Peranan Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam Pengembangan Usaha Kecil di Kabupaten Simeulue

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
2.1.1. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
2.1.1.1. Lembaga Keuangan
Menurut SK Menteri Keuangan RI No. 792 Tahun 1990 dalam Soemitra
(2009:27), “lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya bidang
keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat
terutama guna membiayai investasi perusahaan”. Meski dalam peraturan tersebut
lembaga keuangan di utamakan untuk membiayai investasi perusahaan, namun
tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga keuangan.
Secara umum lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang kegiatan
usahanya berkaitan dengan bidang keuangan. Kegiatan usaha tersebut dapat
berupa penghimpunan dana dengan menawarkan berbagai skema, atau melakukan
kegiatan menghimpun dana menyalurkan dana sekaligus, dimana kegiatan usaha
lembaga keuangan diperuntukan bagi investasi perusahaan, kegiatan konsumsi,
dan kegiatan distribusi barang dan jasa. Sesuai dengan sistem keuangan yang ada,
maka dalam operasionalnya lembaga keuangan dapat berbentuk lembaga
keuangan konvensional dan lembaga keuangan syari’ah.


2.1.1.2. Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro adalah upaya penyedia jasa keuangan, terutama
simpanan dan kredit, dan juga jasa keuangan lain yang diperuntukkan bagi

10

keluarga miskin dan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses terhadap
bank komersial.
Menurut Arsyad (2008:23) “Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah
lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat
berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, dan informal yang tidak
terlayani oleh lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk tujuan
bisnis”. Dengan demikian LKM berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan
berbagai jasa pinjaman, baik untuk kegiatan produktif yang dilakukan usaha
mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin. Sebagai
lembaga simpanan, LKM dapat menghimpun dana yang dijadikan prasyarat bagi
adanya kredit walaupun pada akhirnya sering kali jumlah kredit yang diberikan
lebih besar dari dana yang berhasil dihimpun.
2.1.1.3. Lembaga Keuangan Syari’ah
Lembaga Keuangan Syariah adalah badan usaha yang kekayaan utamanya

berbentuk aset keuangan, memberikan kredit dan menanamkan danya dalam surat
berharga. Serta menawarkan jasa keuangan lain seperti : simpanan, asuransi,
investasi, pembiayaan, dll. Berdasarkan prinsip syariah dan tidak menyalahi
dewasn syariah nasional. (http://www.lembaga keuangan syari’ah).
Menurut Arifin (2006:11) untuk menyesuaikan dengan aturan-aturan dan
norma-norma Islam yang harus diterapkan dalam perilaku investasi lembaga
keuangan syari’ah dalam menjalankan kegiatan usahanya antara lain :
1) Prinsip Operasional Lembaga Keuangan Syari’ah
a. Prinsip At Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di
antara anggota masyarakat untuk kebaikan. Seperti disebutkan dalam

11

firmal Allah SWT, dalam surat Al-Maidah ayat 2 : “….dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya”. (Depag RI, 2005 : 35).
b. Prinsip menghindari Al-Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan
membiarkannya menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang
bermanfaat bagi masyarakat umum. Seperti disebutkan dalam firman

Allah SWT, dalam surat An Nisa’ ayat 2 : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang BErlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Depag RI, 2005 : 84)
2) Prinsip-Prinsip Pembiayaan yang dianut Lembaga Keuangan Syari’ah
a. Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba).
b. Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem
nilai Islam (haram)
c. Penghindaran aktifitas ekonomi yang melibatkan maysir (judi) dan
gharar (ketidakpastian). (Lewis, 2001 : 48)
3) Bentuk-bentuk lembaga keuangan Syari’ah antara lain :
a. Lembaga Pengelola Zakat (BAZ dan LAZ)
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat. Dalam peraturan perundang-undangan di atas, diakui
adanya dua jenis organisasi pengelolaan zakat yaitu :

12

1) Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk
oleh pemerintah.

2) Lembaga Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang
sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat, dan dikukuhkan oleh
pemerintah. (Gustian, 2006 : 3-4)
Pasal 1 butir 2, Zakat adalah “harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya”. Pengelolaan zakat adalah suatu kegiatan perencanaan,
perorganisasian, pelaksanaan, pengawasan terhadap pengumpulan, dan
pendistribusian, serta pendayagunaan zakat (Sari, 2006 : 45).
Bagian yang tak terpisahkan dari penglolaan zakat adalah muzaki dan
harta yang di zakati, mustahik dan amil. Berdasarkan pasal 4, pengelolaan
zakat berasaskan iman dan taqwa dan kepastian hukum sesuai dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan pengelolaan zakat adalah
sebagai berikut :
a) Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.
b) Meningkatkan fungsi dan peranan pranata kegiatan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
c) Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. (Gustian, 2006:3)
Pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil yang dibentuk oleh
pemerintah yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga.
Pengmpulan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat dengan cara yang

menerima atau mengambil dari muzaki atas dasar pemberitahuan muzaki.

13

b. Lembaga Pengelola Wakaf
Menurut Depag RI (2006 : 1) “Wakaf

adalah menahan harta untuk

diwakafkan, tidak dipindah milikkan”. Sesuai dengan Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 badan wakaf sebagai lembaga independen untuk mengembangkan
perwakafan di Indonesia. Menurut Soemitra (2009 : 36) “peningkatan peran
wakaf sebagai pranata keagamaan tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai
sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi
antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan
pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah”.
Badan wakaf bertugas untuk selalu melakukan kerjasama dalam
memeriksa tujuan peraturan dan program. Disamping itu badan wakaf juga
bertugas untuk mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian (wakaf) serta
semua kegiatan perwakafan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Badan

wakaf juga untuk menguasai pengelolaan wakaf dan mempunyai wewenang untuk
membelanjakan dengan sebaik-baiknya :
1) Melaksanakan ketetapkan-ketetapan badan wakaf
2) Menginformasikan kegiatan badan wakaf dengan disertai peraturan
perundang-undangan yang menguatkannya.
3) Mendistribusikan hasil (wakaf) setiap bulan dengan diikuti kegiatan di
cabang.
4) Membuat perencanaan dan melakukan evaluasi akhir
5) Membuat laporan dan menginformasikan laporan tersebut kepada
masyarakat.

14

Adapun harta benda yang dikelola badan wakaf terdiri dari :
1) Harta yang dikhususkan pemerintah untuk anggaran umum
2) Barang yang menjadi jaminan hutang
3) Hibah, wasiat, dan sedekah
4) Dokumen, uang/harta yang harus dibelanjakan dan segala sesuatu yang
sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai Qanun No. 7 Tahun 1970.
5) Benda lain yang berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan harta

wakaf (Depag RI, 2006 : 101).
c. BMT/UJKS
UJKS adalah Unit Jasa Keuangan Syari’ah pada koperasi syari’ah adalah
unit koperasi yang bergerak di bidang usaha pembiayaan, investasi, simpanan
dengan pola bagi hasil (syari’ah) sebagai bagian dari kegiatan koperasi yang
bersangkutan (Fatwa MUI, 2011).
BMT adalah kependekan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul
Mal wat Tamwil yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi
berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Menurut Muhammad (2000

: 113)

BMT/UJKS sesuai namanya terdiri atas dua fungsi, yaitu :
1) Baitul

MAL

adalah

lembaga


yang

kegiatannya

menerima

dan

menyalurkan dana zakat, infak dan sadaqah.
2) Baitul Tamwil adalah lembaga yang kegiatannya mengembangkan usahausaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas usaha ekonomi
penguasaha kecil bawah dan mikro dengan antara lain mendorong
kegiatan menabung dan pembiayaan usaha ekonomi.

15

Yunus (2009 : 9) mengatakan “lembaga keuangan syari’ah dengan sistem
bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung resiko
usaha dan berbagai hasil usaha antara pemilik modal (rabul mal) yang
menyimpang uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudharib),

dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa bersetatus pinjaman dana atau
pengelolaan usaha”.
Berdasarkan bentuknya, secara umum LKM dibagi menjadi tiga yaitu : (1)
lembaga formal seperti bank desa dan koperasi, (2) lembaga semi formal misalnya
organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal, misalnya pelepas uang.
Sementara itu LKM di Indonesia menjadi 4 golongan besar, yaitu (1) LKM formal,
baik bank maupun non bank, (2) LKM non formal, baik berbadan hukum ataupun
tidak, (3) LKM yang dibentuk melalui program pemerintah dan (4) LKM informal
seperti rentenir ataupun arisan. Adapun BI hanya membagi LKM menjadi 2 kategori
saja yaitu LKM yang berwujud bank dan non bank. Sedangkan lembaga-lembaga
keuangan non bank terdiri dari lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang simpan
pinjam, pegadaian, asuransi, pegadaian syari’ah, lembaga zakat, pasar modal syari’ah.
(Yunus, 2009:46).
Lembaga keuangan non bankk walauapun tidak memiliki cara-cara
pehimpunan dana yang selengkap bank, namun pada pokoknya lembaga keuangan
non bank mempunyai kegiatan utama yang tidak jauh berbedan dengan bank,
karena secara umum kegiatan utama lembaga keuangan non bank adalah
penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada
masyarakat. Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syari’ah adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu

16

lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syari’ah (Susilo, 2000 : 31).
Mengacu pada pengertian bank syari’ah tersebut maka yang dimaksud
dengan lembaga keuangan mikro syari’ah adalah lembaga keuangan mikro yang
dalam

operasionalnya

berdasarkan

syari’ah.

