Analisis Beban Pencemar Karbon Monoksida (CO) dan Karbon Dioksida (CO2) di Kawasan Bandar Udara Internasional Kualanamu

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Udara
Pencemaran udara didefinisikan sebagai masuknya satu atau lebih kontaminan/polutan
seperti debu, asap, bau, gas, dan uap ke atmosfer dalam jumlah tertentu dan
karakteristik tertentu serta dalam waktu tertentu pula yang dapat membahayakan
kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan mengganggu kenyamanan dalam kehidupan
(Peavy, 1985).
Pencemaran udara sudah menjadi masalah yang serius di kota-kota besar di dunia.
Polusi udara yang berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan telah dikenal
secara luas selama kurang lebih 50 tahun terakhir. Selain dampak terhadap kesehatan
manusia, polusi udara juga dapat berdampak negatif terhadap ekosistem, material dan
bangunan-bangunan, vegetasi dan visibilitas (Rauf, dkk, 2014).
Environmental Protection Agency (2011) dalam dokumen National Ambient Air Quality
Standart (NAAQS) menjelaskan beberapa zat pencemar udara signifikan tersebut terdiri
dari enam zat pencemar utama dan satu zat pencemar sekunder (dinamakan sekunder
dikarenakan zat ini terbentuk dari reaksi kimia di atmosfer). Keenam zat pencemar
utama tersebut adalah karbon monoksida (CO), timbal (Pb), nitrogen oksida (NOx),
partikulat PM10, partikulat PM2,5, dan sulfur dioksida (SO2). Sedangkan satu zat
pencemar sekunder yakni Ozon (O3).
Konsentrasi udara ambien merupakan polutan dari sumber pencemar yang terdiri dari

partikel-partikel dan gas-gas kemudian di atmosfer mendapat pengaruh dari antara lain
faktor meteorologis seperti curah hujan, arah dan kecepatan angin, kelembaban udara
dan temperatur serta secara bersamaan mengalami reaksi kimia (Pusparini, 2002).
Proses pencemaran udara dapat digambarkan sebagai suatu hubungan antara emisi,
transpor, atmosfer, modifikasi, dan dampak (Nevers, 1995). Skema pencemaran udara
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1

Universitas Sumatera Utara

Emisi :
 Sumber
 Pengukuran
 Kontrol

Atmosfer :
 Transpor
 Dilusi
 Dispersi
 Modifikasi


Efek pada :
 Manusia
 Lingkungan

Pembersihan polutan dengan proses
alami
Gambar 2.1 Skema Pencemaran Udara
Sumber : Nevers, 1995

2.2.1 Sumber Pencemar Udara
Berdasarkan PP No 41 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 3 dijelaskan bahwa sumber pencemar
adalah setiap usaha/kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang
menyebabkan udara tidak dapat berfungsi dengan sebagaimana mestinya.
Dalam proses terjadinya pencemaran udara, sumber merupakan hal yang selalu terkait
dengan bahan pencemar udara yang dihasilkan. Klasifikasi sumber polusi udara oleh
United State of Environmental Protection Agency (U.S.EPA, 2005) yaitu sumber
alamiah dan antropogenik.
1. Sumber Alamiah (Biogenik)
Sumber ini umumnya berasal dari sumber biologi dan geologi, antara lain bersumber
dari vegetasi, tanah, gunung berapi, aktifitas geothermal, angin dan kebakaran hutan.

Sumber alamiah dapat dibagi menjadi dua sumber, yaitu:
a. Emisi biogenik berasal dari tanaman.
b. Emisi geogenik berasal dari tanah, gunung berapi, dan aktifitas geotermal
2. Sumber Antropogenik
Pencemar udara yang bersumber dari stasioner besar (industri, pembangkit listrik, dan
tempat pembakaran), sumber tidak bergerak kecil (rumah tangga dan boiler komersial

II-2

Universitas Sumatera Utara

kecil), dan sumber bergerak (lalu lintas). Selain itu, sumber antropogenik dapat
diklasifikasikan ke dalam dua sumber utama sebagai berikut:
a. Sumber tidak bergerak : Point dan Non-point (Area)
b. Sumber bergerak : On-road dan Non-road
Sumber pencemar udara berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan menjadi
beberapa kategori (Canter, 1996), antara lain:
1. Sumber Titik
Sumber titik adalah sumber pencemar udara akibat polutan yang berasal dari satu
sumber. Contoh sumber titik ini adalah cerobong industri.

2. Sumber Garis
Sumber garis adalah sumber yang berasal dari sumber-sumber titik yang tidak
terhingga banyaknya sehingga dapat dianggap sebagai sumber garis yang seluruhnya
menghasilkan pencemar udara. Contoh sumber ini adalah emisi dari kendaraan
bermotor, pelayaran, penerbangan, dan kereta api.
3. Sumber Area
Sumber area adalah sumber yang berasal dari banyaknya sumber titik dan sumber
garis. Biasanya dibatasi oleh basis atau batas administrasi seperti negara atau kota.
Dari pengelompokkan tersebut, sumber-sumber emisi zat pencemar udara secara
diagramatis disajikan pada Gambar 2.2.

