Pengaruh Variabel Keuangan Dan Non Keuangan Terhadap Underpricing Pada Saham Perusahaan Yang Melakukan Initial Public OfferingDi Bursa Efek Indonesia Periode 2009 - 2014
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pasar Modal
2.1.1 Pengertian Pasar Modal
Menurut Bursa Efek Indonesia, Pasar modal (capital market) merupakan
pasar
untuk
berbagai
instrumen
keuangan
jangka panjang
yang
bisa
diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), equity (saham), reksa dana,
instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar modal merupakan sarana
pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan
sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Dengan demikian, pasar modal
memfasilitasi berbagai sarana dan pra sarana kegiatan jual beli dan kegiatan
terkait lainnya. Pasar modal sebagai pesaing bank dalam peranya adalah sebagai
sumber pembiayaan maupun sebagai sumber investasi (Lubis, 2008:7).
Pada dasarnya pasar modal sama dengan pasar-pasar yang lainnya yaitu
setiap pembeli yang berhasil, selalu harus ada penjual yang berhasil. Jika jumlah
orang yang membeli lebih banyak dari jumlah orang yang menjual harga akan
naik, dan sebaliknya jika penjual lebih banyak dari pembeli maka harga akan
turun. Yang membedakan pasar modal dengan lainnya adalah komoditas yang di
perdagangkan. Pasar modal dapat dikatakan sebagai pasar abstrak karena yang
diperjual belikan adalah dana-dana jangka panjang, yaitu dana yang keterkaitanya
lebih dari satu tahun.
Bagi perusahaan, pasar modal dapat dimanfaatkan dalam memenuhi
kebetuhan modal dan membiayai kegiatan operasioanal perusahaan sehingga
21
Universitas Sumatera Utara
utang komersial. Pembiayaan bagi suatu perusahaan dapat berasal dari dua
sumber, yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Sumber dana internal
diperoleh dari setoran dan pemilik perusahaan dan sisa laba yang ditahan.
Sementara itu, sumber pembayaan eksternal diperoleh melalui kredit perbankan
dan dari lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, seperti pasar modal dan modal
ventura.
Pasar modal merupakan salah satu sarana yang efektif dalam menggerakkan
dana dari masyarakat untuk selanjutnya disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang
produktif.
Upaya
pemerintah
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dalam
perekonomian dapat dilakukan melalui pasar modal. Masyarakat yang memiliki
kelebihan dana, baik masyarakat dalam negeri maupun masyarakat luar negeri,
dapat menginvestasikan uangnya melalui pasar modal. Pasar modal yang telah
berkembang memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi
suatu negara.
2.1.2 Jenis Pasar Modal
Terdapat 2 (dua) jenis pasar yang terdapat di pasar modal Indonesia, yaitu
(Darmadji dan Fakhrudin dalam Wicaksono, 2012:10), yaitu:
a.
Pasar Perdana (Primary Market)
Pasar perdana adalah jenis pasar pada pasar modal dimana saham dan
sekuitas lainnya dijual pertama kali pada masyarakat (penawaran umum)
sebelum saham dan sekuritas tersebut dicatat di bursa. Kegiatan ini disebut
penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Harga saham di pasar
perdana ditentukan oleh emiten dan penjamin emisi (underwriter )
22
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan
faktor-faktor
fundamental
dan
faktor
lain
yang
perlu
diidentifikasi. Underwriter selain menentukan harga saham bersama emiten,
juga melakukan proses penjualannya.
b.
Pasar Sekunder (Secondary Market)
Pasar sekunder adalah pasar modal dimana saham dan sekuritas lainnya
diperjual belikan kepada umum setelah masa penjualan di pasar perdana.
Harga saham di pasar ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang
dipengaruhi berbagai faktor internal seperti earning per share (EPS) atau
kebijakan deviden dan faktor eksternal sepeti kebijakan moneter dan inflasi.
2.2 Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)
2.2.1 Definisi Initial Public Offering (IPO)
Initial Public Offering (IPO) adalah kegiatan penawaran saham atau efek
lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk
menjual saham atau efek kepada publik atau masyarakat berdasarkan tata cara
yang diatur oleh UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. (Darmadji dan
Fakhruddin dalam Ratnasari, 2013:87 ). Dengan melakukan penawaran umum
saham perdana, suatu perusahaan akan berubah statusnya dari perusahaan tertutup
(private company) menjadi perusahaan terbuka (public company). Perusahaan
terbuka diharuskan melakukan keterbukaan informasi kepada publik khususnya
investor yang telah membeli saham perusahaan dan melakukan transformasi
pengelolaan perusahaan dari yang bersifat tertutup ke arah yang lebih transparan
dan profesional.
23
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Manfaat Initial Public Offering (IPO)
Dengan melakukan Penawaran Umum Saham kepada masyarakat, perusahaan
dapat menikmati berbagai manfaat antara lain sebagai berikut (Wicaksono,
2012:13) ;
a. Memperoleh dana tambahan dalam jumlah yang besar dan diterima
secarasekaligus. Dana tambahan tersebut dapat digunakan untuk perluasan/
ekspansi perusahaan atau dapat juga digunakan untuk pembayaran utang,
sehingga dapat menurunkan beban bunga dan pada akhirnya dapat
meningkatkan laba perusahaan.
b. Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk go public termasuk ringan jika
dibandingkan dengan sumber pendanaan lainnya seperti meminjam dana dari
bank atau lembaga keuangan lainnya.
c. Perusahaan memiliki akses terhadap sumber dana yang lebih beragam di
masa yang akan datang, misalnya perusahaan dapat melakukan penawaran
umum terbatas (rights issue).
d. Perusahaan publik akan lebih dipercaya dibandingkan dengan perusahaan non
publik dalam persaingannya, karena perusahaan publik harus transaran dalam
menjalankan usahanya.
e. Perusahaan akan lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena secara
otomatis sebagai perusahaan publik akan lebih banyak diekspos media, analis,
investor, dan lembaga lainnya.
f. Sebagai perusahaan publik, memungkinkan karyawan perusahaan untuk
memiliki saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan motivasi bekerja.
24
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Konsekuensi Initial Public Offering (IPO)
Di samping berbagai manfaat yang dapat dinikmati sebagai perusahaan
terbuka, ada beberapa konsekuensi yang harus diperhatikan / ditanggung oleh
perusahaan terbuka, antara lain (Wicaksono, 2013:14):
a.
Kewajiban untuk melakukan keterbukaan informasi secara penuh kepada
publik (full disclosure). Hal ini merupakan konsekuensi utama menjadi
perusahaan publik dimana perusahaan diwajibkan untuk memenuhi berbagai
peraturan keterbukaan baik yang ditentukan Bapepam-LK,Lembaga Bursa
dan berbagai kewajiban lainnya.
b.
Transformasi manajemen menjadi perusahaan yang lebih transparan,
profesional, kredibel dan memenuhi tuntutan Good Corporate Governance.
Dengan menjadi perusahaan publik, maka perusahaan akan dikontrol oleh
pihak–pihak eksternal perusahaan untuk mencegah terjadinya praktik –
praktik bisnis yang tidak sehat.
c. Kewajiban membayar dividen, karena salah satu tujuan yang ingin diperoleh
pemegang saham adalah untuk mendapatkan dividen. Atas persetujuan
pemegang saham pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
perusahaan mempunyai kewajiban menyisihkan keuntungannya untuk
memberi dividen kepada para pemegang saham secara proposional.
d. Biaya – biaya yang timbul berkaitan dengan saham perusahaan, seperti biaya
pencatatan saham di Bursa Efek, membayar jasa Biro Administrasi Efek
(BAE).
25
Universitas Sumatera Utara
2.3 Underpricing
2.3.1 Definisi Underpricing
Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar
sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Underpricing
saham juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana efek yang dijual di
bawah nilai likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya diterima oleh pemegang
saham. Ada kecenderungan bahwa harga penawaran di pasar perdana selalu lebih
rendah dibandingkan dengan harga penutupan pada hari pertama diperdagangkan
di pasar sekunder. Sedangkan overpricing yang disebut juga underpricing negatif,
merupakan kondisi dimana harga penawaran perdana lebih tinggi daripada harga
penutupan hari pertama di pasar sekunder.
Fenomena underpricing dapat dijelaskan dengan adanya asimetri informasi.
Menurut De Lorenzo dan Fabrizio dalam Permatasari (2014:28) hampir semua
penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari
adanya asimetri informasi dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu
emiten, underwriter dan investor. Dalam kaitannya dengan asimetri informasi
terdapat dua model yang dapat menjelaskan adanya asimetri informasi.
Model Baron dalam Permatasari (2014:28) menawarkan hipotesis asimetri
informasi yang menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak -pihak
yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu emiten, underwriter dan masyarakat
pemodal. Underwriter memiliki informasi yang lebih memadai mengenai kondisi
pasar daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor, underwriter memiliki
informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri
26
Universitas Sumatera Utara
informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan
semakin tinggi initial return yang diharapkan dari harga saham.
Menurut Beatty asimetri informasi dapat terjadi antara perusahaan emiten
dengan underwriter (Model Baron) atau antara informed
investor dengan
uninformed investor (Model Rock). Pada model Baron penjamin emisi
(underwriter ) dianggap memiliki informasi tentang pasar yang lebih lengkap
daripada emiten sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi memiliki
informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri
informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan
semakin tinggi initial return yang di harapkan dari harga saham (Permatasari,
2014:28).
Model Rock
dalam Permatasari (2014:28) menyatakan bahwa asimetri
informasi terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed investor.
Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan
emiten akan membeli saham-saham IPO jika harga pasar yang diharapkan
melebihi harga perdana. Sementara kelompok uninformed karena kurang memiliki
informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan penawaran secara
sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced maupun overpriced.
