Analisis Ungkapan Metaforis dalam Kolom Essai Taratarot pada Situs Berita Medanbagus.Com (Kajian Semantik)

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA.
Dalam bab ini akan diuraikan konsep, landasan teori, dan tinjauan pustaka
yang akan digunakan dalam penelitian “Analisis Ungkapan Metaforis dalam
Kolom Essai Taratarot pada Situs Berita Medanbagus.Com (Kajian Semantik)”.
2.1 Konsep
2.1.1 Metafora
Lakoff dan Johnson (dalam Mulyadi, 2010:19), metafora adalah
mekanisme kognitif dalam memahami satu ranah pengalam berdasarkan struktur
konseptual dari ranah pengalaman lain yang bertalian secara sistematis. Lakoff
(dalam Siregar, 2005:3) mengajukan hipotesis bahwa metafora-metafora
menayangkan peta kognitif dari satu ranah sumber (wahana) kepada satu ranah
sasaran. Lakoff (dalam Hasibuan, 2005), metafora adalah ungkapan kebahasaan
yang merupakan kemampuan linguistik dan didukung oleh pengetahuan khusus
seseorang yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang,
karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan
tersebut.
Metafora dianggap unsur penting dalam pengkategorisasian duniawi dan
proses berpikir manusia, yaitu sebagai gejala yang meresap terhadap bahasa dan
pikiran.


Paradigma

kognitif

melihat

metafora

sebagai

alat

untuk

mengonseptualisasikan ranah-ranah pengalaman yang abstrak ke dalam ranah
yang konkrit. Selain itu, metafora merupakan jenis konseptualisasi pengalaman

Universitas Sumatera Utara

manusia, yang tidak pernah luput dari setiap penggunaan bahasa alamiah (Silalahi,

2005:1).
2.1.2

Metafora Konseptual

Metafora konseptual adalah segala sesuatu yang dilihat dan dirasakan
dalam kehidupan sehari-hari, direalisasikan secara kognitif melalui bahasa. Lakoff
(dalam

Nirmala,

2012:4),

metafora

konseptual

merupakan

proses


pemahaman/penyusunan bentuk yang abstrak melalui hubungannya dengan
bentuk yang konkrit atau mekanisme kognitif sehingga seseorang dapat
memandang/menghubungkan suatu jenis benda sebagai benda lain.
2.1.3

Wacana

Ada beberapa pengertian wacana. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia,Alwi mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang
bertautan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.
Sementara itu, Kridaklaksana dalam Kamus Linguistik mengemukakan, wacana
adalah satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal bahasa tertinggi atau terbesar (Zaimar & Harahap, 2009:11).
Zaimar & Harahap menggunakan istilah wacana untuk satuan bahasa yang
komunikatif, yaitu satuan bahasa yang sedang menjalankan fungsinya. Ini berarti
bahwa wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan bersifat otonom, dapat
berdiri sendiri. Berkat dukungan situasi komunikasinya, ia dapat dipahami,
meskipun tidak satu kalimat yang lengkap. Dengan demikian pemahaman wacana
haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal itu mempengaruhi


Universitas Sumatera Utara

makna wacana. Pada umumnya, wacana tersusun dalam suatu struktur yang jelas.
Wacana tidak mepunyai bentuk yang pasti, dapat terdiri dari kata kerja, satu
kalimat, satu paragraf, satu artikel, satu buku, juga dapat terdiri dari beberapa
buku, bahkan juga satu bidang ilmu misalnya wacana sastra, wacana politik, dan
lain-lain (Zaimar & Harahap, 2009:11-12).
2.1.4

