Hubungan Pernikahan Dini Dengan Tumbuh Kembang Balita Di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
World Health Organization (WHO) mendefenisikan remaja sebagai masa
dimana individu berkembang pada saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda
seksual sampai mencapai kematangan seksual, perkembangan psikologik dan pola
identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosial
ekonomi yang penuh dengan keadaan relatif menjadi mandiri.Remaja dikelompokkan
sebagai individu yang berada pada rentang usia 10-19 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Masa remaja merupakan masa dimana terbentuknya rasa ingin tahu yang
besar pada seseorang untuk menemukan jati dirinya. Masa ini cukup rentan, karena
dapat menimbulkan keinginan mencoba berbagai aktivitas yang memicu timbulnya
permasalahan remaja terkait kesehatan reproduksinya (Manuaba, 2014).
Masalah kesehatan reproduksi remaja tidak terlepas dari perilaku seksual
beresiko, seperti seks pranikah, aborsi dan perilaku beresiko tertular Infeksi Menular
Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Berdasarkandata Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun2012, pada remaja yang berusia 15-24 tahun dan belum
menikah, tercatat bahwa proporsi berpacaran paling tinggi berada pada usia 15-17
tahun, dan remaja 15-19 tahun,33% remaja wanita dan 34,5% remaja pria sudah
berpacaran pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun. Pada usia ini remaja belum
memiliki keterampilan hidup yang cukup memadai sehingga rentan terlibat di
1
Universitas Sumatera Utara
2
hubungan seks pranikah. Hubungan seks pranikah ini dapat berdampak pada
kehamilan yang tidak diinginkan dan berlanjut pada aborsi serta pernikahan usia
muda (Kemenkes RI, 2012).
Menurut Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun (Kepres RI, 1974).
Indonesia adalah negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi
kedua di ASEAN setelah Kamboja dan menduduki rangking ke 37 di dunia. Lebih
dari 22.000 wanita berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah, dan 11,7%
wanita usia 15-19 tahun juga sudah menikah. Kalimantan adalah provinsi dengan
persentase tertinggi pernikahan usia muda (BKKBN, 2012).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat bahwa pada wanita yang
menikah umur 10-54 tahun, 2,6% diantaranya menikah pertama kali pada umur
kurang dari 15 tahun, dan 23,9% menikah pada umur 15-19 tahun.Sementara,
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara tahun 2014 tercatat
bahwa jumlah remaja umur 15-24 tahun sebanyak 2.514.109 orang, dimana 30-35%
remaja diantaranya melakukan pernikahan usia dini (Kemenkes RI, 2013).
Pernikahan usia dini ini memberikan dampak bagi kesehatan reproduksi,
dikarenakan semakin muda umur menikah maka semakin panjang rentang waktu
untuk berproduksi. Riskesdas (2013) mencatat angka kehamilan penduduk
perempuan usia 10-54 tahun 2,68%, jumlah ini mencakup 0,02% perempuan hamil
Universitas Sumatera Utara
3
kurang dari usia 15 tahun dan 1,97% perempuan hamil usia 15-19 tahun. Kehamilan
remaja ini akan berdampak buruk pada kesehatan ibu dan anaknya (Kemenkes RI,
2013).
Status kesehatan ibu dan anak merupakan indikator kemampuan pelayanan
kesehatan suatu negara, dimana kemampuan pelayanan kesehatan tersebut diukur
dengan perbandingan tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) oleh setiap Negara (Triana dkk, 2015).
AKI adalah salah satu indikator untuk melihat status kesehatan wanita.
Sedangkan, AKB merupakan salah satu aspek penting yang menggambarkan tingkat
pembangunan sumber daya manusia di sebuah negara dari sisi kesehatan
masyarakatnya. The United Nations Children’s Fund (UNICEF) mengungkapkan
bahwa ada 24 negara yang 1 dari 10 anak meninggal setiap tahunnya sebelum
mencapai ulang tahunnya yang kelima, salah satunya adalah Afrika dan Asia Selatan.
