Efektivitas Pelayanan Sosial Wanita Tuna Susila (Wts) Unit Pelaksana Teknis (Upt) Parawasa Pejoreken Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara Di Berastagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi)
daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau
ketegangan diantara pelaksanaannya (Kurniawan, 2005 : 109).
Dalam Ensiklopedia Umum (1977: 129), disebutkan bahwa efektivitas
menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Usaha dikatakan efektif kalau usaha
itu mencapai tujuannya secara ideal, taraf intensitas dapat dinyatakan dengan
ukuran yang agak pasti.
Pengertian lain dikemukakan oleh Martoyo, efektivitas adalah suatu
kondisi atau keadaan dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan
sarana atau peralatan yang digunakan, disertai dengan kemampuan yang dimiliki
adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang
memuaskan (Martoyo, 2002 : 4).
Menurut Willian N Dunn, efektivitasmerupakan suatu kriteria untuk
menseleksi berbagai alternatif untuk dijadikan rekomendasi didasar pertimbangan
apakah alternatif yang direkomendasikan tersebut memberikan hasil (akibat) yang
maksimal, atau nilai-nilai rakyat (Dunn, 2003 : 498)
Ada lima kriteria dalam pengukuran efektivitas :
1. Produktivitas
2. Kemampuan adaptasi atau fleksibilitas
3. Kepuasan kerja
4. Kemampuan berlaba
5. Pencarian sumber daya (Steers, 2005 : 64)
Menurut Steers, bahwa efektivitas merupakan suatu tingkat kemampuan
organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau
pencapaian sasarannya.
Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat penulis simpulkan pengertian
efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan
(sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih jelasnya apabila tujuan atau
sasaran dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya dikatakan
efektif dan sebaliknya apabila tujuan atau sasaran tersebut tidak dapat dicapai
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka aktivitas dikatakan tidak efektif.
Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah
penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas
sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya
efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada
kerangka acuan yang dipakai.
Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari
efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan
pendapat sehubungan dengan cara meningkatkannya, cara mengatur dan bahkan
cara menentukan indikator dari efektivitas. Sehingga dengan demikian tentu akan
lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang konsep efektivitas.
Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi
merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali
berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam awal usaha mengukur
efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu
sendiri. Dari beberapa uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas
merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas suatu lembaga
secara fisik dan rohani untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan
maksimal.
2.2 Konsep Pelayanan sosial
2.2.1 Pelayanan sosial
Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan
sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya.
Dalam batasan yang sempit, pelayanan sosial berarti bantuan pada orang
miskin, pada anak-anak terlantar, yang terkena bencana alam, serta bantuanbantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu
secara ekonomi.
Seperti halnya dengan batasan-batasan ilmu sosial lainnya, maka batasan
baru tentang pelayanan sosial juga sulit ditemukan. Para ahli memberikan defenisi
tentang pelayanan sosial yang saling berbeda-beda, tergantung dari sudut mana
dia melahirkan batasan tersebut. Pelayanan sosial terdiri dari dua kata, yaitu
pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti usaha pemberian bantuan atau
pertolongan kepada orang lain, baik materi dan non materi, agar orang itu dapat
mengatasi masalahnya sendiri. Dapat disimpulkan dari batasan tersebut bahwa
pelayanan bukan hanya pemberian bantuan berupa uang, makanan, sandang,
perumahan dan lain-lain yang bersifat materi melainkan juga bersifat non materi
seperti bimbingan.
Menurut Khan, Pelayanan Sosial dibedakan dalam dua golongan, yakni :
1. Pelayanan–pelayanan sosial yang sangat rumit dan komprehensif sehingga sulit
ditentukan identitasnya. Pelayanan ini antara lain pendidikan, bantuan sosial
dalam bentuk uang oleh pemerintah, perawatan medis dan perumahan rakyat.
2. Pelayanan sosial yang jelas ruang lingkupnya dan pelayanan-pelayanannya
walaupun selalu mengalami perubahan. Pelayanan ini dapat berdiri sendiri,
misalnya kesejahteraan anak dan kesejahteraan keluarga, tetapi juga dapat
merupakan suatu bagian dari lembaga-lembaga lainnya, misalnya pekerjaan
sosial di sekolah, pekerjaan sosial medis, pekerjaan sosial dalam perumahan
rakyat dan pekerjaan sosial dalam industri.
Lebih lanjut Suparlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa pelayanan
sosial adalah aktivitas yang terorganisasi bertujuan membantu para anggota
masyarakat saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan lingkungan
sosialnya. (Suparlan, 1983: 93)
Selanjutnya Syarif Muhidin (1981: 68) memberikan defenisi pelayanan
sosial dalam arti luas dan sempit, yaitu:
1. Pelayanan dalam arti luas adalah pelayanan yang mencakup fungsi
pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan,
kesehatan, tenaga kerja, dan sebagainya.