Teks

Brown & Yule (dalam Zaimar & Harahap 2009:14) menyatakan bahwa
“teks” adalah realisasi wacana mereka menganggap teks sebagai rekaman verbal
suatu tindakan komunikasi. Selain itu, dapat dikatakan bahwa kata teks berasal
dari kata tekstur, yang berarti anyanman atau jalinan. Bagian-bagian teks memang
mempunyai hubungan makna satu sama lain, sehingga teks merupakan anyaman
atau jalinan unsur-unsurnya.
Dalam bukunya Cohesion in English(1976), Halliday & Hassan (dalam
Zaimar & Harahap 2009:15) menyatakan teks adalah suatu satuan bahasa dalam

penggunaanya. Teks bukanlah suatu satuan gramatikal, seperti suatu klausa atau
kalimat, dan teks tidak ditentukan oleh ukuran panjangnya. Kadang-kadang teks
dianggap sebagai sejenis kalimat super, suatu satuan gramatikal yang lebih besar
dari kalimat, tetapi mempunyai hubungan dengan kalimat, seperti suatu kalimat
berhubungan dengan klausa, klausa dengan frasa, demikian seterusnya; jadi
berupa hubungan konstituen, yaitu hubungan antara satuan yang lebih besar
dengan satuan yang lebih kecil.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori
2.2.1 Metafora Konseptual
Dalam penelitian ini diterapkan teori metafora konseptual. Lakoff (1987)
memperkenalkan metafora konseptual yang berpandangan bahwa kognisi
merupakan hasil dari konstruksi mental, dan metafora adalah penyamaan yang
bersifat lintas ranah konseptual di dalam sistem konseptual yang memiliki hakikat
dan struktur metafora. Metafora bukanlah perilaku bahasa saja tetapi juga
persoalan pikiran karena pada prinsipnya penalaran abstrak merupakan kasus
khusus penalaran berdasarkan atas citra. Penalaran berdasarkan citra bersifat asasi
dan penalaran metaforis abstrak.

Lakoff (dalam Purba, 2016:9) mengatakan bahwa setiap konsep dari ranah
sumber mengacu pada makna ekspresi literal dan dapat dipakai untuk
mendeskripsikan konsep pada ranah sasaran tentang kalimat tersebut. Maka,
metafora konseptual adalah pemetaan konseptual di antara dua ranah. Pemetaan
bersifat asimetris, yaitu struktur konseptual tertuju pada ranah sasaran, bukan pada
ranah sumber. Metafora dianggap sebagai bagian terpadu dari bahasa dan pikiran
dalam dunia nyata.
Lakoff dan Johnson (dalam Purba, 2016:9) menyatakan bahwa metafora
yang meresap dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam bahasa tetapi
dalam pikiran dan tindakan. Metafora diperoleh dan dimengerti secara kognitif
oleh

manusia berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari yang diungkapkan

melalui bahasa mereka. Cara seseorang berpikir dan bertindak sehari-hari
sebenarnya bersifat metaforis.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya, Lakoff dan Johnson (dalam Purba, 2016:9) berpendapat

bahwa inti dari metafora adalah memahami dan mengalami salah satu jenis hal
dalam hal lain. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa sesorang
dapat memahami sesuatu hal melalui proses pemahamannya akan hal lain yang
telah dikenal dan dipahami sebelummya dari pengalamannya sehari-hari.
Metafora mengorganisasi hubungan antar objek dan menciptakan
pemahaman mengenai objek tertentu melalui pemahaman mengenai objek lain.
Dengan kata lain, ranah sumber digunakan manusia untuk memahami konsep
abstrak dalam ranah sasaran.

Sebagai contoh, DESIRE IS FIRE (HASRAT

ADALAH API) menurut Lakoff dan Johnson (1980), penggunaan huruf kapital
dimaksudkanuntuk menunjukkan ranah sumber dan ranah sasaran. Konsep
DESIRE (HASRAT) merupakan ranah sasaran atau topik dan FIRE (API) sebagai
vehicle atau ranah sumber. Jadi, dapat dipahami bahwa DESIRE (HASRAT)
memiliki ciri dan sifat seperti API, yaitu, panas, bergelora, dan membakar.Jika
seseorang memiliki hasrat berarti dalam dirinya terdapat suasana hati yang
menggelora.
Terdapat sejumlah penjenisan dalam kajian metafora konseptual, seperti
metafora orientasional, metafora ontologikal, metafora struktural serta metafora

dan infrensi. Keempat jenis metafora konseptual tersebut diekspresikan melalui
bahasa.
2.2.1.1 Metafora Orientasional
Sebutan metafora orientasional ada kalanya diidentikkan dengan
metafora yang bersifat spasial, baik yang menggambarkan ruang ataupun

