Pemberian Insentif Pajak dalam Menarik

“Pemberian Insentif Pajak dalam Menarik Investasi dalam Paket
Kebijakan Ekonomi Indonesia”: Perdebatan Pro dan Kontra
Maria R.U.D. Tambunan1
1. Pendahuluan
Dalam kondisi perekonomian yang tengah mengalami penurunan, pemerintah terus
berupaya mendorong agar investor tetap “tinggal” dan menjalankan usahanya di Indonesia.
Upaya penarikan investor untuk melakukan investasi langsung juga kian gencarnya. Berbagai
paket kebijakan telah dikeluarkan yang diharapkan mampu menahan pemilik modal serta
mempermudah kegiatan usaha pengusaha local serta pengusaha asing. Dalam berbagai paket
kebijakan ekonomi tersebut, instrument pajak sepertinya sangat melekat didalamnya.
Instrumen pajak sebagai pelumas kegiatan usaha bukan tidak sering dibahas dalam berbagai
forum. Tentunya pro dan kontra akan terus terlontar. Artikel ini akan membahas mengenai
bentuk-bentuk umum insentif pajak, bentuk insentif pajak di Indonesia dalam paket kebijakan
ekonomi serta pro dan kontra yang umumnya dibahas dalam berbagai diskusi. Namun, pada
akhirnya pro dan kontr tersebut selayaknya tidak hanya berakhir pada tataran perdebatan,
namun bagaimana memaksimalkan kebijakan yang telah diambil dengan merefleksikan
dengan pro kontra tersebut.

2. Bentuk Umum Insentif Pajak untuk Mendorong Investasi
Klemm (2009) mendefiniskan insentif pajak sebagai suatu perlakuan pajak yang
memberikan kemudahan atas suatu kegiatan usaha tertentu berbeda dengan lainnya.

Sementara, McGuire mendefinisikan insentif pajak sebagai pemberian tariff pajak yang lebih
rendah dibandingkan dengan manfaat marginal dari barang dan jasa publik yang diberikan
kepada perusahaan. McGuire (2007) menekankan bahwa tujuan utama diberikannya insentif
pajak atau keringanan pajak terutama kepada entitas usaha yang baru berdiri adalah agar
kegiatan usaha yang baru tersebut dapat meningkatkan produktivitasnya untuk saat ini serta
masa mendatang.
Dalam implementasinya, United Nations Conference on Trade and Developent
mengklasifikasikan bentuk-bentuk insetif dapat berupa2:
1

Pengurus Harian dan Tim Peneliti Tax Centre Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia. Dapat dikontak melalui email: maria.tambunan16@gmail.com, atau
maria.tambunan@ui.ac.id
2
Informasi ini disarikan dari disertasi Milla Sepliana Setyowati berjudul Fenomena Persaingan Pajak antar
Negara-negara Anggota ASEAN

a. Reduced corporate income tax rate; pengurangan tarif PPh Badan lebih rendah dari tarif
yang berlaku umum.
b. Loss carry forward; pengakuan kerugian hingga beberapa tahun berikutnya. Pada

umumnya hanya kerugian diakui dalam batasan tertentu.
c. Tax holiday, pembebasan dari kewajiban membayar pajak untuk jangka waktu tertentu
Tax holiday menghilangkan pajak atas pendapatan bersih proyek investasi selama periode

tertentu, yang diberikan untuk mendorong investasi. Pada saat yang sama, tax holiday
tidak memperbolehkan pengurang pajak (tax deduction) tertentu – seperti beban
penyusutan dan bunga– selama periode tax holiday untuk mengimbangi efek stimulatif.
Tax holiday dipandang sebagai insentif yang sederhana dengan beban kepatuhan yang

relatif rendah, yaitu tidak perlu menghitung pajak penghasilan selama periode tax
holiday. Aspek ini dapat membuat bentuk insentif menjadi menarik, terutama di negara-

negara yang sedang membangun sistem pajak penghasilan badan.
d. Investment allowance, pengurang penghasilan kena pajak berdasarkan beberapa
persentase investasi baru. Insentif ini cenderung digunakan untuk menurunkan nilai
efektif perolehan modal. Baik investment allowance maupun kredit pajak investasi
diberikan dalam bentuk persentase tertentu pada investasi yang memenuhi syarat. Oleh
karena dikurangkan dari dasar pengenaan pajak, maka nilai investment allowance
terhadap perusahaan tergantung pada nilai tarif pajak badan yang berlaku. Semakin tinggi
(rendah) tarif pajak, maka semakin tinggi (rendah) nilai tax relief atas perangsang

investasi. Dengan penyusutan yang dipercepat, perusahaan diperkenankan menghapus
biaya modal dalam periode yang lebih singkat daripada masa manfaat yang telah
ditentukan, yang umumnya menjadi dasar penyusutan biaya modal. Perlakuan ini tidak
mengubah jumlah total biaya modal yang akan disusutkan, namun meningkatkan present
value dengan menggeser pembebanan mendekati saat investasi dilakukan. Present value

tentunya semakin besar bila seluruh biaya pembelian aktiva dapat dikurangkan pada
tahun terjadinya pengeluaran. Dengan enhanced deduction, perusahaan diperkenankan
mengklaim pemotongan biaya modal yang nilainya beberapa kali dari biaya aktual,
misalnya satu setengah atau dua kalinya. Nilai investment allowance bagi perusahaan
akan berbeda tergantung pada waktu investment allowance tersebut diklaim.
e. Investment Tax Credit, Kredit pajak investasi dapat berbentuk tetap (flat) atau pertingkat
(incremental). Flat investment tax credit diperoleh melalui persentase pengeluaran
investasi yang tetap yang terjadi selama satu tahun pada modal yang memenuhi syarat.
Sebaliknya, incremental investment tax credit diperoleh melalui persentase tetap dari

pengeluaran investasi dalam satu tahun yang merupakan kelebihan dasar pengenaan
pajak, biasanya berdasarkan dasar pengenaan rata-rata (misalnya rata-rata pengeluaran
investasi oleh wajib pajak selama tiga tahun sebelumnya). Maksud dibalik inceremental
investment tax credit adalah untuk meningkatkan pengeluaran tambahan, yang tidak akan


terjadi bila tidak adanya keringanan pajak.
f. Deductions for qualifying expenses, pengurangan beban pajak melalui pengakuan biaya
seharusnya sepanjang memenuhi jenis beban tersebut syarat untuk tujuan pajak.
Misalnya, diperbolehkannya pengurangan ganda atas beban pelatihan, beban riset dan
pengembangan, atau biaya pemasaran ekspor. Jenis insentif ini dipertimbangkan sebagai
langkah untuk mendorong terjadinya alih teknologi.
g. Tax reductions/credits for foreign hard currency earnings, Salah satu alasan negaranegara berkembang meningkatkan ekspor adalah untuk mendapatkan pendapatan dalam
bentuk mata uang asing yang memiliki nilai yang kuat (hard currency). Pemberian
pengurang atau kredit pajak atas pendapatan dalam bentuk hard currency ini tidak hanya
berlaku pada ekspor barang, namun juga terjadi pada sektor jasa (seperti perhotelan dan
pariwisata).
h. Zero or reduced tariffs, Pemerintah dapat memberikan dua jenis insentif tarif. Di satu sisi,
dapat mengurangi atau menghapuskan tarif pada peralatan modal impor dan suku cadang
untuk beberapa proyek investasi tertentu. Hal ini memiliki efek mengurangi biaya
investasi. Di sisi lain, pemerintah dapat meningkatkan tarif pada produk akhir investor
untuk melindungi pasar domestik dari persaingan impor. Insentif ini umumnya diberikan
atas Pajak Pertambahan Nilai.

3. Insentif Pajak dalam Paket Ekonomi Indonesia

Pemberian insentif pajak bukanlah hal yang baru dalam sistem perpajakan di
Indonesia. Bahkan, jika disebut overlapping, ketentuan insentif pajak dalam yang sering
dikenal dengan tax holiday diatur dalam UU Penanaman Modal. Secara ringkas, sebaran
insentif pajak ada dalam ketentuan berikut: (i) tax holiday dalam UU Penanaman Modal (ii)
tax allowance dalam UU PPh dan dalam Peraturan Pemerintah No.1/2007 jo. Peraturan

Pemerintah No. 18/2015 (iii) Fasilitas PPh bagi badan usaha yang tergolong UMKM (iv)
Fasilitas pajak bagi perusahaan yang go public (v) Fasilitas PPN bagi barang strategis seperti
yang diatur dalam UU PPN (iv) Fasilitas bagi kegiatan pendidikan, beasiswa.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa berbagai insentif pajak juga menjadi
salah satu instrument dalam berbagai-bagai paket kebijakan pemerintah yang memang
ditujukan sebagai pemicu peningkatakan produktivitas kegiatan usaha. Adapun fasilitas pajak
yang dikeluarkan dalam Paket Kebijakan Pemerintah3:


Peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp. 24,3 juta menjadi
Rp. 36 juta efektif sejak Januari 2015 melalui Peraturan Menteri Keuangan No.
122/PMK.010/2015. Adanya ketentuan ini diharapkan akan menambah daya beli dari




seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi.
Penyederhanaan proses pemberian fasilitas tax allowance seperti yang diatur dalam
PP No.18/2015 yang menambah sektor industri yang akan diberikan fasilitas tax
allowance. Penyederhanaan proses pemberian fasilitas tax holiday seperti yang diatur

dalam PP No. 56/2015, didalamnya termasuk perluasan menjadi 9 sektor termasuk
sektor infrastruktur. Selain itu, diberikan tambahan waktu pemberian fasilitas sampai


20 tahun.
Pengenaan PPnBM hanya kepada produk mewah seperti rumah, kendaraan, pesawat
dan senjata api. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan membeli
masyarakat sehingga dapat meningkatkan demand atas produk ini. Demand yang



tinggi diharapkan mampu mendorong peningkatan supply.
Insentif PPN tidak dipungut atas alat angkut tertentu serta suku cadangnya sehingga

menurunkan biaya transportasi/logistik dalam negeri. Dalam insentif ini termasuk
didalamnya impor dan penyediaan alat angkut air dan suku cadangnya, kereta api, alat
angkut sungati, pesawat terbang dan suku cadang serta jasa galangan kapal sesuai



dengan Peraturan Pemerintah No. 69/2015.
Pembentukan pusat logistik berikat, hal ini diharapkan dalam mewujudkan
pembangunan fasilitas industri yang efisien dan lebih dekat dengan kegiatan ekonomi



sehingga biaya logistik berkurang.
Menurunkan biaya transportasi barang dengan mengeluarkan peraturan pemerintah
mengenai perlakuan PPN atas penyerahan jasa kepelabuhanan tertentu kepada
perusahaan angkutan laut yang melakukan kegiatan angkutan laut luar negeri.

3

Uraian ini disadur dari Pemaparan Materi Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara

dalam Seminar Nasional Indonesia Fiscal/Tax Administration Association di Hotel Menara Peninsula Pada 3
Maret 2016.



Mendorong ketersediaan barang yang bersifat strategis untuk menurunkan biaya
produksi emas batangan dan mendorong produsen melakukan proses lebih lanjut di



dalam negeri.
Perbaikan peraturan untuk mendorong kegiatan ekonomi di Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK). KEK nantinya akan mendapatkan insentif yang lebih besar. Fasilitas
tax holiday dapat diberikan sampai jangka waktu 25 tahun. Selain itu, fasilitas bea



masuk dapat diberikan fasilitas layaknya kesepakatan Free Trade Agreement.




pengembangan industri yang diberikan secara gradasi.

Pemberian insentif untuk Kawasan Industri. Insentif ini diberikan untuk wilayah

Pemberian insentif untuk menahan Devisa Hasil Ekspor (DHE) tetap di dalam negeri.
Insentif ini diberikan dengan mengurangi pajak atas bunga deposito atas DHE yang
dimasukkan ke dalam deposito dengan jangka waktu minimum 1 bulan. Untuk
deposito hasil DHE yang ditempatkan diatas 6 bulan diberikan pembebasan total atas



pajak atas bunga deposito jika ditempatkan dalam mata uang rupiah.



tetap ditahun 2015 akan diberikan insentif tariff pajak dari awalnya 10% menjadi 5%.

Insentif untuk revaluasi asset tetap. Bagi perusahaan yang melakukan revaluasi aktiva


Revisi KITE untuk mendukung industri kecil dan menengah. Revisi Peraturan
Menteri Keuangan No. 176/2013 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 177/2013
tentang Pembebasan dan Pengembalian KITE untuk mendukung industri kecil dan
menengah.

Hingga saat ini, beberapa kawasan ekonomi yang semakin dioptimalkan fungsinya dalam
meningkatkan kegiatan ekonomi berbagai sektor industri sebagai berikut:
Tabel 1
Perkembangan Kawasan Ekonomi di Indonesia
Bentuk Kawasan
Kawasan berikat

Dasar hukum
Tujuan
PP No. 33/1996, jo. PP Kawasan dengan batas tertentu untuk
No. 32/2009
pengolahan barang asal impor dan
DPIL yang hasilnya untuk tujuan
ekspor
Kawasan industri

Keppres No. 41/1996, jo. Kawasan Industri (KI) yang dikelola
PP No. 24/2009
oleh perusahaan di kawasan industri
Kawasan
PP No. 26/2007
Kawasan yang memiliki potensi untuk
Pengembangan
lebih cepat bertumbuh dari daerah
Ekonomi (KAPET)
lainnya karena memiliki sektor
unggulan dan potensi pengembalian
investasi besar
Kawasan Perdagangan UU No. 37/2000 jo. PP Kawasan dengan batas tertentu yang

Bebas dan Pelabuhan No. 46,47,48 tahun 2008
Bebas (KPBPB)

terpisah dari daerah pabean sehingga
terbatas dari bea masuk, PPN, PPnBM
dan cukai
Kawasan
Ekonomi UU No. 39/2009, Perpres Kawasan dengan batas tertentu dalam
Khusus (KEK)
No.33/2010. Kepres No. wilayah
NKRI
untuk
8/2010
menyelenggarakan
fungsi
perekonomian yang bersifat khusus
dan memperoleh fasilitas tertentu.
Sumber: Yesuari Ayu Prima, Kemenko Perekonomian, 2010

4. Pro dan Kontra Pemberian Insentif Pajak
Sebagaian besar insentif ditujukan kepada investasi langsung (direct investment)
daripada investasi portofolio (indirect investment). Insentif dapat disediakan kepada investor
asing dengan alasan terdapat ketidakcukupan modal dalam negeri untuk peningkatan
pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan pada titik tertentu. Selain itu, investasi
asing dianggap membawa serta berbagai teknologi modern dan teknik manajemen, bisnis dan
perdagangan, termasuk akses pada perdagangan internasional. Sementara itu, negara yang
memerlukan investasi menyediakan kemudahan pajak berdasarkan berbagai pertimbangan.
Bagi negara transisi, insentif dianggap sebagai penyeimbang/pendulum disinsentif
investasi yang melekat pada sistem pajak secara umum. Selain itu, insentif dianggap dapat
mengimbangi ketidaknyamanan situasi yang dihadapi investor seperti kekurangan dan
rendahnya kualitas infrastruktur, peraturan perundang-undangan yang komplikatif dan
ketinggalan zaman, kompleksitas dan inefisiensi serta kelemahan birokrasi.
Masyarakat pengamat dan pengusaha yang mendukung pemberian insentif selalu
berpendapat bahwa insentif pajak dapat mendorong investasi. Disamping mampu
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan multiplier effect, investasi diyakini dapat
memberikan spillover effect pada ekonomi nasional. Selanjutnya, bagi pendukung pemikiran
ini menyebutkan bahwa dalam sistem liberalisasi mobilitas arus modal global, jika suatu
negara tidak mengimbangi insentif pajak yang tersedia di negara sekawasan, akan terjadi
pelarian modal (capital flight) dari satu jurisdiksi ke jurisdiksi lain yang memberikan
keuntungan maksimum setelah pajak (after tax return).
Beberapa penelitian di negara berkembang dan di negara transisi, insentif pajak hanya
merupakan sebagian dari berbagai faktor pertimbangan investasi. Argumentasi mengenai hal
ini adalah bahwa keringanan beban pajak sendiri tidak dapat mengatasi permasalahan
fundamental yang dihadapi ketika berinvestasi, terutama faktor selain pajak seperti

ketersediaan infrastruktur, birokrasi, budaya kerja dan kualitas tenaga kerja, ketersediaan
bahan baku dan potensi pasar.
Namun, pendapat lain misalnya Alex Easson dan Eric Zolt (2004) yang kerap
mempublikasikan mengenai sistem perpajakan di negara berkembang menyebutkan bahwa,
“tax incentives, particularly for foreign direct investment are both bad in theory and in
practice. Tax incentives are both bad in theory because they distort investment decision then
tax incentives are bad in practice because they are often ineffective, inefficient and prone to
abuse corruption”. Pendapat yang demikian mengatakan pada dasarnya insentif pajak

bukanlah pilihan yang tepat.
Di berbagai negara maju, pemberian insentif dengan menggunakan instrument pajak
pada umumnya digunakan untuk mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan dimana
atas biaya penelitian tersebut nantinya akan diperlakukan sebagai bentuk dari insentif dari
pemerintah dengan berbagai bentuk (Hadari, 1990; Holland and Van, 1996). Sudut pandang
terhadap kebijakan insentif pajak berbeda dengan pemerintah di negara berkembang.
Pemerintah di negara berkembang menambah bobot dari pemberian insentif fiskal sebagai
upaya untuk menarik investasi asing terutama investasi langsung ke dalam negerinya serta
menjadi bentuk pendorong bagi pengusaha local untuk meningkatkan kegiatan usahanya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa dari sisi investor, pada dasarnya akan melakukan
investasi jika telah benar-benar memahami kondisi negara yang akan menjadi lokasi tujuan
investasi. Ketika pemerintah menyediakan insentif, hal itu semata-mata hanya sebuah reward
atas kegiatan investasi dimana tanpa ketersediaan insentif sekalipun, investor akan tetap
melakukan investasi (Halkyard, 2010).
Mengutip tulisan Gunadi (2013, 498) mengenai mengenai pro dan kontra pemberian
insentif pajak, disebutkan bahwa pada dasarnya sebagian besar investor berpendapat bahwa
sistem pajak yang teradministrasi baik dengan tariff rendah dan memiliki kepastian serta
sederhana lebih didambakan daripada insentif pajak. Pada dasarnya terdapat 2 hal pentng
mengenai insentif yang perlu diketahui, yaitu (i) electricity theory, yaitu insentif pajak
sebagai magnet yang kuat dalam menarik investasi jika (ii) pull & push theory terpenuhi,
yaitu jika besaran pasar, ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia, stabilitas
politik merupakan hal yang berjalan dengan baik, maka insentif pajak dianggap sebagai daya
dorong investasi. Dengan demikian, insentif pajak dapat dikatakan sebagai sebuah daya tarik
jika suatu prekondisi dasar sebagai “sarana” untuk investasi telah terpenuhi.
Halkyard (2010) menjelaskan beberapa pertimbangan yang sering diambil pembuat
kebijakan di negara berkembang mengapa selalu menggunakan insentif pajak sebagai

instrument (i) pemerintah berada dalam tekanan untuk selalu memberikan insentif karena
dengan memberikan insentif menggambarkan bahwa pemerintah

berupaya

untuk

menciptakan iklim yang ramah terhadap investor (ii) pemerintah seringkali tidak dapat tidak
memberikan insentif oleh desakan investor memang yang telah berinvestasi di daerahnya (iii)
insentif pajak merupakan instrument yang paling memungkinkan untuk diberikan dalam
menarik investasi dari minimnya pilihan dan kemungkinan instrument lain yang dapat
ditawarkan.

5. Penutup
Hingga saat ini permasalahan apakah pemerintah khususnya di negara berkembang
sebaiknya masih harus memberikan insentif pajak untuk menarik investasi masih terus
menjadi perdebatan. Namun, pada praktiknya instrument insentif fiskal masih menjadi pilihan
favorit pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia terlepas dari pro dan kontra tersebut.
Pemberian insentif pajak melalui paket kebijakan ekonomi yang telah bergulir akan lebih
baik dan memberikan kebermanfaatan tidak hanya bagi pelaku usaha tetapi bagi masyarakat
secara umum jika pemberiannya dilakukan dengan mudah namun dengan pengawasan yang
baik.

6. Referensi
Easson Alex (2004), Tax Incentives for Foreign Direct Investment, The Netherland: Kluwer
Law International.
Gunadi (2013), Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, Jakarta: MUC Consulting Group.
Bhakti Astera Primanto, Tax Incentives, Materi Diskusi Pemaparan Materi Staf Ahli Menteri
Keuangan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara dalam Seminar Nasional Indonesia
Fiscal/Tax Administration Association di Hotel Menara Peninsula Pada 3 Maret 2016.
Hadari Yitzak, (1990), The Role of Tax Incentives in Attracting Foreign Direct Investment in
Selected Developing Countries and the Desirable Policy, United States of America,
The International Lawyer Vol. 24 No. 1
Halyard Andrew and Linghui Ren, (2010), China’s Tax Incentives Regime for Foreign Direct
Investment: An Eassonian Analysis, Canada: University of Toronto Press
Incorporated.
Holland David, Vann Richard, (1998), Income Tax Incentives for Investment, Tax Law
Design and Drafting, International Monetary Fund.
McLure, (2001), Globalization, Tax Rules and National Sovereignty, International Taxation
Bulletin, International Bureau Fiscal Documentation.

McLure, (2001), Globalization, Tax Rules and National Sovereignty, International Taxation
Bulletin, International Bureau Fiscal Documentation.
UNCTAD (2000) (United Nations Conference on Trade and Development) Tax Incentives
and Foreign Investment: A Global Survey ASIT Advisory Studies No.16 New York
and Geneva: UNCTAD.