T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Hak Narapidana Perempuan: Studi Kasus Narapidana Perempuan di Rumah Tahanan Kelas IIB Kota Salatiga T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada saat hukum itu dikonsepkan sebagai suatu sistem, hukum akan menuju
pada suatu proses demi tegaknya hukum itu sendiri. 1Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System) merupakan sistem dalam menanggulangi masalah kejahatan

di Indonesia, sistem ini dilaksanakan oleh 4 (empat) lembaga penegak hukum.
Keempat lembaga tersebut adalah Lembaga Kepolisian yang melakukan penyelidikan
dan penyidikan dalam perkara pidana. Lembaga Kejaksaan, sebagai penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap yang didakwa melakukan suatu tindak
pidana dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili,
Lembaga Peradilan merupakan lembaga pemutus perkara pidana. Dan yang terakhir
adalah Lembaga Pemasyarakatan (LP) tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 2
Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan dua unsur yang selalu
saling berhubungan satu dengan yang lain. Pengertian Narapidana menurut Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Narapidana adalah terpidana
yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Di dalam
suatu Lembaga Pemasyarakatan akan ada suatu Sistem Kepenjaraan. Sistem
kepenjaraan adalah sistem perlakuan terhadap terhukum (narapidana), dimana sistem

ini adalah sistem tujuan dari pidana penjara. Dalam rumah narapidana, orang yang
bersalah tadi diberlakukan sedemikian rupa dengan mempergunakan sistem perlakuan
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana “Reformasi Hukum Pidana”, diakses dari
https://books.google.co.id/books?id=yF9pC6C9Vj8C&pg=PA343&dq=sistem+penjara&hl=en&sa=X&redir_es
c=y#v=onepage&q=sistem%20penjara&f=false, h.2, dikunjungi pada tanggal 20 November 2016 pukul 22.22
WIB.
2
Tina Asmarawati, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukumdi Indonesia , Budi Utama, Yogyakarta, 2015,
h. xi.
1

tertentu dengan harapan agar terhukum benar-benar bertaubat dan jera, sehingga
kemudian tidak akan melakukan perbuatan – perbuatan yang menyebabkan dirinya
masuk penjara.3
Istilah penjara sendiri dalam bahasa Arab disebut “al-habsu“ artinya
“menahan” atau penahanan sebagai tindakan pengamanan.4 Penjara juga mempunyai
arti: Bangunan untuk menempatkan para terpidana yang juga disebut Lembaga
Pemasyarakatan hal ini kaitannya dengan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana karena dalam pasal ini ada pidana pokok, (pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda, pidana tutupan) dan pidana tambahan (pencabutan hak-hak

tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim) yang
akibat dari tindak pidana tersebut akan di penjara. Akan tetapi pada saat ini penjara
sudah jarang dipergunakan karena lebih terkesan pada penghukuman fisik semata dan
lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan.5
Narapidana adalah orang yang pada suatu waktu tertentu melakukan pidana,
karena dicabut kemerdekaannya berdasarkan keputusan hakim.6 Hal ini sesuai dengan
pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Bab 1 ayat(6) dan (7), bahwa :

3

A.Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, 1988, h. 41.

4

Ahmad Warson Munawwier,Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia Lengkap , Yunit Pengadaan Buku-Buku
Ilmiah Keagamaan PP.Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, 1984,h.231.
5

6


Sudarsono, Kamus Hukum , Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h.350.

Petrus Irawan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Peradilan
Agama , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, h.38.

a. Terpidana

adalah

seseorang

yang

dipidana

berdasarkan

keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.

b.

Dijelaskan pada ayat (7), Narapidana adalah terpidana yang
menjalani

pidana

hilang

kemerdekaan

di

Lembaga

Pemasyarakatan.

Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena
merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang
telah bersalah melakukan tindak pidana.7 Lembaga Pemasyarakatan bertugas untuk

membina para narapidana agar setelah suatu hari nantinya mereka bebas atau setelah
mereka selesai menjalani masa hukumannya, mereka sebagai mantan narapidana
dapat berperilaku jauh lebih baik dan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik.
Meskipun seorang narapidana harus menjalani masa hukumannya di dalam
sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Namun, sangat penting untuk memperhatikan
perlindungan hak bagi setiap narapidana. Perlindungan hak adalah kesadaran akan
pentingnya untuk menjaga dan memenuhi hak – hak manusia dan wajib dilindungi.
Maka demikian seorang narapidana yang hilang kemerdekaannya karena menjalani
hukuman tidaklah hilang haknya sebagai seorang manusia dan warga negara.
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan suatu pembinaan diupayakan agar hak –
hak narapidana terpenuhi. Pemenuhan hak narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan
merupakan suatu perwujudan dalam pelaksanaan kewajiban negara di bidang Hak
Asasi Manusia (HAM) yaitu : menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
memenuhi (to fullfil) HAM.
7

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan menuju pada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa

Kesalahan, Kencana Media Group, Jakarta, 2006, h.129.


Di dalam suatu Lembaga Pemsyarakatan tidak hanya ada narapidana laki-laki
saja melainkan juga terdapat narapidana perempuan dan anak. Siapapun dapat
berpotensi melakukan kejahatan dan menjadi seorang narapidana, termasuk dalam hal
ini seorang perempuan. Di Indonesia tidak ada diskriminasi terhadap perempuan di
hadapan hukum. Hal ini sudah dijelaskan secara eksplisit dalam Undang - Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 27 telah ditentukan bahwa semua
warga negara sama kedudukannya dalam hukum pemerintahan dan bahwa setiap
warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Maka dengan ini tidak ada diskriminasi terhadap perempuan di dalam hukum
Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan asas hukum equality before the law, yang
dalam arti sederhana adalah semua orang memilki kedudukan yang sama di depan
hukum.
Sebagai seorang narapidana secara umum memiliki hak-hak selama para
narapidana tersebut menjalani hukumannya di dalam Lapas. Secara umum hak– hak
narapidana ini telah tertuang dalam Undang -Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yaitu:
1) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya,
2) mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani,
3) mendapatkan pendidikan dan pengajaran,
4) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak,

5) menyampaikan keluhan,
6) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang,
7) mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan,
8) menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya,
9) mendapatkan pengurangan masa pidana,

10) mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi keluarga,
11) mendapatkan pembebasan bersyarat,
12) mendapatkan cuti menjelang bebas,
13) mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.8

Meskipun telah diatur hak narapidana tersebut, namun jelas berbeda antara
narapidana perempuan dengan laki – laki. Meskipun seorang narapidana namun
sebagai seorang perempuan tetap akan memiliki hak kodrati yang telah melekat dari
diri seorang perempuan. Dapat dilihat hak kodrati perempuan yang tidak dimilki oleh
laki – laki yaitu antara lain menstruasi, hamil, melahirkan ,menyusui anaknya hingga
hak untuk merawat anak yang masih di bawah umur. Karena dengan adanya
perbedaan antara laki – laki dan perempuan maka hal ini akan mempengaruhi pola

sistem pemenuhan hak narapidana yang berbeda pula.
Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
perempuan yang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Walaupun seorang
perempuan yang telah menjadi terpidana, sering kali terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia terhadap para narapidana perempuan. Oleh karena itu, perempuan yang
menjadi narapidana harus mendapatkan perlindungan dan hak- hak kodratinya sebagai
seorang perempuan.9

8

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan , Jakarta, 2003, h.247.

9

Anggun Malinda, Perempuan dalam Sistem Peradilan Pidana (Tersangka, Terdakwa, Terpidana, Saksi dan
Korban), Garudhawaca, Yogyakarta, 2016, h.10.

Perlindungan


hukum

menurut

Satjipto

Raharjo

adalah

memberikan

pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati
semua hak – hak yang diberikan oleh hukum. 10Philipus M. Hadjon juga berpendapat
bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan.11
Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu negara,
merupakan kelompok yang juga wajib mendapat jaminan perlindungan atas hak-hak

yang dimilikinya secara asasi. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin
perlindungan hak asasi manusia kelompok wanita sama seperti jaminan kepada
kelompok lainnya.12 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia telah mengatur secara tegas tentang perlindungan terhadap hak khusus setiap
perempuan antara lain : dalam Pasal 48 menjelaskan hak perempuan atas pendidikan
dan pengajaran, Pasal 49 perempuan berhak atas kesehatan reproduksi, Pasal 50 berisi
hak atas perbuatan hukum yang mandiri dan dalam Pasal 51 menjeaskan hak
perempuan atas perkawinan, perceraian dan pengasuhan anak.
Melihat dalam realita yang terjadi saat ini, banyak hak narapidana perempuan
yang kurang diperhatikan. Selain hak khusus sebagai perempuan tersebut juga perlu
diperhatikan mengenai kesehatan para narapidana perempuan. Kesehatan dalam hal
tempat tinggal napi, makanan yang diperoleh, khusus narapidana perempuan juga
10

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.55.

11

Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia , PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h.2.


12

Niken Savitri, HAM Perempuan, PT. Revika Aditama, cet. I,Bandung,2008,h.2.

perlu diperhatikan kesehatan reproduksinya seperti perempuan lain para narapidana
perempuan juga mengalami haid di setiap bulannya. Hal ini harus sejalan dengan
ketentuan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Belum
diperhatikannya secara maksimal narapidana perempuan, maka dari itu diperlukan
adanya peraturan khusus untuk melindungi hak narapidana perempuan.

Dengan

demikian saya memilih Rumah Tahanan Salatiga sebagai tempat penelitian ini
dikarenakan Rumah Tahanan Kelas IIB Salatiga yang seharusnya hanya berfungsi
menjadi Rumah Tahanan yang hanya berkapasitas 100 orang. Namun pada
kenyataanya Rumah Tahanan Kelas IIB Kota Salatiga ini beralih menjadi beberapa
fungsi yaitu:
1) sebagai Rumah Tahanan Negara (RUTAN),
2) sebagai Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS),
3) sebagai Lembaga Pemasyarakatan Wanita,
4) sebagai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.
Dengan beralihnya menjadi beberapa fungsi maka Rumah Tahanan tersebut
menjadi kelebihan kapasitas. Dengan demikian Rumah Tahanan ini menjadi menarik
untuk diteliti karena dengan kelebihannya kapasitas tersebut maka akan semakin
banyak narapidana yang kurang diperhatikan hingga pada akhirnya menyebabkan
terjadinya pelanggaran hak narapidana khususnya narapidana perempuan. Hak
narapidana perempuan haruslah diperhatikan dan terpenuhi terpenuhi dengan baik, hal
ini sejalan dengan ketentuan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 5 yang menyatakan bahwa :Sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan asas : pengayoman; persamaan perlakuan dan pelayanan;
pendidikan; pembimbingan; penghormatan harkat dan martabat manusia; kehilangan

kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk tetap
berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Di dalam Rumah Tahanan Kelas IIB Kota Salatiga pada tahun 2017 terdapat
13 narapidana perempuan.

13

Dibandingkan dengan jumlah narapidana laki – laki

memang mereka jauh lebih sedikit. Sesuai dengan hasil penelitian di Rumah Tahanan
Kelas IIB Kota Salatiga semua narapidana perempuan mendapatkan perlakuan yang
sama dengan narapidana laki – laki dari segi pemenuhan gizi, beribadah, kesehatan,
kegiatan, hingga jam berkunjung dengan keluarga. Tidak ada perbedaan antara
narapidana laki – laki dan perempuan. Dari segi pemenuhan gizi mereka sama
mendapatkan makan tiga kali sehari dengan menu yang sama. Beribadah dan
kesehatan juga sama namun agak berbeda dalam hal kegiatan. Di mana narapidana
perempuan memiliki kegiatan sendiri seperti menjahit dan menyulam.14 Dalam
kunjungan keluarga juga demikian meskipun seorang narapidana tersebut memiliki
bayi ataupun anak yang masih di bawah umur, jam berkunjung yang ditentukan tetap
sama seperti halnya yang lain yaitu satu minggu hanya ada 4 kali kesempatan untuk
berkunjung dan hanya 1 jam. Padahal seperti yang kita tahu, seorang bayi ataupun
anak di bawah umur sangatlah membutuhkan ibunya untuk menyusui dan merawat
mereka. Namun dengan perlakuan yang sama antara narapidana laki – laki dan
perempuan yang menyebabkan mereka tidak dapat bertemu dengan ibu mereka. Hal
ini sesuai ketentuan Pasal 4 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak yang menyataka bahwa :” Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
13

Hasil wawancara dengan Bapak Dwi Murdanto sebagai Ka Subsie Peltah di Rumah Tahanan Kelas IIB Kota
Salatiga, 13 Maret 2017.
1414
Hasil wawancara dengan Bapak Dwi Murdanto sebagai Ka Subsie Peltah di Rumah Tahanan Kelas IIB Kota
Salatiga, 15 Maret 2017.

kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Jadi
seorang anak sangat berhak untuk bertemu ibunya meskipun ibunya sedang
menjalankan masa hukumannya. Dalam hal perlakuan secara fisik narapidana
perempuan di dalam Rumah Tahanan Kelas IIB ini juga kurang diperhatikan misalnya
dalam hal kesehatan seperti perempuan yang menerima haid di setiap bulannya. Pada
kenyataannya mereka tidak disediakan pembalut dari pihak petugas Rutan melainkan
para narapidana perempuan menyediakan sendiri dengan cara meminta kiriman dari
keluarga saat berkunjung ataupun membeli di kantin dalam Rutan. Dengan gambaran
tersebut dapat terlihat bahwa kurang diperhatikannya para narapidana perempuan
yang ada di dalam Rutan.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
yang menyatakan bahwa “Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berintegritasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab oleh karena itu sistem pemasyarakatan haruslah mampu mengembalikan warga
binaannya menjadi pribadi yang taat hukum.”
Sebagai negara hukum, hak-hak narapidana itu harus dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang, maka dari itu penegak hukum khususnya para staf di
lembaga pemasyarakatan harus menjamin perlindungan hak - hak narapidana. Selain
itu, sudah tugas negara untuk melindungi hak setiap narapidana mealui Kementrian
Hukum dan HAM dan pemerintah beserta para penegak hukum yang terkait.
sebagaimana fungsi lembaga pemasyarakatan sendiri yang berfungsi untuk melakukan
pembinaan terhadap narapidananya.
Jika terjadi pelanggaran terhadap hak narapidana perempuan maka tentunya
hal ini menjadi masalah dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Sebagai titik tolak

dalam pembahasan masalah hak asasi manusia di Indonesia ini, maka sorotan kita
tidak terlepas dari Undang-Undang Dasar dan Pancasila, karena Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan dasar dari segala peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, begitu pula Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber tertib
hukum Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis akan
mengkaji tentang Lembaga Pemasyarakatan yang terfokus pada persoalan
“Perlindungan Hak – Hak Narapidana Perempuan di Rumah Tahanan Kelas II B
Kota Salatiga”. Dengan ini penulis ingin lebih banyak meneliti serta mencari
informasi tentang narapidana perempuan di dalam Rumah Tahanan tersebut. Dengan
demikian bentuk-bentuk diskriminasi serta perlakuan buruk tidak akan terjadi di
dalam kehidupan Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Rutan Salatiga ini, sehingga
harapan setelah mereka keluar nantinya dapat hidup normal dan dapat diterima dalam
lingkungan masyarakat dengan baik. Dan dengan ini penulis bermaksud menulis
skripsi

dengan

judul

“PERLINDUNGAN

HUKUM

TERHADAP

HAK

NARAPIDANA PEREMPUAN (STUDI KASUS NARAPIDANA PEREMPUAN DI
RUMAH TAHANAN KELAS IIB KOTA SALATIGA)”

2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan penjelasan latar belakang diatas maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah :
Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap hak narapidana perempuan
di Rumah Tahanan Kelas IIB Kota Salatiga?

3. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan kita terhadap kenyataan hukum khususnya dalam
perlindungan terhadap hak – hak narapidana perempuan di dalam suatu sistem
pemasyarakatan dengan ini penulis dapat mengetahui masalah apa saja yang dihadapi
oleh para Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia terkhusus di Rumah Tahanan Kelas
II B Kota Salatiga dalam perlindungan hak – hak narapidana perempuan.

4. Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
Dapat memberikan gambaran tentang pengkajian implementasi Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang belum mengatur secara
khusus tentang perlindungan hak narapidana perempuan. Dan dengan adanya kajian
ini, dapat menjadi pertimbangan hukum untuk pemenuhan hak narapidana perempuan
yang sebagaimana harusnya ada di Indonesia.

5. Metode Penelitian
Untuk melakukan penelitian yang baik dan terarah, maka penulis akan
menggunakan metode penelitian untuk mendapatkan informasi yang tepat dari
berbagai aspek dan sumber mengenai permasalahan yang akan dijawab.
a. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian dalam permasalahan ini adalah jenis deskriptif analitis
yaitu penelitian yang digunakan untuk membahas suatu permasalahan dengan
cara meneliti, mengolah data, menganalisis, mengintreprestasikan hal yang

ditulis dengan pembahasan yang teratur dan sistematis, ditutup dengan
kesimpulan dan memberikan saran sesuai kebutuhan. Termasuk mengenai
Rumah Tahanan yang berperan dalam bidang pemasyarakatan dalam
menjalankan fungsinya.
b. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis yaitu
metode pengolahan data yang didasarkan pada hasil studi lapangan yang
kemudian dipadukan dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan,
sehingga

nantinya

diperoleh

data

yang akurat

sedangkan

terhadap

permasalahannya dilakukan pendekatan yuridis.15
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan\ sosio legal , yaitu suatu cara
pendekatan yang melihat hukum melalui penggabungan antara analisa
normatif (norma-norma hukum, yuridis) dan pendekatan ilmu non-hukum.
c. Lokasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian skripsi ini penulis menggunakan lokasi
penelitian di Rumah Tahanan Kelas IIB Kota Salatiga.
1. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undanganan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau

15

Sutrisno Hadi, Metodologi Research 2 , Andi Offset, Yogyakarta, 1995, h.136.

putusan hakim.16 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Kitan Undang – Undang Hukum Pidana
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat – Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan
Tahanan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3858).
g. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat berupa buku-buku mengenai ilmu politik,
ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian
non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum sepanjang mempunyai relevansi
dengan topik penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2005, h. 128.

dan pengertian atas bahan hukum lain. Bahan hukum tersier yang
dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Hukum.
2. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini Penulis menggunakan data primer.
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya. 17 Dalam
data primer penulis menggunakan teknik wawancara (interview). Wawancara
merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.18 Penulis melakukan
wawancara dengan Petugas Rumah Tahanan Kelas IIB Kota Salatiga dan juga
dengan narapidana perempuan yang menghuni Rumah Tahanan Kelas IIB Kota
Salatiga.

3. Analisis Data
Penulis menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yakni suatu analisis
yang sifatnya menjelaskan dan menggambarkan mengenai peraturan-peraturan
yang berlaku, kemudian dikaitkan dengan kenyataan yang ada di Rumah Tahanan
Kelas IIB Kota Salatiga.

6. Sistematika Penulisan
Penulis ini dibagi secara sistematis dalam 3 (tiga) substansi utama, yaitu
pendahuluan, pembahasan dan penutup.
Bab I Pendahuluan

17

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003, h. 2.

18

Ibid., h. 144.

Dalam bab ini berisi orientasi tentang penelitian yang akan dilakukan
meliputi: hakikat permaslahan dan tesis/argumentasi yang akan dipertahankan
oleh penulis. Uraian tentang kedua hal tersebut dituangkan menjadi :
1) Latar belakang.
2) Rumusan Masalah.
3) Tujuan Penelitian.
4) Manfaat Penelitian.
5) Metode Penelitian.

Bab II Kerangka Teori, Hasil Penelitian dan Analisis
Bab ini berisi tentang perlindungan yang diberikan oleh Negara
terhadap setiap narapidana perempuan yang akan meliputi :
Kerangka teori, hasil penelitian dan analisis
Bab III Penutup
Bab ini berisi tentang pernyataan tentang kesimpulan dan saran penulis