Meritokrasi Dalam Kultur Masyarakat Indo (1)
Meritokrasi Dalam Kultur Masyarakat Indonesia
Baru-baru ini, gubernur DKI Joko Widodo melakukan lelang jabatan dalam penempatan
kepala camat dan lurah di seluruh Jakarta. Sontak kebijakan itu membuat geger puluhan camat
dan lurah yang selama ini sudah enjoy menduduki kursi tersebut. Meski banyak diprotes —
terutama oleh pejabat yang biasa memperoleh upeti dari para warga, tindakan Jokowi itu malah
didukung wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Basuki atau akrab yang disapa Ahok, dalam
keterangannya menyatakan bahwa ia dan Jokowi akan terus menerapkan merit system dalam
pengisian jabatan-jabatan publik.
Entah apa kata yang cocok dalam Bahasa Indonesia untuk mengartikan “merit system”.
Mungkin “sistem kepantasan”? Merit system atau meritokrasi adalah sebuah sistem yang
menekankan kepada kepantasan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu dalam
sebuah organisasi. Kepantasan diartikan sebagai kemampuan per se. Tanpa memandang latar
belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial mereka. Di negara-negara maju, merit
system telah diterapkan sejak ratusan tahun lampau. Malah di dunia Barat, meritokrasi menjadi
salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.
Amerika Serikat misalnya, sejak 1883 telah mereformasi undang-undang birokrasinya
dengan menggunakan sistem kepantasan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
birokrat Amerika haruslah orang yang memiliki kapabilitas dan kepandaian sesuai dengan posisi
yang didudukinya. Di Australia, merit system didefinisikan secara lebih luas. Jika di Amerika
latar belakang pendidikan memegang peranan untuk menduduki posisi tertentu, maka di
Australia hal semacam itu tak terlalu dipertimbangkan. Sehingga di negeri kangguru, seseorang
yang memiliki latar belakang sarjana hukum bisa menduduki jabatan menteri keuangan, selama
dia mampu.
Jauh sebelum masyarakat Barat menerapkan meritokrasi, Dinasti Qin dan Dinasti Han telah
terlebih dahulu mengaplikasikannya. Meritokrasi di China ketika itu, terutama untuk menjaga
stabilitas negara yang terdiri dari bermacam-macam etnis. Pada masa kejayaan Dinasti Utsmani,
merit system berjalan sebagaimana yang kita lihat di dunia Barat sekarang ini. Wazir, ulama,
kadi, dan tentara, dipilih berdasarkan yang terbaik. Di masa itu tak heran jika melihat anak-anak
Kristen dari Balkan, menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa.
Di Jepang, meritokrasi setidaknya telah berlangsung sejak Restorasi Meiji. Meritokrasi di negeri
matahari terbit, bermula dari sistem pendidikannya yang memberikan kesempatan kepada semua
orang untuk duduk di bangku sekolah. Murid-murid yang pandai, kemudian akan memperoleh
beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberikannya akses
pendidikan, bangsa Jepang memiliki modal yang sama untuk bertarung dan memenangkan
kompetisi. Selanjutnya ketika mereka menjadi politisi dan birokrat, hanya orang-orang
berkompeten-lah yang bisa menempati posisi-posisi kunci.
***
Berikutnya kita akan melihat, sejauh mana penerapan sistem kepantasan di dalam kultur
masyarakat Indonesia.
Dalam lanskap perpolitikan Indonesia, setidaknya republik ini pernah dipimpin oleh
perdana menteri yang menerapkan zaken cabinet. Dia adalah Ir. Juanda, yang mengangkat
menteri-menterinya berdasarkan keahlian mereka. Sebelum Juanda, Kabinet Sjahrir juga
menerapkan sistem meritokrasi. Ketika itu, semua pos kementerian diisi orang-orang hebat dari
berbagai latar belakang. Selain Sutan Sjahrir yang menjadi perdana menteri, dalam kabinet
duduk pula Agus Salim, Natsir, Amir Sjarifuddin, Mohammad Roem, dan Johanes Leimena.