II-3

Universitas Sumatera Utara

Sumber Area dan Titik

Sumber
Transportasi


 Kendaran
Bermotor
 Pesawat
Terbang
 Kereta
Api
 Kapal
Laut

Pembakaran
pada Sumber
Tetap

Emisi dari
Proses Industri

TPS Padat

 Industri


 Kebakaran

Kimia

 Rumah

 Industri

Tangga
 Komersial
dan Industri
 Elektrik
Steam

Makanan
 Industri
Metalurgi
 Industri
Mineral
 Industri

Perminyakan

Sumber Lain

 On Site
 Insinerasi
 Pembakar
an
Terbuka

Hutan

 Kebakaran
Biasa
 Pembakaran
Batubara
 Pembakaran
Perkebunan

Gambar 2.2 Klasifikasi Sumber Emisi

Sumber : Colls, 2002

Menurut Wark & Warner (1981) pencemaran udara berdasarkan sumbernya
dikelompokkan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:
1. Polutan primer, terbentuk langsung dari emisi yang terdiri dari partikulat berukuran <
10 mikron (PM10), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida
(CO) dan timbal (Pb).
2. Polutan sekunder, merupakan bentuk lanjut dari pencemar primer yang telah
mengalami reaksi di lapisan atmosfer yang lebih rendah. Yang termasuk kepada
kategori pencemar sekunder adalah ozon yang dikenal sebagai oksidan fotokimia,
garam sulfat, nitrat dan sebagainya.

II-4

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Dampak Pencemaran Udara
Pencemaran udara mempengaruhi kesehatan manusia, hewan, kerusakan tanaman,
material, perubahan iklim, menurunkan tingkat visibilitas dan penyinaran matahari,
serta pengaruh lainnya (Nevers, 1995).

Dalam bidang kesehatan, udara yang tercemar dapat menimbulkan penyakit saluran
pernapasan meningkat, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), Tuberculosis
(TBC), memperberat penderita penyakit jantung dan asma, meningkatkan kasus alergi
yang hipersensitif terhadap polutan tertentu, dan meningkatkan kasus kanker terutama
kanker paru-paru (Sutra, 2009).
Efek suatu polutan terhadap fungsi organ terkadang tidak dapat langsung dilihat,
tergantung pada konsentrasi, lamanya paparan, dan frekuensi paparan. Faktor-faktor
lain dapat menjadi pendukung maupun faktor yang memperlambat efek. Faktor-faktor
tersebut dapat berupa kondisi kesehatan seseorang, pola hidup, keadaan lingkungan dan
lain sebagainya (Soemirat, 2003).
Adapun efek yang ditimbulkan oleh bahan pencemar udara terhadap lingkungan
menurut Mukono (2008) antara lain:
1. Efek terhadap kondisi fisik atmosfer
Efek negatif bahan pencemar terhadap kondisi fisik atmosfer antara lain gangguan
jarak pandang (visibility), memberikan warna tertentu pada atmosfer mempengaruhi
struktur dari awan, mempengaruhi keasaman air dan mempercepat pemanasan
atmosfer.
2. Efek terhadap faktor ekonomi
Efek negatif bahan pencemar udara terhadap faktor yang berhubungan dengan
ekonomi antara lain, meningkatkan biaya rehabilitas karena rusaknya bahan

(keropos) dan meningkatnya biaya pemeliharaan (pelapisan/pengecetan).
3. Efek terhadap vegetasi
Efek negatif bahan pencemar udara terhadap kehidupan vegetasi antara lain adalah
perubahan morfologi, pigmen dan kerusakan fisiologi sel tumbuhan terutama pada
II-5

Universitas Sumatera Utara

daun, dapat mempengaruhi proses reproduksi tanaman, mempengaruhi komposisi
komunitas tanaman, dapat terjadi akumulasi bahan pencemar pada vegetas tertentu.
4. Efek terhadap kehidupan hewan
Efek negatif bahan pencemar udara terhadap kehidupan hewan, baik hewan
peliharaan maupun bukan, dapat terjadi karena adanya proses bioakumulasi dan
keracunan bahan berbahaya.
5. Efek estetika
Efek negatif bahan pencemar udara terhadap estetika yang diakibatkan bahan
pencemar udara antara lain timbulnya bau dan adanya lapisan debu pada bahan yang
mengakibatkan perubahan warna permukaan bahan dan mudahnya terjadi kerusakan
bahan tersebut.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara

Faktor-faktor yang mempengaruhi dampak pencemaran udara antara lain (Seinfeld,
1986) :
1. Konsentrasi;
2. Waktu Paparan;
3. Sensitivitas;
4. Faktor meteorologi : kelembaban, temperatur, tekanan, dan;
5. Interaksi antar pencemar.
Faktor meteorologi yang mempengaruhi penyebaran pencemaran udara adalah sebagai
berikut:
1. Arah Angin
Untuk menentukan arah angin dapat dibedakan sebagai berikut (Nevers, 2000):
a. Angin mayor, kondisi dimana angin bergerak cepat dan langsung menyelimuti
seluruh daerah serta permukaan bumi yang berhembus searah dengan angin tersebut.

II-6

Universitas Sumatera Utara

b. Angin lembah, kondisi dimana angin bergerak naik pada lembah di siang hari dan
turun pada malam hari. Pengaruh angin lembah lebih besar pada lembah yang dalam
dibandingkan lembah yang dangkal.
c. Angin darat dan angin pantai, angin ini mendominasi ketika tidak ada angin badai.
Arah angin memungkinkan untuk dikontrol pada kondisi angin ringan dan langit
cerah dibandingkan kondisi sebaliknya.
Dalam menentukan arah angin, biasanya digunakan windrose. Windrose dapat
meringkas frekuensi angin berdasarkan variasi arah dan kecepatan pada suatu lokasi.
Secara normal memetakan angin dari arah datangnya angin, misalnya angin dari barat
berhembus ke timur (Nevers, 2000).
2. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dikategorikan ringan sekitar 2 mi/h (1 m/s). Pada kecepatan tersebut
manusia tidak dapat merasakan adanya hembusan angin, hal yang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya hembusan angin adalah pergerakan daun, bendera, dan asap.
Angin pada kecepatan ≤ 2 mi/h (1 m/s) disebut angin “calm”, pada kondisi ini alat ukur
kecepatan angin (anemometer) tidak dapat mendeteksi adanya pergerakan angin
(Nevers, 2000).
Kecepatan angin meningkat bersamaan dengan peningkatan elevasi, waktu, troposfer
karena pergeseran bumi dapat memperlambat hembusan angin. Secara alami angin akan
meraih kecepatan gesekan (disebut kecepatam geostrophic atau gradien) pada
ketinggian sekitar 500 m (1640 ft) di atas permukaan bumi (Nevers, 2000).
3. Inversi Suhu
Inversi suhu adalah kondisi suhu yang tidak normal pada batas kedua lapisan udara.
Inversi suhu memiliki pengaruh signifikan terhadap meteorologi pencemaran udara. Jika
terjadi inversi, udara stabil menolak untuk bergerak naik hal ini disebabkan polutan
terkumpul di dalam atmosfer yang lebih rendah dan tidak menyebar. Stabilitas atmosfer
juga mengurangi perubahan energi angin di antara lapisan udara di sekitar tanah dan
lapisan angin yang lebih tinggi, jadi dispersi pencemar secara horizontal maupun
vertikal dihalangi (Nevers, 2000).
II-7

Universitas Sumatera Utara

4. Intensitas Penyinaran Matahari
Intensitas penyinaran matahari merupakan salah satu indikator yang penting di dalam
klimatologi. Sinar matahari akan menggerakkan reaksi-reaksi fotokimia di atmosfer
(misalnya reaksi pembentukan ozon), menghasilkan uap air yang sangat dibutuhkan
untuk terjadinya hujan, menjaga agar suhu atmosfer tetap hangat, dan lain sebagainya
(Hamdi, 2013).
2.2

Pencemaran Udara dari Sektor Penerbangan

Michaels (1997) menyatakan bahwa penerbangan menyumbang 12% emisi CO global
pada tahun 1990. Intergovermental Panel On Climate Change (1994) memprakirakan
pada tahun 2050 mendatang, emisi CO2 yang ditimbulkan oleh kegiatan penerbangan
akan tumbuh 2-10 kali lipat jika dibandingkan emisi pada tahun 1992.
Selain menghasilkan emisi CO dan CO2, kegiatan penerbangan juga menghasilkan
oksida nitrogen (NOx), volatile organic compound (VOC), sulfur dioksida (SO2) (S.
Slamet, 2012). Berbagai polutan udara dari kegiatan penerbangan dan persentase
kontribusinya dari sumber-sumber polutan yang ada dapat dilihat dari Tabel 2.1
Tabel 2.1 Polutan Udara dari Kegiatan Penerbangan

Penerbangan
Aktifitas Bandara
Kontribusi (%)
Sumber : VROM, 1995

CO2
(Kiloton)
496
22.000
2,3

NOx
(Kiloton)
1.786
82.000
2,2

VOC
(Kiloton)
406
27.000
1,5

CO
(Kiloton)
679
303.000
0,2

SO2
(Kiloton)
156
130.000
0,1

Berdasarkan Tabel 2.1, dapat diketahui bahwa polutan paling besar dari kegiatan
penerbangan adalah CO2 dengan kontribusi ±2,3%. Meskipun kontribusi pencemar
udara dari kegiatan penerbangan dikategorikan kecil akan tetapi waktu tinggal polutan
di atmosfer berbeda-beda. Waktu tinggal CO2 di atmosfer pada kisaran waktu relatif
lebih lama yaitu sekitar 5-200 tahun (Slamet, 2012).
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (1999) mencatat bahwa CO2
tetap berada di lingkungan atmosfir ±100 tahun sehingga menimbulkan efek akumulatif.
Menurut Murdiyarso (2003), akumulasi dari beban pencemar apabila dibiarkan terusII-8

Universitas Sumatera Utara

menerus maka seiring berjalannya waktu dapat membahayakan. Sementara dampak
pemanasan udara akan tetap dirasakan dalam jangka waktu puluhan bahkan ratusan
tahun.
Polusi yang dihasilkan dari mesin-mesin terbang (exhaust gas polution) perlu
diperhatikan dampak buruknya terhadap lingkungan. Meskipun hanya menyumbang
sekitar ±3% dari total polusi udara dunia tapi dengan banyaknya pesawat terbang
komersial yang operasional dari hari ke hari bisa jadi angka persentase tersebut semakin
meningkat. Gas buangan dari pesawat terbang seperti karbon dioksida, oksida nitrogen,
uap air dan lain-lain semakin lama semakin memperkuat kenyataan bahwa polusi udara
dari pesawat terbang patut diwaspadai (Sumbodo, 2007).
2.3 Bandar Udara
Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization). Bandara
adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi dan
peralatan) yang diperuntukan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan,
keberangkatan dan pergerakan pesawat.
Bandara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang yang dapat lepas landas
dan mendarat. Bandara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landasan pacu.
(Rachman, 2007).
Bandara merupakan suatu unsur yang memiliki peranan penting dalam industri
penerbangan dengan harapan bandara dapat berperan dalam hal pertumbuhan ekonomi
maupun sosial, pendorong maupun penggerak serta pemerataan pembangunan nasional.
Bandara merupakan pintu masuk terhadap suatu wilayah dan menjadi penghubung antar
wilayah satu dengan lainnya (Indah, 2013).
PP No. 70 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa berdasarkan cakupannya,
bandar udara terbagi atas 6 (enam) jenis, yaitu:
1. Umum yaitu dipakai untuk melayani kepentingan umum
2. Khusus yaitu hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri atau kelompok.
Biasanya merupakan milik swasta atau suatu kelompok usaha bisnis.
II-9

Universitas Sumatera Utara

3. Domestik yaitu bandara yang ditetapkan untuk melayani penerbangan dalam negeri.
4. Internasional yaitu bandara yang ditetapkan untuk melayani penerbangan dalam
negeri dari maupun ke luar negeri.
5. Pengumpul yaitu biasa pula disebut hub merupakan bandar udara yang mempunyai
cakupan pelayanan yang luas sebagai bandar udara yang melayani penumpang dan
kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara
nasional atau berbagai provinsi.
6. Pengumpan yaitu bisa pula disebut spoke, merupakan bandar udara yang mempunyai
cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas.
PP No. 40 Tahun 2012 Pasal 1 Ayat 3 mendefinisikan bandar udara adalah kawasan di
daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat
pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang,
dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas
penunjang lainnya.
Rao (1992) menjelaskan terdapat 6 (enam) komponen utama agar suatu lokasi bisa
disebut bandara, keenam komponen tersebut adalah:
1. Landasan yaitu digunakan untuk pendaratan dan lepas landas pesawat.
2. Tairways yaitu jalur yang menghubungkan landasan dengan bagian lain dari bandara
dimana pesawat dapat melakukan pergerakan, seperti apron dan hangar.
3. Apron yaitu tempat pesawat berhenti/parkir dengan tujuan menaikkan atau
menurunkan penumpang ataupun muatan kargo.
4. Bangunan terminal yaitu bangunan yang membentuk antar muka antara udara sisi
udara dengan sisi darat, dan tempat dimana penumpang dan barang bawaanya
diproses.
5. Hangar yaitu tempat dimana pesawat dan perlindungan dan perawatan.
6. Fasilitas pengontrol trafik udara termasuk di dalamnya menara kontrol, sistem
pemandu, sistem pencahayaan, dst.

II-10

Universitas Sumatera Utara

2.4 Karbon Monoksida (CO)
2.4.1 Karakteristik CO
Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas tidak berwarna, tidak berbau yang dihasilkan
oleh pembakaran tidak sempurna material yang mengandung zat arang atau bahan
organik. Terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom
oksigen. Satuan konsentrasi CO di udara adalam ppm atau parts per million. Untuk
mengukur kadar CO tersebut, digunakan gas analyzer dengan satuan persen volume,
dimana 1 ppm setara dengan 4-10% µg/m3 (Anggraeni, 2009).
2.4.2 Sumber CO
Penyumbang besar gas CO adalah kendaraan bermotor yang terutama menggunakan
bahan bakar bensin. Karbon monoksida merupakan produk yang tidak diinginkan dalam
proses pembakaran. Gas CO mempunyai daya tahan yang besar di permukaan bumi
karena kemampuan atmosfer untuk menyerap (Cohn dan Mc. Voy, 1982).
Sumber karbon monoksida terbagi dua, yaitu sumber alami dan sumber antropogenik.
Secara alami CO dihasilkan dari aktifitas alam seperti gunung berapi (KLH, 2013). CO
berasal dari pembakaran bahan fosil dengan udara, berupa gas buangan (Saputra, 2009).
Selain dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna di luar tubuh, gas CO dihasilkan
dalam jumlah kecil (kurang dari 0,5%) dari katabolisme normal cincin protoporfirin
hemoglobin di dalam tubuh (Anggraeni, 2009).
Kadar CO di perkotaan cukup bervariasi. Hal ini tergantung pada kepadatan kendaraan
bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin. Selain cuaca, variasi dari kadar CO
juga dipengaruhi oleh topografi jalan dan bangunan disekitarnya (Adita dan Ratni,
2010).
2.4.3 Dampak CO
Gas karbon monoksida (CO) adalah penyebab utama dari kematian akibat keracunan di
Amerika Serikat dan lebih dari separuh penyebab keracunan fatal lainnya di seluruh
dunia (Nanagas & Kao, 2004). Sekitar 25.000 kasus keracunan gas CO per tahun
II-11

Universitas Sumatera Utara

dilaporkan terjadi di Inggris dengan angka kematian sekitar 50 orang per tahun dan 200
orang menderita akibat keracunan gas CO (Blumenthal, 2001).
Karbon monoksida tidak terlalu berpengaruh pada tumbuhan ataupun material, namun
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. CO bereaksi dengan hemoglobin dalam
darah dan menghambat pengangkutan oksigen. Berdasarkan konsentrasi dan lamanya
paparan CO, dampaknya bagi tubuh manusia beragam mulai dari menyebabkan sakit
kepala sampai bisa menyebabkan kematian (Cooper dan Alley, 1994)
Keracunan karbon monoksida dapat menyebabkan turunnya kapasitas transportasi
oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan penggunaan oksigen di dalam tubuh, organ
yang paling terganggu adalah bagian tubuh yang mengkonsumsi oksigen dalam jumlah
besar, seperti otak dan jantung (Eugene & Margaret, 2003).
Umumnya rute keterpajanan gas karbon monoksida adalah melalui jalur pernapasan
atau rute terhirup atau inhalasi (inhalation route). Gas karbon monoksida ini
dikelompokkan sebagai bahan kimia asfiksia (asphyxiate) yang mengakibatkan racun
dengan cara meracuni hemoglobin (Hb) darah. Hb berfungsi mengikat darah dalam
bentuk HbO. Setelah CO mengikat hemoglobin darah terbentuk ikatan HbCO, maka
otomatis oksigen akan terusir. Dengan mekanisme ini, tubuh mengalami kekurangan
oksigen dan gejala asfiksia atau kekurangan oksigen akan terjadi (Majid, 2011).
Konsentrasi CO di udara ambien sebesar 200 ppm selama 7 jam dapat menyebabkan
pusing-pusing pada manusia yang tidak melakukan kegiatan fisik dan 2 jam pada
manusia yang melakukan kegiatan fisik berat seperti berolahraga. Sedangkan pada
konsentrasi 400 ppm selama 2 jam atau 45 menit pada manusia yang melakukan
aktifitas fisik yang berat dapat menyebabkan hilangnya kesadaran (KLH, 2013).
Gejala-gejala lain dari keracunan CO antara lain, pusing, rasa tidak enak pada mata,
telinga berdengung, mual, muntah, detak jantung meningkat, rasa tertekan di dada,
kesukaran bernapas, kelemahan otot-otot, tidak sadar, dan bisa meninggal dunia
(Mukono, 2008).
Secara tidak langsung CO dapat mendorong percepatan produksi nitrogen dioksida
(NO2) pada rantai reaksi yang menghasilkan ozon di udara ambien (troposfer) yang
II-12

Universitas Sumatera Utara

merupakan pencemar sekunder yang menimbulkan dampak terhadap tumbuh-tumbuhan
(KLH, 2013).
2.5 Karbon Dioksida (CO2)
2.5.1 Karakteristik CO2
Karbon dioksida adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Karbon dioksida
(CO2) atau zat asam arang adalah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom
oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon. Ia berbentuk gas pada
keadaan temperatur dan tekanan standar. Kandungan karbon dioksida di udara segar
bervariasi antara 0,03% (300 ppm) bergantung pada lokasi (Sehabudin, 2011).
Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) yang diyakini
memberi andil yang paling besar terhadap peningkatan rata-rata suhu udara di dunia.
Sebagai salah satu GRK, karakteristik khas CO2 adalah tidak mampu ditembus oleh
gelombang terestrial/gelombang panjang/long wave radiation (LWR) yang berasal dari
permukaan bumi (Trewartha and Lyle, 1995).
2.5.2 Sumber CO2
Intergovernmental Panel on Climate Change (2006) menyatakan bahwa sumber –
sumber emisi CO2 ini sangat bervariasi, tetapi dapat digolongkan menjadi 4 (empat)
macam sebagai berikut:
1. Mobile Transportation (sumber bergerak) antara lain: kendaraan bermotor, pesawat
udara, kereta api, kapal bermotor dan penenganan/evaporasi gasoline.
2. Stationary Combustion (sumber tidak bergerak) antara lain: perumahan, daerah
perdagangan, tenaga dan pemasaran industri, termasuk tenaga uap yang digunakan
sebagai energi oleh industri.
3. Industrial Processes (proses industri) antara lain: proses kimiawi, metalurgi,
kertas dan penambangan minyak.
4. Solid Waste Disposal (pembuangan sampah) antara lain: buangan rumah tangga
dan perdagangan, buangan hasil pertambangan dan pertanian.

II-13

Universitas Sumatera Utara

Waste and
wastewater
; 2,80%
Forestry;
17,40%

Agriculture
; 13,50%

Energy
Supply;
25,90%

Transport;
13,10%

Industry;
19,40%

Residential
and
commercial
buildings;
7,90%

Gambar 2.3 Sumber Karbon Dioksida (CO2)
Sumber : IPCC, 2006
2.5.3 Dampak CO2
Ketika dihirup pada konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi karbon dioksida di
atmosfer, akan terasa asam di mulut dan menyengat di hidung dan tenggorokan. Efek ini
disebabkan oleh pelarutan gas di membran mukosa dan saliva membentuk larutan asam
karbonat yang lemah. Konsentrasi yang lebih besar dari 5.000 ppm tidak baik untuk
kesehatan sedangkan konsentrasi lebih dari 50.000 ppm dapat membahayakan
kehidupan hewan (Sehabudin, 2011).
Karbon dioksida merupakan salah satu gas penyebab efek rumah kaca (Kurdi, 2007).
Menurut Malik (2015), efek rumah kaca memegang peranan penting dalam melindungi
kelangsungan makhluk hidup di bumi. Gas karbon dioksida dan lainnya dalam kondisi
seimbang berfungsi menahan energi panas matahari yang memancarkan sinarnya ke
bumi, sehingga permukaannya selalu dalam kondisi hangat. Namun akan menjadi
bencana bila terjadi peningkatan konsentrasi gas. Peningkatan ini terjadi karena
penggunaan sumber daya fosil, penggundulan dan pembakaran hutan yang dilakukan
secara berlebihan.
Menurut Utina (2015), pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah
konsekuensi yang merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan
manusia. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
II-14

Universitas Sumatera Utara

1. Mencairnya lapisan es di kutub Utara dan Selatan. Peristiwa ini mengakibatkan
naiknya permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah
pulau-pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir
terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat air pasang yang tinggi,
dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi.
2. Meningkatnya intensitas fenomena cuaca

yang ekstrim. Perubahan iklim

menyebabkan musim sulit diprediksi. Petani tidak dapat memprediksi perkiraan
musim tanam akibat musim yang juga tidak menentu. Akibat musim tanam yang sulit
diprediksi dan musim penghujan yang tidak menentu maka musim produksi panen
juga demikian. Hal ini berdampak pada masalah penyediaan pangan bagi penduduk,
kelaparan, lapangan kerja bahkan menimbulkan kriminal akibat tekanan tuntutan
hidup.
3. Punahnya berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki batas toleransi terhadap
suhu, kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan suhu global
menyebabkan terganggunya siklus air, kelembaban udara dan berdampak pada
pertumbuhan tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas primer. Kondisi ini
pun memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna.
4. Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu
menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
5. Perubahan tekanan udara, suhu, kecepatan dan arah angin menyebabkan terjadinya
perubahan arus laut. Hal ini dapat berpegaruh pada migrasi ikan, sehingga memberi
dampak pada hasil perikanan tangkap.
6. Berubahnya habitat memungkinkan terjadinya perubahan terhadap resistensi
kehidupan larva dan masa pertumbuhan organisme tertentu, kondisi ini tidak
menutup kemungkinan adanya pertumbuhan dan resistensi organisme penyebab
penyakit tropis. Jenis-jenis larva yang berubah resistensinya terhadap perubahan
musim dapat meningkatkan penyebaran organisme ini lebih luas. Ini menimbulkan
wabah penyakit yang dianggap baru.
7. Mengancam kerusakan terumbu karang yang ada di enam negara, yaitu Indonesia,
Malaysia, Kepulauan Salomon, Papua 8 Nugini, Timor Leste, dan Philipina.
Dikhawatirkan akan dapat merusak kehidupan masyarakat lokal yang berada di
sekitarnya.
II-15

Universitas Sumatera Utara

2.6 Baku Mutu Udara Ambien
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara Pasal 1 Ayat 1 Butir 17 baku mutu udara ambien adalah ukuran
batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Nilai baku mutu
ambien untuk parameter CO2 tidak ada karena parameter ini tidak memiliki baku mutu
udara ambien. Sementara itu, nilai baku mutu udara ambien untuk CO dapat dilihat pada
Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Nilai Baku Mutu Udara Ambien untuk CO
Parameter
Karbon Monoksida (CO)

Waktu Pengukuran
1 jam
24 jam
1 tahun

Baku Mutu
30.000 µg/Nm3
10.000 µg/Nm3
-

Sumber : PP No. 41 Tahun 1999

2.7 Jenis Bahan Bakar
Bahan bakar adalah bahan yang apabila dibakar dapat meneruskan proses pembakaran
dengan sendirinya, disertai pengeluaran karbon. Sedangkan bahan bakar minyak
merupakan bahan yang berbentuk cair yang apabila dibakar dapat meneruskan proses
pembakaran dengan sendirinya, disertai pengeluaran karbon (Susanto, 2008).
Bahan bakar minyak memiliki berbagai macam jenis dan bentuk. Menurut Badan
Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (2017) bahan bakar minyak dapat digolongkan
menjadi beberapa jenis bahan bakar minyak, yaitu:
1. Avgas (Aviation Gasoline)
Bahan bakar minyak ini merupakan BBM jenis khusus yang dihasilkan dari fraksi
minyak bumi. Avgas didesain untuk bahan bakar pesawat udara dengan tipe mesin
sistem pembakaran dalam (internal combustion) dan mesin piston dengan sistem
pengapian. Perfoma BBM ini ditentukan dengan nilai octane number antara dibawah
100 dan juga diatas nilai 100. Nilai octane jenis avgas yang beredar di Indonesia
memiliki nilai 100/130.

II-16

Universitas Sumatera Utara

2. Avtur (Aviation Turbine)
Bahan bakar ini merupakan BBM jenis khusus yang dihasilkan dari fraksi minyak bumi.
Avtur didesain untuk bahan bakar pesawat udara dengan tipe mesin turbin (external
combustion). Perfoma atau nilai mutu jenis bahan bakar avtur ditentukan oleh
karakteristik kemurnian bahan bakar, model pembakaran turbin dan daya tahan struktur
pada suhu yang rendah.
3. Bensin
Jenis bahan bakar bensin merupakan nama umum untuk beberapa jenis BBM yang
diperuntukkan untuk mesin dengan pembakaran pengapian. Di Indonesia terdapat
beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda.
Nilai mutu jenis BBM bensin ini dihitung berdasarkan randon octane number (RON).
Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Premium (RON 88)
Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih.
Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan (dye). Penggunaan
premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin
bensin, seperti : mobil, sepeda motor, motor tempel dan lain-lain. Bahan bakar ini sering
disebut motor gasoline atau petrol.
b. Pertamax (RON 92)
Ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan
tinggi dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan
yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara
dengan electronic fuel injection dan catalytic converters.
c. Pertamax Plus (RON 95)
Jenis BBM ini telah memenuhi standar perfoma International World Wide Fuel Charter
(IWWFC).

Ditujukan

untuk

kendaraan

yang

berteknologi

mutakhir

yang

memprasyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan ramah lingkungan.
II-17

Universitas Sumatera Utara

Pertamax Plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi rasio
> 10,5 dan juga yang menggunakan electronic fuel injection (EFI), variabel valve
timing intelligent (VVTI), turbochargers dan catalytic converters.
4. Minyak Tanah (Kerosene)
Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah yang memiliki tiitk
didih antara 150°C dan 300°C serta tidak berwarna. Digunakan selama bertahun-tahun
sebagai alat bantu penerangan, memasak, water heating, dll. Umumya merupakan
pemakaian domestik serta usaha kecil.
5. Minyak Solar (HSD)
High Speed Diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka performa
cetane number 45. Jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin transportasi mesin
diesel yang umumnya dipakai dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump)
dan electronic injection. Jenis ini diperuntukkan ntuk jenis kendaraan bermotor
transportasi dan mesin industri.
6. Minyak Diesel (MDF)
Minyak diesel adalah hasil penyulingan minyak yang berwarna hitam yang berbentuk
cair pada temperatur rendah. Biasanya memiliki kandungan sulfur yang rendah dan
dapat diterima oleh Medium Speed Diesel Engine di sektor industri. Oleh karena itu,
diesel oil disebut juga Industrial Diesel Oil (IDO) atau Marine Diesel Fuel (MDF).
7. Minyak Bakar (MFO)
Minyak bakar bukan merupakan produk hasil destilasi tetapi hasil dari jenis residu yang
berwarna hitam. Minyak jenis ini memiliki tingkat kekentalan yang tinggi dibandingkan
minyak diesel. Pemakaian BBM jenis ini umumnya untuk pembakaran langsung pada
industri besar dan digunakan sebagai bahan bakar untuk steam power station dan
beberapa penggunaan yang dari segi ekonomi lebih murah.

II-18

Universitas Sumatera Utara

8. Biodiesel
Jenis bahan bakar ini merupakan alternatif bagi bahan bakar diesel berdasar-petrolium
dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak nabati atau hewani. Secara kimia,
bahan bakar ini merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester
dari rantai panjang asam lemak. Jenis produk yang dipasarkan saat ini merupakan
produk biodiesel dengan campuran 95% diesel petrolium dan mengandung 5% CPO
yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
9. Pertamina Dex
Bahan bakar mesin diesel modern yang telah memenuhi dan mencapai standar emisi gas
buang EURO 2 ini memiliki angka perfoma tinggi dengan cetante number 53 keatas,
memiliki kualitas tinggi dengan kandungan sulfur di bawah 300 ppm. Jenis BBM ini
direkomendasikan untuk mesin diesel teknologi injeksi terbaru (Diesel Common Rail
System) sehingga pemakaian bahan bakarnya lebih irit dan ekonomis.
2.8 Beban Emisi
Beban emisi adalah besarnya massa polutan yang dilepaskan ke udara oleh lalu lintas
sebagai sumber polusi udara dalam satuan waktu tertentu (Sengkey, dkk, 2010).
2.8.1 Beban Emisi Kendaraan
Perhitungan beban emisi untuk suatu polutan dari kendaraan bermotor pada suatu ruas
jalan dengan menggunakan Persamaan 2.1 berikut:


Keterangan:





.............................................................. (2.1)

E

= beban emisi (g/jam)

L

= panjang dari ruas jalan yang diamati (km)

V

= volume total kendaraan yang melewati suatu ruas jalan (kendaraan/jam)

Pi

= fraksi probabilitas distribusi dari kendaraan tipe i. (Jika jumlah kendaraan tiap
kategori telah didapatkan, nilai probabolitas ini tidak dibutuhkan)

Cij

= faktor emisi kendaraan (g/Km)
II-19

Universitas Sumatera Utara

2.8.2 Beban Emisi Pesawat
Ada beberapa metodologi yang bertujuan untuk memprakirakan emisi pencemar
pesawat, yaitu metodologi ICAO, EPA, EEA/EMEP, MEET, ALAQS dan SOURDINE
(Kurniawan dan Khardi, 2010). Adapun pada subbab ini akan disinggung metodologi
dari ICAO. ICAO membagi metodologinya menjadi tiga jenis, yaitu pendekatan
sederhana, pendekatan lanjutan dan pendekatan muktahir. Dua pendekatan pertama
sudah matang untuk digunakan, sedangkan pendekatan terakhir masih dalam tahap
pengerjaan dan diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut.
1.

Metodologi ICAO Pendekatan Sederhana

Pendekatan sederhana (Simple Approach) adalah pendekatan yang paling mudah.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk memprakirakan pencemar CO, NOx, HC, SO2
dan CO2. Perumusannya tidak mempertimbangkan jenis spesifik mesin, modus operasi
ataupun rentang waktu modus (Time in mode-TIM).
Emisi dari pesawat X (kg)

= ∑

................(2.2)

2. Metodologi ICAO Pendekatan Lanjutan
Pendekatan Lanjutan (Advance Approach) telah menunjukkan perbaikan dalam
pembedaan jenis pesawat, perhitungan indeks emisi, dan Time in-mode (TIM).
Pendekatan ini menawarkan hasil yang lebih akurat dibandingkan pendekatan
sederhana, namun hanya mencakup pencemar NOx, CO, dan HC.
Eij = ∑

............................................................(2.3)

Keterangan:
Eij

: Total emisi dari pencemar i (gr) yang dihasilkan peawat tipe j untuk satu kali
siklus LTO

EIjk

: Emission indices atau Indeks emisi dari pencemar i dalam gram per pencemar
per kilogram bahan bakar (g/kg bahan bakar), pada modus k (contoh : lepas
landas, mendarat, menanjak) untuk setiap mesin yang digunakan pada pesawat
tipe j
II-20

Universitas Sumatera Utara

FFjk

: Fuel flow atau kecepatan aliran bahan bakar pada modus k (kg/s) untuk setiap
mesin pada pesawat tipe j

TIMJK : Time-in-mode atau rentang waktu dalam modus untuk modus k, dalam menit,
untuk pesawat tipe j,
NEj

: Number of engines atau jumlah mesin yang digunakan pada pesawat tipe j

Pada perhitungan ini, sebagian data seperti faktor emisi dan Time in mode yang
dibutuhkan telah disediakan oleh ICAO sedangkan sebagian yang lain memerlukan data
dari bandar udara dan dokumen pabrikan pesawat terkait seperti jenis dan jumlah mesin
serta kecepatan aliran. Jenis pesawat dapat diketahui dari nomor registrasi pesawat.
Model mesin dapat diketahui dari jenis dan tahun pembuatan tersebut berdasarkan
dokumen dari pabrikan pesawat terkait, sedangkan indeks emisi dan kecepatan aliran
bahan bakar menggunakan nilai dari Emission Databank (EDB) ICAO yang dapat
diunduh di http://www.caa.co.uk/.
3. Metodologi ICAO Pendekatan Muktahir
Pendekatan muktahir (Sophisticated Approach) masih dalam tahap pengembangan dan
diharapkan dapat memberikan gambaran terbaik tentang emisi pesawat yang
sebenarnya. Pendekatan ini membutuhkan data yang lebih rinci tentang pesawat dan
operasi mesin serta penggunaan data proprietary (komersial/paten) yang tidak tersedia
untuk umum. Data yang digunakan juga akan berasal dari pengukuran real time.
Adapun metodologi perhitungan atau estimasi emisi gas rumah kaca dari transportasi
udara/penerbangan terdapat 3 (tiga) tier metodologi. Metoda Tier-1 dan Tier-2
menggunakan data konsumsi bahan bakar. Tier-1 murni berdasarkan konsumsi bahan
bakar sedangkan pada Tier-2 berdasarkan konsumsi bahan bakar dan frekuensi LTO.
Pada metodologi Tier-3 estimasi emisi memperhitungkan data pergerakan dari masingmasing pesawat terbang (KLH, 2012)

II-21

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Metodologi TIER
TIER
TIER 1

TIER 2

TIER 3A

Data Aktifitas
Konsumsi bahan bakar berdasarkan
jenis bahan bakar
Konsumsi bahan bakar dan jumlah
operasi Landing and Take off (LTO)
berdasarkan
operasi
(LTO
dan
perjalanan)
Data penerbangan aktual, rata-rata
konsumsi bahan bakar

Penerbangan lintasan penuh setiap
segmen penerbangan menggunakan
pesawat
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
TIER 3B

Faktor Emisi
Faktor emisi baku berdasarkan
jenis bahan bakar
Faktor
operasi

emisi

berdasarkan

Data emisi untuk tahap Landing
and Take off
(LTO) dan
berbagai
panjang
fase
penerbangan
Informasi kinerja aerodinaamis
mesin khusus

Adapun persamaan dari Metoda Tier tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Tier - 1
Metodologi Tier-1 menggunakan data agregat konsumsi bahan bakar (gabungan
konsumsi saat di darat dan saat terbang) dan faktor emisi per jenis bahan bakar yang
digunakan.
Emisi

= Konsumsi BB x Faktor Emisi.............................................(2.4)

Tier-1 sebaiknya hanya digunakan untuk estimasi emisi dari pesawat berbahan bakar
avgas. Tier-1 dapat digunakan untuk estimasi emisi pesawat berbahan bakar avtur bila
data operasional pesawat terbang tidak ada.
2. Tier - 2
Metodologi Tier-2 digunakan untuk estimasi GRK dari pesawat berbahan bakar avtur.
Dalam metodologi ini operasi pesawat terbagi atas landing dan take off (LTO) dan
terbang (cruise). Untuk dapat menggunakan Tier-2 data landing dan take off (LTO)
harus diketahui. Langkah-langkah perhitungan emisi GRK dengan metoda Tier-2
adalah sebagai berikut:
a. Perkirakan konsumsi bahan bakar pesawat untuk domestik dan internasional
b. Perkirakan konsumsi bahan bakar LTO untuk domestik dan internasional
c. Hitung emisi saat LTO untuk domestik dan internasional
II-22

Universitas Sumatera Utara

Konsumsi LTO

= Jumlah LTO x Konsumsi per LTO.......................................(2.5)

Emisi LTO

= Konsumsi LTO x Faktor Emisi LTO....................................(2.6)

3. Tier 3
Metodologi Tier-3 berdasarkan data pergerakan pesawat terbang. Metodologi ini terbagi
atas Tier-3A dan Tier 3B. Metode Tier 3A berdasarkan data asal dan tujuan (origin and
destination)

pesawat

sedangkan

metode

Tier-3B

berdasarkan

data

lengkap

trajektori/lintasan pesawat terbang.
2.9 Analisis Statistik
2.9.1 Regresi
Regresi merupakan suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukur ada atau tidaknya
korelasi antar variabelnya. Istilah regresi itu sendiri berarti ramalan atau taksiran.
Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan garis regresi pada data diagram pencar
disebut persamaan regresi. Secara teoritis, persamaan regresi adalah (Thalita, 2015) :
Y = a + bx .......................................................................................................................... (2.7)
Nilai koefisien a dan b dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:



















.......................................................................................................... (2.8)


....................................................................................................... (2.9)

2.9.2 Korelasi
Analisa korelasi merupakan metode statistika yang digunakan untuk menentukan
kuatnya atau derajat hubungan linier antara dua variabel atau lebih. Semakin nyata
hubungan linier (garis lurus), maka semakin kuat atau tinggi derajat hubungan garis
lurus antara kedua variabel atau lebih. Ukuran untuk derajat hubungan garis lurus ini
dinamakan koefisien korelasi (Thalita, 2015).

II-23

Universitas Sumatera Utara

Koefisien korelasi R menyatakan kekuatan hubungan antara variabel X dan Y dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini (Thalita, 2015) :

√ ∑













........................................................................................ (2.10)

Koefisien korelasi akan selalu berada dalam range -1 ≤ R ≤ +1
Bila R = 0 artinya tidak ada hubungan.
Bila R = -1 atau R = +1, artinya terdapat hubungan yang sempurna.
a. Korelasi positif kuat
Dikatakan sebagai korelasi positif kuat apabila hasil perhitungan korelasi mendekati +1
atau sama dengan +1. Hal ini menunjukkan setiap kenaikan nilai variabel X akan diikuti
dengan kenaikan nilai variabel Y dan sebaliknya.
b. Korelasi negatif kuat
Dikatakan sebagai korelasi negatif kuat apabila hasil perhitungan korelasi mendekati -1
atau sama dengan -1. Hal ini menunjukkan setiap kenaikan nilai variabel X akan diikuti
dengan penurunan nilai variabel Y dan sebaliknya.
c. Tidak Ada Korelasi
Dikatakan tidak ada korelasi jika hasil perhitungan korelasi mendekati nol atau sama
dengan nol. Hal ini menunjukkan naik turunnya nilai suatu variabel tidak mempunyai
kaitan dengan naik turunnya nilai variabel lainnya. Apabila nilai variabel X naik tidak
selalu diikuti dengan naik atau turunnya nilai variabel Y, begitu juga sebaliknya.

II-24

Universitas Sumatera Utara