Kembali ke halaman sebelumnya Download d

Kembali ke halaman sebelumnya
dokumen

Download dokumen

Cetak

EDISI SEPTEMBER - OKTOBER 2010
KATEGORI WACANA
STRATEGI PENGEMBANGAN DAN MANAJEMEN KAWASAN CEPAT TUMBUH

Bambang Tata Samiadji (Konsultan Keuangan Publik )

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN MANAJEMEN KAWASAN CEPAT TUMBUH

Oleh:
Bambang Tata Samiadji*

Konsultan Keuangan Publik. Sekarang bekerja di Kementerian
Keuangan untuk kegiatan Local Government Finance and Governance
Reform – ADB/Kemenkeu


Sudah menjadi fenomena umum bahwa pertumbuhan kawasan tidak ada
yang sama atau merata. Pertumbuhan kawasan selalu menunjukkan
adanya corak di mana lokasi-lokasi tertentu tumbuh cepat, tumbuh secara
pelan, tumbuh sangat lambat atau stagnan, dan malah ada yang
cenderung merosot atau “deterioration”. Walaupun corak pertumbuhan
kawasan-kawasan itu berbeda-beda, namun saling berkaitan dan bermitra
secara keruangan (spatial interaction).Untuk ini patut diduga bahwa
masing-masing kawasan saling menarik (pull) dan mendorong (push) satu
sama lain. Pada gilirannya, kawasan yang memiliki keunggulan akan
menjadi kawasan yang lebih cepat tumbuh dibanding kawasan-kawasan
mitranya. Di sinilah perlunya strategi untuk tetap menjaga posisioning
pertumbuhan kawasan-kawasan yang cepat tumbuh agar tetap tumbuh
dalam hubungan ruang yang komplementer dengan kawasan-kawasan
lainnya.Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) selalu berbasis ekonomi dan kota

merupakan simpul basis ekonomi atau kutub (bagian penting) bagi KCT.
Sejauh ini belum ada KCT tanpa atribut kota di dalamnya. Dengan
demikian kota menjadi tumpuan bagi berlangsungnya KCT. Namun
demikian tidak semua kota menjadi simpul pertumbuhan kawasan, dan

kiranya hanya beberapa simpul atau kota-kota tertentu yang mampu
me-“leverage” pertumbuhan KCT.Pada umumnya kota demikian itu
mempunyai 2 keunggulan, yaitu “Comparative Advantages” atau
keunggulan alamiah - utamanya keunggulan lokasi (yang strategis); dan
“Competitive Advantages” atau keunggulan buatan yang diciptakan.
Terbukti sejauh ini bahwa Kawasan Metropolitan sebagai KCT mempunyai
keunggulan lokasi dan keunggulan kelengkapan prasarana yang
mendorong semakin cepatnya tumbuh suatu kawasan.

Potensi Kawasan Cepat Tumbuh (KCT)

Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) mudah dikenali dengan indikator
pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih tinggi bahkan di atas
pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional. Kalau pertumbuhan ekonomi
rata-rata nasional sekitar 5-7% pertahun, maka KCT diperkirakan bisa
tumbuh lebih dari 7% pertahun, atau bisa sekitar 9% pertahun bersama
dengan pertumbuhan ekonomi kota-kotanya bisa sampai 11% pertahun[1]
. Kawasan-kawasan ini umumnya membentuk struktur Metropolitan yang
kita kenal selama ini seperti : Metropolitan Jakarta, Metropolitan Bandung,
Metropolitan Surabaya, Metropolitan Medan, dan Metropolitan Makasar

serta beberapa metropolitan lainnya. Umumnya KCT-KCT tersebut berada
di Jawa yang memang sudah sejak lama sudah tumbuh cepat. Namun
belakangan juga telah muncul KCT-KCT baru di Luar Jawa seperti KCT
Batam, KCT Samarinda-Balikpapan, dan KCT Banjarmasin. Ada
kemungkinan kawasan-kawasan lain di Luar Jawa pada masa
mendatang menjadi KCT-KCT baru yang kompetitif. Perkembangan ini akan
tergantung pada pengungkitan (Leveraging) “Comparative Advantages”
dan “Competitive Advantages” dari kota-kota bersangkutan.

Sebagai basis dan simpul kegiatan ekonomi, KCT dengan kota-kota
utamanya mempunyai peran penting bagi perekonomian negara antara
lain [2]. Antara lain sekitar 14 KCT metropolitan, atau hanya sekitar 3%
dari seluruh kota-kota di Indonesia telah mampu menyumbang sekitar
30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Selain itu, KCT
Metropolitan juga mempunyai peranan penting sebagai sumber
penerimaan fiskal nasional (APBN). Seperti diketahui bahwa 80% dari
APBN berasal dari pajak dan sekitar 70% berasal pajak badan, pajak
pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya bersumber di perkotaan.
Diperkirakan 50% dari APBN disumbang oleh ke-14 KCT-KCT
Metropolitan. Berdasarkan kenyataan di atas, KCT merupakan kunci atau

andalan keekonomian nasional dan oleh karenanya KCT-KCT harus terus
ditumbuhkan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Ekonomi nasional
yang kuat akan menjamin kestabilan politik dan memberi kesempatan
bagi tumbuhnya sektor lain yang pada gilirannya pula mampu
mengangkat kesejahteraan sosial bersama. Hal ini sesuai dengan visi
Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang Nasional
(RPJP-N)
demi tercapainya
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkualitas
dan
bersinambungan sehingga pendapatan perkapita nasional setara dengan
Negara-negara maju lainnya (Lampiran UU No 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang).


Namun tak dapat disangkal bahwa kemumpunian pertumbuhan KCT yang
mampu mengangkat perekonomian nasional itu tak bebas dari rundung
permasalahan. Diantaranya tingginya pertumbuhan penduduk terutama
akibat migrasi (urbanisasi) seiring dengan pertumbuhan ekonomi kota.
Bertambahnya penduduk sebenarnya mampu mendorong percepatan
pertumbuhan lebih melesat bila kualitas sumber daya manusia itu
mumpuni, tetapi sebaliknya akan memburuk dan menuju kritis bila
sebagian
besar
kualitas
penduduk non-trampil
dan
parasitis.
Bertumbuhnya jumlah penduduk yang non-trampil dan parasitis ini
memungkinkan potensi kota sebagai basis pertumbuhan ekonomi akan
tergerus dan muncul persoalan-persoalan seperti kemiskinan kota,
kesemrawutan mobilitas penduduk, rendahnya pelayanan kepada
masyarakat, dan kerusakan lingkungan sebagai akibat daya dukung dan
daya tampung lingkungan yang tak ditingkatkan.Persoalan lain akibat
semakin bertumbuhnya KCT adalah ketimpangan antar daerah di mana di

satu pihak KCT semakin melaju, tetapi kawasan-kawasan lain semakin
tertinggal. Ketimpangan yang semakin melebar akan menciptakan
mobilitas penduduk ke KCT-KCT. Akibat lebih jauh pertumbuhan KCT
menjadi sosok kawasan obesitas dan invaliditas yang pada gilirannya bisa
menganggu pertumbuhan ekonomi nasonal itu sendiri.

Persoalan baru yang secara tak langsung sebagai akibat dari butir 1 dan 2
tersebut bahwa KCT seringkali mendorong semakin membesarnya emisi
karbon di kota-kota KCT yang ada. Dampaknya akan menganggu
lingkungan melalui perubahan cuaca yang ekstrem di KCT sendiri maupun
kawasan-kawasan lainnya.Berdasarkan kajian potensi KCT tersebut telah
memberi sinyal bahwa KCT bagaikan pisau bermata dua, yaitu selain sisi
berjasa sebagai pendorong ekonomi nasional maupun sumbangan yang
besar terhadap kemampuan fiskal Negara dan daerah, tetapi sekaligus
juga sisi yang semakin meningkatnya pesoalan-persoalan kritis yang bisa
meluas.

Strategi Pengembangan

Sesuai dengan tujuan nasional jangka panjang untuk menjaga

pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan bersinambung, maka strategi
pengembangan bisa ditawarkan sebagai berikut :
Pengembangan KCT di seluruh Indonesia dilakukan sebagai bagian dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sehingga KCT menjadi
bagian dari pembentukan struktur wilayah nasional yang harmonis dan
pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan potensi KCT. Boleh jadi
KCT menjadi bagian dari pengembangan Kawasan Strategis di samping
kawasan-kawasan strategis lain yang ada.
Menjaga dan semakin memantapkan laju pertumbuhan pada masingmasing KCT maupun kerja sama antar KCT membentuk jaringan
KCT bersinerji mutualistis dalam rangka “forward looking” pengembangan
produk-produk ekonomi unggulan.
Mendorong pengembangan ekonomi KCT dengan memanfaatkan basis
kawasan-kawasan buritan (hinterland) sebagai basis rantai pasokan
(supply chain). Dengan demikian pengembangan KCT tidak berjalan
sendiri maju ke depan, tetapi juga mampu menarik kawasan-kawasan
buritan untuk ikut maju. Dan dengan demikian percepatan tumbuhnya
KCT tidak meninggalkan posisi kawasan mitra di buritan, tetapi sebaliknya
mampu memacu tumbuhnya KCT-KCT baru dan perluasan jaringan
KCT pada masa lebih lanjut.
Mengawal pertumbuhan KCT dengan tetap menjaga kelestarian

lingkungan dan menahan sebesar mungkin kegiatan-kegiatan pelepasan

karbon hasil residu kegiatan ekonomi KCT. Hal ini untuk menjaga
keseimbangan antara kegiatan produktivitas dengan pelestarian
lingkungan KCT, khususnya di lingkungan perkotaannya.
Melalui
keempat
strategi
tersebut,
maka implikasi
kemungkinan perkembangannya antara lain sebagai berikut :
Pertumbuhan KCT akan tetap berlangsung dengan kinerja yang lebih
produktif sehingga pertumbuhan itu mampu mendorong pertumbuhan
lainnya serta mampu menyerap kelebihan tenaga kerja dan mengurangi
jumlah kemiskinan, khususnya kemiskinan di perkotaan yang terus
bertambah. Implikasi lain yang tak kalah pentingnya bahwa pendorongan
pertumbuhan KCT langsung akan mengangkat laju pertumbuhan ekonomi
nasional dan sekaligus juga mampu memberikan tambahan penerimaan
fiskal secara signifikan bagi pemerintah maupun pemerintahan daerah
bersangkutan.

Pertumbuhan KCT bisa mendorong terbentuknya struktur tata ruang
nasional yang lebih hierarki dan efisien sehingga lebih mudah
pengendaliannya menuju sistem tata ruang yang lebih kokoh, dinamis dan
seimbang antar kawasan.
Pertumbuhan KCT
akan banyak menuntut perubahan paradigma
pembangunan kawasan yang boleh jadi munculnya banyak inisiatif
pengembangan seperti pelibatan swasta dan masyarakat dalam proses
pembangunan kawasan, reformasi birokrasi pemerintahan yang lebih
fokus, perhatian lebih serius pada masalah lingkungan khususnya dampak
perubahan iklim, dan terobosan skim pembiayaan untuk mendanai
berbagai kebutuhan percepatan KCT.
Munculnya problem ikutan berupa krisis akibat tingginya kebutuhan KCT,
khususnya krisis enerji yang bakal muncul dan marjinalisasi kelompok
tertentu, yaitu kelompok tradisional yang non-trampil atau “outsider”
dalam mekanisme percepatan KCT.
Mengingat KCT merupakan fenomena pertumbuhan kawasan dan “exist”
bagi pertumbuhan ekonomi nasional termasuk daerah serta handal
sebagai “prime mover” bagi pembentukan struktur pengembangan
wilayah. Namun di pihak lain bisa berpotensi mencuatkan permasalahan

baru yang serius, maka perlu antisipasi berupa langkah kelola yang efektif
bagi percepatan pengembangan KCT. Langkah kelola kelola ini juga untuk
mengeliminir dampak-dampak yang tidak diinginkan. Langkah-langkah
tersebut diantaranya:

1. Manajemen KCT

Pengembangan KCT merupakan ranah publik dan dengan demikian
merupakan tanggung jawab Pemerintah untuk mengelolanya melalui
sistem kelembagaan. Tata kelola yang perlu dilakukan tidak
harus terbetuknya lembaga baru khusus menangani percepatan KCT,
tetapi setidaknya melalui 3 pendekatan yaitu : (1) Regulasi; (2) Kebijakan
Fiskal; dan (3) Bantuan Teknis.

2. Regulasi

Yaitu kebijakan pengembangan KCT melalui penetapan peraturan
perundangan. Hal yang dibutuhkan bahwa KCT adalah bagian integral dari
penataan ruang nasional . Oleh karena itu langkah yang perlu dilakukan
adalah :

Pertama perlu penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional.
Dengan ketetapan ini, maka ada landasan bagi Pemerintah untuk
melakukan langkah-langkah pengelolaan percepatan KCT. Penetapan KCT
sebagai Kawasan Strategis Nasional perlu dirumuskan dalam bentuk
Peraturan Presiden (Perpres) sebagai implementasi Kawasan Strategis
Nasional yang didefinisikan dalam PP Nomer 26 atahun 2008 tentang
RTRWN. Kedua, setelah penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis, maka
dirumuskan lebih fokus dalam suatu perencanaan strategis dan
pelaksanaannya. Perencanaan dan pelaksanaan pengembangan KCT
tentunya
akan melibatkan banyak sektor terkait termasuk dengan
pemerintah daerah bersangkutan. Oleh karenanya perlu ditetapkan secara
tegas dalam Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengembangan KCTKCT masa depan. Dalam Inpres ini tentunya juga memasukkan aspekaspek lingkungan (khususnya soal berkaitan dengan emisi karbon) dan
efisiensi pemanfaatan enerji sebagaimana bagian dari strategi. Ketiga, di
tingkat daerah perlu melengkapi langkah-langkah nasional tersebut
diantaranya, penetapan Peraturan Daerah (perda) atau setidaknya
Peraturan Kepala Daerah terkait dengan Perpres dan Inpres yang ada.

3. Kebijakan Fiskal

Yaitu langkah-langkah fiskal atau penganggaran dari APBN di tingkat
nasional dan APBD di tingkat daerah. Langkah-langkah fiskal ini
landasannya adalah regulasi yang ditetapkan di atas dan perundangan
yang berlaku, antara lain UU Nomer 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan perundangan tentang Desentralisasi Fiskal yang ada (UU
Nomer 33 tahun 2004 yang sebentar lagi akan direvisi). Kebijakan Fiskal
yang
perlu
dilakukan
yaitu :Pemerintah
menganggarkan belanja
operasional maupun belanja modal guna memfasilitasi pengembangan di
KCT-KCT yang ditetapkan. Dana-dana ini biasanya dikelola oleh
kementerian atau lembaga terkait untuk dikelola langsung maupun
diperbantukan ke daerah-daerah KCT selain tetap melanjutkan transfer ke
daerah oleh Kementerian Keuangan dalam rangka desentralisasi fiskal.
Kebijakan Fiskal melalui langkah-langkah penganggaran ini sangat penting
dan terbukti sangat efektif[3].

Walaupun Kebijakan Fiskal cukup efektif sebagai stimulus pengembangan
kawasan, bagaimanapun kapasitas fiskal sangat terbatas dibandingkan
dengan kebutuhan yang sangat besar bagi pengembangan KCT
khususnya kebutuhan investasi. Untuk itu perlu ditetapkan strategi
pengelolaan yang fokus terhadap penggalangan dana dari pihak swasta
dan masyarakat sendiri sesuai dengan peraturan dan perundangan.
Strategi pengelolaan dengan melibatkan swasta dan masyarakat juga
terbukti ampuh dan pada kenyataannya peran mereka justru lebih
dominan dalam pembangunan ekonomi kawasan selama ini, termasuk
juga pelibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur.Pemerintah
Daerah juga menetapkan program-program strategis bagi KCT di
daerahnya khususnya dalam investasi. Kegiatan investasi ini selain bisa
dilakukan
secara
rutin
melalui
Belanja
Modal,
juga
perlu
dikembangkannya skim pembiayaan seperti pinjaman daerah baik
pinjaman dari Pemerintah, dari daerah lain, ataupun dari masyarakat
berupa Obligasi Daerah.

4. Bantuan Teknik

Bantuan Teknik adalah personal tenaga ahli yang diperbantukan kepada
kementerian/lembaga ataupun kepada daerah. Bantuan ini biasanya
didanai oleh Pemerintah dan bisa juga bantuan dari Negara Donor
(Development Partner) berupa technical Assistance. Tugas utama dari
personel tenaga ahli ini kecuali membantu secara teknis kepada
kementerian/lembaga atupun daerah, adalah membantu memecahkan
masalah atau hambatan-hambatan di KCT dan pembinaan “Capacity
Building” di Pemerintah maupun pemerintah daerah. Dalam prakteknya,
bantuan Teknis dari Pemerintah itu tidak harus selalu ada. Oleh karenanya
keberadaannya harus sesuai dengan yang dibutuhkan.

5. Peranan “Stakeholder”

Walaupun pengembangan KCT merupakan ranah publik yang ditangani
langsung oleh Pemerintah, yang berkepentingan tidak hanya Pemerintah
sendiri, tetapi juga seluruh masyarakat baik masyarakat pengusaha atau
swasta, juga masyarakat umumnya yang selama ini menjadi subjek
pembangunan itu sendiri. Untuk itu perlu ada 2 hal prinsip yaitu : (1)
Keterbukaan dan Transparansi dari Pemerintah, dan (2) Partisipasi
masyarakat
dan
swasta
dalam
percepatan
pengembangan
KCT.Keterbukaan yang dilakukan oleh Pemerintah utamanya adalah
informasi secara terbuka dan langsung kepada masyarakat tentang
rencana, program (dan pendanaan), target (output) dan efek (outcome)nya pengembangan KCT serta siapa saja yang terlibat langsung dalam
pengembangannya. Begitu juga perkembangannya secara kuartalan juga
disampaikan agar semua pihak mengetahui dan bisa memberi penilaian
baik berupa kesetujuannya, masukan-masukannya, termasuk juga kritikan
yang diperlukan. Distribusi informasi tersebut dilakukan dengan teknologi
yang ada dan mudah di-akses oleh masyarakat baik berupa media cetak
maupun elektronik.Sedangkan partisipasi masyarakat bisa dilakukan
melalui format yang sudah ada baik dalam proses penganggaran seperti
Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang lebih terarah[4],
juga peningkatan Kerja Sama Pemerintah-Swasta-Masyarakat (Public
Private Partnership) untuk lebih dimasyarakatkan dan dikembangkan
peluang sebesar-besarnya. Namun diakui bahwa partisipasi masyarakat
khususnya dalam skala perencanaan yang luas seperti KCT ini tidak bisa
seintensif skala perencanaan kecil seperti pemukiman yang langsung
terkait dengan kepentingannya. Oleh karenanya Pemerintah bersama
dengan pemerintah daerah yang harus aktif dan tidak menunggu inisiatif
masyarakat untuk berpartisipasi.Di antara “stakeholder” lainnya, peranan

pemerintah daerah adalah yang sangat utama karena menyangkut daerah
otonomnya dan manfaat serta dampak pengembangan KCT ada di daerah
bersangkutan. Kepentingan daerah ini tidak sendiri, tetapi terkait dengan
daerah-daerah mitra maupun daerah-daerah burit (hinterland). Oleh
karenanya kerja sama antar daerah (inter-regional cooperation) adalah
keharusan sebagaimana diatur dalam PP Nomer 50 tahun 2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Rangkuman

Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) adalah kenyataan sebagai fenomena dalam
perkembangan wilayah. Pengaruh ekonomi KCT sangat besar baik kepada
keekonomian nasional, keekonomian masyarakat, bahkan punya pengaruh
signifikan terhadap kapasitas fiskal nasional. Sesuai dengan rencana
jangka panjang nasional untuk peningkatan ekonomi yang berkualitas dan
berkesinambungan, maka KCT perlu tetap dikembangkan dan lebih
ditumbuhkan. Namun KCT juga melahirkan banyak dampak, utamanya
urbanisasi, ketimpangan antar daerah, dan juga aspek lingkungan bila
tidak dikelola secara strategis dan sistematis.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka KCT selayaknya ditetapkan sebagai
Kawasan Strategis Nasional secara lebih legalistik melalui penetapan
peraturan perundangan yang kemudian diikuti dengan berbagai komitmen
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, khususnya pihak
swasta di bidang investasi.

[1] Hasil penelitian yang dilakukan Penulis dalam Paper yang berjudul “
Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis”, URDI, 2002.
[2] Baca “Ekonomi Perkotaan” dari Bunga Rampai METROPOLITAN DI
INDONESIA : KENYATAAN DAN TANTANGAN DALAM PENATAAN RUANG,
Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2006
[3] Bukti keefektifan kebijakan fiskal dalam pembangunan adalah
penerapan Desentralisasi Fiskal sejak diterapkan tahun 2000 yang
lalu telah berhasil mempertahankan kesenjangan antar daerah untuk
tidak semakin timpang (melalui model Index Williamson). Penelitian
dilakukan oleh DR. Hafrizal dalam papernya yang berjudul “Assessment of
the Medium Term Expenditures Framework”, LGFGR (ADB), 2010.

[4] Selama ini Musrenbang kurang terarah dan mulai kurang diminati oleh
masyarakat karena hanya “shopping list” keinginan tanpa dasar kapasitas
anggaran. Reformasi model Musrenbang perlu dilakukan, antara lain