Politik Pemekaran Daerah Kabupaten Padang Lawas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu topik sentral pasca reformasi yang menjadi perdebatan adalah
permasalahan otonomi daerah. Karena adanya desakan dari daerah yang menuntut
untuk mendapatkan kewenangan yang lebih luas, maka pemerintah pusat
mengeluarkan UU No. 22/1999, sekarang UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daera. UU tersebut telah menghadirkan paradigma baru terhadap
Pemerintah Daerah. Untuk bisa mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan
daerah di Indonesia yang berbasis otonomi luas. Karena terdapatnya kebebasan
bagi daerah dalam mengatur dan menggali potensi daerah-daerah tersebut, hal ini
dilakukan

dalam

rangka

menyelenggarakan


nilai-nilai

demokrasi,

yang

menghargai pluralitas yang di dalamnya terdapat keanekaragaman pemerintahan
dan berbagai macam ide-ide cemerlang dari para pemerintah daerah guna
membangun Indonesia yang lebih maju. 1
Berawal dari perdebatan panjang mengenai Pemerintahan Daerah yang
tercantum dalam Undang-Undang tersebut, kini perdebatan mengenai otonomi
daerah menghasilkan sebuah proses aspirasi dari masyarakat untuk mendapatkan
otonomi penuh bagi daerah pemerintahannya. Proses pemekaran terjadi begitu

1

Eko Prasojo dkk, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, dalam M. Zaki Mubarak dkk, (jakarta: Yayasan
Hurkat Bangsa, PGRI, dan European Union, 2006), h. 117-119. Lihat juga Prof. Dr. Djohermansyah Djohan,
lanskap Otonomi Daerah: Analisa dan kritik, Dalam Indra J. Pliang dkk, (jakarta; Yayasan Harkat Bangsa
bekerjasama dengan European Union, 2007), 153-154.


13
Universitas Sumatera Utara

pesat dan cenderung tidak terkendali. 2 Upaya pemekaran wilayah dipandang
sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan
kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran
wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam memberikan kemudahan layanan pemerintah sehingga
meningkatkan

efektifitas

penyelenggaraan

pemerintah

dan

pengelolaan


pembangunan. 3
Penambahan daerah otonom ini merupakan fenomena yang layak dikaji
ulang. Sebab, pemekaran atau penambahan daerah otonom yang banyak terjadi di
beberapa daerah di Indonesia sekarang ini tidak di dukung oleh Sumber Daya
manusia (SDM) yang baik, akibatnya yang terjadi adanya tersendatnya roda
pemerintahan daerah dan carut-marutnya tatapemerintahan, mencermati fenomena
pemekaran wilayah di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru hingga memasuki
pemerintahan sekarang. Secara teoritis, harus diakui bahwa kebijakan pemerintah
untuk memekarkan beberapa daerah di Indonesia telah menambah angka
permasalahan baru terutama dalam proses penyusunan Undang-Undang dan
sistem ketatanegaraan kita saat ini. Kebijakan untuk melakukan pemekaran daerah
merupakan suatu tuntutan masyarakat yang merasa daerahnya dieksplorasi dan di
eksploitasi pusat secara berlebihan. Oleh karena itu, hal ini lah yang
melatarbelakangi dan juga bisa dikatakan memaksakan pemekaran wilayah,

2

Terdapat 7 propinsi, 135 Kabupaten dan 32 kota yang terbentuk sebagai hasil pemekaran sesuai dengan
daftar yang dikeluarkan oleh DPD pada September 2007 (DRSP, 2007).

3
Ermaya Suradinata, Pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka untuk meningkatkan integrasi bangsa,
(Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional, Departemen Pertahanan, 2000), h. 10.

14
Universitas Sumatera Utara

dengan segera mengajukan proposal dan berkas-berkas yang berkaitan dengan
pemekaran daerahnya. 4
Pemekaran wilayah di beberapa daaerah di Indonesia harus diakui
sebagian besar lebih bernuansa politik, hal ini terjadi karena beberapa alasan,
sebagaian berpendapat sebagai ekspansif kekuasaan politik saja, ada sebagian juga
yang beralasan sebagai perluasan karir politik. Selebihnya bisa dikatakan dalam
rangka mengibarkan bendera partai yang dianut. Jika mau dikatakan, hal inilah
yang sebenarnya menghambat proses pemekaran wilayah itu sendiri, karena
penilaian layak atau tidaknya sebuah calon daerah otonom baru selama ini lah
dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Otonom Daerah (DPOD), nama oknum dan
para elit politik daerah tersebut justru ditengarai menjadi konsultan pemekaran
daerah otonom baru yang sebenarnya tak layak. Karena itu, restrukturisasi DPOD
dan tim pemekaran daerah setempat diperlukan dengan mengisinya dari kalangan

profesional dan yang independen dan memiliki kemampuan luas tentang otonomi
daerah, dengan demikian hal ini diharapkan mampu merekomendasikan kepada
DPR dan Presiden tentang layak tidaknya sebuah calon daerah baru disahkan.
Proses ini juga untuk menghindari dijadikannya isu pemekaran wilayah sebagai
alat politik untuk bagi-bagi kekuasaan di daerah. 5
Banyaknya pemekaran wilayah yang didorong oleh derasnya tekanan
politik dan perebutan kekuasaan. Tekanan kuat dari daerah itu di respon positif
oleh pemerintah pusat, padahal dalam taraf proses pemekaran tersebut, setidaknya
telah banyak memberikan beban terhadap pemerintahan pusat, fundamental adalah
4

Wendra Yunaldi, SH, MH, Analisis Pemekaran Daerah, di muat pada tanggal 18 mei 2008

15
Universitas Sumatera Utara

beban finansial penyelenggaraan pemerintahannya. Di setujuinya pemekaran
wilayah dapat juga dimaknai bahwa akan adanya sebuah keharusan pemerintah
puasat untuk mengalirkan dana kepemerintah daerah yang baru. Dengan
tersedianya jaminan politik bahwa pemerintah pusat akan mencukupi segala

kebutuhan setidaknya pemerintahan daerah yang baru di bentuk, karena daerah
tersebut mendapatkan dana perimbangan, dan dalam hal khusus tertentu, berhak
pula mendapatkan dana otonomi khusus. Pemaknaan seperti inilah yang kini
sebenarnya menjadi beban dan problem bagi pemerintah daerah baru dan juga
bagi pemerintah pusat. Seharusnya jika ingin ditinjau secara politik, para
pemerintah daerah yang baru di bentuk tersebut dapat menjadikan daerahnya
sebagai arena baru bagi perjuangan eksponen politik tersebut, seperti tokoh
agama, pewaris pemerintahan tradisional, dan meningkatkan pelayanan publik
guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, disamping sebagai
sarana pendidikan politik di tingkat daerah. 6
Kabupaten Padang Lawas merupakan salah satu kabupaten baru hasil
pemekaran yang berawal dari aspirasi masyarakat yang sadar akan pentingnya
pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat. Namun perjuangan tersebut tidak
sepenuhnya hasrat dari masyarakat, akan tetapi di suatu sisi terdapat indikasi
kepentingan elit lokal yang berada di belakang masyarakat dan merupakan aktor
dari mobilisasi masyarakat yang menginginkan adanya pemekaran.
Dalam hal ini penulis inginmengurai politik pemekaran serta faktor-faktor
dalam pemekaran Kabupaten Padang Lawas. Berangkat dari kesadaran akan
6


Lihat esai Jumadi, Problem Pemekaran Wilayah dan Pembagian Kewenangan, dalam Indra J. Piliang, Blue
Print Otonomi Daerah Indonesia, (Jakarta, Penerbit YHB Center, 2006), H. 235-237.

16
Universitas Sumatera Utara

kebutuhan daerah, Padang Lawas mencoba mempromosikan diri untuk layak
menjadi sebuah kabupaten, bukan berangkat atas dasar kekecewaan yang pernah
ada dari salah satu pihak, seperti yang banyak dilakukan oleh daerah pemekaran
lainnya, hingga segalausaha pemekaran yang dilakukan oleh masyarakat
Kabupaten Padang Lawas dapat sejajar dengan kabupaten pemekaran lainnya
seperti Kabupaten Mandailing Natal yang lebih dulu menjadi daerah otonom
setelah mekar di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Kabupaten Padang Lawas adalah wilayah otonom di Provinsi Sumatera
Utara. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan.
Berawal dari keinginan warga untuk mensejahterakan masyarakat di daerah
Padang Lawas,seperti yang telah dilakukan daerah Mandailing Natal yang sudah
lebih dulu melakukan pemekaran dan berdampak positif untuk mensejahterakan
masyarakatnya, sehingga masyarakat Padang Lawas juga memiliki keinginan
untuk melakukan pemekaran agar Padang Lawas menjadi Kabupaten yang

mandiri dan mampu mengatur pemerintahannya sendiri yang bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakatnya, pada tahun 1992 beberapa tokoh dari masyarakat
mulai memperjuangkan daerah Padang Lawas sebagai wilayah otonom. Tanggal
21 Maret 1992DPRD Tapanuli Selatan dengan keputusan nomor 15/KPTS/1992
tentang persetujuan pemekaran wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan
segenap upaya masyarakat Padang Lawas untuk memekarkan diri dari Kabupaten
Tapanuli Selatan,

pada tanggal 13 April 1992 DPRD Tapanuli Selatan

17
Universitas Sumatera Utara

mengundang masyarakat Padang Lawas untuk menghadiri musyawarah dalam
rangka pemekaran Kabupaten Padang Lawas. 7
Kabupaten Padang Lawas, merupakan kabupaten yang baru disahkan pada
tanggal 10 Agustus 2007. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2007, Kabupaten Tapanuli Selatan di mekarkan
menjadi 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Padang Lawas Utara (Ibukotanya Gunung
Tua), dengan jumlah daerah Administrasi 8 Kecamatan ditambah 10 desa dari

Wilayah Kecamatan Padang Sidimpuan Timur dan Kabupaten Padang Lawas
(Ibukotanya Sibuhuan) dengan jumlah daerah Administrasi 12 Kecamatan
sedangkan Kabupaten Tapanuli Selatan (Ibukotanya Sipirok) dengan jumlah
daerah Administrasi 11 kecamatan. 8
Akhirnya keinginan masyarakat Padang Lawas untuk mekar dari
Kabupaten Tapanuli Selatan dikabulkan oleh pemerintah pusat dan perjuangan
tokoh pemekaran serta masyarakatdaerah Padang Lawas tersebut berakhir pada 17
juli 2007. Bersamaan dengan itu, DPR-RI mengadakan sidang paripurna
pengesahan rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang
pembentukan kabupaten dan kota.
Diperlukan waktu yang tidak sedikit hingga masyarakat Padang Lawas
dapat mewujudkan keinginannya untuk memisahkan diri dari Kabupaten induk
yakni Kabupaten Tapanuli Selatan. Perjuangan yang dilakukan dari tahun 1992
sampai tahun 2007 adalah proses ketika masyarakat padang lawas berjuang untuk
mendapatkan hak dan wewenang sebagai daerah otonom untuk mengatur dan
7

http://Berita Sore.com.Pemekaran Kabupaten Padang Lawas/ Putusan diakses pada 12 Juli 2013
Pada Pukul 00.17.
8

BPS Kabupaten Padang Lawas

18
Universitas Sumatera Utara

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan aspirasi masyarakat dan dapat bertanggung jawab penuh dalam
mengelola daerahnya sendiri.

B. Perumusan Masalah
Perumusann masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan jalan
pemecahannya. Perumusan masalah merupakan penjabaran dari identifikasi
masalah dan pembatasan masalah. Dengan kata lain, perumusan masalah
merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah
yang akan diteliti didasarkan atas identifikasi masalah dan pembatasan masalah. 9
Sejalan dengan latar belakang dan persoalan yang telah di uraikan di atas,
adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana politik pemekaran daerah Kabupaten Padang Lawas ”


C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai apa yang hendak kita
capai. Tujuan penelitian dicantumkan agar pihak lain yang membaca laporan
penelitian dapat mengetahui dengan pasti tentang apa tujuan dari penelitian kita
sesungguhnya. 10 Adapun yang menjadi tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini
adalah:

9

Huasaini Usman & Purnomo Setiady Akbar.2009. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:Bumi
aksara hal.27
10
Arikunto Su, arsimi.1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta,hal 29

19
Universitas Sumatera Utara

1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses politik pemekaran daerah
Kabupaten Padang Lawas.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memeberikan masukan dan pengetahuan
yang bermanfaat yaitu :
1. Secara akademis penelitian dapat menjadi bahan acuan ataupun referensi
dalam konteks ilmu politik terkait dengan proses pemekaran daerah.
2. Secara teoritis ataupun metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi politik pemekaran
daerah, khususnya di Indonesia.
3. Secara pribadi penelitian mampu mengasah kemampuan peneliti dalam
melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan
pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

E. Teori dan Konsep
Dalam melakukan suatu penelitian, seorang peneliti perlu memakai teori
ataupun penjelasan lainnya dalam memecahkan permasalahan yang ditelitinya.
Kerangka teori merupakan dasar untuk melakukan suatu penelitian dan teori yang
dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial-politik yang akan dianalisis
oleh peneliti. 11 Kerangka teori digunakan untuk memberikan landasan dasar yang
berguna untuk membantu penelitian dalam memecahkan masalah. Kerangka teori
11

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
Yogyakarta: Erlangga, 2009, hal 190.

20
Universitas Sumatera Utara

dimaksud untuk memberi gambaran dan batasan tentang konsep-konsep yang
digunakan sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, dengan demikian
penulis dapat menggunakan teori-teori yang relevan dengan tujuan penelitian.
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

E.1. Teori Elite
Elite politik adalah sekelompok kecil orang berkualitas yang mampu
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Menurut pareto, masyarakat
terbagi dalam dua kategori yaitu: lapisan elite yang jumlahnya kecil dan
mempunyai kemampuan memerintah (governing elite), dan lapisan non elite yang
jumlahnya besar yang ditakdirkan untuk diperintah (non elite). 12
Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki
jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Disamping itu bahwa elite yang ada
dalam lapisan masyarakat pada umumnya datang dari kelas yang sama yaitu
orang-orang yang kaya dan juga panda, yang mempunyai kelebihan dalam
matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Vilfredo Pareto sendiri
lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia
berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan yang dilihatnya
sebagai hal yang penting. 13
Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto membagi strifikasi dalam tiga
kategori yaitu elit yang memerintah (governing elite), elit yang tidak memerintah

12

SP. Varma. 2010.Teori Politik Modern. Jakarta:PT.Rajawali Pers. Hal 199
Ibid, Hal 200

13

21
Universitas Sumatera Utara

(non-governing elite), dan massa umum (non-elite). Kajian ini membagi dua
kategori elit yaiyu: 14
1. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui
pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis
ditingkat loakal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal
yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit politiknya seperti:
Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai
politik. Dalam konteks lokal yaitu elit politik lokal dan non elit politik
lokal.
2. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam
lingkungan masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit
organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Perbedaan tipe elit lokal diharapkan selain dapat membedakan ruang
lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan
antar-elit politik maupun elit masyarakat dalam proses pemilihan kepala
daerah di tingkat lokal.
Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri
maupun antar kelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit
menurut Pareto terjadi dalam kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara
kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan kedua, pergantian terjadi di

14

Maurice Duverger. 1982. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 178

22
Universitas Sumatera Utara

antara elite dengan penduduk lainnya. Pergantian model kedua ini bisa berupa
pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu Individu-individu dari lapisan yang
berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan individu-individu dari
lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam kancah
perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. 15
Sementara Gaetano Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila
elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuannya dan orang luar di kelas
tersebut menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala
kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan diganti oleh kelas
penguasa yang baru. 16 Dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh Mosca, terutama
karena terjadinya penjatuhan rejim, konflik pasti tidak terhindarkan, karena
masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam cara. Menurut Mosca
Duverger, dalam konflik politik, sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan
jumlah uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya. 17
Tata cara mekanisme sirkulasi elit ini akan sangat menentukan sejauh
mana sistem politik memberikan kerangka bagi terwujudnya pergantian
kekuasaan di suatu Negara. Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya
prosesnya tidak selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang
menunjukan

sifat-sifat

ketidak

normalan.

Tetapi

masing-masing

DPRD

mempunyai tata cara dan mekanisme masing-masing dalam pergantian elit.
Elit merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik
(kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan
15

SP. Varma. Op.Cit.Hal. 201
Ibid. Hal. 203
17
P. Anthonius Sitepu. 2012.Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 84
16

23
Universitas Sumatera Utara

dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki
jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan
politik. Elit politiknya seperti Gubernur, Bupati, Walikota,DPRD, dan pimpinanpimpinan partai politik.
Dalam menganalisa kedudukan elit dalam masyarakat, elemen yang perlu
di perhatikan adalah konsep kekuasaan. Hal ini disadari bahwa elit dan kekuasaan
merupakan dua variabele yang tidak dapat dipisahkan, karena elit merupakan
sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber kekuasaan dan sebaliknya.
Kekuasaan merupakan salah satu unsur terbentuknya elit. Elit politik adalah
sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik. Bahwa jumlah penguasa
selalu lebih sedikit daripada yang dikuasai. 18 Teori elit di bangun di atas
pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit baik elit politik maupun elit
agama tidak dapat dilakukan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba
kompleks. Dalam sejarahnya, jumlah elit cenderung lebih sedikit akibat legitimasi
dari masyarakat demikian berat.
Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati
kedudukan-kedudukan tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan
oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya
kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana
kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih
menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian elit penguasa

18

Mochtar Mas’ud dan Colin MacAndrews.2001. Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gajag
Mada University Press.hal. 77

24
Universitas Sumatera Utara

dan elit yang tidak berkuasa yeng mengarah kepada adanya kepentingan yang
berbeda.
Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan
dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan
selain itu, elit popitik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan
dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran
dan fungsi di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa
inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan
mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.
Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan
elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller
mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit
yakni pertumbuhan penduduk, pertumbuhan spesialis jabatan, pertumbuhan
organisasi formal atau birokrasi dan perkembangan keagamaan moral.
Konsekuensinya, kaum elitpun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih
bersifat otonom. 19
Huky membagi elit kedalam tiga kategori yaitu: 20
1.

Elit karena kekayaan.
Kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Orang-orang kaya
tergabung ke dalam group tertentu baik bersifat konkrit maupun
abstrak dan mengontrol masyarakat di sekitarnya, seperti majikan
dengan posisi elit dalam mengontrol bawahannya.

19

Ibid. hal. 44
http://www./2home.sol.no/-hmelberg/papers/ diakses pada 03Juni 2015 Pukul 02.47 Wib

20

25
Universitas Sumatera Utara

2.

Elit komunikasi
Orang-orang tertentu dalam komunitas dipandang sebagai kelompok
yang dapat mempengaruhi kelompok lain.

Untuk melancarkan mekanisme sistem politik maka elit politik atau elit
penguasa harus mampu mengakomodasi berbagai tuntutan masyarakat atau warga
Negara. Kemudian tuntutan itu diolah menurut mekanisme sistem politik yang
bisa menghasilkan berbagai kebijakan atau keputusan yang dapat menjawab
berbagai tuntutan masyarakat. Elit politik bertindak secara demokratis untuk
menghargai hak-hak warganegara dan terbuka terhadap berbagai golongan.
Adapun cara elit mempertahankan kekuasaan yaitu: 21
1. Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama
dalam bidang politik yang merugikan kedudukannya penguasa, peraturanperaturan tersebut akan digantikan dengan peraturan-peraturan baru yang
akan menguntungkan penguasa. Keadaan tersebut biasanya terjadi pada
waktu ada pergantian kekuasaan dari seseorang penguasa kepada penguasa
lain (yang baru)
2. Mengadakan sistem kepercayaan (belief – system) yang akan dapat
memperkokoh kedudukan penguasa atau golongan. Sistem kepercayaan
tersebut meliputi agama, ideologi, dan seterusnya.
3. Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik.
4. Mengadakan konsolidasi secara horosontal dan secara partikal.

21

Soerjono soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Radar Jaya Offset. hal 270

26
Universitas Sumatera Utara

E.2. Teori Pemekaran Wilayah
Sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi yang dianut dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dibentuk
daerah-daerah otonom dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal
ini sejalan dengan ketentuan pasal 18 ayat (1),(2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk
daerah otonom baru (baik daerah provinsi, daerah kabupaten, maupun daerah
kota) yang terpisah dari induknya akhir-akhir ini banyak muncul seiring dengan
dinamika masyarakat pada era reformasi.
Dinamika keinginan masyarakat di suatu wilayah untuk menjadikan
daerahnya menjadi daerah otonom seperti itu pada dasarnya tidak bertentangan
dengan semangat otonom daerah yang secara resmi digulirkan pada bulan januari
2001. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang di sempurnakan menjadi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masyarakat bahwa
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

27
Universitas Sumatera Utara

disamping sebagai sarana pendidikan politik lokal. 22 Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, tujuan pembentukan suatu daerah otonom pada dasarnya adalah
untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan.
Perkembangan daerah dengan adanya otonomi menunjukkan semakin
banyak daerah yang terlihat lebih maju dan berkembang sejak diberikannya
otonomi yang lebih besar terutama daerah yang memiliki sumber daya alam
cukup

besar.

Otonomi

ternyata

memberikan

kepada

daerah

untuk

mengembangkan daerahnya sesuai dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan
adat masing-masing daerah untuk menunjukkan kebhinekaan.Akan tetapi, perlu
disadari pula daerah yang kurang berkembang setelah diberikan otonomi. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat daerah yang terlihat stagnan perkembangannya
sebagai daerah otonom. 23
Pembentukan suatu daerah memperhatikan berbagai aspek pendukung
pengembangan daerah terutama aspek sumber daya alam atau sumber ekonomi
suatu daerah dan sumber daya manusia yang akan mengelolanya. Apabila salah
satu aspek tersebut tidak memiliki akan menghambat tujuan utama pembentukan
daerah yaitu peningkatan kesejahteraan dan pelayanan yang lebih baik bagi
masyarakat. 24
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran
suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa,

22

H.A.W. widjaja, “Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm 134-135
23
Hamdi Muchlis, Naskah Akademik Tentang Pembentukan dan Penghapusan Daerah, BPHN
DEPKUMHAM RI, Jakarta,2008 hlm 1
24
Ibid hlm 3

28
Universitas Sumatera Utara

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai
berikut.“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia,yang diatur dalam undang-undang.”
Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan
mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan
Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk
dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004
menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undangundang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian,
ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut.
“Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan,
dokumen, serta perangkat daerah.” 25
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada
ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat
berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau
25

Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No.
125 tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 4.

29
Universitas Sumatera Utara

pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4)
menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas
minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.” 26
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila
telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi,
syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD
kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi
bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi
dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif
yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta
rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. 27
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di
bawah ini.
a. Kemampuan ekonomi.
b. Potensi daerah.
c. Sosial budaya.
d. Sosial politik.
e. Kependudukan.
f. Luas daerah.
26
27

Ibid.
Indonesia (b), op. cit., ps. 5.

30
Universitas Sumatera Utara

g. Pertahanan.
h. Keamanan.
i. Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. 28
Terakhir, syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima
kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan
untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota,
lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. 29

E.3.Konsep Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang
yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pascaamandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI,
yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis
secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Pasal
18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal
yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
28

Ibid.
Ibid.

29

31
Universitas Sumatera Utara

daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.”4 Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru
pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi
daerah sebagai berikut.“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan

masyarakat

setempat

sesuai

dengan

peraturan

perundang-

undangan.” 30
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai
berikut.“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.” 31
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi,dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalahpenyerahan wewenang pemerintahan

30

Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No.
125 tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1.
31
Ibid.

32
Universitas Sumatera Utara

oleh pemerintah pusat kepadadaerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahandalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkandekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
olehpemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat didaerah
dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.Sementara itu, tugas
pembantuan merupakan penugasan daripemerintah pusat kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintahprovinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintahkabupaten/kota

kepada

desa

untuk

melaksanakan

tugas

tertentu.Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah,dibentuk pula
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang- Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” 7 direalisasikan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun
2005).
Berbicara tentang pemekaran wilayah, tentu saja tidak dapat terlepas dari
teori desentralisasi sebagai wujud dari tuntutan akan penerapan prinsip-prinsip

33
Universitas Sumatera Utara

demokrasi dalam kehidupan bernegara, khususnya ditingkat daerah, karena salah
salah satu prinsip demokrasi yang sejalan dengan ide desentralisasi adalah adanya
partisipasi dari masyarakat. Agar masyarakat dan elit politik daerah mampu
mengembangkan daerahnya sendiri dan mempunyai kewenangan lebih untuk
daerahnya. 32
Dalam pengertiannya, desentralisasi memiliki dua defenisi, pertama,
desentralisasi yang diterjemahkan sebagai pengalihan tugas oprasional dari
pemerintah pusat ke pemerintah lokal. Kedua, desentralisasi yang digambarkan
sebagai pendelegasian atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan kepada
pemerintah yang tingkatnya lebih rendah. Lalu kemudian apa yang membuat
masyarakat dan pemerintah lokal meminta lebih setelah diberikannya otonom
daerah oleh pemerintah pusat, tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagi
penulis khususnya ketika hendak mengkadi pemekaran wilayah.
Ternyata setelah dikaji lagi lebih mendalam, selain desakan atas
gelombang euphoria stelah reformasi, pemicu derasnya pemekaran wilayah
adalah dekrit presiden pada tahun 1999, yang segala sesuatunya harus
dikembalikan kepada UU 1945 dan pancasila, namun pasca revormasi muncullah
UU No 22/1999yang lebih mencerminkan kebhinekaan ketimbang ketunggal
ikaannya. Namun dalam perkembangannya UU No 22/1999 di revisi menjadi UU
No 32/2004, yang dinilai banyak kalangan sebagai bentuk resebtralisasi
soekarnois, jelas saja berbagai desakan pemekaran wilayah semakin membanjir di

32

Meizer Malanesia, Makalah yang disampaikan dalam Program TKL khusus, dalam sekolah
pasca sarjana/ s3, desentralisasi dan Demokrasi, dalam http://www.rudyct.com/PPS702ipb/09145/meizar_malanesia.pdf,
yang
diposting
oleh
http://www.pdffinder.com/DESENTRALISASI-DAN-DEMOKRASI.html

34
Universitas Sumatera Utara

DPR, pasalnya makna desentralisasi bukan saja berkisar pada adanya kewenangan
untuk melakukan pemerintahannya sendiri, namun telah bergeser kepada
dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil baik dari pemerintah pusat
maupun dari pemerintah induk, karena memang system desentralisasi yang
mengacu pada pemerintahan induk justru dalam hal ini lebih berkesan sebagai
eksploitator aset dan sumberdaya daerah setempat, imbasnya adalah rakyar
sendirilah yang kurang mendapatkan perlakuan yang adil dari pemerintah induk
yang lebih memiliki control terhadap daerahnya. 33

F.

Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
kelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses
penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan
pertanyaan-pertaanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data-data yang
spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema
yang khusus ke tema-tema yang umum, dan menafsifkan makna data 34

33

Kerjasama Percik dan USAID Democratic RefromSupport Program (DRSP) dan
Desentralization Support Facility (DSF) Proses dan Implikasi Sosial-Politik: Studi Kasus di
Sumbardan Buton, (Pustaka Percik, 2007), h 4-8
34

Jhon W Creswell.2012. Research Design. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, Hal 4

35
Universitas Sumatera Utara

F.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
bertujuan utuk menjelaskan ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci.
Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan
mengenai keadaan objek atau semacam amatan secara rinci.

F.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Padang Lawas. Dipilihnya
Kabupaten Padang Lawas sebagai lokasi penelitian karena Kabupaten ini
merupakan daerah otonomi baru di provinsi Sumatera Utara. Melihat perjuangan
para elit lokal dan elemen masyarakat yg begitu kuat serta hasil pemekaran yg
signifikan, serta letak geografis dan kedekatan kultural dengan peneliti, maka
dengan itu, peneliti tertarik menetapkan daerah ini sebagai objek penelitian. 35

F.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam

penelitian

ini,

ada

dua

metode

yangdigunakan

untuk

mengumpulkan data yaitudata primer dan data sekunder.
1.

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. Dilakukan
dengan metode wawancara (interview). Teknik pengumpulan data melalui
wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun
narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan

35

Suyanto, Bagong dan Sutinah.2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, hal.17-18

36
Universitas Sumatera Utara

tanya jawab secara lengsung kepada informan yang terkait dengan
penelitian. Dalam hal ini peneliti mengambil informan kunci yang akan
diwawancarai berkaitan dengan penelitian seperti :
a.

Bapak Marahadi Hasibuan
Bapak Marahadi Hasibuan, menjabat sebagai Ketua panitia pemekaran
Kabupaten Padang Lawas (Kepala Yayasan Sekolah Abdi Negara)

b.

Bapak Irsan Bangun
Sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Padang Lawas

c.

Bapak H.Kanti Nasution
Sebagai Camat di Kecamatan Huta Raja Tinggi Kab.Padang Lawas

d.

Bapak Harjusli
Sebagai Kabag Tata Pemerintahan di Kantor Bupati Padang Lawas.
.

2.

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber
sekunder.Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian
seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturanperaturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan
informasi mengenai judul penelitian.

F.4 Teknik Analisa Data
Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan jenis data kualitatif. Dalam analisis data kualitatif memberikan
hasil penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan

37
Universitas Sumatera Utara

juga menganalisis makna yang dibalik informan, data dan proses tersebut.36
Disamping itu, penelitian ini bersifat deskripsi yang bertujuan memberikan
gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi. Data-data yang terkumpul
melalui wawancara dan dokumentasi kemudian disusun, dianalisa dan disajikan
untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada.
Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya
akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.

G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci maka penulis
menjabarkan penelitian ini ke dalam IV Bab. Untuk itu sistematika penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I

: PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang Latar Belakang Penelitian, Perumusan
Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kerangka Teori, Metode Penelitian dan Sistematiak Penulisan.

BAB II

:PROFIL KABUPATEN PADANG LAWAS
Bab ini lebih ditujukan untuk menggambarkan segala sesuatu
mengenai objek penelitian yaitu profil pemerintahan kabupaten,
dan struktur pemerintahan daerah Kabupaten Padang Lawas.

36

Burhan Bungi. 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana. Hal. 153

38
Universitas Sumatera Utara

BAB III

:POLITIK PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN PADANG
LAWAS
Bab ini berisi penyajian data dan fakta melalui metode wawancara
dan fakta yang diperoleh di lapangan. Dalam bab ini akan lebih
mendalam menganalisis Politik Pemekaran daerah Kabupaten
Padang Lawas.

BAB IV

: PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi mengenai kesimpulan.
Bab ini memuat kesimpulan dan saran dari keseluruhan hasil
penelitian yang telah di lakukan oleh penulis.

39
Universitas Sumatera Utara