Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar

(1)

GLOSARIUM

Akulturasi: proses bercampurnya dua budaya atau lebih membentuk budaya baru dan mengandung kepribadian kebudayaan yang berbaur tersebut. Asimilasi: proses sosiobudaya masuknya seseorang yang berasal dari satu

kebudayaan ke dalam kebudayaan dominan

Buddha: adalah sebuah sistem religi (agama) yang dibawa oleh Sidharta Gautama dari India, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Cheng beng: ziarah kubur orang tua

Chuat guek pa: dibukanya pintu nereraka

Dao: adalah satu sistem religi, yang berpusat dari keberadaan Dao di dunia ini. Ajaran ini sering juga disebut dengan Tao atau Taoisme.

Etnik: kelompok manusia yang dipandang sebagai keturunan yang sama, memiliki bahsa yang sama, dan hidup pada wilayah budayanya. Gong Xi Fat Cai: ucapan yang berarti selamat dan sukses saat Imlek.

Huaqiao: China perantauan Huaren: Tionghoa sebagai etnik Huen tong: surge

King ang: guci

Konghucu (Konfusius): adalah sebuah sistem religi yang berasal dari ajaran-ajaran religi dan filsafat Konfusius atau Kon Fu Tse.

Kuomintang: Partai Nasionalis China

Masyarakat: kesatuan hidup manusia, yang memiliki berbagai tujuan social dan kebudayaan yang sama.

Migrasi: proses perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain secara permanen

Paisin: adalah aktivitas sembahyang pada umumnya yang dilakukan umat Tao, Buddha, dan Konghucu, biasanya memohon dan menanyakan sesuatu kepada Tuhan/Dewa-Dewi, nenek moyang di Alam Baka, atau makhluk-makhluk gaib lainnya.

Puak Poi: sebuah artefak religi pada masyarakat Tionghoa yang lazim digunakan sebagai sarana komunikasi baik terhadap Alam Langit maupun Alam Baka, biasanya menanyakan dan mengharapkan sesuatu melalui petanda jawabannya, yaitu tiga jawaban: sengpoi, jipoi, dan kampoi. San chiao wei yi: Tiga agama yaitu Tao, Budha, dan Konfutse adalah satu Se shio: nama-nama binaatang untuk tahun China

She: nama keluarga yang ditarik secara patrilineal Sia hwe: kamar dagang Tionghoa

Tang cek: musim salju

Tenglang: dari kata Tangren, laki-laki dari Dinasti Tang

Tengsua: dari kata Tangsan, Gunung Timur, Tionghoa perantauan Tiong chiu: bulan 8 hari 15 penyembahan Dewi Bulan

Tionghoa: orang-orang yang berasal dari Tiongkok (Kerajaan Langit) Tuan yang: hari raya bulan 5 menghormati penyair Chin Yen

Tui lien: kain merah saat Imlek.


(2)

Xin ke: pendatang baru Yang lek: tahun Msehi

Zangguo Xuetong: keturunan Tionghoa


(3)

DAFTAR INFORMAN DAN PELAKU PAISIN

YANG MENGGUNAKAN PUAK POI DI PEMATANGSIANTAR

A. Informan Kunci (Key Informant)

(1) Nama: Susanto Wijaya (Akiong) Agama: Buddha.

Profesi: Saikong (pemimpin upacara orang meninggal, upacara ini lazim disebut dengan tua pi ciu) dan pemilik kelenteng.

Umur: 68 tahun. (2) Nama: Aliang Agama: Buddha

Pekerjaan: Wiraswasta. Ia dipandang oleh masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar sebagai sesepuh kebudayaan Tionghoa, yang banyak menegetahui tentang agama Buddha, Konghucu, dan Tao. Ia juga memahami tata cara upacara paisin dan makna-makna di balik upacara tersebut.

Umur: 75 tahun.

B. Para Pelaku Paisin yang Menggunakan Puak Poi

(1) Juli (2) Candra (3) Fitri (4) Nita (5) Fani


(4)

DAFTAR PERTANYAAN

1. Siapa nama Anda? 2. Apa profesi Anda?

3. Telah berapa lama anda tinggal di daerah ini? 4. Apakah Anda mengetahui apa itu Puak poi? 5. Menurut Anda apakah Puak poi itu?

6. Seberapa sering Anda menggunakan Puak poi? 7. Bagaimana tata cara penggunaan Puak poi? 8. Bagaimana bentuk Puak poi menurut Anda? 9. Apa fungsi Puak poi menurut Anda?

10.Apa Makna Puak poi menurut Anda?

11.Bagaimana cara Anda agar fungsi dan makna Puak poi dapat lebih

dipahami oleh masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar yang masih belum mengetahui Puak poi?


(5)

DAFTAR PUSTAKA a. Buku dan Artikel

Abdurrahmat, H. Fathoni, 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rhineka Cipta.

Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.

Akim, Stafanus, 2002. Memahami Budaya Tionghoa. Jakarta: Gramedia.

Ali, Mukti, 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Press.

Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press.

Ardianto dan Lukiah Komala, 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Simbiosa Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Azra, Azyumardi, 2007a. Islam in the Indonesian World: An Account of

Institutional Formation. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi, 2007b. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jakarta: Kanisius.

Bangun, Payung, 1981. Kebudayaan Batak & Pariwisata IV. Medan: Yayasan Kebudayaan Batak.

Barthes, R., 1967. Elementss of Semiology. London: Jonathan Cape.

Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra.

Bascom, William R., 1965. “The Forms of Folklore: Prose Narratives.” Journal of

American Folklore. Volume 78, nomor 307, Januari-Maret 1965.

Badan Pusat Statistik Pemerintah Kota Pematangsiantar, 2015. Pematangsiantar

dalam Angka. Pematangsiantar: BPS.

Benny, H. Hoed, 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli

1915-1940. Yale: Yale University. Disertasi Doktoral.

Damanik, Jahutar, 1974. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Medan: P.D. Aslan. Danandjaja, Djames, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan

Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative


(6)

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Fiske, John. Cultural and Communication Studies SebuahPengantar Paling Komprehensif. Bandung: Jalasutra

Hadari dan Martini, 1994. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.

Harahap, H.M.D., 1986. Adat-Istiadat Tapanuli Selatan. Jakarta:

Grafindo-Utama.

Harsojo, 1977. Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta: Bina Cipta. Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A. Knopft.

Herskovits, Melville J. dan Frances S., 1958. Dahomean Narrative: A

Cross-cultural Analysis.Northwestern University African Studies, No. 1. Evanston,

III.: Northwestern Univ. Press.

Ihromi, T.O.2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor. Jhuenhyie, 2000. Budaya China. Jakarta: Salemba

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Elektronik Luar Jaringan. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kartodirdjo, Sartono, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1973. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat (ed.), 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Kwek, J.S., 2006. Mitologi China Dan Kisah Alkitab. Medan: Penerbit Andi.


(7)

Littlejohn, Stephen W, 2009.Theories of Human Communication edisi 9. Jakarta. Salemba Humanika.

Malinowski, 1948 Man and His Works: The Science of Cultural

Anthropo-logy. New York: Knopf.

Malinowski, 1955 Cultural Anthropology. New York: Knopf. (An abridged revision of) Man and His Works, 1948.

Malinowski, 1944. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori

Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), 1987. Jakarta: Universitas

Indonesia Press.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roskarya.

Mulyana, Deddy. 2005.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat, 2006. Komunikasi Antarbudaya:

Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Nababan, P.W.J., 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Narroll, R. 1964. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ong Hok Kam, 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu

Poerwadarminta (ed.), 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: balai Pustaka.

Poerwadarminta (ed.), 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian

Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jakarta:

Tesis Magister Antropologi Universitas Indonesia.

Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.

Sangti, Batara [Ompu Buntilan], 1977. Sejarah Kebudayaan Batak. Balige: Karl Sianipar.

Siahaan, Yudhistira, 2012. Kajian Musikal dan Pertunjukan Barongsai dalam


(8)

Kompleks Perumahan Cemara Asri Medan. Medan: Skripsi Sarjana

Program Studi Etnomusikologi FIB USU.

Silviana, Yoan, 2012. Fungsi dan Makna Penyambutan Imlek pada Masyarakat

Tionghoa di Pematangsiantar. Medan: Skripsi Sarjana Program Studi Sastra

China FIB USU.

Sinar, Tengku Luckman, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.