UNICEF juga mengungkapkan bahwa
pada tahun 2012 tercatat jumlah Angka
Kematian Balita (AKBA) sebanyak 6,6 juta, angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan angka tahun 1990, yang mencapai 12,6 juta kematian.
Berdasarkan hasil penelitian Bartman dan Talukdar (2014) yang dilakukan di
India, didapati bahwa usia ibu yang terlalu muda dibawah 19 tahun menjadi salah
satu penyebab tingginya AKB yang mencapai 1,8 juta per 1000 kelahiran hidup pada
tahun 2000 dan terjadi penurunan 55 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012.
Data SDKI (2012) mencatat bahwa AKB tahun 2012 adalah 32 per 1000
kelahiran hidup, sedangkan AKBA adalah 40 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan
Universitas Sumatera Utara
4
AKBA masih jauh dari target SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu 25 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Di Indonesia, AKB tertinggi terdapat di Papua
yaitu mencapai 74 per 1000 kelahiran hidup, sementara untuk provinsi Sumatera,
AKB tertinggi terdapat Provinsi Aceh sebesar 47 per 1000 kelahiran hidup, dan
AKBA tertinggi terdapat di provinsi Sumatera Utara yaitu 54 per 1000 kelahiran
hidup (Kemenkes, 2012).
Hasil laporan pencapaian tujuan MDGs tahun 2011 menunjukkan bahwa
penyebab kematian bayi dan balita yang paling utama adalah masalah neonatal
(Asfiksia, Berat Badan Lahir Rendah, dan infeksi Neonatal), penyakit Infeksi (diare
dan peneumonia), dan masalah status gizi (gizi buruk dan gizi kurang) (Bappenas,
2012).
Untuk mengetahui masalah status gizi dan gangguan pertumbuan (Growth
Faltering) penting dilakukannya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada
balita secara dini. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan rentan terjadi pada
seribu hari pertama kehidupan seorang anak. Tahun pertama kehidupan anak
merupakan fondasi penting untuk kehidupan anak selanjutnya. Usia 0 – 24 bulan
merupakan fase tercepat bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, masa ini sering
disebut dengan ‘periode emas’. Periode emas dapat terwujud apabila pada masa ini
anak mendapatkan asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Masa ini
juga masa krisis bagi seorang anak, karena jika asupan nutrisi tidak terpenuhi maka
anak akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang serius
(Sulistyawati, 2013).
Universitas Sumatera Utara
5
Pemantauan pertumbuhan pada anak dapat dilihat dari penimbangan berat
badan dan pengukuran panjang badan. Berdasarkan data Riskesdas 2013 didapati
bahwa ada 34,3% anak yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir.
Sumatera Utara adalah provinsi dengan angka terendah cakupan penimbangan pada
anak, yaitu hanya 12,5% anak yang melakukan penimbangan berat badan dalam enam
bulan terakhir (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan hasil Riskesdas (2013) terlihat bahwa dari 82.661 balita yang
dilakukan penimbangan berat badansecara Nasional,terdapat prevalensi berat kurang
(underweight) sebanyak 19,6%, yaitu terdiri dari 5,7% gizi buruk, dan 13,9% gizi
kurang. Data ini masih jauh dari harapan SDGs 2019 untuk prevalensi gizi buruk –
kurang yaitu sebesar 17%. Di Indonesia tercatat bahwa ada 18 provinsi yang memiliki
prevalensi gizi buruk – kurang diatas angka 21,2% - 33,1%, beberapa di antaranya
NTT, Sumatera Utara dan Jambi (Kemenkes RI, 2013).
Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (Renstra, 2015-2019) menuliskan
bahwaselain dari penimbangan berat badan, pertumbuhan juga dilihat dengan
pengukuran panjang badan balita. Status gizi dari pengukuran panjang badan
biasanya memperlihatkan masalah kemiskinan ataupun pola asuh pada balita
sehingga menyebabkan balita menjadi pendek (stunting). Dalam Rencana
Pembangunan Jaminan Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dikatakan bahwa
prioritas untuk perbaikan gizi masyarakat perlu dilakukannya penurunan angka
stunting menjadi 32%, akan tetapi dari hasil Riskesdas (2013) didapati angka stunting
Universitas Sumatera Utara
6
mencapai 37,2%, dimana 18,0% adalah kategori sangat pendek dan 19,2% dalam
kategori pendek (Kemenkes, 2015).
Gangguan pertumbuhan yang meliputi berat kurang (underweight) dan pendek
(stunting) juga memberikan dampak buruk pada perkembangan balita. UNICEF
(2008) menyebutkan bahwa malnutrisi pada balita dapat menyebabkan terganggunya
pola perkembangan anak dimasa depan. Sebuah studiyang dilakukan di Philippines
menunjukkan bahwa dari 2000 anak yang mengalami malnutrisi, 2/3 diantaranya
mengalami penurunan Intelligence Quotient (IQ).
Penelitian yang dilakukan di Jamaica menunjukkan bahwa pada kelompok
anak-anak usia 6-10 tahun yang mengalami malnutirisi pada masa balita memiliki IQ
lebih rendah dibanding dengan anak-anak yang cukup gizi pada masa balitanya
(Notoatmojo, 2011)
Penelitian Yamnur (2008) menunjukkansecara tidak langsung gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita dipengaruhi oleh pola asuh orang
tua yang tidak tepat. Ibu adalah orang yang bertanggung jawab dalam pemenuhan
kebutuhan anak terkait dengan tumbuh kembang. Setiap ibu memiliki pola asuh yang
berbeda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah umur ibu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan UNICEF (2007) menunjukkan bahwa
ibu yang melahirkan dibawah umur 18 tahun memiliki keahlian mengasuh bayi atau
anak yang rendah sehingga seringkali memutuskan keputusan yang salah pada
anaknya, terkait pilihan yang tepat dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Universitas Sumatera Utara
7
Hasil penelitian Dewi , et al (2014) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki
riwayat menikah pada usia < 20 tahun cenderung melakukan perawatan bayi yang
salah, hal ini dilihat dari 52 ibu yang melakukan pernikahan dini, 28 (53,8%) ibu
menunjukkan sikap negatif dalam perawatan bayi, dan 24 (42,6%) ibu melakukan
sikap positif dalam perawatan bayi.
Berdasarkan penelitian Suresh (2015) yang dilakukan di India menunjukkan
bahwa pernikahan dini akan berdampak pada masalah tumbuh kembang balita,
dimana wanita yang menikah dini rentan melahirkan anak dengan berat badan yang
rendah dan tidak jarang anak yang dilahirkan belum cukup umur (premature), hal ini
akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangannya dimasa selanjutnya, dan
dikatakan bahwa pernikahan dini menyebabkan wanita berada pada masa usia
produktif yang panjang, sehingga cenderung akan memiliki banyak anak. Sementara
wanita yang sudah memiliki anak pada usia remaja atau disebut ibu muda sering kali
lepas kendali atas pertumbuhan dan perkembangan anak, hal ini disebabkan oleh
faktor bahwa ibu muda cenderung belum mampu mengambil keputusan terkait
masalah gizi dan perawatan kesehatan untuk keluarganya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Birech (2013) dikatakan bahwa
pernikahan dini akan menyebabkan seorang anak tidak dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, Bruce (2007) dalam Birech (2013)
mengatakan bahwa pendidikan seorang anak perempuan yang kelak akan menjadi
ibu akan mempengaruhi pencapaian pendidikan yang berkelanjutan dari satu generasi
Universitas Sumatera Utara
8
ke generasi lainnya. Dimana jika seorang ibu tidak mendapat pendidikan yang baik
maka ada kemungkinan dalam perkembangan pendidikan anak akan terhambat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Afifah (2011) di Indonesia,
menunjukkan bahwa ibu yang menikah usia dini memiliki kecenderungan untuk
memiliki anak dengan pertumbuhan dan perkembangan yang terganggu. Hal ini
ditunjukkan dari data kelompok usia ibu dimana usia 25-29 tahun memiliki anak
pendek 33,7%, dan kelompok usia ibu 20-24 tahun memiliki anak pendek 37,2% dan
ibu yang berusia 15-19 tahun memiliki anak pendek 42,2%. Semakin muda usia ibu
menikah maka proporsi balita dengan status gizi pendek semakin meningkat.
Berdasarkan surveipendahuluan yang dilakukan di Desa Limau Manis
Kecamatan Tanjung Morawa, dari hasil wawancara dengan perangkat desa setempat
diketahui bahwa masih banyak kejadian pernikahan usia dini didesa tersebut, dalam 5
tahun terakhir 2011 – 2016 bulan februari didapati ada 258 kasus remaja yang
melakukan pernikahan dini. Hasil pengamatan pada balita yang dilihat berdasarkan
KMS, menunjukkan bahwa dari kelompok keluarga yang tidak menikah dini didapati
1 anak mengalami gangguan pertumbuhan dimana usia anak 6 bulan dan berat badan
adalah 6 kg artinya anak dalam kategori underweight, dan 1 anak mengalami
gangguan perkembangan yaitu anak belum dalapat memakai pakaian sendiri,
menggunakan sepatu sendiri dan meletakkan 8 kubus tanpa jatuh artinya anak
mengalami gangguan perkembangan dalam kategori kemandirian dan motorik halus,
sedangkan pada pasangan yang menikah dini didapati 1 anak mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan yaitu anak usia 24 bulan dengan berat badan 9 kg
Universitas Sumatera Utara
9
serta anak belum dapat menyebutkan kata dengan jelas, belum dapat berjalan, belum
bisa menggunakan pakaian sendiri dan beberapa hal lainnya, anak masuk kedalam
kategori penyimpangan. 2 anak mengalami gangguan pertumbuhan yaitu anak dengan
usia 24 bulan dengan berat badan 8,3kg anak masuk dalam kategori underweight dan
anak usia 36 bulan dengan berat badan 20kg anak dalam kategori overweight dan 2
anak mengalami gangguan perkembangan yaitu anak usia 36 bulan belum bisa
menyebutkan gambar hewan, berbicara dengan jelas, menarik garis lurus sepanjang
2,5 cm artinya anak mengalami gangguan pada bicara dan bahasa serta motorik halus,
anak dalam kategori meragukan. Anak usia 3 bulan belum bisa mengangkat
kepalanya sendiri gangguan terjadi pada motorik kasar dan anak dalam kelompok
perkembangan meragukan.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dilihat bahwa gangguan
tumbuh kembang balita lebih banyak terjadi pada keluarga yang menikah usia dini,
maka rumusan masalah dalam penelitan ini adalah bagaimana hubungan pernikahan
dini dengan tumbuh kembang balita di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Tahun 2016.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menganalisa hubungan pernikahan dini (Usia kawin pertama, usia
perkawinan, pendidikan istri dan pendidikan suami, pendapatan keluarga, dan jumlah
Universitas Sumatera Utara
10
anggota keluarga) dengan tumbuh kembang balita Di Desa Limau Manis Kecamatan
Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Tahun 2016.
1.4 Hipotesis Penelitian
Ada hubungan pernikahan dini dengan tumbuh kembang balita Di Desa
Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli SerdangSumatera Utara
Tahun 2016.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan data bagi dinas kesehatan tentang hubungan pernikahan
dini dan tumbuh kembang balita, sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk
memberikan penyuluhan lanjutan bagi remaja dan ibu-ibu muda lainnya.
2. Bagi tempat penelitian data penelitian ini dapat digunakan sebagai data untuk
kepentingan desa dalam memperbaiki pelayanan kesehatan terkait dengan
masalah pernikahan dini dan tumbuh kembang balita.
3. Bagi peneliti selanjutnya data ini dapat digunakan sebagai referensi untuk
melakukan penelitian lanjutan.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
World Health Organization (WHO) mendefenisikan remaja sebagai masa
dimana individu berkembang pada saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda
seksual sampai mencapai kematangan seksual, perkembangan psikologik dan pola
identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosial
ekonomi yang penuh dengan keadaan relatif menjadi mandiri.Remaja dikelompokkan
sebagai individu yang berada pada rentang usia 10-19 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Masa remaja merupakan masa dimana terbentuknya rasa ingin tahu yang
besar pada seseorang untuk menemukan jati dirinya. Masa ini cukup rentan, karena
dapat menimbulkan keinginan mencoba berbagai aktivitas yang memicu timbulnya
permasalahan remaja terkait kesehatan reproduksinya (Manuaba, 2014).
Masalah kesehatan reproduksi remaja tidak terlepas dari perilaku seksual
beresiko, seperti seks pranikah, aborsi dan perilaku beresiko tertular Infeksi Menular
Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Berdasarkandata Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun2012, pada remaja yang berusia 15-24 tahun dan belum
menikah, tercatat bahwa proporsi berpacaran paling tinggi berada pada usia 15-17
tahun, dan remaja 15-19 tahun,33% remaja wanita dan 34,5% remaja pria sudah
berpacaran pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun. Pada usia ini remaja belum
memiliki keterampilan hidup yang cukup memadai sehingga rentan terlibat di
1
Universitas Sumatera Utara
2
hubungan seks pranikah. Hubungan seks pranikah ini dapat berdampak pada
kehamilan yang tidak diinginkan dan berlanjut pada aborsi serta pernikahan usia
muda (Kemenkes RI, 2012).
Menurut Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun (Kepres RI, 1974).
Indonesia adalah negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi
kedua di ASEAN setelah Kamboja dan menduduki rangking ke 37 di dunia. Lebih
dari 22.000 wanita berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah, dan 11,7%
wanita usia 15-19 tahun juga sudah menikah. Kalimantan adalah provinsi dengan
persentase tertinggi pernikahan usia muda (BKKBN, 2012).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat bahwa pada wanita yang
menikah umur 10-54 tahun, 2,6% diantaranya menikah pertama kali pada umur
kurang dari 15 tahun, dan 23,9% menikah pada umur 15-19 tahun.Sementara,
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara tahun 2014 tercatat
bahwa jumlah remaja umur 15-24 tahun sebanyak 2.514.109 orang, dimana 30-35%
remaja diantaranya melakukan pernikahan usia dini (Kemenkes RI, 2013).
Pernikahan usia dini ini memberikan dampak bagi kesehatan reproduksi,
dikarenakan semakin muda umur menikah maka semakin panjang rentang waktu
untuk berproduksi. Riskesdas (2013) mencatat angka kehamilan penduduk
perempuan usia 10-54 tahun 2,68%, jumlah ini mencakup 0,02% perempuan hamil
Universitas Sumatera Utara
3
kurang dari usia 15 tahun dan 1,97% perempuan hamil usia 15-19 tahun. Kehamilan
remaja ini akan berdampak buruk pada kesehatan ibu dan anaknya (Kemenkes RI,
2013).
Status kesehatan ibu dan anak merupakan indikator kemampuan pelayanan
kesehatan suatu negara, dimana kemampuan pelayanan kesehatan tersebut diukur
dengan perbandingan tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) oleh setiap Negara (Triana dkk, 2015).
AKI adalah salah satu indikator untuk melihat status kesehatan wanita.
Sedangkan, AKB merupakan salah satu aspek penting yang menggambarkan tingkat
pembangunan sumber daya manusia di sebuah negara dari sisi kesehatan
masyarakatnya. The United Nations Children’s Fund (UNICEF) mengungkapkan
bahwa ada 24 negara yang 1 dari 10 anak meninggal setiap tahunnya sebelum
mencapai ulang tahunnya yang kelima, salah satunya adalah Afrika dan Asia Selatan.
UNICEF juga mengungkapkan bahwa
pada tahun 2012 tercatat jumlah Angka
Kematian Balita (AKBA) sebanyak 6,6 juta, angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan angka tahun 1990, yang mencapai 12,6 juta kematian.
Berdasarkan hasil penelitian Bartman dan Talukdar (2014) yang dilakukan di
India, didapati bahwa usia ibu yang terlalu muda dibawah 19 tahun menjadi salah
satu penyebab tingginya AKB yang mencapai 1,8 juta per 1000 kelahiran hidup pada
tahun 2000 dan terjadi penurunan 55 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012.
Data SDKI (2012) mencatat bahwa AKB tahun 2012 adalah 32 per 1000
kelahiran hidup, sedangkan AKBA adalah 40 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan
Universitas Sumatera Utara
4
AKBA masih jauh dari target SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu 25 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Di Indonesia, AKB tertinggi terdapat di Papua
yaitu mencapai 74 per 1000 kelahiran hidup, sementara untuk provinsi Sumatera,
AKB tertinggi terdapat Provinsi Aceh sebesar 47 per 1000 kelahiran hidup, dan
AKBA tertinggi terdapat di provinsi Sumatera Utara yaitu 54 per 1000 kelahiran
hidup (Kemenkes, 2012).
Hasil laporan pencapaian tujuan MDGs tahun 2011 menunjukkan bahwa
penyebab kematian bayi dan balita yang paling utama adalah masalah neonatal
(Asfiksia, Berat Badan Lahir Rendah, dan infeksi Neonatal), penyakit Infeksi (diare
dan peneumonia), dan masalah status gizi (gizi buruk dan gizi kurang) (Bappenas,
2012).
Untuk mengetahui masalah status gizi dan gangguan pertumbuan (Growth
Faltering) penting dilakukannya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada
balita secara dini. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan rentan terjadi pada
seribu hari pertama kehidupan seorang anak. Tahun pertama kehidupan anak
merupakan fondasi penting untuk kehidupan anak selanjutnya. Usia 0 – 24 bulan
merupakan fase tercepat bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, masa ini sering
disebut dengan ‘periode emas’. Periode emas dapat terwujud apabila pada masa ini
anak mendapatkan asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Masa ini
juga masa krisis bagi seorang anak, karena jika asupan nutrisi tidak terpenuhi maka
anak akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang serius
(Sulistyawati, 2013).
Universitas Sumatera Utara
5
Pemantauan pertumbuhan pada anak dapat dilihat dari penimbangan berat
badan dan pengukuran panjang badan. Berdasarkan data Riskesdas 2013 didapati
bahwa ada 34,3% anak yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir.
Sumatera Utara adalah provinsi dengan angka terendah cakupan penimbangan pada
anak, yaitu hanya 12,5% anak yang melakukan penimbangan berat badan dalam enam
bulan terakhir (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan hasil Riskesdas (2013) terlihat bahwa dari 82.661 balita yang
dilakukan penimbangan berat badansecara Nasional,terdapat prevalensi berat kurang
(underweight) sebanyak 19,6%, yaitu terdiri dari 5,7% gizi buruk, dan 13,9% gizi
kurang. Data ini masih jauh dari harapan SDGs 2019 untuk prevalensi gizi buruk –
kurang yaitu sebesar 17%. Di Indonesia tercatat bahwa ada 18 provinsi yang memiliki
prevalensi gizi buruk – kurang diatas angka 21,2% - 33,1%, beberapa di antaranya
NTT, Sumatera Utara dan Jambi (Kemenkes RI, 2013).
Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (Renstra, 2015-2019) menuliskan
bahwaselain dari penimbangan berat badan, pertumbuhan juga dilihat dengan
pengukuran panjang badan balita. Status gizi dari pengukuran panjang badan
biasanya memperlihatkan masalah kemiskinan ataupun pola asuh pada balita
sehingga menyebabkan balita menjadi pendek (stunting). Dalam Rencana
Pembangunan Jaminan Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dikatakan bahwa
prioritas untuk perbaikan gizi masyarakat perlu dilakukannya penurunan angka
stunting menjadi 32%, akan tetapi dari hasil Riskesdas (2013) didapati angka stunting
Universitas Sumatera Utara
6
mencapai 37,2%, dimana 18,0% adalah kategori sangat pendek dan 19,2% dalam
kategori pendek (Kemenkes, 2015).
Gangguan pertumbuhan yang meliputi berat kurang (underweight) dan pendek
(stunting) juga memberikan dampak buruk pada perkembangan balita. UNICEF
(2008) menyebutkan bahwa malnutrisi pada balita dapat menyebabkan terganggunya
pola perkembangan anak dimasa depan. Sebuah studiyang dilakukan di Philippines
menunjukkan bahwa dari 2000 anak yang mengalami malnutrisi, 2/3 diantaranya
mengalami penurunan Intelligence Quotient (IQ).
Penelitian yang dilakukan di Jamaica menunjukkan bahwa pada kelompok
anak-anak usia 6-10 tahun yang mengalami malnutirisi pada masa balita memiliki IQ
lebih rendah dibanding dengan anak-anak yang cukup gizi pada masa balitanya
(Notoatmojo, 2011)
Penelitian Yamnur (2008) menunjukkansecara tidak langsung gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita dipengaruhi oleh pola asuh orang
tua yang tidak tepat. Ibu adalah orang yang bertanggung jawab dalam pemenuhan
kebutuhan anak terkait dengan tumbuh kembang. Setiap ibu memiliki pola asuh yang
berbeda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah umur ibu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan UNICEF (2007) menunjukkan bahwa
ibu yang melahirkan dibawah umur 18 tahun memiliki keahlian mengasuh bayi atau
anak yang rendah sehingga seringkali memutuskan keputusan yang salah pada
anaknya, terkait pilihan yang tepat dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Universitas Sumatera Utara
7
Hasil penelitian Dewi , et al (2014) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki
riwayat menikah pada usia < 20 tahun cenderung melakukan perawatan bayi yang
salah, hal ini dilihat dari 52 ibu yang melakukan pernikahan dini, 28 (53,8%) ibu
menunjukkan sikap negatif dalam perawatan bayi, dan 24 (42,6%) ibu melakukan
sikap positif dalam perawatan bayi.
Berdasarkan penelitian Suresh (2015) yang dilakukan di India menunjukkan
bahwa pernikahan dini akan berdampak pada masalah tumbuh kembang balita,
dimana wanita yang menikah dini rentan melahirkan anak dengan berat badan yang
rendah dan tidak jarang anak yang dilahirkan belum cukup umur (premature), hal ini
akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangannya dimasa selanjutnya, dan
dikatakan bahwa pernikahan dini menyebabkan wanita berada pada masa usia
produktif yang panjang, sehingga cenderung akan memiliki banyak anak. Sementara
wanita yang sudah memiliki anak pada usia remaja atau disebut ibu muda sering kali
lepas kendali atas pertumbuhan dan perkembangan anak, hal ini disebabkan oleh
faktor bahwa ibu muda cenderung belum mampu mengambil keputusan terkait
masalah gizi dan perawatan kesehatan untuk keluarganya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Birech (2013) dikatakan bahwa
pernikahan dini akan menyebabkan seorang anak tidak dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, Bruce (2007) dalam Birech (2013)
mengatakan bahwa pendidikan seorang anak perempuan yang kelak akan menjadi
ibu akan mempengaruhi pencapaian pendidikan yang berkelanjutan dari satu generasi
Universitas Sumatera Utara
8
ke generasi lainnya. Dimana jika seorang ibu tidak mendapat pendidikan yang baik
maka ada kemungkinan dalam perkembangan pendidikan anak akan terhambat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Afifah (2011) di Indonesia,
menunjukkan bahwa ibu yang menikah usia dini memiliki kecenderungan untuk
memiliki anak dengan pertumbuhan dan perkembangan yang terganggu. Hal ini
ditunjukkan dari data kelompok usia ibu dimana usia 25-29 tahun memiliki anak
pendek 33,7%, dan kelompok usia ibu 20-24 tahun memiliki anak pendek 37,2% dan
ibu yang berusia 15-19 tahun memiliki anak pendek 42,2%. Semakin muda usia ibu
menikah maka proporsi balita dengan status gizi pendek semakin meningkat.
Berdasarkan surveipendahuluan yang dilakukan di Desa Limau Manis
Kecamatan Tanjung Morawa, dari hasil wawancara dengan perangkat desa setempat
diketahui bahwa masih banyak kejadian pernikahan usia dini didesa tersebut, dalam 5
tahun terakhir 2011 – 2016 bulan februari didapati ada 258 kasus remaja yang
melakukan pernikahan dini. Hasil pengamatan pada balita yang dilihat berdasarkan
KMS, menunjukkan bahwa dari kelompok keluarga yang tidak menikah dini didapati
1 anak mengalami gangguan pertumbuhan dimana usia anak 6 bulan dan berat badan
adalah 6 kg artinya anak dalam kategori underweight, dan 1 anak mengalami
gangguan perkembangan yaitu anak belum dalapat memakai pakaian sendiri,
menggunakan sepatu sendiri dan meletakkan 8 kubus tanpa jatuh artinya anak
mengalami gangguan perkembangan dalam kategori kemandirian dan motorik halus,
sedangkan pada pasangan yang menikah dini didapati 1 anak mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan yaitu anak usia 24 bulan dengan berat badan 9 kg
Universitas Sumatera Utara
9
serta anak belum dapat menyebutkan kata dengan jelas, belum dapat berjalan, belum
bisa menggunakan pakaian sendiri dan beberapa hal lainnya, anak masuk kedalam
kategori penyimpangan. 2 anak mengalami gangguan pertumbuhan yaitu anak dengan
usia 24 bulan dengan berat badan 8,3kg anak masuk dalam kategori underweight dan
anak usia 36 bulan dengan berat badan 20kg anak dalam kategori overweight dan 2
anak mengalami gangguan perkembangan yaitu anak usia 36 bulan belum bisa
menyebutkan gambar hewan, berbicara dengan jelas, menarik garis lurus sepanjang
2,5 cm artinya anak mengalami gangguan pada bicara dan bahasa serta motorik halus,
anak dalam kategori meragukan. Anak usia 3 bulan belum bisa mengangkat
kepalanya sendiri gangguan terjadi pada motorik kasar dan anak dalam kelompok
perkembangan meragukan.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dilihat bahwa gangguan
tumbuh kembang balita lebih banyak terjadi pada keluarga yang menikah usia dini,
maka rumusan masalah dalam penelitan ini adalah bagaimana hubungan pernikahan
dini dengan tumbuh kembang balita di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Tahun 2016.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menganalisa hubungan pernikahan dini (Usia kawin pertama, usia
perkawinan, pendidikan istri dan pendidikan suami, pendapatan keluarga, dan jumlah
Universitas Sumatera Utara
10
anggota keluarga) dengan tumbuh kembang balita Di Desa Limau Manis Kecamatan
Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Tahun 2016.
1.4 Hipotesis Penelitian
Ada hubungan pernikahan dini dengan tumbuh kembang balita Di Desa
Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli SerdangSumatera Utara
Tahun 2016.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan data bagi dinas kesehatan tentang hubungan pernikahan
dini dan tumbuh kembang balita, sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk
memberikan penyuluhan lanjutan bagi remaja dan ibu-ibu muda lainnya.
2. Bagi tempat penelitian data penelitian ini dapat digunakan sebagai data untuk
kepentingan desa dalam memperbaiki pelayanan kesehatan terkait dengan
masalah pernikahan dini dan tumbuh kembang balita.
3. Bagi peneliti selanjutnya data ini dapat digunakan sebagai referensi untuk
melakukan penelitian lanjutan.
Universitas Sumatera Utara