Komersialisasi Seks Pelacuran Dalam Pers

Komersialisasi Seks (Pelacuran) Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah

Oleh:
KASMIATI
H152120261

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSITITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Komersialisasi Seks Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah1
Kasmiati2
A. Komersilaisasi Seks dan Teori-Teori Sosial
Menelusuri bagaimana posisi komersialisasi seks dalam teori-teori sosial menjadi
penting untuk melakukan analisis lanjutan bagaimana sesungguhnya seks yang diperdagangkan
dipandang dalam kehidupan sosial yang kini mungkin telah mengalami tranformasi akibat
pergeseran makna yang dapat merubah berbagai perspektif dan cara pandang akan seks itu
sendiri, sehingga menjadi suatu hal yang menarik sekaligus rumit mengingat seks sebagai
bagian yang sangat personal dan intim dalam kehidupan sesorang namun disisi lain ketika
dikomersilaisasi maka tentu sangat erat terkait dengan persoalan interaksi sosial. Merujuk pada

Encyclopeda Britanica (1973-74) mendefinisikan pelacuran sebagai praktek hubungan seksual
sesaat yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promuskiutas), untuk imbalan berupa
upah. Definisi ini menujukan bahwa dalam persoalan pelacurann memuat masalah hubungan
sosial dan persoalan ekonomi karena adanya upah sebagai imbalan atas aktivitas seksual yang
telah dilakukan. Sebagaimana yang dinyatakan Truong (1992) bahwa kesadaran seksual tidak
dapat hadir dalam satu bentuk tunggal yang dapat tercerabut dari hubungan-hubungna sosial dan
ekonomi.
Melihat pelacuran sebagai kegiatan seks karena adanya upah sebagai stimulus tentu
menjadi sangat dangkal tanpa melihat sisi lain mengapa dan bagaimana seorang perempuan mau
dan terlibat dalam promuskiutas yang menurut Rowboton (1973) dalam Truong (1992)
menyatakan bahwa pelacuran dipandang sebagai ekspresi dari “ hegemoni kultural ” pria atas
perempuan. Bahkan dalam buku Truong yang sama Barry (1981b) berargumentasi bahwa dibawa
hegemoni budaya pria , perempuan membentuk kelompok rentan dan kerentanan ini membuka
kesempatan luas bagi pria untuk menindas dan mengeskploitasi perempuan secara seksual seperti
yang di tuliskanya bahwa “ perbudakan seskual perempuan hadir di semua situasi dimana
perempuan tak dapat mengubah kondisi lansung keberadaan mereka , dimana terlepas dari
bagaimana mereka masuk kedalam kondisi-kondisi tersebut, mereka tak dapat keluar darinya dan
dimana mereka menjadi objek dan eksplotasi seksual”.
1 Sumber utama dalam penulisan paper ini adalah buku seks, uang dan kekuasaan oleh
Thanh-Dam Truong (1992)

2 Mahasiswa S2 (H152120261) PS. Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
IPB
* Alamat korespondensi ; Email : [email protected]

Ulasan diatas menunjukan bahwa menempatkan disatu sisi pelacuran dianggap sebagai
persoalan kerja namun disisi lain pelacuran sebagai bagian dari budaya patriarki yang terbentuk
dan memposisikan laki-laki sebagai subjek yang mendominasi kehidupan perempuan. Secara
keseluruhan terdapat tiga elemen utama dari pelacuran yang dikenal luas : ekonomi, seksual dan
psikologi (struktur psiko-individual, emosional) Truong (1992). Konsep biologi sosial
merupakan langkah awal untuk menjelaskan tingkah laku manusia mengunakan teori evolusi
yang di prakarsai oleh Charles Darwin dalam menjelaskan hubungan pria perempuan
menyatakan bahwa ada ketidak setaraan perkembangan yang dialami pria dan perempuan dalam
sejumlah fakultas bilogis mereka sehingga terjadi perbedaan mental antar seks. Darwinis sosial
ortodoks telah didiskreditkan sehingga lahir konsep baru meskipun masih menggunakan prinsip
yang serupa sebagaimana gagasan yang dinyatkana oleh Wilson (1975:575) bahwa “ sudah
saatnya kita memandang diri kita bahwa memiliki komponen alamiah, bilogis, dan genetis dalam
tingkah laku kita, bahwa kita telah mulai merancang dunia fisik dan sosial untuk menanggapi
segenap kecendrungan tersebut, dikutip dari Lowe (1978:124) dalam Truong (1992). Kajian
pelacuran yang menggunakan metode sosial bilogis terbagi dalam dua tipe yaitu wilayah
kriminalogi yang memandang pelacuran sebagai suatu aspek tingkah laku seksual manusia