Sou`yb, Joesoef, 1996. Agama-agama Besar didunia, Jakarta: Al-Hussna Dzikra. Suryadinata, Leo, 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:

LP3ES. Juga dalam versi Inggris: Leo Suryadinata, 1997. Chinese and

National-Building in Souteast Asia. Asian Studies Monograph No. 3.

Singapore: Singapore Society of Asian Studies.

Suryadinata, Leo, 1992. Pribumi Indonesians: The Chinese Minorities and China

A Study of Perceptions and Politics. Singapore: Heinemann Asia.

Suryanto, Pdt. Markus T., 1996. Mengenal Adat Istiadat Tionghoa. Jakarta: Pelkrindo (Pelayanan Literatur Kristen Indonesia).

Syafrida, Reny. 2012. Fungsi dan Makna Penyembahan Leluhur Pada

Masyarakat Tionghoa. Skripsi Sarjana Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya

USU Medan.

Wang Gungwu, 1981. Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the

Chinese. Kuala Lumpur: Heinemann.

Wilton, Syeelwem S., 2014. Struktur dan Makna upacara Cheng Beng bagi

Masyarakat Tionghoa di Berastagi. Skripsi Saraja Sastra China, Fakultas

Ilmu Budaya USU Medan.

Tambunan, Netor Rico, 1996. “Dr. I.L. Nommensen: Missionaris Besar, Penguakl Kegelapan Tanah Batak,” dalam Kartini, nomor 601. Desember 1996. Takari, Muhammad, 1997. Struktur Musik Tua Pi Ciu yang Dipergunakan oleh

Masyarakat Tionghoa di Kota Medan pada Upacara Tiau Sang. (Laporan

Penelitian) Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Tanggok, M. Ikhsan, 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di

Indonesia. Jakarta: Pelita Kebajikan.

Tong, Daniel.2010. Tradisi dan Kepercayaan China. Jakarta: Pustaka Sorgawi Vasanti, Puspa, 1990. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia,” dalam

Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: Penerbit Jambatan.


(9)

Widyosiswoyo, Supartono. 2001. Sejarah Seni Rupa di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

b. Internet

www.baiduwenhua.cn

http:/etnis_Tionghoa_reformasi

www.wikipedia.com www.sumut.go.id. www.google.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu#Intisari_ajaran_Khong_Hu_Cu http://www.g-excess.com/136/pengertian-agama-konghucu/

http://misi.sabda.org/konfusianisme

= definisi+ilmu+bahasa).


(10)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota Siantar, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian analisis fungsi dan makna tradisi puak poi dalam etnik Tionghoa di kota Siantar melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin telah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari fungsi dan makna dari tradisi puak poi pada masyarakat


(11)

Tionghoa. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).

Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah adalah suatu metode yang telah lama dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920-an dan 1930-an. Hasil penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang kompleks dan saling terjalin.

Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diuraikan berikut ini.


(12)

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4, dalam Denzin dan Lincoln,

1995).

Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan kadangkala kounterdisiplin. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian kualitatif ini inheren dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan politik.

Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna tradisi puak poi pada masyarakat Tionghoa di kota Pematangsiantar, maka metode penelitian yang penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi, filsafat, linguistik), juga ilmu-ilmu bantu lainnya.


(13)

Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya untuk menguraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji dalam perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal yang melatarbelakangi kegiatan puak poi dalam upacara paisin ini.

3.2 Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi

setiap penulils untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada upacara

paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Data-data yang digunakan

diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut:

Sumber Data Primer : 1. Susanto Wijaya (Akiong)

Profesi : Saikong (pemimpin upacara orang meninggal) dan pemilik kelenteng.

Sumber Data Primer :2. Aliang

Profesi : Wiraswasta

Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data yang memiliki kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Data yang diperoleh informan kunci inilah yang menjadi bahan kajian


(14)

utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci.

Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut.

Sumber Data Sekunder : Sekilas Budaya Tionghoa

Halaman : 120 hlm

Percetakan : Gramedia

Penerbit : PT Bhuana Ilmu Komputer

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Langkah dalam teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengumpulkan data: wawancara, observasi lapangan, dan studi kepustakaan. Kegiatan wawancara penulis lakukan kepada informan kunci. Observasi lapangan adalah dengan cara mengamati langsung proses paisin dan pelemparan puak poi. Studi kepustakaan adalah membaca berbagai sumber keilmuan seperti skripsi, makalah, buku, jurnal, dan sebagainya serta sumber-sumber dari internet seperti blog, situs, dan lain-lainnya.

Sebelum teknik wawancara dilakukan, penulis membuat pedoman sesuai wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang pengusaha. Penulis datang dan bertanya langsung tentang religi tradisional ini. Kemudian sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang religi tradisional budaya Tionghoa.


(15)

Penulis juga menemui seorang pemuka adat Tionghoa yang bernama Bapak Aliang yang merupakan salah satu keturunan etnik Tionghoa. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan objek penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan data yang sangat sedikit dari Bapak Aliang ini.

Untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Pematangsiantar. Penulis bertemu dengan Bapak Akiong, salah seorang pengurus vihara, pemilik kelenteng dan sebagai saikong (pemimpin upacara kematian). Melalui wawancara dengan beliaulah penulis memperoleh informasi tentang religi-religi tradisional masyarakat Tionghoa serta sistem kosmologi Tionghoa. Bapak Akiong dengan senang hati menceritakan religi-religi tersebut, dan mereka sangat senang saat penulis menanyakan tentang kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan Khas Tionghoa adalah kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak orang yang ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa.

3.3.1 Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan

pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan data salah satu teknik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini penulis mengadakan tujuh kali pengamatan/observasi secara langsung terhadap tradisi puak poi.


(16)

3.3.2 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah pada keluarga etnik Tionghoa, Pemuka Adat, Kelenteng dan Vihara yang ada dikota Siantar. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang Tradisi

Puak poi.

Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:

1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau casual interview. Bentuk wawancara ini penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus vihara, kelenteng dan pemuka adat.


(17)

3.3.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian yang telah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi puak poi pada masyarakat Tionghoa Siantar .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat penelitian.


(18)

4. Data yang di analisis dengan menggunakan teori fungsionalisme adalah data yang sudah terkumpul kemudian di tafsirkan oleh penulis. Sedangkan, data yang di analisis yang menngunakan teori semiotik adalah data yang berasal dari sumber data primer dan sumber data sekunder.


(19)

BAB IV

GAMBARAN UMUM SISTEM RELIGI MASYARAKAT TIONGHOA DAN TERAPANNYA DI PEMATANGSIANTAR

Mengkaji puak poi sebagai sebuah artefak budaya, jelas tidak dapat dipisahkan dari sistem religi yang menyebabkan timbul dan berkembangnya artefak ini. Kemudian membahas puak poi ini tidak cukup hanya pada benda itu sendiri, tetapi lebih jauh dalam konteks upacara sembahyang yang lazim disebut

paisin. Secara lebih luas lagi, mengkaji puak poi dalam rangka paisin ini, tidak

dapat dilepaskan dari latar belakang sistem religi yang mendasarinya, terutama Konghucu, Tao, dan Buddha.

Pada Bab IV ini dikaji mengenai gambaran umum sistem religi [agama] masyarakat Tionghoa yang berkaitan erat dengan keberadaan puak poi ini, yaitu: Konghucu, Tao, dan Buddha. Kemudian mendeskripsikan ketiga sistem religi ini dalam kehidupan masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Tionghoa yang menganut ketiga sistem religi tersebut di Kota Pematangsiantar. Apakah ada terapan-terapan yang berbeda dengan masyarakat Tionghoa pada umumnya di seluruh dunia, atau tidak banyak perbedaan terapannya, terutama dalam konteks

puak poi dan upacara paisin ini.

Hal ini penulis lakukan untuk dapat memetakan keberadaan fungsi dan makna puak poi baik secara luas dalam konteks kebudayaan Tionghoa di seluruh dunia, maupun secara rinci dan detil khusus masyarakat Tionghoa di sebuah kota yang disebut Pematangsiantar. Itulah landasan berpikir dalam rangka


(20)

mendeskripsikan sistem religi dan terapannya di Pematangsiantar dalam mengkaji keberadaan puak poi.

