Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer

43

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.
Malaria menyebar dari manusia ke manusia melalui perantara gigitan
nyamuk Anopheles sebagai vektor. Nyamuk Anopheles betina akan terinfeksi
dengan gametocyte (bentuk sexual plasmodium) saat menggigit seorang penderita
malaria. Gametocyte akan berkembang dalam tubuh nyamuk menjadi sporozoite
lebih kurang 6-12 hari, yang selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain
melalui gigitannya.

Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006)
Sporozoite yang masuk ke dalam aliran darah, dalam waktu 30-60 menit
akan segera menginfeksi sel hati. Dalam kurun waktu 5-7 hari, proses
pembentukan merozoite pada sel hati selesai dan selanjutnya dikeluarkan dari sel
hati (fase pre-eritrositer). Merozoite tersebut segera menginfeksi eritrosit dan

Universitas Sumatera Utara


44

akan berkembang dalam beberapa stadium di dalam eritrosit membentuk
trophozoite, schizont dan merozoite baru (fase eritrositer). Merozoite yang telah
terbentuk akan keluar bersamaan dengan pecahnya eritrosit dan selanjutnya akan
segera menginfeksi eritrosit lainnya. Fase eritrositer pada Plasmodium falciparum
adalah 48 jam. Perkembangan tiap stadium inilah yang mempengaruhi organ
tubuh dan eritrosit penderita sehingga menimbulkan gejala dan tanda malaria
(CDC, 2006; Greenwood et al., 2005; Beaver et al., 1984).

2.2. Malaria dan Masalahnya
Malaria adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa
darah yang bersifat obligate intracellular. Dalam klasifikasinya, protozoa ini
dimasukkan dalam genus plasmodium. Species yang terbanyak menginfeksi
manusia adalah Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium
malariae dan Plasmodium ovale. Malaria berat sering disebabkan oleh
Plasmodium falciparum, terutama bila tidak ditangani dengan benar (Beaver et
al., 1984).
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama yang
beriklim tropis dan subtropis. Sekitar 2,3 miliar atau 41% dari jumlah penduduk

dunia berisiko menderita malaria. Setiap tahun kasusnya berjumlah 300-500 juta
kasus dan mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian (Depkes, 2005; Prabowo, 2004).
Penyakit ini juga sering disebut demam roma, demam rawa, demam tropic,
demam pantai, demam charges, demam kura, dan paludisme (Prabowo, 2004). Di
Indonesia malaria dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800
meter di atas permukaan laut (Prabowo, 2004; Rampengan, 2002).

Universitas Sumatera Utara

45

Gejala dan tanda klinis pada penyakit malaria tidaklah khas, terlebih lagi
pada penderita di daerah endemis. Umumnya ditandai dengan demam dan
menggigil, namun dapat juga menimbulkan gejala pusing dan gangguan saluran
pencernaan (Siahaan, 2007a; Siahaan, 2007b; WHO, 2006)
Penyakit malaria tidak terdistribusi merata, baik antar daerah, desa,
keluarga, dan individu. Malaria bisa merupakan penyakit endemis di suatu daerah
dan desa tertentu tetapi tidak di daerah dan desa lain meskipun saling berdekatan.
Malaria juga bisa terjadi berulang-ulang dalam suatu keluarga dan individu
tertentu tetapi tidak pada keluarga dan orang lain meskipun bertetangga.

Penduduk yang paling berisiko terinfeksi malaria adalah anak balita, wanita hamil
dan penduduk non imun yang mengunjungi daerah endemis malaria, seperti
pengungsi, transmigran, dan wisatawan (Prabowo, 2004; Gunawan, 2000).
Diagnosis malaria pada layanan kesehatan primer umumnya menggunakan
RDT dan pemeriksaan mikroskopik. Semua alat diagnosis tentunya memiliki
keterbatasan, terutama pada kejadian mis-opportunity problem, seperti yang
umumnya terjadi pada keadaan asymptomatic malaria.
Asymptomatic malaria merupakan suatu keadaan dimana penderita tidak
menunjukkan gejala klinis padahal di dalam tubuhnya terdapat plasmodium
penyebab malaria. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya anti disease immunity,
yang menekan inflamatory agent, sehingga dapat menyebabkan seorang penderita
malaria tidak merasakan gejala klinis yang mengganggu (tidak merasa dirinya
‖sakit‖), sehingga tidak perlu memeriksakan diri kepada petugas kesehatan,
padahal di dalam tubuhnya dapat dijumpai adanya plasmodium. Fenomena lain
yang dapat terjadi pada penderita malaria di daerah endemis adalah munculnya

Universitas Sumatera Utara

46


anti parasite immunity, yang dapat menekan jumlah plasmodium sampai dengan
jumlah tertentu, bahkan pada jumlah yang belum terdeteksi pada pemeriksaan
mikroskopik, namun si penderita tetap mengalami gejala klinis yang mengganggu.
Kondisi ini sering disebut dengan submicroscopic malaria.
Proses terbentuknya gametocyte tetap berlangsung pada penderita
asymptomatic malaria dan submicroscopic malaria. Sehingga apabila kedua
kondisi tersebut tidak segera diberikan pengobatan yang tepat maka dapat
memperbesar peluang terbentuknya gametocyte carriers dan menjadi sumber
transmisi baru untuk terjadinya penyakit malaria. Jika kondisi tersebut terus
berlangsung, tentunya program pengendalian dan eliminasi malaria tidak akan
pernah terwujud (Turki et al., 2012).
Pada awalnya diduga kasus asymptomatic malaria hanya ada pada daerah
holoendemis dan hyperendemis saja. Namun sudah banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa kasus ini juga ditemukan pada daerah hypoendemis (Branch
et al., 2005). Tantangan yang dihadapi pada kondisi tersebut adalah tidak
dijumpainya plasmodium pada pemeriksaan mikroskopik darah rutin diakibatkan
oleh kepadatan parasit yang rendah dan pasien yang tidak datang memeriksakan
dirinya karena tidak merasakan adanya gejala klinis yang mengganggunya (Suárez
et.al, 2007; Coura et.al, 2006; Alves et. al, 2002).
Penelitian deteksi asymptomatic malaria telah pernah dilakukan. Namun

kebanyakan

penelitian

tersebut

bersifat

cross

sectional

study

dengan

menggunakan PCR dan serologi. Ada juga penelitian dengan design longitudinal
study namun hanya bersifat menunggu pasien sampai mengunjungi rumah sakit
tanpa mengamati secara khusus dan intensif waktu demi waktu (Dennis et.al,