Akibatnya kelompok uninformed memperoleh proporsi yang lebih besar dalam
saham IPO yang overpriced. Menyadari bahwa mereka menerima saham-saham
IPO yang tidak proporsional, maka kelompok uninformed akan meninggalkan
pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi dalam pasar perdana dan
memungkinkan mereka memperoleh
return saham yang wajar serta dapat
27
Universitas Sumatera Utara
menutup kerugian dari pembelian saham yang overpriced, maka saham-saham
IPO harus cukup underpriced.
2.3.2 Teori Underpricing
Underpicing terjadi karena Ex-Ante Uncertainty harga saham pada saat
penawaran perdana. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan fenomena
underpricing di dalam Initial Public Offering (Ritter dalam Wicaksono, 2014:20)
yaitu:
1. Teori Asimetri Informasi
Model Baron dalam Permatasari (2014:28) menawarkan hipotesis asimetri
informasi yang menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak pihak
yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu emiten, penjamin emisi, dan
masyarakat pemodal. Penjamin emisi (underwriter) memiliki informasi tentang
pasar yang lebih lengkap daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor,
penjamin emisi memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten.
Semakin besar asimetri informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang
dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial return yang diharapkan dari
harga saham.
Model Rock dalam Permatasari (2014:28) menyatakan bahwa
asimetri informasi terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed
investor. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai
perusahaan emiten akan membeli saham- saham IPO jika harga pasar yang
diharapkan melebihi harga perdana. Sementara kelompok uninformed karena
kurang memiliki informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan
28
Universitas Sumatera Utara
penawaran secara sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced
maupun overpriced.
2. Teori Ex-Ante Uncertainty
a. The Winner’s Curve Hypothesis
Sebuah pemahaman penting dari underpricing pada saat IPO adalah penjelasan
kutukan pemenenang (winner’s curve). Hal ini terjadi karena jumlah saham yang
ditawarkan dijual pada fixed price, pembatasan permintaan akan menyebabkan
permintaan meningkat tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Distribusi saham
sendiri tidak mengarah kepada terjadinya underpricing, tetapi jika di pasar
terdapat investor-investor yang tidak memiliki cukup informasi di bandingkan
yang lain maka mereka akan dirugikan. Investor-investor yang tidak memiliki
cukup informasi ini cenderung akan mengalokasikan investasinya pada sahamsaham yang kurang diinginkan (Wicaksono 2012:20).
b. The Signaling Hypothesis
Sekuritas yang underpriced meninggalkan kesan baik bagi investor, hal ini
membuka peluang bagi perusahaan dan orang dalam untuk menjual penawaran di
masa depan dengan harga lebih tinggi di bandingkan seharusnya. Pada model ini,
perusahaan penerbit sekuritas memiliki informasi rahasia apakah firm value
mereka rendah atau tinggi. Dengan memberikan kesan yang baik, bahwa
permintaan atas saham tersebut tinggi yang ditandai dengan underpricing , maka
diharapkan sekuritas perusahaan dan firm value perusahaan akan naik setelah
periode IPO. Signal yang baik menurut Kim dalam Yoga dalam Wicaksono
(2012:21) harus dapat memenuhi dua syarat, yakni:
29
Universitas Sumatera Utara
1.
Signal tersebut harus dapat ditangkap oleh investor sehingga biaya yang
dikeluarkan tidak sia –sia,
2.
Signal tersebut sulit atau terlalu mahal untuk dapat ditiru oleh perusahaan
yang berkualitas rendah.
Penggunaan signal positif secara efektif oleh emiten dan underwriter dapat
mengurangi tingkat ketidakpastian yang dihadapi oleh investor, sehingga investor
dapat membedakan kualitas dari perusahaan yang baik dan buruk.
c. The Ownership Dispersion Hypothesis
Penerbit sekuritas dengan sengaja melakukan underpricing saham mereka
untuk menghasilkan kelebihan permintaan sehingga dapat memiliki pemegang
saham kecil dalam jumlah yang banyak. Kepemilikan tersebar ini akan
meningkatkan likuiditas pasar, dan membuat lebih sulit bagi orang luar untuk
masuk ke dalam menejemen.
d. The Agency Cost Hypothesis
Penerbit sekuritas dengan sengaja melakukan underpricing saham mereka
untuk menghasilkan kelebihan pemintaan sehingga dapat memiliki pemegang
saham kecil dalam jumlah yang banyak. Kepemilikan tersebar ini akan
meninggalkan likuiditas pasar , dan membuat lebih sulit bagi orang luar untuk
masuk ke dalam menejemen.
Menurut hipotesis ini disebutkan bahwa penjamin emisi mengambil
keuntungan dari belum berpengalamannya perusahaan emiten (issuer), yaitu
dengan cara melakukan underpricing atas penawaran perdana milik emiten.
Penjelasan ini gagal memasukkan pertimbangan atas efek reputasi underwriter dan
30
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan emiten (issue) yang lain untuk mempelajari pengalamanpengalaman kinerja dari perusahaan underwriter , serta belum lagi dengan
penjelasan menganai adanya kompetisi diantara para penjamin emisi). Model
Baron mengemukakan bahwa underwriter memiliki informasi yang lebih baik
mengenai haga yang tepat bagi saham-saham baru yang akan diterbitkan. Tujuan
dari dilakukannya underpricing adalah karena harga yang lebih rendah dapat
memudahkan usaha untuk mendistribusikan saham kepasar. Dengan melakukan
undepricing penjamin juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekurangan
pembeli (undersubscription) (Wicaksono, 2012:22).
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing
Bagi
perusahaan
yang
melakukan
initial
public
offering ,
terdapat
kecenderungan diman harga saham yang diperdagangkan di pasar sekunder
cenderung mengalami underpricing. Berdasar pada penelitian – penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat underpricing, yaitu:
1. Return on Equity (ROE)
Merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur
besarnya tingkat pengembalian modal dari perusahaan
(Yolana, 2005:543).
Menurut Kurniawan dalam Permatasari (2014:29). ROE digunakan untuk
mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara
memanfaatkan modal saham yang ada. ROE merupakan ukuran profitabilitas dari
sudut pandang pemegang saham. Informasi mengenai tingkat profitabilitas
perusahaan merupakan informasi yang penting bagi investor dalam membuat
31
Universitas Sumatera Utara
keputusan investasi. Bagi investor, informasi mengenai laba yang diperoleh
perusahaan bisa dijadikan dasar untuk menilai seberapa besar nilai pengembalian
investasi yang dilakukan. Profitabilitas perusahaan yang tinggi menunjukan
kemampuan perusahaan menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba
merupakan informasi penting bagi investor menyatakan bahwa prestasi keuangan,
khusunya tingkat keuntungan, memegang peranan penting dalam penilaian
prestasi usaha perusahaan dan sering digunakan sebagai dasar dalam keputusan
investasi, khususnya dalam pembelian saham.
Dalam IPO saham dari perusahaan dengan rasio Return on Equity (ROE) yang
baik, akan menciptakan sinyal positif bagi calon investor untuk membeli saham
perusahaan tersebut, sehingga pelaksanaan IPO diharapkan dapat berhasil. Hal ini
menjadikan pihak perusahaan dan juga underwriter cenderung untuk tidak
menentukan harga penawaran perdana yang jauh lebih rendah dibawah harga
sewajarnya atau dengan kata lain menurunkan besarnya tingkat underpricing
(Permatasari, 2014:62). Return on Equity (ROE) dapat dihitung dengan;
ROE =
L
e
o
ee
v
P
�
%
2. Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu dari rasio leverage. Debt to
Equity Ratio (DER) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
membayar hutang dengan modal yang dimilikinya. DER yang tinggi
menunjukkan
risiko
financial
atau
risiko
kegagalan
perusahaan
untuk
mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Para investor
32
Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan keputusan investasi akan mempertimbangkan nilai DER
perusahaan. Apabila DER tinggi, maka risiko perusahaan akan tinggi pula,
sehingga investor dalam melakukan keputusan investasi cenderung menghindari
DER yang tinggikarena semakin tinggi DER semakin tinggi pula underpricingnya (Suyatmin dan Sutaji dalam Permatasari 2014:32). DER juga memberikan
gambaran tentang seberapa besar hutang-hutang peusahaan dijamin modal sendiri
perusahaan yang digunakan sebagai pendanaan usaha.
Penulis dalam penelitian ini mengajukan hipotesis dengan arah hubungan
positif antara DER dengan tingkat underpricing, hal ini didasari oleh pemahaman
bahwa semakin besar DER mencerminkan risiko perusahan yang semakin tinggi,
sehingga para investor cenderung menghindari nilai DER yang tinggi. Dengan
demikian semakin tinggi DER semakin tinggi pula tingkat Underpricing. Dept To
Equity (DER) dapat dihitung dengan (Permatasari, 2014:6):
DER=
Total Hutang
X 100%
Total Ekuitas
3. Earning per Share (EPS)
Seorang investor membeli selembar saham dengn harapan mendapatkan imbal
hasil dalam bentuk deviden atau kenaikan nilai saham dimasa mendatang. Karena
laba merupakan dasar pembayaran deviden, sebagaimana juga dasar kanaikan
nilai saham, investor selalu tertarik dengan laba per lembar saham yang
dilaporkan peusahaan, Garrison (2013:42). Variabel Earning per Share (EPS)
merupakan proxy bagi laba per saham perusahaan yang diharapkan dapat
memberikan gambaran bagi investor mengenai bagian keuntungan yang dapat
diperoleh dalam suatu periode tertentu dengan memiliki suatu saham.
