Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Melihat keberadaan manusia di dunia ini, maka kita akan dapat menemukan
berbagai keberadaannya yang kompleks. Mulai dari ia adalah makhluk hidup, tetapi
tidak dikategorikan sebagai hewan atau tumbuhan, sampai ia adalah makhluk yang
khas, yang dianugerahi Tuhan akal, pikiran, dan perasaan. Manusia terdiri dari unsur
fisik dan juga roh. Manusia merupakan makhluk yang semestinya menjadi pemimpin di
muka bumi ini, dan lain-lainnya.
Manusia di dalam kerangka menjalani kehidupannya melakukan usaha-usaha
ekonomis yang sering disebut sebagai mata pencaharian. Dalam hal ini, manusia
memberdayakan alam sekitarnya. Dalam konteks tersebut ia berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa untuk memberikan rezeki, keberhasilan dalam hidup, memiliki keturunan
yang berguna bagi sesamanya, dan aspek-aspek lain, yang diekspresikan di dalam
sistem religi atau agama yang dianutnya. Manusia juga belajar dari sesama mereka dan
juga dari alam, dan membentuk sistem pendidikan. Selanjutnya manusia adalah
makhluk sosial yang membentuk ikatan-ikatan dan integrasi yang terwujud dalam
berbagai organisasi kemasyarakatan. Selain itu dalam rangka berkomunikasi
menggunakan ujaran-ujaran dengan sistem tertentu yang lazim disebut dengan bahasa.
Manusia juga dalam usahanya mempermudah kerja menghasilkan teknologi. Makhluk

manusia memiliki kebutuhan akan keindahan yang disebut dengan kesenian.

Universitas Sumatera Utara

Keseluruhan unsur-unsur budaya tersebut biasanya mengandung tiga wujud,
yaitu berupa: gagasan, kegiatan, dan benda-benda. Misalnya di dalam sistem organisasi
di Indonesia, dikenal konsep gotong-royong, yang mendasari semua orang Indonesia
selalu bekerjasama dalam bekerja terutama kerja komunal. Konsep ini kemudian
diterapkan dalam berbagai aktivitas seperti membuat jalan raya bersama, bekerja di
ladang bersama-sama secara bergiliran, dan lainnya. Konsep dan kegiatan dalam
kerangka gotong royong ini akan menghasilkan benda-benda atau artefak seperti
kentongan untuk berkumpul, balai desa tempat rapat dan musyawarah, peralatanperalatan pertanian (cangkul, sabit, tajak), alat-alat nelayan (jaring, perahu, jala, pukat,
sondong), dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam situasi yang demikianlah
manusia menghasilkan kebudayaan.
Kata budaya atau kebudayaan 1 dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau
akal), yang lazim diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dapat diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam

bahasa Indonesia (Koentjaraningrat, 1982:9). Di sisi lain, Supartono berpendapat bahwa
kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur
rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur
1

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat “perbedaan kecil” (nuansa) antara
istilah budaya dan kebudayaan. Kata budaya (bu.da.ya) n. 1. pikiran, akal budi; 2. adat istiadat; 3.
sesuatu mengenai kebudayaan yang telah berkembang (beradab, maju); 4. sesuatu yang menjadi
kebiasaan yang telah sukar diubah. Di sisi lain, kebudayaan (ke.bu.da.ya.an), n. 1. hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2. dalam ilmu
antropologi adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Universitas Sumatera Utara

jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia
(Supartono, 2001; Prasetya, 1998).
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang terbentuk dari
perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya
respon masyarakat terhadap budaya yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu,

sehingga akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan
masyarakat tersebut. Termasuk masyarakat yang ada di Indonesia.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik) 2 yang sangat kaya dengan
beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa
tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan melahirkan orientasi yang
majemuk pula, karena salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai
sumber nilai yang menjadi objek orientasinya (Bangun, 1981:12). Termasuk masyarakat
Tionghoa yang ada di Indonesia.
Masyarakat Tionghoa ini didukung oleh kelompok-kelompok etnik seperti:
Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka), Khek, Kwong Fu,
dan lain-lain. Orang-orang Hokkian adalah salah satu pendukung masyarakat Tionghoa
di Indonesia. Orang-orang Tionghoa ini, secara antropologi dapat dipandang sebagai
2

Etnik, kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku
menurut disiplin ilmu antropologi adalah (misalnya Narroll, 1964), sebagai populasi yang: (1) secara
bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar
akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi
sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah

pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi
dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa.
Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini
mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesmpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan
budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang
menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti
ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Tiap bangsa memiliki
budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.

Universitas Sumatera Utara

salah satu masyarakat yang didukung oleh beberapa kelompok etnik 3 di Indonesia yang
berintegrasi dengan etnik-etnik dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dalam bahasa Mandarin, orang Tionghoa disebut Tangren (Hanzi: 唐 人 ,
"orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana :
华人) . Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa
di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka
sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai
orang Han (Hanzi: 漢 人 , Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han"). Tionghoa atau
Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Tionghoa di

Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam
dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Berbicara masyarakat Tionghoa tidak lepas dari kebudayaan Tionghoa itu
sendiri, yang selalu berhubungan dengan simbol keberuntungan yang sangat kaya dan
terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman prasejarah
3

Orang-orang Tionghoa yang terdapat di Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebuah
masyarakat yang memiliki asal-usul yang sama, yakni dari daratan Tiongkok, yang kini
membentuk negara bangsa yang disebut dengan awalnya Republik Takyat China kini menjadi
Republik Rakyat Tiongkok. Mereka ini terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memiliki
kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda. Namun mereka dapat disebuit sebagai orang-orang
Tionghoa. Masyarakat yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah sesuai dengan definisi dari
Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama
(1990:146-147). Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin
dalam buku mereka Cultural Sociology (1954:139), yang merumuskan bahwa masyarakat atau society
adalah: ... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are
operative." Unsur grouping dalam definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita,
unsur common customs, traditions, adalah unsur "adat-istiadat", dan unsur "kontinuitas" dalam definisi

kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.”
Suatu tambahan dalam definisi Gillin adalah unsur the largest, yang "terbesar," yang memang tidak kita
muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu
bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat
Belanda, masyarakat Amerika, dalam contoh di atas.

Universitas Sumatera Utara

kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa
selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Simbol-simbol keberuntungan itu oleh orang
Tionghoa kemudian divisualisasikan dan dimaterialisasikan. Bentuk visual dan
materialnya dapat seperti dupa, kertas paisin, bahkan puak poi digunakan dalam upacara
paisin oleh masyarakat Tionghoa sebagai salah satu simbol.
Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan, termasuk
dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di manapun mereka berada, termasuk di
Indonesia, juga lebih khusus di Pematangsiantar. Mereka selalu melestarikan
kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu. Masyarakat Tionghoa ini mengembangkan
dan

membangun


sistem

kepercayaan

atau

keyakinannya.

Sistem

keyakinan

mempengaruhi dalam kebiasaan bagaimana memandang hidup dan kehidupan.
Termasuk di dalamnya adalah menghormati leluhur atau moyangnya.
Orang-orang Tionghoa, sejak awal nenek moyang mereka ada di daratan China,
mereka tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini namun dengan polarisasi
sosial dan budaya yang berbeda-beda, terutama ketika orang tersebut manganut agamaagama di luar Konghucu, Buddha, dan Tao. Dalam kepercayaan tradisional ini dikenal
konsep tiga alam sebagai inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang
Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam

menjaga keseimbangan alam semesta. Ketiga alam tersebut tidak dapat dipisahkan dan
berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Ketiga alam ini terdiri atas:(1) Alam Langit,
(2) Alam Bumi, dan (3) Alam Baka.
Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa
kehidupan setelah meninggal, yaitu di Alam Baka, lebih kurang sama dengan kehidupan

Universitas Sumatera Utara

manusia di dunia ini. Dalam perkembangannya, terutama bagi orang Tionghoa yang
beragama Buddha, kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian menyelaraskannya
dengan konsep dan kepercayaan terhadap reinkarnasi dalam agama Buddha. Ini
ditandai dengan kepercayaan roh yang hidup di Alam Baka dan akan terlahir kembali ke
dunia sebagai manusia atau makhluk apapun, tetapi mereka lupa dengan kehidupan
sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah kepercayaan tradisional ini menganggap
manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk
lainnya. Tiga alam ini mempunyai hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi
(Reny, 2012).
Di dalam agama Buddha, istilah reinkarnasi (diserap dari bahasa Latin untuk
memaknai sebagai "lahir kembali" atau "kelahiran semula") atau t(um)itis (bahasa Jawa)
yang merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan

kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik
sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut
yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil perbuatannya terdahulu.
Terdapat dua aliran utama reinkarnasi ini. Pertama, mereka yang mempercayai
bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua, mereka yang mempercayai
bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan
kebaikan yang mencukupi, atau apabila mendapat kesadaran agung (nirvana) atau
menyatu dengan Tuhan (moksha).
Kelahiran kembali adalah suatu proses penerusan kelahiran pada kehidupan
sebelumnya. Dalam agama Hindu dan Buddha, kepercayaan kepada reinkarnasi
mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan

Universitas Sumatera Utara

bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat
pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari dukha. Selama jiwa terikat pada
hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu
duka. Dalam ajaran Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia
kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi jika
manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga

tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya
(wawancara dengan informan Aliang di Pematangsiantar 21 Januari 2015).
Masa roh manusia di Alam Baka ketika dalam proses reinkarnasi juga dapat
berkomunikasi dengan manusia khususnya kerabat yang hidup di dunia. Cara
berkomunikasi itu adalah sembahyang (paisin) dan juga melalui artefak kultural yang
disebut puak poi.
Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa (termasuk Tao, Konghucu, dan
Buddha), mementingkan ritual penghormatan kepada leluhur. Hal ini dikarenakan
pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk
leluhur jauh. Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat, telah
terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini
kemudian menjadi titik tolak dan dasar dari kepercayaan tradisional Tionghoa yang
muncul lebih dahulu ada, dibandingkan daripada semua agama yang ada di Tiongkok.
Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa
manusia setelah meninggal akan menuju ke Alam Baka, namun bagi manusia yang
dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat mendapat pengecualian
untuk berdomisili di Alam Langit. Alam Langit dan Alam Baka, juga dipercaya

Universitas Sumatera Utara


mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam
manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas (kim cua) dan uang perak (gin cua)
diciptakan. Uang emas adalah diperuntukkan bagi Dewa dan Dewi di Alam Langit.
Uang perak diperuntukkan bagi roh manusia di Alam Baka. Uang perak juga
diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu). Dalam
konteks komunikasi kepada Dewa dan Dewi serta roh-roh nenek moyang di Alam Baka
tersebut, masyarakat Tionghoa (terutama yang beragama Buddha, Tao, dan Konfusius)
melakukan ritual yang disebut dengan paisin.
Budaya sistem kosmologi masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu,
Buddha, dan Tao juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ajaran kepercayaan terhadap
Dao. Ajaran dari sistem kosmologi mengenai Dao adalah mempercayai bahwa semua
bagian dari kosmos adalah milik satu organik yang menyeluruh (Dao). Dengan
demikian, kerukunan (harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam
jiwa individu, di dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos agar
semua ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna. Semua yang ada, termasuk
manusia, berasal dari Dao dan masing-masing mempunyai tempat yang tepat di
dalamnya. Inti dari Dao adalah mengajarkan bahwa ketidakharmonisan batin kita
dengan Dao adalah bahan penting yang hilang dari agama dan kehidupan yang benar.
Untuk menjalani kehidupan yang baik dan berdamai dengan alam semesta, seseorang
perlu hidup harmonis dengan Dao.
Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Segala
sesuatu adalah hasil dari Dao dan segala sesuatu menuju kepada Dao. Setiap mahluk
hidup atau benda memiliki Dao di dalamnya dan merupakan bagian dari Dao. Hal ini

Universitas Sumatera Utara

membuat setiap mahluk hidup, baik hewan atau tumbuhan, tanpa terelaknya
berhubungan dengan Dao. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat melawan aliran
harmonis dari alam. Jika seseaorang melakukannya akan menciptakan chaos di dalam
keseluruhan Dao dan menyebabkan ketidakseimbangan yang hebat. (Tong, 2010:23)
Begitu juga dengan puak poi di mana dipercayai bahwa artefak ritual ini
mengandung Dao, yang menjadi media penyalur keseimbangan hubunguan harmonis
antara manusia dengan Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib, dan
lainnya. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan unsur-unsur tersebut melalui puak
poi. Itu sebabnnya di dalam setiap ritual masyarakat Tionghoa yang berhubungan
dengan komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib,
selalu ditemukan puak poi sebagai media perantara. Keseluruhan ritual ini lazim disebut
sebagai paisin.
Paisin adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya
hubungan dengan Tuhan (Thien), Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, atau kekuatan
gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Paisin dapat dilakukan
secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama yang dianut
masyarakat Tionghoa, paisin dapat melibatkan nyanyian berupa himne, tarian,
pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan, pernyataan formal
kredo, atau ucapan spontan dari orang yang berdoa (www.wikipedia.com Tradisi
Masyarakat Tionghoa).
Agama Buddha juga selalu menggunakan ritual paisin. Kegiatan berpaisin ini
ada yang mengaturnya dengan cara dapat dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja.
Namun demikian, dalam beberapa komunitas agama Buddha dan Konghucu,

Universitas Sumatera Utara

mengaturnya dengan cara meritualkan kegiatan ini dengan berdasarkan waktu, tata cara,
dan urutan. Ada juga yang menerapkan aturan ketat mengenai apa saja yang harus
disediakan, misalnya benda persembahan (sesaji), serta kapan ritual itu harus dilakukan.
Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan tanda jawaban dari
Tuhan, Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, dan makhluk alam gaib di dalam upacara
paisin orang-orang Tionghoa, terhadap pertanyaan-pertanyaan para pelaku upacara
paisin. Puak poi juga menjadi sarana bertanya kepada Tuhan dan Dewa untuk
mengobati orang yang sedang sakit, dengan obat apa ia disembuhkan. Dengan
demikian, secara umum, puak poi ini juga adalah ekspresi budaya rakyat, yang dapat
dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal kepada Tuhan/Dewa, roh leluhur, dan
mahkluk gaib, yang tidak dapat dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua
yang berkaitan dengan puak poi.
Secara harfiah puak poi juga memiliki arti sebagai berikut: puak adalah meminta
petunjuk dengan melemparkan; sedangkan poi memiliki arti jadi atau terjadilah.
Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya China
telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk mengenai apapun
kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan sarana yang digunakan
untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada para Dewa atau roh leluhur, yang
telah diwariskan oleh nenek moyang dan perlu dilestarikan. Menurut pengamatan dan
pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada sebahagian besar upacara paisin
masyarakat Tionghoa.
Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk
setengah lingkaran. Kedua puak poi ini, sisi satunya cembung dan sisi satunya cekung.

Universitas Sumatera Utara

Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja jenisnya). Zaman dahulu
puak poi berwarna seperti warna asli bambu, sedangkan pada saat sekarang ini puak poi
sebahagian besar terbuat dari kayu yang keseluruhan permukaan luarnya dicat warna
merah. Dalam kebudayaan Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau
kehokian.
Adapun cara menggunakan puak poi dalam konteks upacara paisin tersebut
adalah sebagai berikut. Sebelum melemparkannya ke atas secara vertikal, terlebih
dahulu puak poi tersebut diasapi terlebih dahulu pada hio pada dupa yang telah dibakar,
sehingga ujungnya mengeluarkan asap. Kemudian puak poi tersebut diputar kedua
telapak tangan orang yang melakukan ritual paisin, mengelilingi hio dari arah kiri ke
kanan kemudian orang tersebut melemparkan puak poi ke lantai. Kegiatan ritual
menggunakan puak poi seperti itu juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di
Pematangsiantar.
Pematangsiantar sebagai salah satu kota di Sumatera Utara yang dimukimi
orang-orang Tionghoa. Mereka ini ada yang beragama Buddha, Konghucu, Kristen,
Islam, dan lainnya. Umumnya yang beragama Buddha, Konghucu (yang bersatu dengan
Tao) masih menjalankan ritual paisin secara rutin dan masih memegang kepercayaan
terhadap para leluhur dan Dewa. Masyarakat Tionghoa di kota ini ada yang percaya
fungsi dan makna dari puak poi tersebut. Mereka percaya bahwa puak poi tersebut
merupakan sarana komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan roh leluhur yang dapat
memberikan petunjuk atas apa yang ingin ditanyakan seseorang pada saat paisin.
Contohnya mengenai pertanyaan tentang: karir, rezeki, nasib, kesehatan, pengobatan,
dan jodoh dalam rangka menjalani hidup di dunia ini.

Universitas Sumatera Utara

Puak poi juga banyak digunakan dalam upacara paisin, yang salah satunya pada
saat Ceng Beng. Pada saat Ceng Beng ini seluruh masyarakat Tionghoa akan ziarah ke
makam dan banyak sesajian yang disediakan. Biasanya puak poi juga digunakan untuk
menanyakan apakah para roh leluhur telah datang untuk makan, telah selesai makan,
dan telah mengizinkan para keluarga yang berziarah untuk pulang kembali ke rumahnya
masing-masing. Puak poi dalam konteks ini menjadi media perantara untuk
menfasilitasi komunikasi antara manusia dengan arwah leluhur. Dipercayai bahwa roh
leluhur akan menjawab melalui puak poi melalui tanda-tanda pada hasil lemparan di
depan kuburan ataupun meja persembahan yang telah dipenuhi oleh berbagai jenis
sesajian.
Keberadaan puak poi dalam upacara paisin, seperti diurai di atas sangat relevan
dikaji dari sisi ilmu budaya dan linguistik sekaligus sebagai ilmu yang penulis pelajari
dalam beberapa tahun belakangan ini. Untuk itu perlu dijabarkan sekilas mengenai dua
ilmu ini, yaitu ilmu antropologi budaya dan linguistik.
Pada prinsipnya, antropologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia
dan budaya yang dihasilkan oleh manusia tersebut. Antropologi budaya membantu kita
memahami berbagai adat dan tingkah laku yang dianut oleh masyarakat yang berbeda.
Di Inggris, bidang antropologi budaya awalnya disebut sebagai antropologi sosial.
Bidang ini berkaitan dengan kajian budaya yang berhubungan dengan struktur sosial,
agama, politik, dan berbagai faktor lainnya. Ruang lingkup bidang antropologi sangat
luas. Berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan tercermin dalam adat,
tingkah laku (prilaku), dan bahasa. Berbagai perubahan ini secara bersama-sama

Universitas Sumatera Utara

mengungkapkan gambaran terhadap budaya masyarakat tertentu, yang disebut sebagai
budaya.
Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang mempelajari variasi budaya
manusia. Antropologi budaya mempelajari fakta tentang pengaruh politik, ekonomi, dan
faktor-faktor lain, dari budaya lokal yang terdapat di suatu daerah tertentu. Para
ilmuwan yang bekerja di bidang ini, dikenal sebagai antropolog budaya. Fakta dan data
budaya biasanya diperoleh melalui berbagai metode seperti survei, wawancara,
observasi, perekaman data, pengamatan terlibat (partisipant observer),

pendekatan

emik dan etik, dan lainnya.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penelitian di bidang antropologi budaya
dimulai pada abad ke-19. Antropologi budaya mulai berkembang dengan bantuan upaya
yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi Edward Tylor, J.G Frazen, dan Edward Tylor.
Mereka menggunakan bahan-bahan etnografis yang dikumpulkan oleh para pedagang,
penjelajah, dan misionaris untuk tujuan referensi. Dengan demikian, antropologi budaya
adalah cabang ilmu antropologi yang khusus mempelajari berbagai variasi budaya
manusia.
Dalam kaitannya dengan penulis skripsi sarjana ini, ilmu antropologi budaya
digunakan untuk mengkaji struktur dan makna puak poi pada upacara paisin, dalam
konteks kebudayaan masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu
(bersatu dengan Tao) di Kota Pematangsiantar. Ilmu ini juga digunakan untuk
membantu mengkaji sejauh apa fungsi sosiobudaya artefak puak poi

ini di dalam

kebudayaan masyarakat Tionghoa baik itu yang etniknya: Hokkian, Kwong Fu, Hakka,
Khek, dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya yang dimaksud bahasa dan ilmu bahasa adalah sebagai berikut. Ilmu
bahasa dinamakan linguistik. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua. Lingutsik
modern berasal dari sarjana Swiss Ferdinand de Saussure. De Saussure membedakan
langue dan langage. Ia membedakan juga parole dari kedua istilah tersebut. Bagi de
Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris,
atau bahasa Indonesia) sebagai suatu sistem. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai
sifat khas makhluk manusia, seperti dalam ucapan, "Manusia memiliki bahasa, binatang
tidak memiliki bahasa." Parole (tuturan) adalah bahasa sebagaimana dipakai secara
konkret. Ilmu linguistik sering disebut linguistik umum, artinya linguistik tidak hanya
menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada
umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa linguistik
tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada
umumnya. Objek kajian linguistik adalah bahasa. Yang dimaksud bahasa di sini adalah
bahasa dalam arti sebenarnya, yaitu bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat
komunikasi, bukan bahasa dalam arti kias.
Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objek konkret karena parole itu
berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat
bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu
bahasa tertentu secara keseluruhan, sedangkan langage merupakan objek yang paling
abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik
secara langsung adalah parole itu, karena parole itulah yang berwujud konkret, nyata,
yang dapat diamati atau diobservasi. Kajian terhadap parole dilakukan untuk

Universitas Sumatera Utara

mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue dan dari kajian terhadap langue ini akan
diperoleh kaidah-kaidah langage, kaidah bahasa secara universal.
Secara populer, orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang
bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi
telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Ilmu linguistik sering jugs disebut linguistik
umum (general linguistics). Artinya, ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah
bahasa saja, seperti bahasa Mandailing atau bahasa Arab, melainkan mengkaji seluk
beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia,
yang dalam peristilahan Prancis disebut langage. Untuk jelasnya perhatikan contoh
berikut. Kata bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem,
yaitu morfem per- dan panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena
memberi makna 'sebabkan jadi', perpanjang berarti 'sebabkan sesuatu menjadi panjang'.
Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) be friend yang berarti 'menjadikan sahabat'. Di
sini jelas ada morfem be- dan friend, dan morfem be- juga memberi makna kausatif.
Perhatikan pula kata bahasa Belanda vergroot 'perbesar'. Jelas di situ ada morfem
kausatif ver- dan morfem dasar groot yang berarti 'besar'. Dengan membandingkan
ketiga contoh itu, kita mengenali adanya morfem pembawa makna kausatif baik dalam
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Belanda, ataupun dalam bahasa lain.
begitulah bahasa-bahasa di dunia ini meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada
pula persamaannya. Ada ciri-ciri yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti
linguistik. Maka karena itulah linguistik sering dikatakan bersifat umum, dan karena itu
pula

nama

ilmu

ini,

linguistik,

biasa

juga

disebut

linguistik

umum.

Universitas Sumatera Utara

(https://www.google.co.id/?gws_rd= cr,ssl&ei= qRGzVb2oLJWPuATulp DoCQ#q
=definisi+ilmu+bahasa).
Dengan latarbelakang seperti yang telah dideskripsikan di atas, maka penulis
tertarik untuk meneliti fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin dalam
kebudayaan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, dengan pendekatan ilmu budaya
dan bahasa atau linguistik. Adapun judul skripsi sarjana ini adalah: “Fungsi dan Makna
Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di
Pematangsiantar.” Latar belakang penelitian ini dapat digambarkan melalui Bagan 1.1
sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

Bagan 1.1
Latar Belakang Penelitian Fungsi dan Makna Puak Poi dalam Upacara
Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Fungsi

Linguistik

Makna

Paisin ( Sembahyang)
Artefak Puak Poi

as

i

Antropologi

K

om

un

ik

Teori Fungsionalisme
Semiotik
Manusia
Model Penelitian Kualitatif
Alam Baka
(Roh Leluhur,
Makhluk Gaib)

Alam Bumi

Alam Langit
(Tuhan [Thien]
Dewa, Dewi)

DAO

Sistem Religi :

Buddha, Konghucu,

Kristen, Islam, dll

Etnik: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, dll

Pematangsiantar, Indonesia
Masyarakat Tionghoa dan Kebudayaan di Negeri Tiongkok /
di Perantauan (Hua Ren)

Universitas Sumatera Utara

1.2 Batasan Masalah
Setiap penulisan karya ilmiah pastilah bertitik tolak dari adanya masalah yang
dihadapi dan perlu untuk dipecahkan. Agar penulisan skripsi ini terhindar dari batasan
yang terlalu luas dan kesimpangsiuran dalam menafsirkan, maka penulis akan
membatasi permasalahan pada fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin
masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

1.3 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan dan diuraikan oleh penulis
diatas, maka, penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana fungsi puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di Kota
Pematangsiantar?
2. Bagaimana makna puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di kota
Pematangsiantar?

1.4 Tujuan Penelitian
Melalui penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan

penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis fungsi puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan
masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.
2. Menganalisis makna puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan
masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Universitas Sumatera Utara

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah
penulis bagi ke dalam dua jenis manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Kedua manfaat ini dijabarkan sebagai berikut.

1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan pengetahuan dan
pemahaman tentang makna puak poi pada masyarakat Tionghoa secara umum dan pada
masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar secara khusus. Selain itu juga untuk
mengetahui fungsi dari puak poi dalam kehidupan sehari-hari.Penelitian ini juga
diharapkan dapat

menjadi referensi ataupun dapat dijadikan sebagai bahan

perbandingan penelitian-penelitian yang akan datang.

1.5.2 Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum, maupun
masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar khususnya dapat memahami fungsi dan
makna dari puak poi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara