PERLINDUNGAN PIHAK YANG LEMAH PASCA PENG

PERLINDUNGAN PIHAK YANG LEMAH PASCA PENGGABUNGAN
(MERGER) SUATU PERSEROAN TERBATAS
Oleh:
Fivi Fajar Iryana

E0013186

Veronika Astri Narindra

E0013404

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Hukum Perusahaan Kelas B
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum suatu
perseroan terbatas yang melakukan penggabungan atau merger. Objek penelitian
ini adalah perseroan yang menggabungkan diri dengan perseroan yang lain
sehingga hilang dan bergabung menjadi satu dengan perseroan yang digabungi.
Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, data
yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu perundang-undangan dan data
sekunder yaitu, buku dan jurnal hukum yang terkait dengan penggabungan

perseroan terbatas. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa; 1). Dengan adanya
penggabungan dua perseroan otomatis merubah status hukum, struktur organ,
serta pemindahan harta kekayaan perseroan yang menggabungkan diri. 2). Perlu
dilakukan upaya perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam suatu
perseroan, yaitu, karyawan atau pekerja, pemegang saham minoritas, dan pihak
ketiga. 3). Untuk organ perseroan terbatas seperti RUPS, Direksi dan Komisaris
hendaknya mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penggabungan untuk
menjamin keuntungan semua pihak.
Kata kunci: penggabungan, perseroan terbatas, perlindungan
A.

Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia selalu berbanding

lurus dengan kemajuan serta kemudahan dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam
sektor ekonomi sendiri, pertumbuhan dan perkembangan ditunjukan dengan
adanya peningkatan jumlah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang

masing-masing sehingga menyebabkan ketatnya persaingan antar perusahaan
tersebut. Untuk itu masing-masing perusahaan berupaya mencari jalan untuk

meningkatkan efisiensinya juga meningkatkan kinerjanya. Banyak cara yang
dilakukan oleh suatu perusahaan dalam mengoptimalisasikan sumber daya yang
ada seperti modal, teknologi managemen, dan lain-lain guna memperoleh
sinergisme baru dalam melakukan kegiatan usaha yang mengacu pada efisiensi
dan produktifitas1. Salah satu cara tersebut adalah dengan jalan merger atau
penggabungan.
Dalam istilah hukum perusahaan, merger adalah tindakan penggabungan
dua perusahaan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang,
dimana satu dari berbagai perusahaan tetap bertahan dan yang lainnya hilang 2.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9 UUPT, penggabungan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari
perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum. Sehingga dari penjelasan pengertian
merger dapat disimpulkan bahwa merger merupakan penggabungan dua atau lebih
perusahaan dimana satu perusahaan masih berdiri dan yang menggabungkan diri
bubar demi hukum.
Setelah kedua perusahaan tersebut resmi menggabungkan diri, diharapkan
dapat memberikan keuntungan yang lebih daripada sebelum menggabungkan diri.

Keuntungan-keuntungan tersebut dapat dilihat dari peningaktan kualitas serta
efisiensi dari penggunaan sumber daya dan modal untuk menghasilkan suatu
produk yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Tak terlepas dari kemajuan
teknologi, peningkatan persaingan perusahaan telekomunikasi, terutama di
Indonesia, menyebabkan terjadinya penggabungan perusahaan telekomunikasi
yang cukup berpengaruh, yaitu antara PT XL Axiata Tbk dan PT Axis Telekom
Indonesia pada kuartal awal 2014 yang lalu. PT XL Axiata Tbk secara resmi
1 Munir Fuady,2002.Hukum Tentang Merger ,PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h.15
2Pujiyono, 2014, Hukum Perusahaan, Pustaka Hanif, Surakarta, h. 199

mengumumkan bahwa proses merger dengan PT Axis Telekom Indonesia telah
selesai dengan ditandatanganinya akta merger pada 8 April 2014. (sumber:
www.xl.co.id)
Penggabungan tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan
daripada kedua pihak perseroan. Juga bagi masyarakat yang menggunakan
layanan dari perusahaan tersebut. Selain itu, penggabungan kedua perusahaan
telekomunikasi tersebut juga diharapkan berdampak terhadap peningkatan
Penerimaan Negara Bukan Pajak. Meskipun pada awal perencanaan merger kedua
perusahaan tersebut memunculkan isu monopoli yang diindikasikan dari
konsentrasi pasar sebelum dan sesudah merger, Komisi Pengawas Pesaingan

Usaha (KPPU) tetap memberikan persetujuan merger kedua perusahaan tersebut
setelah perusahaan memenuhi seluruh persyaratan proses akuisisi dan merger
yang berlaku sesuai dengan dasar perundang-undangan di Indonesia.
Namun, setelah terjadinya suatu merger, perseroan yang menggabungkan
diri akan lenyap dan bergabung menjadi satu dengan perseroan yang digabungi.
Pada contoh kasus di atas, PT Axis Telekom Indonesia telah lenyap dan
menggabungkan diri dibawah PT XL Axiata Tbk. Selain adanya manfaat yang
diperoleh dalam efesiensi dan optimalisasi sumber daya, modal, ataupun sarana
prasarana penunjang produktifitas perusahaan, penggabungan tersebut juga
memberikan dampak lain yang kemungkinan besar jika tidak diatasi dengan tepat
dapat mengakibatkan kerugian, baik kerugian bagi pihak dalam perusahaan
ataupun pihak lain diluar perusahaan.
Dari penjelasan diatas, muncul permasalahan berupa status hukum,
struktur organ, serta pemindahan harta kekayaan perseroan yang menggabungkan
diri. Persoalan perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam suatu perseroan,
yaitu pemegang saham perusahaan terutama sebagai pemegang saham minoritas,
karyawan yang bekerja pada perseroan, juga pihak ketiga yaitu perusahaan lain
sebagai pesaing ataupun pelanggan yang menggunakan produk layanan perseroan
tersebut serta upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerugian setelah
merger.


B.

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative,

yaitu penelitian hukum kepustakaan yang biasa disebut dengan legal research atau
legal research instruction. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan, yaitu menelaah aturan hukum yang berlaku mengenai
perseroan terbatas, khususnya mengenai pelaksanaan penggabungan perseroan.
Menghimpun peraturan perundang-undangan yang merupakan data pimer, serta
mengumpulkan teori-teori dari bahan pustaka berupa buku-buku serta jurnal
hukum. Juga mengambil data tersier berupa catatan-catatan mapun berita-berita
yang bersumber dari pernyataan pihak yang bersangkutan dalam proses merger
tersebut. Analisis data menggunakan penalaran serta metode diskusi kelompok.
C.

Pembahasan
1.


Perlindungan Hukum

Perlindungan mempunyai kata dasar lindung, yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia mempunyai arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi. Sedangkan perlindugan dapat diartikan sebagai tempat berlindung,
atau hal (perbuatan) yang memperlindungi3. Perlindungan hukum timbul akibat
dilakukannya suatu

perbuatan hukum atau hubungan hukum. Dengan

dilakukannya perbuatan hukum maka akan muncul akibat hukum. Hubungan
hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing subyek
hukum mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau
berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka hukum yang
mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan
hukum.
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,


3 http://kbbi.web.id/lindung

yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian4.
Indonesia adalah Negara hukum, untuk itu seluruh kegiatan yang
dilakukan dalam wilayah Indonesia harus berlandaskan pada hukum yang berlaku.
Negara mempunyai peran penting terhadap suatu jaminan perlindungan hukum
bagi warga negaranya yang melakukan perbuatan hukum. Secara konseptual,
perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan
implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum.
Dalam kajian hukum perusahaan khususnya merger peseroan terbatas,
perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara yang merupakan perlindungan
hukum secara represif telah tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan
khusus, yaitu UUPT dan PP No. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan,
dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Sehingga kegiatan dalam proses merger
perseroan terbatas mempunyai perlindungan hukum terhadap subyek hukum yang
melaksanakannya.
2.


