Ekonomi Politik Sumatra Timur Karakteris
EKONOMI POLITIK SUMATRA TIMUR
Karakteristik, Struktur, dan Ke Arah Perubahan
SYAHRUL EFENDI DASOPANG
The Indonesian Reform Institute
REGIONAL Sumatra Timur telah lama dikenal sebagai lumbung ekonomi kolonial yang
sangat menguntungkan. Regional ini meliputi berbagai kabupaten di dalam wilayah Propinsi
Sumatra Utara yang sekarang, antara lain Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Langkat,
Binjai, Serdang Bedagai, Batubara, Tanjung Balai, Asahan, hingga Labuhan Batu dan
pecahannya. Faktor penting yang membuat regional ini strategis dan kaya, yaitu pertama,
keberadaan Selat Malaka yang berlokasi di sepanjang pantai Sumatra Timur. Selat Malaka
sudah lama menjadi tulang punggung lalu lintas perdagangan dunia yang paling sibuk dan
diperebutkan oleh berbagai kekuasaan dunia sejak dahulu kala, jauh sebelum era kolonial
masuk ke wilayah ini. Faktor kedua, yaitu pada kawasan inilah untuk pertama kalinya
diselenggarakan perkebunan tembakau secara industrial oleh Belanda yang menggandeng
perusahaan-perusahaan multinasional sehingga waktu itu kawasan ini sangat penting sebagai
daerah modal bagi operasi kolonial
Belanda. Produk tembakau dari Deli
atau yang dikenal dengan tembakau
deli sangatlah bermutu dan harum di
dunia, seharum daun tembakaunya.
Sayangnya, zaman emas tembakau deli
itu telah sirna.
Sukses mengorbitkan produk unggul
tembakau deli, secara susul menyusul
pada kawasan ini dijadikan daerah
perkebunan
karet.
Beberapa
perusahaan multinasional yang hingga
kini menjadi perusahaan raksasa dunia,
mengawali debutnya dari kawasan
Sumatra Timur, antara lain London
Sumatra dan Goodyear sekedar
mengambil contoh. Lantas menyusul
kemudian industri perkebunan kelapa
sawit. Untuk beberapa lama, Sumatra
Timur menjadi areal perkebunan sawit
paling penting di Indonesia, sebelum
Kalimantan dan Papua dijamah oleh
perusahaan-perusahaan sawit seperti
Sinar Mas dan Grup Sampoerna.
Pada saat yang sama, tambang minyak ditemukan di Pangkalan Susu, Langkat Sumatra Timur
di awal abad ke-20. Eksplorasi dan eksploitasi pun dilakukan secara besar-besaran. Di sini
pula dibangun kilang minyak yang cukup maju di zamannya.
1
Dalam catatan sejarah, banyak sekali pengusaha besar tumbuh dan mengawali kiprahnya
pada kawasan Sumatra Timur. Mulai dari yang paling awal, seperti konglomerat Chong A Fei,
sampai kemudian yang kontemporer seperti TD Pardede, Sukanto Tanoto, hingga yang
teranyar, Grup Wilmar yang merupakan salah satu kelompok konglomerat produk CPO
terbesar di dunia. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa region Sumatra Timur sejak dulu
hingga kini merupakan basis kapital dan lokus kegiatan bisinis besar skala dunia. Lalu lintas
kapital dan produk mengalir dari Sumatra Timur menuju Singapura, Hongkong, London
hingga New York, kemudian menyuplai kebutuhan manusia di seluruh dunia. Pendeknya,
Sumatra Timur telah lama terintegrasi secara massif dengan “jalur tol” kapitalisme global
sejak dari zaman kolonial.
Sejauh berdasarkan data yang tersedia, nyatanya masyarakat di kawasan multi industri besar
ini masih jauh tertinggal secara kesejahteraan dan tingkat pendidikan dibandingkan dengan
tetangga nasional mereka di Jawa. Fasilitas umum yang merupakan hak masyarakat belum
tersedia secara memadai sehingga wajarlah apabila banyak pemuda di kawasan ini merantau
mencari penghidupan yang layak di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Migrasi
tenaga kerja dengan skema TKI dan TKW juga banyak berasal dari kawasan yang kaya ini-suatu hal yang aneh dan kontradiktif.
Lantas kemanakah sebenarnya kekayaan yang dihasilkan bumi Sumatra Timur tersebut
mengalir? Dan siapakah yang menikmati secara tertutup hasil kekayaan Sumatra Timur
tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja wajar untuk terus menerus muncul di
benak masyarakat?
