Studi Deskriptif Kualitatif mengenai Akulturasi Pekerja Tiongkok di PLTU Tanjung Pasir Kecamatan Pangkalan Susu
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
2.1.1 Paradigma Interpretif
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur atau bagaimana bagian-bagian berfungsi. Dalam definisi lainnya menurut Harmon (dalam Moleong, 2009:49) Paradigma merupakan cara yang mendasar untuk mempersepsi, berpikir,menilai, dan melakukan dua hal:
1. Membangun dan mendefinisikan batas-batas
2. Menceritakan kepada anda bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas tersebut sehingga menjadi berhasil.
Dalam keilmuannnya ada bermacam-macam paradigma yang berlaku, akan tetapi ada 2 yang mendominasi ilmu pengetahuan, yaitu, scientific paradigm (paradigma ilmiah) atau yang biasa disebut sebagai kuantitatif dan naturalistic
paradigm (paradigma natural) yang biasa disebut sebagai penelitian kualitatif.
Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme sedangkan paradigma alamiah bersumber dari fenomenologisme.
Penelitian sosial merupakan suatu penelitian yang mengacu kepada pola dinamis manusia yang selalu berbeda-beda atau berubah setiap harinya. Dalam penelitian ini mempunyai ruang lingkup humanistik yang berusaha mengkaji bagaimana sebenarnya akulturasi yang terjadi terhadap pekerja Tiongkok yang bekerja di Indonesia. Maka dalam kajian penelitian ini paradigma yang tepat adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan interpretif.
Kualitatif-interpretif merupakan metode yang berasal dari paradigma konstruktivis yang memandang jika manusia merupakan makhluk sosial yang melibatkan niat, kesadaran dan motif atau alasan-alasan tertentu, yang tidak dapat dijabarkan melalui pendekatan positivistik atau paradigma ilmiah. Selain karna ruang lingkup penelitian yang diteliti ini berada dibidang sosial, penulis memakai pendekatan interpretif karena ia juga mampu menjabarkan realitas sosial secara mendalam dan mendetail yang disajikan melalui observasi atau pengamatan yang
(2)
berasal dari data lapangan, studi kepustakaan dan sudut pandang atau kacamata peneliti.
2.2Kerangka Teori
Kerangka teoretis adalah suatu kumpulan teori dan model dari literatur yang menjelaskan hubungan dalam masalah tertentu. Dalam kerangka teoretis secara logis dikembangkan, digambarkan, dan dielaborasi jaringan-jaringan dari asosiasi antara variabel-variabel yang diidentifikasi melalui survey atau telaah literatur (Silalahi, 2009:92). Maka dari penelitian ini didapatkan beberapa teori dasar sebagai penghubung dalam masalah yang sedang peneliti ini, adapun teori yang dipakai sebagai berikut:
2.2.1 Komunikasi
Sejak dahulu kala manusia sudah mulai mempelajari cara untuk berinteraksi dengan sesamanya. Para ahli memperkirakan manusia mulai mampu berinteraksi sekitar 90.000 sampai 40.000 tahun yang lalu. Pada masa itu bentuk bahasa lisan biasanya mulai dipakai untuk menjembatani pemikiran, hasrat, pengetahuan, dalam mempertahankan hidup dan eksistensi mereka di kehidupan yang liar (Amir dkk, 2010:5). Sejak saat itu komunikasi manusia pada zaman dahulu terus mengalami perkembangan,seiring dengan perkembangan populasi manusia kuno, mereka mulai berusaha merepresentasikan apa yang ada di dalam pikirannya dan dituangkan kedalam relif dan goresan-goresan abstrak seperti lukisan atau gambar didinding-dinding gua.
Salah satu contoh dari perkembangan komunikasi yang mulai mengarah ke bentuk tulisan ini ialah ditemukannya lukisan cap tangan dan gambar pada saat berburu binatang, gambar benda-benda angkasa dan gambar-gambar lainnya yang abstrak. Lukisan tersebut diperkirakan berumur kurang lebih 15.000 tahun. selanjutnya manusia terus mengembangkan teknik komunikasinya agar lebih efektif dan menjangkau khalayak luas, manusia pada zaman dahulu tepatnya seperti pada masyarakat kuno Sumeria dan Mesir mulai mengembangkan komunikasi tulisan menggunakan daun papirus yang dijemur hingga kering. Tidak hanya mereka yang mulai berinovasi dalam mengembangkan komunikasi, bangsa-bangsa lainnya juga ikut mengembangkan komunikasi dengan
(3)
menggunakan alat atau media seperti bangsa Romawi yang merupakan salah satu contoh peradaban manusia yang menggunakan media dalam proses komunikasi mereka.
Hingga sekarang manusia seakan tak pernah berhenti mengeluarkan terobosan-terobosan penting melalui teknologi dan inovasi yang pada hakekatnya dapat mempengaruhi kualitas dan cara berkomunikasi umat manusia modern. Seiring dengan majunya teknologi dan kebutuhan informasi yang semakin cepat maka komunikasi akan terus mengalami perkembangan dalam kehidupan manusia, sehingga tak bisa dipungkiri lagi jika komunikasi merupakan hal yang sangat vital yang telah mempengaruhi peradaban manusia.
Secara epistemologi, komunikasi berasal dari bahasa latin (communicatio) dan bersumber dari kata communis yang artinya “sama.” Sama di sini dimaksudkan dalam “sama makna”, secara sederhana proses komunikasi bermuara pada usaha untuk mendapatkan kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan proses komunikasi tersebut.
Dalam definisi para ahli seperti menurut Carl L. Hovland menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses di mana seorang (Komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain (Komunikan). Harold D. Laswell menjelaskan jika kegiatan komunikasi dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan “Siapa-berkata apa-melalui saluran apa-kepada siapa-dengan efek apa
(who-says what-in which channel-to whom-with what effect) yang kemudian
rangkaian proses ini dikenal dengan sebutan model Laswell.
2.2.1.1Dimensi Ilmu Komunikasi
A. Bentuk / Tatanan Komunikasi
Dalam bentuk/ tatanannya komunikasi juga dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Komunikasi antar pribadi a. Komunikasi antarpribadi b. Komunikasi Intrapribadi 2. Komunikasi Kelompok
(4)
b. Komunikasi Kelompok Besar 3. Komunikasi Organisasi
4. Komunikasi Massa
a. Komunikasi massa cetak b. Komunikasi massa elektronik
B.Sifat Komunikasi
Berdasarkan sifatnya komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Komunikasi Verbal
a. Komunikasi lisan b. Komunikasi Tulisan 2. Komunikasi nonverbal
a. Komunikasi kial b. Komunikasi gambar 3. Komunikasi tatap muka 4. Komunikasi bemedia
C.Tujuan Komunikasi
Berdasarkan tujuannya, komunikasi terbagi empat, yakni: 1. Untuk mengubah sikap
2. Untuk mengubah opini/pendapat 3. Untuk mengubah perilaku 4. Untuk mengubah masyarakat
D. Fungsi Komunikasi
1. Menginformasikan 2. Mendidik
3. Menghibur 4. Mempengaruhi
E. Bidang Komunikasi
1. Komunikasi Sosial 2. Komunikasi Bisnis 3. Komunikasi Politik 4. Komunikasi Internasional 5. Komunikasi Antarbudaya
(5)
6. Komunikasi Pembangunan 7. Komunikasi Tradisonal 8. Komunikasi Lingkungan.
2.2.2 Komunikasi AntarBudaya
Komunikasi merupakan suatu sarana yang digunakan manusia sebagai alat untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar,untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa berfikir, berperilaku seperti yang kita inginkan dan juga mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis manusia.Deddy Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi suatu Pengantar (2007:7) mengatakan jika komunikasi merupakan sebuah mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat baik secara horizontal, maupun vertikal, dari suatu generasi ke generasi lainnya.
Komunikasi sebenarnya dipengaruhi oleh budaya-budaya yang melekat dalam kedirian manusia sehingga kita bisa mengenal identitas kebudayaan seseorang hanya dari bahasa yang dipakainya, tutur kata yang diucapkan dan kalimat pesan yang disampaikannya.
Budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu atau kelompok. Budaya juga merupakan pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum kita lahir. Dalam praktiknya budaya sangat berkaitan dengan komunikasi, sebab budaya mempengaruhi cara orang untuk berkomunikasi dan budaya dapat pula dikenal dan dipelajari melalui komunikasi. Secara umum, komunikasi antarbudaya ialah suatu alat untuk menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui proses perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan,serta sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri. Menurut Tubbs dan Moss, komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (ras,etnis,sosio ekonomi,atau gabungan dari semua perbedaan ini) Lubis, 2014: 13.
(6)
Menurut Samovar dan Porter (dalam Lubis, 2014 : 18) kebudayaan itu dapat dipelajari dan budaya itu dapat juga dipertukarkan, oleh karena itu budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikasi dan makna yang dimiliki tiap-tiap individu. Konsekuensinya, perbendaharaan inilah yang akan menimbulkan segala macam kesukaran dalam keberlangsungan komunikasi. Samovar dan porter juga menggambarkan suatu model komunikasi antarbudaya yang menggambarkan perubahan budaya yang terjadi ketika ada interaksi antarbudaya, seperti gambar di bawah ini:
Gambar 2.1.2 : Model Komunikasi Antarbudaya Samovar dan Porter
Sumber: Lubis (2014 : 20)
Komunikasi antar budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sisi komunikasi antarpribadi, sebab komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang dengan perhatian khusus dilihat pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Pada kajian komunikasi antarbudaya, benang merah yang harus diperhatikan adalah prinsip-prinsip hubungan antarpribadi seperti yang dituangkan oleh Lubis dalam bukunya Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya (2014 : 102) yaitu :
A B B
(7)
a. Homofili
Homofili merupakan derajat kesamaan antara individu-individu yang terlibat dalam interaksi antarpribadi. Seringkali kita mendapatkan bahwa kita lebih percaya pada orang-orang yang sudah dikenal daripada orang yang masih asing, atau kadang-kadang sesudah berkenalan dengan seseorang kita telah merasakan kecocokan dengannya. Salah satu yang dapat menjelaskan ini ialah adanya persepsi akan identifikasi, yakni dirasakan semacam hubungan karena adanya kesamaan, baik dalam segi penampilan,unsure, pendidikan, etnisitas, tempat tinggal atau wilayah geografi, pandangan politik moral, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan modal dasar sebelum berlanjut kepada interaksi yang lebih akrab dilakukan. Intensitas hubungan antarpribadi yang baik akan memunculkan kepercayaan terhadap komunikan atau sebaliknya penilaian komunikan terhadap komunikator.
b. Kredibilitas
Percaya atau tidaknya seseorang kepada orang lain tergantung kepada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas komunikasi yang dilakukan, yaitu:
1. Kompetensi: dengan kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu yang dipersepsikan dengan orang lain.
2. Karakter : persepsi tentang moral, nilai-nilai, etika, dan integritas komunikasi. 3. Ko-orientasi : derajat kesamaan yang dipersepsikan mengenai tujuan dan nilai. 4. Kharisma : derajat kepercayaan akan kualitas-kualitas kepemimpinan khusus
yang dipersepsikan, terutama dalam keadaan krisis.
5. Dinamika: derajat tentang entusiasme dan perilaku-perilaku nonverbal yang dipersepsikan.
6. Jiwa sosial : derajat keramahan dari seseorang. c. Kesediaan membuka diri (Self-disclosure)
Self Disclosureterjadi bilamana seseorang menyampaikan informasi tentang
dirinya sendiri pada orang lain. Kesediaan membuka diri menunjukkan adanya kepercayaan yang terjalin ketika komunikasi dilakukan antara komunikan dan komunikator, keterbukaan juga mengindikasikan jika masing-masing pihak yang
(8)
menjalin interaksi mendapatkan kepercayaan dan kesukaan. Jika saling percaya meningkat maka makin meningkat pula keterbukaan (self disclosure).
d. Dominasi dan Submisi
Dalam kesediaan membuka diri tingkat hubungan antarpribadi tidak sama antara pelaku komunikasi. Hubungan antarpribadi diatur oleh suatu hubungan dominasi dan submisi, misalnya antara majikan dan bawahan, dokter dan pasien, orang tua dan anak, guru-murid dan lain sebagainya. Dominasi dan submisi dipengaruhi oleh peranan sosial dalam masyarakat dan status dari satu individu di dalam organisasinya.
e. Formalitas dan Informalitas
Formalitas dan Informalitas juga mengatur keterbukaan diri, sebab dalam suatu sistem telah diatur sebuah tata cara yang disebut dengan manajemen, sistem ini terkait dengan tingkatan atau hirarki, pangkat, status sosial, umur, rekan sebaya dan lain sebagainya. Konsep formalitas – dan informalitas ini dipandang sebagai tolak ukur kedekatan antar pribadi seseorang.
f. Ketertarikan AntarPribadi
Ketertarikan antarpribadi sangat jelas menggambarkan keterbukaan diri seseorang, sebab dari sinilah awal mula pelaku komunikasi memulai interaksi, dan berlanjut menuju akulturasi.
g. Hubungan-Hubungan Kerja Antarpribadi
Hubungan kerja antar pribadi jika ditinjau dalam konteks komunikasi antar budaya juga memengaruhi keterbukaan diri seseorang, sebab hubungan ini mau tak mau harus diterapkan dalam interaksi sehari-hari seperti dalam pekerjaan, persahabatan, pergaulan.
Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya tidak terlepas dari komunikasi yang efektif, sebab telah disinggung di atas jika komunikasi antarbudaya merupakan suatu alat untuk menjembatani perbedaan budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu, maka dari itu, efektivitas komunikasi antarbudaya sangat di tentukan oleh kesadaran pada setiap individu, untuk berusaha mempelajari tatanan kebudayaan yang berasal dari luar dirinya, dan menciptakan suatu hubungan berkelanjutan, dan semakin meningkat, sehingga pada akhirnya akan tercipta kesepahaman dan keselarasan hubungan dari 2
(9)
budaya berbeda, kemudian efektivitas Komunikasi antarbudaya (dalam Liliweri, 2001 :171) yang efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2. Menghormati budaya lain sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak dan
4. Komunikator antarbudaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang lain.
Dalam komunikasi antarbudaya juga diperlukan kemampuan atau kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh tiap-tiap komunikator maupun komunikan antarbudaya yang meliputi:
1. kemampuan seseorang untuk menyampaikan semua maksud atau isi hati secara profesional sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dia tampilkan secara prima
2. kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara baik, misalnya mampu mengalihbahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat.
3. Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang sedang dihadapinya meskipun dia harus berhadapan dengan berbagai tekanan dalam proses tersebut.
4. Kemampuan seseorang untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan diri atau bisa mengelola pelbagai tekanan kebudayaan lain terhadap dirinya. (Lubis, 2014 : 145 ).
2.2.3 Akulturasi Budaya
Pada awalnya manusia mempelajari dan menginternalisasi pola-pola budaya yang ada di sekitarnya untuk kemudian dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan individu tersebut. Hal inilah yang dinamakan dengan sebutan enkulturasi. Kemudian ketika individu atau kelompok tertentu mulai memasuki budaya yang berbeda dari budaya awalnya dan berusaha untuk mempelajari serta mengadopsi nilai-nilai dari budaya barunya tersebut, maka fenomena ini yang biasa dinamakan dengan proses akulturasi.
(10)
Akulturasi sendiri merupakan suatu proses di mana imigran menyesuaikan diri dengan memperoleh budaya pribumi. Akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Akan tetapi walaupun kedua nya terlibat pertukaran budaya, menurut Mulyana & Rakhmat akulturasi akan terlihat lebih dominan terhadap masyarakat pendatang dibandingkan dengan masyarakat pribumi.
Proses komunikasi sangat mendasari proses akulturasi seorang imigran, karena melalui komunikasi para imigran yang datang ke suatu wilayah tertentu memperoleh pola-pola budaya yang ada di wilayah tersebut. Lewat komunikasi juga para pendatang akan memahami dan mengidentifikasi dan menginternalisasi lambang-lambang yang berlaku baik segi bahasa, struktur sosial masyarakat, dan lain sebagainya. Dalam proses identifikasi tersebut para imigran biasanya mengalami trial dan error dalam interaksinya baik dalam hal bahasa, simbol-simbol nonverbal, perbedaan dan pengaturan ruang serta jarak antar pribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gesture tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal serta dimensi-dimensi budaya pribumi yang tersembunyi, yang mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat pribumi.
Hal di atas semakin mengokohkan pernyataan jika semakin jauh perbedaan kebudayaan yang dimiliki oleh para imigran terhadap penduduk pribumi maka semakin sulit pula masing-masing budaya, baik dari pihak imigran maupun pribumi untuk mengenal.
Menurut Samovar & Porter dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya (2010 : 482) sukses atau tidaknya akulturasi yang terjadi didasarkan pada strategi adaptasi yang dilakukan oleh pendatang asing terhadap kultur tuan rumah, adapun strategi adaptasi yang dijelaskan yaitu:
1. Buatlah Hubungan Pribadi dengan Budaya Tuan Rumah
Hubungan langsung dengan budaya tuan rumah mendorong dan memfasilitasi sukses atau tidaknya proses adaptasi dengabn suatu budaya. Seorang pendatang diwajibkan untuk melakukan kontak langsung melalui percakapan sehari-hari dari orang yang memiliki budaya tersebut serta melakukan hubungan pertemanan terhadap mereka.
(11)
Mengembangkan pandangan dan pengetahuan mengenai budaya baru yang akan dimasuki merupakan langkah terpenting di dalam meningkatkan kemampuan komunikasi antarbudaya, sehingga dari proses tersebut kita akan mendapatkan kesadaran budaya yang berarti mengenal pola budaya sendiri dan juga sekaligus memahami jika pola budaya orang lain berbeda dengan budaya yang kita miliki. 3. Berpartisipasi dalam kegiatan budaya
Cara terbaik dalam mempelajari budaya baru ialah ikut serta berperan aktif di dalam budaya tersebut. Hadirilah kegiatan sosial, religius dan budaya dan cobalah terus berinteraksi dengan mereka maka dalam beberapa kesempatan penduduk tuan rumah akan mempersilahkan anda untuk membaur dan membagikan budaya mereka dengan anda.
Manusia dalam perjalanan hidupnya pasti akan bersinggungan dengan kebudayaan lain. Singgungan antarbudaya ini akan memiliki efek psikologis yang biasanya dirasakan langsung oleh para pendatang baru yang memasuki wilayah kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan yang telah ada dan yang telah terenkulturasi di dalam dirinya. Kejanggalan-kejanggalan yang berasal dari budaya yang berlainan ini disebut dengan kejutan budaya (culture shock).
Culture shockdidefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul
akibat kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk–petunjuk itu meliput seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri untuk menghadapi situasi sehari-hari (Mulyana dan Rakhmat dalam Lubis, 2014: 177). Culture shock dibedakan menjadi 2 bagian yaitu pendatang yang tinggal menetap untuk sementara waktu pada suatu wilayah tertentu dan pendatang yang memilih untuk menetap secara permanen di dalam wilayah tertentu.
Reaksi terhadap culture shockatau gegar budaya biasanya bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya, dan gegar budaya dapat juga muncul pada waktu yang berbeda-beda. menurut Samovar porter & Mc.Daniel (dalam Lubis, 2014; 178) mengatakan jika ada 9 reaksi yang biasanya terjadi,dan sering dialami oleh individu saat mengalami culture shock, yaitu:
1. Antagonis/ memusuhi lingkungan baru 2. Rasa kehilangan arah
(12)
3. Rasa penolakan
4. Gangguan lambung dan sakit kepala
5. Homesick/rindu rumah
6. Rindu pada teman dan keluarga
7. Merasa kehilangan status dan pengaruh 8. Menarik diri
9. Menganggap orang – orang dalam budaya tuan rumah tidak peka. Fase dalam culture shock terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu:
1. Fase Optimistik, fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
euphoria, sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural, Fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan akan harapan awal. Ini adalah periode krisis dalam periode
culture shock, di mana ke Sembilan tekanan yang telah dijelaskan di atas
terjadi.
3. Fase Kesembuhan, fase ketiga di mana orang mulai mengerti dan mengenal budaya barunya.
4. Fase Penyesuaian, fase terakhir di mana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya(nilai-nilai khusus, keyakinan dan pola komunikasi) fase inilah yang nantinya akan mengarahkan suatu individu menuju ketahap selanjutnya dari akulturasi, yaitu tahap asimilasi.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan dasar pemikiran dari peneliti dilandasi dengan konsep-konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal ini juga sama halnya seperti yang dikatakan jika kerangka konsep sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi,2001:40). Dalam kerangka pemikiran ini, peneliti membuat konsep sederhana yang bermula melihat bagaimana para imigran Tiongkok mempelajari, dan menggali budaya barunya yang berasal dari budaya tempatan sehingga pada akhirnya mereka adopsi dan
(13)
terakulturasi dalam diri mereka masing-masing. Berikut adalah kerangka pemikiran dari penelitian ini.
Gambar 2.3 : Kerangka Pemikiran Akulturasi
Budaya
Masyarakat Tempatan (Pribumi) Imigran Tiongkok
(1)
menjalin interaksi mendapatkan kepercayaan dan kesukaan. Jika saling percaya meningkat maka makin meningkat pula keterbukaan (self disclosure).
d. Dominasi dan Submisi
Dalam kesediaan membuka diri tingkat hubungan antarpribadi tidak sama antara pelaku komunikasi. Hubungan antarpribadi diatur oleh suatu hubungan dominasi dan submisi, misalnya antara majikan dan bawahan, dokter dan pasien, orang tua dan anak, guru-murid dan lain sebagainya. Dominasi dan submisi dipengaruhi oleh peranan sosial dalam masyarakat dan status dari satu individu di dalam organisasinya.
e. Formalitas dan Informalitas
Formalitas dan Informalitas juga mengatur keterbukaan diri, sebab dalam suatu sistem telah diatur sebuah tata cara yang disebut dengan manajemen, sistem ini terkait dengan tingkatan atau hirarki, pangkat, status sosial, umur, rekan sebaya dan lain sebagainya. Konsep formalitas – dan informalitas ini dipandang sebagai tolak ukur kedekatan antar pribadi seseorang.
f. Ketertarikan AntarPribadi
Ketertarikan antarpribadi sangat jelas menggambarkan keterbukaan diri seseorang, sebab dari sinilah awal mula pelaku komunikasi memulai interaksi, dan berlanjut menuju akulturasi.
g. Hubungan-Hubungan Kerja Antarpribadi
Hubungan kerja antar pribadi jika ditinjau dalam konteks komunikasi antar budaya juga memengaruhi keterbukaan diri seseorang, sebab hubungan ini mau tak mau harus diterapkan dalam interaksi sehari-hari seperti dalam pekerjaan, persahabatan, pergaulan.
Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya tidak terlepas dari komunikasi yang efektif, sebab telah disinggung di atas jika komunikasi antarbudaya merupakan suatu alat untuk menjembatani perbedaan budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu, maka dari itu, efektivitas komunikasi antarbudaya sangat di tentukan oleh kesadaran pada setiap individu, untuk berusaha mempelajari tatanan kebudayaan yang berasal dari luar dirinya, dan menciptakan suatu hubungan berkelanjutan, dan semakin meningkat, sehingga pada akhirnya akan tercipta kesepahaman dan keselarasan hubungan dari 2
(2)
budaya berbeda, kemudian efektivitas Komunikasi antarbudaya (dalam Liliweri, 2001 :171) yang efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2. Menghormati budaya lain sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak dan
4. Komunikator antarbudaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang lain.
Dalam komunikasi antarbudaya juga diperlukan kemampuan atau kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh tiap-tiap komunikator maupun komunikan antarbudaya yang meliputi:
1. kemampuan seseorang untuk menyampaikan semua maksud atau isi hati secara profesional sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dia tampilkan secara prima
2. kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara baik, misalnya mampu mengalihbahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat.
3. Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang sedang dihadapinya meskipun dia harus berhadapan dengan berbagai tekanan dalam proses tersebut.
4. Kemampuan seseorang untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan diri atau bisa mengelola pelbagai tekanan kebudayaan lain terhadap dirinya. (Lubis, 2014 : 145 ).
2.2.3 Akulturasi Budaya
Pada awalnya manusia mempelajari dan menginternalisasi pola-pola budaya yang ada di sekitarnya untuk kemudian dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan individu tersebut. Hal inilah yang dinamakan dengan sebutan enkulturasi. Kemudian ketika individu atau kelompok tertentu mulai memasuki budaya yang berbeda dari budaya awalnya dan berusaha untuk mempelajari serta mengadopsi nilai-nilai dari budaya barunya tersebut, maka fenomena ini yang biasa dinamakan dengan proses akulturasi.
(3)
Akulturasi sendiri merupakan suatu proses di mana imigran menyesuaikan diri dengan memperoleh budaya pribumi. Akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Akan tetapi walaupun kedua nya terlibat pertukaran budaya, menurut Mulyana & Rakhmat akulturasi akan terlihat lebih dominan terhadap masyarakat pendatang dibandingkan dengan masyarakat pribumi.
Proses komunikasi sangat mendasari proses akulturasi seorang imigran, karena melalui komunikasi para imigran yang datang ke suatu wilayah tertentu memperoleh pola-pola budaya yang ada di wilayah tersebut. Lewat komunikasi juga para pendatang akan memahami dan mengidentifikasi dan menginternalisasi lambang-lambang yang berlaku baik segi bahasa, struktur sosial masyarakat, dan lain sebagainya. Dalam proses identifikasi tersebut para imigran biasanya mengalami trial dan error dalam interaksinya baik dalam hal bahasa, simbol-simbol nonverbal, perbedaan dan pengaturan ruang serta jarak antar pribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gesture tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal serta dimensi-dimensi budaya pribumi yang tersembunyi, yang mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat pribumi.
Hal di atas semakin mengokohkan pernyataan jika semakin jauh perbedaan kebudayaan yang dimiliki oleh para imigran terhadap penduduk pribumi maka semakin sulit pula masing-masing budaya, baik dari pihak imigran maupun pribumi untuk mengenal.
Menurut Samovar & Porter dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya (2010 : 482) sukses atau tidaknya akulturasi yang terjadi didasarkan pada strategi adaptasi yang dilakukan oleh pendatang asing terhadap kultur tuan rumah, adapun strategi adaptasi yang dijelaskan yaitu:
1. Buatlah Hubungan Pribadi dengan Budaya Tuan Rumah
Hubungan langsung dengan budaya tuan rumah mendorong dan memfasilitasi sukses atau tidaknya proses adaptasi dengabn suatu budaya. Seorang pendatang diwajibkan untuk melakukan kontak langsung melalui percakapan sehari-hari dari orang yang memiliki budaya tersebut serta melakukan hubungan pertemanan terhadap mereka.
(4)
Mengembangkan pandangan dan pengetahuan mengenai budaya baru yang akan dimasuki merupakan langkah terpenting di dalam meningkatkan kemampuan komunikasi antarbudaya, sehingga dari proses tersebut kita akan mendapatkan kesadaran budaya yang berarti mengenal pola budaya sendiri dan juga sekaligus memahami jika pola budaya orang lain berbeda dengan budaya yang kita miliki. 3. Berpartisipasi dalam kegiatan budaya
Cara terbaik dalam mempelajari budaya baru ialah ikut serta berperan aktif di dalam budaya tersebut. Hadirilah kegiatan sosial, religius dan budaya dan cobalah terus berinteraksi dengan mereka maka dalam beberapa kesempatan penduduk tuan rumah akan mempersilahkan anda untuk membaur dan membagikan budaya mereka dengan anda.
Manusia dalam perjalanan hidupnya pasti akan bersinggungan dengan kebudayaan lain. Singgungan antarbudaya ini akan memiliki efek psikologis yang biasanya dirasakan langsung oleh para pendatang baru yang memasuki wilayah kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan yang telah ada dan yang telah terenkulturasi di dalam dirinya. Kejanggalan-kejanggalan yang berasal dari budaya yang berlainan ini disebut dengan kejutan budaya (culture shock).
Culture shockdidefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul akibat kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk–petunjuk itu meliput seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri untuk menghadapi situasi sehari-hari (Mulyana dan Rakhmat dalam Lubis, 2014: 177). Culture shock
dibedakan menjadi 2 bagian yaitu pendatang yang tinggal menetap untuk sementara waktu pada suatu wilayah tertentu dan pendatang yang memilih untuk menetap secara permanen di dalam wilayah tertentu.
Reaksi terhadap culture shockatau gegar budaya biasanya bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya, dan gegar budaya dapat juga muncul pada waktu yang berbeda-beda. menurut Samovar porter & Mc.Daniel (dalam Lubis, 2014; 178) mengatakan jika ada 9 reaksi yang biasanya terjadi,dan sering dialami oleh individu saat mengalami culture shock, yaitu:
1. Antagonis/ memusuhi lingkungan baru 2. Rasa kehilangan arah
(5)
3. Rasa penolakan
4. Gangguan lambung dan sakit kepala 5. Homesick/rindu rumah
6. Rindu pada teman dan keluarga
7. Merasa kehilangan status dan pengaruh 8. Menarik diri
9. Menganggap orang – orang dalam budaya tuan rumah tidak peka. Fase dalam culture shock terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu:
1. Fase Optimistik, fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
euphoria, sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural, Fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan akan harapan awal. Ini adalah periode krisis dalam periode
culture shock, di mana ke Sembilan tekanan yang telah dijelaskan di atas terjadi.
3. Fase Kesembuhan, fase ketiga di mana orang mulai mengerti dan mengenal budaya barunya.
4. Fase Penyesuaian, fase terakhir di mana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya(nilai-nilai khusus, keyakinan dan pola komunikasi) fase inilah yang nantinya akan mengarahkan suatu individu menuju ketahap selanjutnya dari akulturasi, yaitu tahap asimilasi.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan dasar pemikiran dari peneliti dilandasi dengan konsep-konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal ini juga sama halnya seperti yang dikatakan jika kerangka konsep sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi,2001:40). Dalam kerangka pemikiran ini, peneliti membuat konsep sederhana yang bermula melihat bagaimana para imigran Tiongkok mempelajari, dan menggali budaya barunya yang berasal dari budaya tempatan sehingga pada akhirnya mereka adopsi dan
(6)
terakulturasi dalam diri mereka masing-masing. Berikut adalah kerangka pemikiran dari penelitian ini.
Gambar 2.3 : Kerangka Pemikiran Akulturasi
Budaya
Masyarakat Tempatan (Pribumi) Imigran Tiongkok