2. Pelayanan dalam arti sempit adalah pelayanan sosial yang mencakup
pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung,
seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna
susila, dan sebagainya.
Khan dalam Sumarno Nugroho (1987: 72), mengemukakan pendapatnya
tentang pelayanan sosial sebagai berikut: pelayanan sosial terdiri dari programprogram yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin
suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan dan
kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan
bermasyarakat,
fungsifungsinya.
serta
Untuk
kemampuan
perorangan
memperlancar
untuk
kemampuan
melaksanakan
menjangkau
dan
menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan
membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.
2.2.2 Klasifikasi Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi bertujuan untuk
membantu tercapainya penyesuaian timbal balik antara seseorang atau kelompok
dengan lingkungannya.
Klasifikasi pelayanan sosial dikemukakan oleh Khan dengan berdasarkan
pada fungsinya sebagai berikut, yaitu :
1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan Tujuan kegiatan
ini adalah sosialisasi, menanamkan pemahaman akan tujuan dan motivasi, serta
meningkatkan mutu perkembangan kepribadian.
2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan, pemberian bantuan, rehabilitasi
dan perlindungan sosial Pelayanan ini dapat berupa bantuan singkat, intensif
dan pribadi sifatnya dengan program-program perbaikan situasi lingkungan
sosial, antar orang atau unsur-unsur kepribadiannya juga termasuk pemulihan
kemampuan pelaksanaan peranan-peranan sosial individu.
3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan menggunakan
pelayanan sosial yang sudah ada dan pemberian informasi dan nasihat.
Pelayanan sosial yang disusun dengan baik dan disampaikan dengan efektif
akan dapat memenuhi kebutuhan dan bahkan menciptakan kepuasan.
Pelayanan sosial yang dilaksanakan secara luas dan mempunyai karakter
fundamental akan dapat memperluas perubahan sosial dan meningkatkan kondisi
kehidupan masyarakat.
2.2.3 Program-Program Pelayanan Sosial
Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi
kesejahteraan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau
intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan, langsung dan
terorganisasi, yang bertujuan membantu individu, kelompok dan lingkungan
sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian.
Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah
sebagai berikut :
1. Pelayanan akses : mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat
dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau
menggunakan pelayanan yang tersedia.
2. Pelayanan terapi : mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi, termasuk
didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan
oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak,
pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orangorang jompo dan lanjut usia.
3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan
anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi
pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin,
1989: 50).
2.2.4 Standard Pelayanan Sosial
Kata standard yang digunakan dapat berarti :
a. suatu norma bagi pelayanan sosial
b. suatu bentuk norma atau peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk
digunakan sebagai pedoman.
Adapun jenis standard pelayanan sosial itu adalah:
1. Standard Minimum
Standard ini digunakan kalau pemerintah menginginkan penentuan
persyaratan wajib untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan
sosial. Badan-badan sosial didorong untuk melampaui standard minimum ini.
2. Standard Maksimum
Standard ini merupakan sasaran pencapaian mutu pelayanan tertinggi yang
ditentukan oleh pemerintah selama jangka waktu tertentu. Standard maksimum ini
dapat digunakan dalam perencanaan kesejahteraan sosial jangka panjang.
3. Standard Realistis
Standard ini lebih banyak berfungsi sebagai pedoman dan oleh karenanya
tidak mempunyai kekuatan memaksa. Tujuan utama standard ini adalah
mendorong badan-badan sosial untuk meningkatkan pelayanannya.
Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang
saling menunjang dan saling melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan
pelayanan diluar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan :
1. Bangunan dan fasilitas lingkungannya
Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung
digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya
luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas bangunan.
Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal
yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun.
2. Peralatan
Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang
digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama.
3. Pelayanan Operasional
Mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah belah dan
lain-lain)
b. Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian)
c. Kesehatan dan kebersihan
d. Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang
4. Pelayanan Profesional
Mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh)
b. Pekerja sosial dan pelayanan profesional lain yang terkait (jumlah dan tugas
tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dan sebagainya).
c. Pelayanan pendidikan
d. Latihan kerja
e. Pelayanan bimbingan lanjut
5. Tenaga
Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan,
kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya.
6. Administrasi
Mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan
tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan,
peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya.
2.3 Prostitusi dan Penyebab Prostitusi
2.3.1 Pengertian Prostitusi
Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti
menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri
secara terang-terangan kepada umum.
Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya
dirumuskan demikian: “Pelacuran” dapat diartikan sebagai penyerahan badan
wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil
orang-orang itu”.
Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung
tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan
lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara
oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus
menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar
hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo.
Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk
diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau
rumahrumah tertentu, pelacur ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Call
girl ini jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada
perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan
lain-lain.
Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan
dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali,
seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka dibawabawa
oleh yang menghendakinya.
Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti :
a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)
b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersihan
dan pelayanannya baik
c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri
(terselubung–tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara
yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal.
Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan
bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung)
dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya
terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di
tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar.
Semakin
unik
bentuk-bentuk
pelacuran
semakin
sulit
pula
pelacuran
ditanggulangi apalagi dilenyapkan.
Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang
melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk
mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa.
Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan
lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah
dengan mendapat imbalan uang, materi, dan/atau jasa.
2.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi
Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan
perjalanan perilaku manusia, (dalam Simandjuntak, 1981) dikemukakan beberapa
teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan
crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu
mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland
dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena
pergaulan yang kurang baik pada masa lalu. Dari teori ini lahir pemikiran bahwa
WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak
mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih.
Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil
penelitian (Rowbothon 1973, dalam Suyanto, 2001: 111) menyebutkan bahwa
unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari
pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri
dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur
essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara
garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang
menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan
rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang
seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga
tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali
masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga,
karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS
sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri.
Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak
semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran
sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan
dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang
menggunakan beragam sarana atau sekedar janji janji berselubung cinta.
2.3.3 Prostitusi sebagai masalah sosial
Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar
pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat
tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial
atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia
sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di
tanggulangi dengan kesungguhan.
Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga
dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi,
sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata
pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin
diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang
lepas kendali.
2.3.4 Akibat-Akibat Prostitusi
Prostitusi menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis,
sosial ekonomi, dan moril.
1. Aspek medis
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat mengakibatkan
timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea bahkan HIV/AIDS.
Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS tersebut pengaruhnya sangat luas,
yaitu tidak hanya menyerang laki-laki dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak
bahkan menimbulkan abortus ataupun cacat jasmani dan rohani.
2. Aspek sosial ekonomi
Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena
bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan
menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa
dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat tidak
dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan mempunyai
nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan masyarakat dalam
mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau kekompakan dan partisipasi
pembangunan menjadi rusak (Simandjuntak, 1981). Selain pada aspek sosial,
dampak adanya WTS menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya
penyakit akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara,
dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa harus
mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit maupun
kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk rehabilitasi dan
mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan
dampak pelacuran.
3. Aspek Moril
Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap
(mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan tanggung
jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak mempunyai moril, salah
satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam pelacuran itu sendiri sangat
didominasi dorongan seksual dan mengabaikan perpaduan jiwa yang didasari
kasih sayang, dimana WTS merupakan objek pemuas seks laki-laki. Hal ini
merupakan
awal
lahirnya
demoralisasi
atau
mengesampingkan
norma
(mengabaikan value system) masyarakat.
2.4 Sistem Pembinaan di Panti sebagai Pelayanan Sosial
Panti sebagai lembaga sosial merupakan tempat dimana terdapat
kebutuhan yang beraneka ragam dari para penghuninya. Kebutuhan ini
mempunyai konsekuensi adanya tanggung jawab panti untuk memenuhi
kebutuhan itu. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah melalui panti. Panti
artinya tempat, sarana atau rumah, sedangkan pelayanan adalah usaha pemberian
bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non materi.
Penyantunan WTS dalam sistem perpantian berlangsung selama setengah
tahun dengan penjadwalan kegiatan sebagai berikut :
a. Tahap awal klien sudah diterima di panti
b. Tahap rehabilitasi sosial berupa kegiatan pengajaran pendidikan, bimbingan
sosial dan mental, latihan keterampilan. Tahap ini dilaksanakan selama 2
bulan lamanya
c. Tahap resosialisasi/persiapan penyaluran yaitu pemantapan bimbingan sosial
dan mental serta latihan keterampilan
d. Tahap bimbingan lanjut.
Jadi pelayanan panti bentuk pelayanan dengan mempergunakan panti
sebagai sarana dalam usaha memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada
kliennya sehingga mereka dapat mengatasi masalahnya. Dengan demikian mereka
dapat berperanan sosial dengan sepenuhnya. Sehubungan dengan itu, panti
berfungsi
untuk
pemulihan
fungsi
sosial
yang
terganggu,
pengadaan
sumbersumber dan pencegahan terhadap disfungsi sosial sesuai dengan hakekat
pembangunan sosial yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia maka hakekat pelayanan panti
menyangkut aspek kehidupan dan penghidupan penghuninya serta pada
hakekatnya pelayanan itu bersifat kuratif, rehabitatif, dan developmental.
Dapat disimpulkan bahwa panti merupakan suatu tempat yang berfungsi
untuk
memberikan
santunan/
rehabilitasi
kepada
penyandang
masalah
kesejahteraan sosial agar dapat memerankan fungsi sosial mereka secara wajar
dan memadai sesuai dengan harkat dan martabat manusia didalam tata kehidupan
normal.
2.5 Kerangka Pemikiran
Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang
kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di
dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Banyak hal yang
melatarbelakangi wanita menjadi pelacur/ WTS antara lain karena faktor
ekonomi, psikologis, kelonggaran kultur masyarakat di sekitar, tidak memiliki
keterampilan dan faktor lainnya.
Pelacuran atau tindak susila ini jelas menimbulkan keresahan serta
kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pelacuran
merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu diperlukan
penanganan masalah WTS atau pelacuran oleh pemerintah, dimana salah satu
fungsi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan usaha rehabilitasi,
untuk mempersiapkan mereka agar dapat secara utuh kembali ke masyarakat.
Di Sumatera Utara satu-satunya lembaga sosial yang secara khusus
menangani pembinaan terhadap klien/ wanita tuna susila adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Parawasa Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara di Berastagi. UPT
Parawasa Pejoreken adalah Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Provinsi yang
memberikan rehabilitasi terhadap WTS dan menerapkan sistem perpantian yaitu
pelayanan dalam suatu proses penyantunan dan pengentasan yang meliputi :
tahapan rehabilitasi, resosialisasi dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan
suatu upaya untuk mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan
penghidupan para penyandang tuna susila yang diliputi oleh pemulihan kembali
rasa harga diri, tanggung jawab sosial, serta kemauan dan berkemampuan
melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Bagan Alir Pemikiran
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Parawasa
Panti Sosial Karya
Wanita (PSKW) Parawasa
Pejoreken
Pelayanan Sosial :
Program Pendidikan :
a. Bimbingan Sosial
b. Bimbingan Mental
c. Bimbingan Keterampilan
Warga Binaan Sosial
Efektifitas pelayanan sosial :
1. Pemahaman program : Warga binaan mampu memahami program
pelayanan sosial yang diberikan
2. Ketepatan sasaran : Warga binaan yang diberikan pelayanan adalah
sasaran yang sesuai dengan program pelayanan sosial
3. Ketepatan waktu : Penggunaan waktu dalam melakukan program
pelayanan sosial sesuai dengan perencanaan awal
4. Tercapainya target : Pencapaian target yang ditetapkan melalui
kegiatan pelayanan sosial.
5. Tercapainya tujuan : Pencapaian tujuan yang ditetapkan melalui
kegiatan pelayanan seperti warga binaan memiliki keterampilan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
6. Perubahan nyata : Munculnya dampak yang baik pada warga binaan,
serta mampu memperoleh pekerjaan atau mampu mandiri seperi
wirausaha.
2.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.6.1 Defenisi Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan
klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu
istilah atau rangkaian kata (Soedjadi, 2000 : 14).
Untuk memfokuskan penelitian ini peneliti memberikan batasan konsep
yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Efektivitas adalah Suatu pencapaian tujuan secara maksimal dengan sarana
yang dimiliki melalui program-program tertentu.
2. Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan
dengan lingkungan sosialnya.
3. Wanita Tuna Susila adalah seorang wanita yang mengadakan hubungan seksual
dengan seorang pria atau lebih diluar pernikahan dengan sengaja atau
berpengharapan mendapat upah sebagai balas jasa, sehingga menjadi
kebiasaan. Dalam hal ini sama dengan istilah pelacur, penjaja seks, kupu-kupu
malam, balon, lonte, cabo, sundal, pecun.
4. UPT Parawasa Pejoreken adalah unit pelaksana teknis dari kantor wilayah
Dinas Sosial di Sumatera Utara yang bertanggung jawab langsung dibawah
Departemen Sosial, yang memberikan rehabilitasi dan pelayanan sosial
terhadap WTS.
2.6.2 Defenisi Operasional
Defenisi adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Jika
perumusan defenisi ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang
konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti,
maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia
nyata sehingga konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011 : 141).
Untuk melihat variabel-variabel dan indikator-indikator dalam penelitian
ini dapat dilihat dari jenis pelayanan yang diberikan. Adapun yang menjadi
defenisi operasional dalam pelayanan dan pembinaan di UPT Parawasa Pejoreken
dapat diukur melalui indikator sebagai berikut :
1. Pemahaman program, meliputi :
a. Sosialisasi pelayanan dan pembinaan yang diberikan kepada warga binaan
b. Pemahaman setelah sosialisasi pelayanan dan pembinaan
c. Pengetahuan tentang tujuan pelayanan dan pembinaan
2. Ketepatan sasaran, meliputi :
a. Warga binaan di UPT Parawasa Pejoreken
3. Ketepatan waktu, meliputi :
a. Ketepatan waktu dalam pemberian pelayanan dan pembinaan.
b. Keepatan frekuensi waktu dalam pemberian pelayanan dan pembinaan.
4. Tercapainta target, meliputi :
a. Pencapaian target yang ditetapkan melalui kegiatan pelayanan dan
pembinaan, seperti terpenuhinya kebutuhan warga binaan, baik di bidang
sosial, mental, keterampilan serta fasilitas yang diberikan.
5. Tercapainya tujuan, meliputi :
a. Peningkatan kepercayaan diri dalam diri warga binaan
b. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
6. Ada perubahan nyata, meliputi :
a. Dapat berfungsi sosial dengan baik dalam masyarakat
b. Memiliki bekal, seperti keterampilan untuk disalurkan.
c. Mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dengan motivasi diri yang
meningkat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi)
daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau
ketegangan diantara pelaksanaannya (Kurniawan, 2005 : 109).
Dalam Ensiklopedia Umum (1977: 129), disebutkan bahwa efektivitas
menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Usaha dikatakan efektif kalau usaha
itu mencapai tujuannya secara ideal, taraf intensitas dapat dinyatakan dengan
ukuran yang agak pasti.
Pengertian lain dikemukakan oleh Martoyo, efektivitas adalah suatu
kondisi atau keadaan dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan
sarana atau peralatan yang digunakan, disertai dengan kemampuan yang dimiliki
adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang
memuaskan (Martoyo, 2002 : 4).
Menurut Willian N Dunn, efektivitasmerupakan suatu kriteria untuk
menseleksi berbagai alternatif untuk dijadikan rekomendasi didasar pertimbangan
apakah alternatif yang direkomendasikan tersebut memberikan hasil (akibat) yang
maksimal, atau nilai-nilai rakyat (Dunn, 2003 : 498)
Ada lima kriteria dalam pengukuran efektivitas :
1. Produktivitas
2. Kemampuan adaptasi atau fleksibilitas
3. Kepuasan kerja
4. Kemampuan berlaba
5. Pencarian sumber daya (Steers, 2005 : 64)
Menurut Steers, bahwa efektivitas merupakan suatu tingkat kemampuan
organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau
pencapaian sasarannya.
Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat penulis simpulkan pengertian
efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan
(sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih jelasnya apabila tujuan atau
sasaran dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya dikatakan
efektif dan sebaliknya apabila tujuan atau sasaran tersebut tidak dapat dicapai
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka aktivitas dikatakan tidak efektif.
Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah
penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas
sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya
efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada
kerangka acuan yang dipakai.
Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari
efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan
pendapat sehubungan dengan cara meningkatkannya, cara mengatur dan bahkan
cara menentukan indikator dari efektivitas. Sehingga dengan demikian tentu akan
lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang konsep efektivitas.
Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi
merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali
berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam awal usaha mengukur
efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu
sendiri. Dari beberapa uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas
merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas suatu lembaga
secara fisik dan rohani untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan
maksimal.
2.2 Konsep Pelayanan sosial
2.2.1 Pelayanan sosial
Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan
sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya.
Dalam batasan yang sempit, pelayanan sosial berarti bantuan pada orang
miskin, pada anak-anak terlantar, yang terkena bencana alam, serta bantuanbantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu
secara ekonomi.
Seperti halnya dengan batasan-batasan ilmu sosial lainnya, maka batasan
baru tentang pelayanan sosial juga sulit ditemukan. Para ahli memberikan defenisi
tentang pelayanan sosial yang saling berbeda-beda, tergantung dari sudut mana
dia melahirkan batasan tersebut. Pelayanan sosial terdiri dari dua kata, yaitu
pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti usaha pemberian bantuan atau
pertolongan kepada orang lain, baik materi dan non materi, agar orang itu dapat
mengatasi masalahnya sendiri. Dapat disimpulkan dari batasan tersebut bahwa
pelayanan bukan hanya pemberian bantuan berupa uang, makanan, sandang,
perumahan dan lain-lain yang bersifat materi melainkan juga bersifat non materi
seperti bimbingan.
Menurut Khan, Pelayanan Sosial dibedakan dalam dua golongan, yakni :
1. Pelayanan–pelayanan sosial yang sangat rumit dan komprehensif sehingga sulit
ditentukan identitasnya. Pelayanan ini antara lain pendidikan, bantuan sosial
dalam bentuk uang oleh pemerintah, perawatan medis dan perumahan rakyat.
2. Pelayanan sosial yang jelas ruang lingkupnya dan pelayanan-pelayanannya
walaupun selalu mengalami perubahan. Pelayanan ini dapat berdiri sendiri,
misalnya kesejahteraan anak dan kesejahteraan keluarga, tetapi juga dapat
merupakan suatu bagian dari lembaga-lembaga lainnya, misalnya pekerjaan
sosial di sekolah, pekerjaan sosial medis, pekerjaan sosial dalam perumahan
rakyat dan pekerjaan sosial dalam industri.
Lebih lanjut Suparlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa pelayanan
sosial adalah aktivitas yang terorganisasi bertujuan membantu para anggota
masyarakat saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan lingkungan
sosialnya. (Suparlan, 1983: 93)
Selanjutnya Syarif Muhidin (1981: 68) memberikan defenisi pelayanan
sosial dalam arti luas dan sempit, yaitu:
1. Pelayanan dalam arti luas adalah pelayanan yang mencakup fungsi
pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan,
kesehatan, tenaga kerja, dan sebagainya.
2. Pelayanan dalam arti sempit adalah pelayanan sosial yang mencakup
pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung,
seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna
susila, dan sebagainya.
Khan dalam Sumarno Nugroho (1987: 72), mengemukakan pendapatnya
tentang pelayanan sosial sebagai berikut: pelayanan sosial terdiri dari programprogram yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin
suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan dan
kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan
bermasyarakat,
fungsifungsinya.
serta
Untuk
kemampuan
perorangan
memperlancar
untuk
kemampuan
melaksanakan
menjangkau
dan
menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan
membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.
2.2.2 Klasifikasi Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi bertujuan untuk
membantu tercapainya penyesuaian timbal balik antara seseorang atau kelompok
dengan lingkungannya.
Klasifikasi pelayanan sosial dikemukakan oleh Khan dengan berdasarkan
pada fungsinya sebagai berikut, yaitu :
1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan Tujuan kegiatan
ini adalah sosialisasi, menanamkan pemahaman akan tujuan dan motivasi, serta
meningkatkan mutu perkembangan kepribadian.
2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan, pemberian bantuan, rehabilitasi
dan perlindungan sosial Pelayanan ini dapat berupa bantuan singkat, intensif
dan pribadi sifatnya dengan program-program perbaikan situasi lingkungan
sosial, antar orang atau unsur-unsur kepribadiannya juga termasuk pemulihan
kemampuan pelaksanaan peranan-peranan sosial individu.
3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan menggunakan
pelayanan sosial yang sudah ada dan pemberian informasi dan nasihat.
Pelayanan sosial yang disusun dengan baik dan disampaikan dengan efektif
akan dapat memenuhi kebutuhan dan bahkan menciptakan kepuasan.
Pelayanan sosial yang dilaksanakan secara luas dan mempunyai karakter
fundamental akan dapat memperluas perubahan sosial dan meningkatkan kondisi
kehidupan masyarakat.
2.2.3 Program-Program Pelayanan Sosial
Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi
kesejahteraan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau
intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan, langsung dan
terorganisasi, yang bertujuan membantu individu, kelompok dan lingkungan
sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian.
Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah
sebagai berikut :
1. Pelayanan akses : mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat
dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau
menggunakan pelayanan yang tersedia.
2. Pelayanan terapi : mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi, termasuk
didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan
oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak,
pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orangorang jompo dan lanjut usia.
3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan
anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi
pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin,
1989: 50).
2.2.4 Standard Pelayanan Sosial
Kata standard yang digunakan dapat berarti :
a. suatu norma bagi pelayanan sosial
b. suatu bentuk norma atau peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk
digunakan sebagai pedoman.
Adapun jenis standard pelayanan sosial itu adalah:
1. Standard Minimum
Standard ini digunakan kalau pemerintah menginginkan penentuan
persyaratan wajib untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan
sosial. Badan-badan sosial didorong untuk melampaui standard minimum ini.
2. Standard Maksimum
Standard ini merupakan sasaran pencapaian mutu pelayanan tertinggi yang
ditentukan oleh pemerintah selama jangka waktu tertentu. Standard maksimum ini
dapat digunakan dalam perencanaan kesejahteraan sosial jangka panjang.
3. Standard Realistis
Standard ini lebih banyak berfungsi sebagai pedoman dan oleh karenanya
tidak mempunyai kekuatan memaksa. Tujuan utama standard ini adalah
mendorong badan-badan sosial untuk meningkatkan pelayanannya.
Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang
saling menunjang dan saling melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan
pelayanan diluar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan :
1. Bangunan dan fasilitas lingkungannya
Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung
digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya
luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas bangunan.
Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal
yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun.
2. Peralatan
Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang
digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama.
3. Pelayanan Operasional
Mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah belah dan
lain-lain)
b. Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian)
c. Kesehatan dan kebersihan
d. Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang
4. Pelayanan Profesional
Mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh)
b. Pekerja sosial dan pelayanan profesional lain yang terkait (jumlah dan tugas
tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dan sebagainya).
c. Pelayanan pendidikan
d. Latihan kerja
e. Pelayanan bimbingan lanjut
5. Tenaga
Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan,
kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya.
6. Administrasi
Mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan
tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan,
peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya.
2.3 Prostitusi dan Penyebab Prostitusi
2.3.1 Pengertian Prostitusi
Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti
menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri
secara terang-terangan kepada umum.
Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya
dirumuskan demikian: “Pelacuran” dapat diartikan sebagai penyerahan badan
wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil
orang-orang itu”.
Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung
tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan
lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara
oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus
menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar
hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo.
Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk
diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau
rumahrumah tertentu, pelacur ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Call
girl ini jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada
perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan
lain-lain.
Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan
dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali,
seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka dibawabawa
oleh yang menghendakinya.
Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti :
a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)
b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersihan
dan pelayanannya baik
c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri
(terselubung–tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara
yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal.
Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan
bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung)
dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya
terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di
tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar.
Semakin
unik
bentuk-bentuk
pelacuran
semakin
sulit
pula
pelacuran
ditanggulangi apalagi dilenyapkan.
Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang
melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk
mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa.
Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan
lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah
dengan mendapat imbalan uang, materi, dan/atau jasa.
2.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi
Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan
perjalanan perilaku manusia, (dalam Simandjuntak, 1981) dikemukakan beberapa
teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan
crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu
mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland
dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena
pergaulan yang kurang baik pada masa lalu. Dari teori ini lahir pemikiran bahwa
WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak
mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih.
Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil
penelitian (Rowbothon 1973, dalam Suyanto, 2001: 111) menyebutkan bahwa
unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari
pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri
dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur
essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara
garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang
menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan
rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang
seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga
tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali
masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga,
karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS
sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri.
Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak
semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran
sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan
dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang
menggunakan beragam sarana atau sekedar janji janji berselubung cinta.
2.3.3 Prostitusi sebagai masalah sosial
Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar
pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat
tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial
atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia
sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di
tanggulangi dengan kesungguhan.
Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga
dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi,
sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata
pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin
diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang
lepas kendali.
2.3.4 Akibat-Akibat Prostitusi
Prostitusi menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis,
sosial ekonomi, dan moril.
1. Aspek medis
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat mengakibatkan
timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea bahkan HIV/AIDS.
Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS tersebut pengaruhnya sangat luas,
yaitu tidak hanya menyerang laki-laki dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak
bahkan menimbulkan abortus ataupun cacat jasmani dan rohani.
2. Aspek sosial ekonomi
Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena
bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan
menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa
dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat tidak
dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan mempunyai
nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan masyarakat dalam
mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau kekompakan dan partisipasi
pembangunan menjadi rusak (Simandjuntak, 1981). Selain pada aspek sosial,
dampak adanya WTS menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya
penyakit akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara,
dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa harus
mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit maupun
kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk rehabilitasi dan
mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan
dampak pelacuran.
3. Aspek Moril
Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap
(mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan tanggung
jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak mempunyai moril, salah
satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam pelacuran itu sendiri sangat
didominasi dorongan seksual dan mengabaikan perpaduan jiwa yang didasari
kasih sayang, dimana WTS merupakan objek pemuas seks laki-laki. Hal ini
merupakan
awal
lahirnya
demoralisasi
atau
mengesampingkan
norma
(mengabaikan value system) masyarakat.
2.4 Sistem Pembinaan di Panti sebagai Pelayanan Sosial
Panti sebagai lembaga sosial merupakan tempat dimana terdapat
kebutuhan yang beraneka ragam dari para penghuninya. Kebutuhan ini
mempunyai konsekuensi adanya tanggung jawab panti untuk memenuhi
kebutuhan itu. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah melalui panti. Panti
artinya tempat, sarana atau rumah, sedangkan pelayanan adalah usaha pemberian
bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non materi.
Penyantunan WTS dalam sistem perpantian berlangsung selama setengah
tahun dengan penjadwalan kegiatan sebagai berikut :
a. Tahap awal klien sudah diterima di panti
b. Tahap rehabilitasi sosial berupa kegiatan pengajaran pendidikan, bimbingan
sosial dan mental, latihan keterampilan. Tahap ini dilaksanakan selama 2
bulan lamanya
c. Tahap resosialisasi/persiapan penyaluran yaitu pemantapan bimbingan sosial
dan mental serta latihan keterampilan
d. Tahap bimbingan lanjut.
Jadi pelayanan panti bentuk pelayanan dengan mempergunakan panti
sebagai sarana dalam usaha memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada
kliennya sehingga mereka dapat mengatasi masalahnya. Dengan demikian mereka
dapat berperanan sosial dengan sepenuhnya. Sehubungan dengan itu, panti
berfungsi
untuk
pemulihan
fungsi
sosial
yang
terganggu,
pengadaan
sumbersumber dan pencegahan terhadap disfungsi sosial sesuai dengan hakekat
pembangunan sosial yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia maka hakekat pelayanan panti
menyangkut aspek kehidupan dan penghidupan penghuninya serta pada
hakekatnya pelayanan itu bersifat kuratif, rehabitatif, dan developmental.
Dapat disimpulkan bahwa panti merupakan suatu tempat yang berfungsi
untuk
memberikan
santunan/
rehabilitasi
kepada
penyandang
masalah
kesejahteraan sosial agar dapat memerankan fungsi sosial mereka secara wajar
dan memadai sesuai dengan harkat dan martabat manusia didalam tata kehidupan
normal.
2.5 Kerangka Pemikiran
Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang
kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di
dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Banyak hal yang
melatarbelakangi wanita menjadi pelacur/ WTS antara lain karena faktor
ekonomi, psikologis, kelonggaran kultur masyarakat di sekitar, tidak memiliki
keterampilan dan faktor lainnya.