4.1 Berbagai Sistem Religi Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai sistem religi,1

Karena sejarah dan asal-usul tempat yang sama ini, maka banyak ditemukan kesamaan antara agama Buddha dan Hindu. Bahkan, jika seseorang

baik yang berasal dari kawasan setempat, yaitu daratan China maupun dari luar, terutama India dengan agama Buddha. Sebagai permulaan, agama Buddha ternyata bukanlah agama asli masyarakat Tionghoa, melainkan “diadopsi” dari India. Namun demikian ajaran-ajaran Tao dan Konfusius memang diakui tumbuh dan berkembang di daratan China. Kedua ajaran ini mengembangkan filsafat kebajikan untuk hidup di dunia ini, dan menyembah kepada Tuhan (Thien). Mereka harus berbuat baik kepada semua manusia dan makhluk di dunia ini.

1

Salah satu cabang antropologi yang dapat memberikan gambaran tentang adanya aktivitas religi pada manusia purba adalah ilmu prehistori atau arkeologi. Melalui penemuan bukti-bukti ilmu tersebut, ternyata Homo Neanderthal yang pernah hidup di Eropa kira-kira 500.000 tahun yang lalu ditemukan posisi telentang seperti dimakamkan. Petunjuk ini membuktikan bahwa makluk tersebut bukan mati seperti binatang. Bahkan di sekitar tubuhnya ditemukan benda-benda artefak yang secara sengaja diletakan kedalam kuburnya. Hal ini menunjukan bahwa pada manusia purba telah ditemukan dasar-dasar aktivitas religi. Penguburan manusia berkaitan dengan adanya keyakinan bahwa akan ada kehidupan setelah kematian. Ada semacam keyakinan, adanya kehidupan di alam baka (alam kubur). Pada perkembangannya, antropologi berusaha mengungkap latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan supranatural? Mengapa pula manusia melakukan aktivitas-aktivitas yang beraneka ragam untuk melakukan dan mencari hubungan dengan kekuatan supranatural? Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem religi yang berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan? Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang ada dimuka bumi ini dan kemudian mengklarifikasi ke dalam beberapa konsep. Beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa; (b) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya; (c) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia. (d) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya; (e) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai warga masyarakat; (f) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu firman dari tuhan (Koentjaraningrat, 1980).


(21)

mengunjungi Laos, sebuah negara yang didominasi agama Buddha, dan mengamati beberapa monumen di sana, akan ditemukan gambar-gambar Buddha yang sangat meyerupai gambar-gambar pada cerita kepahlawanan agama Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Dengan demikian diingkinkan adanya Dewa Monyet dalam mitologi China kuno adalah memiliki hubungan persamaan dengan Hanoman, si raja monyet dalam mitologi Hindu.

Selanjutnya, suatu penelitian atas ajaran sistem religi yang disebut Dao menunjukkan bahwa ajaran itu tidak dimulai sebagai suatu agama, tetapi sebagai suatu sistem pemikiran filosofis. Begitu juga dengan agama Konghucu. Pada dasarnya, sistem religi yang awal kali menguasai orang-orang Tionghoa adalah sistem religi rakyat atau suku. Setiap suku menyembah Dewa-dewa yang berasal dari provinsi, kota, ataupun desa mereka sendiri. Dewa-dewa ini menjadi lebih dihormati lagi di masa Dinasti Shang.

4.1.1 Konghucu

Penemu dari sistem religi ini adalah Kung Fu Tze (551-479 BC) atau dikenal juga dengan Konghucu dalam bahas Latin. Dalam ajaran-ajarannya, Konghucu menekankan aspek kemanusiaan dalam menjalani kehidupan. Hal ini timbul dari pandangannya jika seseorang tidak dapat mengurusi kehidupan duniawi, dia seharusnya tidak menghiraukan kehidupan surgawi. Suatu pribahasa yang sering dikaitkan dengan sistem religi Konghucu adalah: “Jika kita tidak mengenal kehidupan, mengapa kuatir tentang kematian.” Konghucu pada dasarnya adalah seorang humanis yang percaya akan kecakapan dan kemampuan manusia, mendukung bahwa semua manusia pada dasarnya adalah baik.


(22)

Khong Hu Cu (Konghucu) hidup 2.500 tahun lalu, tetapi hingga akhir abad ke-16 ia belum dikenal orang di belahan dunia Barat, yaitu ketika namanya dilatinkan menjadi Konfucius. Namun kita tidak pernah dapat berharap seperti apa sebenarnya Khong Hu Cu itu dan apa saja yang terkandung dalam ajarannya.

China adalah sebuah Negara yang memiliki sejarah cukup panjang, yang konon dimulai sekitar tahun 2.700 S.M. China memiliki tiga agama besar yaitu Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme. Beberapa sumber kuno seperti Sje-Tsing (Buku Puji-pujian), dan Shu Ching (Buku Sejarah). Memberi kesan bahwa bangsa China purba menganut faham monoteis, yaitu percaya pada satu Tuhan, nama yang diberikan untuk Tuhan mereka adalah Shang-Ti (Penguasa Tertinggi), dan Thien (Sorga).

Akan tetapi dalam perkembangan sejarah China, kepercayaan yang semula pada satu Tuhan menjadi kacau karena bangsa China mulai mempercayai roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang, yang semuanya itu mereka puja dalam upacara-upacara pengorbanan. Kira-kira pada abad VI S.M., kehidupan serta moral bangsa China mulai merosot.

Dalam situasi seperti ini lahirlah Konfusius, atau Kong Hu Tzu atau Kong Fu Tze, yang kemudian ajaran-ajarannya kemudian sangat berpengaruh besar dalam kehidupan bangsa China. Selama hampir 25 abad Konfusius dianggap sebagai guru pertama oleh orang-orang China. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum Konfusius tidak ada guru di China, melainkan merupakan pengakuan dari bangsa China bahwa Konfusius berada pada tingkat paling atas dari semua guru tersebut.

Agama Konghucu, atau biasa dibunyikan dengan Kong Hu Cu, di kaitkan dengan nama pendiri agama ini yaitu Kung Fu Tze (551-479 SM). Ada yang


(23)

menilai bahwa ajaran Kung Fu Tze bukanlah suatu agama melainkan hanyalah ajaran tentang nilai-nilai (etika) saja, karena Kung Fu Tzu sendiri menghindarkan diri untuk berbicara tentang alam gaib. Akan tetapi R.E. Hume dalam bukunya edisi 1950 menjelaskan bahwa sistem ajaran Kung Fu Tzu itu mengenal pengakuan terhadap kodrat Maha Agung (Supreme Being), serta mempercayai pemujaan terhadap arwah nenek moyang, juga mengajarkan tata tertib kebaktian. dengan landasan inilah seiring perkembangan zaman ajaran Konfusius termasuk kepada ajaran keagamaan.

Bagi Konghucu, anugerah yang menyelamatkan terletak pada kenyataan bahwa sifat kita pada dasarnya adalah baik. Jika dipikirkan hal-hal yang benar, maka seseorang tersebut akan melakukan tindakan yang baik dan diselamatkan. Karena itu, penekanan sistem religi ini adalah pada pendidikan di masa lalu, dan kebijaksanaannya dalam konteks hubungan kemanusian dan sosial yang universal di dunia ini. Adapun inti ajaran dari sistem religi ini adalah empat kebijakan utama dan lima hubungan utama. Empat kebijakan utama itu adalah: (1) taat kepada pemimpin atau negara; (2) sayang kepada orang tua; (3) baik kepada sesama; dan (4) setia kepada teman. Selanjutnya konsep lima hubungan utama itu adalah: (i) antara pemimpin (negara) dan warga negara; (ii) antara ayah dan anak; (iii) antara suami dan istri; (iv) antara kakak dan adik, dan (v) antara teman. Ajaran sistem religi Konfusius mengenai empat kebijakan utama dan lima hubungan utama ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.


(24)

Tabel 4.1:

Empat Kebijakan Utama dan Lima Hubungan Utama dalam Sistem Religi Konfusius

Ajaran Konfusius dalam Membina Hubungan Sosial

Empat Kebajikan Utama Lima hubungan Utama

1. Taat pada pemimpin atau negara 2. Sayang kepada orang tua 3. Baik kepada sesama 4. Setia kepada teman

1. Antara pemimpin (negara) dan warga negara

2. Antara ayah daan anak 3. Antara suami dan istri 4. Antara kakak dan adik 5. Antara teman

4.1.2 Taoisme (Dao)

Penemu sistem religi Dao yang dikenal addalah Lao Tze (604-524 S.M.) dan Zhuang Tze (369-286 S.M.). Lao Tze mendirikan aliran filosofis dari pemikiran Dao Jia, yang menekankan kebijaksanaan dan senioritas. Aliran pemikiran ini difokuskan pada dimensi sosial kehidupan, yaitu percaya bahwa seseorang dapat mencapai keabadian melalui pengejatan kebijaksanaan. Karena itu, senioritas sangat dihargai, dan orang tua dihormati karena banyaknya pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah dimiliki seumur hidup mereka.