Meski telah menerapkan merit system, namun kabinet ini hanya bertahan kurang dari dua tahun.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintahan Indonesia benar-benar tenggelam. Kabinet
hanya diisi oleh orang-orang yang mau mendukung ideologi Nasakom. Politisi dan teknokrat
yang anti-komunis, disingkirkan Soekarno. Bahkan beberapa orang hebat harus dibui dan mati
dalam tahanan. Masuk ke masa Orde Baru, politik Indonesia agak membaik. Para teknokrat dan
ekonom lulusan Barat, banyak direkrut oleh Soeharto. Mereka yang dikenal sebagai “Mafia
Barkeley”, menjadi pilar utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Orde Baru pada mulanya
menerapkan sistem meritokrasi secara wajar. Namun setelah 10 tahun memimpin, Soeharto
mulai memilih anggota kabinet berdasarkan kedekatan personal. Ketika itu, jabatan menteri
banyak diisi oleh Angkatan Darat dan politisi Golkar. Pada Kabinet Pembangunan VII, Soeharto
benar-benar kebablasan. Ia menunjuk putrinya Siti Hardijanti Rukmana sebagai Menteri Sosial
serta Bob Hasan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Meski keduanya tidak
memiliki kompetensi, namun sang penguasa tetap memaksakan kehendaknya. Dari sinilah
kemudian Reformasi 1998 bergulir, yang salah satu tuntutannya mengharamkan praktek-praktek
nepotisme.
Setelah Reformasi, ternyata meritokrasi belum benar-benar diterapkan. Pada masa
kepemimpinan Abdurrahman Wahid, banyak menteri yang dipilih dari kalangan Nahdliyin —
organisasi massa yang menjadi basis pendukung Gus Dur. Megawati yang menjabat setelah Gus
Dur, setali tiga uang dengan pendahulunya. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono, hanya
menjalankan meritokrasi setengah-setengah. Yudhoyono hanya menerapkan sistem kepantasan
pada menteri-menteri urusan teknis, seperti menteri keuangan, menteri dalam negeri, menteri
luar negeri, dan menteri perdagangan. Untuk jabatan-jabatan non-teknis, ia banyak menyerahkan
kepada para politisi yang terkadang kurang kredibel. Tak mampunya Yudhoyono menerapkan
merit system, terutama karena kegalauan beliau terhadap tekanan partai politik di parlemen.
Nihilnya meritokrasi pada sistem pemerintahan Indonesia, dikarenakan gagalnya partai
politik melahirkan tokoh-tokoh yang mumpuni. Salah satu penyebabnya adalah format partai
politik yang menyandarkan eksistensinya kepada figur tertentu. Sehingga orang-orang yang
duduk di kepengurusan partai, banyak yang dipilih berdasarkan kedekatan dengan sang figur,
bukan karena ide atau prestasi yang dihasilkan. Dengan cara seperti ini, alih-alih ingin
menumbuhkan negarawan terpandang, partai malah menjadi tempat pembiakan politik dinasti.
Seperti yang terjadi belakangan ini, dimana banyak anggota parlemen, gubernur, walikota dan
bupati, yang berasal dari keluarga tertentu.
Untuk mengubah sistem patronase yang berlaku selama ini, partai-partai tentunya harus
menjunjung tinggi budaya demokrasi. Dewan Pembina atau Ketua Umum yang biasanya menjadi
patron, tak seharusnya mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional. Mereka bisa berperan
sebagai seorang komposer atau king maker, yang mengatur arah haluan partai. Cara lainnya
adalah dengan mengadakan audisi terbuka, dalam menentukan calon anggota parlemen atau
calon presiden/wakil presiden.
Partai Golkar misalnya, pernah melakukan konvensi pada tahun 2004 untuk memilih calon
presiden. Meski pesertanya hanya datang dari kalangan internal, namun proses penjaringan
tersebut telah menyiratkan sikap Golkar yang pro-meritokrasi. Dari hasil konvensi, Jenderal
Wiranto keluar sebagai pemenang mengalahkan ketua umum Akbar Tanjung. Namun terpilihnya
Wiranto sebagai calon presiden dari Golkar, tak sepenuhnya didukung kader-kader partai. Jusuf
Kalla, politisi Golkar lainnya, malah mencalonkan diri menjadi wakil presiden bersama Partai
Demokrat. Ia kemudian terpilih sebagai pemimpin nasional, mendampingi Susilo Bambang
Yudhoyono.
Meritokrasi di kemiliteran, sama seperti halnya yang terjadi di pemerintahan. Orang-orang
keturunan China masih dibatasi untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Menurut sosiolog
Mochtar Naim, hal ini dikarenakan kecenderungan para priyayi Jawa yang membagi daerah
kekuasaan politik ke tangan mereka, dan urusan bisnis kepada kaum Tionghoa. Pada masa
Kesultanan Mataram, elit-elit Jawa selalu memandang rendah kalangan saudagar, yang menurut
mereka sering melakukan kecurangan dan tindak penipuan. Oleh karenanya menjadi abdi (dalam
hal ini sebagai PNS) atau prajurit, merupakan pekerjaan idaman yang dicita-citakan banyak
kawula Jawa. Tradisi semacam ini masih terus berlanjut hingga sekarang, yang berakibat
dominannya orang-orang Jawa di dunia militer dan pemerintahan.
Untuk jabatan strategis dalam profesi ketentaraan, faktor kedekatan dengan sang penguasa
tentu memegang peranan cukup penting. Meski meritokrasi dalam hal kepangkatan telah lama
diterapkan, namun hal itu hanya berlaku hingga jenjang panglima Kodam. Untuk posisi panglima
TNI atau kepala staf, jamak diberikan kepada orang-orang dekat presiden. Pada masa Soeharto,
posisi komandan TNI hanya eksklusif milik Angkatan Darat. Dan mereka itu biasanya
merupakan orang-orang di bawah lutut penguasa, yang sebelumnya pernah menjadi asuhan atau
ajudan presiden. Diskriminasi etnis dalam penunjukan komandan militer juga masih kentara
hingga saat ini. Suku-suku yang pernah memberontak, seperti Aceh, Minangkabau, atau
Minahasa, sebisa mungkin dihambat untuk menduduki posisi puncak. Hal ini untuk
meminimalisir penggalangan kekuatan yang bisa menghancurkan kredibilitas penguasa.
Di dunia bisnis, sistem meritokrasi juga berjalan tertatih-tatih. Hal ini terlihat dari
pencapaian perusahaan-perusahaan Indonesia diantara perusahaan lainnya di dunia. Dari daftar
Fortune Global 500 — yang berisi 500 perusahaan dunia pencetak penjualan terbesar, Indonesia
hanya menempatkan satu wakilnya : Pertamina. Sedangkan BUMN-BUMN lainnya, seperti
PLN, Telkom, dan Bank Mandiri, belum mampu menghasilkan omzet yang memuaskan. Melihat
hasil tersebut, tentu ada yang salah dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan negara. Tanri
Abeng dalam bukunya “Reformasi BUMN dalam Perspektif Krisis Ekonomi Makro”
mengatakan, bahwa mismanajemen di BUMN disebabkan tidak adanya meritokrasi dalam
pemilihan pucuk pimpinan. Seperti halnya dalam penunjukan direksi perusahaan, yang hanya
berdasarkan like and dislike pejabat pemerintah — bukan melalui uji kepatutan dan kepantasan.
Di perusahaan-perusahaan swasta keadaannya jauh lebih baik, meskipun tidak seluruhnya
menerapkan merit system. Beberapa perusahaan besar terutama yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia, telah melakukan perekrutan pegawai secara profesional. Sedangkan untuk
perusahaan-perusahaan keluarga (family business owner), masih banyak yang menempatkan
kerabat dekatnya di posisi-posisi kunci. Pada masa Orde Baru dan mungkin pula hingga saat ini,
mayoritas perusahaan swasta yang dikendalikan orang Tionghoa mengambil karyawan-karyawan
puncak (middle-up management) dari kalangan mereka. Sebagian karena kesamaan marga dan
kepercayaan, dan sebagian lagi karena ingin menjaga rahasia perusahaan. Namun begitu hal ini
tidak berlaku pada kalangan Tionghoa saja. Orang-orang keturunan India ataupun kaum Bugis
dan Minangkabau, juga melakukan tipikal yang sama. Sehingga banyak perusahaan swasta yang
semacam ini, tak mampu bersaing dihadapan perusahaan-perusahaan asing. Krisis moneter 1998,
menguak kebobrokan banyak perusahaan keluarga yang kemudian mengantarkan mereka ke
jurang kebangkrutan.
Kebudayaan, termasuk di dalamnya seni dan olah raga, mungkin satu-satunya bidang yang
telah menjalankan sistem kepantasan dengan baik. Di negeri ini, hanya orang-orang berbakat-lah
yang bisa sukses menjadi atlet, penyanyi, ataupun bintang film. Meskipun ada beberapa anak
pejabat yang tampil ke muka, namun hal itu murni karena talenta mereka. Tak ada satupun atlet
atau seniman yang berhasil karena intervensi tangan penguasa.
Hal ini tentu berlawanan dengan keadaan di negara-negara totaliter, dimana para seniman
harus berkreasi sesuai doktrin penguasa. Di negara-negara tersebut, para seniman yang berseni di
luar pakem penguasa, akan dilarang atau dipenjarakan. Pada masa Demokrasi Terpimpin,
Indonesia pernah merasakan hal seperti itu. Dimana Soekarno melarang dipentaskannya musik
ngak-ngik-ngok (jenis musik rock and roll), yang dianggapnya sebagai musik kaum kapitalis.
Memasuki Orde Baru terus ke zaman Reformasi, proses meritokrasi di bidang kebudayaan
berjalan dengan baik. Pembatasan terhadap aliran musik tertentu ditiadakan. Dan semua anak
negeri, bisa berkreasi sesuai kehendak mereka. Akibatnya negeri ini berlimpah karya-karya seni
bermutu. Hampir sebagian besar karya-karya tersebut laku di pasaran. Dan mereka-pun
kemudian banyak yang kaya mendadak.
Berkat sistem kepantasan itu pula-lah, di bidang olah raga terutama bulu tangkis, Indonesia
bisa merajai berbagai turnamen. Malahan di kejuaraan bergengsi Thomas Cup, Indonesia
menjadi negara terbanyak yang berhasil menggondol piala. Selain cabang bulu tangkis, prestasi
Indonesia di dunia tinju patut pula untuk diapresiasi. Seperti halnya atlet bulu tangkis, beberapa
petinju nasional yang hebat justru datang dari kalangan minoritas. Disamping talenta, mereka
bisa berprestasi tentu karena adanya kesempatan yang diberikan secara fair.
Jika saja bangsa Indonesia mau melaksanakan meritokrasi sepenuh hati, maka impian
untuk menjadi bangsa besar pada tahun 2030 akan mudah terwujud. Semoga !
Baru-baru ini, gubernur DKI Joko Widodo melakukan lelang jabatan dalam penempatan
kepala camat dan lurah di seluruh Jakarta. Sontak kebijakan itu membuat geger puluhan camat
dan lurah yang selama ini sudah enjoy menduduki kursi tersebut. Meski banyak diprotes —
terutama oleh pejabat yang biasa memperoleh upeti dari para warga, tindakan Jokowi itu malah
didukung wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Basuki atau akrab yang disapa Ahok, dalam
keterangannya menyatakan bahwa ia dan Jokowi akan terus menerapkan merit system dalam
pengisian jabatan-jabatan publik.
Entah apa kata yang cocok dalam Bahasa Indonesia untuk mengartikan “merit system”.
Mungkin “sistem kepantasan”? Merit system atau meritokrasi adalah sebuah sistem yang
menekankan kepada kepantasan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu dalam
sebuah organisasi. Kepantasan diartikan sebagai kemampuan per se. Tanpa memandang latar
belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial mereka. Di negara-negara maju, merit
system telah diterapkan sejak ratusan tahun lampau. Malah di dunia Barat, meritokrasi menjadi
salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.
Amerika Serikat misalnya, sejak 1883 telah mereformasi undang-undang birokrasinya
dengan menggunakan sistem kepantasan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
birokrat Amerika haruslah orang yang memiliki kapabilitas dan kepandaian sesuai dengan posisi
yang didudukinya. Di Australia, merit system didefinisikan secara lebih luas. Jika di Amerika
latar belakang pendidikan memegang peranan untuk menduduki posisi tertentu, maka di
Australia hal semacam itu tak terlalu dipertimbangkan. Sehingga di negeri kangguru, seseorang
yang memiliki latar belakang sarjana hukum bisa menduduki jabatan menteri keuangan, selama
dia mampu.
Jauh sebelum masyarakat Barat menerapkan meritokrasi, Dinasti Qin dan Dinasti Han telah
terlebih dahulu mengaplikasikannya. Meritokrasi di China ketika itu, terutama untuk menjaga
stabilitas negara yang terdiri dari bermacam-macam etnis. Pada masa kejayaan Dinasti Utsmani,
merit system berjalan sebagaimana yang kita lihat di dunia Barat sekarang ini. Wazir, ulama,
kadi, dan tentara, dipilih berdasarkan yang terbaik. Di masa itu tak heran jika melihat anak-anak
Kristen dari Balkan, menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa.
Di Jepang, meritokrasi setidaknya telah berlangsung sejak Restorasi Meiji. Meritokrasi di negeri
matahari terbit, bermula dari sistem pendidikannya yang memberikan kesempatan kepada semua
orang untuk duduk di bangku sekolah. Murid-murid yang pandai, kemudian akan memperoleh
beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberikannya akses
pendidikan, bangsa Jepang memiliki modal yang sama untuk bertarung dan memenangkan
kompetisi. Selanjutnya ketika mereka menjadi politisi dan birokrat, hanya orang-orang
berkompeten-lah yang bisa menempati posisi-posisi kunci.
***
Berikutnya kita akan melihat, sejauh mana penerapan sistem kepantasan di dalam kultur
masyarakat Indonesia.
Dalam lanskap perpolitikan Indonesia, setidaknya republik ini pernah dipimpin oleh
perdana menteri yang menerapkan zaken cabinet. Dia adalah Ir. Juanda, yang mengangkat
menteri-menterinya berdasarkan keahlian mereka. Sebelum Juanda, Kabinet Sjahrir juga
menerapkan sistem meritokrasi. Ketika itu, semua pos kementerian diisi orang-orang hebat dari
berbagai latar belakang. Selain Sutan Sjahrir yang menjadi perdana menteri, dalam kabinet
duduk pula Agus Salim, Natsir, Amir Sjarifuddin, Mohammad Roem, dan Johanes Leimena.
Meski telah menerapkan merit system, namun kabinet ini hanya bertahan kurang dari dua tahun.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintahan Indonesia benar-benar tenggelam. Kabinet
hanya diisi oleh orang-orang yang mau mendukung ideologi Nasakom. Politisi dan teknokrat
yang anti-komunis, disingkirkan Soekarno. Bahkan beberapa orang hebat harus dibui dan mati
dalam tahanan. Masuk ke masa Orde Baru, politik Indonesia agak membaik. Para teknokrat dan
ekonom lulusan Barat, banyak direkrut oleh Soeharto. Mereka yang dikenal sebagai “Mafia
Barkeley”, menjadi pilar utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Orde Baru pada mulanya
menerapkan sistem meritokrasi secara wajar. Namun setelah 10 tahun memimpin, Soeharto
mulai memilih anggota kabinet berdasarkan kedekatan personal. Ketika itu, jabatan menteri
banyak diisi oleh Angkatan Darat dan politisi Golkar. Pada Kabinet Pembangunan VII, Soeharto
benar-benar kebablasan. Ia menunjuk putrinya Siti Hardijanti Rukmana sebagai Menteri Sosial
serta Bob Hasan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Meski keduanya tidak
memiliki kompetensi, namun sang penguasa tetap memaksakan kehendaknya. Dari sinilah
kemudian Reformasi 1998 bergulir, yang salah satu tuntutannya mengharamkan praktek-praktek
nepotisme.
Setelah Reformasi, ternyata meritokrasi belum benar-benar diterapkan. Pada masa
kepemimpinan Abdurrahman Wahid, banyak menteri yang dipilih dari kalangan Nahdliyin —
organisasi massa yang menjadi basis pendukung Gus Dur. Megawati yang menjabat setelah Gus
Dur, setali tiga uang dengan pendahulunya. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono, hanya
menjalankan meritokrasi setengah-setengah. Yudhoyono hanya menerapkan sistem kepantasan
pada menteri-menteri urusan teknis, seperti menteri keuangan, menteri dalam negeri, menteri
luar negeri, dan menteri perdagangan. Untuk jabatan-jabatan non-teknis, ia banyak menyerahkan
kepada para politisi yang terkadang kurang kredibel. Tak mampunya Yudhoyono menerapkan
merit system, terutama karena kegalauan beliau terhadap tekanan partai politik di parlemen.
Nihilnya meritokrasi pada sistem pemerintahan Indonesia, dikarenakan gagalnya partai
politik melahirkan tokoh-tokoh yang mumpuni. Salah satu penyebabnya adalah format partai
politik yang menyandarkan eksistensinya kepada figur tertentu. Sehingga orang-orang yang
duduk di kepengurusan partai, banyak yang dipilih berdasarkan kedekatan dengan sang figur,
bukan karena ide atau prestasi yang dihasilkan. Dengan cara seperti ini, alih-alih ingin
menumbuhkan negarawan terpandang, partai malah menjadi tempat pembiakan politik dinasti.
Seperti yang terjadi belakangan ini, dimana banyak anggota parlemen, gubernur, walikota dan
bupati, yang berasal dari keluarga tertentu.
Untuk mengubah sistem patronase yang berlaku selama ini, partai-partai tentunya harus
menjunjung tinggi budaya demokrasi. Dewan Pembina atau Ketua Umum yang biasanya menjadi
patron, tak seharusnya mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional. Mereka bisa berperan
sebagai seorang komposer atau king maker, yang mengatur arah haluan partai. Cara lainnya
adalah dengan mengadakan audisi terbuka, dalam menentukan calon anggota parlemen atau
calon presiden/wakil presiden.
Partai Golkar misalnya, pernah melakukan konvensi pada tahun 2004 untuk memilih calon
presiden. Meski pesertanya hanya datang dari kalangan internal, namun proses penjaringan
tersebut telah menyiratkan sikap Golkar yang pro-meritokrasi. Dari hasil konvensi, Jenderal
Wiranto keluar sebagai pemenang mengalahkan ketua umum Akbar Tanjung. Namun terpilihnya
Wiranto sebagai calon presiden dari Golkar, tak sepenuhnya didukung kader-kader partai. Jusuf
Kalla, politisi Golkar lainnya, malah mencalonkan diri menjadi wakil presiden bersama Partai
Demokrat. Ia kemudian terpilih sebagai pemimpin nasional, mendampingi Susilo Bambang
Yudhoyono.
Meritokrasi di kemiliteran, sama seperti halnya yang terjadi di pemerintahan. Orang-orang
keturunan China masih dibatasi untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Menurut sosiolog
Mochtar Naim, hal ini dikarenakan kecenderungan para priyayi Jawa yang membagi daerah
kekuasaan politik ke tangan mereka, dan urusan bisnis kepada kaum Tionghoa. Pada masa
Kesultanan Mataram, elit-elit Jawa selalu memandang rendah kalangan saudagar, yang menurut
mereka sering melakukan kecurangan dan tindak penipuan. Oleh karenanya menjadi abdi (dalam
hal ini sebagai PNS) atau prajurit, merupakan pekerjaan idaman yang dicita-citakan banyak
kawula Jawa. Tradisi semacam ini masih terus berlanjut hingga sekarang, yang berakibat
dominannya orang-orang Jawa di dunia militer dan pemerintahan.
Untuk jabatan strategis dalam profesi ketentaraan, faktor kedekatan dengan sang penguasa
tentu memegang peranan cukup penting. Meski meritokrasi dalam hal kepangkatan telah lama
diterapkan, namun hal itu hanya berlaku hingga jenjang panglima Kodam. Untuk posisi panglima
TNI atau kepala staf, jamak diberikan kepada orang-orang dekat presiden. Pada masa Soeharto,
posisi komandan TNI hanya eksklusif milik Angkatan Darat. Dan mereka itu biasanya
merupakan orang-orang di bawah lutut penguasa, yang sebelumnya pernah menjadi asuhan atau
ajudan presiden. Diskriminasi etnis dalam penunjukan komandan militer juga masih kentara
hingga saat ini. Suku-suku yang pernah memberontak, seperti Aceh, Minangkabau, atau
Minahasa, sebisa mungkin dihambat untuk menduduki posisi puncak. Hal ini untuk
meminimalisir penggalangan kekuatan yang bisa menghancurkan kredibilitas penguasa.
Di dunia bisnis, sistem meritokrasi juga berjalan tertatih-tatih. Hal ini terlihat dari
pencapaian perusahaan-perusahaan Indonesia diantara perusahaan lainnya di dunia. Dari daftar
Fortune Global 500 — yang berisi 500 perusahaan dunia pencetak penjualan terbesar, Indonesia
hanya menempatkan satu wakilnya : Pertamina. Sedangkan BUMN-BUMN lainnya, seperti
PLN, Telkom, dan Bank Mandiri, belum mampu menghasilkan omzet yang memuaskan. Melihat
hasil tersebut, tentu ada yang salah dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan negara. Tanri
Abeng dalam bukunya “Reformasi BUMN dalam Perspektif Krisis Ekonomi Makro”
mengatakan, bahwa mismanajemen di BUMN disebabkan tidak adanya meritokrasi dalam
pemilihan pucuk pimpinan. Seperti halnya dalam penunjukan direksi perusahaan, yang hanya
berdasarkan like and dislike pejabat pemerintah — bukan melalui uji kepatutan dan kepantasan.
Di perusahaan-perusahaan swasta keadaannya jauh lebih baik, meskipun tidak seluruhnya
menerapkan merit system. Beberapa perusahaan besar terutama yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia, telah melakukan perekrutan pegawai secara profesional. Sedangkan untuk
perusahaan-perusahaan keluarga (family business owner), masih banyak yang menempatkan
kerabat dekatnya di posisi-posisi kunci. Pada masa Orde Baru dan mungkin pula hingga saat ini,
mayoritas perusahaan swasta yang dikendalikan orang Tionghoa mengambil karyawan-karyawan
puncak (middle-up management) dari kalangan mereka. Sebagian karena kesamaan marga dan
kepercayaan, dan sebagian lagi karena ingin menjaga rahasia perusahaan. Namun begitu hal ini
tidak berlaku pada kalangan Tionghoa saja. Orang-orang keturunan India ataupun kaum Bugis
dan Minangkabau, juga melakukan tipikal yang sama. Sehingga banyak perusahaan swasta yang
semacam ini, tak mampu bersaing dihadapan perusahaan-perusahaan asing. Krisis moneter 1998,
menguak kebobrokan banyak perusahaan keluarga yang kemudian mengantarkan mereka ke
jurang kebangkrutan.
Kebudayaan, termasuk di dalamnya seni dan olah raga, mungkin satu-satunya bidang yang
telah menjalankan sistem kepantasan dengan baik. Di negeri ini, hanya orang-orang berbakat-lah
yang bisa sukses menjadi atlet, penyanyi, ataupun bintang film. Meskipun ada beberapa anak
pejabat yang tampil ke muka, namun hal itu murni karena talenta mereka. Tak ada satupun atlet
atau seniman yang berhasil karena intervensi tangan penguasa.
Hal ini tentu berlawanan dengan keadaan di negara-negara totaliter, dimana para seniman
harus berkreasi sesuai doktrin penguasa. Di negara-negara tersebut, para seniman yang berseni di
luar pakem penguasa, akan dilarang atau dipenjarakan. Pada masa Demokrasi Terpimpin,
Indonesia pernah merasakan hal seperti itu. Dimana Soekarno melarang dipentaskannya musik
ngak-ngik-ngok (jenis musik rock and roll), yang dianggapnya sebagai musik kaum kapitalis.
Memasuki Orde Baru terus ke zaman Reformasi, proses meritokrasi di bidang kebudayaan
berjalan dengan baik. Pembatasan terhadap aliran musik tertentu ditiadakan. Dan semua anak
negeri, bisa berkreasi sesuai kehendak mereka. Akibatnya negeri ini berlimpah karya-karya seni
bermutu. Hampir sebagian besar karya-karya tersebut laku di pasaran. Dan mereka-pun
kemudian banyak yang kaya mendadak.
Berkat sistem kepantasan itu pula-lah, di bidang olah raga terutama bulu tangkis, Indonesia
bisa merajai berbagai turnamen. Malahan di kejuaraan bergengsi Thomas Cup, Indonesia
menjadi negara terbanyak yang berhasil menggondol piala. Selain cabang bulu tangkis, prestasi
Indonesia di dunia tinju patut pula untuk diapresiasi. Seperti halnya atlet bulu tangkis, beberapa
petinju nasional yang hebat justru datang dari kalangan minoritas. Disamping talenta, mereka
bisa berprestasi tentu karena adanya kesempatan yang diberikan secara fair.
Jika saja bangsa Indonesia mau melaksanakan meritokrasi sepenuh hati, maka impian
untuk menjadi bangsa besar pada tahun 2030 akan mudah terwujud. Semoga !