sebagai kejahatan moral dan kegiatan melacurkan diri sebagai bentuk keterbelakangana moral.
Tipe kedua memandang bahwa pelacuran sebagai tingkah laku seksual manusia dan
menganalisisnya dalam konteks biologi dan masyarakat, serta berargumentasi bahwa pranata
tersebut adalah sebuah imperative sosial untuk mengakomodasikan gairah seksual pria yang tak
terkendali. Perlu disadari bahwa pendekatan sosio-biologis sangat statis dan ahistoris sehingga
tidak mampu menangkap hubungan-hubungan sosial yang kompleks, karena itu Truong
(1992:34) menganggap bahwa alih-alih menyediakan panduan bagi keputusan etik dan politik,
Biologi seksual justru menyediakan argumentasi yang dibutuhkan bagi pembenaran terhadap
operesi dan eksploitasi.
Fungsionalisme merupakan kerangka teoritis lain yang dapat dijadikan sebagai pisau
anlisis untuk memahami bagaimana pelacuran dalam dinamika sosial. Akar fungsionalisme dapat
dilihat dalam karya Durkheim, dua prinsip utama yang dapat di identifikasi adalah (1) kekuatankekuatan sosial memberikan paksaan eksternal terhadap individu-individu, dan (2) individuindividu sendiri terorganisir secara hirarkis oleh kekuatan-kekuatan tersebut. Konsep utama
Durkhemian beranjak dari wilayah material biologi menuju wilayah gagasan sebagai refleksi dari

kehidupan sosial. Berdasarkan temuan dan inferensi kraniometri dan antropologi ragawi yang
menunjukkan dimorfisme evolusioner, Durkeim berkesimpulan bahwa perempuan secara psikis
mengalami kemunduran dan pria mengalami kemajuan sebagai hasil dari evolusi sosial (Gane,
1983) dalam Truong (1992). Hal ini didasarkan bahwa evolusi sosial dan pembagian kerja
mempengaruhi hubungan pria-perempuan yakni pada fungsi prokreasi dan pembagian kerja
antar jenis kelamin yang di perluas pada fungsi sosial lainya. Ketika evolusi sosial telah

berakibat pada kontruksi biologis dan strukutur psikis antar jenis kelamin, hal ini berperan dalam
penciptaan sebuah bentuk ikatan baru yang sangat mendasar bagi masyarakat modern, yakni
ikatan perkawinan. Seks menjadi hasrat individual yang tidak rasional dan masyarakat
memperagkan kerasionalitasanya dengan menundukkan dorongan ini serta dengan menciptakan
dan mengembangkan bentuk-bentuk melalui mana seks dapat didistribusikan untuk memuaskan
kebutuhan manusia hal ini kemudian melahirkan institusi yang disebut perkawinan atau rumah
tangga sebagai tempat menyalurkan seks yang formal, sementara orang yang melakukan diluar
kerangka tersebut dianggap immoral. Ross dan Rapp (1981) yang dikutip dari Truong (1992)
menyatakan tak dapat dibantah bahwa semua masyarakat menjalankan semacam bentuk kontrol
terhadap seksualitas manusia dan bahwa kebutuhan seksual secara biologias adalah sama
mendasarnya akan kebutuhan makanan , bentuk-bentuk pengontrolan seksualitas manusia secara
dinamis berkaitan dengan pengorganisasian basis produktif masyarakat. Setiap perubahan dalam
basis ini akan diikuti dengan perubahan prilaku norma-norma prilaku seksual yang
mempengaruhi kontruksi sosial dan hasrat seksual. Asumsi utama dari pendekatan institusional
adalah bahwa pelacuran lahir dari kekacauan sistem moral yang menyanjung tinggi keluarga
seraya menekan hubungan seksual di luar perkawinan. Sehingga pendekatan fungsionalis dapat
dikatakan menghianati tujuanya sendiri berkenaan dengan isu moralitas.
Pandangan kaum sosialis juga memandang pelacuran dengan basis penyebabnya adalah
masalah moralitas sehingga Lenin mengeyahkan isu seksulaitas dari diskurus sosialis karena
menganggap sebagai gejala borjuasi namun pandangan ini tentu saja mengabaikan bahwa

kepuasan seksual dan kenyamanan psikologis merupakan dimensi dari eksistensi manusia baik
dikalangan borjuasi maupun dikalangan kelas pekerja. Sehingga penting untuk memperhatikan
kondisi dimana pelayanan seksual diberikan apakah pada konteks cinta dan pemenuhan personal
atau menjadi dikomoditikan atau di sediakan dengan kekerasan fisik. Beragam dan luasnya
persoalan yang meliputi dan menyelimuti masalah komersilaisasi seks merupakan hal yang tentu

sulit dikaji dengan hanya menggunkan satu alat analisis teori atau pendekatan karena begitu
banyak fenomena atau bagian derivatif lainya dari aktivitas sesksual yang harus turut terekam
secara baik dan terperinci untuk menjelaskan mengenai komersilaisasi seks karena hal ini
mungkin akan terus ada dan hadir dalam kehidupan manusia walau dalam wilayah yang penuh
perdebatan tentang moralitas, hukum ekonomi dan baik benarnya atau boleh tidaknya,
sebagaimana yang diungkapkan oleh St. Agustin bahwa “ … menyingkirkan pelacuran dari
kehidupan manusia akan mengotori semua hal dengan nafsu birahi dan karena itu “ perempuan
sundal “ adalah imoralitas yang dapat dibenarkan secara hukum. Sementara St.Thomas Aquinus
berpendapat bahwa enyahkan tempat sampah dan anda akan mengotori istana… enyahkan
pelacur dari muka bumi dan anda akan memenuhinya dengan sodomi ( Patrinder , 1980: 225-6)
dalam Truong (1992). Tampaknya akan selalu ada trade off dalam kehadiran dan penghilangan
aktivitas pelacuran. Berikut akan dijelaskan bagaimana kekuatan eksternal kondisi kemiskinan
dan kekuatan kapitalisme dalam membentuk aktivitas pelacuran.


B. Pelacuran Dalam Bingkai Kemiskinan dan Kapitalisme
Pelacuran pada kasus di Mungthai, Truong dalam buku seks, uang dan kekuasaan secara
jelas mengambarkan bagaimana Budihisme dan penggunaan elemen-elemen diskursifnya sebagai
basis bagi formulasi hukum telah mentransfromasikan perdagangan perempuan ke dalam bentukbentuk eksploitasinya yang sangat nyata, yang ditunjukan secara jelas dewasa ini dalam industri
seks yang berafiliasi dengan industri turisme. Kepercayaan atau praktek keagamaan yang
menciptakan penafsiran hukum dan sosial yang memberikan banyak keuntungan bagi pihak lakilaki untuk memanfaatkan dan mengontrol aktivitas seksual perempuan. Perempuan lalu dilihat
seperti apa yang seharusnya dilihat dari sosok anak manusia tetapi dilihat seperti apa yang
dipersepsikan manusia tentang perempuan, amak jadilah hubungan antara laki-laki dan
perempuan direflesikan dalam model hubungan dalam hubunagan antara pemimpin yang dengan
yang dipimpin (kepercayaan di masyarakat Iran dan Cina), anatara pendominasi dan didominasi
(Falsafah Mao Tse Tung) antara pemerintah dan rakyat (Ujaran Aristoteles), dan antara yang
dilayani dan melayani (gaya Indonesia), Hubeis (2010). Hal ini kemudian diamanfaatkan oleh
para pebisnis yang memperoleh legitimasi dari pemerintah yang menjadikan pelacuran sebagai
bagian untuk memfasilitasi persoalan militer dan ekonomi dimana pada awal perkembangnaya

memang hanya tujuan bisnis jangka pendek untuk menangkap besarnya permintaan atas rest and
recreation.
Berdirinya barak-barak militer tentara sehingga mereka membutuhkan banyak hiburan
termasuk pelayanan seksual karena orang yang melakukan permintaan atas pelayanan seksual
adalah mereka yang cendrung jauh dari keluarga atau memiliki pendapatan atau kemapanan

finansial seperti yang dijelaskan oleh Iriana (2005) bahwa Sisi permintaan jasa seks berasal dari
berbagai kalangan untuk memenuhi kebutuhan seks , diantaranya penduduk yang mobilitasnya
tinggi, yaitu penduduk yang sering melakukan perjalanan tanpa membawa keluarga dan pergi
untuk waktu yang lama. Mereka umumnya berasal dari daerah yang tingkat perekmbanganya
tinggi atau daerah kaya. Pengguna jasa seks setempat yang tingkat kesejahteraanya yang sudah
tinggi atau pendatang yang tinggal sendiri tanpa keluarga. Selain itu dijelaskan pula bahwa
kemiskinan merupakan alasan klasik yang diungkapkan pekerja seks komersial.

