Peran Masyarakat Dalam Pembangunan Berke (1)

Peran Masyarakat Dalam Pembangunan Berkelanjutan
dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup di
Indonesia

Disusun oleh :
Tri Nurmega O

(8111416053)

Anisa Yulianti

(8111416068)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS HUKUM
2016
1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita

taufiq dan hidayah-Nya sehingga tugas Karya Tulis ini dapat terselesaikan
tanpa suatu halangan dan rintangan yang cukup berarti.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan
kegelapan menuju jalan Islami.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya
penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di
hadapan Allah SWT.
Saya menyadari walaupun saya telah berusaha semaksimal mungkin dalam
menyusun Makalah sederhana ini, tetapi masih banyak kekurangan yang ada
didalamnya. Oleh karena itu, segala tegur sapa sangat saya harapkan demi
perbaikan tugas ini. Saya berharap akan ada guna dan manfaatnya Karya Tulis
ini bagi semua pembaca. Amin.

Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL..........................................................1
KATA PENGANTAR............................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................2

DAFTAR PUTUSAN/KASUS................................................12
BAB I PENDAHULUAN.......................................................3
A. Latar Belakang................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................4
C. Metode Penulisan...........................................................4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................5
A. Sub Pembahasan I...........................................................5
B. Sub Pembahasan II..........................................................10
C. Sub Pembahasan III.........................................................11
2

BAB III KESIMPULAN........................................................ 15
Daftar Pustaka ...............................................................17
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep pembangunan berkelanjutan diidentikkan sebagai kerangka
ideal dan strategis pengelolaan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan
secara sederhana merupakan pendekatan pembangunan untuk mencapai taraf
hidup yang lebih baik untuk masa kini dan mendatang. Dalam pelaksanaannya,

pembangunan berkelanjutan senantiasa berlandaskan pada tiga pilar utama
yaitu pilar ekonomi, pilar sosial dan pilar lingkungan (ekologis). Secara
simultan, setiap kegiatan pembangunan harus layak secara ekonomi, dapat
diterima secara sosial serta tidak mengganggu atau merusak lingkungan.
Manfaat

kesinambungan

pencapaian

pembangunan

akan

menjamin

tersedianya sumberdaya, menjunjung tinggi harkat dan manfaat setiap individu
serta

meningkatkan


berkelanjutan

yang

pemerintahan
dapat

yang

dilakukan

baik.

diantaranya

Aktivitas

pembangunan


adalah

pemberdayaan

masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan. Prioritas dunia untuk
pembangunan berkelanjutan mencakup 5 (lima) isu pokok yaitu Water (air dan
sanitasi

lingkungan),

(pertanian

dan

Energy

pangan),

(energi),


Biodiversity

Health

(kesehatan),

(keanekaragaman

Agricultural

hayati).

Dalam

melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi
sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembanguan
ekonomi, sosial-budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar
yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. 1 Di samping itu
juga untuk menngkatkan kemandirian bangsa, melaksanakan otonomi daerah,
menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan, mewujudkan stabilitas nasional,

membangun tatanan masayarakat yang demokratis, meningkatkan sumber
daya manusia yang handal, menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan
teknologi, mengembangkan dan memanfaatkan komunikasi dan informasi,
menjamin kepastian penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan serta
1 Yusriana sapta dewi,”Peran Perempuan dalam Pembangunan berkelanjutan, women in
sustinable development” jurnal lingkungan hidup,Vol.12 No.2 September 2012. Hlm61

3

menjamin hak asasi manusia dan persamaan hak bagi setiap warga negara
yang merupakan prokondisi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan serta teori dan prinsip
pembangunan berkelanjutan?
2. Bagaimana peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan?
3. Bagaimana contoh kasus pembangunan berkelanjutan yang ada di
Indonesia ?
C. Metode Penulisan
Pengumpulan data

Data-data
berasaldari

yang

dipergunakan

berbagai

literatur

dalam

penyusunan

kepustakaan

yang

karya


tulis

berkaitan

ini

dengan

permasalahan yangdibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan
adalah buku pelajarankedokteran, jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online,
dan artikel ilmiah yangbersumber dari internet. Jenis data yang diperoleh
variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif
pengumpulan data
Metode

penulisan

bersifat


studi

pustaka.

Informasi

didapatkan

dariberbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi
yangdiperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan
sesuaidengan topik yang dibahas
Analisis data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik
kajian.Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang
2 Koesnadi hardjasoemantri, Hukum tata lingkungan, Yogyakarta: gadjha mada university
press. 2009 hlm.37

4

telahdipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat

deskriptif argumentatif.
Penarikan kesimpulan
Simpulan

didapatkan

masalah,tujuan

penulisan,

setelah
serta

merujuk

kembali

pembahasan.

pada

Simpulan

yang

rumusan
ditarik

mempresentasikanpokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran
praktis sebagairekomendasi selanjutnya

BAB II PEMBAHASAN
A. Sub pembahasan I
Konsep pembangunan berkelanjutan menurut world comission on and
environment and development (WCED), terkandung 2 makna:


The concept of need,in particular the essential needs of the world poor,to
which

over-riding

priority

should

be

given (

gagasan”kebutuhan

“khususnya kebutuhan esensial bagi masyarakat miskin yang harus di
beri prioritas utama);


The idea of limitation imposed by the state of technelogy and sosial
organization on the environment is ability to meet present and future
needs (gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi
dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan kini dan hari depan).3

THE CONCEPT OF SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
(a) Evolution of objectives
The term sustainable development came into prominence in 1980, when the
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN) presented the Worlod Conservation Strategy (WCS) with "the uverall aim
of achieving sustainabie development through the conservation of living
resources" (IUCN, 1980). Critics acknowledged that "by identitying Sustainable
Development as the basic goal of society, the WCS was able to make a
profound contribution toward reconciling the interests of thc development
3 Halmi, hukum perizinan lingkungan hidup, (Jakarta :sinar grafika, 2013) ,hlm.29

5

communitv with those of the environmental movement" (Khosl 1987). UNEP's
concept of SD was said to encompass
(i) help for the very poor, because they are left with no options but to destroy
their
environment; within natural resource constraints using nontraditional economic
criteria
(ii) the idea of self-reliant development,
iii) the idea of cost-effective development
(iv) the great issues of health control, appropriate technology, food selfreliance clean water and shelter for all; and
(v) the notion that people-centered initia- tives are needed (Tolba, 1984a)
Sustainable Develop- ment seeks to respond to five broad requirements:
(1) integration of conservation and development,
(2) satisfaction of basic human needs,
(3) achievement of equity and social justice,
(4) provision of social self-dete rmination and cultural diversity, and
(5) maintenance of ecological integritv
(b) the strenght of the concept
The strenght of the concept of SD stems form the choice of an apparently
simple detinition of fundamental objectives -meeting current needs and
sustainability requirementsrom whiclh an be derived a range of operational
objectives that cut across most previous intellectual and polilical boundaries. 4

Penerapan Teori dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Secara

teoritis

prinsip-prinsip

pembangunan

berkelanjutan

dapat

diterapkan pada berbagai sektor pembangunan. Sebagai contoh diambil
pada sektor pertanian. Untuk pembangunan pertanian yang berhasil,
Bank Dunia (di dalam Conway and Barbier,1990:23) menyarankan agar
tiga kriteria berikut dapat dipenuhi:


First, it must be sustainable, by insuring the conservation and proper use
of renewable resources (Pertama, harus berkelanjutan, dengan menjamin
pelestarian

dan

penggunaan

yang

wajar

dari

sumberdaya

yang

terbarukan);



Second,

it

must

promote

economic

efficiency

(Kedua,

harus

meningkatkan efisiensi ekonomi);



Third, its benefits must be distributed equitably (Manfaatnya harus
terdistribusi secara merata).

4 Sharachchandra, Sustinabledevelopment: Acritical Review, Jurnal world development, Vol.19,
No.6 Tahun 1991, hlm:610-612

6



Untuk kasus pembangunan pertanian, konsep dan definisi daripertanian
yang berkelanjutan (sustainable agriculture) antara lain dijabarkan oleh
Conway dan Barbier (1990:10) sebagai pertanian yang:



High, efficient and stable production (Produksinya tinggi, efisien dan
stabil);



Low and inexpensive inputs, inparticular making full use of the
techniques of organic farming and indigenous traditional knowedge



(Menggunakan sarana produksi yang rendah dan murah, terutama
menggunakan seenuhya teknik pertanian organik dan pengetahuanpengetahuan lokal dan tradisional);



Food security and self-sufficiency (“Keamanan pangan” dan swaembada
pangan);



Conservation of wildlife and bioogical diversity (Melestarikan “kehidupan
liar” dan keanekaagaman hayati);



Preservation of traditional values and the small family farm (Melestarikan
nilai-nilai tradisional dan pertanian keluarga berskala kecil);



Help for the poorest and disadvantaged:in particular thoseon marginal
land, the landless,women, children and tribalminorities (Menolong kaum
termiskindan terpojokan: terutamapetani yang berlahan sempit,buruh
tani, kaum perempuan, anak-anak dan kaum sukuminoritas);



A high level of participation indevelopment decision by thefarmers
themselves (Partisipasi yang tinggi dari para petani sendiri dalam proses
pengambilan keputusan-keputusan pembangunan).

Penerapan Konsep, Prinsip danTujuan Pembangunan Bekelanjutan dalam
pembangunan secara luas dapat dilakukan dengan menetapkan kaidahkaidahnya (Djajadiningrat,1992; Pearce and Warford, 1993):
1. Pemerataan dan Keadilan (Equity and Justice). Pemerataan dan Keadilan
di sini menyangkut dimensi etika, yakni adanya kesenjangan antara
negara ataupun daerah yang kaya dan miskin serta masa depan generasi
mendatang yang tidak dapat dikompromikan dengan kegiatan generasi
masa kini. Karena itu aspek Pemerataan dan Keadilan ini harus dijawab
baik untuk generasi masa kini maupun untuk generasi mendatang.
Karena itu strategi dan perencanaan pembangunan harus dilandasi
7

premis seperti: distribusi penguasaan lahan, distribusi faktor-faktor
produksi, pemerataan peran dan kesempatan kaum wanita, kelompok
marjinal, dan lain sebagainya.

2. Pendekatan

Integratif

(Integrative

Approach).

Pembangunan

berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam.
Manusia mempengaruhi alam dengan cara-cara yang bermanfaat atau
merusak. Keberlanjutan masa depan hanya dimungkinkan bila pengertian
tentang kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sosial dapat
dipahami dan cara-cara yang integratif (terpadu) diterapkan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

3. Perspektif Jangka Panjang (Long Term Perspective). Pembangunan
berkelanjutan
dengan

mensyaratkan

asumsi

Perspektif

normal

jangka

dilaksanakan

dalam

panjang

prosedur

merupakan

penilaian

yang

discounting.

pengenaan
visi

dari

berbeda

pembangunan

berkelanjutan sedangkan saat ini visi jangka pendek masih mendominasi
dalam pengambilan keputusan.

4. Keberlanjutan Ekologis (Ecological Sustainability).
Keberlanjutan ekologis menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Untuk
keberlanjutan ekologis integritas tatanan lingkungan harus dipelihara
melalui upaya-upaya peningkatan daya dukung, daya asimilasi, dan
keberlanjutan

pemanfaatan

sumberdaya

yang

dapat

dipulihkan

(renewable resources).
5. Keberlanjutan Ekonomi (Economic Sustainability).
Menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong
efisiensi
ekonomi. Tiga unsur utama untuk mencapai keberlanjutan ekonomi
makro

yaitu

efisiensi

ekonomi,

kesejahteraan

ekonomi

yang

berkesinambungan, serta meningkatkan kemakmuran dan distribusi
kemakmuran.

6. Keberlanjutan Sosial Budaya (Social - Cultural Sustainability).
Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan dalam
keadilan sosial, harga diri manusia, dan peningkatan kualitas hidup
seluruh manusia. Keberlanjutan segi sosial budaya mempunyai sasaran:
stabilitas penduduk, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, memelihara
8

keanekaragaman budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat lokal
dalam pengambilan keputusan.

7. Keberlanjutan Politik (Political Sustainability).
Keberlanjutan politik dicirikan dengan adanya penghormatan terhadap
hak asasi manusia, demokrasi, serta kepastian kesediaan pangan, air dan
pemukiman.

8. Keberlanjutan

Pertahanan

dan

Keamanan

(Defense

and

Security

Sustainability).
Keberlanjutan

kemampuan

menghadapi

dan

mengatasi

tantangan,

ancaman, gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung
dan

tidak

langsung

dapat

membahayakan

integritas,

identitas,

keberlangsungan negara dan bangsa.5
B. Sub pembahasan II
Peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan (Woman in
Sustainable Development)
Sebelum diadakannya Konperensi Perempuan Sedunia yang diadakan
oleh PBB (KTT Perempuan di Beijing tahun 1995), perhatian lebih banyak
diberikan pada isu-isu perempuan serta akses dan kesempatan yang dimiliki
perempuan. Pendekatan perempuan dalam pembangunan berfokus pada
bagaimana perempuan diintegrasikan ke dalam upaya-upaya partisipasi
perempuan sebagai pemanfaat hasil pembangunan daripada pelaku
pembangunan. Akibatnya, dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
pemerintah,
perempuan
sering
terpinggirkan.
Ketidaksetaraan
dan
ketidakadilan yang dialami oleh perempuan disebabkan oleh gabungan
beberapa faktor budaya, ekonomi, politik dan sosial yang berdampak secara
berbeda terhadap kehidupan perempuan dan laki-laki (Anon, 2002:5). Menjadi
jelas kemudian bahwa perlu paradigma baru untuk memberikan kerangka kerja
dan strategi pemberdayaan pada perempuan sebagai pelaku pembangunan
agar tercapai tujuan pembangunan, mengingat begitu besar peran perempuan
di dalamnya.
KTT Perempuan di Beijing menghasilkan Deklarasi Beijing yang berisi 12
Critical Areas yang merupakan rencana tindak pelibatan perempuan dalam
pengambilan keputusan. Critical areas tersebut meliputi permasalahan
kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, konflik
bersenjata, ekonomi, pengambilan keputusan, mekanisme institusional untuk
perempuan, hak asasi perempuan, media massa, pengelolaan lingkungan
hidup dan bidang anak perempuan. Selanjutnya pada KTT Pembangunan
5 Julissar An-naf,” pembangunan berkelanjutan dan relevansinya untuk

Indonesia”jurnal madani, No.2, tahun 2005,hlm.48-50

9

Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, masyarakat dunia menyepakati
posisi penting perempuan dalam mencapai pola produksi dan konsumsi yang
berkelanjutan pada pengelolaan sumberdaya alam. Kesepakatan terhadap
posisi strategis perempuan dalam berbagai forum internasional membuka
peluang bagi penyelesaian masalah yang terkait antara perempuan dan
pembangunan berkelanjutan khususnya masalah lingkungan hidup.
Perempuan mempunyai potensi yang sangat besar dalam pemeliharaan,
pelestarian lingkungan dan pencegahan pencemaran lingkungan karena selain
jumlah perempuan cukup banyak juga telah banyak bukti bahwa perempuan
telah mampu mengatasi masalah lingkungan di sekitarnya. Selama ini
perempuan kurang diikutsertakan dalam pengelolaan lingkungan, baik itu
dalam akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Perempuan juga kurang diberi
pengetahuan tentang cara pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan
limbah dan pencegahan pencemaran lingkungan. Perempuan hanya dijadikan
objek tanpa diberi pengetahuan tentang bahaya dari bahan-bahan itu terhadap
dirinya, keluarga dan lingkungannya.
Tujuan Milenium Development Goals 2015, mengikutsertakan
perempuan dalam pengelolaan lingkungan adalah apabila perempuan
memahami betapa pentingnya lingkungan, maka perempuan akan menjaga,
memelihara lingkungan dengan baik sehingga dapat menjaga kebersihan
lingkungan seperti pentingnya memperoleh air bersih untuk kesehatan dirinya
dan keluarga. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka perempuan perlu
diberdayakan (diberi peran lebih besar) agar dapat berperan dan berpartisipasi
dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan adalah
upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol
dan manfaat dalam pembangunan berkelanjutan. Program pemberdayaan
perempuan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup khususnya kaum
perempuan dan peransertanya yang aktif di masyarakat dalam pembangunan
berkelanjutan, melalui sosial budaya dengan mengangkat kearifan lokal
setempat. Peranserta perempuan dalam pembangunan sangat penting dan
turut menentukan berhasilnya pembangunan.
Pada pilar sosial, pembagian peran perempuan seringkali menempatkan
intensitas perempuan lebih sering bersentuhan langsung dengan objek yang
ditanganinya. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi lebih peka dalam
tugas mewujudkan manusia seutuhnya diantaranya mendidik, membina dan
melatih anak, generasi muda dan anggota masyarakat di dalam dan di luar
keluarga agar mereka betul-betul menghayati, mengetahui dan melaksanakan
pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat.
Peranan perempuan sebagai istri ataupun pembina kesejahteraan
keluarga, sebagai pembina generasi muda dan sebagai manusia pembangun
10

dalam masyarakat. Tidak dapat disangkal bahwa perempuan dalam
kedudukannya sebagai istri dan ibu keluarga memegang peranan penting
dalam membekali generasi muda dengan semua persyaratan yang diperlukan
untuk mampu menjadi pembangun bangsa. Seorang istri dan ibu yang sehat
fisik dan mentalnya, pandai, terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya dengan sungguh hati
melaksanakan tugas kewajibannya sebagai istri dan ibu, hidup disiplin, tahan
menderita, tekun, ulet, sabar adalah sumber kekuatan bagi terwujudnya
ketahanan nasional yang imulai dari kehidupan keluarga. Sebaliknya apabila
perempuan sebagai istri dan ibu tidak memiliki persyaratan tersebut, keluarga
akan berantakan dan menjadi penyebab utama dari penyakit sosial dan
masalah masyarakat (Yusuf, 2000:81).
Pada pilar ekonomi, peran perempuan sangat jelas. Dalam kehidupan
rumah tangga, perempuan adalah manager keuangan. Perempuan ”dituntut”
untuk mampu sebagai pengatur ekonomi keluarga. Kebutuhan primer,
sekunder dan bahkan seluruh kebutuhan perekonomian keluarga, diatur oleh
perempuan baik sebagai istri mapun sebagai ibu. Selain pengatur keuangan
rumah tangga, beberapa perempuan juga berperan dalam pencari nafkah bagi
keluarganya, baik sebagai pencari nafkah utama maupun sebagai pencari
nafkah tambahan bagi keluarga.
Peran perempuan dalam pilar ekologis pembangunan berkelanjutan,
sangat jelas ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi religius dan
kultural, perempuan sering dipikirkan sebagai dekat dengan alam; dunia
disimbolkan sebagai perempuan-Ibu. Alam dipersonifikasikan sebagai
perempuan, Ibu Alam. Secara khusus, pandangan yang paling sering muncul
adalah alam sebagai Ibu yang memelihara bumi yang memberi hidup tetapi
juga mengambilnya kembali (Darmawati, 2002:13). Fakta sosial dan kultural
memberikan pengaruh terhadap gaya hidup keluarga sehingga membuat
perempuan mempunyai peran penting dalam pelestarian lingkungan.
Pengaruhnya dalam mendidik keluarga dapat mengarahkan gaya hidup ”hijau”
atau berwawasan lingkungan. Perempuan mampu menggerakkan masyarakat
sekitar untuk membantu pelestarian lingkungan di lapangan secara praktis dan
konkrit. Kedekatannya dengan lingkungan, membuat kelompok perempuan
dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga pelestarian lingkungan dan
sebagai watcher di tingkat akar rumput (Soemiarno, 2008:51).
Perempuan dan keluarga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengatur ”roda keluarga”, perempuan
tidak dapat lepas dari sarana yang menyertainya, antara lain air, sumber
energi dan pangan. Mulai dari kegiatan mempersiapkan sampai akhir
kegiatannya, perempuan dalam keluarga tidak lepas dari masalah air, sumber
energi, pangan dan pendidikan. Sangat wajar kiranya apabila perempuan
sangat menjaga air, sumber energinya, pangan dan pendidikan keluarga, untuk
menjamin keberlangsungan hidup keluarganya.
11

Prioritas
Pemberdayaan
Berkelanjutan Di Indonesia

Perempuan

dalam

Pembangunan

Seperti telah dikemukakan, Prioritas Dunia untuk Pembangunan
Berkelanjutan dan prioritas pemberdayaan perempuan terkait erat dalam
kehidupan sehari-harinya. Air, sumber energi, pangan, kesehatan dan
pendidikan merupakan prioritas tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang
sangat erat dengan perempuan baik sebagai individu maupun dalam perannya
sebagai istri maupun ibu. Prioritas kegiatan yang dilakukan dalam rangka
pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan, saling terkait
satu sama lain. Prioritas kegiatan tersebut menyangkut pemecahan masalah
mengenai
1. Air dan sanitasi lingkungan
2. Sumberdaya energi
3. Kesehatan Perempuan dan anak
4. Diversifikasi pangan dan ekonomi ramah lingkungan
5. Pendidikan dan upaya penurunan tingkat kemiskinan6
C. Sub Pembahasan III
Masalah hutan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat dewasa ini,
akibat terjadinya konflik yang bersifat horizontal, antara masyarakat hukum
adat dan pemerintah. Untuk menghindari terjadinyanya benturan kepentingan
antara pemeritah dan masyarakat hukum adat tersebut, perlu diatur secara
khusus didalam undang-undang No.41 tahun 1999 dalam pasal 67 UU No.41
tahun 1999 dinyatakan bahwa, masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataanya masih ada dan diakui keberadaan-keberadaannya berhak : (a)
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan ; (b) melakukan kegiatan
pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan (c). Mendapatkan pemberdayaan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan [(ayat 1). Oleh karena itu,
pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan peraturan daerah (ayat 2).selain itu, ketentuan lebih lanjut mengenai
hal ini diatur dengan peraturan pemerintah (ayat 3).] (buku hukum kehutanan
hukum perkebunan diindo, hlm 465)
Kondisi Hutan Kota Tarakan
Berkaitan dengan kondisi hutan Kota Tarakan sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa luas hutan yang ada di Kota Tarakan
mencapai 9000 Hektare lebih. Keadaan itu masih ditambah dengan
lingkungan hutan yang masih sangat lebat dan sulit dijangkau oleh manusia
serta masih banyaknya wilayah hutan yang masih rawan,sedangkan jumlah
6 Yusriani Sapta Dewi, “Peran Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan (Woman in
Sustinable Development), jurnal pembangunan berkelanjutan, Vol. XII, No. 2, 2011, hlm. 61-63

12

personil dan sarana prasarana yang di gunakan dalam
pengawasan terhadap hutan tersebut masih sangat minim.

melakukan

Status Tanah Dalam Kawasan Hutan
Berdasarkan status penguasaannya hutan dapat dibedakan atas hutan
negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah. Menurut ketentuan pasal 5 ayat (2)
hutan negara dapat berupa hutan adat. Ketentuan pasal 5 ayat (2) Undangundang nomor 41 tahun 1999merupakan pengakuan atas hak adat,
walaupun pengakuan itu masih mengsubordinasikan hutan adat sebagai
bagian dari hutan negara. Namun dibandingkan dengan UU no.5 tahun 1967
yang sama sekali tidak mengakui adanya hutan adat, UU No.41 tahun 1999
agak akomodatif terhadap tuntutan keberadaan hutan adat.7
Menetapkan hutan adat sebagai hutan negara di dalam wilayah
masyarakat hukum adat, dapat diinterpretasikan sebagai konsekuensi
adanya hak menguasai oleh negara (Penjelasan Pasal 5 ayat 1), namun
substansi hak menguasai itu dimaknai sejalan dengan doktrin scientific
forestry.1 Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa ”hutan adat sebagai hutan negara” tidak dimaknai sebagai upaya penghormatan dan
perlindungan terhadap hutan adat oleh negara, karena hutan adat tetap
termarjinalkan, dibiarkan bersaing dengan para pemegang ijin dan
pengelola hutan dengan tanpa mendapat kepastian hukum.
Masyarakat adat di Indonesia memasuki babak baru setelah Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) di bacakan untuk perkara nomor 35/PUUX/2012, hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara yang berada di
bawah kendali Kementerian Kehutanan, tapi “hutan adat adalah hutan
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Dengan kata lain,
masyarakat hukum adat dinyatakan sebagai subjek pemangku hak
(right-bearing subject). Penegasan status masyarakat hukum adat
sebagai subjek pemangku hak ini sesungguhnya dapat bermakna
penting, terutama jika dipandang dari perspektif sejarah penguasaan
hutan negara semenjak masa kolonial Hindia Belanda.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara nomor 35/PUUX/2012 tersebut salah satunya adalah pada pasal 1 ayat 6 yang dimana
soal hutan adat tidak lagi menjadi bagian dari hutan negara, tentu harus
jadi momentum yang sangat baik untuk mendorongkan pengakuanpengakuan hutan adat yang saat ini ada di Kalimantan Timur Bagian
utara. Seperti yang termaktub di dalam putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) bahwa Kata Negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud
menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”. Dalam pertimbangan putusannya MK juga
7 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
2015),hlm.159

13

mengatakan bahwa Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) telah
memberikan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat
dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum
adat. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum
adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan
diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat
sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hakhak masyarakat hukum adat, MK akhirnya memutuskan “hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”,
bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” Dari kenyataan putusan
MK tersebut maka kebijakan dan praktek kelembagaan pemerintah
khususnya pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga pemerintahan
lainnya untuk secara nyata sebaiknya mengeluarkan hutan adat itu dari
hutan Negara sebagaimana Putusan MK itu dapat dilaksanakan secara
nyata berpengaruh dan memberikan ruang kepada komunitas
masyarakat hukum adat dalam mengelol wilayah hutan nya khususnya di
Kota Tarakan.
Kebijakan dan Regulasi dan pemerintah daerah
Acuan yang dipakai pemerintah dalam menyikapi penetapan
kawasan hutan adalah pasal 12 peraturan menteri kehutanan
no:P50/Menhut II/2011 yani pemtaan kawasan hutan tingkat kabupaten
atau kota dilakukan sekala minimal 1:100.000 dengan mengacu kepada
peta petunjukan kawasan hutan provinsi skla 1:250.000 dan atau hasil
tata batas yang telah dilaksanakan. Untuk kita tarakan, pemerintah
daerah telah menerbitkan peraturan daerah n0.4 tahun 2012 tentang
rencana tata ruang wilayah kota tahun 2012-2032. Perda tersebut
merupakan salah satu kebijakan pemerintah terkait dengan ruang
terbuka hijau(RTH), meskipun tidak secara langsung mencantumkan
masalah hutan dalam perda tersebut, tetapi hutan merupakan bagian
dari RTH dimana masayarakat dapat mengakses keterbukaan ruang
tersebut. Unsur pasal 33 ayat (2) mengtakan bahwa yang termasuk
dalam RTH adalah hutan mangrov, hutan kota, taman kota, sabuk hijau,
tempat pemakaman umum, stadion olahraga, sempadan sungai dan
pantai sumber air baku. Dengan demikian, peran dari pemerintah harus
progresif dalam menghadapi hajat hidup masayarkat adat karena mereka
mengantungkan hidup pada alam sekitar yang tidak lain adalah hutan.
Kebijakan pemerintah daerah berkaitan dengan kebijakan ekonomi,
khusus nya dalam alokasi dan pengelolaan pengusaan hutan yang hanya
memihak kepetingan modal berdampak luas terhadap keruskaan alam
dan kehacuran fungsi ekologis hutan, korban pertama dan yang utama
dari kehacuran ini adalah masayarakat adat yang hidup didalam dan
sekitar hutan. Kebujakan hutan yang ekstraktif seperti saat ini tidak
memberi kesempatan kearifan adat untuk menglola hutan secara
14

berkelanjutan, sebagaimana yang telah di praktekan selama ratusan atau
bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola
alam sudah tidak mendapat yang layak dalam usaha produksi, atau
bahkan dalam kurukulum pendidikan formal kehutanan.
Selain peraturan-peraturan diatas, pemerintah kota tarakan juga
membuat pengaturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kota
tarakan yang didalamnya memuat keberadaa hutan lindung yakni
dengan luas wilayah 6,997.22 Ha, hutan mangrov 1,119.30Ha dan hutan
kota sebesar 2,390.48Ha.
Pemerintah daerah kota Tarakan membuat kebijakan terkait dengan
hutan, kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan daerah yakni:
1. Peraturan daerah kota Tarakan No.21 tahun 1999 tentang hutan
kota tarakan.
2. Peraturan daerah kota Tarakan no.4 tahun 2002 tentang larangan
dan pengawasan hutan mangrov dikota tarakan.
3. Peraturan daerah kota Tarakan No.12 tahun 2004 tentan
perlindungan hutan dan hasil hutan.
4. Peraturan daerah kota Tarakan No.4 tahun 2012 tentang rencana
tata ruang wilayah kota Tarakan.
Kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah daerah kota
tarakan untuk mengembalikan fungsi hutan yang sebenarnya,
karena perlu adanya regulasi perubahan khususnya dalam
penetapan, pengawasan serta pembinaan hutan. Ketiga regulasi
tersebut dibutuhkan demi pelestarian dan keutuha hutan beserta
fungsi yang terkandung didalamnya. Fungsi dan peran hutan hutan
tersebut adalah sebagai paru-paru kota, sebagai daerah tangkapan
air, memberikan nilai estetika, sebagai tempat wana wisata rekreasi
dan berkemah, untuk pelestarian plasma nutpha, untuk menahan
dan menyaring padat partikel padat diudara, utnuk menyerap dan
menapis bau, sebagai peredam kebisingan, sebagai penahan angin,
untuk mengatasi intruksi air laut dan abrasi pantai, sebagai habitat
fauna, khususnya margasatwa, sebagai hutan produksi, untuk
memperbaiki iklim mikro dan penapis cahaya silau, untuk
mengatasi pengenangan air, sebagai laboratorium alam, dan
tempat penelitian, untuk mengurangi ketegangan juwa(stress), dan
sebagai salah satu identitas kota.
Peran Lembaga Peradilan
Data dilapangan menunjukan bahwa fenomena perilaku
masyarakat dalam pemanfaatan hutan sebagai kawasan hijau
sudah berubah, ini dapat dilihat dari menyempitnya lahan hutan
yang ada dikota Tarakan. Lembaga peradilan sebagai lembaga
terakhir yang berwenang menangani masalah sengketa, selama ini
hanya menangani masalah kasus tanah antar perorangan dan tidak
melibatkan objek hukum seperti tanah kawasan hutan. Seperti yang
15

disampaikan oleh Budiharjo, Panitera Pengganti bidang Perdata
Pengadilan Negeri kelas IB kota Tarakan, (wawancara 9/10/2013),
mengatakan bahwa masyarakat belum menyadari dan memahami
konsep dari adat maupun hutan adat.
Hutan adat yang mereka pahami selama ini adalah hutan yang
segala kekuasaan maupun pemanfaatnya dikuasai oleh masyarakat
adat yang dapat dijadikan objek hukum seperti jual beli. Padahal
konsep hutan yang benar adalah penguasaan dan pemanfaatan
dilakukan oleh masyarakat adat dan tidak dapat diperjual belikan.
Perilaku demikin sudah menympang dari konsep hutan adat. Selama
ini yang sering terjadi dilapangan adalah illegal loging sehingga
pengadilan memutus perkara-perkara tersebut sesuai dengan
kewenangannya. Untuk indikasi illegal logging yang terjadi bisa
dikarenakan dalam perambahan hutan mengatasnamakan adat,
sehingga mereka mempunyai kewenangan untuk menenbang dan
menjual kayu yang berada dikawasan hutan. 8

BAB III
KESIMPULAN

Dalam pembangunan berkelanjutan harus beradab pada aturan-aturan
internasional dan nasional yang telah disepakati. Seperti halnya dengan
8 Marthin, Yahya, Arif Rohman,”Problematika Penetapan Kawasan Hutan di Wilayah Masyarakat
Adat dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan di Kota Tarakan”jurnal pandecta,Vol.9, No.1,
tahun 2014, hlm. 134-139

16

menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan internasional menurut WCED,
Evolution of objectives, the strenght of the concept dan Penerapan Konsep,
Prinsip dan Tujuan Pembangunan Bekelanjutan dalam pembangunan secara
luas dapat dilakukan dengan menetapkan kaidah-kaidahnya, seperti :
Pemerataan dan Keadilan, pendektan intergratif, perspektif jangka panjang,
pendekatan ekologis, keberlanjutan ekologis, keberlanjutan ekonomi,
keberlanjutan sosial budaya, keberlanjutan politik, keberlanjutan pertahanan
dan keamanan. Dengan menerapkan konsep, teori dan prinsip-prinsip yang ada
akan mempermudah tercapainya dan terwujudnya sustainable development.
Pendekatan perempuan dalam pembangunan berfokus pada bagaimana
perempuan diintegrasikan ke dalam upaya-upaya partisipasi perempuan
sebagai pemanfaat hasil pembangunan daripada pelaku pembangunan. Peran
perempuan sangat penting dalam berpartisipasi aktif untuk pembangunan
berkelanjutan. Disepakati bahwa kemajuan perempuan itu benar benar adalah
suatu prasyarat bagi suatu kenyataan membuat pembangunan yang
berkelanjutan. Dalam pembangunan berkelanjutan kesetaraan gender akan
menjadi tujuan dari pembangunan milenium.

Status tanah dalam kawasan hutan Di Wilayah Masyarakat Adat di kota
Tarakan adalah Hutan negara, hutan adat seharusnya dikelola sesuai hak
masyarakat hukum adat. Hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara yang
berada di bawah kendali Kementerian Kehutanan, tetapi “hutan adat adalah
hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Dengan kata lain,
masyarakat hukum adat dinyatakan sebagai subjek pemangku hak ( rightbearing subject). Penegasan status masyarakat hukum adat sebagai subjek
pemangku hak ini sesungguhnya dapat bermakna penting, terutama jika dipandang dari perspektif sejarah penguasaan hutan negara semenjak masa
kolonial Hindia Belanda. Dan suatu kawasan tidak dapat dikatakan sebagai
kawasan hutan begitu saja, tetapi harus melalui beberapa prosedur :a.
penunjukan kawasan hutan, dan penunjukan tersebut melalui Keputusan
menteri. b. penataan batas wilayah hutan yang meliputi kegiatan pelaksanaan
tata batas, pembuatan berita acara tata batas kawasan hutan yang kemudian
ditandatangani oleh panitia atau pejabat yang berwenang. c. Kemudian langkah terahir adalah penetapan kawasan hutan yang ditetapkan oleh menteri.
Pemerintah Daerah Kota Tarakan telah menerbitkan peraturan daerah Nomor 4
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota tahun 2012-2032.
Secara khusus Pemerintah daerah Kota Tarakan membuat kebijakan terkait
dengan hutan, kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah yakni:
Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 21 Tahun 1999 tentang Hutan Kota
Tarakan; Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 4 Tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di Kota Tarakan; Peraturan Daerah
Kota Tarakan Nomor 12 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Hasil
17

Hutan; Peraturan Daerah kota Tarakan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan. kebijakan dan langkah-langkah legislatif yang
diambil oleh pemerintah daerah dalam penetapan kawasan hutan tersebut
belum ada inisiatif untuk mengatur adanya hutan adat. Jika peran legislative
dapat menjangkau masalah hutan adat, maka banyak keuntungan khususnya
terhadap pemasukan anggaran daerah (PAD) karena potensi yang ada dalah
hutan khususnya Kota Tarakan dapat dikembangkan dan dimaksimalkan
terutama konstruk tanah Kota Tarakan yang banyak mengandung minyak.
peran lembaga peradilan dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan
penetapan kawasan hutan tersebut tersebut dilakukan Di Wilayah Masyarakat
Adat selama ini hanya menangani masalah kasus tanah antar perorangan dan
tidak melibatkan obyek hukum seperti tanah kawasan hutan termasuk kawasan
hutan adat. Hal ini di karenakan bahwa masyarakat belum menyadari dan
memahami konsep dari adat maupun hutan adat.

18

Daftar Pustaka
Halmi, hukum perizinan lingkungan hidup, Jakarta, sinar grafika, 2013.
Koesnadi hardjasosoemantri, hukum tata lingkungan, yogyakarta, gadjah mada
university press, 2009.
Supriadi, Hukum kehutanan hukum perkebunan indonesia , Jakarta, sinar
garfika,2011
Takdir rahmadi, hukum lingkungan indonesia, jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,
2015
Yusriani S. D,(2011) Peran Perempuan Dalam Berkelanjutan(woman
sustinable development) Jurnal lingkungan hidup. Vol. 12. No.2
Juliass A. (2005) Pembangunan
indonesia. Jurnal madani edisi II.

in

berkelanjutan dan relevansinya dalam

Marthin, Yahya A, Arif R,(2014) Problematika penetapan kawasan hutan
diwilayah masyarakat adat dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kota
tarakan. Jurnal Pandecta, Vol.9 No.1

19