Pengertian Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas

Perseroan terbatas adalah salah satu jenis badan usaha yang berbadan
hukum. Peraturan mengenai perseroan terbatas di Indonesia terdapat pada
peraturan perundangan yang perundangan khusus, yaitu Undang-Undang No. 1
tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang diubah dengan Undang-undang No.
40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam menjalankan kegiatan
usahanya, perseroan perlu mengembangkan eksistensinya. Pengembangan usaha
oleh perseroan salah satunya dengan upaya penggabungan atau yang sering
disebut dengan merger. Penggabungan atau merger merupakan salah satu langkah
yang diatur dalam perundangan-undangan yang berlaku. Merger yang dilakukan
oleh suatu perseroan juga telah diatur dalam UUPT.
Merger atau penggabungan dimaksudkan sebagai suatu “fusi” atau
“absorbsi” dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara
umum fusi atau absorbsi dilakukan oleh suatu subjek yang kurang penting dengan
4 http://www.artikata.com/artiperlindunganhukum.html (diakses pada 5 juni 2015)

subjek yang lebih penting. Subjek kurang penting kemudian membubarkan diri 5.
Secara teori dalam bidang perusahaan, kata “merger” berasal dari bahasa Inggris

yang berarti fusi, absorbs, atau menggabungkan. Dalam istilah hukum perusahaan,
merger adalah tindakan penggabungan dua perusahaan sesuai dengan syaratsyarat yang ditetapkan oleh undang-undang, dimana satu dari berbagai perusahaan
tetap bertahan dan yang lainnya hilang6 .
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9 UUPT, penggabungan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan
aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum
kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Menurut PP
No. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Perseroan Terbatas, pengertian dari merger sendiri yaitu penggabungan adalah
perbuatan hukum yang dilakukakan oleh satu perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya
perseroan yang menggabungkan diri bubar.
Dari definisi merger diatas dapat disimpulkan substansi dari pengertian
merger sebagai berikut :
a. Adanya perbuatan hukum, yaitu penggabungan dua perseroan
merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum
setelah disepakatinya penggabungan;
b. Adanya subyek hukum, dalam hal ini ialah perseroan-perseroan

terkait yang melakukan penggabungan;
c. Antara perseroan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu salah
satu perseroan akan menggabungkan diri kepada perseroan yang
menerima penggabungan; dan
d. Adanya keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan
diri akan bubar.
5 Munir Fuady, op. cit. h. 2
6 Pujiyono, loc. cit.

Penggabungan yang dilakukan oleh perseroan tersebut menimbulkan suatu
akibat hukum yang menjadi konsekuensi bergabungnya dua perseroan tersebut.
Hal ini sesuai dengan isi Pasal 122 UUPT tentang Penggabungan dan Peleburan
suatu perseroan mengakibatkan perseroan yang menggabungkan atau meleburkan
diri berakhir karena hukum. Maka akibatnya:
a. Aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan atau
meleburkan diri menjadi beralih karena hukum kepada perseroan
yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan;
b. Pemegang saham perseroan yang menggabungkan atau meleburkan
diri karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang
menerima perseroan dari hasi peleburan; dan

c. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir
karena hukum terhitung sejak tanggal penggabungan atau peleburan
mulai berlaku.
Dengan terjadinya penggabungan perseroan, maka secara seketika akan
terdapat dua akibat hukum signifikan yang mempengaruhi perseroan-perseroan
yang merger, yaitu peralihan karena/demi hukum seluruh aktiva dan pasiva
perseroan yang menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima
penggabungan, dan bubarnya perseroan yang menggabungkan diri tanpa didahului
dengan suatu proses likuidasi. Struktur organ perseroan sebagai suatu badan
hukum juga akan berubah.
Sehingga bubarnya perseroan yang menggabungkan diri menimbulkan
konsekuensi hukum sebagai berikut:
a. Perseroan yang bubar tersebut tidak lagi dapat melakukan fungsifungsinya sebagai suatu perseroan terbatas termasuk tidak dapat
bertindak dan mengikatkan diri terhadap pihak ketiga
b. Seluruh organ perseroan tidak lagi memiliki eksistensinya (tidak
berfungsi).