Adapun

prinsip

operasinya


didasarkan atas prinsip bagi hasil, jual-beli, sewa (ijarah), dan titipan (wad’iah).
1. Prinsip Bagi Hasil
Tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelolaan
dana. Pembangian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan
dana maupun dengan nasabah penerima dana.
2. Prinsip Jual Beli
Prinsip jual beli adalah sistem yang menetapkan tata cara jual beli dimana
bank membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan masyarakat/nasabah,
kemudian bank menjual kepada nasabah tersebut dengan jumlah harga beli
ditambah keuntungan (margin/markup).
3. Prinsip Sewa (Ijarah)
Ijarah merupakan hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan
membauar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, ijarah
adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
4. Prinsip Fee (jasa)
Prinsip fee (jasa) melayani seluruh layanan yang dapat diberikan bank.
Sistem operasionalnya menggunakan syari’ah islam, hanya produk dan

17

menajemennya sedikit berbeda dengan industri perbankan. Lembaga tersebut:
meliputi asuransi syari’ah, reksadana syari’ah serta Baitul Mal Wa Tamwil. Di
antara lembaga tersebut yang terkait langsung dengan upaya pengentasan
kemiskinan dalam Baitul Mal Wa Tamwil (Ridwan, 2004 : 72)
Peran BMT/UJKS dalam menumbuh kembangkan usah amikro dan kecil
di lingkungan merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan
nasional.
Kehadiran LKMS memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam
perkembangan ekonomi global ditengah-tengah masyarakat terutama terhadap
pengusaha kecil. Hal ini dapat dilihat perkembangan LKMS dari tahun ke tahun
bertambah banyak. Setidak-tidaknya ada dua hal yang dapat memberikan
kontribusi terhadap perkembangan usaha kecil oleh LKMS yaitu diterapkannya
manajemen proaktif misalnya sistem menjemput bola dan aplikasi produk-produk
LKMS yang sederhana, mudah dan tidak terbelit-belit.
Penjelasan di atas, merupakan beberapa contoh produk syariah meskipun
masih banyak lagi produk-produk yang menggunakan prinsip syariah yang
memungkinkan dapat diterapkan oleh LKMS dengan catatan semua produk yang
diprogramkan oleh LKMS harus diaplikasikan dilapangan secara praktis dan
mudah dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip syariah. Sehingga masyarakat
dalam memanfaatkan dana-dana dari LKMS dengan mudah mendapatkannya
untuk pengembangan usaha kecilnya. Dengan mengaplikasikan produk-produk
syariah secara praktis, sederhana dan kontekstual akan mendukung laju
perkembangan usaha kecil yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

18

2.2. Pengembangan Usaha Kecil
2.2.1. Pengertian Pengembangan Usaha Kecil
Menurut UMKM (2008 : 6) “pengembangan adalah upaya yang dilakukan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat untuk
memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui pemberian fasilitas,
bimbingan, pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan dan daya saing usa mikro, kecil, dan menengah”.
Sedangkan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria
kekayaan bersih atau penjualan tahunan yang berbeda dengan usaha menengah,
dimana kekayaan bersih atau penjualan tahunan usaha kecil lebih daripada kekayaan
bersih dan hasil penjualan tahunan usaha menengah. Tetapi menurut Kamar Dagang
dan Industri (KADIN) ada beberapa kesamaan kriteria usaha kecil adalah :
1) Memiliki aset kurang dari Rp. 250 juta
2) Mempekerjakan kurang dari 30 orang
3) Memilih nilai penjualan kurang dari Rp. 100 Juta
Usaha kecil menurut UMKM (2008:5) adalah usaha ekonomi produktif
yang terdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau baukan cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha
menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang usaha kecil dan UU No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah.

19

Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil adalah kegiatan
ekonomi rakyat yang bersakala kecil dan memnuhi kriteria kekayaan bersih atau
hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undangundang ini. “usaha kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badang bertujuan untuk
memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan
mempunyai omzet penjualan sebesar 1 (satu) miliar rupiah atau kurang”. (LBPS,
2007 : 1)
Secara regulatif, UU No. 20 Tahun 2008 sangat bersinergis dengan UU
perbankan syari’ah, apabila keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu
pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan perekonomian yang adil dan penuh
kebersamaan yang berpijak pada pemberdayaan masyarkaat. UU No. 20 Tahun
2008 menyatakan bahwa tujuan pemberdayaan adalah :
a. Mewujudkan

struktur

perekonomian

nasional

yang

seimbang,

berkembang, dan berkeadilan.
b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha kecil menjadi
usaha yang tangguh dan mandiri.
c. Meningkatkan peran usaha kecil dalam pembangunan daerah, penciptaan
lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan
pengentasan rakyat dari kemiskinan (pasal 5 UU No. 20 Tahun 2008
tentang UKM).
Sedangkan UU Perbankan Syari’ah (dalam Hasan, 2009 : 243)
menyatakan bahwa “tujuan dari perbankan syari’ah adalah menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,

20

kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat (pasal 3 UU perbankan
syari’ah dan penjelasannya)”.
Dalam UU No. 20 Tahun 2008 pasal 2, usaha mikro, kecil, dan menengah
berazaskan :
a. Kekeluargaan
b. Demokrasi ekonomi
c. Kebersamaan
d. Efisiensi berkeadilan
e. Berkelanjutan
f. Berwawasan lingkungan
g. Kemandirian
h. Keseimbangan kemajuan, dan
i. Kesatuan ekonomi nasional
Dalam rangka mengembangkan dan memberdayakan peran usaha kecil
menengah dalam perekonomian nasional, pemerintah bersama dengan perbankan
selama ini telah menempuh beberapa strategi dan kebijakan sebagai berikut :
a. Menetapkan batas minimum pemberian kredit kepada usah akecil
sebesar 20% dari seluruh kredit bagi semua bank. Khusus untuk
koperasi, pemerintahan menyediakan fasilitas kredit likuiditas sebesar
100%, guna membiayai sektor-sektor yang sangat prioritas bagi
pengembangan koperasi, dalam bentuk :
1) KUT (Kredit Usaha Tani) adalah : untuk budidaya penanaman
padi, palawija, dan hortikultura.

21

2) KKPA (Kredit Kepada koperasi untuk Anggotanya) dapat
digunakan sebagai modal kerja usaha dan investasi bagi para
anggota koperasi primer yang mempunyai usaha produktif.
3) KKop (Kredi kepada Koperasi) merupakan kredit modal kerja yang
harus diberikan kepada lembaga koperasi baik primer maupun
sekunder

dalam

mengadakan

dan

mendistribusikan

dengan

memperluas

usaha

agribisnis.
b. Mengembangkan
perbankan

dalam

kelembagaan
bentuk

kerjasama

antar

bank,

jaringan
dengan

mengembangkan lembaga keuangan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat berpenghasilan rendah, seperti BPR dan BPR Syari’ah.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok
pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi
katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis, serta menjadi
dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. Selain menjadi sektor
usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan nasional, UMKM
juga menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga kerja dalam negeri,
sehingga sangat membantu uaya mengurangi pengangguran. UMKM bergerak di
berbagai sektor ekonomi namun yang paling dominan bergerak di bidang
pertanian.
Adapun kriteria UMKM menurut Undang-Undang Indonesi aNomor 20
Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai berikut :
1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut :

22

a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50 juta (selain tanah dan
bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300 juta
2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan paling
banyak Rp. 500 juta (selain tanah dan bangunan tempat usaha)
b. Memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp. 300 juta sampai dengan paling
banyak Rp. 2,5 Miliar.
3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500 juta sampai dengan paling
banyak Rp. 10 Miliar (selain tanah dan bangunan tempat usaha)
b. Memiliki hasil penjualan lebih dari Rp. 2,5 Miliar sampai dengan paling
banyak Rp. 50 Miliar.
Secara ringkas, kriteria UMKM berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.1 : Kriteria Usaha Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008
No
Uraian Kriteria
Asset
1 Usaha Mikro
Maks. 50 juta
2 Usaha Kecil
>50 Juta–500 Juta
3 Usaha Menengah
>500 Juta–10 Miliar
Sumber : www.depkop.go.id