hal ini

menunjukkan selain adanya peluang kerja akibat banyaknya permintaan atas pelacuran
masyarakat juga mengalami desakan ekonomi untuk menghasilkan uang dan memenuhi
kebutuhan hidup keluarga, melakukan pelacuran atau membiarkan anak-anak perempuan mereka
bekerja sebagai pelacur adalah pilihan untuk bertahan hidup.
Meskipun pada awalnya pelacuran masih dianggap sebagai hal yang memalukan atau
immoral namun lama kelamaan paradigma tersebut bergeser kaum perempuan desa yang
memasuki industri seks di Asia Tenggara memandang diri mereka sebagai pencari nafkah
keluarga daripada sebagai perusak moral (Phongpaicit, 1982 ; Whitol, 1982) dalam Truong
(1992). Hal ini sangat erat kaitanya dengan besaran uang yang mampu mereka hasilkan dari
kegiatan pelacuran dan bagaimana mereka membantu meringankan beban kelauraga serta

memenuhi kebutuhan di kampung halaman yang ditinggalkan sehingga pembenaran penilaian
atas kerja pelacuran yang dilakukan menjadi sesuatu yang dipandang rasional atau merupakan
pekerjaan produktif yang menghasilkan. Fireston (1972) dalam Truong (1992) menyatakan
bahwa “tubuh perempuan adalah alat produksi” menjadi alasan dan landasan untuk melakukan
pembenaran atas kerja pelacuran yang dilakukan, selain itu kebangkitan kapitalisme telah
mengintesifkan penggunaan kerja seksual dalam pelacuran

Terlepas dari tafsir keagamaan yang tidak mengukuhkan secara jelas status pelacuran
mengenai boleh tidaknya maka kemiskinan adalah alasan penting yang menjadi pendorong
pokok tumbuh dan berkembangnya pelacuran ditengah gempuran globalisasi yang menjebak
masyarakat dalam kubang kemiskinan (proverty trap). Kapitalisasi yang melakukan
pembangunan namun disertai pula dengan marginalisasi kian memojokan masyarakat kecil dan
ditengah ketidakberdayaan dan lemahnya akses, mereka tidak memiliki alternatif untuk
memperbaiki kondisi kehidupan maka pelacuran dijadikan sebagai jalan atau strategy untuk
bertahan hidup (livelihood) sebagaimna yang diungkapkan dalam Truong (1992) bahwa “
pelacuran harus dipahami sebagai sebuah strategy perempuan bagi kelanjutan hidup dibawah
kondisi kemiskinan”
Para pebisnis internasional menangkap situasi masyarakat dengan sangat tepat sehingga
mereka mmapu mengembangkan kota dengan pelacuran sebagai tumpuan utama aktifitas
perekonomian selain itu perekembangan industri pesawat terbang secara drastis meningkatkan

mobilitas masyarakat diberbagai belahan dunia untuk bepergian, maka jasa-jasa traveling untuk
mengakomodasi berbagai kebutuhan turisme ikut tumbuh dan berkembang yang tentu
mendorong berbagaia fasilitas lokal yang terkait dengan turisme seperti hotel, bar, panti pijat dan
berbagai tempat hiburan lainya ikut tumbuh berkembang tidak ketinggalan pelacuran sebagai
bagian penting dari bisnis turisme mengalami peningkatan permintaan. Memandang pelacuran
sebagai bentuk kerja akibat adanya keputusasaan oleh para pelacur tentu snagat subjektif karena
fakta menunjukan bahwa ada kondisi eksternal yakni kemiskinan dan kapitalisasi yang
menjanjikan mereka kehidupan yang lebih baik dari kerja pelacuran maka melihat hal ini dari
sudut pandang ekonomi merupakan keputusan rasional. Disisi lain pemerintah memberikan
dukungan terhadap aktivitas pelacuran sebagaimana yang akan dibahas pada bagian selanjutnya
dari paper ini yang akan menunjukkan bahwa ada berbagai pihak yang meraup keuntungan dari
kegiatan komersilaisasi seks.
C. Dukungan Pemerintah Dalam Pelestarian Pelacuran
Lestarinya aktivitas pelacuran terlebih untuk kasus Muangthai yang tidak akan
berbeda jauh dari kota-kota lain yang memiliki pusat pelacuran atau tempat lokalisasi pelacur tak
cukup dipahami karena adanya

penafsiran kepercayaan yang menjadi pegangan utama

masyarakat serta terjadinya kemiskinan dan hadirnya kapitalisasi tetapi sisi lain yang harus

diperhatikan adalah dukungan pemerintah untuk melestraikan pelacuran karena adanya manfaat

ekonomi yang diberikan kepada negara seperti yang dinyatakan dalam Truong (1992) bahwa saat
ini negara telah turut terlibat dalam pengaturan aktivitas seksualitas dalam hal ini promuskuitas
yang mengakselerasi penggunaan kerja seksual perempuan karena adanya keuntungan finansial
yang diperoleh sebagai bentuk pendapatan negara dari pembayaran pajak. Negara secara terangterangan menjadikan pelacuran sebagai bagian strategi ekonomi negara dimana para pejabat
pemerintahan (pada rezim Marcos) secara eksplisit di depan publik menyatakan bahwa
seksualitas perempuan harus dipandang sebagai asset ekonomi dalam sumbangan turisme bagi
pembangunan nasional, atau seperti yang dinyatakaan oleh direktur Tourism Authority Of
Thailand bahwa “ ya, kami harus mengakui bahwa kami memilik pelacuran… mungkin ada
benarnya (bahwa turisme meransang pelacuran), namun pelacuran tumbuh terutama karena
kondisi ekonomi karena setiap orang harus memperoleh penghasilan, kalau kami dapat
menciptakn pekerjaan, dapat meningkatkatkan penghasilan perkapita, persoalan pelacuran akan
hilang dengan sendirinya (far estren economic review, 9 januari1976) dalam Truong (1992).
Dua pernyataan pemerintah diatas secara jelas memandang bahwa pelacuran
merupakan hal penting dan memberi manfaat karena mendukung dan menopang perekonomian
negara sehingga tak mengherankan jika ada daerah seperti Munagthai di penuhi dengan bar, panti
pijat, kedai teh, hotel-hotel dan berbagai tempat hiburan lainya yang sangat erat terkait sebagi
tempat menghibur diri, memperoleh layanan personal atau tempat berlansungnya komersialisas
seks telah tumbuh dan berkembang dengan pesat di Munghtai. Bahkan pihak perbankan sebagai

bagian penting dari perekonomian karena dapat memberi pinjaman kepada para pengusaha telah
turut berperan dalam menciptakan kelanggengan pelacuran dengan memberikan pinjaman
berjangka untuk pembangunan hotel, selain itu pranata-pranta finansial

internasional

menyediakan pinjaman dengan persyaratan ringan sehingga pelacuran tidak hanya menajadi isu
alternatif bagi kesempatan kerja perempuan namun juga isu yang berkaitan dengan struktur
internal industri turisme dan berbagai kepentingan bercorak finansial lainya, Truong (1992).
Langgengnya pelacuran karena ada dukungan pemerintah yang dapat meraup
keuntungan melalui pemungutan pajak atau denda dari pelacur jalanan yang berkeliaran. Denda
dari pelacur jalanan merupakan isyarat agar mereka bekerja ditempat yang lebih dapat dikontrol
untuk memudahkan pemerintah dalam memungut pajak atas aktivitas pelacuran yang dilakukan.
Dukungan lain dari pemerintah ditunjukan melalui maskapai penerbangan dengan menggunakan
perempuan-perempuan mudah yang cantik sebagai pramugari yang dianggap representae dari
perempuang vietnam atau Muangthai meskipun secara eksplisit hal ini merupakan cara lain yang

dilakukan pemerintah untuk mengiklankan turisme dan pelacuran di negara mereka dengan
menonjolkan berbagai kelebihan perempuan melalui pramugari. Hal ini mempertegas posisi
pemerintah yang mendukung berlansungnya pelacuran.
Meskipun pada kasus muangthai tampak bahwa Pemerintah sangat mendukung
pelacuran namun hal ini tidak terjadi di semua negara atau daerah, bahkan untuk wilayah tertentu
pelacuran tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda karena itu melihat pelacuran
dalam perspektif ekonomi wilayah adalah cara pandang lain yang akan menambah khasanah
pemahaman akan pelacuran. karena setiap kegiatan atau aktivitas tak dapat dipisahkan dari
dimensi ruang atau wilayah (spatial elements) sehingga bagian selanjutnya dari paper ini akan
membahas mengenai pelacuran dari perspektif wilayah terlebih pada kasus Indonesia.
D. Komersialisasi Seks Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah
Pelacuran mungkin akan selalu ada pada setiap bangsa dan tatanana hidup masyarakat
terlebih di era yang kian kapitalistik ini, dimana uang seolah menjadi raja dalam kehidupan tidak
hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan namun uang telah menjadi tujuan itu sendiri
sehingga berbagai aktifitas dilakukan hanya sekedar untuk mengumpulkan uang sebanyak
mungkin termaksud aktifitas pelacuran, yang disisi lain ternyata memperoleh dukungan oleh
pemerintah atau dilindungi oleh berbagi korporasi besar