Universitas Sumatera Utara

47

2004). Diagnosis malaria dengan menggunakan PCR dan serologi sampai saat ini
masih digunakan sebatas kegiatan surveilance, bukan sebagai standar diagnosis
malaria (Satoguina et al., 2009). Penelitian Dennis et al. (2004) juga menyatakan
bahwa dalam waktu 30 hari, pasien dengan asymptomatic malaria akan
menunjukkan gejala klinis malaria lebih banyak dibandingkan dengan yang bukan
asymptomatic malaria.
Proporsi asymptomatic malaria pada populasi penderita malaria belum
banyak yang dilaporkan. Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan pada
daerah dengan endemisitas yang berbeda-beda mendapatkan hasil yang berbeda
pula. Fontes (2001) dalam penelitiannya menemukan ada sekitar 41,8% penderita
asymptomatic malaria dari penderita malaria yang ditelitinya. Bahkan Alves et al.
(2002) menyatakan bahwa penderita asymptomatic malaria 4-5 kali lebih banyak
dibandingkan dengan symptomatic malaria. Sementara itu Coura et al. (2006)
dalam tulisannya menyatakan, apabila 25% saja penderita asymptomatic malaria
dari penderita malaria di suatu wilayah tidak ditangani dengan baik, maka
program kontrol malaria tidak akan pernah berhasil.

Diagnosis dini asymptomatic malaria merupakan salah satu cara menekan
terjadinya transmisi penyakit malaria. Indikator keberhasilan program eliminasi
malaria yang sering dipakai seperti PCR dan serologi, relatif lebih mahal dan sulit
dilakukan pada layanan kesehatan primer jika dibandingkan dengan diagnosis
malaria dengan pemeriksaan mikroskopik dan RDT. Diagnosis malaria secara dini
dan akurat dapat dijadikan informasi tentang keberhasilan program eliminasi
malaria, sebaliknya bila dijumpai prevalensi asymptomatic malaria yang

Universitas Sumatera Utara

48

significant dapat menjadi pertanda program eliminasi malaria masih belum
berhasil (Oduro et al., 2011).

2.3. Diagnosis Malaria
Salah satu tatalaksana malaria yang cukup penting adalah diagnosis.
Diagnosis malaria secara dini dan akurat merupakan bagian utama dalam upaya
mengontrol malaria yang pada akhirnya akan mengurangi angka kesakitan dan
kematian akibat malaria. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk

mendapatkan alat diagnosis yang memiliki sensitivitas tinggi, namun sedikit yang
mengoptimalkan alat diagnosis yang ada pada layanan kesehatan primer.
Volume darah yang diperiksa dan kepadatan parasit dalam darah
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan untuk
mendeteksi infeksi malaria, sekalipun pada pemeriksaan PCR. Semakin banyak
volume darah yang diperiksa akan memperbesar peluang untuk menunjukkan
kondisi yang sebenarnya terutama pada kondisi kepadatan parasit yang rendah
(low parasite density). Hal yang sama terjadi pada kepadatan parasit, semakin
tinggi kepadatan parasit dalam darah, semakin mudah di deteksi. Secara umum
PCR dapat mendeteksi parasit sampai dengan kepadatan parasit 10 parasit/µl,
sementara pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi parasit mulai dari
kepadatan parasit 10 parasit/µl (Okell et al., 2012).
Okell et al. (2012) mendapatkan bahwa spesifisitas pemeriksaan
mikroskopik dibandingkan dengan PCR sangat tinggi, yaitu rata-rata 94%. Hal ini
menunjukkan bahwa data Slide Positive Rate dapat menggambarkan hasil
pemeriksaan PCR. Sementara itu, pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi
sekitar 54% hasil positif pada pemeriksaan PCR. Pada analisis multivariate

Universitas Sumatera Utara


49

didapatkan hubungan yang sangat kuat pada pemeriksaan PCR dan pemeriksaan
mikroskopik. Hasil yang didapatkan akan semakin baik bila data dikelompokkan
berdasarkan umur, dimana kelompok umur < 16 tahun terlihat lebih baik jika
dibandingkan dengan umur diatasnya.
Pada penelitian yang sama, Okell et al. (2012) juga mendapatkan suatu
model prediksi yang menyatakan hubungan data submicroscopic parasite density
dengan total penderita malaria di wilayah tersebut, berdasarkan hasil perhitungan
perubahan intensitas transmisi malaria. Diperkirakan adanya penurunan intensitas
transmisi malaria sekitar 70-80% pada daerah hypoendemis dan 20% pada daerah
hyperendemis. Penelitian ini juga merekomendasikan penggunaan model tersebut
untuk memprediksi submicroscopic carriage dengan menggunakan hasil slide
positive rate.
Pemeriksaan mikroskopik masih merupakan gold standar dalam diagnosis
malaria. Alat uji diagnosis lain yang sering digunakan adalah gejala klinis, RDT,
dan PCR. Sementara itu Profil Hematologi (perubahan nilai trombosit, lekosit dan
eritrosit), Status gizi, Kecacingan (Infeksi Soil Transmitted Helminths) dan
golongan darah ABO juga dapat dijadikan sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian malaria.


2.3.1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi spesies parasit dan kepadatan
parasit antara 10-100 parasit/µl darah. Pemeriksaan yang akurat dan tepat akan
memberikan nilai diagnosis yang tinggi. Untuk hasil yang maksimal diperlukan
ketelitian dan penyiapan sediaan darah yang tepat pula. Volume darah yang
digunakan untuk sediaan darah tipis adalah 1-1,5 µl sedangkan untuk sediaan

Universitas Sumatera Utara

50

darah tebal adalah 3-4 µl. Tentunya pemeriksaan dengan volume darah yang lebih
banyak memperbesar peluang ditemukannya parasit di dalam penderita, terutama
pada kepadatan parasit yang rendah (Purwaningsih, 1999).
Pada penelitian di daerah hypoendemis, didapati hasil mikroskopik positif
sebanyak 61% dengan tingkat kepadatan parasit < 100 parasit/µl (Harris et al.,
2010). Penelitian lain yang dilakukan pada anak sekolah diperoleh hasil 12,8%
asymptomatic malaria dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sederhana
(Mohana et al., 2007). Pada kepadatan parasit yang rendah, diperkirakan bahwa