Karakteristik dan Struktur Ekonomi Politik
Membaca regional Sumatra Timur tidak bisa dilepaskan dari karakteristik dan struktur
ekonomi politiknya yang diwarnai oleh kolonialisme. Salah satu watak kolonialisme ialah
eksploitasi secara intensif, masyarakat dengan sekat-sekat kelas yang ekslusif dan bersifat
memeras dari atas ke bawah, kontrol budaya dengan instrumen kekerasan sehingga
melahirkan budaya kekerasan yang salah satu akibatnya ialah apatisme yang nyaris
melumpuhkan semangat kritis dan emansipasi. Sedangkan segelintir kelompok, duduk
menjadi pengontrol ekonomi dan politik tanpa bisa tersentuh oleh hukum dan rasa keadilan.
Nyatanya inilah yang berlangsung secara umum di kawasan Sumatra Timur.
Tentu masih banyak yang bisa dikemukakan dari watak masyarakat kolonial yang terwarisi
oleh masyarakat Sumatra Timur. Mengingat kawasan ini menerima pengaruh yang demikian
kuat dari kolonialisme dan kapitalisme internasional, sehingga wajarlah jika masyarakat di
kawasan ini memiliki watak dengan karakteristik yang disebut di atas.
Setelah struktur pemerintahan dikuasai oleh Republik, struktur ekonomi politik sama sekali
tidak mengalami perubahan yang berarti. Perusahaan-perusahaan raksasa, baik multinasional
maupun swasta lokal yang bersekutu modal dengan asing, ataupun BUMN-BUMN, tetaplah
memainkan pengaruh yang menentukan dalam arah dan model masyarakat Sumatra Timur.
Adalah terkenal sekali bagaimana disparitas mental dan budaya yang berlangsung pada
komponen masyarakat Sumatra Timur, yaitu apa yang dikenal dengan “masyarakat
perkebunan” dengan “masyarakat yang bukan perkebunan”. Masyarakat perkebunan
memiliki mentalitas yang khas, bersifat mekanis, tertib, hirarkis, dan berorientasi material
yang tinggi. Status mandor sekalipun di dalam masyarakat perkebunan sangat dihargai, kalau
bukan ditakuti. Apalagi setingkat kepala perkebunan. Bolehlah disebutkan, situasi mental di
2
dalam masyarakat perkebunan, penuh tekanan dan keteraturan yang perintah itu berasal dari
atas secara berjenjang. Berbeda dengan masyarakat bukan perkebunan yang cenderung bebas
dan tidak berorientasi material, sekalipun tidak dapat diseragamkan lagi sekarang.
Perbedaan yang fundamental antara masyarakat perkebunan dengan masyarakat bukan
perkebunan bahwa yang kedua memiliki dan mengandalkan tanah sebagai sumber produksi
dan sumber hidup, sedangkan yang pertama semata-mata mengandalkan tenaga yang
ditransaksikan dengan perusahaan perkebunan. Dalam perkembangannya, hubungan
emosional dengan perusahaan membentuk kebanggaan dan identitas orang-orang dari
masyarakat perkebunan tersebut.
Hakikat masyarakat perkebunan adalah masyarakat buruh yang terstruktur dan terlembagakan
oleh perusahaan. Mereka menempati perumahan secara permanen maupun yang berjangka
waktu yang disediakan sejak awal oleh perusahaan dengan maksud efesiensi. Pada umumnya
juga, isi masyarakat perkebunan tersebut didatangkan dari wilayah-wilayah yang jauh dari
lokasi perkebunan, dan yang banyak berasal langsung dari pulau Jawa. Jelas hal ini dalam
rangka memudahkan kontrol dan aturan sistem produksi.
Setelah reformasi berlangsung di Indonesia, keadaan tidak ada yang berubah secara berarti
pada kawasan Sumatra Timur. Tetaplah Sumatra Timur diperlakukan sebagai kawasan
eksploitasi dan penumpukan modal secara besar-besaran, baik dari Jakarta maupun
Singapura, Hongkong, Shanghai, Amsterdam dan New York. Yang berubah hanyalah aktoraktor pemerintah akibat sistem Pemilukada. Sedangkan struktur ekonomi politik yang
dikendalikan oleh kapital besar tetap seperti sedia kala. Imbas pertumbuhan kapital pun tidak
banyak berdampak pada pemerataan kesejahteraan masyarakat Sumatra Timur.