Sistem religi Dao mempercayai bahwa semua bagian dari kosmos adalah milik satu organik yang menyeluruh (yaitu Dao). Dengan demikian, kerukunan (harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam jiwa individu, di dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos, agar semua ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna.

Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Hal itu tidak dapat dinamai, dijelaskan, dan diajarkan. Praktisi dari Shen percaya bahwa dunia roh yang kuat dan nyata dipenuhi oleh roh-roh yang perilakunya dibentuk


(25)

oleh kegiatan manusia. Roh-roh yang lebih kuat dianggap memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan manusia dan mengendalikan kegiatan manusia. Ajaran Dao itu mencakup roh di surga, roh di bumi, Dewa-dewa pada rumah tangga, Dewa-dewa di kuil, dan roh-roh baik dan jahat. Kepercayaan seperti ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2:

Kepercayaan terhadap Makhluk Gaib pada Sistem Religi Dao (Taoisme)

Jenis Makhluk Gaib Contoh Makhluk Gaib

Roh di surga Misalnya, Tien gong; roh bintang; angin;

hujan; guntur; dan roh yang bercahaya

Roh di bumi Misalnya, Tu Di Gong; dewa kayu dan

api; jalan air atau roh air Dewa-dewa rumah tangga Misalnya, dewa dapur; dewa

kemasyhuran; dewa kemakmuran; dewa umur panjang

Dewa-dewa kuil Misalnya, Na Cha; dewa monyet;

dewa-dewa sembilan kaisar

Roh-roh baik dan jahat Roh-roh baik dipercaya sebagai dewa daerah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari, sementara roh-roh jahat dipercaya sebagai roh orang-orang yang telah mati yang tidak mau melepaskan kehidupan dunia.

4.1.3 Agama Buddha

Agama Buddha dimulai dari India dan menyebar ke seluruh China sekitar

abad peertama sebelum Masehi. Awalnya Siddhartha Gautama (563-483 S.M.), seorang pangeran, yang pada saat lahir diramalkan akan menjadi penyelamat dunia. Ayahnya, sang raja, karena takut ramalan itu benar, sengaja mengasingkan Siddhartha Gautama dari dunia di luar istana.

Pada suatu hari ketika Siddhartha Gautama dewasa, dia berhasil menyelinap keluar dari istana, dan dikejutkan dengan kemiskinan serta


(26)

penderitaan yang dilihatnya di antara rakyat biasa. Dihadapkan dengan hal ini dan juga ketidakmampuan untuk mengubah kenyataan, Siddhartha Gautama meninggalkan istana, dia tinggal di bawah sebuah pohon untuk bermeditasi tentang kehidupan. Dipercayai bahwa melalui masa meditasinya, dia mendapatkan pencerahan mengenai kehidupan dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan. Itulah awal kali kelahiran agama Buddha di dunia ini.

Adapun inti ajaran agama Buddha ini adalah sebagai berikut. Buddha diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahan-Nya. Inilah alasan mengapa umat Buddha, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.

Berikut ini adalah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan kekaguman umatnya terhadap ajaran Buddha, sebagai hasil wawancara dengan dua narasumber penulis, yaitu Pak Susanto Wijaya dan Pak Aliang (selama kurun waktu 2014) .

1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas (kasta). Buddha mengajarkan bahwa manusia menjadi baik atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan pula karena percaya atau menganut suatu ajaran agama. Seseorang baik atau jahat karena perbuatannya. Dengan berbuat jahat, seseorang menjadi jahat, dan dengan berbuat baik, seseorang menjadi baik. Setiap orang, apakah ia raja, orang miskin atau pun orang kaya, dapat masuk surga atau neraka, atau mencapai Nirvana, dan hal itu bukan karena kelas atau pun kepercayaannya. 2. Agama Buddha mengajarkan belas kasih yang universal. Buddha mengajarkan

umatnya untuk memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada semua makhluk tanpa kecuali. Terhadap manusia, janganlah membedakan


(27)

bangsa. Terhadap hewan, janganlah membedakan jenisnya. Metta harus dipancarkan kepada semua hewan termasuk yang terkecil seperti serangga. Hal ini berbeda dengan beberapa agama lain yang mengajarkan bahwa hewan diciptakan Tuhan untuk kepentingan kelangsungan hidup manusia, sehingga membunuh makhluk selain manusia bukanlah kejahatan. Beberapa agama bahkan membenarkan membunuh orang bersalah yang menentang agamanya. 3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya Sang

Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaran-Nya. Semua adalah pilihan sendiri, tergantung pada hasil kajian masing-masing individu. Buddha bahkan menyarankan, “Jangan percaya apa yang Ku katakan kepadamu sampai kamu mengkaji dengan kebijaksanaanmu sendiri secara cermat dan teliti apa yang Kukatakan.” Hal ini pun berbeda dengan agama lain yang melarang pengikutnya mengkritik ajarannya sendiri. Ajaran Buddha tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan kritik-kritik terhadap ajaran-Nya. Jelaslah bagi umat Buddha bahwa ajaran Buddha memberikan kemerdekaan atau kebebasan berpikir.

4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung. Buddha bersabda, “Jadikanlah dirimu pelindung bagi dirimu sendiri. Siapa lagi yang menjadi pelindungmu? Bagi orang yang telah berlatih dengan sempurna, maka dia telah mencapai perlindungan terbaik.” Ini dapat dibandingkan dengan pepatah bahasa Inggris, “God helps those who help themselves,” maksudnya Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan, kemerdekaan, dan menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan. Buddha tidak pernah mengutuk seseorang ke neraka atau pun menjanjikan seseorang ke surga atau


(28)

Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang, sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.” Pilihan untuk mengikuti jalan-Nya atau tidak, tergantung pada orang yang bersangkutan. Hal ini pula yang membedakan dengan agama lain yang percaya Tuhan dapat menghukum orang ke neraka atau mengirimnya ke surga. Tatkala orang melakukan segala jenis dosa, jika dia memuja, berdoa, dan menghormati Tuhan, maka Tuhan akan menunjukkan cinta-Nya dan mengampuni orang tersebut. Hal ini membuat orang menjadi terdorong untuk tidak peduli, sebesar apapun dosanya, jika dia memuja Tuhan, dia akan diampuni. Karena ini pulalah, dia akan terbiasa menunggu bantuan orang lain daripada berusaha dengan kemampuan sendiri.

5. Agama Buddha adalah agama yang suci. Yang dimaksudkan di sini adalah agama tanpa pertumpahan darah. Dari awal perkembangannya sampai sekarang, lebih dari 2500 tahun –agama Buddha tidak pernah menyebabkan peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui senjata dan kekerasan. Di lain pihak, banyak pemimpin agama yang sekaligus juga menjadi raja dari kerajaannya, dan pada saat yang sama menjadi diktator dari agamanya. Meskipun ada beberapa agama yang tidak disebarkan melalui senjata atau kekerasan, tetapi mereka telah menyebabkan terjadinya perang antar agama. Hal ini menyebabkan agama tersebut tidak dapat dianggap sebagai agama yang suci atau bebas dari pertumpahan darah.

6. Agama Buddha adalah agama yang damai dan tanpa monopoli kedudukan. Dalam Dhammapada, Buddha bersabda, “Seseorang yang membuang pikiran untuk menaklukkan orang lain akan merasakan kedamaian.” Pada saat yang


(29)

sama, Beliau memuji upaya menaklukkan diri sendiri. Beliau berkata, “Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk sejati. Tetapi seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja yaitu dirinya sendiri, dialah pemenang tertinggi.” Di sini, menaklukka n diri sendiri terletak pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian. Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh orang-orang tak seagama atau pun menganggap mereka sebagai orang yang berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak peduli agama apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk beroleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Sebaliknya, siapapun yang menganut agama Buddha tetapi tidak mempraktikkannya, hanya akan beroleh sedikit harapan akan pembebasan dan kebahagiaan.

Dalam agama Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat mencapai Kebuddhaan. Dalam agama lain, tiada siapapun dapat menjadi Tuhan selain Tuhan sendiri, tidak peduli sebaik apapun pengikutnya bertindak. Seseorang takkan pernah mencapai tingkat yang sama dengan Tuhan. Bahkan pemimpin agama pun takkan pernah mencapai ketuhanan.