c. Perseroan yang bubar tersebut tidak lagi memiliki harta kekayaan
(asset), baik bergerak (berwujud atau tidak berwujud) maupun tidak
bergerak dan juga idak memiliki kewajiban dalam bentukapa pun yang
kesemuanya ini telah dialihkan karena/demi hukum kepada perseroan
yang menerima penggabungan.
Sehingga, dengan konsekuensi hukum diatas, perseroan yang menggabungkan diri
tidak bisa melakukan perbuatan hukum termasuk tindakan-tindakan yang terkait
dengan pngubahan kontrak-kontrak dengan pihak ketiga dan segala proses balik
nama terhadap kepemilikan kekayaan beralih kepada perseroan hasil merger.
3.

Perlindungan Pihak yang Lemah Pasca Merger Perseroan Terbatas

Dengan adanya pelaksanaan merger yang mengakibatkan perubahanperubahan secara yuridis, ketentuan dalam UUPT telah mewajibkan sautu
perseroan yang akan melakukan merger untuk mempertimbangkan kepentingan
pihak-pihak lain yang terkena dampak dari merger tersebut. Pasal 126 ayat (1)
UUPT

menyatakan;

Perbuatan

hukum

Penggabungan,

Peleburan,

Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha
Dari penjelasan pasal tersebut, ketentuan ini menegaskan bahwa Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan tidak dapat dilakukan apabila akan
merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Selanjutnya, dalam Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan harus juga dicegah kemungkinan
terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan
masyarakat. Berikut penjabaran perlindungan yang diperlukan untuk menghindari
kerugian pihak-pihak tertentu.
a. Pemegang Saham Minoritas
Perseroan berasal dari kata dasar “sero” yang artinya saham, dalam bahasa
Inggris disebut “share” atau “stock” Sehingga modal dasar pendirian suatu
perseroan seluruhnya terbagi dalam bentuk saham. Modal dasar (saham) suatu

perseroan biasanya dimiliki oleh pendiri, yang merupakan tanda keikutsertaan
dalam memiliki modal perusahaan. Sehingga keikutsertaan seseorang dalam
penghimpunan modal suatu perusahaan harus dibuktikan dengan kepemilikan
saham. Sehingga dapat diartikan bahwa saham merupakan surat berharga yang
menunjukkan kepemilikan perusahaan sehingga pemegang saham memiliki hak
klaim atas deviden atau distribusi lain yang dilakukan perusahaan kepada
pemegang saham lainnya.
Dalam melakukan perluasan atau ekspansi, secara umum suatu perseroan
akan melakukan perluasan pada sektor pendapatan dan modal. Untuk penambahan
modal perseroan harus dilakukan atas dasar persetujuan RUPS (pasal 41 ayat (1)
UUPT). Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih
dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan
saham untuk klasifikasi saham yang sama (Pasal 43 ayat (1)). Untuk saham yang
belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh
pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya
(Pasal 43 ayat (2)). Penambahan modal tersebut hanya diberlakukan pada pemilik
modal (saham) sebagai pendiri perseroan. Kemudian sisa saham yang tidak
diambil pada bagian tersebut ditawarkan kepada pihak ketiga.
Pemegang saham dalam perseroan mempunyai kedudukan yang kuat
secara yuridis. Namun karena ikatannya dengan perseroan lemah, seperti
pemegang saham minoritas, menyebabkan posisi yang bersangkutan menjadi
lemah. Maka disini diperlukannya suatu perlindungan terhadap pemegang saham
minoritas. Apabila ada pihak pemegang saham yang tidak setuju dengan merger,
padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk merger,
terhadap pihak yang minoritas diberi suatu hak khusus yang disebut Appraisal
Rights7.
Menurut ketentuan Pasal 62 dan Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjamin Appraisal Rights
dari pemegang saham perseroan yang akan mengambil alih. Appraisal Rights
adalah hak dari pemegang saham minoritas yang tidak setuju terhadap merger
7 Munir Fuadi, op. cit. hlm.127

(tetapi dia kalah suara) atau terhadap tindakan-tindakan korporat lainnya, untuk
menjual saham yang dipegangnya kepada perusahaan yang bersangkutan dimana
pihak perusahaan yang mengisukan saham tersebut wajib membeli kembali
saham-sahamnya dengan harga yang pantas.
Selain Appraisal Rights, hukum merger juga memberikan keistimewaan
dengan menerapkan prinsip “Super Majority”8. Artinya bahwa untuk dapat
menyetujui merger, yang diperlukan bukan hanya lebih dari 50% pemegang
saham yang menyetujuinya, tetapi lebih dari itu. Dalam UUPT Pasal 89 ayat (1)
RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan,

pengajuan

permohonan

agar

Perseroan

dinyatakan

pailit,

perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat
dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan
keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum
kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
b. Perlindungan Terhadap Pekerja
Secara struktural, yaitu pembagian kewenangan dari suatu perusahaan,
pihak yang paling lemah ialah kedudukan para pekerja diperusahaan.
Dibandingkan dengan pemegang saham, Direksi, ataupun Komisaris, pekerja
sama sekali tidak dilibatkan dalam penentuan kebijakan taupun operasional
perusahaan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan merger
sehubungan dengan perlindungan terhadap hak pekerja antara lain;
1) Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan kesejahteraan sosial yang
akan diterapkan setelah merger.
2) Waktu yang pantas untuk berkonsultasi dengan organisasi pekerja.
3) Cara dan saat untuk menginformasikan merger kepada pekerja.

8 Munir Fuadi, op. cit. hlm.128

4) Cara-cara

untuk

kemungkinan

mencegah

kerugian

atau

materiil

setidak-tidaknya

kepada

pihak

mengeliminir

pekerja,

termasuk

memberikan kompensasi yang bersifat materiil.
5) Aktivitas khusus dari organisasi pekerja dalam perusahaan.
6) Suatu garansi terhadap keamanan dan ketersediaan pekerjaan setelah
merger.
Namun kebanyakan dalam merger atau akuisisi, pekerja seringkali menjadi
korban peningkatan kefektifan dan efisiensi usaha, yaitu dengan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Sebagian besar pekerja akan dijatuhi PHK karena dengan
penggabungan dua perusahaan menjadi satu akan mengurangi jumlah pekerjaan
sehingga agar kinerja para pekerja efektif. Terutama dalam tipe merger horizontal
dimana bentuk merger ini terkait dengan perusahan yang mempunyai lini usaha
yang sejenis. Sayangnya dalam sistem hukum Negara kita, hampir-hampir tidak
ada upaya hukum apapun untuk menolak PHK tersebut. Oleh karenanya, asalkan
PHK dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka
PHK tersebut sudah sah.
Dalam