untuk melihat 1 parasit diperlukan 100-300 lapangan pandang kecil pada apusan
darah tebal. Hal ini menunjukkan perlunya melihat lebih banyak lapangan
pandang untuk mendiagnosis malaria pada pasien yang tidak menunjukkan gejala
(asymptomatic malaria) atau pada kondisi kepadatan parasit yang rendah
(submicroscopic malaria) (Harris et.al., 2010).
Sampai saat ini gold standard diagnosis malaria adalah pemeriksaan
mikroskopik, yaitu dengan menemukan adanya plasmodium di dalam sediaan
darah yang diperiksa. Satu kali pemeriksaan mikroskopik yang memberikan hasil
negatif tidaklah langsung menyingkirkan kemungkinan diagnosis malaria,
terutama pada penderita yang menunjukkan gejala dan tanda umum malaria di
daerah endemis malaria. Untuk itu diperlukan pemeriksaan mikroskopik serial
dengan interval waktu pemeriksaan. Interval waktu pemeriksaan juga bisa saja
beragam, sesuai dengan masa inkubasi dari masing-masing spesies.
Menge et al. (2008) dalam penelitiannya mendapatkan hasil yang hampir
sama dengan banyak penelitian yang membandingkan pemeriksaan mikroskopik
dan PCR. Penelitan tersebut mendapatkan hasil sensitivitas pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

51

mikroskopik terhadap PCR mendekati 60% dan spesivisitas 93%. Hal ini
menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan mikroskopik mempunyai peluang
untuk

ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan mikroskopik

serial.

Peningkatan sensitivitas tersebut juga dapat semakin ditingkatkan dengan
melakukan kombinasi diagnosis malaria, yaitu pemeriksaan mikroskopik serial,
RDT dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria.

2.3.2. Pemeriksaan RDT
Prinsip diagnosis RDT adalah berdasarkan deteksi antigen plasmodium
dengan menggunakan metoda imunokromatografi dalam bentuk dipstick. Prinsip
uji imunokromatografi adalah cairan yang akan bermigrasi pada permukaan
membrane nitroselulosa. Uji RDT berdasarkan pengikatan antigen di darah perifer
oleh antibodi monoklonal yang dikonjugasikan dengan zat pewarna atau gold
particles pada fase mobile. Antibodi monoklonal kedua / ketiga diaplikasikan
pada strip nitroselulosa sebagai fase immobile. Bila darah penderita mengandung
antigen tertentu, maka kompleks antigen antibodi akan bermigrasi pada fase
mobile sepanjang strip nitroselulosa dan akan diikat dengan antibodi monoklonal
pada fase immobile sehingga terlihat sebagai garis yang berwarna. Secara umum
ada dua antigen yang dideteksi yaitu Histidine Rich Protein 2 (HRP2) untuk
mendeteksi Plasmodium falciparum dan enzim parasite lactate dehydrogenase (pLDH) dan aldolase untuk mendeteksi hampir semua plasmodium. Kerusakan RDT
umumnya disebabkan kesalahan dalam penyimpanan, terpapar sinar matahari.
Sensitivitas RDT masih lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan
mikroskopik dan PCR, yaitu hanya mampu mendeteksi kepadatan parasit > 100
parasit/µl. Pemeriksaan ini juga tidak dapat memberikan informasi spesies dan

Universitas Sumatera Utara

52

kepadatan parasit, serta tidak bisa dipakai untuk follow up penderita
(Purwaningsih, 1999). Sensitivitas dan spesifisitas RDT terhadap pemeriksaan
mikroskopik sangat bervariasi, namun sejauh ini, masih dianggap baik. Meenaa et
al. (2009) dalam penelitiannya mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas RDT
dibandingkan dengan mikroskopik berturut-turut adalah 92,9% dan 94,8%.

2.3.3. Pemeriksaan PCR
Prinsip

pemeriksaan

Polymerase

Chain

Reaction

(PCR)

adalah

menggandakan segmen Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) spesifik dari antigen
plasmodium ada 3 tahap dalam reaksi teknik PCR yaitu tahap denaturasi,
annealing dan polimerisasi. Tahap denaturasi adalah tahap pemisahan DNA untai
ganda menjadi segmen DNA tunggal. Annealing yaitu menyatukan DNA untai
tunggal dari sampel dengan primer yang adalah segmen DNA spesifik dari spesies
plasmodium target. Terakhir adalah ekstinsi atau polimerisasi yang berfungsi
memperbanyak DNA untai ganda yang terbentuk pada tahap annealing menjadi
ribuan kali lebih banyak dengan katalisator enzim polymerase (Purwaningsih,
1999).
Secara teoritis teknik ini mampu mendeteksi 1 copi gen plasmodium,
tetapi pada pelaksanaannya kemampuan deteksi terendahnya (low limit of
detection) adalah 10-100 copi gen spesifik. Kelemahan teknik ini adalah
ketidakmampuan mencari korelasi dengan tingkat kepadatan parasit. Hal lain
adalah biaya yang mahal serta fisibilitasnya sebagai alat diagnosis malaria pada
layanan primer sangatlah sulit. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
jauh lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik dan RDT. Hal
itulah yang menjadi dasar penggunaan PCR pada kegiatan surveillance.

Universitas Sumatera Utara

53

Harris et al. (2010) melakukan penelitian yang membandingkan PCR
dengan pemeriksaan mikroskopik dan RDT pada daerah hypoendemis dengan
kepadatan parasit < 100 parasit/µl. Sama halnya dengan penelitian lain yang
menunjukkan superioritas PCR dibandingkan dengan kedua uji diagnosis lainnya.
Penelitian Harris et al. (2010) mendapatkan hasil bahwa sensitivitas PCR 3,3 kali
dibandingkan mikroskopik. Namun PCR juga gagal mendiagnosis 33 dari 256
mikroskopik yang positif. Sementara itu Michon et al. (2007) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa dari 110 orang penderita malaria, yang disebabkan oleh
Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, dapat dideteksi sebanyak 85
kasus (77,3%) dengan pemeriksaan mikroskopik.

2.3.4. Gejala klinis (keluhan utama)
Manusia merupakan sumber utama dari penyebaran plasmodium.
Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, tergantung dari spesies
plasmodium, umur, ras, imunitas, riwayat penyakit sebelumnya, status gizi, jenis
kelamin serta obat kemoprofilaksis atau kemoterapi yang telah digunakan.
Gambaran

karakteristik

dari

malaria

adalah

demam

periodik,

anemia,

trombocytopenia, dan splenomegali (Broek et al., 2005).
Pada penderita malaria dapat ditemukan satu atau lebih gejala-gejala klinis
seperti demam tinggi, sakit kepala, menggigil, nyeri di seluruh tubuh. Pada
beberapa kasus dapat disertai gejala lainnya berupa mual, muntah dan diare.
Diagnosis malaria pada orang yang pernah terkena sebelumnya tidaklah mudah.
Hal ini disebabkan karena anti disease immnunity, dimana pasien telah terinfeksi
namun sistem imun tubuhnya mampu menekan munculnya gejala klinis.

Universitas Sumatera Utara

54

Gambaran klinis malaria berbeda pada daerah hypoendemis dan
hyperendemis, sehingga diagnosis malaria dengan menggunakan gejala klinis
tidak akurat pada daerah hypoendemis (Chandramohan et al., 2001). Namun pada
penelitian lain, terutama di daerah endemis malaria yang telah berubah menjadi
hypoendemis, gejala klinis dapat digunakan untuk terus melakukan terapi malaria
pada penderita malaria dengan keluhan demam, walaupun belum dikonfirmasi
dengan pemeriksaan mikroskopik (Hub et al., 2001). Hal yang sama juga
dinyatakan oleh NurAmani et al. (2009) dalam penelitiannya yang menyimpulkan
bahwa gejala klinis malaria dapat dijadikan sebagai uji skrining. Demam periodik,
mual, nyeri persendian dapat dijadikan sebagai uji diagnosis malaria klinis.
Dengan demikian penderita dapat segera diberikan pengobatan dan tidak menjadi
sumber penularan dan menekan terjadinya transmisi malaria.
Pengenalan gejala klinis yang khas di daerah endemis malaria merupakan
salah satu cara untuk penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat dan
rasional. Seleksi awal penderita yang disangkakan sebagai penderita malaria
klinis, merupakan suatu hal yang perlu dimiliki oleh petugas pada layanan
kesehatan primer, sebelum akhirnya dikonfirmasikan dengan pemeriksaan
mikroskopik yang masih merupakan standar diagnosis malaria. Oleh karena itu,
pengamatan lebih lanjut untuk menemukan gejala dan tanda klinis yang khas pada
tiap daerah endemis perlu dilakukan, sambil terus membenahi laboratorium
diagnosis malaria di daerah endemis malaria (Siahaan, 2008).
Demam sebagai salah satu gejala klasik malaria, tidak selalu harus
ditemukan pada penderita malaria, terutama di daerah endemis malaria. Selain
demam, keluhan badan pegal, pusing, gangguan pencernaan dan lemas, juga harus

Universitas Sumatera Utara

55

diperhatikan sebagai gejala klinis malaria, terutama di daerah endemis malaria.
Hal ini dapat terlihat bahwa umumnya penderita malaria yang datang tidak
dengan gejala klinis demam, akan datang dengan gejala klinis tersebut. Gejala
klinis malaria yang bervariasi juga diperoleh pada berbagai penelitian yang
dilakukan di berbagai tempat.
Penelitian yang dilakukan pada anak penderita malaria di Gambia pada
tahun 2000, diperoleh hasil bahwa 58,3% penderita malaria tersebut menderita
demam, 86% mengalami pusing dan 60,7% mengalami gangguan pencernaan.
Sementara itu, penelitian di Thailand melaporkan bahwa gejala klinis penderita
malaria umumnya adalah demam (42,3%), pusing (98,3%), badan pegal (96,6%),
menggigil (88,4%) dan gangguan pencernaan (29,3%). Penelitian lain yang
dilakukan di Nigeria pada tahun 2005 juga mendapatkan hasil 100% penderita
malaria yang diteliti mengalami demam, 69,6% mengalami pusing dan 50,4%
mengalami gangguan pencernaan (Pitmang et al., 2005).

2.3.5. Profil hematologi
Perubahan profil hematologi yang berhubungan dengan infeksi malaria
telah lama diketahui, namun perubahan tersebut sangat bergantung oleh banyak
faktor (Erhart et al., 2004).
Anemia merupakan suatu gejala klinis yang banyak ditemukan pada
penderita malaria di berbagai tempat dengan tingkat endemisitas yang berbedabeda. Dalam keadaan normal eritrosit yang bersirkulasi dipertahankan dalam
keseimbangan antara produksi dan destruksi pada reticulo endothelial system.
Anemia terjadi bila ada kelainan produksi eritrosit atau peningkatan destruksi
eritrosit. Perubahan gambaran morfologi seperti polikromasi, anisositosis,

Universitas Sumatera Utara

56

poikilositosis dan sel target juga dapat terlihat pada pemeriksaan sediaan darah
(Tambajong, 1999).
Trombocytopenia sering ditemukan pada penderita malaria. Kondisi ini
juga dapat berubah mengikuti kepadatan parasit di dalam tubuh penderita.
Mekanisme imun diduga berperan dalam destruksi platelet. Hal ini terlihat pada
pengamatan kadar platelet associated IgG yang meningkat bersamaan dengan
proses perjalanan penyakit malaria, yaitu dengan bertambahnya kepadatan parasit
di dalam tubuh penderita. Platelet associated IgG dapat berasal dari kompleks
imun sirkulasi yang ada dalam sirlukasi penderita malaria atau berupa
autoantibody yang diarahkan pada antigen permukaan platelet. Platelet associated
IgG cenderung menimbulkan pembersihkan cepat dari platelet sirkulasi oleh
reticulo endothelial system. Kadar platelet associated IgG dan jumlah platelet
kembali normal mengikuti penurunan kepadatan parasit di dalam darah penderita
(Tambajong, 1999). Gudo et al. (2013) menemukan adanya hubungan yang
bermakna antara anemia dan trombocytopenia dengan kasus asymptomatic
malaria pada anak-anak usia sekolah di daerah hyperendemis malaria.
Secara umum diketahui bahwa lekosit selama perjalanan penyakit malaria
mengalami perubahan jumlah. Pada awal infeksi malaria umumnya lekosit akan
bermigrasi dari sirkulasi menuju spleen atau reticulo endothelial system lainnya,
sehingga jumlahnya menjadi sedikit di sirkulasi (leucopenia). Banyak penelitian
menunjukkan bahwa infeksi Plasmodium falciparum lebih sering menyebabkan
terjadinya leucopenia dibandingkan dengan Plasmodium vivax (Mckenzie, 2005).
Chandra & Chandra (2013) menyatakan bahwa leucopenia dan trombocytopenia
dapat dijadikan indikator terjadinya malaria di daerah endemis.

Universitas Sumatera Utara

57

Penelitian Ladhani et al. (2002) menunjukkan adanya leucocytosis pada
penderita malaria. Kondisi leucocytosis ini juga berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit (morbiditas dan mortalitas). Bahkan penelitian tersebut
mendapatkan hasil bahwa peningkatan jumlah lekosit itu menyebabkan tujuh kali
lebih

banyak

kematian

pada

penderita

malaria.