Universitas Sumatera Utara

jarak. Dalam metafora yang tergolong ke dalam kelompok orientasional
atau spasial, metaforanya berorientasi kepada dikotomi NAIK – TURUN,
yang masing-masing dimaknai sebagai ‘kemaslahatan, keberuntungan,
kebaikan’ apabila NAIK atau mengarah ke atas, dan ‘kemudaratan,
kerugian, keburukan’ apabila TURUN atau mengarah ke bawah. Metafora
semacam ini, oleh Lakoff, dkk. (dalam Hasibuan, 2005:3), disebut sebagai
penggambaran pengalaman manusia yang melihat raganya dapat berdiri
tegak atau tergeletak – yang dihubungkan dengan hal, seperti kondisi
kesadaran, kesehatan, nasib, ataupun kekuatan seseorang. Dalam hal yang
menyangkut keberuntungan, misalnya, pada bahasa Mandailing dikenal
adanya metafora yang menggunakan kata naek ‘naik’; seperti terdapat
pada contoh berikut ini.

(01)

Mur naek godang nia.
‘Dia bertambah besar (gemuk)’.

Metafora dengan menggunakan kata naek pada (01) di atas dapat
dipandang sebagai metafora yang mengisyaratkan keberuntungan.
Dalam hubungan ini, metafora (01) mengungkapkan maksud
penuturnya yang melihat seseorang beranjak dewasa yang ditandai
dengan peningkatan ukuran tubuh atau berat tubuh orang yang
dimaksudkannya.

Selain

itu,

metafora

(01)


dapat

juga

diinterpretasikan bahwa penutur melihat seseorang (nia ‘dia’) yang
semakin gemuk. Dalam hubungan ini, keadaan gemuk dapat juga
diasosiasikan dengan keberuntungan; misalnya karena kebutuhan
konsumtifnya telah terpenuhi atau beban fikiran yang semakin

Universitas Sumatera Utara

berkurang, sehingga dapatberdampak pada ‘naiknya timbangan’
(obisitas) seseorang (dalam Hasibuan, 2005:3).

2.2.1.2 Metafora Ontologikal
Dengan merujuk kepada Lakoff dan Johnson 1980 (dalam
Hasibuan,

2005:4)


diperoleh

pemahaman

bahwa

metafora

ontologikal adalah metafora yang di dalamnya fenomena nonfisik
dalam pengalaman manusia digambarkan sebagaimana halnya
memandang fenomena fisik yang konkret. Oleh Lakoff dan
Johnson, lebih lanjut, dijelaskan sekemanya seperti hubungan
antara isi (substances) dan wadah (container). Dalam hubungan
ini, menurut Lakoff dan Johnson, wadah yang dimaksud dapat
berupa

bidang

visual,

aktivitas,

dan

keadaan.

Hasibuan

mencontohkanmetafora ontologikal bidang visual sebagai wadah
dalam artikelnya melalui sejumlah kalimat dalam data bahasa
Mandailing, seperti terdapat pada (01a-c), berikut ini.
(01)

a. Inda masuk tu roha nia na ipardok i.
‘Apa yang dikatakan tidak masuk ke pikirannya’.
b. Mangincaki halak inda adong di rohana.
‘Mencaci orang tidak ada dalam hatinya’.
c. Na sian roha nia do baenon nia.
‘Yang dari hatinya yang dilakukannya’.

