Proses Etanolisis Minyak Sawit Dalam Sistem Deep Eutectic Solvent (DES) Berbasis Choline Chloride – Etilen Glikol
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Potensi Minyak Sawit Sebagai Bahan Baku Biodiesel
Tanaman sawit (Elaeis guineensis jacquin) merupakan tanaman yang berasal
dari afrika selatan. Tanaman ini merupakan tanaman penghasil minyak yang paling
efisien dari pada tanaman penghasil minyak lainnya, yaitu hingga 4.5 ton per hektar.
Tanaman sawit dapat menghasilkan 2 jenis minyak, yaitu minyak yang berasal dari
daging dan biji buah sawit. Minyak yang berasal dari daging buah sawit disebut
dengan Crude Palm Oil (CPO), sedangkan yang berasal dari biji buah sawit disebut
dengan Crude Palm Kernel Oil (CPKO). Kandungan asam lemak jenuh pada minyak
sawit hampir sama dengan kandungan asam tidak jenuhnya. Komponen utama yang
terdapat pada minyak sawit adalah asam palmitat (44-45%), asam oleat (39-40%)
dan asam linoleat (10-11%) [17].
Berikut merupakan tabel kandungan asam lemak yang terdapat pada minyak
sawit
Tabel 2.1 Kandungan asam lemak pada buah sawit [17]
Malaysian (1981)a
Mean
Fatty Acids
% by wt
Range
(215 samples )
Malaysian (1990)b
Mean
Range
(215 samples )
Brazilian (1993)c
Mean
Range
(73 samples )
12:0
0,2
0,1-1,0
0,2
0,1-0,4
0,2
Tr-2,6
16:0
44,0
41,8-46,8
44,1
40,9-47,5
39,0
31,9-57,3
18:0
4,5
4,2-5,1
4,4
3,8-4,8
5,0
2,1-6,4
14:0
16:1
1,1
0,1
0,9-1,5
1,1
0,1-0,3
0,2
1,0-1,4
0-0,4
0,8
0,03
Tr-1,3
Tr-0,4
18:1
39,2
37,3-40,8
39,0
36,4-41,2
43,2
33,8-47,5
18:3
0,4
0-0,6
0,3
0-0,6
0,4
Tr-0,7
18:2
20:0
10,1
0,4
9,1-11,0
10,6
0-0,7
0,2
9,2-11,6
0-0,4
11,5
0,01
6,4-14,8
Tr-0,3
6
Universitas Sumatera Utara
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biodiesel dapat berupa minyak
kanola, kedelai, maupun minyak sawit. Biodiesel biasanya terdiri dari asam lemak
(rantai C14-C22) dan alkohol rantai pendek, misalnya metanol ataupun etanol [3].
2.2
Biodiesel
Biodiesel merupakan suatu energi alternatif yang ramah lingkungan.
Biodiesel mendapatkan menjadi suatu kajian yang menarik di dunia sebagai bahan
bakar yang dicampurkan dengan solar ataupun digunakan langsung pada mesin
diesel. Biodiesel juga merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui karena terbuat
dari minyak hewan ataupun tumbuhan [18; 19]. Hal ini juga menyebabkan biodiesel
menjadi bahan bakar yang biodegradable, tidak beracun, babas kandungan sulfur dan
senyawa aromatik, dan menghasilkan emisi gas buangan yang lebih rendah daripada
bahan bakar konvensional [19].
Saat ini, ada beberapa proses yang sering digunakan dalam pembuatan
biodiesel yaitu : (1) penggunaan langsung dan pencampuran dengan minyak mentah,
(2) mikro-emulsi, (3) secara enzimatis (4) thermal cracking, (5) reaktor ultrasonik,
(6) superkritikal alkohol, (7) menggunakan microwave dan (8) tranesterifikasi [18;
19; 20].
Pembuatan biodiesel menggunakan proses transesterifikasi dilakukan dengan
mencampurkan trigliserida dengan alkohol dan katalis. Alkohol yang umum
digunakan adalah metanol karena harganya yang murah [19]. Namun dalam
pembuatan biodiesel tedapat beberapa masalah, yang paling utama ialah keterbatasan
transfer massa dan laju reaksi yang lambat diakibatkan oleh sistem minyak dan
metanol yang tidak saling melarut, dan yang kedua adalah dalam hal pemurnian
biodiesel hingga dapat digunakan langsung pada mesin. Banyak hal yang telah
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, seperti penggunaan katalis heterogen,
meningkatkan aktifitas katalis hingga penggunaan co-solvent untuk meningkatkan
kelarutan antara minyak dan metanol [12].
2.3
Proses Transesterifikasi Minyak Sawit
Proses pembuatan biodiesel yang paling umum digunakan adalah proses
transesterifikasi yang dilakukan dengan mereaksikan minyak dan alkohol dengan
7
Universitas Sumatera Utara
menggunakan bantuan katalis untuk mempercepat reaksi yang terjadi. Disamping
penggunaan katalis untuk mempercepat reaksi, penggunaan pelarut juga digunakan
sebagai salah satu cara untuk mempercepat reaksi agar mendapatkan hasil yang
optimal.