Ke Arah Perubahan
Melihat kenyataan ini, sudah waktunya ditinjau kembali struktur ekonomi politik Sumatra
Timur dan diusahakan perubahan ke arah struktur ekonomi politik yang lebih adil, merata dan
berimbang. Bukan rahasia lagi, nyaris semua sumber-sumber ekonomi, dari industri hingga
perdagangan dikuasai oleh golongan tertentu. Peran serta masyarakat lokal Sumatra Timur
dalam struktur kapital dan kegiatan perusahaan-perusahaan skala besar di setiap lokasi,
haruslah diakomodir dan dijadikan sebagai model transformasi ekonomi politik.
Masyarakat Sumatra Timur yanga asli sebagai pemilik sumber daya alam di lingkungan
mereka tinggal sekaligus sebagai pihak yang paling mungkin terdampak dari ekspolitasi
sumber daya alam mereka, pantas memiliki share (saham) dan berhenti menjadi penonton
atas derap laju pertumbuhan kapital di lingkungan mereka hidup dan beregenerasi. Memiliki
share 2,5 % saja dari setiap perusahaan yang beroperasi di tempat mereka tinggal adalah
pantas diberikan. Sebab, merekalah sejak awal mendiami ketimbang perusahaan tersebut.
Adapun aturan rincinya dapat dikaji dan disusun oleh legislatif dan eksekutif setempat
dengan diimbangi oleh desakan dari masyarakat setempat itu sendiri. Biasanya tanpa
desakan, perubahan akan sulit terlahir.
Inisiatif perubahan struktur ekonomi politik Sumatra Timur harus diperjuangkan setiap
lapisan masyarakat, terutama sekali golongan intelektual yang berasal dari kawasan ini.
Mereka dapat melakukan kerja-kerja pengarahan, pembimbingan dan pengorganisasian dalam
rangka mengubah struktur ekonomi politik yang tidak seimbang tersebut. Tentu saja tujuan
dari tuntutan perubahan struktur ekonomi politik Sumatra Timur tersebut adalah untuk
3
kebahagiaan, kemakmuran, kemajuan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati setiap
masyarakat secara terbuka, bukan untuk segolongan pihak secara ekslusif seperti dahulu
hingga sekarang.
4
Karakteristik, Struktur, dan Ke Arah Perubahan
SYAHRUL EFENDI DASOPANG
The Indonesian Reform Institute
REGIONAL Sumatra Timur telah lama dikenal sebagai lumbung ekonomi kolonial yang
sangat menguntungkan. Regional ini meliputi berbagai kabupaten di dalam wilayah Propinsi
Sumatra Utara yang sekarang, antara lain Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Langkat,
Binjai, Serdang Bedagai, Batubara, Tanjung Balai, Asahan, hingga Labuhan Batu dan
pecahannya. Faktor penting yang membuat regional ini strategis dan kaya, yaitu pertama,
keberadaan Selat Malaka yang berlokasi di sepanjang pantai Sumatra Timur. Selat Malaka
sudah lama menjadi tulang punggung lalu lintas perdagangan dunia yang paling sibuk dan
diperebutkan oleh berbagai kekuasaan dunia sejak dahulu kala, jauh sebelum era kolonial
masuk ke wilayah ini. Faktor kedua, yaitu pada kawasan inilah untuk pertama kalinya
diselenggarakan perkebunan tembakau secara industrial oleh Belanda yang menggandeng
perusahaan-perusahaan multinasional sehingga waktu itu kawasan ini sangat penting sebagai
daerah modal bagi operasi kolonial
Belanda. Produk tembakau dari Deli
atau yang dikenal dengan tembakau
deli sangatlah bermutu dan harum di
dunia, seharum daun tembakaunya.
Sayangnya, zaman emas tembakau deli
itu telah sirna.
Sukses mengorbitkan produk unggul
tembakau deli, secara susul menyusul
pada kawasan ini dijadikan daerah
perkebunan
karet.
Beberapa
perusahaan multinasional yang hingga
kini menjadi perusahaan raksasa dunia,
mengawali debutnya dari kawasan
Sumatra Timur, antara lain London
Sumatra dan Goodyear sekedar
mengambil contoh. Lantas menyusul
kemudian industri perkebunan kelapa
sawit. Untuk beberapa lama, Sumatra
Timur menjadi areal perkebunan sawit
paling penting di Indonesia, sebelum
Kalimantan dan Papua dijamah oleh
perusahaan-perusahaan sawit seperti
Sinar Mas dan Grup Sampoerna.
Pada saat yang sama, tambang minyak ditemukan di Pangkalan Susu, Langkat Sumatra Timur
di awal abad ke-20. Eksplorasi dan eksploitasi pun dilakukan secara besar-besaran. Di sini
pula dibangun kilang minyak yang cukup maju di zamannya.
1
Dalam catatan sejarah, banyak sekali pengusaha besar tumbuh dan mengawali kiprahnya
pada kawasan Sumatra Timur. Mulai dari yang paling awal, seperti konglomerat Chong A Fei,
sampai kemudian yang kontemporer seperti TD Pardede, Sukanto Tanoto, hingga yang
teranyar, Grup Wilmar yang merupakan salah satu kelompok konglomerat produk CPO
terbesar di dunia. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa region Sumatra Timur sejak dulu
hingga kini merupakan basis kapital dan lokus kegiatan bisinis besar skala dunia. Lalu lintas
kapital dan produk mengalir dari Sumatra Timur menuju Singapura, Hongkong, London
hingga New York, kemudian menyuplai kebutuhan manusia di seluruh dunia. Pendeknya,
Sumatra Timur telah lama terintegrasi secara massif dengan “jalur tol” kapitalisme global
sejak dari zaman kolonial.
Sejauh berdasarkan data yang tersedia, nyatanya masyarakat di kawasan multi industri besar
ini masih jauh tertinggal secara kesejahteraan dan tingkat pendidikan dibandingkan dengan
tetangga nasional mereka di Jawa. Fasilitas umum yang merupakan hak masyarakat belum
tersedia secara memadai sehingga wajarlah apabila banyak pemuda di kawasan ini merantau
mencari penghidupan yang layak di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Migrasi
tenaga kerja dengan skema TKI dan TKW juga banyak berasal dari kawasan yang kaya ini-suatu hal yang aneh dan kontradiktif.
Lantas kemanakah sebenarnya kekayaan yang dihasilkan bumi Sumatra Timur tersebut
mengalir? Dan siapakah yang menikmati secara tertutup hasil kekayaan Sumatra Timur
tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja wajar untuk terus menerus muncul di
benak masyarakat?
Karakteristik dan Struktur Ekonomi Politik
Membaca regional Sumatra Timur tidak bisa dilepaskan dari karakteristik dan struktur
ekonomi politiknya yang diwarnai oleh kolonialisme. Salah satu watak kolonialisme ialah
eksploitasi secara intensif, masyarakat dengan sekat-sekat kelas yang ekslusif dan bersifat
memeras dari atas ke bawah, kontrol budaya dengan instrumen kekerasan sehingga
melahirkan budaya kekerasan yang salah satu akibatnya ialah apatisme yang nyaris
melumpuhkan semangat kritis dan emansipasi. Sedangkan segelintir kelompok, duduk
menjadi pengontrol ekonomi dan politik tanpa bisa tersentuh oleh hukum dan rasa keadilan.
Nyatanya inilah yang berlangsung secara umum di kawasan Sumatra Timur.
Tentu masih banyak yang bisa dikemukakan dari watak masyarakat kolonial yang terwarisi
oleh masyarakat Sumatra Timur. Mengingat kawasan ini menerima pengaruh yang demikian
kuat dari kolonialisme dan kapitalisme internasional, sehingga wajarlah jika masyarakat di
kawasan ini memiliki watak dengan karakteristik yang disebut di atas.
Setelah struktur pemerintahan dikuasai oleh Republik, struktur ekonomi politik sama sekali
tidak mengalami perubahan yang berarti. Perusahaan-perusahaan raksasa, baik multinasional
maupun swasta lokal yang bersekutu modal dengan asing, ataupun BUMN-BUMN, tetaplah
memainkan pengaruh yang menentukan dalam arah dan model masyarakat Sumatra Timur.
Adalah terkenal sekali bagaimana disparitas mental dan budaya yang berlangsung pada
komponen masyarakat Sumatra Timur, yaitu apa yang dikenal dengan “masyarakat
perkebunan” dengan “masyarakat yang bukan perkebunan”. Masyarakat perkebunan
memiliki mentalitas yang khas, bersifat mekanis, tertib, hirarkis, dan berorientasi material
yang tinggi. Status mandor sekalipun di dalam masyarakat perkebunan sangat dihargai, kalau
bukan ditakuti. Apalagi setingkat kepala perkebunan. Bolehlah disebutkan, situasi mental di
2
dalam masyarakat perkebunan, penuh tekanan dan keteraturan yang perintah itu berasal dari
atas secara berjenjang. Berbeda dengan masyarakat bukan perkebunan yang cenderung bebas
dan tidak berorientasi material, sekalipun tidak dapat diseragamkan lagi sekarang.
Perbedaan yang fundamental antara masyarakat perkebunan dengan masyarakat bukan
perkebunan bahwa yang kedua memiliki dan mengandalkan tanah sebagai sumber produksi
dan sumber hidup, sedangkan yang pertama semata-mata mengandalkan tenaga yang
ditransaksikan dengan perusahaan perkebunan. Dalam perkembangannya, hubungan
emosional dengan perusahaan membentuk kebanggaan dan identitas orang-orang dari
masyarakat perkebunan tersebut.
Hakikat masyarakat perkebunan adalah masyarakat buruh yang terstruktur dan terlembagakan
oleh perusahaan. Mereka menempati perumahan secara permanen maupun yang berjangka
waktu yang disediakan sejak awal oleh perusahaan dengan maksud efesiensi. Pada umumnya
juga, isi masyarakat perkebunan tersebut didatangkan dari wilayah-wilayah yang jauh dari
lokasi perkebunan, dan yang banyak berasal langsung dari pulau Jawa. Jelas hal ini dalam
rangka memudahkan kontrol dan aturan sistem produksi.
Setelah reformasi berlangsung di Indonesia, keadaan tidak ada yang berubah secara berarti
pada kawasan Sumatra Timur. Tetaplah Sumatra Timur diperlakukan sebagai kawasan
eksploitasi dan penumpukan modal secara besar-besaran, baik dari Jakarta maupun
Singapura, Hongkong, Shanghai, Amsterdam dan New York. Yang berubah hanyalah aktoraktor pemerintah akibat sistem Pemilukada. Sedangkan struktur ekonomi politik yang
dikendalikan oleh kapital besar tetap seperti sedia kala. Imbas pertumbuhan kapital pun tidak
banyak berdampak pada pemerataan kesejahteraan masyarakat Sumatra Timur.
Ke Arah Perubahan
Melihat kenyataan ini, sudah waktunya ditinjau kembali struktur ekonomi politik Sumatra
Timur dan diusahakan perubahan ke arah struktur ekonomi politik yang lebih adil, merata dan
berimbang. Bukan rahasia lagi, nyaris semua sumber-sumber ekonomi, dari industri hingga
perdagangan dikuasai oleh golongan tertentu. Peran serta masyarakat lokal Sumatra Timur
dalam struktur kapital dan kegiatan perusahaan-perusahaan skala besar di setiap lokasi,
haruslah diakomodir dan dijadikan sebagai model transformasi ekonomi politik.
Masyarakat Sumatra Timur yanga asli sebagai pemilik sumber daya alam di lingkungan
mereka tinggal sekaligus sebagai pihak yang paling mungkin terdampak dari ekspolitasi
sumber daya alam mereka, pantas memiliki share (saham) dan berhenti menjadi penonton
atas derap laju pertumbuhan kapital di lingkungan mereka hidup dan beregenerasi. Memiliki
share 2,5 % saja dari setiap perusahaan yang beroperasi di tempat mereka tinggal adalah
pantas diberikan. Sebab, merekalah sejak awal mendiami ketimbang perusahaan tersebut.
Adapun aturan rincinya dapat dikaji dan disusun oleh legislatif dan eksekutif setempat
dengan diimbangi oleh desakan dari masyarakat setempat itu sendiri. Biasanya tanpa
desakan, perubahan akan sulit terlahir.
Inisiatif perubahan struktur ekonomi politik Sumatra Timur harus diperjuangkan setiap
lapisan masyarakat, terutama sekali golongan intelektual yang berasal dari kawasan ini.
Mereka dapat melakukan kerja-kerja pengarahan, pembimbingan dan pengorganisasian dalam
rangka mengubah struktur ekonomi politik yang tidak seimbang tersebut. Tentu saja tujuan
dari tuntutan perubahan struktur ekonomi politik Sumatra Timur tersebut adalah untuk
3
kebahagiaan, kemakmuran, kemajuan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati setiap
masyarakat secara terbuka, bukan untuk segolongan pihak secara ekslusif seperti dahulu
hingga sekarang.
4