Universitas Sumatera Utara

Metafora ontologikal yang wadahnya berupa aktivitas,
Hasibuan dalam artikelnya memberikan contoh (02a-c), sebagai
berikut:
(02)

a. Haroro nia mangayaon tu karejo.
‘Kedatangannya mengganggu kerja’.
b. Sian mangan tu na minum santongkin do i.
‘Dari makan ke minum hanya sebentar saja.
c. Painte torus tu haruar ni danak sikola.
‘Tunggu sampai keluarnya anak sekolah’.

Metafora ontologikal yang wadahnya berupa keadaan,
Hasibuan dalam artikelnya memberikan contoh (03a-c), sebagai
berikut:
(03)

a. Mur tu miskinna do ia sannari.

‘Sekarang dia semakin miskin’.
b. Rap tu padena halahi marroha.
‘Mereka berpikir kearah yang lebih baik’.
c. Monjap hami di potpot ni kobun i.
‘Kami bersembunyi di semak kebun itu’.
2.2.1.3 Metafora Struktural
Pada metafora struktural terdapat kemipiran atau kesamaan
sistem. Dengan demikian dapat diidentifikasi bahwa pada metafora
struktural ditemukan adanya kemiripan struktur atau sistem. Dalam

Universitas Sumatera Utara

artikelnya, Hasibuan memberikan contoh data dalam bahasa
Mandailing yaitu JOLMA songon BINATANG ‘manusia sebagai
binatang’. Dalam hubungan ini jolma dikonseptualisasikan sebagai
binatang. Binatang merupakan hipernim dari berbagai sebutan
untuk hewan yang berbeda dengan karakteristiknya masingmasing. Sebagai hipernim binatang masih memiliki hiponim,
seperti babiat ‘harimau’, bodat ‘monyet’, babi ‘babi’. Oleh karena
ketiga kata terakhir tersebut merupakan hiponim dari kata
binatang, dalam struktur metafora ini, masih dapat sebenarnya
ditemukan metafora berstruktur sama yang dapat dipandang
sebagai subnya; yaitu JOLMA songon BABIAT, JOLMA songon
BODAT, dan JOLMA songon BABI. Pilihan di antara ketiganya,
di samping konteks, amat ditentukan oleh faktor kesamaan sifat
atau karakteristik antara masing-masing jenis hewan yang
disebutkan dengan jolma tertentu. Pada JOLMA songon BABIAT,
terdapat

pemersepsian

jolma

sebagai

babiat,

atau

babiat

dipersepsikan kepada jolma. Hal demikian dapat terjadi, apabila
jolma tertentu, menurut pandangan penutur, sifat atau karakteristik
yang terdapat pada babiat, di antaranya: 1) kuat, 2) garang, 3)
membahayakan, 4) menakutkan, 5) kuat makan, ditemukan pada
diri jolma yang dimaksudkannya, seperti terdapat pada contoh
berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

Ulang ko ke tu bagas ni halahi an, babiat do aya nia.
‘Kau janan pergi ke rumah orang itu, ayahnya itu harimau’.

Pada contoh di atas terdapat larangan penutur agar orang
tidak dengan mudah pergi begitu saja ke rumah orang yang
dianggapnya memiliki sifat, seperti harimau, yang disebut di atas.
Artinya, penutur telah mempersepsikan orang yang dimaksudkan
jangan didatangi pada contoh itu sebagai harimau karena yang
bersangkutan memiliki sifat-sifat yang disebutkan. Hal ini juga
berarti bahwa penutur telah memetakan sifat-sifat harimau kepada
manusia yang dimaksudkannya (Hasibuan, 2005:5).
2.2.1.4 Metafora dan Inferensi
Inferensiialah kesimpulan yang dapat digambarkan dari
satu kalimat atau ujaran (Kridalaksana 1987). Adakalanya
penganalisis wacana, seperti pendengar, tidak dapat langsung
memahami arti yang dimaksudkan penutur ketika mengucapkan
ujaran. Sering ia harus mengandalkan usaha menarik kesimpulan
untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antarujaran.
Inferensi-inferensi seperti itu ternyata bermacam-macam. Mungkin
kita dapat menarik kesimpulan tertentu melalui inferensi deduktif
atau bentuk inferensi yang agak longgar. Inferensi ditentukan oleh
unsur konteks, diambil dengan mempertimbangkan fisik, ontologis
dan psikologis. Jadi, metafora inferensi dapat disebutkan sebagai
ungkapan sesuatu yang merupakan kesimpulan dari objek lain