karena adanya keuntungan yang

diperoleh dari aktifitas ini terlepas dari berbgai pandangan yang tetap menganggap pelacuran
sebagai sebuah penyimpanan biologis maupun sosial. Namun hal menarik lainya adalah aktifitas
ini tidak terjadi atau tumbuh disetiap daerah karena itu pada bagian ini pelacuran akan dilihat
dalam perspektif ekonomi wilayah

untuk menjelaskan bagaimana pola spasial dalam

perkembangan pelacuran yang akan membantu kita dalam memahami mengapa ada wilayah
yang tumbuh menjadi pusat pelacuran dan ada wilayah lain yang menjadi daerah asal pelacur.
Umumnya tempat-tempat yang menampung kehadiran pekerja seks perempuan di
daerah yang sedang berkembang dan mudah dilalui oleh orang-orang yang bepergian .
terbentuknya tempat tersebut juga karena permintaan orang-orang yang singgah , baik secara
terang-terangan maupun secara tersembunyi. Iriana (2005). Bahkan perkembangan tempat
hiburan yang benuansa seks yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia tidak hanya di
pergunakan untuk memenuhi kebutuhan seks tapi seolah menjadi tempat hiburan bagi kalangan
kelas atas atau kelompok-kelompok tertentu yang banyak membuat pesta erotis dan terkait

dengan persolan seks seperti yang diungkapkan oleh Moamar Emka dalam buku “ Jakarta
under cover” yang memotret fenomena seks di ibu kota Indonesia.
Menurut Iriana (2005) bagi laki-laki yang mencari perempuan yang memberikan
pelayanan seks yang dikomersialkan dapat ditemukan ditempat-tempat seperti berikut :
 Lokasi tertentu dimana seks dapat dilaksanakna di tempat mislanya panti pijat, rumah


bordir, lokalisasi rumah bordil.
Lokasi yang telah ditentukan dimana transaksi seks dapat terjadi, tetapi kegiatan seks
biasanya dilakukan ditempat lain, misalnya klub malam, salon kecantikan, diskotik, pusat



call-girl, bar, coffee shops.
Pekerja seks Komersial mandiri, seperti wanita panggilan (untuk kelas tingggi), perek,
dan wanita jalanan, yang dapat di jumpai di berbagia tempat.
Jika kita lihat tempat-tempat diatas maka lebih banyak tersedia di kota dibandingkan desa

karena pertumbuhan atau penopang ekonomi di perkotaan secara umum lebih banyak di dukung
oleh sektor jasa atau perdagangan sehingga tempat-tempat hiburan lebih banyak tumbuh dikota ,
gaya hidup diperkotaan yang sangat dinamis, individuliastik serta hedonistik (foya-foya) juga
mendukung tumbuhnya industri jasa yang memberikan pelayanan yang sifatynya sangat
personal. Tempat berlibur atau daerah yang ditopang oleh sektor pariwisata juga menyediakan
banyak tempat yang memungkinkan digunakan sebagai tempat transaksi seks karena mereka
yang melakukan perjalanan untuk berlibur terlebih di tempat yang jauh cendrung memiliki
kempanan finasial yang cukup atau telah menyediakan anggaran khusus untuk biaya rest and
recreation maka mencari layanan seks di daerah tujuan wisata sangat mungkin dilakukan
sebagaimana promuskuitas bagi para turis juga dicitrakan sebagai bentuk pengalaman pribadi.
Persolan turisme juga mendukung tumbuh kembang pelacuran di Munagthai yang tentu
tidak akan berbeda jauh dengan daerah lain. Kota dan daerah pariwisata cendrung memilik akses
infrastruktur yang bagus sehingga mobilitas lebih mudah dilakukan di kedua daerah tersebut dan
dapat di jadikan sebagai tempat persinggahan, pertemuan atau peristirahatan sehingga dapat
memicu permintaan layanan seks lebih tinggi di kedua daerah tersebut (kota dan daerha
pariwisata).
Kasus Indonesia menunjukan bahwa pekeraja seks komersial secara umum berasal dari
pulau jawa, namun demikian cukup banyak pekerja seks komersial yang berasal dari Sulawesi

Utara dan Sulawesi Selatan yang ditunjukan dari hasil penelitian Iriana (2005). Hal ini dapat
dipahami bahwa daerah jawa adalah daerah dengan tingkat penduduk yang sangat tinggi.
meskipun merupakan ikon bagi kemajuan dan pertumbuhan tapi ketimpangan sangat tinggi
masyarakat yang hidup didesa dengan pendidikan rendah tidak mampu bersaing atau
berkompetisi sehingga mereka banyak memilih untuk bekerja sebagi pelacur. Dalam penelitian
yang sama Iriana mengungkapkan bahwa Jawa memiliki daya dorong yang kuat dan alasan
utamanya adalah kemiskinan. Sementara Sulawesi selatan dengan ibu kota Makassar merupakan
daerah paling maju di kawasan Indonesia Timur (KIT) dan memiliki posisi strategis sebagai
pintu gerbang kawasan Indonesia timur kegiatan ekspor impor dan perdagangan banyak
dilakukan melalui kota ini. Makassar juga merupakan pusat pertumbuhan dan pelayanan KIT
sehingga menajdi kota tujuan dan transit dengan mobilitas masyarakat yang tinggi tentu
mengalami permintaan jasa pelacuran yang tinggi sehingga banyak pelacur berasal dari daerah
Sulawesi Selatan. Semenatara Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado dikenal sebagi daerah
tujuan wisata dan sektor jasa merupakan kontributor terbesar bagi perekonomian selain itu di
kota ini telah dikenal beberapa tempat yang telah menjadi tempat aktivitas pekerja seks
komersial yang tersebar di tengah-tengah kota seperti ditempat karaoke atau rumah bordil yang
banyak tersebar dijalan-jalan Sinsingamaraja dan jalan Yos Sudarso kota manado. Dengan
tersidanya tempat pelayanan jasa seks komersial dan sektor jasa yang menjadi penopang
perekonomian maka kota ini memang sangat potensial menajadi salah satu kota yang
menyediakan banyak pelacur.
Penelitian Iriana (2005) juga menunjukkan bahwa daerah ujung timur Indoenesia yakni
Provinsi Papua merupakan daerah yang memiliki daya tarik yang paling kuat dan ibu kota
Jayapura paling tinggi daya tariknya di ikuti oleh Sorong dan Merauke, sebagai daerah yang
sedang berkembang sangat banyak pendatang di daerah ini mulai dari pekerja serabutan hingga
konsultan asing. Daerah ini cukup jauh dari daerah tempat tinggal para pendatang maka mereka
terpaksa menetap dalam waktu cukup lama hal ini tentu dimanfaatkan para pebisnis hiburan seks
yang ternyata tidak hanya diminati oleh para pendatang namun juga penduduk setempat . Daerah
ini memiliki daya tarik yang kuat dan tandanya positif artinya jika terjadi perkembangan pasar
seks komersial di daerah ini maka akan mendorong terjadinya hal yang sama di tempat lain.

Daerah lain yang memiliki daya tarik yang kuat namun tandanya adalah negative yakni
kota Bekasi dan Karawang artinya jika terjadi perkembangan pelacuran diwilayah tersebut maka
akan terpusat dan tidak akan mempenagruhi daerah lainya. Kota karawang dan Bekasi yang dulu
dikenal sebgai lumbung padi Jawa Barat kini telah menjadi kota industri dan pemukiman serta
menajadi penyanggah ibu kota Indonesia yakni Jakarta. Meningkatnya jumlah penduduk karena
pemukiman yang semakin meluas serta sebagai kota industri yang mendatangkan banyak pekerja
dari luar menjadi salah satu stimulus berkembangya pelacuran didaerah ini untuk Karawang dari
18 kecamatan hanya 4 kecamatan yang tidak memiliki tempat pekerja jasa seks komersial
sementara bekasi tempat pelacuran banyak disamarkan sebagai salon, panti pijat, karaoke hingga
rumah makan namun disisi lain juga beroperasi sebagai tempat transaski jasa seks komersial.
Daerah yang memiliki daya dorong yang kuat (mengahasilkan pekerja seks komersial)
adalah jawa sebagamaimana telah dijelaskan diatas bahwa salah satu penyebabnya adalah
persoalna kemiskinan di daerah Jawa yang menurut penilitian Iriana (2005) hal ini dapat dilihat
dalam 6 indikator yaitu PDRB perkapita, jumlah penduduk, luas wilayah , jumlah PSK, angka
ketrgantungan, dan pengeluaran perkapita yang mencerminkan indikator kemiskinan memiliki
nilai determinasi yang tinggi. Selain itu persolan budaya dan lingkungan dapat pula memicu
seseorang menjadi pekeerja seks komersial mislanya untuk daerha-daerah seperti Indramayu ,
Jepara, Grobogan, Malang, Blitar dan Banyuwangi merupakan daerah dalam sejarah yang
terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersbeut
dikenal sebagai pelacur untuk daerah kota. Dan didaerah seperti Indramayu, Banyuwangi, dan
Jepara perempuan yang bekerja sebagai pelacur diterima oleh masyarakat setempat karena
keluarga yang memiliki pelacur tingkat kesejahteraanya lebih tinggi dibandingkan keluarga yang
tidak memiliki pelacur. Hal ini senada dengan apa yang di ungkapkan oleh Saptari dalam
pengantar buku Truong bahwa pelacuran di anggap sebagai kerja biasa setingkat dengan kerja
upahan lainya, seperti yang terjadi di beberapa desa di pantai utara Jawa yakni di Pati, atau
Indramayu. Dimana ibu rumah tangga maupun gadis-gadis memperoleh pendapatan dari kerja
melacur. Hal ini menandakan bahwa pandangan tentang pelacuran sangat erat terkait dengan
masalah sosial budaya yang terkontruksi secara berbeda-beda disetiap tempat dan ruang yang
berbeda karena itu memahami persolan pelacuran dari perspektif wilayah atau spasial merupakan
sudut pandang lain yang perlu dipertimbangkan ketika membicarakan soal pelacuran.

E. Penutup
Pemberian stigma atau penilaian atas pelacur bukanlah hal yang mudah karena begitu
banyak variabel yang mesti diperhatikan dimana pelacuran tidak lahir secara tunggal sebagai
dorongan seksual manusia atau akibat moralitas yang rendah namun faktor eksternal seperti
tekanan, eksploitasi, bahkan kontruksi budaya hingga kepercayaan atau juga sebagai pilihan
bebas yang dilandasi dengan rasionalitas berpikir dapat menjadi alasan kenapa seseorang
kemudian memilih pelacuran sebagi jalan hidup.
Namun ketika pelacuran dianggap sebagai bentuk eksploitasi ekonomi yang dilakukan
oleh berbagai pihak seperti para pebisnis atau pemerintah karena adanya keuntungan yang
diperoleh maka tentu pelacuran dalam pandangan seperti ini harus dipikirkan alternatif lain yang
dapat memberdayakan perempuan sehingga mereka memiliki banyak pilihan dalam menentukan
cara hidup seperti apa yang akan dilakukan bukan karena keterpaksaan dan ketidakberdayaan
sehingga mereka memilih pelacuran sebagai strategi bertahan hidup.
Pandangan tentang pelacuran mengenai baik buruknya juga tidak terlepas dari konstruksi
sejarah,dan budaya yang telah memberikan cara pandang tersendiri bagi masyarakat akan makna
pelacuran. Selain Itu pelacuran pada dasarnya penting untuk dilihat dari perspekti wilayah
dimana interaksi spatial

telah meberikan kontribusi dan alat analisis yang berbeda dalam

memandang tumbuh kembang aktifitas pelacuran disuatu daerah atau wilayah karena kita akan
dapat dengan memudah menganalisis kira-kira didaerah mana yang akan tumbuh menjadi spotspot pelacuran dengan melihat daya dorong dan daya tarik suatu sehingga mobilitas faktor antara
pelacur dan pengguna jasa pelacuran akan mudah di identifikasi.

REFERENSI

Emka M. 2002. Sex n’ the city , Jakarta Undercover. Yogyakarta (ID) : Galang Press
Emka M. 2003. Jakarta Undercover 2 : karnaval malam. Jakarta (ID) : Gagas media
Hubeis, S V A. Pemberdayaan Perempuan Dari Masa Kemasa .Bogor (ID) : IPB press
Iriana N.2005. Pola Spasial Struktur Wilayah Pasar Jasa Seks Komersial [Tesis]. Bogor (ID) :
Insitut Pertanian Bogor
Truong TD. 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan ;Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara.
Jakarta (ID) : Unit Percetakan LP3ES