7. Agama Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat. Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu muncul dari suatu sebab. Tiada suatu apapun yang muncul tanpa alasan. Kebodohan, ketamakan, keuntungan, kedudukan, pujian,


(30)

kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab. bAkibat-akibat baik muncul dari keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan jahat.

Prinsip-prinsip sebab dan akibat, suatu kondisi yang pada mulanya sebagai akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat agama Buddha tidak ketinggalan zaman daripada agama-agama lain di dunia.2

2

Agama Buddha ini pun pernah menyebar luas ke Nusantara. Pada akhir abad ke-5, seorang biksu Buddha dari India mendarat di sebuah kerajaan di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Tengah sekarang. Pada akhir abad ke-7, I Tsing, seorang peziarah Buddha dari Tiongkok, berkunjung ke Pulau Sumatera (kala itu disebut Swarnabhumi), yang kala itu merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya. Ia menemukan bahwa Buddhisme diterima secara luas oleh rakyat, dan ibukota Sriwijaya (sekarang Palembang), merupakan pusat penting untuk pembelajaran Buddhisme (kala itu Buddha Vajrayana). I Tsing belajar di Sriwijaya selama beberapa waktu sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Pada pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah berada di bawah kekuasaan raja-raja Dinasti Syailendra yang merupakan penganut Buddhisme. Mereka membangun berbagai monumen Buddha di Jawa, yang paling terkenal yaitu Candi Borobudur. Monumen ini selesai di bagian awal abad ke-9. Di pertengahan abad ke-9, Sriwijaya berada di puncak kejayaan dalam kekayaan dan kekuasaan. Pada saat itu, kerajaan Sriwijaya telah menguasai Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Semenanjung Malaya.


(31)

Gambar 4.1:

Peta Wilayah Persebaran Agama Buddha di Dunia

Sumber:

4.2 Terapan Ketiga Sistem Religi pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar

Orang-orang Tionghoa yang menganut sistem religi Konghucu, Tao, dan Budha di Kota Pematangsiantar, secara dasar mengacu kepada sistem religi yang ada di era China Kuno. Ketiga-tiga umat yang menganut sistem religi yang telah diuraikan di atas, yaitu Tao (Dao), Konghucu, dan Buddha dalam konteks berkomunikasi, terutama untuk bertanya kepada Tuhan, Dewa, roh leluhur, atau makhluk gaib selalu menggunakan puak poi sebagai “media.”

Hal ini menarik bahwa ketiga sistem religi tersebut pada prinsipnya memeliki persamaan dalam memandang alam ini, yaitu selain adanya dunia kasat


(32)

mata, tumbuhan, hewan, dan manusia, masih ada lagi Dewa dan Dewi, roh leluhur, makhluk gaib, dan tentu saja Tuhan itu sendiri. Dalam membina komunikasi denganNya, manusia dapat menggunakan artefak religi yang disebut dengan puak poi. Demikian pula yang terjadi di dalam masyarakat Tionghoa beragama Buddha dan Konghucu (bersama Tao) di Pematangsiantar.

4.3 Hari-hari Raya dan Upacara Orang Tionghoa di Pematangsiantar

Hari raya dan upacara bagi masyarakat Tionghoa telah menjadi adat kebiasaan secara turun temurun. Dalam setahun, yang teramai adalah upacara

Imlek di bulan satu China. Di samping itu hari raya yang disertai upacara lainnya

adalah chang beng di bulan ketiga, tuan yang ciek di bulan kelima, chit guek pua di bulan ketujuh, tiong chiu di bulan kedelapan, dan tang cek di bulan kesebelas. Dalam konteks menentukan hari-hari raya ini baik secara kultural maupun religi, masyarakat Tionghoa menggunakan sistem penanggalan yang berdasarkan kepada sistem penanggalan China. Dalam sub bab ini dideskripsikan beberapa hari raya dan upacara yang lazim dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Kota Pematangsiantar.

Yang pertama adalah hari raya dan upacara Cheng Beng adalah hari untuk berziarah atau berkunjung ke kuburan orang tua ataupun leluhur. Orang-orang Tionghoa ini kemudian membersihkan kuburan orang tua dan leleuhurnya dan melakukan sembahyang (paisin) supaya arwah si meninggal mendapatkan kebebasan dari siksaan. Bagi orang-orang Tionghoa yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih dari orang kebanyakan, biasanya mereka meminta bantuan

bhiksu (bikhu) untuk melaksanakan upacara sembahyang (paisin) untuk


(33)

Di antara orang-orang Tionghoa tersebut, ada pula yang mengambil kesempatan pada bulan tiga ini untuk melakukan upacara mengambil dan membersihkan tulang belulang si meninggal untuk dipindahkan ke tempat lain.3

Dalam melaksanakannya pemindahan tersebut, terlebih dahulu harus dipasang tenda supaya kerangka tidak menghadap ke langit. Setelah itu satu persatu dari tulang belulang tersebut dibersihkan dan dicuci dengan samsu putih, kemudian dikeringkan dan disusun dengan rapi lalu dimasukkan ke dalam king

ang (guci). Kemudian dikuburkan kembali ke tempat yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Untuk melaksanakan pemindahan tersebut harus dimintakan bantuan bhiksu untuk mencari hari waktu yang baik.

Makna kultural dan religius dari pemindahan tulang belulang leluhur ini adalah meningkatkan keberadaan tempat tinggal rohnya. Juga menghormati leluhurnya. Selain itu juga sebagai pertanda bahwa keturunannya telah mempunyai rezeki yang lebih baik dari masa sebelumnya.

Pada umumnya masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, menurut pengamatan penulis pada hari raya Cheng Beng ini banyak yang mengunjungi keluarganya di Pulau Pinang, Penang, Malaysia. Mereka datang beramai-ramai ke sana yang dipandang sebagai kampung halaman mereka juga. Mereka umumnya

3

Upacara pemindahan tulang-tulang mayat dari satu kubur ke kubur baru yang dipandang lebih baik dari sudut tempat kubur, kualitas kubur, atau tahapan religius yang harus dilakukan, tampaknya menjadi sebuah fenomena konsep sistem religi dan kebudayaan di seluruh dunia. Seperti terurai di atas, orang-orang Tionghoa juga selalu melakukan pemindahan tulang belulang leluhurnya terutama pada masa hari raya Cheng Beng ini. Demikian pula dalam kebudayaan Batak Toba, mereka sejak awal melakukabn pemindahan tulang belulang para leluhurnya dari kuburan lama ke kuburan baru. Peristiwa seperti ini disebut dengan mangongkal holi [baca: ma.ngok.kal ho.li]. Sampai sekarang walaupun masyarakat Batak Toba sebahagian besar telah menganut agama Kristen (Protestan dan Katolik), mereka juga melakukan upacar mangongkal holi ini. Demikian pula masyarakat Karo di Sumatera Utara juga melakukan upacara yang sedemikian rupa ini. Mereka menyebutnya dengan ngampeken tulan-tulan [ngam.pé.kén tu.lan-tu.lan]. Demikian pula yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat Toraja di Sulawesi, dan berbagai kelompok etnik di Nusantara ini atau dunia secara umum.


(34)

pergi dan kembali dari Penang dengan menggunakan pesawat udara dari Bandara Kualanamu Medan, dengan menumpang pesawat-pesawat komersial seperti Air Asia, Lion Air, dan Malaysia Airlines System (MAS).

Kemudian hari raya dan upacara yang kedua adalah Tuan Yang, hari tuan

yang yang dilaksanakan pada bulan kelima ini adalah hari makan bak cang. Ini

dilaksanakan untuk memperingati seorang penyair dari China yang bernama Chi

Yen. Menurut sejarah China kuno, pada zaman perang tahun 403 sebelum Masehi

pada masa pemerintahan Raja Cou hiduplah seorang penyair bernama Chi Yen. Beliau adalah seorang yang sangat dihormati dalam kalangan rakyat karena sangat menjunjung tinggi raja dan negara. Akibatnya raja sendiri merasa terancam kedudukannya kemudian mengusir beliau keluar dari kerajaan. Walau demikian, Chi Yen tidak merasa putus asa, berikutnya beliau membuat syair-syair yang ditujukan kepada raja dengan menyatakan bahwa beliau tidak merasa bersalah.

Sang raja tidak memperdulikan hal tersebut, sehingga akhirnya Chi Yen putus asa dan melakukan bunuh diri, dengan cara mengikatkan sebuah batu besar pada tubuhnya kemudian terjun ke sungai Yang Lo. Rakyat yang mengetahui hal tersebut kemudian membuat kue yang terbuat dari tepung terigu yang dalamnya diisi dengan daging (babi, lembu, atau kerbau). Kue ini disebut dengan bak cang. Kemudian dilemparkan ke sungai agar binatang-binatang yang ada dalam sungai tersebut tidak memakan tubuh Chi Yen melainkan memakan bak cang tersebut.

Sebahagian dari bak cang tersebut dimakan oleh mereka. Orang-orang Tionghoa juga membuat perahu dengan lambang kepala naga dan membawa genderang yang disebut ku. Selepas itu, sesampainya mereka di sungai, mereka bolak-balik mengendarai perahu tersebut dan memukulkan genderang agar setan (kui) yang ada dalam sungai tersebut jangan mendekati mayat Chi Yen yang tidak


(35)

dapat mereka temukan. Maknanya secara budaya adalah mereka berusaha agar mayat Chi Yen sebagai pahlawan, tidak ditemukan oleh raja yang haus kekuasaan tersebut, melalui pertolongan setan sehingga selamat menuju alam rohnya, dengan keadaan jasad yang tak kurang sesuatu apapun.

Biasanya setiap tahun tepat pada bulan kelima hari tersebut diperingati dan diadakan perlombaan perahu berbentuk naga. Namun pada umumnya masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar hanya memperingatinya dengan acara memakan bak

cang saja. Memakan bak cang ini berarti memperingati kepahlawanan Chi Yen.

Hari raya dan upacara berikutnya, yang ketiga, adalah Chit Guek Pua. Dalam sistem kosmologi dan folklor China konon bulan tujuh adalah merupakan hari kegelapan bagi masyarakat Tionghoa. Hari pertama bulan tujuh adalah merupakan hari pembukaan pintu neraka, yang menurut mereka adalah dibebaskannya arwah-arwah untuk berjalan-jalan ke dunia fana. Pada hari tersebut, masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu (atau juga Dao) biasanya di kelenteng-kelenteng membuat lampion yang ditempatkan di atas bambu yang tinggi, yang bertujuan untuk memanggil dan mengumpulkan arwah-arwah. Kemudian bhiksu membacakan kitab suci untuk menolong arwah-arwah tersebut supaya mereka dapat pulang ke surga.

Sampai kemudian pada hari yang kelima belas (chit guek pua) adalah merupakan hari pulangnya arwah-arwah yang bergentayangan tersebut. Pada setiap rumah penghuninya harus membuat sesajian berupa buah-buahan seperti: jeruk, nenas, pisang, apel, dan sejenisnya untuk menyatakan perpisahan.

Hari ketiga puluh merupakan hari penutupan pintu neraka. Bagi arwah yang belum dapat pulang ke surga (thien tong), maka harus pulang kembali ke


(36)

neraka (te qek). Lampion yang dipasang di kelenteng harus diturunkan. Ini disebut dengan sia teng kha (mengucapkan terima kasih).

Selanjutnya adalah hari raya dan upacara Tiong Chiu, yang dilaksanakan pada setiap bulan delapan hari kelima belas (pada saat bulan purnama). Pada hari tersebut di setiap rumah disediakan kue yang bernama tiong chiu pia yang dimaksudkan untuk menyembah Dewi Bulan. Anak-anak menyalakan lampion yang dibentuk dalam rupa binatang seperti ayam, kelinci, naga, dan sebagainya.

Pada malam itu merupakan suatu peringatan bagi rakyat China yaitu pada zaman dahulu, sekitar tahun 206 Sebelum Masehi, Negeri China diserang oleh Mongolia4

4Mongolia (bahasa Mongol: Монгол Улс) ada

lah sebuah negara yang terkurung daratan di Asia Timur; berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, dan Republik Rakyat Tiongkok di selatan. Mongolia merupakan pusat Kekaisaran Mongol pada abad ke-13, tetapi dikuasai oleh Dinasti Qing sejak akhir abad ke-17 hingga sebuah pemerintah merdeka dibentuk dengan bantuan Uni Soviet pada 1921. Namun demikian, kemerdekaan Mongolia tidak diakui China sampai tahun 1949. Setelah Partai Komunis menguasai China daratan, China akhirnya mengakui kemerdekaan Mongolia. Setelah keruntuhan Uni Soviet, Mongolia menganut aliran demokrasi. Sebahagian besar wilayah Mongolia memiliki tanah yang gersang, kebanyakan wilayah berupa padang rumput dengan pegunungan di bagian barat dan utara dan Gurun Gobi di selatan. Mayoritas penduduknya beretnik Mongol yang menganut agama Buddha Tibet (Lamaistik) dengan kehidupan nomaden. Sejarahnya sebagai berikut. (a) Periode Bangsa Hunnu, bangsa ini menjadi terkenal di bawah kepemimpinan Modun Khaan dari Dinasti Tiongkok yang mengontrol jalur perdagangan di daerah Turkistan. Kemudian kehancuran menimpa peradaban Hunnu bersamaan dengan kehancuran dinasti Hundi Tiongkok. (b) Periode Bangsa Cian-bi. penduduk bangsa Hunnu bergabung ke wilayah bangsa Cian-bi (136-181 Masehi). Cian-bi menjadi bangsa yang kuat dan memperluas wilayah dan membagi tiga bagian hingga ke timur sampai ke Korea di bawah kepemimpinan Tanishikuai. Sampai era kepemimpinan Kabinen, bangsa Cian-bi mengalami banyak perebutan wilayah. Tahun 235, Kabinen tewas dan bangsa Cian-bi mengalami kehancuran. (c) Periode

Bangsa Jujan, yang dibangun oleh penduduk sisa bangsa Cian-bi, bangsa Jujan yang berpusat di

pegunungan Khangai berkembang pada abad ke-5. (d) Periode Bangsa Tukish, yang dibangun dari pecahan Kerajaan Jujan memperluas wilayahnya hingga ke semenanjung Korea dan Tiongkok. Penduduk dari bangsa Uyghur ikut bergabung pada 745 M. Bangsa Tukish menjadi bangsa yang kuat di Mongolia. (e) Periode Bangsa Uighur yang lahir dari bagian bangsa Tukish. Pada periode 745 M, Uighur mengontrol jalur perdagangan dari China hingga ke kawasan timur Asia. (f)

Periode Bangsa Kitan, abad X-XII, Mongolia dikuasai Kitan yang berpusat di Sungai Liao,

pegunungan Khyangan dan menguasai wilayah Mongolia pada tahun 924 Masehi. Pada 936 M, bangsa Kitan menguasai wilayah Bahain dan 16 wilayah Tiongkok utara. Tahun 1120, bangsa Kitan hancur. (g) Periode Mongol, abad XII, Mongolia dikuasai oleh Kerajaan Mongol yang menduduki tiga sungai dan pegunungan Altai hingga sungai Selenge. Kerajaan ini dipimpin oleh Khabula Khaan (Kubilai Khan). Cucunya yang bernama Yesugei mendirikan Kerajaan Mongol Khanlig. Yesudei wafat tahun 1170 dan Kerajaan Mongol terbagi menjadi beberapa bagian. Anaknya yang bernama Temujin menguasai tampuk kepemimpinan Mongol. Dalam masa kepemimpinannya, Kerajaan Mongol Khanlig menjadi bagian negara yang disegani.

(negeri tetangga China). Setiap hari rakyat China disiksa oleh pasukan

Mongolia terkenal di abad ke-13 di bawah kepemimpinan Genghis Khan karena berhasil menaklukkan berbagai kerajaan di Eurasia. Setelah kematian Genghis Khan, Mongolia dibagi


(37)

Mongolia tersebut. Bangsa Mongolia mengeluarkan peraturan bahwa pada setiap rumah tangga hanya boleh menggunakan sebuah pisau belati untuk keperluan sehari-hari. Apabila kedapatan memiliki lebuh dari yang ditentukan maka sekeluarga akan dipacung di depan umum.

Akhirnya rakyat China bangkit melawan pemerintahan Mongolia dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak dikenal. Mereka mengadakan pemberontakan dengan jalan menyelipkan surat ke dalam kue Tiong Chiu yang berisikan tulisan China yang artinya kira-kira sebagai berikut: “ Mulai dari saat ini diharapkan pada seluruh rakyat untuk membuat senjata tajam dan tepat pada tanggal 15 bulan delapan jam 24.00 tepat pada saat kentongan dibunyikan maka secara serentak harus menyerang ke tempat kediaman bangsa Mongolia yang ditandai dengan adanya lampion yang digantungkan di depan rumah. Pada malam itu juga, mereka berhasil mengusir penjajah Mongolia tersebut. Oleh karena itulah maka pada setiap tahun diperingati dan juga sebagai ucapan terima kasih kepada dewi bulan yang telah melindungi mereka dari para penjajah.

Berikutnya adalah hari raya dan upacara Tang Cek, biasanya dilaksanakan pada setiap bulan sebelas. Tang berarti musim salju, cek adalah tiba. Hari Tang

Cek berarti musim salju telah tiba. Setiap penghuni rumah harus membuat yi

(cenil), yang terbuat dari tepung tapioka, dimasak dan dicampur dengan air gula dan jahe secukupnya. Yi sendiri melambangkan bahwa umur seseorang telah

menjadi beberapa negara bagian yang kuat dan terpecah pada abad ke-14. Semua negara bagian kemudian bersatu kembali ke Mongolia awal dan berada di bawah pemerintahan Tiongkok. Pada 1921, atas bantuan Uni Soviet (telah bubar), Mongolia merdeka dari Tiongkok. Sebuah pemerintahan komunis dibentuk pada 1924. Pada era 1990-an, Partai Revolusioner Rakyat Mongolia (MPRP) mengalahkan Koalisi Uni Demokratik (DUC). Ini merupakan kumpulan dari berbagai partai beraliran demokratis. Koalisi DUC mengalahkan MPRP pada pemilu tahun 1996. Pada Pemilu tahun 2000, parlemen Mongolia dikuasai oleh MPRP. Pada pemilu 2004, DUC dan MPRP membentuk koalisi pemerintahan. Pada 11 Januari 2005, sepuluh menteri di pemerintahan koliasi mengundurkan diri dan dalam kondisi krisis. Ada 18 menteri di dalam pemerintahan koalisi antara MPRP (yang sebelumnya bernama Partai Komunis) dan Partai Demokratik yang merupakan payung politik mantan Perdana Menteri Tsakhia Elbegdorj. Partai Demokratik hanya mempunyai 25 anggota di parlemen (disunting dari wikipedia.org).


(38)

bertambah satu tahun walaupun tanggal satu atau Hari Raya Imlek belum tiba. Perayaan Tang Cek ini, adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas bertambahnya usia.

4.4 Penghormatan Leluhur

Kamus New Expanded Webster mengartikan pemujaan sebagai memuja (memandang dengan kagum dan hormat) atau menganggap sesuatu itu keramat. Bagi orang Tionghoa, hal ini sehubungan dengan kepercayaan animistis mereka akan arwah dan keragaman dewa. Sampai pada batasan di mana tidak terdapat pembedaan yang jelas saat harus membedakan antara Shen (para Dewa, mereka yang hidup abadi, dan hantu), dan kui (hantu-hantu kelaparan dan arwah-arwah leluhur yang tidak terurus).

Praktik penghormatan leluhur tersebar dengan cepat akibat ajaran Konghucu mengenai darma bakti. Dewasa ini, teori dasar ini, dalam banyak hal, telah digantkan oleh kepercayaan Buddha dan Tao dalam hal reinkarnasi dan Dao (upacara pemakaman, dan pemberian persembahan untuk mengumpulkan darma, dan lain-lain). Konghucu menyatakan bahwa untuk membangun keluarga, li (tata krama dan ketaatan pelaksanaan upacara dengan cara dan waktu yang tepat) harus dijalankan. Hal ini termasuk tata krama yang sejalan dengan kehendak leluhur kita, yang mengatur kehidupan rumah tangga keturunannya. Kelima bagian dari hubungan sosial yang diajarkan Konghucu adalah: penguasa kepada materi; ayah kepada putra; suami kepada istri; kakak lelaki kepada adik lelaki; dan teman kepada teman.


(39)

4.4.1 Perayaan untuk Leluhur

Perayaan-perayaan berikut ini, yakni Qing Ming Jie, Zhong Yuan Jie dan

Chong Yang Jie, secara khusus dilakukan untuk mengenang mereka yang telah

meninggal dan sebagai pemujaan kepada nenek moyang. Aktivitas upacara ini adalah menjaga hubungan antara Alam Dunia (manusia) dengan Alam Baka. Qing Ming Jie biasa dilakukan pada musim semi, ketika tumbuh-tumbuham berbunga kembali setelah musim dingin berlalu, di bulan April, dan berhubungan dengan berakhirnya bulan kedua atau permulaan bulan ketiga pada kalender lunar China. Qing Ming Jie adalah waktu di mana etnis Tionghoa mengenang mereka yang telah meninggal dan mengadakan kunjungan khusus ke kuburan, atau tempat penyimpanan abu jenazah (untuk mereka yang dikremasi) dan kuil-kuil (di mana saat ini banyak yang menyimpan abu/batu nisan dari keluarga yang telah meninggal).

Perayaan ini juga merupakan waktu untuk seluruh keluarga mengunjungi dan membersihkan tempat di mana jasad dari nenek moyang mereka dikebumikan. Untuk mereka yang melakukannya, perayaan ini menjadi sangat berarti untuk generasi berikutnya dengan membuat ikhtisar kehidupan dan kontribusi dari nenek moyang. Persembahan makanan, dupa, puak poi dan uang kertas adalah hal yang biasa di dalam kunjungan ini.

Zhong Yuan Jie ini biasanya dirayakan sekitar bulan Agustus, sepanjang bulan ketujuh, dan dikenal sebagai Perayaan Hantu yang Lapar. Perayaan ini menunjukkan kepedulian di dalam kepercayaan agama China terhadap keberadaan yang menyedihkan dari jiwa-jiwa yang tidak diperhatikan oleh orang yang masih hidup. Secara khusus, perayaan ini didedikasikan untuk kui (hantu yang lapar)


(40)

yang dilepaskan dari kediaman mereka di neraka untuk menjelajahi bumi sselama bulan ini.

Di dalam ajaran Dao, pintu-pintu neraka dibuka di hari prtama bulan ketujuh, untuk memperbolehkan kui (roh-roh yang tidak diperhatikan atau roh-roh yang sedang dalam masa hukuman dan dikunci di neraka) menjelajahi bumi, mencari makan sebelum dikunci lagi untuk tahun berikutnya. Kepercayaannya adalah ketika pintu dibuka, kui ini akan keluar untuk mencari makanan dan jika tidak seorangpun menyediakan persembahan, mereka akan masuk kerumah-rumah dan mengambilnya sendiri. Takut akan kunjungan ini, orang biasanya cepat-cepat menyediakan persembahan untuk menenangkan dan menangkal hantu-hantu yang lapar.

Chong Yang Jie, yang juga dikenal sebagai Perayaan Ganda Bulan

Kesembilan, biasanya dirayakan disekitar bulan Oktober, dari hari pertama sampai hari kesembilan di bulan kesembilan. Chong Yang Jie awalnya dilakukan untuk merayakan musim gugur, sebelum musim dingin tiba, di mana orang-orang untuk terakhir kalinya mengunjungi kuburan orang yang dikasihi yang telah meninggal. Mereka akan membuat persembahan makanan dan pakaian musim dingin untuk mereka yang telah meninggal untuk melindungi mereka dari kelaparan dan kedinginan selama musim dingin yang panjang.

Aspek lain dari perayaan ini berhubungan dengan pemujaan kumpulan sembilan binatang yang dianggap sebagai dewa-dewa Jiu Huan Da Di (Sembilan Dewa Kaisar). Para pemuja Jiu Huan Da Di akan pergi ke tepi laut pada hari pertama bulan kesembilan untuk menyambut dewa-dewa ini dengan sembilan kursi tandu berwarna kuning. Warna kuning melambangkan ratapan atas kaisar


(41)

Manchuria di tahun 1644. Setelah perjamuan Jiu Huang Da Di selama seminggu, para pemuja akan mengantarkan mereka kembali ke pantai, pada hari yang kesembilan. Perayaan ini juga dikenal sebagai perayaan vegetarian5 karena mereka yang merayakannya hanya memakan sayur-sayuran selama masa perayaan, setelah berpuasa selama sebulan sebelum perayaan dimulai. Tidak ada pengikut yang boleh yang membunuh mahluk hidup apapun selama perayaan; para pemuja di Thailand juga menindik tubuh mereka, seringkali dengan menggunakan barang sehari-hari seperti lampu meja, sebagai tindakan pemurnian.