Universitas Sumatera Utara

terhadap sesuatu yang lain, dengan maksud yang sama. Metafora
melibatkan konseptualisasi pengalaman, pengetahuan abstrak,
sedangkan inferensi diperlukan untuk mengetahui penggunan
konsep itu. Metafora cenderung mengisyaratkan kata atau
ungkapan, tetapi dapat juga terjadi metafora yang sama ditafsirkan
berbeda. Makna inferensi metafora harus ditentukan oleh unsur
konteks dengan mempertimbangkan unsur fisik, ontologis,
psikologis, dan lain-lain.
Contoh: Waktu adalah uang
Salah

satu

inferensi

yang

dapat

diambil

dengan

mempertimbangkan unsur-unsur ini adalah gunakan waktu sebaikbaiknya. (Silalahi 2005:4)
2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang semantik yang relevan sebagai acuan dalam penelitian
saya adalah sebagai berikut:
Silalahi (2005), dengan judul artikel “Metafora dalam Bahasa Batak
Toba”, menggunakan teori metafora konseptual. Pendekatan yang dianut adalah
pendekatan semantik kognitif, yang menganggap bahwa makna bahasa
merupakan bagian dari persoalan mental. Metafora dianggap unsur penting dalam
pengkategorisasian duniawi dan proses berpikir manusia, yaitu sebagai gejala
yang merembesi bahasa dan pikiran. Metafora dianggap sebagai jenis
konseptualisasi pengalaman manusia, yang tidak pernah luput dari setiap
penggunaan bahasa alamiah. Metafora tidak dipahami sebagai pelanggaran

Universitas Sumatera Utara

penutur terhadap kaidah kompetensi bahasa, sebaliknya paradigma kognitif
melihat metafora sebagai alat untuk mengkonseptualisasikan ranah-ranah
pengalaman yang abstrak dan tidak teraba ke dalam ranah yang kongkret dan
akrab. Dalam penelitiannya, yang diteliti adalah metafora konseptual, metafora
orientasional, metafora ontologikal, metafora dan inferensi. Metafora konseptual
bahasa Batak Toba dijumpai dalam bentuk kata, misalnya, metafora konseptual
kata sebagai benda, cairan, hewan, makanan, manusia, perjalanan, senjata,
tumbuhan,dan lain-lain.
Penelitian Silalahi memberi banyak masukan dari segi teori dan cara
menganalisis metafora. Terutama masukkan dalam pembagian metafora
konseptual dan penerapan teorinya. Dalam penelitian ini, peneliti memasukkan
metafora struktural ke dalam bagian metafora konseptual, berbeda dengan Silalahi
yang tidak memasukkan metafora struktural ke dalam bagian metafora konseptual.
Hal ini yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Silalahi.
Hasibuan (2005), dalam artikelnya yang berjudul “Metafora dan Metonimi
Konseptual (Data Bahasa Mandailing)”, menganalisis jenis-jenis daripada
metafora konseptual, yakni: metafora orientasional, metafora ontologikal dan
metafora struktural. Selain itu, dia juga menjelaskan keterkaitan antara metafora
dengan inferensi, dan jenis dari metonimi konseptual, yakni metonimi
proposisional dan metonimi referensial. Teori yang digunakannya adalah teori
Metafora Konseptual. Teori ini dipakai untuk memaparkan bentuk metafora
berorientasi NAIK-TURUN dalam Bahasa Mandailing, yaitu mempersepsikan
sesuatu kemaslahatan atau kebaikan apabila dikategorikan NAIK, dan sebaliknya,

