Distribusi Maloklusi pada Siswa SMAN 4 Medan Tahun 2016

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan sepanjang hidup dalam
kehidupan manusia.1,2 Gigi berperan pada proses pengunyahan, berbicara dan
penampilan atau estetika.1-3 Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat
mempengaruhi berbagai fungsi rongga mulut.1-4 Salah satunya adalah kelainan
susunan gigi atau disebut maloklusi.1,2,4
Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat
menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara dan keserasian
wajah yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental.1,4,5 Maloklusi adalah suatu
bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk
normal atau malrelasi lengkung rahang atas dan bawah yang tidak normal.1,2,4-9
Oklusi dikatakan normal jika susunan gigi dalam lengkung teratur dan baik serta
terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dan gigi bawah, hubungan
seimbang antara gigi, tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot sekitarnya
yang dapat memberikan keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika
yang baik.1,2,5,10 Penyimpangan tersebut berupa ciri-ciri maloklusi yang jumlah dan
macamnya sangat bervariasi baik dari tiap individu maupun populasi, diantaranya
adalah gigi berjejal (crowded), gingsul (caninus ectopic), gigi tonggos (disto oklusi),

gigi cakil (mesio oklusi), gigitan menyilang (crossbite), gigi jarang (diastema).2
Maloklusi memiliki penyebab yang multifaktorial dan hampir tidak pernah
memiliki satu penyebab yang spesifik.11,12 Faktor penyebab maloklusi terbagi dua,
yakni faktor umum dan faktor lokal. Faktor umum misalnya seperti genetik atau
herediter, defisiensi nutrisi dan kebiasaan abnormal, sedangkan untuk faktor lokal
berasal dari lengkung rahang misalnya gigi supernumerary, karies gigi dan
kehilangan gigi desidui sebelum waktunya.11 Beberapa klasifikasi etiologi maloklusi
sudah dikenalkan, salah satunya adalah klasifikasi etiologi maloklusi menurut Moyer.

Universitas Sumatera Utara

Etiologi maloklusi menurut klasifikasi Moyer adalah herediter, trauma (prenatal
trauma dan postnatal trauma), ekstraksi prematur gigi desidui, malnutrisi, kebiasaan
buruk, penyakit sistemik, kelainan endokrin, dan penyakit lokal diantaranya adalah
penyakit gingiva dan periodontal, karies, gangguan fungsi saluran pernafasan.13,14
Berdasarkan laporan dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional
tahun 2013, sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%.1
Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah
penduduk, dan merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup
besar.1,15 Maloklusi berada di urutan ketiga setelah karies dan penyakit periodontal

dalam kategori masalah kesehatan gigi dan mulut.2,5,10,11,16,17 Beberapa peneliti di
bidang ortodonti mengatakan bahwa maloklusi pada remaja Indonesia usia sekolah
menunjukkan angka yang tinggi. Prevalensi maloklusi pada remaja di Indonesia
mulai tahun 1983 sebesar 90% dan pada tahun 2006 sebesar 89%.2 Di Kota Medan,
prevalensi maloklusi pada 4 Sekolah Menengah Umum bahkan telah mencapai 83%
(Marpaung, 2006).2
Remaja masa kini sering dijumpai maloklusi tetapi tidak dilakukan perawatan.
Mereka tidak merasa mengalami maloklusi atau tidak tahu bahwa dirinya
membutuhkan perawatan ortodonti. Beberapa remaja lain menjadi rendah diri karena
penampilan yang kurang menarik atau kurang sempurna fungsi bicara sebagai akibat
dari maloklusi. Tidak sedikit pula, remaja banyak melakukan perawatan ortodonti.
Tujuan mereka diantaranya adalah memperbaiki susunan gigi-geligi, memperbaiki
penampilan wajah, meningkatkan fungsi bicara dan banyak yang bertujuan untuk
gaya.18
Banyaknya minat remaja akan perawatan ortodonti atau kawat gigi
dikarenakan kesadaran tentang penampilan fisik meningkat pada anak-anak yang
usianya mendekati remaja.5,19 Masa remaja lebih mementingkan daya tarik fisik dan
proses sosialisasi.2,16 Semakin dewasa seseorang kesadarannya terhadap kesehatan
dan penampilan saat bersosialisasi akan bertambah oleh karena itu remaja khususnya
remaja SMA lebih mementingkan estetik dalam kehidupan sosialnya dengan sesama

teman sebaya dalam proses mencari identitas.2,5,20 Selain itu, faktor pendorong remaja

Universitas Sumatera Utara

untuk mencari perawatan ortodonti sangat kompleks. Estetika, terutama susunan gigi
anterior yang salah sering menjadi alasan utama untuk melakukan perawatan
ortodonti dan memperbaiki susunan gigi-geligi adalah tujuan penting perawatan.21,22
Menurut WHO, usia yang dikatakan remaja ada pada usia 10-19 tahun.23,24
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 25 tahun 2014, remaja
adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan
belum menikah. Jumlah kelompok usia 10-19 tahun di Indonesia menurut sensus
penduduk 2010 sebanyak 43,5 juta atau sekitar 18% dari jumlah penduduk Indonesia.
Di dunia, diperkirakan kelompok remaja berjumlah 1,2 milyar atau 18% dari jumlah
penduduk dunia (WHO,2014).24
Beberapa penelitian tentang prevalensi maloklusi khususnya pada remaja
sudah dilakukan di berbagai negara di dunia. Penelitian Oktavia melaporkan bahwa
prevalensi maloklusi pada remaja SMA di Kota Medan tahun 2007 sebesar 60,5%.2
Artenio pada tahun 2010 melaporkan hasil penelitian prevalensi maloklusi Klas I, II
dan III berdasarkan klasifikasi Angle pada anak usia 12 tahun di Brazil secara

berturut-turut adalah 55,92%, 42,86% dan 1,22%.16 Penelitian Astuti mengenai
prevalensi maloklusi pada siswa SMP di Kecamatan Malalayang tahun 2011
mendapatkan hasil sebesar 60,2%.1
Hasil penelitian Baral tahun 2013 menunjukkan 61,3% ras Arya dan 64% ras
Mongoloid memiliki maloklusi Klas I. Untuk maloklusi Klas II divisi 1 yaitu 25,2%
pada ras Arya dan 17,9% pada ras Mongoloid sedangkan maloklusi Klas II divisi 2
memiliki prevalensi yang lebih rendah yaitu 5,3% pada ras Arya dan 2,5% pada ras
Mongoloid. Maloklusi Klas III terdapat pada 8,2% ras Arya dan 15,6% ras
Mongoloid.25
Pada tahun 2014, Rosihan melaporkan bahwa maloklusi lebih banyak terjadi
pada anak usia 13-14 tahun. Kemudian, remaja laki-laki lebih sering mengalami
maloklusi berat 72% sedangkan remaja perempuan sebagian besar mengalami
maloklusi ringan 56%. Hal ini dikarenakan remaja perempuan lebih memperhatikan
penampilan mereka saat bersosialisasi dengan teman sebaya dan remaja laki-laki

Universitas Sumatera Utara

bersifat acuh tak acuh atau kurang memperhatikan penampilan. Selain itu juga bisa
disebabkan faktor orang tua.5
Tingginya angka maloklusi di Indonesia khususnya remaja membuat peneliti

ingin melakukan penelitian tentang distribusi maloklusi tersebut. Maka dari itu,
peneliti ingin melakukan penelitian di SMAN 4 Medan untuk mengetahui distribusi
maloklusi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah distribusi maloklusi pada siswa SMAN 4 di Kota Medan.

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui distribusi maloklusi pada siswa SMAN 4 di Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan
bagi ilmu kedokteran gigi khususnya dalam bidang Ortodonti.
b. Hasil

penelitian


ini

diharapkan

sebagai

langkah

awal

untuk

dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pihak sekolah mengenai distribusi maloklusi.

Universitas Sumatera Utara