Omzet
Maks. 300 Juta
> 300 Juta – 2,5 Miliar
> 2,5 Miliar – 50 Miliar

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, Usaha Kecil adalah
kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp. 1
miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha (Kuncoro, 2006:372). Sedangkan menurut BPS, usaha kecil identik dengan
industri kecil dan industri rumah tangga (IKRT). BPS mengklasifikasikan industri

23

berdasarkan jumlah pekerjaannya, yaitu : (1) industri rumah tangga dengan
pekerjaan 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri
menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100
orang atau lebih (Kuncoro, 2006 374).
UMKM di Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah,
sehingga UMKM sulit berkembang dan kalah bersaing dengan produk-produk
import dari luar neger, padahal UMKM itu sendiri berpotensi sangat besar dan
berpeluang untuk memasuki pasar baik regional maupun internasional, menjadi
unit usaha kecil yang modern dan kompetitif, sehingga UMKM bisa bersaing di
pasar domestik maupun internasional.
Menurut Arsyad (2008 : 102) penyebab sulit berkembangnya UMKM di
Indonesia ada dua pandangan yang berbeda yaitu :
1. Pandangan kultural, yang menyebutkan bahwa Usaha Kecil (ekonomi
rakyat) kurang berkembang pesat karena adanya nilai-nilai atau tradisi
suatu kelompok masyarakat yang memang tidak mampu mendinamisasi
keadaan masyarakat. Karena ketidak sanggupan inilah yang membuat
UMKM tidak bisa berkembang dan kurang diminati oleh masyarakat.
Banyak UMKM yang hidup di bawah rata-rata bahkan hidup dalam
kemiskinan karena tidak sanggup beradaptasi dengan masyarakat. Sifat
malas dan tidak memiliki etos kerja menyebabkan timbulnya kemiskinan
yang tinggi, karena dengan menganggur tidak akan memperoleh
pendapatan, sehingga kemiskinan semakin banyak. Solusi yang bisa di
tawarkan adalah perlu adanya suatu usaha yang dapat membangkitkan
semangat orang-orang agar mau bekerja, diantaranya dengan terciptanya

24

lapangan kerja yang mampu menampung skillnya dan upah yang
memadai, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya.
2. Pendekatan struktural, disebutkan bahwa UMKM sulit berkembang
disebabkan oleh struktur sosial-ekonomi masyarakat yang timpang, yang
menyebabkan adanya sekelompok tertentu yang sulit bahkan UMKM tidak
bisa mengembangkan usahanya. Karena pengaruh struktur perekonomian
Indonesia yang tidak menentuk ini dan seringnya terjadi resesi,
menyebabkan banyaknya pengangguran yang tinggi akibat terjadinya
kenaikan biaya produksi sedangkan selera pasar menurun karena
terjadinya inflasi, maka perusahaan banyak yang melakukan PHK. Untuk
mengatasi masalah perekonomian yang seperti ini harus di rombak
struktur sosial-ekonomi masyarakat secara signifikan. Termasuk dalam
struktur sosial-ekonomi yang berhubungan dengan pelaku ekonomi,
kekuasaan, dan sebagainya.
UMKM jika dilihat secara mendalam sudah berkembang pesat dan
menyumbang sebagian besar GDP Indonesia. Namun seiring perubahan waktu
banyak terjadi perubahan secara struktural yang terlihat pada pergeseran dalam
distribusi pendapatan dan ketenagakerjaan di antara sektor-sektor ekonomi yang
ada. Perkembangan ekonomi modern semakin menggeser perekonomian
tradisional. Pokok permasalahan yang dihadapi UMKM menurut Kuncoro
(2006:378) dibedakan menjadi dua :
1. Faktor Eksternal :
a. Pengakuan dan jaminan keberadaan UMKM. Unit usaha ekonomi rakyat
yang pengelolaannya secara tradisional seharusnya mendapat perlakuan

25

yang selayaknya unit usaha yang di kelola secara modern. UMKM
seharusnya mendapat fasilitas yang sama seperti usaha besar, begitu juga
dalam peletakan lokasi UMKM juga harus di tempatkan di tempat yang
strategis di daerah khalayak ramai seperti pasar swalayan.
b. Data persebaran UMKM yang tidak jelas. Keterbatasan data persebaran ini
menghambat upaya pembinaan maupun penyluhan yang diberikan pihak
swasta, pemerintah maupun masyarakat. Sehingga UMKM sulit
berkembang karena tidak adanya informasi yang jelas mengenai pangsa
pasar, kualitas produk, manajemen keuangan usahanya, dan lain
sebagainya.
c. Alokasi kredit sebagai pembiayaan yang timpang. Tidak meratanya
distribusi pendanaan antar wilayah, antar sektor, antar golongan, dan antar
desa-kota. Hambatan birokratis yang tidak bisa di hadapi UMKM dalam
memperoleh

kredit

dan

di

persulit

dalam

perizinan

maupun

pengembangannya. Oleh sebab itu, persyaratan untuk memperoleh kredit
harus disederhanakan agar UMKM tidak sulit dalam meminjam modal.
d. Produk yang dihasilkan UMKM memiliki ciri dan karakteristik sebagai
produk fashion dan kerajinan tangan life time yang pendek. Padahal selera
konsumen selalu berubah-ubah, oleh sebab itu perlu adanya inovasi
desain-desain produk yang sesuai dengan pangsa pasar dan sesuai dengan
selera konsumen perlu dilakukan dalam periode yang cepat, karena
keterlambatan mengantisipasi keinginan pasar bisa menghambat daya
dukung perkembangan UMKM.

26

e. Rendahnya nilai tukar komoditi yang dihasilkan usaha rakyat. Produk
industri rakyat selalu dinilai berkualitas rendah. Hal ini adalah pandangan
keliru dan bisa menghambat perkembangan UMKM karena belum tentu
pola produksi tradisional akan menghasilkan produk yang bermutu rendah.
Banyak sekali hasil produk industri kerajinan rakyat yang mampu bersaing
dengan di pasar internasional. Rendahnya nilai tukar UMKM ini
disebabkan karena rendahnya modal yang diperlukan sehingga dijual
dengan sistem ijon seperti dalam produk pertanian.
f. Terbatasnya akses pasar bagi UMKM yang ingin memperluas pangsa
pasarnya dan ingin mengembangkan usahanya. Hal ini disebabkan oleh
modal besar domestik maupun asing yang menerobos segmentasi pasar
yang sebelumnya dikuasai pengusaha dalam negeri termasuk UMKM.
g. Pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak proporsional. Ketidak
siapan

birokrasi

yang

berhubungan

langsung

dengan

UMKM

menyebabkan permasalahan dalam pengembangan UMKM.
2. Faktor Internal
a. Terbatasnya penguasaan asset produksi terutama permodalan. Karena
dalam pengembangan usaha yang luas tentunya juga akan membutuhkan
dana yang besar dalam usahanya.
b. Rendahnya sumber daya manusia. Yang dimaksudkan di sini adalah
keterampilan yang dimiliki oleh pekerja masih sangat rendah, yang meliputi
keterampilan

teknik

produksi

dan

27

manajemen

usaha.

Rendahnya

keterampilan pekerja ini dapat di lihat dari rendahnya pendidikan para
pekerja.
c. Hambatan konsentrasi sumber daya ekonomi rakyat (pekerja). Hal ini para
pekerja kebanyak masih terkonsentrasi di daerah pedesaan pada sektor
pertanian, padahal di sektor pekerjaan lain sangat terbuka luas kesempatan
untuk bekerja, misalnya saja perdagangan.
d. Kelembagaan usaha rakyat belum berperan secara optimal. UMKM perlu
mendapatkan fasilitas dalam mengembangkan usahanya. Perlu adanya
koordinasi antar usaha dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan
bersama.
Untuk mengatasi hal-hal tersebuit di atas, dalam pengembangan UMKM
di masa mendatang hendaknya dari pihak perbankan syariah yang dalam hal ini
sebagai badan penyalur dan sekaligus pemberi bantuan terhadap para nasabah
(masyarakat kalangan menengah ke bawah) harus bisa menekankan kepada para
nasabah terkait dengan perkembangan usahanya sendiri yaitu harus ada suatu
program yang lebih jelas dan terencana, baik untuk jangka pendek, menengah
maupun panjang.
Jika langkah di atas tidak bisa dilakukan, maka daya saing produk akan
tambah jauh tertinggal dari produk-produk import yang saat ini sudah mulai
membanjiri pasar Indonesia. Jika perkembangan UMKM tersebut dapat berjalan
dengan baik produk yang dihasilkan akan dapat menggantikan produk-produk
impor yang membebani devisa negara, serta secara bersamaan dapat menjadi
produk ekspor yang menghasilkan devisa negara.

28

2.2.2. Mekanisme Pembiayaan UMKM
Kredit UMKM merupakan kredit yang diberikan oleh lembaga keuangan
kepada para nasabah usaha kecil, mikro, dan menengah baik langsung maupun
tidak langsung, usaha tersebut dimiliki ataupun di operasinalkan oleh masyarakat
yang tergolong miskin. Sedang menurut Badan Pusat Statistik, dengan batasan
kredit maksimal Rp. 50 juta (lima puluh juta rupiah).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 menerangkan :
a) Kredit Usaha Kecil (KUK) adalah kredit yang diberikan kepada nasabah
usaha kecil yang dimiliki nilai kekayaan bersih maksimal Rp. 200 juta
(dua ratus juta rupiah) selain tanah dan bangunan tempat usaha atau yang
memiliki hasil penjualan maksimal Rp. 1 miliar (satu miliar rupiah) per
tahun dengan plafon kredit maksimal sebesar Rp. 500 juta (lima ratus juta
rupiah).
b) Kredit Usaha Menengah merupakan kredit yang diberikan oleh lembaga
keuangan kepada pengusaha di luar usaha mikro dan kecil atau kepada
pengusaha yang kriterianya akan ditetapkan kemudian, dengan plafon di
atas Rp. 500 juta (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 5 miliar (lima
miliar rupiah).
Pemerintah dalam mengurusi pembiayaan UKM bekerjasama dengan
negara donor seperti World Bank, ADB dan sebagainya, yang akan mengucurkan
dana bergulirnya dengan menggunakan sistem perbankan, sehingga uang
mempunyai daya saing dan nilai tambah hingga mencapai satu titik satu
pengembangan UKM, yang pada gilirannya akan mengurangi kemiskinan,
sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Berbagai jenis pembiayaan UKM
antara lain berasal dari : Lembaga perbankan, Lembaga non perbankan, Laba
BUMN, Modal Ventura, dan lainnya.
Usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat sebagai bagian integral
dunia usaha yang mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang strategis untuk
mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang dan

29

pemerataan pembangunan berdasarkan demokrasi ekonomi. Usaha kecil perlu
diberdayakan dan diberikan peluang berusaha agar mampu dan sejajar dengan
pelaku ekonomi lainnya

untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam

pembangunan. Dengan berdasarkan hal tersebut, dipandang perlu bidang atau
jenis usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan bidang usaha yang terbuka
usaha usaha menengah atau usaha besar dengan tetap mengacu kepada Peraturan
Pemerintah R.I. Nomor 44 Tahun 197 tentang Kemitraan.

2.3.Kerangka Konseptual
Prinsip filosofi dasar dari LKMS dalam upaya pengembangan Usaha Kecil
Menengah yang ada dalam masyarakat adalah, bantuan yang diberikan tanpa
jaminan atau penjamin, target kelompok adalah masyarakat kecil miskin yang
kurang mampu yang mempunyai potensi untuk mengembangkan usaha
perekonomianya serta ketentuan lain yang juga diterapkan adalah jika anggota
meninggal dunia, mereka dibebaskan dari pembayaran kredit.
Dalam menjalankan program pelayanan kredit mikronya, LKMS
mengorganisasir masyarakat miskin yang menjadi peminjamnya dalam kelompokkelompok kecil yang terdiri atas lima anggota. Tujuannya, memperkuat para
peminjam sehingga mereka mempunyai kapasitas untuk merencanakan dan
melaksanakan pengambilan keputusan di tingkat mikro. Centre (kumpulan
kelompok) juga dibentuk sebagai media penghubung dengan kantor cabang di
mana tugas lapangan harus menghadiri pertemuan centre setiap minggu.
Sementara dalam hal penyaluran kredit, tetap diprioritaskan pada kelompok
masyarakat yang benar-benar membutuhkan dana untuk menunjang keberhasilan

30

usahanya. Upaya LKMS dalam pengembangan Usaha Kecil Menengah yang ada
dalam masyarakat dalam hal pemberian bantuan, memfokuskan prioritasnya
kepada pemberian kredit tidak di dasarkan atas kedermawanan atau belas kasihan,
sebab akan menyebabkan terjadinya ketergantungan pada pihak lain. Serta
bantuan kredit yang telah diberikan harus dapat menyiapkan persyaratan dan
prosedur kredit yang sesuai dengan kondisi masyarakat (fleksibel).
Disamping itu bantuan kredit yang diberikan oleh LKMS tidak
mensyaratkan adanya agunan atau jaminan anggota. Yang lebih menariknya dari
kebijakan LKMS ini dalam upaya memberikan bantuan dana kepada masyarakat
kecil adalah terkait dengan pengelolaan bantuan kredit itu sendiri harus dilakukan
secara terbuka dan profesional dengan berprinsip dari, oleh dan untuk anggota.
Dan juga dalam pelaksanaan programnya, berusaha memanfaatkan kelompokkelompok yang sudah ada di masyarakat sebagai sarana penyalur bantuan kredit.
Peran Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) sangat penting dalam hal
peminjaman modal kepada usaha kecil dengan syarat yang mudah dan proses
yang cepat dan tidak memberatkan usaha kecil selain itu sistem transaksinya
menggunakan sistem syariah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat digambarkan kerangka konseptual
penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (LKMS)
Indikator:
1. Memberikan kredit
2. Menanamkan
dananya
dalam surat berharga.
3. Menawarkan jasa keuangan

Pengembangan Usaha Kecil
Indikator:
1. Pemberian fasilitas,
2. Memberi bimbingan
3. Memberi pendampingan
4. Memberi bantuan
31

2.4.Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Sri Murwanti dan Muhammad Sholahuddin
(2010) dengan judul : “Peran Keuangan Lembaga Mikro Syariah untuk Usaha
Mikro di Wonogiri”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah lembaga
keuangan mikro syariah BMT berperan secara signifikan terhadap peningkatan
keuntungan pedagang kecil”. Metode analisis yang digunakan dalampenelitian ini
adalah analisis regresi sederhana,digunakan untuk menyatakan hubungan
antaravariabel dependen dan variabel independen. Koefisien determinasi
menunjukkan seberapabesar prosentase variasi dalam variabel dependenyang
dapat dijelaskan dalam variabel independen.Nilai R2terletak antara 0 dan 1. Jika
R2semakinmendekati 1, maka semakin besar variasi dalamvariasi dalam variabel
independen. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa perkembangan usaha
pedagangsetelah memperoleh pembiayaan BMT, baikkeuntungan ataupun
keuntungan nasabahmeningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Jonathan Cosmus Karay dengan judul:
“Analisis Peran Lembaga Keuangan Mikro terhadap Pemberdayaan Usaha Mikro
Kecil di Kabupaten Jayapura (Studi Kasus BPR Nusa Intim Cabang Sentani)”.
Penelitian inibertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berperan atau
mempengaruhi dan memiliki keterkaitan dan peran Lembaga Keuangan Mikro
terhadap pengembangan usaha mikro kecil (UMK) di Kabupaten Jayapura. Alat
analisis pada penelitian ini adalah regresi logistik dan korelasi.Hasil penelitian ini

32

menyimpulkan bahwa variabel keuangan dan pemasaran mempunyai peran atau
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap pemberdayaan UMK. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pengujian terhadap hipotesis pertama dan ketiga dapat
diterima.
Penelitian yang dilakukan oleh Lutfiyah Rijma Hanna (2012) dengan
judul: “Peranan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS)Perambabulan AlQomariyah dalamMemberdayakan Perdagangan Usaha Kecil(di Desa Babadan
Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon)”. Dengan menggunakan rumus
slovin, sampel dalam penelitian ini adalah 38 orang yang menggunakan produk
pembiayaan
Perambabulan

musyarakah

di

Al-Qomariyah.

Koperasi

Jasa

Pengumpulan

Keuangan
datanya

Syariah

(KJKS)

dilakukan

dengan

menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel bebas X
berperan signifikan terhadap memberdayakan perdagangan usaha kecil. Seperti
hasil dari perhitungan uji t, bahwa thitung (3,329) > dari ttable (2,045) sedangkan
signifikansi (0,000) < dari alpha pada taraf 5% atau 0,05, Sehingga Ha diterima
dan Ho ditolak. Hasil uji t ini membuktikan bahwa semua variabel independen
(pembiayaan musyarakah di Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) )
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen yaitu
memberdayakan perdagangan usaha kecil . Artinya menurut para nasabah,
variabel independen tersebut dianggap penting ketika dalam memberdayakan
perdagangan usaha kecil.

2.5.Hipotesis Penelitian

33

Berdasarkan masalah yang dikemukakan di atas, peneliti merumuskan
hipotesis sebagai dasar pemikiran dalam penelitian ini. Hipotesis adalah anggapan
atau pendapat untuk menjelaskan suatu fakta yang dipakai sebagai dasar dalam
suatu penelitian. Jadi, hipotesis merupakan suatu kesimpulan atau jawaban
semetara yang masih perlu adanya pembuktian atas kebenaran melalui penelitian
dilapangan.

Adapun

hipotesis

dalam

penelitian

ini

adalah

terdapat

hubunganLembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dalam mengembangan
usaha kecil di Kabupaten Simeulue.

34