Sistem Ekonomi Syariah dalam Perdagangan

Tugas 1 Ekonomi Syariah

Paper Mengenai Perdagangan Internasional

Andi Azhadi Tonang
A111 11 285

Sistem Ekonomi Syariah dalam Perdagangan Luar Negeri

Perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual-beli yang berlangsung antarbangsa
dan umat, bukan antar individu dari satu negara; baik perdagangan antardua
negara maupun antarindividu yang masing-masing berasal dari negara yang
berbeda untuk membeli komoditi yang akan ditransfer ke negaranya.
Dalam kondisi ini, negara akan mengarahkan dan campur tangan secara
langsung terhadap perdagangan tersebut. Tujuannnya adalah untuk mencegah
dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi lain,
serta campur tangan terhadap para pelaku bisnis kafir harbi dan mu’ahid.

Campur Tangan Pemerintah dalam Lalu Lintas Perdagangan
Negara secara mutlak akan campur tangan dalam perdagangan dan para pelaku
bisnis warga negara asing. Adapun terhadap rakyatnya sendiri maka dalam

perdagangan luar negeri tersebut negara cukup memberikan pengarahan
terhadap mereka. Sebab, mereka termasuk dalam kategori hubungan di dalam
negeri. Karena itu, untuk keperluan perdagangan dengan negara asing tersebut,
negara akan membuat pos-pos di tiap-tiap perbatasan negara. Pos-pos inilah
yang oleh fukaha disebut tempat-tempat pengintai (masalih ).
Tempat-tempat pengintai yang terletak di perbatasan ini merupakan
bentuk campur tangan dan pengarahan langsung terhadap perdagangan yang
keluar-masuk ke negara. Negara akan mengatur perdagangan dan menjalankan
aturan tersebut dengan menggunakan pos-pos yang terletak di perbatasan, yaitu
untuk mengatur perpindahan individu serta kekayaan yang keluar masuk ke
sana, yang melewati perbatasan tersebut, dan negara secara langsung akan
menanganinya.

Hukum Syariah dalam Perdagangan Luar Negeri
Hukum syariah adalah seruan Asy-Syari (Allah SWT) yang berkaitan dengan
perbuatan manusia. Karena itu, hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan
perdagangan luar negeri hanya berlaku untuk orangnya. Atas dasar ini, hukumhukum perdagangan luar negeri tidak ada hubungannya dengan komoditi dan
dari mana asal komoditi tersebut, namun hanya menyangkut pelaku bisnisnya.
Karena itu, para pelaku bisnis yang keluar masuk wilayah-wilayah Negara
Islam, antara lain ada tiga kelompok: (1) warga Negara Islam, baik Muslim

maupun ahludz-dzimmah; (2) orang-orang kafir mu’ahid; (3) orang-orang kafir
harbi.

Aturan untuk Transaksi Ekspor dan Impor
Orang-orang yang menjadi warga Negara Islam tidak boleh membawa komoditi
atau barang industri seperti persenjataan, ke darul kufur, sehingga bisa
membantu warga negara setempat dalam memerangi kaum Muslim. Namun, jika
barang-barang tersebut dikeluarkan bukan untuk membantu mereka dalam
melawan kaum Muslim, maka dalam kondisi semacam ini hukumnya mubah.
Karena itu, jika jenis komoditi yang dikirim kepada mereka selain barang-barang
strategis, semisal makanan, pakaian, perkakas dan sebagainya. Hanya saja,
barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat, yang jumlahnya terbatas, tetap
tidak diperbolehkan.

Adapun yang berkaitan dengan perdagangan yang berkaitan dengan
mengimpor komoditi ke negara Islam maka firman Allah SWT yang menyatakan
(yang artinya), “Allah menghalalkan jual-beli (QS al-Baqarah [2]: 275),” bersifat
umum, meliputi perdagangan dalam dan luar negeri. Tidak ada nash pun yang
menyatakan larangan kepada seorang Muslim atau ahludz dzimmah untuk
mengimpor komoditi ke dalam negeri.

.....

Landasan dalam Hal Larangan Ekspor Untuk Barang Strategis
Negara Islam mengikat perdagangan dengan darul kufur dalam beberapa hal
(berupa barang seperti makanan, perabot, pakaian, dan lain-lain, selama barang
itu bukan barang yang dibutuhkan oleh rakyat yang jumlahnya terbatas).
Sedangkan kemudian dalam hal-hal lain perdagangan dengan darul kufur
tersebut dicegah. Hal ini hanya mengikuti politik perang.
Ini berkaitan dengan perdagangan dengan darul kufur yang secara de jure
memerangi kaum muslim. Walaupun secara de facto darul kufur tersebut dalam
keadaan berperang dengan kita, kita tidak boleh mengekspor barang
persenjataan ke darul kufur, karena bisa jadi mereka akan jadi musuh.

“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
(QS. Al-Maidah [5]: 2)
.....

Pandangan Islam Berdasarkan Pelaku Bisnis

Menurut pandangan Islam, status pedagang internasional mengikuti kebijakan
politik luar negeri Islam. Dalam politik luar negeri Islam, negara-negara di luar
Darul Islam dipandang sebagai darul harbi. Darul harbi dibagi dua, yaitu darul
harbi fi‘lan, yaitu negara yang secara de facto sedang memerangi Islam, dan
darul harbi hukman, yaitu negara yang secara de facto tidak sedang berperang
dengan Islam.
Berlandaskan pada pandangan politik luar negeri itulah, maka status pedagang
dapat dikelompokkan menjadi 4:
a. Pedagang yang berstatus sebagai warga negara.
Warga negara Islam, yaitu Muslim maupun non-Muslim (kafir dzimmi),
mempunyai hak untuk melakukan aktivitas perdagangan di luar negeri,
sebagaimana kebolehan untuk melakukan aktivitas perdagangan di dalam
negeri. Mereka bebas melakukan ekspor-impor komoditi apapun tanpa harus ada
izin negara, juga tanpa ada batasan kuota, selama komoditi tersebut tidak
membawa dharar.

b. Pedagang dari negara harbi hukman.
Pedagang dari negara harbi hukman, baik yang Muslim maupun yang nonMuslim, memerlukan izin khusus dari negara jika mereka akan memasukkan
komoditinya. Izin bisa untuk pedagang dan komoditinya, dapat juga hanya untuk
komoditinya saja. Jika pedagang dari negara harbi hukman tersebut sudah

berada di dalam negara, maka dia berhak untuk berdagang di dalam negeri
maupun membawa keluar komoditi apa saja selama komoditi tersebut tidak
membawa dharar.
c. Pedagang dari negara harbi hukman yang terikat dengan perjanjian.
Pedagang kafir mu‘âhid, yaitu pedagang yang berasal dari negara harbi hukman
yang terikat perjanjian dengan Negara Islam, diperlakukan sesuai dengan isi
perjanjian yang diadakan dengan negara tersebut, baik berupa komoditi yang
mereka impor dari Negara Islam maupun komoditi yang mereka ekspor ke
Negara Islam.
d. Pedagang dari negara harbi fi‘lan.
Pedagang dari negara harbi fi‘lan, baik Muslim maupun non-Muslim, diharamkan
secara mutlak melakukan ekspor maupun impor. Perlakuan terhadap negara
yang secara real memerangi Islam adalah embargo secara penuh, baik untuk
kepentingan ekspor maupun impor. Pelanggaran terhadap embargo ini dianggap
sebagai perbuatan dosa.

Tarif untuk ‘Bea masuk Perdagangan’
Telah dijelaskan di atas hal yang berkaitan dengan keluar-masuknya para pelaku
bisnis dan komoditinya ke dan dari Negara Islam. Adapun yang berkaitan dengan
tarif bea masuk perdagangan yang dibebankan atas komoditi tersebut, hukum

syariah yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda, sesuai dengan
perbedaan para pelaku bisnisnya, bukan perbedaan komoditinya.
Jika pelaku bisnis luar negeri adalah rakyat Negara Islam, baik Muslim
maupun ahludz-dzimmah, maka komoditi mereka secara mutlak tidak dibebani
apa-apa. Baik itu komoditi yang dimasukkan ke dalam Negara Islam, dan
komoditi yang dikeluarkan ke darul kufur. Adapun untuk ahludz-dzimmah, tidak
dikenakan bea masuk, tetapi dikenakan tarif untuk harta perdagangan mereka,
yang dikenakan tarif sebesar perjanjian mereka. Pada masa Umar ra., ahludzdzimmah dikenakan tarif sebesar 1/20 dari nilai perdagangan mereka. Tarif ini
dikenakan karena (kalau mereka) orang-orang Islam tentu bisa dipungut sedekah
(zakat).
Adapun yang berkaitan dengan pelaku bisnis kafir mu‘âhid, maka orang
tersebut boleh dipungut harta sesuai dengan apa yang dinyatakan di naskah
perjanjian. Adapun ketentuan bagi pelaku bisnis kafir harbi adalah bahwa kita
akan memungut tarif bea masuk dari orang tersebut sesuai dengan apa yang
dipungut negaranya dari pelaku bisnis kita. Hanya saja, tarif bea masuk dari
pelaku bisnis kafir harbi yang sepadan dengan tarif bea masuk yang mereka
kenakan atas kita itu hukumnya mubah saja, bukan wajib. Artinya negara boleh
memungut lebih rendah, atau saja boleh membebaskan komoditi orang kafir
harbi. Sebab pungutan tarif bea masuk tersebut tidak untuk mengumpulkan


harta, melainkan sekedar politik dalam bermuamalah dengan perlakuan yang
sama.

Referensi:
Sistem Ekonomi Islam/Taqiyuddin an-Nabhani; penerjemah, Hafidz Abd. Rahman;
Penyunting, Tim HTI Press. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2010.
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/13/perdagangan-luar-negeri-ii-tarifperdagangan-dalam-pandangan-islam/