ketentuan

ketenagakerjaan

Negara

kita

memperbolehkan

pemutusan hubungan kerja terhadap para pekerja, asal dilakukan dengan prosedur
dan syarat-syarat yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Terdapat mekanisme
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dalam transaksi merger perseroan
terbatas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pertama, pemutusan hubungan kerja yang terjadi sebagai akibat
pihak pengusaha (perseroan merger) tidak berkeinginan ntuk mengerjakan pekerja
(karyawan) dalam perseroan hasil merger. Kedua, pihak pekerja (karyawan)
sendiri yang tidak bermaksud untuk melanjutkan hubungan kerja dengan
pengusaha (perseroan hasil merger).
Dalam hal pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pengusaha
tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan pemutusahn hubungan kerja.
Maka, pekerja berhak atas pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang
pengganti hak dengan perhitungan yang diatur dalam pasal 163 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-undang No. 13 tahun 2003. Jika ditinjau kembali, setiap keputusan
untuk melakukan merger hendaknya manajemen dan pemegang saham perseroan
harus memperhatikan aspek pemutusan hubungan kerja tersebut karena perseroanperseroan yang merger perlu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk para
pekerja yang di-PHK.
c. Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga
Selain pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan kegiatan
perusahaan, hubungan antara pihak diluar perusahaan juga harus diperhatikan.
Hubungan diluar perusahaan tersebut dapat dikelompokan berupa hubungan
kontraktual dan hubungan non kontraktual. Hubungan kontraktual misalnya antara
kreditur dengan perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan hubungan non
kontraktual misalnya dengan si tersaing secara tidak fair.
Dalam rencana penggabungan, pihak direksi perusahaan yang melakukan
merger harus sangat berhati-hati dalam menguraikan cara penyelesaian hak dan
kewajiban terhadappihak ketiga, sekalipun pihak ketig termasuk kreditur
perusahaan yang menggabungkan diri. Proposal penyelesaian hak dan kewajiban
terhadap pihak ketiga yang tidak menguntungkan bagi pihak ketiga sangat
dimungkinkan akan terjadi tindakan hukum dari pihak ketiga tersebut. Terkait
dengan kreditur perseroan yang tidak mencapai penyelesaian dengan pihak
perusahaan, kegiatan merger tidak dapat dilaksanakan (Pasal 33 ayat (5) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998). Direksi perseroan harus proaktif dalam
menjelaskan rencana merger kepada pihak ketiga dan kreditur perseroan agar
penolakan terhadap rencana merger tersebut tidak menuai penolakan dari pihak
ketiga dan kreditur perseroan.
Kreditur merupakan pihak yang harus waspada apabila suatu perusahaan
melkukan merger. Kreditur dari perusahaan publik akan lebih aman karena adanya
kewajiban melaporkan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada publik atas
transaksi-transaksinya, terlebih dalam hal merger. Karena itu, untuk melindungi
semua pihak terutama kreditur, mestinya terhadap perusahaan non publik pun
melakukan hal yang sama. Gentingnya kedudukan pihak kreditur karena merger,
dapat terjadi dua hal sebagi berikut;

a. Peralihan Aset
Jika terjadi peralihan asset perusahaan yang melakukan merger, yang
dalam hal berkedudukan sebagai debitur, maka hutangnya kepada kreditur dapat
menjadi hutang tanpa dukungan asset yang merupakan jaminan pelunasan hutang.
b. Non Eksistensi Legal Entity
Jika eksistensi debitur bubar setelah merger, yang bertanggung jawab
terhadap hutang-hutang terhadap keditur, upaya hukum bagi kreditur hanya ada
terhadap special case saja. Upaya hukum tersebut dapat berupa upaya hukum
perdata yaitu Actio Pauliana. Jika debitur melakukan pengalihan aset untuk
mengelak pembayaran hutang-hutangnya, maka jika terpenuhi syarat-syarat
tertentu seperti tersenut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, pengalihan asset tersebut
dapat dibatalkan. Transaksi merger dapat dipandang sebagai transaksi objek
pranata action pauliana, karena dengan merger ada asset perusahaan yang beralih.
Selanjutnya adalah upaya hukum yang dilakukan pada saat terjadinya
Negative Covenant. Yaitu suatu keadaan dimana debitur menyetujui untuk tidak
melakukan peerbuatan-perbuatan tertentu yang dapat merubah bisnisnya secara
material dan berdampak buruk terhadap hak-hak kreditur. Jika ada Negative
Covenant dalam perjanjian kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur
jika asset ingin dialihkan. Dalam hal ini pun, jika dilanggar oleh debitur, hanya
menyebabkan debitur tetap pada perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi, tidak
sampai batalnya transaksi pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah
dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga. Kecuali pihak ketiga tidak beriktikad
baik untuk itu.9
Kemudian terhadap kedudukan pihak non kontraktual terhadap perusahaan
yang melakukan merger adalah pihak yang merasa tersaing secara curang.
Sehingga untuk menghindari persaingan curang karena merger, sektor hukum
akan ikut campur dalam pelarangan merger yang dapat mengakibatkan
penguasaan terhadap pangsa pasar secara berlebihan, karena dalam hal ini telah
9Cornelius Simanjuntak, 2004, Hukum Merger Perseroan Terbatas, Teori dan Praktek, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, h.162

menjadi monopoli yang illegal. Sementara merger yang tidak menyebabkan
monopoli, tidak dilarang oleh hukum.
D.