2.3.1 Transesterifikasi tanpa Menggunakan Pelarut
Proses pembuatan biodiesel yang biasa dilakukan dengan proses yang mudah
serta dapat dikembangkan dalam industri yaitu dengan reaksi alkoholisis
(transesterifikasi). Reaksi alkoholisis merupakan reaksi kimia dari minyak atau
lemak dengan alkohol dengan bantuan katalis asam atau basa yang akan membentuk
ester dan gliserol. Reaksi ini merupakan reaksi reversible yang berurutan dimana
trigliserida dikonversikan menjadi digliserida, digliserida kemudian dikonversikan
menjadi monogliserida dan diikuti pengkonversian monogliserida menjadi gliserol.
Dari masing
masing tahapan tersebut terbentuk ester dan tiga molekul ester
dibentuk dari satu molekul trigliserida [20].
Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut :
katalis
Trigliserida
metanol
metil ester
digliserida
metil ester
monogliserida
katalis
Digliserida
metanol
katalis
Monogliserida
metanol
metil ester
gliserol
Gambar 2.1 Tahapan Reaksi Alkoholisis [20]
8
Universitas Sumatera Utara
Berikut
ini
merupakan
menggunakan katalis basa.
mekanisme
reaksi
transesterifikasi
dengan
Step 1 :
Step 2 :
Step 3 :
Gambar 2.2 Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan menggunakan
katalis basa homogen [21]
Katalis berfungsi untuk meningkatkan laju reaksi dan laju reaksi dan yield
dari suatu reaksi. Dalam pembuatan biodiesel yang merupakan reaksi bolak-balik
(reversible), alkohol berlebih digunakan untuk menghambat terjadinya reaksi balik
ke arah reaktan. Katalis yang umum digunakan pada produksi biodiesel melalui
proses transesterifikasi adalah katalis basa yang bersifat homogen, seperti natrium
hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), dan natrium metoksida (NaOCH3).
Penggunaan katalis asam juga dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, akan
tetapi, hal ini dapat menyebabkan korosi pada peralatan yang digunakan dan reaksi
yang berjalan juga lambat [22]. Penggunaan katalis basa yang bersifat homogen pada
pembuatan biodiesel memberikan beberapa dampak negatif, seperti menghasilkan air
buangan dalam jumlah besar dalam proses pemurniannya dan katalis yang tidak
dapat digunakan kembali. Penggunaan katalis basa (seperti NaOH, KOH dan
9
Universitas Sumatera Utara
NaOCH3) juga sangat sensitif terhadap keberadaan air (diatas 2% v/v) maupun asam
lemak bebas pada minyak (diatas 0,05% v/v) yang akan dijadikan biodiesel.
Disamping kerugian menggunakan katalis basa yang bersifat homogen, terdapat
keuntungan penggunaannya, yaitu : (1) reaksi yang berlangsung sangat cepat, (2)
menggunakan energi yang lebih sedikit, dan (3) katalis basa seperti NaOH dan KOH
mudah ditemukan dan harganya murah [20; 22; 23].
2.3.2 Transesterifikasi dengan Menggunakan Pelarut
Dalam reaksi transesterifikasi sendiri juga terdapat masalah yaitu tidak
larutnya fasa minyak dan alkohol yang akan mengganggu jalannya laju reaksi [9].
Berbagai cara yang telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini misalnya
dengan penambahan co-solvent yang dapat meningkatkan kelarutan antara minyak
dan alkohol yang digunakan. Beberapa co-solvent yang telah digunakan dalam proses
pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis homogen adalah tetrahydrofuran
(THF), aseton, dietil eter dan chlorobenzene [8; 9]. Akan tetapi, co-solvent yang
selama ini digunakan dalam pembuatan biodiesel bersifat racun terhadap lingkungan,
sehingga penggunaannya dapat merusak lingkungan apabila digunakan berlebihan.
Penelitian mengenai pelarut yang ramah lingkungan dalam beberapa tahun terakhir
telah menjadi kajian yang sangat strategis dalam teknologi ramah lingkungan [10].
Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan berbahaya dan
mengurangi
polusi
lingkungan.
Banyak
penelitian
yang
dilakukan
untuk
mengembangkan suatu pelarut yang ramah lingkungan, salah satunya ialah Ionic
Liquids (ILs), yang pada awalnya telah menarik banyak perhatian karena sifat fisika
dan kimianya. Namun dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa ILs memiliki
kekurangan dalam hal toksisitas, biodegradibilitas yang rendah dan harga yang mahal
[11]. Salah satu contoh pengembangan mengenai sistem pelarut organik yang murah
dan ramah lingkungan yang dikenal sebagai Deep eutectic solvents (DES) sangat
menarik dikarenakan DES merupakan pelarut yang sangat ramah lingkungan [12].