33
Universitas Sumatera Utara
Laba per lembar saham dapat dihitung dengan rumus (Permatasari, 2014:63):
4. Ukuran Perusahaan
EPS =
Laba Bersih
Jumlah lembar saham
Untuk mengukur besarnya skala atau ukuran dari perusahaan adalah dengan
melihat total asset dari laporan keuangan perusahaan tahun terakhir sebelum
perusahaan tersebut melakukan IPO di bursa. Asset merupakan tolak ukur atau
besaran skala suatu perusahaan. Biasanya perusahaan besar mempunyai asset
yang besar pula nilainya. Secara teoritis peusahaan yang mempunyai kepastian
(certainty) yang lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi
tingkat ketidakpastian mengenai prospek perusahaan ke depan. Hal tersebut dapat
membantu investor memprediksi risiko yang mungkin terjadi jika ia berinvestasi
pada perusahaan itu.
Dengan rendahnya tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar dalam
jangka panjang maka akan menurunkan tingkat underpricing dan kemungkinan
initial return yang akan diterima investor akan semakin rendah oleh karena itu
diduga semakin besar ukuran peusahaan maka akan semakin kecil underpricing.
5. Umur Perusahaan
Umur perusahaan menggambarkan kemampuan perusahaan tetap dapat
bertahan hidup dan banyaknya informasi yang dapat diterima publik akan
perusahaan (Permatasari, 2014:37). Dengan demikian akan mengurangi adanya
asimetri informasi dan memperkecil risiko ketidakpastian dimasa yang akan
datang.
34
Universitas Sumatera Utara
Saat emiten melakukan IPO, investor akan lebih percaya tehadap perusahaan
yang sudah lama berdiri dan sudah lebih tekenal daripada perusahaan yang baru
berdiri. Informasi perusahaan tersebut pun lebih mudah di akses dan lebih tesedia
pada perusahaan yang sudah lebih lama berdiri dibandingkan yang baru berdiri.
Reputasi perusahaan dimasa lalu sudah dapat dilihat dari peforma perusahaan di
tahun-tahun sebelumnya. Kondisi tesebut dapat digunakan untuk memprediksi
keadaan dimasa yang akan datang. Dari teori tersebut kita dapat melihat bahwa
risiko kedepannya lebih kecil karena tingkat ketidakpastiannya lebih rendah
dibanding perusahaan yang baru berdiri (Permatasari, 2012:38).
6. Reputasi Underwriter
Underwriter merupakan perusahaan swasta atau BUMN (pihak luar) yang
menjembatani kepentingan emitten dan investor yakni menjadi penanggung jawab
atas terjualnya efek emiten kepada investor. Peranan underwriter diduga
bepengaruh terhadap tinggi rendahnya harga pedana saham yang akan dibeli
investor tergantung kesepakatan antara penjamin emisi dengan emiten (Astuti,
2012:5).
Emiten dan underwriter bersama-sama dalam menentukan harga perdana,
walaupun demikian mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Emiten
menginginkan harga perdana yang tinggi sehingga bisa mendapatkan modal yang
besar untuk merealisasika program-program perusahaan yang ingin dicapai.
Sebaliknya underwriter menginginkan harga yang cenderung rendah, untuk
meminimalkan risiko saham yang ditawarkan tidak laku di pasar, (Wicaksono,
2012:29).
35
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan dan kemampuan dari underwriter merupakan jaminan pula bagi
perusahaan bahwa proses penawaran umum akan ditangani dengan baik dan
bahwa mereka akan mendapat dukungan yang sangat bermanfaat baik sebelum
maupun sesudah pelaksanaan penawaran umum perdana. Hingga saat ini belum
ada standar baku untuk mengkategorikan underwriter bereputasi baik dan buruk.
Pengukuran reputasi underwriter pada tiap penelitian mungkin berbeda, salah
satunya adalah didasarkan perangkingan yang dibuat oleh idx statistic yang
merangking underwriter ke dalam top 10 underwriter .
Berikut adalah daftar underwriter yang masuk ke dalam top 10 underwriter
yang ada di Indonesia pada tahun 2015 yang diterbitkan oleh idx statistik di Bursa
Efek Indonesia;
1. Ciptadana Securities
2. Indo Primier Securities
3. Panin Securities
4. Credit Swisse Securities Indonesia
5. Mandiri Securities
6. Bahana Securities
7. Dana Reksa Securities
8. CIMB Securities Indonesia
9. Sinarmas Securities
10. RHB Osk Securities Indonrsia
Pada penelitian ini ranking yang diberikan kepada underwriter dijadikan dasar
membedakan underwriter yang memiliki reputasi tinggi dan underwriter yang
36
Universitas Sumatera Utara
tidak memiliki reputasi tinggi. Underwriter yang memiliki reputasi tinggi adalah
underwriter yang masuk dalam top 10 underwriter , sedangkan underwriter yang
tidak masuk dalam top 10 underwriter dikategorikan sebagai underwriter yang
tidak memiliki reputasi tinggi.
2.5 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam
penelitian ini:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No.
1
2
3
Peneliti
(Tahun)
Judul
Penelitian
Anggita
Ratnasari
dan Gunasti
Hudiwinarsih
(2013)
Analisis
Pengaruh
Informasi
Keuangan, Non
Keuangan Serta
Ekonomi Makro
Terhadap
Underpricing
Pada
Perusahaan
Ketika IPO
Analisis faktorfaktor
yang
mempengauhi
underpricing
saham saat IPO
di BEI
Dependen:
Underpricing
Analisis faktorfaktor
yang
mempengaruhi
tingkat
underpricing
saham
pada
perusahaan
yang melakukan
initial
public
offering di BEI
Dependen:
Underpricing
Ayu
Wahyusari
(2013)
Irawati
Junaeni dan
Rendi
Agustian
(2013
Variabel
Penelitian
Metode
Analisis
Data
Regresi
Linear
Berganda
Independen:
1. Return On Asset
2. Financial
3. Leverage
4. Inflasi
5. Reputasi KAP
6. ReputasI Underwriter
Dependen:
Underpricing
1. . return on equity, reputasi KAP dan
reputasi penanggung memiliki dampak
yang signifikan terhadap underpricing.
2. financial leverage dan tingkat inflasi
tidak berpengaruh pada underpricing
Regresi
Linear
Berganda
Independen:
1. ROA
2. DER
3. umur perusahaan
4. Reputasi underwriter
Independen:
1. Reputasi underwriter
2. Financial leverage
3. Proceeds
4. Jenis industri.
Hasil Penelitian
1. Solvabilitas,
DER,
dan
umur
perusahaan berpengaruh siginifikan
terhadap underpricing.
2. ROA, dan reputasi underwriter tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
underpricing.
Analisis
linear
berganda
1. Ketika pengujian secara parsial,
didapat
hasil
hanya
reputasi
underwriter saja yang mempengaruhi
tingkat underpricing saham.
3. Reputasi
underwriter,
financial
leverage, proceeds, dan jenis industri
memberikan pengaruh secara simultan
terhadap tingkat underpricing saham
perusahaan
37
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1
No
3
4
5
6
Peneliti
(Tahun)
Asih Yuli
Astuti dan
Syahyunan
(2012)
Wicaksono
(2012)
I Dewa Ayu
Kristiantari
(2012)
Soet
dan
John
(2012)
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Pengaruh
Variabel
Keuangan
dan
Non
Keuangan
terhadap
Underpricing
pada
Saham
Perusahaan yang
Melakukan Initial
Public Offering di
Bursa
Efek
Indonesia
Dependen:
Underpricing
Analisis Pengaruh
Variabel
Keunangan dan
Non
Keuangan
terhadap
Fenomena
Underpricing
Saham
Perdana
pada saat IPO
Analisis FaktorFaktor
Yang
Mempengaruhi
Underpricing
Saham
Pada
Penawaran Saham
Perdana Di Bursa
Efek Indonesia
Factor Influincing
The Underpricing
Of Initial Public
Offering
An
Emerging Market:
Evidence
From
Nairobi Security
Exchange (NSE)
Independen:
1. Return on asset
2. Debt to equity ratio
3. Besaran perusahaan
4. Earning pe share
5. Ukuran penawaran
saham
6. Umur perusahaan
7.Reputasi
underwriter
8. Reputasi auditor
9. Inflasi Independen:
10. Suku bunga
Dependen:
Underpricing
Metode
Analisis
Data
Regresi
linear
berganda
Independen:
1.Reputasi
underwriter
2.Reputasi Auditor
3.Umur Perusahaan
4.Ukuran Perusahaan
5.Tujuan Penggunaan
Dana
6.Return on Asset
7.Financila Leverage
8.Jenis Industry
Dependen
Underpricing
Independen
1. Underwriter
2. Ownership
3. Value Lost
4. Regulatory Effect
1. Secara
parsial
hanya
underwriter yang berpengaruh
negatif
dan
signifikan
underpricing
reputasi
terhadap
2. return on asset, debt to equity ratio,
besaran perusahaan (size), earning per
share,
ukuran
penawaran
saham
(proceeds), umur perusahaan, reputasi
auditor, inflasi dan suku bunga
berpengaruh tidak signifikan terhadap
underpricing
Regresi
linear
berganda
Independen:
1.Umur Perusahaan
2.Proporsi Penawaran
3.Ukuran Perusahaan
4.Jenis Industri
5.Return on Asset
6.Financial Leverage
7.Tujuan Penggunaan
Dana
8.Reputasi
Underwriter
9.Reputasi Auditor
Dependen:
Underpricing
Hasil Penelitian
1.
2.
Analisis
linear
berganda
3.
Variabel umur perusahaan, proporsi
penawaran perdana, jenis industry,
return on asset, financial leverage,
tujuan penggunaan dana investasi,
reputasi underwriter, dan earning per
share
tidak memiliki pengaruh
signifikan pada tingkat underpricing
1.
Reputasi
underwriter,
ukuran
perusahaan,
dan tujuan penggunaan
dana untuk investasi secara signifikan
berpengaruh pada underpicing dalam
arah koefisien negatif.
Reputasi auditor, umur
perusahaan,
ROA, financial leverage, dan jens
industry tidak memiliki pengaruh secara
signifikan pada tingkat underpricing.
2.
Model
Regresi
Linear
Ukuran
perusahaan
bepengaruh
signifikan
terhadap
tingkat
underpricing dengan arah koefisien
negatif.
Reputasi auditor berpengaruh secara
signifikan terhdap tingkat underpricing
dengan arah koefisien positif.
1. Ownership, Value Lost, Regulatory Effect
memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap underprising
2.
Underwriter memiliki pengaruh negatif
dan
tidak
signifikan
terhadap
underpricing
38
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1
No
7
8
Peneliti
(Tahun)
Judul Penelitian
Nashirah
Binti
Abu Bakar
dan
Kiyotaka
Uzaki
(2012)
An Empirical
Study of Initial
Public Offerings
Underpricing for
Shariah –
Compliant
Companies : The
Case of
Malaysian Market
Md. Aminul
Islam
(2010)
An
Empirical
Investigation of
the Underpricing
of Initial Public
Offerings in the
Chittagong Stock
Exchange
Variabel Penelitian
Dependen :
Underpricing
Independen:
1.Underwriter
reputation
2. Types of Market
3. Types of Industry
4.Times
of
oversubscription
5. Offer price
6. 0ffer size
Dependen:
1.Underpricing
Metode
Analisis
Data
Analisis
linear
berganda
Analisis
linear
berganda
Independen:
1. Umur perusahaan
2. Ukuran perusahaan
3. Jenis industri
4. Tingkat penawaran.
5. Waktu penawaran
Hasil Penelitian
1.
Variabel times of oversubscription
memiliki
pengaruh
signifikan
terhadap underpricing.
1. Umur
perusahaan
dan
Ukuran
perusahaan
bepengaruh
signifikan
terhadap tingkat underpricing dengan
arah koefisien positif
2. Jenis industridan tingkat penawaran
bepengaruh signifikan terhadap tingkat
underpricing dengan arah koefisien
negatif
3. Waktu penawaran tidak berpengaruh
2.6 Kerangka Konseptual
Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar
sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO (Yolana, 2005:358).
Underpricing saham juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana efek
yang dijual di bawah nilai likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya diterima
oleh pemegang saham (Ang dalam Permatasari, 2014:28).
Fenomena underpricing dapat dijelaskan dengan adanya asimetri informasi.
Menurut (Lorenzo dan Fabrizio dalam Permatasari, 2014:28) hampir semua
penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari
adanya asimetri informasi dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu
emiten, underwriter dan investor.
Berdasarkan landasan teori dan penelitian – penelitian terdahulu dapat
39
Universitas Sumatera Utara
diperoleh variabel – variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Return on
Equity (ROE), Debt to Equity Ratio (DER), Earning per Share (EPS), ukuran
perusahaan, umur perusahaan dan reputasi underwriter . Variabel – variabel ini
diduga memiliki pengaruh terhadap perusahaan yang melakukan Initial Public
Offering (IPO). Hubungan antara variabel – variabel tersebut dengan tingkat
underpricing akan di jelaskan sebagai berikut :
1. Pengaruh Return on Equity (ROE) terhadap Underpricing
Profitabilitas
perusahaan
menunjukan
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba dalam periode tertentu. Pada penelitian ini profitabilitas
perusahaan diinterpretasikan menggunakan rasio Return on Equity (ROE). Return
on Equity (ROE) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk
mengukur besarnya tingkat pengembalian modal dari perusahaan
(Yolana,
2005:543). Menurut (Kurniawan, 2007:5) Return on Equity (ROE) digunakan
untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan
cara memanfaatkan modal saham yang ada. Informasi mengenai tingkat
profitabilitas perusahaan merupakan informasi yang penting bagi investor dalam
membuat keputusan investasi yang akan dilakukannya. Profitabilitas perusahaan
memberikan informasi kepada investor
mengenai efektivitas operasional
perusahaan (Ardiansyah dalam permatasi, 2014:30). Dalam IPO saham dari
perusahaan dengan rasio Return On Equity (ROE) yang baik, akan menciptakan
sinyal positif bagi calon investor untuk membeli saham perusahaan tersebut,
sehingga pelaksanaan IPO diharapkan dapat berhasil. Hal ini menjadikan Menurut
(Watts dan Zimmerman dalam Permatasari, 2004:30) bahwa prestasi keuangan,
40
Universitas Sumatera Utara
khususnya tingkat keuntungan, memegang peranan yang penting dalam penilaian
prestasi usaha perusahaan dan sering pihak perusahaan dan juga underwriter
cenderung untuk tidak menentukan harga penawaran perdana yang jauh lebih
rendah dibawah harga sewajarnya atau dengan kata lain menurunkan besarnya
tingkat underpricing. Dengan semakin tingginya tingkat ROE yang dimiliki
perusahaan maka akan semakin rendah tingkat underpricing yang dialami karena
investor akan menilai kinerja perusahaan dengan lebih baik dan bersedia untuk
membeli saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi. Calon investor akan
mempertimbangkan persentase profitabilitas perusahaan sebelum menentukan
keputusan investasinya sehingga nilai ketidakpastiannya semakin rendah yang
juga akan menurunkan nilai underpricing perusahaan tersebut (Yasa, 2010:13).
Sesuai dengan signaling theory, untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah
terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas akan memberikan sinyal
positif kepada calon investor.
2.
Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap Underpricing
Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu ratio Leverage. Debt to
Equity Ratio (DER) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
membayar hutang dengan modal yang dimilikinya. DER yang tinggi
menunjukkan
risiko
finansial
atau
risiko
kegagalan
perusahaan
untuk
mengembalikan pinjman akan semakin tinggi dan sebaliknya para investor dalam
melakukan keputusan investasi akan mempertimbangan nilai DER perusahaan.
Apabila DER tinggi, maka risiko perusahaan akan tinggi pula, sehingga investor
dalam melakukan keputusan investasi cenderung menghindari DER yang tinggi
41
Universitas Sumatera Utara
karena semakin tinggi DER semakin tinggi pula underpricing nya (Daljono dalam
Permatasari, 2014:32).
Dalam penelitian ini aspek leverage di interpretasikan dengan menggunakan
rasio Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio (DER) digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan modal yang
dimilikinya. DER yang tinggi menunjukan risiko financial atau risiko kegagalan
perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan juga
sebaliknya.
3. Pengaruh Earning per Share (EPS) terhadap Underpricing
Earning per Share (EPS) yang dibagikan merupakan salah satu informasi
penting bagi investor di pasar modal dalam rangka pengambilan keputusan
investasinya. EPS merupakan pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang
saham biasa yang beredar. Sehingga EPS menggambarkan jumlah rupiah yang
diperoleh untuk setiap lembar saham biasa atau laba bersih per lembar saham
biasa.
Pertumbuhan EPS yang positif akan memperoleh bagian laba yang lebih besar
dimasa yang akan datang atas setiap lembar saham yang dimilikinya. Semakin
tinggi nilai EPS yang dimiliki perusahaan semakin besar pula laba perusahaan
tersebut dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang akan diterima oleh
pemegang saham. Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor
yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi.
42
Universitas Sumatera Utara
4. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Underpricing
Ukuran perusahaan dapat dijadikan sebagai proksi tingkat ketidakpastian,
karena perusahaan yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat
daripada perusahaan yang berskala kecil sehingga informasi mengenai prospek
prusahaan yang berskala besar lebih mudah diperoeh investor daripada perusahaan
yang berskala kecil (Nurhidayati dan Indriantoro dalam Permatasari, 2014:37).
Bila informasi yang dimiliki oleh investor semakin banyak, maka investor dapat
mengambil keputusan investasi yang lebih tepat bila dibandingkan dengan
investor yang memiliki sedikit informasi mengenai perusahaan. Tingkat
ketidakpastian perusahaan berskala besar umumnya rendah karena dengan skala
yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar dan juga sebaliknya.
Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat risiko investasi perusahaan
berskala besar dalam jangka panjang.
5. Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Underpricing
Umur perusahaan menunjukan kemampuan perusahaan dapat bertahan hidup
dan banyaknya informasi yang dapat diserap publik. Umur perusahaan juga
menunjukan kemampuan perusahaan tetap dapat eksis, mampu bersaing dan
memanfaatkan setiap peluang bisnis yang ada dalam persaingan di dunia bisnis
yang semakin ketat. Calon investor tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih
banyak untuk memperoleh informasi dari perusahaan yang melakukan IPO
tersebut. Jadi perusahaan yang telah lama berdiriakan mengurangi terjadinya
asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian pasar sehingga akan
43
Universitas Sumatera Utara
mempunyai tingkat underpricing yang lebih rendah daripada perusahaan yang
masih baru (Suyatmin dan Sujadi dalam Permatasari, 2014:38).
6. Pengaruh Reputasi Underwriter terhadap Underpricing
Underwriter
merupakan mediator antara emiten dan calon investor.
Underwriter yang telah memiliki reputasi yang besar lebih dipercaya untuk
menjualkan dan menjamin saham perusahaan yang akan dijual di pasar perdana.
Jadi semakin tinggi reputasi underwriter semakin rendah tingkat underpricing.
Peranan underwriter diduga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya underpricing
karena tinggi rendahnya harga perdana saham yang akan dibeli investor
tergantung kesepakatan antara penjamin emisi dengan emiten. Berdasarkan uraian
teoritis dan penelitian terdahulu yang akan di paparkan sebelumnya, kerangka
konseptual penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut;
Return on Equity
Debt to Equity Ratio
Earning per Share
Underpricing
Ukuran Perusahaan
Umur Perusahaan
Reputasi Underwriter
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
44
Universitas Sumatera Utara
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah: Return On Equity, Financial Leverage (DER),
Earning per Share (EPS), Ukuran perusahaan, Umur perusahaan, Reputasi
Underwriter berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
45
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pasar Modal
2.1.1 Pengertian Pasar Modal
Menurut Bursa Efek Indonesia, Pasar modal (capital market) merupakan
pasar
untuk
berbagai
instrumen
keuangan
jangka panjang
yang
bisa
diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), equity (saham), reksa dana,
instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar modal merupakan sarana
pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan
sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Dengan demikian, pasar modal
memfasilitasi berbagai sarana dan pra sarana kegiatan jual beli dan kegiatan
terkait lainnya. Pasar modal sebagai pesaing bank dalam peranya adalah sebagai
sumber pembiayaan maupun sebagai sumber investasi (Lubis, 2008:7).
Pada dasarnya pasar modal sama dengan pasar-pasar yang lainnya yaitu
setiap pembeli yang berhasil, selalu harus ada penjual yang berhasil. Jika jumlah
orang yang membeli lebih banyak dari jumlah orang yang menjual harga akan
naik, dan sebaliknya jika penjual lebih banyak dari pembeli maka harga akan
turun. Yang membedakan pasar modal dengan lainnya adalah komoditas yang di
perdagangkan. Pasar modal dapat dikatakan sebagai pasar abstrak karena yang
diperjual belikan adalah dana-dana jangka panjang, yaitu dana yang keterkaitanya
lebih dari satu tahun.
Bagi perusahaan, pasar modal dapat dimanfaatkan dalam memenuhi
kebetuhan modal dan membiayai kegiatan operasioanal perusahaan sehingga
21
Universitas Sumatera Utara
utang komersial. Pembiayaan bagi suatu perusahaan dapat berasal dari dua
sumber, yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Sumber dana internal
diperoleh dari setoran dan pemilik perusahaan dan sisa laba yang ditahan.
Sementara itu, sumber pembayaan eksternal diperoleh melalui kredit perbankan
dan dari lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, seperti pasar modal dan modal
ventura.
Pasar modal merupakan salah satu sarana yang efektif dalam menggerakkan
dana dari masyarakat untuk selanjutnya disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang
produktif.
Upaya
pemerintah
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dalam
perekonomian dapat dilakukan melalui pasar modal. Masyarakat yang memiliki
kelebihan dana, baik masyarakat dalam negeri maupun masyarakat luar negeri,
dapat menginvestasikan uangnya melalui pasar modal. Pasar modal yang telah
berkembang memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi
suatu negara.
2.1.2 Jenis Pasar Modal
Terdapat 2 (dua) jenis pasar yang terdapat di pasar modal Indonesia, yaitu
(Darmadji dan Fakhrudin dalam Wicaksono, 2012:10), yaitu:
a.
Pasar Perdana (Primary Market)
Pasar perdana adalah jenis pasar pada pasar modal dimana saham dan
sekuitas lainnya dijual pertama kali pada masyarakat (penawaran umum)
sebelum saham dan sekuritas tersebut dicatat di bursa. Kegiatan ini disebut
penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Harga saham di pasar
perdana ditentukan oleh emiten dan penjamin emisi (underwriter )
22
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan
faktor-faktor
fundamental
dan
faktor
lain
yang
perlu
diidentifikasi. Underwriter selain menentukan harga saham bersama emiten,
juga melakukan proses penjualannya.
b.
Pasar Sekunder (Secondary Market)
Pasar sekunder adalah pasar modal dimana saham dan sekuritas lainnya
diperjual belikan kepada umum setelah masa penjualan di pasar perdana.
Harga saham di pasar ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang
dipengaruhi berbagai faktor internal seperti earning per share (EPS) atau
kebijakan deviden dan faktor eksternal sepeti kebijakan moneter dan inflasi.
2.2 Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)
2.2.1 Definisi Initial Public Offering (IPO)
Initial Public Offering (IPO) adalah kegiatan penawaran saham atau efek
lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk
menjual saham atau efek kepada publik atau masyarakat berdasarkan tata cara
yang diatur oleh UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. (Darmadji dan
Fakhruddin dalam Ratnasari, 2013:87 ). Dengan melakukan penawaran umum
saham perdana, suatu perusahaan akan berubah statusnya dari perusahaan tertutup
(private company) menjadi perusahaan terbuka (public company). Perusahaan
terbuka diharuskan melakukan keterbukaan informasi kepada publik khususnya
investor yang telah membeli saham perusahaan dan melakukan transformasi
pengelolaan perusahaan dari yang bersifat tertutup ke arah yang lebih transparan
dan profesional.
23
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Manfaat Initial Public Offering (IPO)
Dengan melakukan Penawaran Umum Saham kepada masyarakat, perusahaan
dapat menikmati berbagai manfaat antara lain sebagai berikut (Wicaksono,
2012:13) ;
a. Memperoleh dana tambahan dalam jumlah yang besar dan diterima
secarasekaligus. Dana tambahan tersebut dapat digunakan untuk perluasan/
ekspansi perusahaan atau dapat juga digunakan untuk pembayaran utang,
sehingga dapat menurunkan beban bunga dan pada akhirnya dapat
meningkatkan laba perusahaan.
b. Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk go public termasuk ringan jika
dibandingkan dengan sumber pendanaan lainnya seperti meminjam dana dari
bank atau lembaga keuangan lainnya.
c. Perusahaan memiliki akses terhadap sumber dana yang lebih beragam di
masa yang akan datang, misalnya perusahaan dapat melakukan penawaran
umum terbatas (rights issue).
d. Perusahaan publik akan lebih dipercaya dibandingkan dengan perusahaan non
publik dalam persaingannya, karena perusahaan publik harus transaran dalam
menjalankan usahanya.
e. Perusahaan akan lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena secara
otomatis sebagai perusahaan publik akan lebih banyak diekspos media, analis,
investor, dan lembaga lainnya.
f. Sebagai perusahaan publik, memungkinkan karyawan perusahaan untuk
memiliki saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan motivasi bekerja.
24
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Konsekuensi Initial Public Offering (IPO)
Di samping berbagai manfaat yang dapat dinikmati sebagai perusahaan
terbuka, ada beberapa konsekuensi yang harus diperhatikan / ditanggung oleh
perusahaan terbuka, antara lain (Wicaksono, 2013:14):
a.
Kewajiban untuk melakukan keterbukaan informasi secara penuh kepada
publik (full disclosure). Hal ini merupakan konsekuensi utama menjadi
perusahaan publik dimana perusahaan diwajibkan untuk memenuhi berbagai
peraturan keterbukaan baik yang ditentukan Bapepam-LK,Lembaga Bursa
dan berbagai kewajiban lainnya.
b.
Transformasi manajemen menjadi perusahaan yang lebih transparan,
profesional, kredibel dan memenuhi tuntutan Good Corporate Governance.
Dengan menjadi perusahaan publik, maka perusahaan akan dikontrol oleh
pihak–pihak eksternal perusahaan untuk mencegah terjadinya praktik –
praktik bisnis yang tidak sehat.
c. Kewajiban membayar dividen, karena salah satu tujuan yang ingin diperoleh
pemegang saham adalah untuk mendapatkan dividen. Atas persetujuan
pemegang saham pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
perusahaan mempunyai kewajiban menyisihkan keuntungannya untuk
memberi dividen kepada para pemegang saham secara proposional.
d. Biaya – biaya yang timbul berkaitan dengan saham perusahaan, seperti biaya
pencatatan saham di Bursa Efek, membayar jasa Biro Administrasi Efek
(BAE).
25
Universitas Sumatera Utara
2.3 Underpricing
2.3.1 Definisi Underpricing
Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar
sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Underpricing
saham juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana efek yang dijual di
bawah nilai likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya diterima oleh pemegang
saham. Ada kecenderungan bahwa harga penawaran di pasar perdana selalu lebih
rendah dibandingkan dengan harga penutupan pada hari pertama diperdagangkan
di pasar sekunder. Sedangkan overpricing yang disebut juga underpricing negatif,
merupakan kondisi dimana harga penawaran perdana lebih tinggi daripada harga
penutupan hari pertama di pasar sekunder.
Fenomena underpricing dapat dijelaskan dengan adanya asimetri informasi.
Menurut De Lorenzo dan Fabrizio dalam Permatasari (2014:28) hampir semua
penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari
adanya asimetri informasi dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu
emiten, underwriter dan investor. Dalam kaitannya dengan asimetri informasi
terdapat dua model yang dapat menjelaskan adanya asimetri informasi.
Model Baron dalam Permatasari (2014:28) menawarkan hipotesis asimetri
informasi yang menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak -pihak
yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu emiten, underwriter dan masyarakat
pemodal. Underwriter memiliki informasi yang lebih memadai mengenai kondisi
pasar daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor, underwriter memiliki
informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri
26
Universitas Sumatera Utara
informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan
semakin tinggi initial return yang diharapkan dari harga saham.
Menurut Beatty asimetri informasi dapat terjadi antara perusahaan emiten
dengan underwriter (Model Baron) atau antara informed
investor dengan
uninformed investor (Model Rock). Pada model Baron penjamin emisi
(underwriter ) dianggap memiliki informasi tentang pasar yang lebih lengkap
daripada emiten sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi memiliki
informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri
informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan
semakin tinggi initial return yang di harapkan dari harga saham (Permatasari,
2014:28).
Model Rock
dalam Permatasari (2014:28) menyatakan bahwa asimetri
informasi terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed investor.
Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan
emiten akan membeli saham-saham IPO jika harga pasar yang diharapkan
melebihi harga perdana. Sementara kelompok uninformed karena kurang memiliki
informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan penawaran secara
sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced maupun overpriced.
Akibatnya kelompok uninformed memperoleh proporsi yang lebih besar dalam
saham IPO yang overpriced. Menyadari bahwa mereka menerima saham-saham
IPO yang tidak proporsional, maka kelompok uninformed akan meninggalkan
pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi dalam pasar perdana dan
memungkinkan mereka memperoleh
return saham yang wajar serta dapat
27
Universitas Sumatera Utara
menutup kerugian dari pembelian saham yang overpriced, maka saham-saham
IPO harus cukup underpriced.
2.3.2 Teori Underpricing
Underpicing terjadi karena Ex-Ante Uncertainty harga saham pada saat
penawaran perdana. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan fenomena
underpricing di dalam Initial Public Offering (Ritter dalam Wicaksono, 2014:20)
yaitu:
1. Teori Asimetri Informasi
Model Baron dalam Permatasari (2014:28) menawarkan hipotesis asimetri
informasi yang menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak pihak
yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu emiten, penjamin emisi, dan
masyarakat pemodal. Penjamin emisi (underwriter) memiliki informasi tentang
pasar yang lebih lengkap daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor,
penjamin emisi memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten.
Semakin besar asimetri informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang
dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial return yang diharapkan dari
harga saham.
Model Rock dalam Permatasari (2014:28) menyatakan bahwa
asimetri informasi terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed
investor. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai
perusahaan emiten akan membeli saham- saham IPO jika harga pasar yang
diharapkan melebihi harga perdana. Sementara kelompok uninformed karena
kurang memiliki informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan
28
Universitas Sumatera Utara
penawaran secara sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced
maupun overpriced.
2. Teori Ex-Ante Uncertainty
a. The Winner’s Curve Hypothesis
Sebuah pemahaman penting dari underpricing pada saat IPO adalah penjelasan
kutukan pemenenang (winner’s curve). Hal ini terjadi karena jumlah saham yang
ditawarkan dijual pada fixed price, pembatasan permintaan akan menyebabkan
permintaan meningkat tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Distribusi saham
sendiri tidak mengarah kepada terjadinya underpricing, tetapi jika di pasar
terdapat investor-investor yang tidak memiliki cukup informasi di bandingkan
yang lain maka mereka akan dirugikan. Investor-investor yang tidak memiliki
cukup informasi ini cenderung akan mengalokasikan investasinya pada sahamsaham yang kurang diinginkan (Wicaksono 2012:20).
b. The Signaling Hypothesis
Sekuritas yang underpriced meninggalkan kesan baik bagi investor, hal ini
membuka peluang bagi perusahaan dan orang dalam untuk menjual penawaran di
masa depan dengan harga lebih tinggi di bandingkan seharusnya. Pada model ini,
perusahaan penerbit sekuritas memiliki informasi rahasia apakah firm value
mereka rendah atau tinggi. Dengan memberikan kesan yang baik, bahwa
permintaan atas saham tersebut tinggi yang ditandai dengan underpricing , maka
diharapkan sekuritas perusahaan dan firm value perusahaan akan naik setelah
periode IPO. Signal yang baik menurut Kim dalam Yoga dalam Wicaksono
(2012:21) harus dapat memenuhi dua syarat, yakni:
29
Universitas Sumatera Utara
1.
Signal tersebut harus dapat ditangkap oleh investor sehingga biaya yang
dikeluarkan tidak sia –sia,
2.
Signal tersebut sulit atau terlalu mahal untuk dapat ditiru oleh perusahaan
yang berkualitas rendah.
Penggunaan signal positif secara efektif oleh emiten dan underwriter dapat
mengurangi tingkat ketidakpastian yang dihadapi oleh investor, sehingga investor
dapat membedakan kualitas dari perusahaan yang baik dan buruk.
c. The Ownership Dispersion Hypothesis
Penerbit sekuritas dengan sengaja melakukan underpricing saham mereka
untuk menghasilkan kelebihan permintaan sehingga dapat memiliki pemegang
saham kecil dalam jumlah yang banyak. Kepemilikan tersebar ini akan
meningkatkan likuiditas pasar, dan membuat lebih sulit bagi orang luar untuk
masuk ke dalam menejemen.
d. The Agency Cost Hypothesis
Penerbit sekuritas dengan sengaja melakukan underpricing saham mereka
untuk menghasilkan kelebihan pemintaan sehingga dapat memiliki pemegang
saham kecil dalam jumlah yang banyak. Kepemilikan tersebar ini akan
meninggalkan likuiditas pasar , dan membuat lebih sulit bagi orang luar untuk
masuk ke dalam menejemen.
Menurut hipotesis ini disebutkan bahwa penjamin emisi mengambil
keuntungan dari belum berpengalamannya perusahaan emiten (issuer), yaitu
dengan cara melakukan underpricing atas penawaran perdana milik emiten.
Penjelasan ini gagal memasukkan pertimbangan atas efek reputasi underwriter dan
30
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan emiten (issue) yang lain untuk mempelajari pengalamanpengalaman kinerja dari perusahaan underwriter , serta belum lagi dengan
penjelasan menganai adanya kompetisi diantara para penjamin emisi). Model
Baron mengemukakan bahwa underwriter memiliki informasi yang lebih baik
mengenai haga yang tepat bagi saham-saham baru yang akan diterbitkan. Tujuan
dari dilakukannya underpricing adalah karena harga yang lebih rendah dapat
memudahkan usaha untuk mendistribusikan saham kepasar. Dengan melakukan
undepricing penjamin juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekurangan
pembeli (undersubscription) (Wicaksono, 2012:22).
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing
Bagi
perusahaan
yang
melakukan
initial
public
offering ,
terdapat
kecenderungan diman harga saham yang diperdagangkan di pasar sekunder
cenderung mengalami underpricing. Berdasar pada penelitian – penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat underpricing, yaitu:
1. Return on Equity (ROE)
Merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur
besarnya tingkat pengembalian modal dari perusahaan
(Yolana, 2005:543).
Menurut Kurniawan dalam Permatasari (2014:29). ROE digunakan untuk
mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara
memanfaatkan modal saham yang ada. ROE merupakan ukuran profitabilitas dari
sudut pandang pemegang saham. Informasi mengenai tingkat profitabilitas
perusahaan merupakan informasi yang penting bagi investor dalam membuat
31
Universitas Sumatera Utara
keputusan investasi. Bagi investor, informasi mengenai laba yang diperoleh
perusahaan bisa dijadikan dasar untuk menilai seberapa besar nilai pengembalian
investasi yang dilakukan. Profitabilitas perusahaan yang tinggi menunjukan
kemampuan perusahaan menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba
merupakan informasi penting bagi investor menyatakan bahwa prestasi keuangan,
khusunya tingkat keuntungan, memegang peranan penting dalam penilaian
prestasi usaha perusahaan dan sering digunakan sebagai dasar dalam keputusan
investasi, khususnya dalam pembelian saham.
Dalam IPO saham dari perusahaan dengan rasio Return on Equity (ROE) yang
baik, akan menciptakan sinyal positif bagi calon investor untuk membeli saham
perusahaan tersebut, sehingga pelaksanaan IPO diharapkan dapat berhasil. Hal ini
menjadikan pihak perusahaan dan juga underwriter cenderung untuk tidak
menentukan harga penawaran perdana yang jauh lebih rendah dibawah harga
sewajarnya atau dengan kata lain menurunkan besarnya tingkat underpricing
(Permatasari, 2014:62). Return on Equity (ROE) dapat dihitung dengan;
ROE =
L
e
o
ee
v
P
�
%
2. Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu dari rasio leverage. Debt to
Equity Ratio (DER) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
membayar hutang dengan modal yang dimilikinya. DER yang tinggi
menunjukkan
risiko
financial
atau
risiko
kegagalan
perusahaan
untuk
mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Para investor
32
Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan keputusan investasi akan mempertimbangkan nilai DER
perusahaan. Apabila DER tinggi, maka risiko perusahaan akan tinggi pula,
sehingga investor dalam melakukan keputusan investasi cenderung menghindari
DER yang tinggikarena semakin tinggi DER semakin tinggi pula underpricingnya (Suyatmin dan Sutaji dalam Permatasari 2014:32). DER juga memberikan
gambaran tentang seberapa besar hutang-hutang peusahaan dijamin modal sendiri
perusahaan yang digunakan sebagai pendanaan usaha.
Penulis dalam penelitian ini mengajukan hipotesis dengan arah hubungan
positif antara DER dengan tingkat underpricing, hal ini didasari oleh pemahaman
bahwa semakin besar DER mencerminkan risiko perusahan yang semakin tinggi,
sehingga para investor cenderung menghindari nilai DER yang tinggi. Dengan
demikian semakin tinggi DER semakin tinggi pula tingkat Underpricing. Dept To
Equity (DER) dapat dihitung dengan (Permatasari, 2014:6):
DER=
Total Hutang
X 100%
Total Ekuitas
3. Earning per Share (EPS)
Seorang investor membeli selembar saham dengn harapan mendapatkan imbal
hasil dalam bentuk deviden atau kenaikan nilai saham dimasa mendatang. Karena
laba merupakan dasar pembayaran deviden, sebagaimana juga dasar kanaikan
nilai saham, investor selalu tertarik dengan laba per lembar saham yang
dilaporkan peusahaan, Garrison (2013:42). Variabel Earning per Share (EPS)
merupakan proxy bagi laba per saham perusahaan yang diharapkan dapat
memberikan gambaran bagi investor mengenai bagian keuntungan yang dapat
diperoleh dalam suatu periode tertentu dengan memiliki suatu saham.
33
Universitas Sumatera Utara
Laba per lembar saham dapat dihitung dengan rumus (Permatasari, 2014:63):
4. Ukuran Perusahaan
EPS =
Laba Bersih
Jumlah lembar saham
Untuk mengukur besarnya skala atau ukuran dari perusahaan adalah dengan
melihat total asset dari laporan keuangan perusahaan tahun terakhir sebelum
perusahaan tersebut melakukan IPO di bursa. Asset merupakan tolak ukur atau
besaran skala suatu perusahaan. Biasanya perusahaan besar mempunyai asset
yang besar pula nilainya. Secara teoritis peusahaan yang mempunyai kepastian
(certainty) yang lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi
tingkat ketidakpastian mengenai prospek perusahaan ke depan. Hal tersebut dapat
membantu investor memprediksi risiko yang mungkin terjadi jika ia berinvestasi
pada perusahaan itu.
Dengan rendahnya tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar dalam
jangka panjang maka akan menurunkan tingkat underpricing dan kemungkinan
initial return yang akan diterima investor akan semakin rendah oleh karena itu
diduga semakin besar ukuran peusahaan maka akan semakin kecil underpricing.
5. Umur Perusahaan
Umur perusahaan menggambarkan kemampuan perusahaan tetap dapat
bertahan hidup dan banyaknya informasi yang dapat diterima publik akan
perusahaan (Permatasari, 2014:37). Dengan demikian akan mengurangi adanya
asimetri informasi dan memperkecil risiko ketidakpastian dimasa yang akan
datang.
34
Universitas Sumatera Utara
Saat emiten melakukan IPO, investor akan lebih percaya tehadap perusahaan
yang sudah lama berdiri dan sudah lebih tekenal daripada perusahaan yang baru
berdiri. Informasi perusahaan tersebut pun lebih mudah di akses dan lebih tesedia
pada perusahaan yang sudah lebih lama berdiri dibandingkan yang baru berdiri.
Reputasi perusahaan dimasa lalu sudah dapat dilihat dari peforma perusahaan di
tahun-tahun sebelumnya. Kondisi tesebut dapat digunakan untuk memprediksi
keadaan dimasa yang akan datang. Dari teori tersebut kita dapat melihat bahwa
risiko kedepannya lebih kecil karena tingkat ketidakpastiannya lebih rendah
dibanding perusahaan yang baru berdiri (Permatasari, 2012:38).
6. Reputasi Underwriter
Underwriter merupakan perusahaan swasta atau BUMN (pihak luar) yang
menjembatani kepentingan emitten dan investor yakni menjadi penanggung jawab
atas terjualnya efek emiten kepada investor. Peranan underwriter diduga
bepengaruh terhadap tinggi rendahnya harga pedana saham yang akan dibeli
investor tergantung kesepakatan antara penjamin emisi dengan emiten (Astuti,
2012:5).
Emiten dan underwriter bersama-sama dalam menentukan harga perdana,
walaupun demikian mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Emiten
menginginkan harga perdana yang tinggi sehingga bisa mendapatkan modal yang
besar untuk merealisasika program-program perusahaan yang ingin dicapai.
Sebaliknya underwriter menginginkan harga yang cenderung rendah, untuk
meminimalkan risiko saham yang ditawarkan tidak laku di pasar, (Wicaksono,
2012:29).
35
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan dan kemampuan dari underwriter merupakan jaminan pula bagi
perusahaan bahwa proses penawaran umum akan ditangani dengan baik dan
bahwa mereka akan mendapat dukungan yang sangat bermanfaat baik sebelum
maupun sesudah pelaksanaan penawaran umum perdana. Hingga saat ini belum
ada standar baku untuk mengkategorikan underwriter bereputasi baik dan buruk.
Pengukuran reputasi underwriter pada tiap penelitian mungkin berbeda, salah
satunya adalah didasarkan perangkingan yang dibuat oleh idx statistic yang
merangking underwriter ke dalam top 10 underwriter .
Berikut adalah daftar underwriter yang masuk ke dalam top 10 underwriter
yang ada di Indonesia pada tahun 2015 yang diterbitkan oleh idx statistik di Bursa
Efek Indonesia;
1. Ciptadana Securities
2. Indo Primier Securities
3. Panin Securities
4. Credit Swisse Securities Indonesia
5. Mandiri Securities
6. Bahana Securities
7. Dana Reksa Securities
8. CIMB Securities Indonesia
9. Sinarmas Securities
10. RHB Osk Securities Indonrsia
Pada penelitian ini ranking yang diberikan kepada underwriter dijadikan dasar
membedakan underwriter yang memiliki reputasi tinggi dan underwriter yang
36
Universitas Sumatera Utara
tidak memiliki reputasi tinggi. Underwriter yang memiliki reputasi tinggi adalah
underwriter yang masuk dalam top 10 underwriter , sedangkan underwriter yang
tidak masuk dalam top 10 underwriter dikategorikan sebagai underwriter yang
tidak memiliki reputasi tinggi.
2.5 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam
penelitian ini:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No.
1
2
3
Peneliti
(Tahun)
Judul
Penelitian
Anggita
Ratnasari
dan Gunasti
Hudiwinarsih
(2013)
Analisis
Pengaruh
Informasi
Keuangan, Non
Keuangan Serta
Ekonomi Makro
Terhadap
Underpricing
Pada
Perusahaan
Ketika IPO
Analisis faktorfaktor
yang
mempengauhi
underpricing
saham saat IPO
di BEI
Dependen:
Underpricing
Analisis faktorfaktor
yang
mempengaruhi
tingkat
underpricing
saham
pada
perusahaan
yang melakukan
initial
public
offering di BEI
Dependen:
Underpricing
Ayu
Wahyusari
(2013)
Irawati
Junaeni dan
Rendi
Agustian
(2013
Variabel
Penelitian
Metode
Analisis
Data
Regresi
Linear
Berganda
Independen:
1. Return On Asset
2. Financial
3. Leverage
4. Inflasi
5. Reputasi KAP
6. ReputasI Underwriter
Dependen:
Underpricing
1. . return on equity, reputasi KAP dan
reputasi penanggung memiliki dampak
yang signifikan terhadap underpricing.
2. financial leverage dan tingkat inflasi
tidak berpengaruh pada underpricing
Regresi
Linear
Berganda
Independen:
1. ROA
2. DER
3. umur perusahaan
4. Reputasi underwriter
Independen:
1. Reputasi underwriter
2. Financial leverage
3. Proceeds
4. Jenis industri.
Hasil Penelitian
1. Solvabilitas,
DER,
dan
umur
perusahaan berpengaruh siginifikan
terhadap underpricing.
2. ROA, dan reputasi underwriter tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
underpricing.
Analisis
linear
berganda
1. Ketika pengujian secara parsial,
didapat
hasil
hanya
reputasi
underwriter saja yang mempengaruhi
tingkat underpricing saham.
3. Reputasi
underwriter,
financial
leverage, proceeds, dan jenis industri
memberikan pengaruh secara simultan
terhadap tingkat underpricing saham
perusahaan
37
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1
No
3
4
5
6
Peneliti
(Tahun)
Asih Yuli
Astuti dan
Syahyunan
(2012)
Wicaksono
(2012)
I Dewa Ayu
Kristiantari
(2012)
Soet
dan
John
(2012)
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Pengaruh
Variabel
Keuangan
dan
Non
Keuangan
terhadap
Underpricing
pada
Saham
Perusahaan yang
Melakukan Initial
Public Offering di
Bursa
Efek
Indonesia
Dependen:
Underpricing
Analisis Pengaruh
Variabel
Keunangan dan
Non
Keuangan
terhadap
Fenomena
Underpricing
Saham
Perdana
pada saat IPO
Analisis FaktorFaktor
Yang
Mempengaruhi
Underpricing
Saham
Pada
Penawaran Saham
Perdana Di Bursa
Efek Indonesia
Factor Influincing
The Underpricing
Of Initial Public
Offering
An
Emerging Market:
Evidence
From
Nairobi Security
Exchange (NSE)
Independen:
1. Return on asset
2. Debt to equity ratio
3. Besaran perusahaan
4. Earning pe share
5. Ukuran penawaran
saham
6. Umur perusahaan
7.Reputasi
underwriter
8. Reputasi auditor
9. Inflasi Independen:
10. Suku bunga
Dependen:
Underpricing
Metode
Analisis
Data
Regresi
linear
berganda
Independen:
1.Reputasi
underwriter
2.Reputasi Auditor
3.Umur Perusahaan
4.Ukuran Perusahaan
5.Tujuan Penggunaan
Dana
6.Return on Asset
7.Financila Leverage
8.Jenis Industry
Dependen
Underpricing
Independen
1. Underwriter
2. Ownership
3. Value Lost
4. Regulatory Effect
1. Secara
parsial
hanya
underwriter yang berpengaruh
negatif
dan
signifikan
underpricing
reputasi
terhadap
2. return on asset, debt to equity ratio,
besaran perusahaan (size), earning per
share,
ukuran
penawaran
saham
(proceeds), umur perusahaan, reputasi
auditor, inflasi dan suku bunga
berpengaruh tidak signifikan terhadap
underpricing
Regresi
linear
berganda
Independen:
1.Umur Perusahaan
2.Proporsi Penawaran
3.Ukuran Perusahaan
4.Jenis Industri
5.Return on Asset
6.Financial Leverage
7.Tujuan Penggunaan
Dana
8.Reputasi
Underwriter
9.Reputasi Auditor
Dependen:
Underpricing
Hasil Penelitian
1.
2.
Analisis
linear
berganda
3.
Variabel umur perusahaan, proporsi
penawaran perdana, jenis industry,
return on asset, financial leverage,
tujuan penggunaan dana investasi,
reputasi underwriter, dan earning per
share
tidak memiliki pengaruh
signifikan pada tingkat underpricing
1.
Reputasi
underwriter,
ukuran
perusahaan,
dan tujuan penggunaan
dana untuk investasi secara signifikan
berpengaruh pada underpicing dalam
arah koefisien negatif.
Reputasi auditor, umur
perusahaan,
ROA, financial leverage, dan jens
industry tidak memiliki pengaruh secara
signifikan pada tingkat underpricing.
2.
Model
Regresi
Linear
Ukuran
perusahaan
bepengaruh
signifikan
terhadap
tingkat
underpricing dengan arah koefisien
negatif.
Reputasi auditor berpengaruh secara
signifikan terhdap tingkat underpricing
dengan arah koefisien positif.
1. Ownership, Value Lost, Regulatory Effect
memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap underprising
2.
Underwriter memiliki pengaruh negatif
dan
tidak
signifikan
terhadap
underpricing
38
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1
No
7
8
Peneliti
(Tahun)
Judul Penelitian
Nashirah
Binti
Abu Bakar
dan
Kiyotaka
Uzaki
(2012)
An Empirical
Study of Initial
Public Offerings
Underpricing for
Shariah –
Compliant
Companies : The
Case of
Malaysian Market
Md. Aminul
Islam
(2010)
An
Empirical
Investigation of
the Underpricing
of Initial Public
Offerings in the
Chittagong Stock
Exchange
Variabel Penelitian
Dependen :
Underpricing
Independen:
1.Underwriter
reputation
2. Types of Market
3. Types of Industry
4.Times
of
oversubscription
5. Offer price
6. 0ffer size
Dependen:
1.Underpricing
Metode
Analisis
Data
Analisis
linear
berganda
Analisis
linear
berganda
Independen:
1. Umur perusahaan
2. Ukuran perusahaan
3. Jenis industri
4. Tingkat penawaran.
5. Waktu penawaran
Hasil Penelitian
1.
Variabel times of oversubscription
memiliki
pengaruh
signifikan
terhadap underpricing.
1. Umur
perusahaan
dan
Ukuran
perusahaan
bepengaruh
signifikan
terhadap tingkat underpricing dengan
arah koefisien positif
2. Jenis industridan tingkat penawaran
bepengaruh signifikan terhadap tingkat
underpricing dengan arah koefisien
negatif
3. Waktu penawaran tidak berpengaruh
2.6 Kerangka Konseptual
Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar
sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO (Yolana, 2005:358).
Underpricing saham juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana efek
yang dijual di bawah nilai likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya diterima
oleh pemegang saham (Ang dalam Permatasari, 2014:28).
Fenomena underpricing dapat dijelaskan dengan adanya asimetri informasi.
Menurut (Lorenzo dan Fabrizio dalam Permatasari, 2014:28) hampir semua
penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari
adanya asimetri informasi dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu
emiten, underwriter dan investor.
Berdasarkan landasan teori dan penelitian – penelitian terdahulu dapat
39
Universitas Sumatera Utara
diperoleh variabel – variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Return on
Equity (ROE), Debt to Equity Ratio (DER), Earning per Share (EPS), ukuran
perusahaan, umur perusahaan dan reputasi underwriter . Variabel – variabel ini
diduga memiliki pengaruh terhadap perusahaan yang melakukan Initial Public
Offering (IPO). Hubungan antara variabel – variabel tersebut dengan tingkat
underpricing akan di jelaskan sebagai berikut :
1. Pengaruh Return on Equity (ROE) terhadap Underpricing
Profitabilitas
perusahaan
menunjukan
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba dalam periode tertentu. Pada penelitian ini profitabilitas
perusahaan diinterpretasikan menggunakan rasio Return on Equity (ROE). Return
on Equity (ROE) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk
mengukur besarnya tingkat pengembalian modal dari perusahaan
(Yolana,
2005:543). Menurut (Kurniawan, 2007:5) Return on Equity (ROE) digunakan
untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan
cara memanfaatkan modal saham yang ada. Informasi mengenai tingkat
profitabilitas perusahaan merupakan informasi yang penting bagi investor dalam
membuat keputusan investasi yang akan dilakukannya. Profitabilitas perusahaan
memberikan informasi kepada investor
mengenai efektivitas operasional
perusahaan (Ardiansyah dalam permatasi, 2014:30). Dalam IPO saham dari
perusahaan dengan rasio Return On Equity (ROE) yang baik, akan menciptakan
sinyal positif bagi calon investor untuk membeli saham perusahaan tersebut,
sehingga pelaksanaan IPO diharapkan dapat berhasil. Hal ini menjadikan Menurut
(Watts dan Zimmerman dalam Permatasari, 2004:30) bahwa prestasi keuangan,
40
Universitas Sumatera Utara
khususnya tingkat keuntungan, memegang peranan yang penting dalam penilaian
prestasi usaha perusahaan dan sering pihak perusahaan dan juga underwriter
cenderung untuk tidak menentukan harga penawaran perdana yang jauh lebih
rendah dibawah harga sewajarnya atau dengan kata lain menurunkan besarnya
tingkat underpricing. Dengan semakin tingginya tingkat ROE yang dimiliki
perusahaan maka akan semakin rendah tingkat underpricing yang dialami karena
investor akan menilai kinerja perusahaan dengan lebih baik dan bersedia untuk
membeli saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi. Calon investor akan
mempertimbangkan persentase profitabilitas perusahaan sebelum menentukan
keputusan investasinya sehingga nilai ketidakpastiannya semakin rendah yang
juga akan menurunkan nilai underpricing perusahaan tersebut (Yasa, 2010:13).
Sesuai dengan signaling theory, untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah
terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas akan memberikan sinyal
positif kepada calon investor.
2.
Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap Underpricing
Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu ratio Leverage. Debt to
Equity Ratio (DER) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
membayar hutang dengan modal yang dimilikinya. DER yang tinggi
menunjukkan
risiko
finansial
atau
risiko
kegagalan
perusahaan
untuk
mengembalikan pinjman akan semakin tinggi dan sebaliknya para investor dalam
melakukan keputusan investasi akan mempertimbangan nilai DER perusahaan.
Apabila DER tinggi, maka risiko perusahaan akan tinggi pula, sehingga investor
dalam melakukan keputusan investasi cenderung menghindari DER yang tinggi
41
Universitas Sumatera Utara
karena semakin tinggi DER semakin tinggi pula underpricing nya (Daljono dalam
Permatasari, 2014:32).
Dalam penelitian ini aspek leverage di interpretasikan dengan menggunakan
rasio Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio (DER) digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan modal yang
dimilikinya. DER yang tinggi menunjukan risiko financial atau risiko kegagalan
perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan juga
sebaliknya.
3. Pengaruh Earning per Share (EPS) terhadap Underpricing
Earning per Share (EPS) yang dibagikan merupakan salah satu informasi
penting bagi investor di pasar modal dalam rangka pengambilan keputusan
investasinya. EPS merupakan pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang
saham biasa yang beredar. Sehingga EPS menggambarkan jumlah rupiah yang
diperoleh untuk setiap lembar saham biasa atau laba bersih per lembar saham
biasa.
Pertumbuhan EPS yang positif akan memperoleh bagian laba yang lebih besar
dimasa yang akan datang atas setiap lembar saham yang dimilikinya. Semakin
tinggi nilai EPS yang dimiliki perusahaan semakin besar pula laba perusahaan
tersebut dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang akan diterima oleh
pemegang saham. Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor
yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi.
42
Universitas Sumatera Utara
4. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Underpricing
Ukuran perusahaan dapat dijadikan sebagai proksi tingkat ketidakpastian,
karena perusahaan yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat
daripada perusahaan yang berskala kecil sehingga informasi mengenai prospek
prusahaan yang berskala besar lebih mudah diperoeh investor daripada perusahaan
yang berskala kecil (Nurhidayati dan Indriantoro dalam Permatasari, 2014:37).
Bila informasi yang dimiliki oleh investor semakin banyak, maka investor dapat
mengambil keputusan investasi yang lebih tepat bila dibandingkan dengan
investor yang memiliki sedikit informasi mengenai perusahaan. Tingkat
ketidakpastian perusahaan berskala besar umumnya rendah karena dengan skala
yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar dan juga sebaliknya.
Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat risiko investasi perusahaan
berskala besar dalam jangka panjang.
5. Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Underpricing
Umur perusahaan menunjukan kemampuan perusahaan dapat bertahan hidup
dan banyaknya informasi yang dapat diserap publik. Umur perusahaan juga
menunjukan kemampuan perusahaan tetap dapat eksis, mampu bersaing dan
memanfaatkan setiap peluang bisnis yang ada dalam persaingan di dunia bisnis
yang semakin ketat. Calon investor tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih
banyak untuk memperoleh informasi dari perusahaan yang melakukan IPO
tersebut. Jadi perusahaan yang telah lama berdiriakan mengurangi terjadinya
asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian pasar sehingga akan
43
Universitas Sumatera Utara
mempunyai tingkat underpricing yang lebih rendah daripada perusahaan yang
masih baru (Suyatmin dan Sujadi dalam Permatasari, 2014:38).
6. Pengaruh Reputasi Underwriter terhadap Underpricing
Underwriter
merupakan mediator antara emiten dan calon investor.
Underwriter yang telah memiliki reputasi yang besar lebih dipercaya untuk
menjualkan dan menjamin saham perusahaan yang akan dijual di pasar perdana.
Jadi semakin tinggi reputasi underwriter semakin rendah tingkat underpricing.
Peranan underwriter diduga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya underpricing
karena tinggi rendahnya harga perdana saham yang akan dibeli investor
tergantung kesepakatan antara penjamin emisi dengan emiten. Berdasarkan uraian
teoritis dan penelitian terdahulu yang akan di paparkan sebelumnya, kerangka
konseptual penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut;
Return on Equity
Debt to Equity Ratio
Earning per Share
Underpricing
Ukuran Perusahaan
Umur Perusahaan
Reputasi Underwriter
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
44
Universitas Sumatera Utara
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah: Return On Equity, Financial Leverage (DER),
Earning per Share (EPS), Ukuran perusahaan, Umur perusahaan, Reputasi
Underwriter berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
45
Universitas Sumatera Utara