Simpulan
1. Dengan adanya penggabungan dua perseroan otomatis merubah status
hukum, struktur organ, serta pemindahan harta kekayaan perseroan yang
menggabungkan diri. Secara seketika akan terdapat dua akibat hukum
signifikan yang mempengaruhi perseroan-perseroan yang merger, yaitu
peralihan karena/demi hukum seluruh aktiva dan pasiva perseroan yang
menggabungkan diri kepada perseroan yang menerima penggabungan, dan
bubarnya perseroan yang menggabungkan diri tanpa didahului dengan
suatu proses likuidasi. Juga dalam hal terkait perbuatan hukum berupa
kontrak maupun hubungan dengan pihak ketiga berubah, yaitu hanya bisa
dilakukan oleh perseroan yang bertahan.
2. Perlu dilakukan upaya perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah dalam
suatu perseroan, yaitu, karyawan atau pekerja, pemegang saham minoritas,
dan pihak ketiga. Perlindungan terhadap pemegang saham minoritas,
perlindungan terhadap pekerja, dan perlindungan terhadap pihak ketiga.
Perlindungan terhadap pihak ketiga dibedakan menjadi pihak yang
mempunyai hubungan kontraktual, yaitu kreditur diselesaikan sesuai
dengan ketentuan yang ada pada Hukum Perdata, sedangkan hubungan
non kontraktual, yaitu dengan pihak yang tersaing secara curang dengan
tidak melakukan bisnis yang tidak sehat atau monopoli.
3. Organ perseroan terbatas seperti RUPS, Direksi dan Komisaris
mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penggabungan. Hal ini
terkait dengan perlindungan hukum bagi pihak yang lemah setelah merger,
seperti perlunya mengubah kontrak dengan pihak ketiga, pembayaran
pesangon

terhadap

pekerja,

dan

kewajiban-kewajiban

lain

yang

mempunyai jangka waktu panjang maupun jangka waktu pendek.
E.

Saran
1. Pihak perseoran yang akan melakukan merger hendaknya mengacu pada
peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas. karema merger tersebut melibatkan
banyak pihak yang akan mengubah status hukumnya.
2. Apabila proses merger suatu perseroan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bisa menjamin dan melindungi hakhaknya. Terutama pihak yang lemah seperti pemegang saham minoritas,
karyawan atau pekerja, dan pihak ketiga. Terutama untuk pemegang saham
minoritas yang mempunyai hubungan secara langsung terhadap perseroan
yang melakkan merger, agar mepertimbangkan hak yang telah diberikan
undang-undang agar tidak dirugikan pihak yang menjadi pemegang saham
mayoritas.
3. Untuk organ perseroan terbatas seperti RUPS, Direksi dan Komisaris
hendaknya

mempertimbangkan

dampak

yang

terjadi

setelah

penggabungan untuk menjamin keuntungan semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir.2002.Hukum Tentang Merger.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Kadek Hendra Gunawan, I Made Sukartha.2014.Kinerja Pasar Dan Kinerja
Keuangan Sesudah Merger Dan Akuisisi Di Bursa Efek Indonesia.
E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 5.2 (2013): 271-290
Pujiyono.2014.Hukum Perusahaan.Surakarta: Pustaka Hanif
Simanjuntak, Cornelius.2004.Hukum Merger Perseroan Terbatas, Teori dan
Praktek.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Siswanto, Arie.2002.Hukum Persaingan Usaha.Jakarta: Ghalia Indonesia
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas