Alih Kode dan Campur Kode Dalam Percakapan di Pasar Batu 12 Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara : Kajian Sosiolinguistik

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep
Sesuai dengan topik, dalam tulisan ini digunakan beberapa konsep yaitu
alih kode, campur kode,diglosia, kedwibahsaan dan interferensi.

2.1.1. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke
kode yang lain. Misalnya penutur yang menggunakan bahasa Indonesia beralih
menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek
ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual.
Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya
menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih
cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai
dengan konteksnya. Berbagai tujuan dari si pelaku tindak tutur yang melakukan
alih kode dapat terlihat dari tuturan yang dituturkannya.Beberapa ahli telah
memberikan batasan dan pendapat mengenai alih kode.
Menurut Rahardi (2010:25) alih kode adalah pemakaian secara bergantian
dua bahasa atau mungkin lebih variasi-variasi bahasa dalam bahasa yang sama
atau mungkin gaya-gaya bahasanyadalam suatu masyarakat tutur bilingual.

Suwito (1983) dalam Rahardi (2010:23) menyebutkan bahwa alih kode adalah
peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Apabila seseorang
penutur mula-mula menggunakan kode A dan kemudian beralih menggunakan

17

Universitas Sumatera Utara

kode B, peralihan bahasa seperti itu disebut sebagai alih kode. Sejalan dengan
Suwito, Dell Hymes (1975:103) dalam Rahardi (2010:24) memberi pengertian
bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan
pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari suatu bahasa, atau bahkan
beberapa gaya dari suatu ragam.
Poedjosoedarmo dalam Rahardi (2010:24) menjelaskan bahwa seseorang
sering mengganti kode bahasanya saat bercakap-cakap. Pergantian itu dapat
disadari atau bahkan mungkin pula tidak disadari oleh penutur. Gejala alih kode
semacam initimbul karena faktor komponen bahasa yang bermacam-macam.
Chaer dan Agustina (1995:141) menambahkan bahwa alih kode adalah “peristiwa
pergantian bahasa atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau
juga ragam resmi ke ragam santai”. Jadi dalam alih kode, pemakaian dua bahasa

atau lebih ditandai oleh kenyataan bahwa masing-masing bahasa masih
mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, dan fungsi
masing-masing bahasa itu disesuaikan dengan relevan dengan perubahan
konteksnya.
Chaer dan Agustina (2010:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala
peralihan bahasa karena berubahnya situasi. Sedangkan Hymes dalam Chaer dan
Agustina (2010:107-108) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi
antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang
terdapat dalam suatu bahasa.
Chaer dan Agustina (2010:108) mengemukakan pokok persoalan
sosiolinguistik yaitu, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan,
dan dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum
18

Universitas Sumatera Utara

terdapat penyebab alih kode diantaranya yaitu (1) pembicara atau penutur, (2)
pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga,
(4) perubahan dari formal ke inforrmal, (5) perubahan topik pembicaraan.
Pertama, pembicara atau penutur. Seorang penutur sering melakukan alih

kode untuk mengejar suatu kepentingan, dan mendapatkan keuntungan atau
manfaat. Contohnya, dalam suatu kantor pemerintah, banyak tamu yang beralih
kode ke dalam bahasa daerah ketika bercakap-cakap dengan orang yang
ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan sebagai satu
masyarakat tutur. Dengan demikian, si penutur akan merasa lebih dekat dengan
lawan bicaranya.
Kedua, pendengar atau lawan tutur/ mitra tutur. Biasanya, seorang
penutur berusaha mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tuturnya.
Contohnya, seorang penjual cinderamata yang melakukan alih kode ke dalam
bahasa asing untuk mengimbangi kemampuan berbahasa pembelinya (turis).
Dengan demikian, terjalin komunikasi yang lancar dan barang dagangannya dibeli
turis tersebut.
Ketiga, perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga. Kehadiran orang
ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan
bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur.
Keempat, perubahan formal ke informal atau sebaliknya. Berubahnya
suasana informal ke bahasa Indonesia ragam resmi (baku) sebagai ciri suasana
formal. Contohnya, sebelum perkuliahan di mulai situasinya adalah informal,
tetapi begitu perkuliahan di mulai situasinya menjadi formal.


19

Universitas Sumatera Utara

Kelima, perubahan topik pembicaraan. Perubahan topik pembicaraan
dapat juga menjadi penyebab terjadinya alih kode.
Penyebab-penyebab alih kode ini biasanya sangat berkaitan dengan verbal
repertoire yang terdapat dalam suatu masyarakat tutur serta bagaimana status
sosial yang dikenakan oleh para penutur terhadap bahasa-bahasa atau ragamragam bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu. Dalam masyarakat tutur
tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa (undak usuk), ada alih
kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang menurut satu
kontinum, sedikit demi sedikit, dari yang dekat sampai yang jauh perbedaannya,
sehingga alih kode tidak terasa mengagetkan.
Chaer dan Agustina (2010:114)

membedakan alih kode menjadi dua

macam yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode
intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi

antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam repertoire
masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

2.1.2. Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan
mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat
yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar
dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah
digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam
satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Dalam

20

Universitas Sumatera Utara

alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi
otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebabsebab tertentu. Pada campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur hanyalah serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa
fungsi atau keotonomiannya sebagai sebuah kode.

Seorang penutur misalnya yang dalam berbahasa Indonesia menyelipkan
serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode
yang menyebabkan munculnya satu ragam bahasa Indonesia yang ke Jawa-Jawaan
(kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang ke
Sunda-Sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).
Suwito (1985:401) mengatakan bahwa campur kode adalah penyusupan
unsur-unsur kalimat dari suatu bahasa kedalam bahasa yang lain, berwujud kata,
frasa, pengulangan kata, ungkapan atau idiom. Thelander (dalam Suwito 1985:76)
berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa campur itu
terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau
kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama.
Selanjutnya mengenai bentuk campur kode, Suwito (1985:78) membagi
campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan menjadi: (1) Penyisipan unsurunsur berwujud kata, (2) Penyisipan unsur-unsur berwujud frasa, (3) Penyisipan
unsur-unsur berwujud baster, (4) Penyisipan unsur-unsur berwujud perulangan
kata, (5) Penyisipan unsur-unsur berwujud ungkapan atau idiom, dan (6)
Penyisipan unsur unsur berwujud klausa.

21

Universitas Sumatera Utara


Menurut Suwito (1985:77), beberapa faktor penyebab terjadiya peristiwa
campur kode dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1. Berlatar belakang pada sikap
penutur (attitudinal type) yang meliputi (a) untuk memperhalus ungkapan, (b)
untuk menunjukkan kemampuannya, (c) perkembangan dan perkenalan budaya
baru. 2. Berlatar belakang pada kebahasaan (linguistic type) yang meliputi (a)
lebih mudah diingat, (b) tidak menimbulkan kehomoniman, (c) keterbatasan kata,
(d) akibat atau hasil yang dikehendaki.

2.1.3. Diglosia
Ferguson dalam Chaer dan Agustina (2010:93) merumuskan diglosia
sebagai berikut:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana
selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam
utama) dari satu bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu, diantaranya bisa berupa dialek standar, atau
sebuah standar regional.
3. Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:
-


Sudah (sangat) terkodifikasi,

-

Gramatikalnya lebih kompleks,

-

Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan
dihormati,

-

Dipelajari melalui pendidikan formal,

-

Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal,

22


Universitas Sumatera Utara

-

Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk
percakapan sehari-hari.

Ferguson dalam Chaer dan Agustina (2010:92) menggunakan istilah
diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi
dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai
peranan tertentu.

2.1.4. Kedwibahasaan
Secara harfiah, bilingualisme atau kedwibahasaan yaitu berkenaan
dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik,
secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pegaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer
dan Agustina 2010:84). Bilingualisme atau kedwibahasaan adalah kemampuan
menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama

baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa
bagaimana pun tingkatnya (Robert Lado dalam Chaer dan Agustina 2010:86).
Menurut Lado penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya,
kurang pun boleh.Orang yang menggunakan dua bahasa atau lebih disebut sebagai
dwibahasawan atau bilingual (Chaer dan Agustina 2010:86).
Bloomfield dalam Chaer dan Agustina (2010:87) juga mengatakan bahwa
menguasai dua buah bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode.Kalau yang
dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu
bukan langue melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam.
Bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa

23

Universitas Sumatera Utara

yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penuturnya (Mackey dalam Chaer dan
Agustina 2010:87). Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua
bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud oleh Mackey
bahasa sama halnya dengan langue. Tetapi Weinrich dalam Chaer dan Agustina
(2010:87) memberi pengertian bahasa dalam arti luas yaitu tanpa membedakan

tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa
berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama.
Berbeda dengan Mackey,Oskaar dalam Chaer dan Agustina (2010:91)
berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik
kelompok.Hal itu dikarenakan bahasa itu penggunanya tidak terbatas antara
individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi
antara kelompok. Bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan
sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok (Chaer: 1994).
Seseorang dikatakan bilingual bila mampu menggunakan dua bahasa
secara berdampingan, tidak dituntut adanya penguasaan penuh melainkan hanya
dengan penguasaan minimal atas bahasa kedua, seseorang sudah disebut
bilingual.Kedwibahasaan ditandai dengan berbagai macam gejala seperti alih
kode, campur kode, interferensi, integrasi dan pemertahanan atau pergeseran
bahasa. Chaer dan Agustina (2010: 88) mengatakan bahwa apa yang disebut dua
bahasa dalam bilingualisme termasuk juga dua variasi bahasa.
Kedwibahasaan disebabkan oleh adanya sentuh bahasa atau kontak bahasa
yang berarti saling pengaruh antara satu bahasa dengan bahasa lain, dialek satu
dengan dialek lain atau antara satu variasi bahasa dengan variasi bahasa yang lain
(Markhamah, 2000).

24

Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Interferensi
Menurut Chaer dan Agustina (2010:120) istilah interferensi pertama kali
digunakan oleh Weinreich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur
bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual
adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian; dan penutur
yang multilingual adalah penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara
bergtantian.
Hartman dan Stork dalam Chaer dan Agustina (2010:121) tidak menyebut
interferensi itu sebagai “pengacauan” atau “kekacauan”, melainkan “kekeliruan”
yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu
atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Interferensi yang dimaksud oleh Weinreich dalam Chaer dan Agustina
(2010:122) adalah interferensi yang tampak dalam perubahan sistem suatu bahasa
yaitu mengenai sistem fonologi, sistem morfologi, dan sistem sintaksis.
Menurut Soewito dalam Chaer dan Agustina (2010:126) interferensi dalam
bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara berlaku bolak-balik, artinya unsur
bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak
memasuki bahasa daerah. Tetapi dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya
menjadi penerima dan tidak pernah menjadi pemberi.

25

Universitas Sumatera Utara

2.2. Landasan Teori
2.2.1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara
bahasa dan masyarakat penuturnya.Ilmu ini merupakan kajian kontekstual
terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang
alami. Sosiolinguistik berasal dari kata “sosio” dan “linguistic”. Sosio sama
dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah
ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur- unsur
bahasa dan antara unsur-unsur itu. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian yang
menyusun

teori-teori

tentang

hubungan

masyarakat

dengan

bahasa.

Sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan
bahasa khususnya perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang
berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (Nababan 1993:2).
Abdul Chaer mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar
disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
itu di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004:2).
Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik,
karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian
tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa.Jadi kajian
sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi
kemasyarakatan (Sumarsono, 2004:1). Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa
yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu.

26

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi adalah suatu bidang yang mengkaji bahasa dalam
masyarakat. Dengan terbitnya ‘Etnografi Pertuturan’ pada tahun 1962 yang saat
ini disebut ‘Etnografi Komunikasi’, Hymes telah meluncurkan suatu disiplin baru
yang sintesis yang memberi tumpuan kepada keadaan pola perlakuan komunikasi
sebagai salah satu daripada sistem kebudayaan, bagaimana ia berfungsi dalam
konteks keseluruhan kebudayaan serta bagaimana ia dikaitkan dengan pola-pola
dalam sistem-sistem berkaitan yang lain.
Fokus etnografi komunikasi adalah komuniti bahasa, yaitu cara
komunikasi di dalam komuniti bahasa itu disusun dan diatur sebagai sistem
kepada peristiwa komunikasi, dan cara hal-hal ini berinteraksi dengan sistem lain
dalam kebudayaan. Etnografi komunikasi juga menitik beratkan usaha mencari
kelaziman dalam cara menggunakan bahasa.
Bagi sosiolinguistik, etnografi komunikasi melibatkan rakaman pertuturan
dalam pelbagai konteks. Gumpers, 1970: 9 (dalam Muriel Saville-Troike, 1991: 9)
walaupun setelah bahan-bahan itu di rakamkan, kadangkala tanpa pengetahuan
etnografi tentang norma sosial yang mengawal pemilihan bentuk linguistik dalam
situasi yang di rakamkan itu adalah mustahil untuk menilai kepentingan sosialnya.
Untuk menganalisis suatu peristiwa komunikasi digunakan komponenkomponen yang dikemukakan oleh Hymes 1967; 1972; Friedrich 1972 yaitu
genre, topik, tujuan, latar, peserta, bentuk mesej, kandungan mesej, urutan
perilaku, peraturan interaksi, dan norma-norma interpretasi.

27

Universitas Sumatera Utara

Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010:48) meringkas komponenkomponen tersebut menjadi sebuah akronim SPEAKING yang terdiri dari delapan
huruf yaitu:
S

= Setting and scene

P

= Participants

E

= Ends : purpose and goal

A

= Act sequences

K

= Key : tone or spirit of act

I

= Instrumentalities

N

= Norms of interaction and interpretation

G

= Genres
Setting and scene, setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur

berlangsung.Sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau
situasi psikologis pembicaraan.Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda
dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.Misalnya berbicara
berbicara dilapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan dalam situasi ramai
tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu orang
banyak membaca dan dalam keadaan sunyi.
Participants adalah pihak-pihak yang teribat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima.
Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan,
misalnya anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila
berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara
dengan teman sebayanya.

28

Universitas Sumatera Utara

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.Peristiwa tutur yang
terjadi di ruang sidang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus
perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan
yang berbeda.Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha
membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha
membeberkan keputusan yang adil.
Act Sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran
berkenaan dengan dengan kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya. Isi
Ujaran berkenaan dengan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik
pembicaraan. Bentuk dan isi ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa,
dan dalam pesta berbeda satu dengan yang lainnya.
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan, misalnya dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Atau dapat ditunjukkan juga dengan
gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon dan juga mengacu pada kode ujaran
yang digunakan seperti bahasa, dialek, ragam atau register.
Norms of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau
aturan dalam berinteraksi dan juga mengacu pada norma penafsiran terhadap
ujaran dari lawan bicara. Misalnya berhubungan dengan cara berinterupsi, cara
bertanya, dan sebagainya.
Genres, mengacu pada jenis bentuk penyampaian seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.

29

Universitas Sumatera Utara

Dari pemaparan di atas, kerangka konseptual yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu teori sosiolinguistik yang mencakup alih kode dan campur
kode serta etnografi komunikasi yang berlandaskan pada teori Hymes. Teori
tersebut memiliki sebuah komponen yang tergabung dalam kata SPEAKING.

2.4. Tinjauan Pustaka
Penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas dari buku-buku pendukung
yang relevan dan penelitian yang dilakukan sebelumnya.
Penelitian yang berkaitan dengan alih kode pernah dilakukan oleh Sri
Sutrisni (2005) dalam tesisnya yang berjudul Alih Kode Dan Campur Kode
Dalam Wacana Interaksi Jual Beli Di Pasar Johar Semarang, menyimpulkan
bahwa Alih kode dalam wacana interaksi jual-beli di Pasar Johar Semarang ada
dua macam, yaitu (1) berwujud alih bahasa, dan (2) alih tingkat tutur. Alih kode
yang berwujud alih bahasa meliputi alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia dan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Sementara itu alih
tingkat tutur mencakupi alih kode tingkat tutur ngoko ke kramo dan alih tingkat
tutur kromo ke tingkat tutur ngoko. Campur kode dalam wacana interaksi jual-beli
di Pasar Johar Semarang.ada dua yaitu : (1) campur kode intern dan (2) campur
kode ekstern. Campur kode intern berwujud (1) kata, (2) frasa, dan (3) perulangan
kata. Sementara itu campur kode ekstern mencakup (1) bahasa Arab, dan (2)
bahasa Cina. Tidak hanya itu, Tri Sutrisni juga menemukan faktor-faktor
penyebab alih kode yang terjadi di Pasar Johar Semarang serta fungsi alih
kodenya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif dan pendekatan sosiolinguistik.

30

Universitas Sumatera Utara

Dhanang Tri Atmojo (2013) dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode
Dan Campur Kode Dalam Kelompok Masyarakat Perantau Di Desa Kedung
Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi, yang menjelaskan tentang alih kode
dan campur kode dengan kode-kode dasar seperti bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa. Penelitian ini menggunakan metode padan dalammenganalisis data. Dari
hasil penelitinnya, Dhanang menyimpulkan faktor-faktor penentu alih kode pada
penelitian pemilihan bahasa pada masyarakat perantau di desa Kedung Bagong,
Sidomakmur,Widodaren,Ngawi

yang

ditentukan

berdasarkan

jenis

alih

kode.Selain itu, Dhanang juga mengatakan bahwa perubahan bahasa terjadi
karena adanya kehadiran orang ketiga.
Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Rulyandi, Muhammad
Rohmadi, dan Edy Tri Sulistyo (2014) dengan judul “Alih Kode Dan Campur
Kode Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA” dimuat dalam jurnal
Paedagogia, Volume 17 (No) 1 Tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menjelaskan wujud alih kode (AK) dan campur kode (CK),
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya AK dan CK, serta dampak AK dan
CK dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiolinguistik.
Diyah Atiek Mustikawati (2015)dengan judul “Alih Kode dan Campur
Kode Antara Penjual dan Pembeli” dimuat dalam jurnal Dimensi Pendidikan dan
Pembelajaran Volume 3 No (2) Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan wujud alih kode dan campur kode serta mendeskripsikan faktor
penentu yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode. Hasil
penelitian yang dilakukan di pasar Songgolangit mengungkapkan bahwa Wujud

31

Universitas Sumatera Utara

alih kode yang terjadi adalah peralihan penggunaan bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia. Begitu juga dengan campur kode, wujud campur kode yang ditemukan
adalah campur kode yang melibatkan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam
bentuk penyisipan unsur-unsur bahasa Indonesia ke dalam unsur-unsur bahasa
Jawa.Faktor- faktor penentu yang mempengaruhi terjadinya calih kode dan
campur kode adalah penutur, mitratutur, kehadiran penutur ketiga, latar belakang
pendidikan, situasi kebahasaan, dan tujuan pembicaraan.
Ginanjar Arif Wijaya (2016) dalam skripsinya yang berjudul Campur Kode
Dan Alih Kode Tuturan Dalam Perdagangan Di Pasar Klewer Surakarta.Metode
yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.Ginanjar Arif Wijaya menjelaskan
bahwa di dalam proses jual beli di pasar, khususnya pasar klewer Surakarta tidak
hanya terjadi peristiwa campur kode melainkan juga alih kode. Wujud alih kode
yang terjadi di pasar ini ada dua yaitu (1) Alih kode yang berwujud alih bahasa;
dan (2) Alih kode yang berwujud alih tutur.Dia juga menjelaskan tentang faktorfaktor penyebab alih kode yang terjadi di pasar klewer Surakarta.
Anisafatul Fawaidati Khusnia S.S (2016) dalam tesisnya yang berjudul Alih
Kode Dan Campur Kode Dalam Percakapan Sehari-hari Masyarakat Kampung
Arab Kota Malang. Dalam Tesisnya Anisafatul menjelaskan tentang alih kode dan
campur kode pada pola komunikasi masyarakat kampung Arab Kota Malang. Alih
kode dan campur kode yang ditemukan dalam penelitiannya ada tiga kode
bahasa yaitu bahara Arab, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Anisafatul juga
mengatakan proses berbahasa di kampung Arab Kota Malang juga dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu faktor historis berupa asal usul nenek moyang mereka

32

Universitas Sumatera Utara

yakni dari Arab, agama berupa dalil-dalil teologis yang mengutamakan bahasa
Arab, keturunan sebagai eksklusifitas terhadap ras atau darah Arab, interaksi
simbol bahasa berupa pertukaran simbol bahasa antara bahasa Arab, Indonesia
dan Jawa. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hymes tentang
etnografi komunikasi.
Wa Ode Marni (2016) dengan judul “Campur Kode Dan Alih Kode Dalam
Peristiwa Jual Beli Di Pasar Labuan Tobelo Kecamatan Wakorumba Utara
Kabupaten Buton Utara” dimuat dalam jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra),
Volume 2 (No) 1 Tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
bentuk campur kode dan bentuk alih kode dalam Peristiwa Jual Beli di Pasar
Labuan Tobelo Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif.
Penelitian ini juga menyimpulkan faktor penyebab alih kode dan campur kode
dalam peristiwa jual beli di pasar labuan Tobelo Kecamatan Wakorumba Utara
Kabupaten Buton Utara. Faktor tersebut yaitu kedekatan emosional pembicara
dengan lawan bicara atau dipengaruhi oleh keakraban pembicara dengan lawan
bicara dalam suasana santai dan akrab.
Penelitian ini menjelaskan bentuk alih kode dan campur kode, serta
mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode
dancampur kode dalam percakapan di Pasar Batu 12 Kecamatan Kabupaten Aceh
Utara. Hasil penelitian alih kode dan campur kode sebelumnya dapat menjadi
informasi bagi peneliti saat ini dalam meneliti alih kode dalam percakapan di
Pasar Batu 12 Kabupaten Aceh Utara.

33

Universitas Sumatera Utara

2.5. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan alih kode dan campur kode dalam
percakapan di Pasar Batu 12 Kabupaten Aceh Utara adalah penelitian Tri Sutrisni
tentang Alih Kode dan Campur Kode Dalam Wacana InteraksiJual Beli di Pasar
Johar Semarang. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dilakukan oleh Tri Sutrisni, maka pemasalahan alih kode dan campur kode yang
terjadi dalam wacana interaksi jual beli di pasar Johar Semarang meliputi bentuk
alih kode dan campur kode serta faktor terjadinya alih kode dan campur kode.
Bentuk alih kode dalam penelitiannya meliputi alih kode yang berwujud
alih bahasa, alih kode dari bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa, alih kode dari
bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, alih kode dari bahasa Jawa tingkat tutur ngoko
ke tataran krama, alih kode dari bahasa Jawa tingkat tutur krama ke tuturan ngoko.
Faktor terjadinya alih kode meliputi kemarahan terhadap pembeli,
kejengkelan

pembeli

pada

penjual,

maksud

tertentu

pembeli,

penjual

menyesuaikan diri dengan kode yang dipakailawan bicara, ekspresi keterkejutan
pembeli, kehadiran calon pembeli lain pada saat tawar menawar berlangsung,
bercanda pada pembeli, basa-basi penjual pada pembeli.
Bentuk campur kode dalam penelitiannya meliputi campur kode intern dan
campur kode ekstern. Campur kode intern dapat berwujud kata, frasa, dan
perulangan kata. Campur kode ekstern mencakup unsur bahasa Arab dan bahasa
Cina.
Faktor terjadiya campur kode meliputi (1) identifikasi peranan dan (2)
identifikasi ragam.
Persamaan antara penelitian yang dilakukan adalah sama-sama mengkaji
alih kode dan campur kode serta faktor-faktor terjadinya alih kode dan campur
34

Universitas Sumatera Utara

kode dalam penelitiannya.Sementara perbedaannya adalah tempat penelitian dan
objek.

35

Universitas Sumatera Utara