Universitas Sumatera Utara

sesuatu itu merupakan kemudaratan atau keburukan apabila dikategorikan
TURUN. Dari hasil penelitiannya ditunjukkan bahwa dalam bahasa Mandailing
tidak semua yang menunjukkan arah NAIK atau tinggi itu dipersepsi secara
positif, dan demikian juga sebaliknya, tidak semua yang menunjukkan arah
TURUN atau di bawah itu dipersepsi secara negatif.
Data penelitiannya dianalisis dengan dua cara, yakni yang pertama:
bersifat leksikal, dengan liputan: kata dasar dan derivasinya, kata ulang, kata
majemuk, dan idiom. Kedua: berupa frasa dan kalimat. Untuk perolehan data yang
bersifat leksikal, kamus menjadi sumbernya dan perolehan data berupa frasa dan
kalimat bersumber dari buku bacaan berbahasa daerah Mandailing. Sebagai data
tambahan, digunakan data lisan yang berasal dari penutur bahasa Mandailing. Dia
menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa dalam bahasa Mandailing, oleh
masyarakatnya, hal yang menunjukkan NAIK atau tinggi di atas, tidak selalu
dipersepsi sebagai sesuatu yang bersifat positif (seperti: na gincat roha ‘orang
sombong’; na gincat angan-angan ‘orang pelamun’; gincat rasoki ‘tidak bernasib
mujur’, dan sebagainya). Sebaliknya, mereka mempersepsi sesuatu yang TURUN
atau di bawah (dan dapat dijangkau itu) sebagai sesuatuyang bersifat positif
(seperti: na toruk roha ‘orang ramah’; rondo rasoki ‘bernasib mujur’). Bentuk
metafora dalam bahasa Mandailing bersifat divisibel. Hubungan antara komponen
yang membentuk struktur sintagmatis metafora tidak tetap dan kaku. Artinya, di
antara komponen yang membentuk ungkapan metaforis masih dapat disisipi oleh
unsur lain.
Penelitian Hasibuan sangat banyak memberikan masukan dalam penilitian
ini, masukan berupa teori, serta teknik analisis, dan penerapan data.

Universitas Sumatera Utara

Dalampenelitian ini, peneliti memasukkan metafora dan inferensi kedalam bagian
metafora konseptual, berbeda dengan Hasibuan yang tidak memasukkan metafora
dan inferensi kedalam bagian metafora konseptual. Hal ini yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hasibuan.
Siregar (2010), dalam artikelnya yang berjudul “Emosi dan Kebudayaan
dalam Metafora”, membahas tentang metafora mengonseptualisasikan emosi serta
perannya. Teori yang digunakannya adalah linguistik kognitif, teori ini dipakai
untuk

menganalisis

persoalan

gagasan,

pikiran

dan

perasaan.

Ini

dikonseptualisasikan dan diungkapkan ke dalam bahasa. Untuk menganalisis data,
dia mengaitkan dengan skenario prototipikal emosi menurut Konvecses, yang
memperkenalkan tentang skenario MARAH.
Hasil penelitian Siregar menyatakan bahwa bahasa adalah refleksi
kebudayaan. Penutur bahasa melakukan tindak ujaran yang merefleksikan nilai
dan

keyakinan dalam kebudayaan karena menurutnya, kebudayaan

mempengaruhi bahasa dan bahasa berperan dalam membentuk kebudayaan.
Kebudayaan dalam metafora meliputi wujud waktu, ruang, proses mental, emosi,
nilai moral, pranata sosial dan politik. Adapun kontribusi Siregar dari
penelitiannya, berupa bagaimana teknik penerapan dan analisis data, sangat
membantu

peneliti

dalam

penelitiannya.

Penelitian

ini

berfokus

pada

pengelompokan dari jenis metafora konseptual, yang terbagi ke dalam empat
jenis, metafora orientasional, metafora ontologikal, metafora struktural, serta
metafora dan inferensi.

Universitas Sumatera Utara

Nirmala (2012), dalam artikelnya yang berjudul “Korespondensi
Konseptual antara Ranah sumber dan Ranah Target dalam Ungkapan Metaforis di
suratPembaca Harian Suara Merdeka”, membahas tentang hubungan kesamaan
sifat, ciri, kekuatan antara ranah sumber dan target, dan hubungan atau
korespondensi, karena pengalaman yang dirasakan oleh tubuh. Teori metafora
yang dijadikan dasar analisis data dalam penelitannya, adalah teori metafora.
Penyediaan datanya dilakukan dengan metode simak bebas libat cakap dan
dilanjutkan dengan teknik catat. Selain itu, metode intuisi juga digunakannya
sebagai pendamping penyediaan data.
Hasil kajian Nirmala dari teoretis dan analisis data dapat dipresentasikan
proses kognitif dan dapat ditunjukkan melalui hubungan atau korespondensi yang
terjadi antara ranah sumber dan ranah target yang terdapat dalam ungkapan
metaforisyang ada di surat pembaca harian Suara Merdeka. Proses kognitif yang
terjadi

dalam

menghasilkan

ungkapan

metaforis

adalah

dengan

mengonseptualisasikan kesamaan sifat, ciri, dan kekuatan yang dimiliki sumber
dengan yang dimiliki target, dengan tujuan untuk menggambarkan kejadian atau
pengalaman yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh penulis surat pembaca
tentang segala yang terjadi di masyarakat. Strategi yang digunakannya untuk
mengonseptualisasikan adalah dengan strategi asosiatif.
Penelitian Nirmala banyak membantu dalam menganalisis data yang
berupa tulisan di surat kabar. Penelitian ini berfokus pada pengelompokan dari
jenis metafora konseptual, yang terbagi ke dalam empat jenis menjadi, metafora
orientasional, metafora ontologikal, metafora struktural, serta metafora dan
inferensi.

Universitas Sumatera Utara

Sari (2012), dengan judul skripsi “Metafora dalam Pidato Charles De
Gaulle pada Perang Dunia II”, menggunakan teori metafora konseptual. Metode
penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan semantik kognitif
dan mengutamakan penghayatan terhadap objek penelitian yang sedang dikaji
secara empiris. Semua ungkapan metaforis dianalisis dengan menggunakan
pendekatan kognitif menurut Lakoff dan Jhonson (1980) dengan tahapan analisis
setelah data terkumpul adalah 1) Mencari ranah sumber. 2) Menyusun data ke
dalam kategori penamaan metafora. 3) Mendeskripsikan antara ranah sasaran dan
ranah sumber. 4) Dalam memerikan hubungan antara ranah sasaran dan ranah
sumber, maka tiap data langsung dijelaskan. 5) Menyimpulkan hasil analisis data.
Dalam analisisnya terhadap Pidato Charles De Gaulle pada Perang Dunia
II,

Sari menyimpulkan bahwa terdapat delapan kategori metafora yaitu

PERJUANGAN adalah PERJALANAN, SEMANGAT PERSATUAN adalah
API,

KEBEBASAN

adalah

KOMODITAS

NEGARA/KEMENANGAN

adalah

ORANG,

PERTUNJUKAN,

adalah

BANGUNAN,

NEGARA

BERHARGA,

PERANG

adalah

HARAPAN

adalah

CAHAYA, PENJAJAHAN adalah KEGELAPAN/PENJARA. Penelitian Sari
memberi banyak masukan dari segi caramenganalisis metafora.Penelitian ini
berfokus pada pengelompokan dari jenis metafora konseptual, yang terbagi ke
dalam empat jenis, metafora orientasional, metafora ontologikal, metafora
struktural, serta metafora dan inferensi.

Universitas Sumatera Utara