Pelacuran atau tindak susila ini jelas menimbulkan keresahan serta
kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pelacuran
merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu diperlukan
penanganan masalah WTS atau pelacuran oleh pemerintah, dimana salah satu
fungsi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan usaha rehabilitasi,
untuk mempersiapkan mereka agar dapat secara utuh kembali ke masyarakat.
Di Sumatera Utara satu-satunya lembaga sosial yang secara khusus
menangani pembinaan terhadap klien/ wanita tuna susila adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Parawasa Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara di Berastagi. UPT
Parawasa Pejoreken adalah Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Provinsi yang
memberikan rehabilitasi terhadap WTS dan menerapkan sistem perpantian yaitu
pelayanan dalam suatu proses penyantunan dan pengentasan yang meliputi :
tahapan rehabilitasi, resosialisasi dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan
suatu upaya untuk mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan
penghidupan para penyandang tuna susila yang diliputi oleh pemulihan kembali
rasa harga diri, tanggung jawab sosial, serta kemauan dan berkemampuan
melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Bagan Alir Pemikiran
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Parawasa
Panti Sosial Karya
Wanita (PSKW) Parawasa
Pejoreken
Pelayanan Sosial :
Program Pendidikan :
a. Bimbingan Sosial
b. Bimbingan Mental
c. Bimbingan Keterampilan
Warga Binaan Sosial
Efektifitas pelayanan sosial :
1. Pemahaman program : Warga binaan mampu memahami program
pelayanan sosial yang diberikan
2. Ketepatan sasaran : Warga binaan yang diberikan pelayanan adalah
sasaran yang sesuai dengan program pelayanan sosial
3. Ketepatan waktu : Penggunaan waktu dalam melakukan program
pelayanan sosial sesuai dengan perencanaan awal
4. Tercapainya target : Pencapaian target yang ditetapkan melalui
kegiatan pelayanan sosial.
5. Tercapainya tujuan : Pencapaian tujuan yang ditetapkan melalui
kegiatan pelayanan seperti warga binaan memiliki keterampilan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
6. Perubahan nyata : Munculnya dampak yang baik pada warga binaan,
serta mampu memperoleh pekerjaan atau mampu mandiri seperi
wirausaha.
2.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.6.1 Defenisi Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan
klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu
istilah atau rangkaian kata (Soedjadi, 2000 : 14).
Untuk memfokuskan penelitian ini peneliti memberikan batasan konsep
yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Efektivitas adalah Suatu pencapaian tujuan secara maksimal dengan sarana
yang dimiliki melalui program-program tertentu.
2. Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan
dengan lingkungan sosialnya.
3. Wanita Tuna Susila adalah seorang wanita yang mengadakan hubungan seksual
dengan seorang pria atau lebih diluar pernikahan dengan sengaja atau
berpengharapan mendapat upah sebagai balas jasa, sehingga menjadi
kebiasaan. Dalam hal ini sama dengan istilah pelacur, penjaja seks, kupu-kupu
malam, balon, lonte, cabo, sundal, pecun.
4. UPT Parawasa Pejoreken adalah unit pelaksana teknis dari kantor wilayah
Dinas Sosial di Sumatera Utara yang bertanggung jawab langsung dibawah
Departemen Sosial, yang memberikan rehabilitasi dan pelayanan sosial
terhadap WTS.
2.6.2 Defenisi Operasional
Defenisi adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Jika
perumusan defenisi ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang
konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti,
maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia
nyata sehingga konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011 : 141).
Untuk melihat variabel-variabel dan indikator-indikator dalam penelitian
ini dapat dilihat dari jenis pelayanan yang diberikan. Adapun yang menjadi
defenisi operasional dalam pelayanan dan pembinaan di UPT Parawasa Pejoreken
dapat diukur melalui indikator sebagai berikut :
1. Pemahaman program, meliputi :
a. Sosialisasi pelayanan dan pembinaan yang diberikan kepada warga binaan
b. Pemahaman setelah sosialisasi pelayanan dan pembinaan
c. Pengetahuan tentang tujuan pelayanan dan pembinaan
2. Ketepatan sasaran, meliputi :
a. Warga binaan di UPT Parawasa Pejoreken
3. Ketepatan waktu, meliputi :
a. Ketepatan waktu dalam pemberian pelayanan dan pembinaan.
b. Keepatan frekuensi waktu dalam pemberian pelayanan dan pembinaan.
4. Tercapainta target, meliputi :
a. Pencapaian target yang ditetapkan melalui kegiatan pelayanan dan
pembinaan, seperti terpenuhinya kebutuhan warga binaan, baik di bidang
sosial, mental, keterampilan serta fasilitas yang diberikan.
5. Tercapainya tujuan, meliputi :
a. Peningkatan kepercayaan diri dalam diri warga binaan
b. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
6. Ada perubahan nyata, meliputi :
a. Dapat berfungsi sosial dengan baik dalam masyarakat
b. Memiliki bekal, seperti keterampilan untuk disalurkan.
c. Mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dengan motivasi diri yang
meningkat