2.4
Deep Eutectic Solvent (DES)
Ketertarikan
terhadap Deep Eutectic Solvent (DES) sebagai salah satu
terknologi ramah lingkungan untuk pengaplikasiannya dalam industri telah
10
Universitas Sumatera Utara
berkembang dalam beberapa tahun terakhir [24]. DES merupakan suatu pelarut
ramah lingkungan yang saat ini telah banyak diaplikasikan dalam pemrosesan kimia
[12]. Konsep DES pertama kali dikenalkan oleh Abbot et al. Secara umum DES
merupakan suatu jenis pelarut yang terbentuk dari dua campuran yang membentuk
titik eutaktik dan mempunyai titik beku yang jauh lebih rendah daripada masingmasing komponen penyusunnya [11].
Deep Eutectic Solvent (DES) merupakan campuran dari suatu komponen
garam ammonium kuartener dengan suatu senyawa organik yang berfungsi sebagai
hydrogen bond donor (HBD) seperti alkohol, asam, halida, amina, asam amino dan
lain-lain hingga membentuk campuran eutektik [11; 25]. Meskipun memiliki sifat
yang hampir sama dengan Ionic Liqiuds (ILs), akan tetapi, DES tidak dapat
dikatakan sebagai ILs, hal ini dikarenakan : (1) DES tidak terbentuk dari jenis ionik
dan (2) dapat ditemukan dari jenis non-ionik [26]. DES merupakan suatu terobosan
pelarut baru yang murah, mudah diproduksi, dan memiliki tingkat kemurnian yang
tinggi menjadikan DES mempunyai potensi yang besar dalam pengaplikasiannya
dalam skala yang besar [3; 27]. DES sebagai sebuah terobosan pelarut yang baru
mempunyai beberapa kelebihan seperti : (1) bio-degradable, (2) tidak mudah
terbakar, (3) toksisitas rendah, (4) tekanan uap yang rendah, dan (5) stabilitas panas
yang tinggi, (6) harga yang murah (7) mudah disintesis dengan kemurnian yang
tinggi, [11; 25; 28].
melting point of A
melting point of B
liquid L
A+L
B+L
eutectic point
A+B
Gambar 2.4 Diagram Representasi Teori Titik Eutektik Campuran [29]
11
Universitas Sumatera Utara
DES telah banyak digunakan dalam proses pembuatan biodiesel, beberapa
diantaranya dengan menggunakan choline chloride : gliserol, dan choline chloride :
PTSA [12, 14]. Selain penggunaannya sebagai pelarut dalam sintesis biodiesel, DES
juga telah digunakan dalam bidang elektrodeposisi, katalis ataupun pelarut dalam
bidang reaksi kimia, enzimatik, dan sebagai pelarut pada ekstraksi [15]. DES dapat
digunakan sebagai pelarut untuk pembuatan polimer, absorpsi CO2, dan pemurnian
biodiesel [30].
Berikut merupakan gambar ilustrasi pembuatan biodiesel tanpa menggunakan
DES dan dengan menggunakan DES.
a. Tanpa DES
b. Menggunakan DES
Gambar 2.5 Ilustrasi pembuatan biodiesel (a) tanpa menggunakan DES dan (b)
menggunakan DES [12]
Penggunaan DES dalam reaksi pembuatan biodiesel bertujuan untuk
mengubah distribusi fasa komponen pada campuran reaktan yang bertujuan untuk
mengurangi terbentuknya reaksi saponifikasi, dan mempermudah pemisahan dan
pemurnian produk biodiesel [12].
12
Universitas Sumatera Utara
2.5
Sintesis Deep Eutectic Solvent (DES)
Secara umum, DES dibuat dari garam berbasis ammonium ataupun
phosponium. Garam tersebut dicampurkan dengan rasio yang berbeda-beda dengan
HBD nya seperti : alkohol, asam karboksilat, ester, eter, amida, nitrat, maupun asetat
[29]. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembuatan DES sangat mudah dan
cepat, dan tidak memerlukan pemurnian sama sekali. Proses pembuatan DES yang
telah dilakukan adalah dengan menimbang HBD dan garam kuartener dan
dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang tertutup (hal ini disebabkan karena tingkat
higroskopis bahan yang tinggi sehingga harus diisolasi dari uap air yang ada di
udara), kemudian dilakukan pemanasan dan pengadukan hingga terbentuk cairan
tidak berwarna (biasanya 2 jam pada 60 oC) [31].
Berikut merupakan ilustrasi interaksi antara Hydrogen Bond Acceptor (ChCl) dan
Hydrogen bond Donor (R-OH).
Gambar 2.6 Interaksi antara Hydrogen Bond Acceptor (ChCl) dan Hydrogen bond
Donor (R-OH) [32]
Salah satu contoh DES yang dapat dibentuk ialah dengan menggunakan
campuran choline chloride dan urea dengan perbandingan 1:2 (dengan titik leleh
masing-masing ialah 247 dan 133 oC) menghasilkan DES dengan titik leleh yang
sangat rendah yaitu 12 oC [30]. ChCl menjadi sebuah garam amonium kuaterner
yang bermanfaat hal ini dikarenakan ChCl merupakan garam amonium kuaterner
asimetris dengan gugus fungsi polarnya. Sifat asimetris molekul tersebut akan
mengurangi titik beku molekul cairan ionik, seperti halnya gugus fungsional polar
[29].
13
Universitas Sumatera Utara
2.6
Aplikasi DES dalam Bidang Pembuatan Biodiesel
Penggunaan DES dalam bidang pembuatan biodiesel selain sebagai pelarut
untuk memudahkan pencampuran fasa minyak dengan alkohol juga dapat digunakan
sebagai katalis dan pengekstrak gliserol yang dihasilkan dari reaksi
2.6.1 Penggunaan DES sebagai Katalis dalam Transesterifikasi
Dalam proses transesterifikasi DES dapat digunakan sebagai katalis untuk
mempercepat reaksi. Long, pada tahun 2010 mempublikasikan pengunaan DES
untuk katalis dalam reaksi transesterifikasi dengan menggunakan DES berbasis
ChCl:ZnCl2 (1:2) [33]. Selain sebagai katalis pada reaksi yang bersifat kimia, DES
juga dapat digunakan pada reaksi pembuatan biodiesel dengan menggunakan
biokatalis. Hal ini disebabkan karena DES memiliki beberapa kelebihan diantaranya
harganya yang murah, tidak bersifat racun, biodegradable, lipase-compability (dapat
menaikkan selektivitas lipase hingga 99 %) [34]
2.6.2 Penggunaan DES untuk Pemisahan Gliserol dari Biodiesel Mentah
Selain sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi, DES dapat digunakan
untuk mengekstrak gliserol dari biodiesel mentah sehingga memudahkan pemisahan
dan pemurnian biodiesel. Abbot, pada tahun 2007, melaporkan bahwa DES berbasis
ChCl:Gliserol (1:1) efektif digunakan untuk mengekstrak gliserol yang terdapat pada
biodiesel mentah sehingga memudahkan proses pemisahan [35].
2.6.3 Penggunaan DES sebagai Co-Solvent dalam Pembuatan Biodiesel
Penggunaan DES sebagai co-solvent pada proses pembuatan biodiesel
bertujuan untuk meningkatkan kelarutan antara minyak dengan alkohol sehingga
akan mempercepat transfer massa antara kedua reaktan tersebut [12]. Zhao, pada
tahun 2013 menggunakan DES berbasis ChCl:Gliserol (1:2) sebagai co-solvent pada
pembuatan biodiesel dengan menggunakan reaksi enzimatis [15]. Gu, pada tahun
2015 juga menggunakan DES berbasis ChCl:Gliserol (1:2) sebagai co-solvent pada
pembuatan biodiesel dengan reaksi kimia [12].
Penggunaan co-solvent DES pada bidang pembuatan biodiesel dapat
mempercepat reaksi karena penggunan co-solent itu sendiri dapat mempercepat
14
Universitas Sumatera Utara
transfer massa akibat penurunan tegangan permukaan dari zat yang akan direaksikan
[36]. Tegangan permukaan sangat bergantung dari besarnya interaksi intermolekul
dari suatu zat, apabila interaksi antar molekulnya semakin besar, maka tegangan
permukaan akan semakin kuat [37]. Penggunaan DES dapat menurunkan tegangan
permukaan antara dua campuran cairan yang tidak saling melarut disebabkan oleh
terbentuknya capillary bridge/capillary force pada interfacial area campuran.
Capillary forces merupakan gaya tarik menarik yang terbentuk di area kontak antar
partikel berdekatan. Capillary forces dapat dikatakan sebagai cara dimana salah satu
fasa fluida dapat membentuk meniscus dalam fasa fluida lain. Capillary forces tidak
hanya dapat diakibatkan oleh terbentuknya meniscus, namun juga adanya capillary
bridge oleh cairan didalam cairan lain sehingga dapat melarutkan dua larutan yang
tidak saling melarut [38].
2.7
Potensi Ekonomi
Penggunaan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) memiliki
keuntungan jika digunakan langsung sebagai bahan baku pengunaan biodiesel karena
tidak memerlukan tahapan pemurnian minyak sehingga dapat menekan harga
produksi dari biodiesel itu sendiri. Namun, disamping keuntungan sebagai bahan
baku yang digunakan langsung, CPO juga memiliki beberapa kelemahan karena
tingginya kadar asam lemak bebas dari minyak sawit mentah yang belum di olah
sehingga dapat membentuk sabun yang dapat membentuk emulsi sehingga
mempersulit proses pemisahan yang dilakukan dan biaya produksi juga akan
semakin meningkat.
Deep Eutectic Solvent (DES) berbasis Choline Chloride - etilen glikol dapat
digunakan sebagai co-solvent dalam menanggulangi permasalahan pembuatan
biodiesel dengan menggunakan CPO sebagai bahan baku yang mana memiliki kadar
asam lemak yang sangat tinggi. Dengan penambahan DES, bahan baku CPO dapat
digunakan langsung tanpa proses pemurnian dan hasil yang didapat tidak membentuk
sabun sehingga proses pemisahan yang dilakukanpun lebih mudah. Akan tetapi,
harga choline chloride yang digunakan masih tergolong mahal, sehingga diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk penggunaan ulang DES agar dapat menekan harga
produksi biodiesel.
