindungi tubuh terhadap
kerusakan oksidatif.
b. Potensi Antimutagenik dan antikarsinogenik
Penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup, seperti kanker ataupun penyakit yang
berhubungan dengan penuaan, merupakan faktor utama penyebab penyakit. Oleh
karena itu, pencegahan penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup akan
tergantung pada penundaan proses penuaan dan pencegahan penampakan klinis
penyakit. Komponen makanan yang mampu memperlambat penuaan sel dan
menghambat pertumbuhan sel-sel kanker tanpa mempengaruhi pertumbuhan sel
normal menerima perhatian yang cukup besar bagi pengembangan pencegahan
kanker (Lambert JD,2003). Peran teh hijau dalam melindungi sel terhadap kanker
telah didukung oleh banyak bukti dari penelitian dalam kultur sel dan model hewan
(Chung FL,2003). Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa teh hijau menghambat
karsinogenesis pada kulit, paru-paru, rongga mulut, kerongkongan, lambung, hati,
ginjal, prostat dan organ lainnya (Lambert JD,2003). Saat ini, teh hijau diterima
sebagai pencegah kanker atas dasar banyaknya penelitian secara in vitro, in vivo, dan
epidemiologi. The Chemoprevention Cabang National Cancer Institute telah memulai
rencana untuk mengembangkan senyawa teh sebagai agen chemopreventive dalam
percobaan manusia (SiddiquiIA,2004). Efek chemopreventive teh hijau tergantung
pada kerja antioksidan yang menginduksi enzim-enzim proses detoksifikasi. Teh
hijau juga berperan dalam pertumbuhan, perkembangan sel dan apoptosis, dan
peningkatan selektif bakteri flora dalam usus. D'Alessandro T (2003) juga
menunjukkan bahwa aspek penting dari risiko kanker berhubungan dengan inflamasi
respon, Saat ini, agen anti-inflamasi digunakan dalam strategi kemopreventif. Respon
inflamasi melibatkan produksi sitokin proinflamasi dan oksidan, seperti sebagai asam
hipoklorit dan peroksinitrit yang diproduksi oleh neutrophil dan makrofag. Reaktor
inflamasi ini bereaksi dengan residu tirosin oksidan fenolik pada protein untuk
membentuk chloro dan nitrotyrosine. Selain itu, besar mekanisme aktivitas
antikanker dari teh hijau pada hewan adalah dengan menghambat interaksi dengan
DNA karsinogen yang menyebabkan mutasi sel. Namun demikian, kerja teh hijau
serta mekanisme yang mendasarinya harus ditinjau dan peran GTP, yang
dikendalilkan komponen bioaktif dan kafein, harus dievaluasi secara kritis. EGCG
dari teh hijau terutama memberikan efek penghambatan pertumbuhan pada sel kanker
(Int J Oncol,2004). EGCG menjanjikan antikanker yang potensial karena sifat
antioksidan,
antimutagenik,
dan
kemopreventifnya
(Br
J
Cancer,
2004).
Rosengren(2003) menunjukkan bahwa katekin teh hijau mengurangi proliferasi sel
kanker payudara secara in vitro dan menurunkan pertumbuhan tumor payudara pada
tikus. Selanjutnya, studi in vitro telah menunjukkan bahwa kombinasi EGCG dan
tamoxifen bersinergis memberi efek sitotoksik pada sel-sel kanker payudara. Menurut
Wu et al.(2003), peminum teh hijau secara signifikan dapat mengurangi risiko kanker
payudara dibandingkan dengan wanita yang tidak minum teh hijau secara teratur
(yaitu, kurang dari sekali sebulan). Selain itu, ada kecenderungan penurunan risiko
yang signifikan dengan meningkatnya jumlah konsumsi teh hijau. Dua penelitian
pada wanita Jepang yang terdiagnosa kanker payudara menunjukkan bahwa konsumsi
teh hijau berbanding terbalik dengan tingkat kekambuhan, terutama pada tahap awal
kanker payudara (Inoue M, 2001). Zhang (2002) melaporkan bahwa risiko kanker
ovarium menurun dengan meningkatnya frekuensi dan durasi konsumsi teh hijau. Teh
hijau juga merupakan agen kemopreventif yang efektif untuk kanker prostat pada
manusia. Pada penelitian yang sama, Yu et al.(2004) melaporkan bahwa EGCG
menghambat pertumbuhan kanker prostat sel adenoma dan menginduksi apoptosis.
Jian et al.(2004) melakukan studi kasus-kontrol di China untuk menyelidiki apakah
konsumsi teh hijau memiliki hubungan dengan penurunan kanker prostat. Risiko
kanker prostat menurun dengan meningkatnya frekuensi, durasi, dan jumlah
konsumsi teh hijau. Hubungan dosis dan respon menunjukkan bahwa teh hijau dapat
melindungi sel prostat terhadap kanker. Di satu sisi, studi epidemiologi telah
menyarankan bahwa konsumsi tinggi teh hijau mengurangi perkembangan gastritis
aktif kronis dan risiko kanker perut. Di samping itu, konsumsi teh hijau sebelum
puasa melindungi mukosa usus terhadap atrofi (Asfar S,2003). Dengan metode yang
sama, Hoshiyama(2003) dan Koizumi(2003) menemukan adany hubungan antara
konsumsi teh hijau dan risiko kanker perut. Para penulis menunjukkan bahwa
konsumsi teh hijau tidak memiliki efek perlindungan terhadap kanker lambung, dan
lebih bergantung pada faktor-faktor lain, seperti usia, merokok, status sosial ekonomi,
infeksi Helicobacter pylori, sejarah ulkus peptik, dan riwayat keluarga kanker perut
bersama dengan komponen makanan tertentu.
c. Efek Anti-hipertensi Dan Risiko Penyakit Kardiovaskular
Teh hijau telah lama diyakini memiliki efek hipotensi dalam pengobatan Cina
populer. Namun, hasil yang bertentangan telah menunjukkan adanya perbedaan
antara percobaan dan studi hewan, dihubungankan dengan konsumsi teh terhadap
tekanan darah. Bukti-bukti epidemiologis tentang efek jangka panjang dari teh hijau
pada risiko hipertensi juga tidak konsisten. Yang et al. (2004) menyimpulkan bahwa
kebiasaan konsumsi teh hijau 120 mL/ hari atau lebih selama 1 tahun secara
signifikan mengurangi risiko berkembangnya hipertensi pada penduduk Cina.
Hodgson et al.(2003) melaporkan bahwa konsumsi jangka panjang teh hijau mungkin
memiliki efek yang menguntungkan pada tekanan darah pada wanita yang lebih tua.
Namun, penelitian lain tidak mendukung efek hipotensi teh hijau. Singh et al.(2003),
dan Murakami dan Ohsato (2003) melaporkan bahwa asupan teh hijau pada diet
mempertahankan dan meningkatkan elastisitas arteri dan fungsi endotel. Oksidasi
LDL-cholesterol, dikaitkan dengan risiko aterosklerosis dan penyakit jantung, dapat
dihambat dengan konsumsi teh hijau karena EC dan aktivitas antioksidan EGCG.
Aktivitas antioksidan EGCG pada Oksidasi LDL secara in vitro lebih kuat dari EC
(Gomikawa S,2002). Sesuai dengan pengamatan ini, Trevisanato dan Kim (2000)
mengindikasikan bahwa GTP dapat memperlambat aterosklerosis dengan mengurangi
efek oksidatif dengan modifikasi peristiwa LDL-kolesterol dan juga pembentukan sel
busa, sitotoksisitas endotel, dan induksi sitokin proinflamasi. Gomikawa dan
Ishikawa (2002) menyatakan bahwa katekin menekan kerentanan LDL terhadap
proses oksidasi oleh CuSO4 secara in vitro dan plasma oksidasi secara in vivo setelah
mengonsumsi teh hijau. Data lain melaporkan bahwa katekin telah terbukti
mengurangi kadar kolesterol plasma dan tingkat penyerapan kolesterol. Trigliserida
dalam plasma dan HDL tidak berubah secara signifikan. Para penulis mengatakan
bahwa salah satu mekanisme yang mendasari EGCG mempengaruhi metabolisme
lipid adalah dengan mengganggu solubilisasi misel kolesterol dalam saluran
pencernaan, yang kemudian pada gilirannya menurunkan penyerapan kolesterol.
Yokozawa et al. (2002) melaporkan bahwa kerja GTP efektif menghambat LDLkolesterol oksidasi dan peningkatan aktivitas antioksidan
serum. Selanjutnya, GTP meningkatkan kadar HDL, yang menyebabkan peningkatan
dosage-dependent dari indeks aterogenik. Dengan demikian, GTP mungkin berperan
sebagai antiatherosklerotik berdasarkan sifat antioksidan dan peningkatan tingkat
HDLnya. Teh hijau memiliki manfaat dalam aktivitas oksida nitrat yang disebabkan
oleh gangguan endothelium yang berkontribusi terhadap patogenesis aterosklerosis
dalam sirkulasi coroner yang telah dikaitkan dengan kejadian penyakit kardiovaskuler
di masa depan. Selanjutnya, disfungsi endotel ini dikaitkan dengan peningkatan stres
oksidatif dan dapat diturunkan dengan intervensi antioksidan. Kemungkinan variasi
antara studi yang berbeda mungkin juga disebabkan karena ketidaktahuan, faktor
sosial ekonomi, dan gaya hidup yang terkait dengan minum teh hijau (yaitu,
perbedaan geografis, kelas sosial, indeks massa tubuh, gaya hidup sehat, prevalensi
merokok yang tinggi, asupan lemak yang tinggi, asupan alcohol dan kopi).
d. Kesehatan Mulut
Penyakit mulut termasuk karies gigi, penyakit periodontal, dan kehilangan gigi secara
signifikan dapat berdampak pada kesehatan seseorang secara keseluruhan. Di
antaranya, karies gigi adalah penyakit menular multifaktorial yang terkait dengan
gizi, infeksi mikrobia, dan host respond. Laporan sebelumnya, pada hewan percobaan
dan manusia, menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau (tanpa tambahan gula)
mengurangi karies gigi (Wu CD,2002). Linke dan LeGeros (2003) menunjukkan
bahwa asupan teh hijau secara rutin dapat menurunkan pembentukan karies, bahkan
dengan penambahan gula dalam diet. Pada studi hewan secara in vivo telah
menunjukkan bahwa tikus yang terinfeksi Streptococcus mutans dan kemudian
mendapat diet kariogenik yang mengandung GTP memiliki memiliki skor karies yang
lebih rendah (Otake S,1991). Penambahan air minum tikus dengan 0,1% GTP
bersama dengan diet kariogenik juga secara signifikan mengurangi total celah lesi
karies (Wu CD 2002). Temuan terbaru dari Okamoto et al.(2004) menunjukkan
bahwa
katekin
teh
‘periodontalbreakdown’
hijau
yang
mungkin
memiliki
dihasilkan
dari
potensi
aktivitas
dalam
mengurangi
proteinase
dalam
Porphyromonas gingivalis. Selain itu, teh hijau ‘decoctions’ menghambat α-amilase
dalam air liur manusia yang mengurangi pelepasan maltosa sebesar 70% dan efektif
menurunkan potensi kariogenik dari makanan yang mengandungi kanji (McKay
DL,2002). Demikian pula, Zhang dan Kashket (1998) melaporkan bahwa ekstrak teh
hijau menghambat amilase dan dapat mengurangi potensi kariogenik pada makanan
yang mengandung kanji seperti kerupuk dan kue karena mereka dapat mengurangi
kecenderungan jenis makanan tersebut sebagai sumber ‘slow release’ fermentasi
karbohidrat. Sangat mungkin bahwa kariogenik dapat dikurangi dengan kehadiran
simultan teh hijau dalam diet. Selain dari kandungan polifenol dalam teh hijau, baik
yang berwarna hijau atau hitam, merupakan sumber alami fluoride dan penghantar
yang efektif fluoride dalam rongga mulut. Menurut Simpson et al (2001), setelah
membersihkan mulut dengan teh, sekitar 34% fluoride dipertahankan dan
menunjukkan kemampuan yang kuat untuk berinteraksi dengan jaringan mulut dan
integumen permukaannya. Kandungan fluoride mungkin memiliki dampak yang
menguntungkan pada karies dan dapat pula mencegah kehilangan gigi dan kanker
mulut (Sugimoto A,2004). Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa ekstrak
GTP mungkin bertanggungjawab terhadap kesehatan mulut dan juga telah dibuktikan
GTP sebagai fluoride berkontribusi terhadap potensi antikariogenik (Makimura
M,1991) dengan menghambat pertumbuhan bakteri mulut seperti Escherichia coli,
Streptococcus salivarius, dan Streptococcus mutans. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa GTP menghambat pertumbuhan, produksi asam, metabolisme,
dan aktivitas enzim glukosiltransferase S. mutans dan bakteri plak gigi lainnya (WU
CD,2002). Karena itu, teh hijau telah dianggap sebagai makanan fungsional untuk
kesehatan mulut dan secara luas digunakan dalam formulasi pasta gigi.
e. Perlindungan Sinar Ultraviolet
Epidemiologi, uji klinis dan studi biologi telah menunjukkan bahwa sinar matahari
(UV) adalah karsinogen lengkap dan paparan berulang dapat menyebabkan
perkembangan berbagai gangguan kulit, termasuk melanoma dan kanker kulit nonmelanoma. EGCG dianggap agen utama pelindung terhadap beberapa jenis radiasi,
karena dapat mencegah penyakit kulit, dan masalah kanker akibat photoaging (Singh
D,2001). Tampaknya sisa katekin juga mendukung proses ini. Katiyar (2003)
menunjukkan bahwa pengobatan topikal atau konsumsi oral GTP menghambat
karsinogen kimia terhadap kulit akibat radiasi UV karsinogenesis pada hewan di
laboratorium yang berbeda. Pengobatan topikal GTP atau ECCG dan konsumsi oral
GTP mencegah respon inflamasi akibat UVB, imunosupresi, dan stres oksidatif, yang
merupakan biomarker dari beberapa kondisi penyakit kulit. Fakta ini dikaitkan
dengan penghambatan infiltrasi inflamasi akibat UVB oleh leukosit. Penelitian in
vitro dan in vivo pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa GTP adalah
photoprotective di alam, dan dapat digunakan sebagai agen farmakologis untuk
pencegahan paparan UVB yang menyebabkan gangguan kulit, termasuk kanker kulit.
f. Pengendalian Berat Badan
Obesitas telah meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun
terakhir dan sekarang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Masalah yang
berlaku dalam asupan makanan fungsional dalam mengontrol berat badan telah
difokuskan pada bahan-bahan tanaman
yang mampu menghambat
sistem
sympathoadrenal (Dullo AG,1999). Efek dari konsumsi jangka panjang katekin telah
banyak dipelajari, dan beberapa peneliti menunjukkan peran potensial dari teh hijau
dalam tubuh. Selain itu, kafein dan theanine telah ditemukan mampu memperkuat
efek polifenol dalam mengontrol berat badan dan mengurangi akumulasi lemak pada
tikus (Zheng G,2004). Dalam penelitian in vitro dengan ekstrak teh hijau yang
mengandung 25% katekin (dalam kondisi mirip dengan yang fisiologis),
menunjukkan secara signifikan dapat menghampat aktivitas lipase lambung, dan
dalam tingkat yang lebih rendah juga lipase pankreas. Dengan demikian, lipolisis dari
trigliserida rantai panjang berkurang sebanyak 37% (Juhel C,2000). Studi in vitro
juga telah menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau meningkatkan proses emulsifikasi
lemak, yang terjadi sebelum enzim berkerja, dan sangat diperlukan untuk penyerapan
lipid di usus (Chantre P,2002). Teh hijau juga menunjukkan pengaruh terhadap
aktivitas lemak dalam menghambat sintase asam (Tian WX,2004). Selain itu, teh
hijau mungkin memiliki sifat thermogenik tidak hanya disebabkan oleh kandungan
kafein, tetapi juga memberi efek yang sama seperti kafein dan catechin. EGCG dapat
bertindak atas tingkat AMPc dengan meningkatkan pengeluaran energi (Juhel
C,2000). Dulloo et al.(1999) menggunakan ekstrak teh hijau yang kaya dengan
katekin dan kafein, menyimpulkan bahwa teh hijau memiliki sifat termogenik dan
mempromosikan oksidasi lemak melampaui dari yang dijelaskan oleh kandungan
kafein, di mana ekstrak teh hijau mungkin memainkan peran dalam mengendalikan
berat tubuh melalui aktivasi simpatik thermogenesis, oksidasi lemak, atau keduanya.
Dulloo et al.(1999) menunjukkan bahwa adanya sifat termogenik teh hijau karena
terdapat interaksi antara kadar katekin yang tinggi dan kehadiran kafein dengan
noradrenalin simpatik, karena polifenol diketahui mampu menghambat katekol-ometil-transferase (enzim yang mendegradasi noradrenalin), dan penghambatan kafein
oleh phosphodiesterases trancellular (enzim yang memecah noradrenalin-induced
AMPc). Interaksi sinergis antara polifenol dan kafein dapat meningkatkan dan
memperpanjang stimulasi simpatik thermogenesis yang membantu pengelolaan
obesitas. Kovacs et al.(2004) melaporkan bahwa pemeliharaan berat badan setelah
7,5% penurunan berat badan pada orang yang obesitas maupun obesitas sedang tidak
dipengaruhi oleh konsumsi teh hijau, tetapi dengan konsumsi kafein secara teratur
dan asupan teh hijau dapat memberi pengaruh terhadap pemeliharaan berat badan.
Menurut beberapa penulis, ekstrak teh hijau (dengan 25% dari konten catechin)
dianjurkan untuk pengobatan kelebihan berat badan pada pasien yang IMT-nya
berkisar antara 25 dan 29,9 kg/m2, hanya jika mereka tidak alergi (sensitiveness)
terhadap basis xantic (Kovacs EM,2004)
g. Toleransi Glukosa dan Insulin Sensitivitas
Pengamatan epidemiologi dan penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa teh
hijau memiliki efek terhadap toleransi glukosa dan sensitivitas insulin. Anderson dan
Polansky(2002) melaporkan bahwa teh hijau meningkatkan aktivitas insulin dan
senyawa aktif dominan adalah EGCG. Penulis yang sama menunjukkan bahwa
penambahan teh lemon tidak mempengaruhi aktivitas insulin-potentiating, tapi
penambahan 50g per cangkir susu menurunkan aktivitas potential insulin sekitar
90%. Wu et al.(2004) meneliti pengaruh suplementasi teh hijau pada toleransi
glukosa dan sensitivitas insulin pada tikus. Tikus dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok control, yang diberi makan dengan standar chow dan air suling deionisasi,
sementara yang lain diberi makan dengan diet yang sama, tapi dengan teh hijau bukan
air (0,5 g bubuk teh hijau lyophilized yang dilarutkan dalam 100 mL air suling
deionisasi). Setelah 12 minggu pemberian suplemen teh hijau, kelompok ini memiliki
tingkat glukosa plasma puasa, insulin, trigliserida, dan asam lemak bebas yang lebih
rendah dari tikus kontrol. Selain itu, GTP secara signifikan meningkatkan insulin
yang dirangsang penyerapan glukosa oleh sel basal dan adiposa (McKay DL,2002).
Beberapa penyelidikan juga menunjukkan bahwa EGCG tidak hanya mengatur
tingkat glukosa dalam darah, tetapi juga dapat merehabilitasi kerusakan beta-sel, yang
bertanggung jawab untuk memproduksi insulin (Wu CH,2003).
h. Efek lainnya
Katekin dalam teh hijau dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dan antivirus.
Efektivitas teh hijau terhadap semua jenis diare dan tipus telah dikenal di Asia sejak
zaman kuno (Wu AH,2003). Teh hijau juga dikenal sebagai penghambat reproduksi
dan pertumbuhan bakteri, di antaranya seperti Salmonella, Clostridium, atau Bacillus.
Takabayashi (2004) dan Yee et al.(2002) melaporkan katekin dalam teh hijau
memiliki efek yang menghambat infeksi Helicobacter pylori. Selain itu, teh hijau
juga mempengaruhi flora usus, yang merupakan agen bakterisida yang baik.
Mengenai efek antivirusnya, teh hijau dikenal dapat mencegah tanaman tembakau
dari serangan 'virus mosaik'. Investigasi baru telah mengkonfirmasi bahwa katekin
sangat menghambat pertumbuhan dan reproduksi virus mosaik[3]. Pengaruh teh hijau
menghambat virus influenza, terutama pada tahap awal, serta terhadap Herpes
simplex virus juga telah dibuktikan (Yam TS,1997). Selanjutnya, Weber et.al(2003)
mengamati infeksi adenovirus dapat dihambat secara in vitro oleh katekin dalam teh
hijau. Hirasawa dan Takada (2004) menunjukkan adanya aktivitas antijamur katekin
dalam teh hijau terhadap Candida albicans, dan kombinasi pengobatan dengan
katechin dan antimycotics dosis rendah dapat menghindari efek samping antimycotic
tersebut. Park et al.(2003) mengamati efek positif ekstrak teh hijau dan GTP terhadap
proliferasi dan aktivitas sel-sel tulang. Wu dan Wei (2002) menunjukkan kepadatan
mineral dalam tulang mungkin dipengaruhi oleh beberapa senyawa kimia yang
terkandung dalam ekstrak teh (yaitu, kafein, phytostrogen, fluoride, ...). Polifenol
dalam teh hijau diketahui memiliki sifat antifibrosis pada kulit dan arteri.
Perkembangan sel stellata hati berkaitan erat dengan perkembangan fibrosis hati pada
penyakit hati kronis, dan EGCG memiliki potensi menghambat proliferasi sel-sel
tersebut (DorchiesOM,2003). Teh hijau memperkuat sistem kekebalan tubuh karena
teh hijau melindungi tubuh dari oksidan dan radikal. Bayer et al.(BayerJ 2004)
menunjukkan bahwa asupan oral teh hijau dapat bertindak sebagai terapi adjuvan
untuk mencegah penolakan transplantasi pada manusia. Studi baru menunjukkan
bahwa GTP dapat melindungi tubuh dari penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer
dan penyakit neurodegeneratif lainnya (Weinreb O,2004). GTP menunjukkan
aktivitas neuroprotectant pada kultur sel dan hewan percobaan, seperti mencegah sel
dari neurotoksik. Efek biologis dari GTP bermanfaat bagi pasien dengan penyakit
Parkinson, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki keamanan dan
efektivitas teh hijau pada manusia dan menentukan perbedaan mekanisme teh hijau
sebagai pelindung saraf (Pan TH,2003). Teh hijau dianggap berguna sebagai
antiinflamasi
akibat
sengatan
serangga
dan
kemampuannya
menghentikan
pendarahan (Dvorakova K,1999). Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan
antara konsumsi teh hijau dengan risiko pembentukan batu ginjal (Ishizuk H,2003)
.Selain itu, ekstrak teh hijau memperlambat perkembangan kerabunan lensa mata
pada tikus dan katarak yang disebabkan oleh Selenite(Thiagarajan G,2001). Gupta et
al(2002) melaporkan bahwa tindakan teh hijau dengan mempertahankan efek
antioksidan pada lensa. Skrzydlewska et al.(2002) menunjukkan efek menguntungkan
dari teh hijau pada keracunan alkohol. Selain sebagai makanan fungsional (Ferrari
CKB,2003), teh hijau juga memiliki kegunaan dalam sediaan farmasi, pembuatan
pasta gigi dan kosmetik (Arburjai T,2003). Aktivitas antioksidan teh hijau
membuatnya menjadi produk yang alami, efisien, dan bebas pengawet. Gagal ginjal
juga merupakan kondisi dimana teh hijau telah terbukti memiliki efek perlindungan.
Penurunan fungsi ginjal adalah karena efek penuaan dan gagal ginjal adalah penyebab
sering fatal. Studi di Mansoura Universitas di Egyp telah menjelajahi kemungkinan
untuk melindungi fungsi ginjal dari kegagalan mengancam kehidupan adalah dengan
sering mengonsumsi teh hijau. Mereka menemukan hewan dengan gagal ginjal ketika
diobati dengan 50mg/kg EGCG ditampilkan secara signifikan laju filtrasi glomerulus
pulih dalam masa 7 hari. Hasilnya adalah malondialdehid dan sitokin inflamasi
berkurang dan berlaku peningkatkan gluthationes (level antioksidan) dibandingkan
dengan resveratrol dan quercetin.
2.2.4 Nilai Gizi Teh Hijau
Konsumsi teh hijau berkontribusi terhadap keseluruhan asupan cairan harian, dan jika
tidak ditambahkan gula, asupan kalorinya menjadi tidak signifikan. Di samping itu,
asupan kafein dalam teh hijau lebih rendah daripada kopi, teh hitam atau minuman
ringan lainnya. Selain itu, kontribusi senyawa antioksidan (katekin dan zat fitokimia
lainnya, vitamin tertentu seperti vitamin C, dan mineral seperti Mn, Cr, Se, Zn)
sangat baik bagi kesehatan manusia, dan lebih bernutrisi daripada minuman
nonalkohol lainnya. Kandungan Mn dalam teh hijau juga tinggi(Powel JJ,1998).
Mangan merupakan konstituen dari tiga metalloenzymes (yaitu, arginase,
karboksilase piruvat, dan Mn-superoksida dismutase) yang dapat mengaktifkan
sejumlah besar enzim, seperti transferases glicosil, yang terlibat dalam sintesis
mukopolisakarida (Mann J,1998). Kekurangan mangan dapat menyebabkan kelainan
pada metabolisme karbohidrat, glikosaminoglikan, dan kolesterol (Shils ME,1994).
Kromium, selenium, dan seng juga memainkan peranan penting dalam metabolisme
manusia, dan kebutuhan akan elemen ini meningkat karena ada laporan yang
berkaitan dengan status trace-element dan penyakit oksidatif. Kromium terlibat dalam
metabolisme karbohidrat dan lipid yaitu tanda yang paling sering muncul pada
defisiensi Cr adalah peningkatan toleransi glukosa. Hal ini berkaitan dengan diabetes
dan penyakit jantung (Mann J,1998). Efek menguntungkan dari suplemen Cr,
khususnya pada kelompok yang mengalami defisiensi Cr, telah dilaporkan (Shils
ME,1998). Fungsi Selenium melalui selenoproteins, beberapa di antaranya adalah
sebagai enzim pertahanan terhadap oksidan. Se bertindak sebagai kofaktor enzim
glutation
peroksidase
dalam
mengeliminasi
radikal
peroksida.
Penelitian
epidemiologi telah menunjukkan kemungkinan efek Se terhadap pencegahan dan
regresi kanker (Mann dan Shils,1998,1994). Enzim seng berpartisipasi dalam
berbagai proses metabolisme termasuk karbohidrat, lipid, dan sintesis atau degradasi
protein. Unsur ini diperlukan untuk sintesis deoksiribonukleat dan asam ribonukleat,
tetapi juga mungkin memainkan peran dalam menstabilkan membran plasma (Shils
ME,1998). Zinc telah diakui sebagai kofaktor dari enzim superoksida dismutase,
yang terlibat dalam perlindungan terhadap proses oksidatif (Mann J,1994). Selain itu,
teh hijau mengandung lebih banyak vitamin C daripada teh hitam dan teh
oolong(Hasegawa N,2002), tapi kandungan total vitamin C dalam daun teh menurun
selama proses fermentasi teh (Shimada K,1994. Namun, semua sifat-sifat di atas
menunjukkan bahwa teh hijau dapat dianggap sebagai minuman alternatif yang
memiliki kandungan energi dan/atau kafein yang lebih tinggi daripada minuman lain
yang lebih kaya gula dan alkohol.
2.2.5. Efek Berbahaya Konsumsi Teh berlebihan
Efek berbahaya dari konsumsi teh hijau adalah karena tiga faktor utama yaitu
kandungan
kafein,
kehadiran
aluminium,
dan
efek
polifenol
teh
pada
bioavailabilitasnya terhadap besi. Konsumsi teh hijau dalam jangka yang panjang
dapat meningkatkan kinerja kognitif dan psikomotor pada orang dewasa yang sehat
karena cara kerjanya yang mirip dengan kopi, tapi teh hijau (yang mengandung lebih
sedikit kafein) kurang mengganggu kualitas tidur di malam hari dibandingkan dengan
kopi (McKay DL,2002). Terlalu banyak teh hijau, lebih dari lima cangkir per hari,
mungkin tidak aman. Hal ini disebabkan karena efek samping dari kafein. Efek
samping ini dapat berkisar dari ringan sampai berat, seperti sakit kepala, gugup,
ganguan tidur, muntah, diare, iritasi, denyut jantung tidak teratur, tremor, mulas,
pusing, telinga berdenging, kejang, dan kebingungan (Bruneton J,2001). Teh hijau
tampaknya mengurangi penyerapan zat besi dari makanan. Konsumsi teh hijau
dengan dosis yang sangat tinggi dapat berakibat fatal. Dosis fatal kafein dalam teh
hijau diperkirakan 10-14 gram (150-200 mg per kilogram). Tabel 4 mencakup data
tentang kandungan kafein dalam jumlah minuman yang dikonsumsi. Kandungan
kafein dalam teh hijau dapat bervariasi sesuai dengan jenis teh dan bentuk sediaan
umumnya. Konsumsi teh hijau tidak dianjurkan pada orang yang sensitive terhadap
xanthic. Umumnya, teh kantong menghasilkan persentase kafein yang lebih tinggi
dari daun teh (Willson kC,1999). Efek negative Teofilin mirip dengan kafein, tetapi
hal ini hanya terjadi dengan asupan yang tinggi.
Teh hijau tidak harus diambil oleh pasien yang menderita kondisi jantung atau
masalah kardiovaskular yang berat. Wanita hamil dan yang menyusui tidak
seharusnya minum teh hiaju lebih dari satu atau dua cangkir per hari. Hal ini karena,
kafein dapat menyebabkan peningkatan irama jantung dan ini meningkatkan risiko
keguguran serta efek negatif lainnya. (Brineton J,2001). Selain itu, hal ini juga
penting untuk mengendalikan konsumsi seiring teh hijau dan beberapa obat, karena
efek diuretik kafein. Beberapa penelitian mengungkapkan kapasitas daun teh dapat
mengakumulasi tingkat tinggi aluminium. Aspek ini penting bagi pasien menderita
gagal ginjal kronis karena aluminium dapat diakumulasikan oleh tubuh, sehingga
memuci ke penyakit saraf. Demikian, asupan makanan perlu di kontrol dengan
jumlah tinggi logam ini ( Costa LM,2002). Menurut beberapa penulis, asupan
makanan Al tidak boleh melebihi 6 mg / hari untuk menghindari tingkat yang
berpotensi beracun(Massey RC,1991). Demikian juga, katekin dalam teh hijau
mungkin memiliki afinitas untuk besi, dan infus teh hijau dapat menyebabkan
penurunan yang signifikan dari bioavailabilitas besi dari diet. (Hamdaoui MH,2003)
Pediatrik : Teh hijau belum diteliti pada anak-anak, sehingga tidak direkomendasikan
untuk penggunaan pediatrik.
Dewasa : Tergantung pada merek, 2-3 cangkir teh hijau per hari (untuk total 240-320
mg polifenol) atau 100-750 mg per hari dari ekstrak teh hijau standar dianjurkan.
Produk bebas kafein tersedia dan direkomendasikan.
2.7 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Konsumsi Teh Hijau
Teh hijau yang telah dikaji secara ekstensif di seluruh dunia yang dianggap salah
satu agen diet terbukti sebagai mencegah dan mengobati banyak penyakit
berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Teh hijau telah
dikonsumsi di Cina dan Jepang sejak zaman kuno untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan. Hal ini terbukti, Cina, Jepang, dan negara-negara barat
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai manfaat konsumsi teh hijau,
berdasarkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap mereka
(Functional Foods in Health and Disease, 2012). Belum ada penelitian yang
dilakukan sebelumnya mengenai tingkat pengetahuan manfaat mengkonsumsi teh
hijau di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara tentang manfaat konsumsi teh hijau bagi kesehatan