Penelitian

ini

juga

membandingkan proporsi lymphocyte dan monocyte pada penderita malaria,
walaupun belum memberikan makna yang signifikan. Hal ini diduga karena
adanya infeksi sekunder lain atau karena kondisi penderita yang semakin
memburuk. Sementara itu Taylor et al. (2008) menyatakan bahwa perubahan
kadar lekosit ini juga dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, status imunitas
dan endemisitas daerah.
Hänscheid et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan adanya
hubungan kejadian malaria berat dengan pigmen hemozoin pada lekosit (pigmentcontaining leukocytes - PCL). Penelitian tersebut juga mencoba menghubungkan
prognosis penyakit malaria dengan membandingkan kadar pigment-containing
monocytes (PCM) dan pigment-containing granulocytes (PCN).
Perbedaan hasil penelitian profil hematologi pada penderita malaria
dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga profil hematologi tetap saja dapat
dijadikan informasi yang memperbesar peluang dalam mendeteksi penyakit
malaria, namun tidaklah dapat dijadikan sebagai alat diagnosis standar (Haroon et
al., 2013).

2.3.6. Golongan darah ABO
Faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria
dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respon immunologi

Universitas Sumatera Utara

58

atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor. Beberapa faktor genetik yang
bersifat protektif terhadap malaria adalah golongan darah Duffy negatif,
hemoglobin S, defisiensi G6PD dan golongan darah ABO (Gunawan, 2000 ).
Penelitian yang banyak dilakukan adalah membandingkan terjadinya
malaria berat pada kelompok penderita malaria dengan golongan darah ABO yang
berbeda. Virulensi malaria selalu dihubungkan dengan kemampuan adhesi
eritrosit

yang

mengandung

plasmodium

dengan

eritrosit

normal

serta

perlekatannya di endotel pembuluh darah (rosseting). Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk melihat perbedaan sifat rosseting antara golongan darah ABO
yang berbeda. Golongan darah yang memiliki antigen A dan B memiliki afinitas
yang tinggi untuk mengalami peristiwa rosseting tersebut. Hal ini sejalan dengan
fakta yang ditemukan bahwa penderita dengan golongan darah O (tanpa antigen A
dan B) memiliki prognosis yang lebih baik (Deepa et al., 2011; Panda et al., 2011;
Tekeste et al., 2010). Namun sejauh ini belum ada penelitian yang secara
langsung melihat perbedaan terjadinya kejadian malaria pada golongan darah
ABO.

2.3.7. Status gizi
Penelitian mengenai status gizi dan malaria masih belum mampu
menerangkan secara jelas hubungan keduanya. Ada penelitian yang menemukan
bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria
cerebral dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa malaria berat jarang ditemukan pada anak-anak dengan
marasmus atau kwashiorkor (Langi et al., 2000). Namun lebih banyak penelitian
yang menemukan bahwa anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat

Universitas Sumatera Utara

59

dengan lebih cepat dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk (Gunawan,
2000). Defisiensi zat besi dan riboflavin juga dilaporkan mempunyai efek
protektif terhadap malaria berat. Sementara itu diet rendah PABA (para amino
benzoic acid) seperti yang terdapat dalam air susu ibu melindungi anak dari
malaria berat (Langi et al., 2000).

2.3.8. Kecacingan (STH)
Penelitian yang mengamati coinfection malaria dan kecacingan oleh
karena soil transmitted helminthes (STH) telah lama dilakukan. Penelitianpenelitian tersebut memberikan hasil yang beragam. Sebagian menyatakan bahwa
keberadaan infeksi STH mengurangi susceptibilitas terhadap infeksi malaria,
namun sebagian besar penelitian lain menyatakan hal yang sebaliknya, yakni
bahwa infeksi STH menyebabkan lebih besar peluang terjadinya infeksi malaria.
Infeksi STH kronik secara umum akan meningkatkan respon imun dengan
karakteristik meningkatnya produksi T helper tipe 2 dan Immunoglobulin E serta
menurunnya respon imun seluler (T helper 1). Hipotesis inilah yang menjadi dasar
fakta bahwa infeksi STH akan menyebabkan semakin memperbesar peluang
terjadinya infeksi malaria. Hipotesis ini juga yang dapat menerangkan bahwa
kondisi infeksi kronis STH dapat memberikan prognosis yang lebih baik bagi
penderita malaria (Ojurongbe et al., 2011; Brooker et al., 2007).

2.3.9. Model diagnosis malaria
Penelitian model / algoritma diagnosis malaria yang sering dilakukan
adalah menggunakan gejala dan tanda klinis penderita malaria. Hasil yang
ditemukan sangat bervariasi. Chandramohan et al. (2001) mendapatkan hasil yang

Universitas Sumatera Utara

60

berbeda berdasarkan kelompok umur, dimana sensitivitas dan spesifisitas gejala
dan tanda klinis malaria dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik berturutturut adalah 60% dan 61.2% pada anak-anak dan 54.6% dan 57.5% pada orang
dewasa. Sementara itu Bojang et al. (2000) mendapatkan hasil sensitivitas 70%
dan spesifisitas 77%. Secara umum hasil tersebut belumlah memuaskan.
Maina et al. (2010) menyatakan bahwa membuat model / algoritma
diagnosis berdasarkan kombinasi pemeriksaan mikroskopik dan profil hematologi
dapat memperbaiki kualitas diagnosis malaria terutama di daerah hyperendemis.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian model deteksi malaria dengan
menggabungkan penggunaan alat diagnosis malaria pada layanan kesehatan
primer dan faktor risiko yang berperan dalam kejadian malaria.

2.4. Faktor Perilaku
Penyebaran penyakit malaria juga berkaitan dengan perilaku yaitu
pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice) dari
masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal menetap di daerah endemis
(Notoatmojo, 2005).
Perilaku merupakan salah satu komponen yang memiliki kontribusi cukup
besar dalam mempengaruhi status kesehatan seseorang. Perilaku manusia itu
sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Penelitian yang
dilakukan Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru, maka di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:
(Notoadmodjo, 2005)
1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

Universitas Sumatera Utara

61

2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap
subyek sudah mulai timbul.
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial (mencoba), dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adoption (mengadopsi), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Perubahan perilaku tersebut dapat diimplikasikan dalam perilaku
pencegahan malaria, perilaku mencari bantuan kesehatan dalam penanganan kasus
malaria serta perilaku tenaga kesehatan dalam penanggulangan malaria. Perilaku
pencegahan malaria dapat terlihat dari penggunaan repellent, anti nyamuk atau
kelambu berinsektisida serta perilaku pengendalian tempat perindukan nyamuk.
Sementara itu, perilaku mencari bantuan dalam penanganan kasus malaria terlihat
dari tindakan apa yang akan dilakukan pada saat muncul gejala dan tanda penyakit
malaria pada dirinya atau anggota keluarganya. Begitu pula dengan perilaku
tenaga kesehatan yang terlihat dari kualitas pelayanan serta tersedianya alat
diagnosis dan obat malaria.
Intervensi terhadap perilaku sangat penting guna menyadarkan masyarakat
tentang pentingnya penerapan pola hidup bersih dan sehat. Misalnya kesadaran
untuk melakukan kegiatan peduli lingkungan (penimbunan, pengeringan dan
pembersihan genangan air) untuk membatasi breeding places vektor penyebab
malaria (Notoadmodjo, 2005).

Universitas Sumatera Utara

62

2.5. Faktor Lingkungan
Penyakit malaria memiliki hubungan yang erat, baik yang berelasi dengan
kehadiran vektor, iklim, kegiatan kemanusiaan dan lingkungan setempat. Adanya
kerusakan dan eksplorasi lingkungan menyebabkan bertambahnya jumlah dan
luas tempat perindukan. Lingkungan akan mempengaruhi kapasitas vektor di
dalam menularkan plasmodium dan menyebarkan malaria dari satu orang ke orang
lain melalui gigitan nyamuk Anopheles. Oleh karena itu malaria dianggap sebagai
penyakit ekologis (WHO, 2001).
Malaria terdistribusi berdasarkan ketersediaan tempat perindukan nyamuk
dan produktivitas nyamuk dalam menginfeksi manusia. Ketersediaan tempat
perindukan nyamuk berhubungan dengan adanya genangan air misalnya akibat
hujan sedangkan produktivitas nyamuk tergantung pada kemampuan parasit
(plasmodium) dalam tubuh nyamuk untuk menjadi dewasa dan kesiapan untuk
menginfeksi manusia (Mondzozo et al., 2011; Gubler et al, 2000).
Rata-rata lama hidup nyamuk yang mengandung parasit malaria adalah 21
hari. Pada temperatur 220C parasit malaria dalam tubuh nyamuk membutuhkan
waktu 19 hari untuk menjadi dewasa sedangkan pada temperatur 300C hanya
membutuhkan waktu 8 hari. Sebagian dari dataran Afrika dan wilayah terjauh
bagian selatan dan utara Afrika memiliki rata-rata temperatur benua di atas 250C.
Sehingga proyeksi peningkatan temperatur antara 1,4 - 5,80C di bawah perubahan
iklim akan menyebabkan percepatan perkembangan parasit dan berpotensi untuk
terjadinya peningkatan kasus malaria. Pada beberapa penelitian, faktor seperti
temperatur dan tingkat penguapan yang tinggi memainkan peran yang penting
dalam peningkatan kasus malaria (Mondzozo et al., 2011; Gubler et al, 2000).

Universitas Sumatera Utara

63

Intervensi lingkungan yang dapat dilakukan dalam menanggulangi
penyakit malaria yakni melalui upaya pengendalian vektor meliputi:

(WHO,

2011)
1. Pembasmian jentik dilakukan larviciding (tindakan pengendalian larva
Anopheles sp. secara kimiawi menggunakan insektisida)
2. Biological control
a. Predator pemakan jentik (Clarviyorous fish) yaitu gambusia, guppy, ikan
nila dan ikan kepala timah
b. Patogen misalnya dengan virus yang bersifat cytoplasmic polyhedrosis
c. Bakteri seperti Bacillus thuringiensis sub sp
d. Protozoa seperti Nosema vavraia
e. Fungi seperti Coelomomyces
3. Manajemen lingkungan dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa
dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS /
Indoors Residual Spraying)
4. Penggunaan kelambu berinsektisida.
Pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA (rational, effective,
efisien, suntainable, affective dan affordable). Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang
beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi
sangat penting. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah, seluruh stakeholders
dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam pengendalian vektor malaria.

Universitas Sumatera Utara

64

2.6. Vektor Pembawa Penyakit
Malaria merupakan penyakit menular yang diperantarai oleh vektor
(vector-borne diseases). Selain melalui vektor, penularan penyakit malaria juga
dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu dari seorang penderita malaria yang
mendonorkan darahnya ataupun secara intrauterine kepada janin yang dikandung
oleh ibu yang menderita malaria (Takken, 2002).
Vektor malaria adalah anthropoda yang secara aktif memindahkan
mikroorganisma (Plasmodium sp.) penyebab penyakit malaria dari penderita
kepada orang lain yang sehat. Arthropoda adalah metazoa yang mempunyai tubuh
bersegmen-segmen, termasuk Class Insecta, Ordo Diphtera, Family Culicidae,
Genus Anopheles. Hewan ini memiliki tonjolan tubuh (appendages) yang
berpasangan seperti antena, kaki dan sayap sehingga tubuhnya simetris (CDC,
2006). Vektor utama malaria adalah nyamuk betina.
Genus Anopheles terdiri dari 430 species dan hanya 70 yang dikenal
sebagai vektor, namun 40 di antaranya dianggap sangat penting di dalam
menularkan malaria. Anopheles terdistribusi hampir di seluruh dunia, secara
umum terdapat di daerah tropis dan subtropis, dan tidak terdapat di daerah Pasifik
Timur Vanuatu termasuk Polinesia. Pada ketinggian di atas 2500 meter biasanya
tidak ditemukan nyamuk Anopheles (Service & Townson, 2002). Jenis Anopheles
tersebut

meliputi

Anopheles

aconitus,

Anopheles

sundaicus,

Anopheles

balabasensis, Anopheles minimus, Anopheles barbirostris, Anopheles punctulatus,
Anopheles maculatus dan Anopheles karwari, sedangkan jenis Anopheles yang
dominan adalah jenis Anopheles aconitus, Anopheles farauti, dan Anopheles
sundaicus (Lindsay & Bayoh, 2004).

Universitas Sumatera Utara

65

Perilaku nyamuk Anopheles dalam kehidupannya memerlukan tempat
perindukan vektor (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah
(feeding places) dan tempat untuk beristirahat (reesting places). Nyamuk
Anopheles betina yang telah kawin, akan beristirahat 1-2 hari kemudian baru
mencari makan kembali (Lindsay & Bayoh, 2004).
Nyamuk Anopheles untuk mencari makan dengan cara menggigit manusia.
Dikarenakan sebagian besar nyamuk Anopheles bersifat crepuscular (aktif pada
senja atau fajar) atau nocturnal (aktif pada malam hari), maka kegiatan menggigit
nyamuk selalu aktif sepanjang malam, dimulai pukul 18.00 sampai dengan 06.00
dan mencapai puncaknya pada pukul 24.00 - 01.00, tetapi terdapat juga nyamuk
Anopheles yang aktif di tengah malam sampai menjelang pagi hari (CDC, 2006;
Depkes, 2003).
Kerentanan terhadap infeksi malaria pada spesies nyamuk tertentu,
tergantung pada faktor intrinsik berbagai proses fisiologis dan biokimia yang
belum banyak dipahami. Namun faktor-faktor ekologis seperti frekuensi
menggigit orang, panjang umur nyamuk (longevity) betina dewasa, kepadatan
vektor dan penduduk merupakan determinan yang penting dalam menentukan
potensinya di dalam menyebarkan malaria (Service & Townson, 2002).
Takken (2002) menyatakan bahwa ada empat faktor utama yang
menentukan kompetensi spesies Anopheles sebagai vektor malaria, yaitu:
a. Lama hidup (longevity): apabila umur nyamuk cukup panjang akan lebih
banyak memberi kesempatan parasit malaria untuk menyelesaikan masa
inkubasi intrinsik dari gametocyte sampai menjadi sporozoite.

Universitas Sumatera Utara

66

b. Kepadatan vektor apabila cukup tinggi akan menyebabkan jumlah atau
frekuensi kontak antara nyamuk dengan manusia cukup tinggi sehingga
memperbesar risiko penularan.
c. Pilihan inang atau kesukaan menggigit: nyamuk yang lebih suka menggigit
manusia (antropophylic) akan menyebabkan peluang yang lebih besar
terjadinya penularan parasit malaria antar manusia.
d. Kerentanan vektor terhadap infeksi parasit malaria: adanya kecocokan fisiologi
antara nyamuk sebagai inang dan parasit yang menumpanginya.
Dalam konsep epidemiologi, terdapat tiga faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian penyakit malaria, yaitu host (penjamu), agent (penyebab
penyakit) dan environment (lingkungan). Penyebaran penyakit malaria terjadi
sebagai akibat interaksi dari ketiga komponen tersebut dan peran serta nyamuk
sebagai vektor pembawa penyakit (agent). Dengan mengenal hubungan faktor
yang berperan dalam penyebaran penyakit malaria, maka usaha pemutusan mata
rantai penularannya dapat direncanakan dan ditentukan dengan lebih terarah.
Pemutusan mata rantai penularan terbaik adalah: (Depkes, 2003)
1. Menyembuhkan orang yang sakit malaria, sehingga tidak terjadi penularan,
walaupun terdapat vektor (nyamuk) penular penyakit tersebut
2. Menghilangkan / membunuh vektor nyamuk penular malaria, sehingga tidak
mungkin terjadi penularan, walaupun terdapat orang yang sakit malaria
3. Menghilangkan tempat-tempat perindukan, sehingga vektor tidak bisa
berkembang biak dan berkurang kepadatannya

Universitas Sumatera Utara

67

2.7. Hubungan Host-Agent-Environment Dan Malaria
Infeksi malaria dipengaruhi oleh faktor manusia (Host), plasmodium
(Agent), nyamuk (Vector) dan perindukan nyamuk (Environment). Masing-masing
faktor

saling

mempengaruhi

pada

proses

terjadinya

penyakit

malaria

(Gambar 2.2).
Secara umum, semua manusia dapat menderita penyakit malaria. Namun
banyak faktor yang berpengaruh, seperti sistem imun tubuh, status gizi, tempat
tinggal yang dekat dengan perindukan vektor dan faktor genetika yang bisa
bersifat protektif terhadap penyakit malaria serta faktor perilaku manusia.
Manifestasi perilaku dapat dilihat dari tindakan mencari bantuan kesehatan,
tindakan pencegahan penyakit dan kualitas pelayanan kesehatan. Semua faktor
tersebut

saling

berpengaruh

terhadap

terjadinya

penyakit

malaria

(Gunawan, 2000).
Karakteristik plasmodium sp. berbeda satu dengan yang lainnya.
Perbedaan karakteristik tersebut ditambah dengan faktor lainnya seperti kepadatan
parasit di dalam darah, akan menghasilkan manifestasi klinis yang berbeda pula.
Kemampuan adaptasi untuk bertahan hidup, juga berbeda antar spesies yang
berakibat pada terjadinya resistensi antimalaria (Gunawan, 2000).
Malaria pada manusia umumnya ditularkan oleh nyamuk betina anopheles
yang memiliki lebih dari 400 spesies dan tersebar di banyak tempat dengan letak
ketinggian tempat perindukan yang berbeda-beda. Efektivitas nyamuk sebagai
vektor pembawa penyakit malaria dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
kepadatan vektor, kesukaan menghisap darah manusia (antropofilia) dan
temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan berpengaruh pada proses

Universitas Sumatera Utara

68

pembentukan sporozoite dan lamanya hidup nyamuk yang terinfeksi oleh
gametocyte (Gunawan, 2000).
Lingkungan sebagai tempat tinggal manusia, vektor dan plasmodium juga
berpengaruh pada interaksi ketiganya. Faktor-faktor seperti letak ketinggian,
temperatur, angin, hujan, kelembaban udara, sinar matahari dan lingkungan sosial
budaya juga berpengaruh dalam interaksi manusia, vektor dan plasmodium.
Sebagai salah satu manifestasi perilaku manusia, kualitas pelayanan kesehatan dan
tatalaksana penyakit, juga berpengaruh pada virulensi parasit (Gunawan,2000).
Intervensi pada masing-masing faktor (manusia, vektor, plasmodium dan
lingkungan) merupakan upaya yang tidak bisa dilakukan secara terpisah.
Kompleksitas setiap faktor saling mempengaruhi satu sama lainnya (Gambar 2.2.)
sehingga memerlukan strategi yang komprehensip untuk melakukan intervensi
yang tepat.
Manifestasi klinis penderita malaria sangat dipengaruhi oleh faktor
virulensi, kepadatan parasit, sistem imun tubuh dan faktor genetis. Faktor ekternal
lain adalah deteksi dini dan tatalaksana malaria yang tepat sasaran. Manifestasi
klinis penderita malaria dapat berupa demam (symptomatic malaria) ataupun
tanpa demam (asymptomatic malaria).

Universitas Sumatera Utara

69

Agents (Plasmodium)
Infeksi Campuran
Resistensi Antimalaria
Spesies plasmodium
Kepadatan parasit

Asymptomatic
Malaria

Symptomatic
Malaria

Environment (Lingkungan)
Penggunaan Lahan
Endemisitas
Indikator Meteorologi
Rekayasa Lingkungan
Kualitas Pelayanan Kesehatan
Tatalaksana Penyakit
(Diagnosis dan Pengunaan
antimalaria)

Vector (Nyamuk)
Spesies
Gigitan Serangga
Kapasitas Vektorial
Kepadatan Parasit

Host (Manusia)
Perilaku Pencegahan Penyakit
(Pemakaian Kelambu, Kualitas Pemakaian
Kelambu, Kondisi Tempat Tinggal)
Genetik (Sistem Imun, Profil HematologiHb,Basofil,Eosinofil,Netrofil,Limfosit,MonositGolongan Darah ABO)
Status Gizi
Infeksi lain (Kecacingan)

Gambar 2.2. Hubungan Host-Agent-Environment dan Malaria

2.8. Kerangka Teori
Manifestasi klinis penderita malaria dipengaruhi oleh banyak faktor.
Tetapi secara umum ada dua faktor yang berpengaruh besar, yaitu sistem imunitas
dan kepadatan parasit. Sistem imunitas dipengaruhi oleh sistem anti-parasite
immunity dan anti-disease immunity. Kondisi asymptomatic malaria terjadi
karena anti-disease immunity menekan inflamatory agent dan mengurangi
manifestasi klinis demam. Sementara itu, aktivitas anti-parasite immunity
menyebabkan berkurangnya kepadatan parasit dalam darah dan berpengaruh pada
manifestasi klinis. Sifat virulensi parasit akan berinteraksi dengan sistem imunitas
penderita dan berpengaruh pada kepadatan parasit di dalam darah. Kepadatan
parasit dan sistem imunitas secara simultan akan berpengaruh pada profil
hematologi dan manifestasi klinis penderita malaria. Status gizi dan infeksi lain
berhubungan dengan sistem imunitas dan berpengaruh pada manifestasi klinis.
Sementara itu, perilaku manusia, seperti pencegahan penyakit, mencari bantuan

Universitas Sumatera Utara

70

kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan, berpengaruh pada kuantitas parasit
yang masuk ke dalam tubuh penderita (Gambar 2.3.).
Akurasi diagnosis malaria berkorelasi dengan jumlah darah yang diperiksa
dan kepadatan parasit di dalam darah. Sehingga penggunaan alat diagnosis
malaria yang memeriksa jumlah darah lebih banyak serta menunggu waktu
perbanyakan parasit di dalam darah (pemeriksaan serial) akan semakin
meningkatkan akurasi diagnosis alat diagnosis tersebut. Distribusi alat diagnosis
dan tenaga laboratorium juga berpengaruh pada kualitas deteksi parasit
(Gambar 2.3.).
Manifestasi Klinis
Sistem Imunitas
(Anti-parasite dan Anti-disease)
Virulensi Parasit
(Kepadatan Parasit dan Spesies Parasit)
Genetik
(Profil Hematologi-Hb, Basofil, Eosinofil,
Netrofil, Limfosit, Monosit- Golongan Darah
ABO)
Penggunaan antimalaria
Status Gizi
Infeksi lain
Kecacingan
Kualitas Pelayanan Kesehatan
(Ketersedian Alat Diagnosis & Obat, Kualitas
Tenaga Kesehatan)
Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan
(Pengetahuan, Sikap, Tindakan dan Akses )
Perilaku Pencegahan Penyakit
(Pemakaian Kelambu, Kualitas Pakai
Kelambu, Kondisi Tempat Tinggal)

Asymptomatic
Malaria

Diagnosis
Akurasi Alat Diagnosis
Volume Darah yang diperiksa
Pemeriksaan Serial

Gambar 2.3. Kerangka Teori
2.9.

Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan gabungan Karakteristik Sampel (Umur, Jenis Kelamin dan
Tempat Tinggal) dan Faktor Risiko Malaria (Ketersediaan Alat Diagnosis
Malaria,

Ketersediaan

Obat

Malaria,

Kualitas

Tenaga

Kesehatan,

Pengetahuan,Sikap dan Tindakan tentang Malaria, Akses ke Tenaga Kesehatan,
Pemakaian Kelambu, Kualitas Pemakaian Kelambu, Pemakaian Antinyamuk

Universitas Sumatera Utara

71

Bakar, Pemakaian Antinyamuk Oles (repellent) dan Kondisi Tempat Tinggal)
dengan terjadinya asymptomatic malaria.
2. Ada hubungan gabungan Karakteristik Sampel, Faktor Risiko Malaria,
Pemeriksaan Fisik (Status Gizi) dan Pemeriksaan Laboratorium (Kecacingan,
Golongan Darah ABO dan Profil Hematologi : Hb, Basofil, Eosinofil, Netrofil,
Limfosit dan Monosit) dengan deteksi asymptomatic malaria.

2.10. Kerangka Konsep

Karakteristik Sampel
(Umur, Jenis Kelamin, Tempat Tinggal
Kualitas Pelayanan Kesehatan
(Ketersediaan Alat Diagnosis, Ketersediaan
Obat Malaria dan Kualitas Tenaga Kesehatan)
Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan
(Pengetahuan, Sikap dan Tindakan, Akses ke
Tenaga Kesehatan)
Perilaku Pencegahan Penyakit (Pemakaian
Kelambu, Kualitas Pemakaian Kelambu,
Kondisi Tempat Tinggal)
Status Gizi (Normal, Abnormal)
Kecacingan (Positif, Negatif)
Golongan Darah (A,B,O,AB)
Profil Hematologi
(Hb,Basofil,Eosinofil,Netrofil,Limfosit,Monosit)
Kepadatan Parasit

Asymptomatic
Malaria

Gambar 2.4. Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Faktor Resiko Kejadian Malaria Di Kawasan Ekosistem Leuser Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara

0 36 9

Kombinasi Kina-Klindamisin 3 Hari pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi

1 26 5

Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga Tahun 2014

3 39 150

Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer

0 0 33

Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer

0 0 2

Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer

0 0 9

Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer Chapter III VI

0 0 59

Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer

0 1 11

PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFI DAN RIWAYAT MALARIA TERHADAP KEJADIAN MALARIA

0 0 11

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH TIMUR INDONESIA (ANALISIS DATA RISKESDAS 2010)

0 0 9