15
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Potensi Minyak Sawit Sebagai Bahan Baku Biodiesel
Tanaman sawit (Elaeis guineensis jacquin) merupakan tanaman yang berasal
dari afrika selatan. Tanaman ini merupakan tanaman penghasil minyak yang paling
efisien dari pada tanaman penghasil minyak lainnya, yaitu hingga 4.5 ton per hektar.
Tanaman sawit dapat menghasilkan 2 jenis minyak, yaitu minyak yang berasal dari
daging dan biji buah sawit. Minyak yang berasal dari daging buah sawit disebut
dengan Crude Palm Oil (CPO), sedangkan yang berasal dari biji buah sawit disebut
dengan Crude Palm Kernel Oil (CPKO). Kandungan asam lemak jenuh pada minyak
sawit hampir sama dengan kandungan asam tidak jenuhnya. Komponen utama yang
terdapat pada minyak sawit adalah asam palmitat (44-45%), asam oleat (39-40%)
dan asam linoleat (10-11%) [17].
Berikut merupakan tabel kandungan asam lemak yang terdapat pada minyak
sawit
Tabel 2.1 Kandungan asam lemak pada buah sawit [17]
Malaysian (1981)a
Mean
Fatty Acids
% by wt
Range
(215 samples )
Malaysian (1990)b
Mean
Range
(215 samples )
Brazilian (1993)c
Mean
Range
(73 samples )
12:0
0,2
0,1-1,0
0,2
0,1-0,4
0,2
Tr-2,6
16:0
44,0
41,8-46,8
44,1
40,9-47,5
39,0
31,9-57,3
18:0
4,5
4,2-5,1
4,4
3,8-4,8
5,0
2,1-6,4
14:0
16:1
1,1
0,1
0,9-1,5
1,1
0,1-0,3
0,2
1,0-1,4
0-0,4
0,8
0,03
Tr-1,3
Tr-0,4
18:1
39,2
37,3-40,8
39,0
36,4-41,2
43,2
33,8-47,5
18:3
0,4
0-0,6
0,3
0-0,6
0,4
Tr-0,7
18:2
20:0
10,1
0,4
9,1-11,0
10,6
0-0,7
0,2
9,2-11,6
0-0,4
11,5
0,01
6,4-14,8
Tr-0,3
6
Universitas Sumatera Utara
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biodiesel dapat berupa minyak
kanola, kedelai, maupun minyak sawit. Biodiesel biasanya terdiri dari asam lemak
(rantai C14-C22) dan alkohol rantai pendek, misalnya metanol ataupun etanol [3].
2.2
Biodiesel
Biodiesel merupakan suatu energi alternatif yang ramah lingkungan.
Biodiesel mendapatkan menjadi suatu kajian yang menarik di dunia sebagai bahan
bakar yang dicampurkan dengan solar ataupun digunakan langsung pada mesin
diesel. Biodiesel juga merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui karena terbuat
dari minyak hewan ataupun tumbuhan [18; 19]. Hal ini juga menyebabkan biodiesel
menjadi bahan bakar yang biodegradable, tidak beracun, babas kandungan sulfur dan
senyawa aromatik, dan menghasilkan emisi gas buangan yang lebih rendah daripada
bahan bakar konvensional [19].
Saat ini, ada beberapa proses yang sering digunakan dalam pembuatan
biodiesel yaitu : (1) penggunaan langsung dan pencampuran dengan minyak mentah,
(2) mikro-emulsi, (3) secara enzimatis (4) thermal cracking, (5) reaktor ultrasonik,
(6) superkritikal alkohol, (7) menggunakan microwave dan (8) tranesterifikasi [18;
19; 20].
Pembuatan biodiesel menggunakan proses transesterifikasi dilakukan dengan
mencampurkan trigliserida dengan alkohol dan katalis. Alkohol yang umum
digunakan adalah metanol karena harganya yang murah [19]. Namun dalam
pembuatan biodiesel tedapat beberapa masalah, yang paling utama ialah keterbatasan
transfer massa dan laju reaksi yang lambat diakibatkan oleh sistem minyak dan
metanol yang tidak saling melarut, dan yang kedua adalah dalam hal pemurnian
biodiesel hingga dapat digunakan langsung pada mesin. Banyak hal yang telah
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, seperti penggunaan katalis heterogen,
meningkatkan aktifitas katalis hingga penggunaan co-solvent untuk meningkatkan
kelarutan antara minyak dan metanol [12].
2.3
Proses Transesterifikasi Minyak Sawit
Proses pembuatan biodiesel yang paling umum digunakan adalah proses
transesterifikasi yang dilakukan dengan mereaksikan minyak dan alkohol dengan
7
Universitas Sumatera Utara
menggunakan bantuan katalis untuk mempercepat reaksi yang terjadi. Disamping
penggunaan katalis untuk mempercepat reaksi, penggunaan pelarut juga digunakan
sebagai salah satu cara untuk mempercepat reaksi agar mendapatkan hasil yang
optimal.
2.3.1 Transesterifikasi tanpa Menggunakan Pelarut
Proses pembuatan biodiesel yang biasa dilakukan dengan proses yang mudah
serta dapat dikembangkan dalam industri yaitu dengan reaksi alkoholisis
(transesterifikasi). Reaksi alkoholisis merupakan reaksi kimia dari minyak atau
lemak dengan alkohol dengan bantuan katalis asam atau basa yang akan membentuk
ester dan gliserol. Reaksi ini merupakan reaksi reversible yang berurutan dimana
trigliserida dikonversikan menjadi digliserida, digliserida kemudian dikonversikan
menjadi monogliserida dan diikuti pengkonversian monogliserida menjadi gliserol.
Dari masing
masing tahapan tersebut terbentuk ester dan tiga molekul ester
dibentuk dari satu molekul trigliserida [20].
Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut :
katalis
Trigliserida
metanol
metil ester
digliserida
metil ester
monogliserida
katalis
Digliserida
metanol
katalis
Monogliserida
metanol
metil ester
gliserol
Gambar 2.1 Tahapan Reaksi Alkoholisis [20]
8
Universitas Sumatera Utara
Berikut
ini
merupakan
menggunakan katalis basa.
mekanisme
reaksi
transesterifikasi
dengan
Step 1 :
Step 2 :
Step 3 :
Gambar 2.2 Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan menggunakan
katalis basa homogen [21]
Katalis berfungsi untuk meningkatkan laju reaksi dan laju reaksi dan yield
dari suatu reaksi. Dalam pembuatan biodiesel yang merupakan reaksi bolak-balik
(reversible), alkohol berlebih digunakan untuk menghambat terjadinya reaksi balik
ke arah reaktan. Katalis yang umum digunakan pada produksi biodiesel melalui
proses transesterifikasi adalah katalis basa yang bersifat homogen, seperti natrium
hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), dan natrium metoksida (NaOCH3).
Penggunaan katalis asam juga dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, akan
tetapi, hal ini dapat menyebabkan korosi pada peralatan yang digunakan dan reaksi
yang berjalan juga lambat [22]. Penggunaan katalis basa yang bersifat homogen pada
pembuatan biodiesel memberikan beberapa dampak negatif, seperti menghasilkan air
buangan dalam jumlah besar dalam proses pemurniannya dan katalis yang tidak
dapat digunakan kembali. Penggunaan katalis basa (seperti NaOH, KOH dan
9
Universitas Sumatera Utara
NaOCH3) juga sangat sensitif terhadap keberadaan air (diatas 2% v/v) maupun asam
lemak bebas pada minyak (diatas 0,05% v/v) yang akan dijadikan biodiesel.
Disamping kerugian menggunakan katalis basa yang bersifat homogen, terdapat
keuntungan penggunaannya, yaitu : (1) reaksi yang berlangsung sangat cepat, (2)
menggunakan energi yang lebih sedikit, dan (3) katalis basa seperti NaOH dan KOH
mudah ditemukan dan harganya murah [20; 22; 23].
2.3.2 Transesterifikasi dengan Menggunakan Pelarut
Dalam reaksi transesterifikasi sendiri juga terdapat masalah yaitu tidak
larutnya fasa minyak dan alkohol yang akan mengganggu jalannya laju reaksi [9].
Berbagai cara yang telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini misalnya
dengan penambahan co-solvent yang dapat meningkatkan kelarutan antara minyak
dan alkohol yang digunakan. Beberapa co-solvent yang telah digunakan dalam proses
pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis homogen adalah tetrahydrofuran
(THF), aseton, dietil eter dan chlorobenzene [8; 9]. Akan tetapi, co-solvent yang
selama ini digunakan dalam pembuatan biodiesel bersifat racun terhadap lingkungan,
sehingga penggunaannya dapat merusak lingkungan apabila digunakan berlebihan.
Penelitian mengenai pelarut yang ramah lingkungan dalam beberapa tahun terakhir
telah menjadi kajian yang sangat strategis dalam teknologi ramah lingkungan [10].
Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan berbahaya dan
mengurangi
polusi
lingkungan.
Banyak
penelitian
yang
dilakukan
untuk
mengembangkan suatu pelarut yang ramah lingkungan, salah satunya ialah Ionic
Liquids (ILs), yang pada awalnya telah menarik banyak perhatian karena sifat fisika
dan kimianya. Namun dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa ILs memiliki
kekurangan dalam hal toksisitas, biodegradibilitas yang rendah dan harga yang mahal
[11]. Salah satu contoh pengembangan mengenai sistem pelarut organik yang murah
dan ramah lingkungan yang dikenal sebagai Deep eutectic solvents (DES) sangat
menarik dikarenakan DES merupakan pelarut yang sangat ramah lingkungan [12].
2.4
Deep Eutectic Solvent (DES)
Ketertarikan
terhadap Deep Eutectic Solvent (DES) sebagai salah satu
terknologi ramah lingkungan untuk pengaplikasiannya dalam industri telah
10
Universitas Sumatera Utara
berkembang dalam beberapa tahun terakhir [24]. DES merupakan suatu pelarut
ramah lingkungan yang saat ini telah banyak diaplikasikan dalam pemrosesan kimia
[12]. Konsep DES pertama kali dikenalkan oleh Abbot et al. Secara umum DES
merupakan suatu jenis pelarut yang terbentuk dari dua campuran yang membentuk
titik eutaktik dan mempunyai titik beku yang jauh lebih rendah daripada masingmasing komponen penyusunnya [11].
Deep Eutectic Solvent (DES) merupakan campuran dari suatu komponen
garam ammonium kuartener dengan suatu senyawa organik yang berfungsi sebagai
hydrogen bond donor (HBD) seperti alkohol, asam, halida, amina, asam amino dan
lain-lain hingga membentuk campuran eutektik [11; 25]. Meskipun memiliki sifat
yang hampir sama dengan Ionic Liqiuds (ILs), akan tetapi, DES tidak dapat
dikatakan sebagai ILs, hal ini dikarenakan : (1) DES tidak terbentuk dari jenis ionik
dan (2) dapat ditemukan dari jenis non-ionik [26]. DES merupakan suatu terobosan
pelarut baru yang murah, mudah diproduksi, dan memiliki tingkat kemurnian yang
tinggi menjadikan DES mempunyai potensi yang besar dalam pengaplikasiannya
dalam skala yang besar [3; 27]. DES sebagai sebuah terobosan pelarut yang baru
mempunyai beberapa kelebihan seperti : (1) bio-degradable, (2) tidak mudah
terbakar, (3) toksisitas rendah, (4) tekanan uap yang rendah, dan (5) stabilitas panas
yang tinggi, (6) harga yang murah (7) mudah disintesis dengan kemurnian yang
tinggi, [11; 25; 28].
melting point of A
melting point of B
liquid L
A+L
B+L
eutectic point
A+B
Gambar 2.4 Diagram Representasi Teori Titik Eutektik Campuran [29]
11
Universitas Sumatera Utara
DES telah banyak digunakan dalam proses pembuatan biodiesel, beberapa
diantaranya dengan menggunakan choline chloride : gliserol, dan choline chloride :
PTSA [12, 14]. Selain penggunaannya sebagai pelarut dalam sintesis biodiesel, DES
juga telah digunakan dalam bidang elektrodeposisi, katalis ataupun pelarut dalam
bidang reaksi kimia, enzimatik, dan sebagai pelarut pada ekstraksi [15]. DES dapat
digunakan sebagai pelarut untuk pembuatan polimer, absorpsi CO2, dan pemurnian
biodiesel [30].
Berikut merupakan gambar ilustrasi pembuatan biodiesel tanpa menggunakan
DES dan dengan menggunakan DES.
a. Tanpa DES
b. Menggunakan DES
Gambar 2.5 Ilustrasi pembuatan biodiesel (a) tanpa menggunakan DES dan (b)
menggunakan DES [12]
Penggunaan DES dalam reaksi pembuatan biodiesel bertujuan untuk
mengubah distribusi fasa komponen pada campuran reaktan yang bertujuan untuk
mengurangi terbentuknya reaksi saponifikasi, dan mempermudah pemisahan dan
pemurnian produk biodiesel [12].
12
Universitas Sumatera Utara
2.5
Sintesis Deep Eutectic Solvent (DES)
Secara umum, DES dibuat dari garam berbasis ammonium ataupun
phosponium. Garam tersebut dicampurkan dengan rasio yang berbeda-beda dengan
HBD nya seperti : alkohol, asam karboksilat, ester, eter, amida, nitrat, maupun asetat
[29]. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembuatan DES sangat mudah dan
cepat, dan tidak memerlukan pemurnian sama sekali. Proses pembuatan DES yang
telah dilakukan adalah dengan menimbang HBD dan garam kuartener dan
dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang tertutup (hal ini disebabkan karena tingkat
higroskopis bahan yang tinggi sehingga harus diisolasi dari uap air yang ada di
udara), kemudian dilakukan pemanasan dan pengadukan hingga terbentuk cairan
tidak berwarna (biasanya 2 jam pada 60 oC) [31].
Berikut merupakan ilustrasi interaksi antara Hydrogen Bond Acceptor (ChCl) dan
Hydrogen bond Donor (R-OH).
Gambar 2.6 Interaksi antara Hydrogen Bond Acceptor (ChCl) dan Hydrogen bond
Donor (R-OH) [32]
Salah satu contoh DES yang dapat dibentuk ialah dengan menggunakan
campuran choline chloride dan urea dengan perbandingan 1:2 (dengan titik leleh
masing-masing ialah 247 dan 133 oC) menghasilkan DES dengan titik leleh yang
sangat rendah yaitu 12 oC [30]. ChCl menjadi sebuah garam amonium kuaterner
yang bermanfaat hal ini dikarenakan ChCl merupakan garam amonium kuaterner
asimetris dengan gugus fungsi polarnya. Sifat asimetris molekul tersebut akan
mengurangi titik beku molekul cairan ionik, seperti halnya gugus fungsional polar
[29].
13
Universitas Sumatera Utara
2.6
Aplikasi DES dalam Bidang Pembuatan Biodiesel
Penggunaan DES dalam bidang pembuatan biodiesel selain sebagai pelarut
untuk memudahkan pencampuran fasa minyak dengan alkohol juga dapat digunakan
sebagai katalis dan pengekstrak gliserol yang dihasilkan dari reaksi
2.6.1 Penggunaan DES sebagai Katalis dalam Transesterifikasi
Dalam proses transesterifikasi DES dapat digunakan sebagai katalis untuk
mempercepat reaksi. Long, pada tahun 2010 mempublikasikan pengunaan DES
untuk katalis dalam reaksi transesterifikasi dengan menggunakan DES berbasis
ChCl:ZnCl2 (1:2) [33]. Selain sebagai katalis pada reaksi yang bersifat kimia, DES
juga dapat digunakan pada reaksi pembuatan biodiesel dengan menggunakan
biokatalis. Hal ini disebabkan karena DES memiliki beberapa kelebihan diantaranya
harganya yang murah, tidak bersifat racun, biodegradable, lipase-compability (dapat
menaikkan selektivitas lipase hingga 99 %) [34]
2.6.2 Penggunaan DES untuk Pemisahan Gliserol dari Biodiesel Mentah
Selain sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi, DES dapat digunakan
untuk mengekstrak gliserol dari biodiesel mentah sehingga memudahkan pemisahan
dan pemurnian biodiesel. Abbot, pada tahun 2007, melaporkan bahwa DES berbasis
ChCl:Gliserol (1:1) efektif digunakan untuk mengekstrak gliserol yang terdapat pada
biodiesel mentah sehingga memudahkan proses pemisahan [35].
2.6.3 Penggunaan DES sebagai Co-Solvent dalam Pembuatan Biodiesel
Penggunaan DES sebagai co-solvent pada proses pembuatan biodiesel
bertujuan untuk meningkatkan kelarutan antara minyak dengan alkohol sehingga
akan mempercepat transfer massa antara kedua reaktan tersebut [12]. Zhao, pada
tahun 2013 menggunakan DES berbasis ChCl:Gliserol (1:2) sebagai co-solvent pada
pembuatan biodiesel dengan menggunakan reaksi enzimatis [15]. Gu, pada tahun
2015 juga menggunakan DES berbasis ChCl:Gliserol (1:2) sebagai co-solvent pada
pembuatan biodiesel dengan reaksi kimia [12].
Penggunaan co-solvent DES pada bidang pembuatan biodiesel dapat
mempercepat reaksi karena penggunan co-solent itu sendiri dapat mempercepat
14
Universitas Sumatera Utara
transfer massa akibat penurunan tegangan permukaan dari zat yang akan direaksikan
[36]. Tegangan permukaan sangat bergantung dari besarnya interaksi intermolekul
dari suatu zat, apabila interaksi antar molekulnya semakin besar, maka tegangan
permukaan akan semakin kuat [37]. Penggunaan DES dapat menurunkan tegangan
permukaan antara dua campuran cairan yang tidak saling melarut disebabkan oleh
terbentuknya capillary bridge/capillary force pada interfacial area campuran.
Capillary forces merupakan gaya tarik menarik yang terbentuk di area kontak antar
partikel berdekatan. Capillary forces dapat dikatakan sebagai cara dimana salah satu
fasa fluida dapat membentuk meniscus dalam fasa fluida lain. Capillary forces tidak
hanya dapat diakibatkan oleh terbentuknya meniscus, namun juga adanya capillary
bridge oleh cairan didalam cairan lain sehingga dapat melarutkan dua larutan yang
tidak saling melarut [38].
2.7
Potensi Ekonomi
Penggunaan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) memiliki
keuntungan jika digunakan langsung sebagai bahan baku pengunaan biodiesel karena
tidak memerlukan tahapan pemurnian minyak sehingga dapat menekan harga
produksi dari biodiesel itu sendiri. Namun, disamping keuntungan sebagai bahan
baku yang digunakan langsung, CPO juga memiliki beberapa kelemahan karena
tingginya kadar asam lemak bebas dari minyak sawit mentah yang belum di olah
sehingga dapat membentuk sabun yang dapat membentuk emulsi sehingga
mempersulit proses pemisahan yang dilakukan dan biaya produksi juga akan
semakin meningkat.
Deep Eutectic Solvent (DES) berbasis Choline Chloride - etilen glikol dapat
digunakan sebagai co-solvent dalam menanggulangi permasalahan pembuatan
biodiesel dengan menggunakan CPO sebagai bahan baku yang mana memiliki kadar
asam lemak yang sangat tinggi. Dengan penambahan DES, bahan baku CPO dapat
digunakan langsung tanpa proses pemurnian dan hasil yang didapat tidak membentuk
sabun sehingga proses pemisahan yang dilakukanpun lebih mudah. Akan tetapi,
harga choline chloride yang digunakan masih tergolong mahal, sehingga diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk penggunaan ulang DES agar dapat menekan harga
produksi biodiesel.
15
Universitas Sumatera Utara