4.4.2 Altar Keluarga

Rumah-rumah di mana terdapat praktek penyembahan leluhur, salah satu

ruangan atau sudut dari rumah tersebut akan disediakan untuk altar keluarga. Di atas altar ini diletakkan papan-papan nama leluhur (biasanya yang mempunyai pertalian keluarga langsung seperti orang tua dan kakek-nenek; papan nama para leluhur terdahulu biasanya disimpan di klenteng). Tempat dupa, dua batang lilin dan puak poi. Beberapa makanan dan buah-buahan juga dapat ditinggalkan di atas altar.

Namun demikian, foto orang-orang yang telah meninggal tidak akan ditemukan di atas altar. Persembahan dupa harian diletakkan di atas altar ini disertai dengan persembahan dan doa-doa khusus setiap tanggal 1 dan 15, dan hari peringatan meninggalnya almarhum.

5

Vegetarian adalah istilah yang lazim digunakan untuk menyebutkan orang-orang di dunia ini yang tidak memakan daging, karena alasan-alasan kemanusiaan atau makhluk secara universal dan juga kesehatan. Mereka tidak memakan daging-daging semua hewan, bahkan ada juga yang tidka makan telur sebagai asal untuk tumbuh menjadi berbagai unggas. Mereka para vegetarian ini ada yang berasal dari agama Buddha, Konfusius, Hindu, bahkan Kristen (terutama aliran Advent).


(42)

Gamabar 4.2 : Altar Keluarga

Sumber: Sanni Tung ( 2015 )

4.4.3 Puak Poi

Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan simbol di dalam

upacara paisin orang-orang Tionghoa. Puak poi tersebut juga merupakan salah satu sarana komunikasi di dalam paisin karena sebagian besar budaya China berdasarkan tanggapan bahwa wujudnya sebuah dunia roh. Puak poi juga menjadi sarana bertanya kepada Dewa buat mengobati orang yang sedang sakit, dengan obat apa orang tersebut disembuhkan. Puak poi ini juga adalah ekspresi budaya rakyat, yang dapat dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal, yang tidak dapat dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua yang berkaitan dengan

puak poi, terkandung unsur mitos, agama, dan fenomena sosial dan budaya yang

aneh memang rapat sekali.

Puak poi juga memiliki arti sebagai berikut: puak adalah meminta


(43)

Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya China telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk mengenai apapun kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan sarana yang digunakan untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada dewa atau leluhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang yang dilestarikan sampai saat ini. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada sebahagian besar upacara paisin masyarakat Tionghoa.

Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk

setengah lingkaran. Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja jenisnya). Zaman dahulu puak poi berwarna seperti warna asli pada bambu sedangkan pada saat sekarang ini puak poi telah terbuat dari kayu yang keseluruhan permukaan luarnya diberi warna merah. Dalam kebudayaan Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau kehokian.

Demikian gambaran umum kebudayaan, sistem religi, berbagai upacara dan hari raya masyarakat Tionghoa, termasuk di Pematangsiantar, serta penggunaan puak poi dalam setiap upacara paisin di dalam kehidupan mereka. Semua ini menjadi satu kesatuan dalam konteks memenuhi fungsi untuk menjaga konsistensi internal kebudayaan Tionghoa. Selanjutnya dideskripsikan keberadaan masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, yang beridentitaskan kebudayaan multietnik dan multikultural.6

6

Multikulturalisme adalah sebuah terminologi dalam ilmu-ilmu sosiobudaya yang acapkali

digunakan sejak dasawarsa 1970-an. Istilah ini lazim digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang keanekaragaman hidup manusia di dunia ini, atau kebijakan kebudayaan yang menekankan perhatian kepada penerimaan terhadap realitas keanekaragaman budaya (multikultural) yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Keanekaragaman ini menyangkut: nilainilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme pada dasarnya adalah gagasan yang diaplikasikan ke dalam berbagai kebijakan budaya, berdasar kepada penerimaan terhadap realitas aneka agama, pluralitas, dan multikultural dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).


(44)

4.5 Gambaran Umum Kota Pematangsiantar dan Masyarakatnya

Secara geografis kota Pemtang Siantar terletak diantara 3°01’09”-2 54’00” Lintang Utara dan 99°06’-99 01’ Bujur Timur. Kota ini terletak pada ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Seluruh kota Pematangsiantar memiliki luas wilayah 79,07 kilometerpersegi. Kota Pematangsiantar mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum antara 23,2-24,1 Celcius dan suhu maksimum berkisar antara 30,6-34,1 Celcius. Selain itu, karena letaknya hanya 400 di atas permukaan laut maka suhu di daerah ini umumnya tidak terlalu dingin (BPS Pematangsiantar, 2015)

Jumlah penduduk di Kota Pematangsiantar tahun 2015 sebanyak 249.985 jiwa, dengan rumah tangga sebanyak 55.656 rumah tangga. Dengan luas wilayah sekitar 79,97 kilometer persegi, maka tingkat penduduk Kota Pematangsiantar kira-kira 3.100 jiwa perkilometer persegi. Sebagian besar penduduk hidup sebagai 18 pegawai, karyawan, pedagang dan wiraswasta, dan hanya sebagian kecil yang hidup sebagai petani.

Pematangsiantar adalah kota yang majemuk, baik dalam hal suku maupun agama. Meskipun kota ini dikelilingi Kabupaten Simalungun, namun data statistik menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku Batak Toba (Tapanuli) sebanyak 47,4 persen, disusul oleh suku Jawa diurutan kedua sebanyak 25,5 persen, kemudian Simalungun 6,6 persen diurutan ketiga. Selebihnya adalah Mandailing dan Angkola 5,6 persen, Tionghoa 3,7 persen, Minangkabau 2,4 persen, dan Karo 1,7 persen. Sisanya adalah Melayu , Pakpak, Aceh dan sebagainya. Agama yang dianut pun beraneka ragam. Mayoritas adalah Kristen Protestan sebanyak 44,4 persen, disusul oleh Islam 43,6 persen, Katolik 5 persen, Buddha 3,2 persen, sisanya adalah Hindu, Konghucu, dan lain-lain (BPS


(45)

Pematangsiantar, 2015). Data ini dapat dijabarkan dalam bentuk tabel dan bagan sebagai berikut.

Tabel 4.3

Distribusi Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar Kelompok Etnik

No Etnik Jumlah Persentase

1. Batak Toba 118.493 47,4 %

2. Jawa 63.747 25,5 %

3. Simalungun 16.499 6,6 %

4. Mandailing-Angkola 13.999 5,6 %

5. Tionghoa 9.250 3,7 %

6. Minangkabau 5.999 2,4 %

7. Karo 4.250 1,7 %

8. Melayu, Pakpak, Aceh, dan Lainnya

17.748 7,1 %

Total 249.985 jiwa 100%

Sumber: BPS Kota Pematangsiantar, 2015

Berdasarkan kajian wilayah budaya, maka Kota Pematangsiantar pada awalnya, sebelum menjadi kota multikultural, adalah kawasan yang menjadi bagian dari kebudayaan etnik Simalungun. Secara umum, etnik Simalungun ini memiliki budaya Simalungun. Kebudayaan Simalungun berdasarkan kepada pendukung utamanya yaitu etnik Simalungun yang memiliki konsep-konsep hidup mereka yang khas.

Menurut J. Damanik dalam bukunya yang bertajuk Jalannya Hukum Adat

Simalungun bahwa istilah simalungun berasal dari pokok kata lungun yang artinya

sunyi atau sepi. Ditambah awalan kata ma menjadi malungun yang berarti suatu keadaan yang sunyi. Kemudian ditambah lagi awalan kata si yaitu sebuah sebutan


(46)

untuk menamakan suatu tempat. Jadi simalungun berarti suatu nama bagi areal tanah yang disebut sunyi dan belum dikenal orang.

Pada masa-masa awal terbentuknya kebudayaan masyarakat Simalungun, masih relatif jarang penghuninya. Kini telah berubah seiring dengan perkembangan zaman, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan sawit, coklat dan getah. Masyarakat Jawa datang ke daerah ini sejak abad ke-19, yang umumnya sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Setelah habis masa kerja di perkebunan, mereka membuka perkampungan sendiri. Kini menjadi Daerah Kabupaten Simalungun, yang umumnya dihuni oleh etnik Simalungun dan Jawa.

Sebelumnya, kira-kira tahun 500–1290 Masehi di daerah Simalungun telah berdiri sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Nagur dipimpin seorang raja yang bernama Damanik (Jahutar Damanik 1974:33). Rakyatnya disebut suku Timur Raya, karena daerah Simalungun ini terletak di Timur Danau Toba (M.D. Purba, 1977:21). Setelah masa pemerintahan Kerajaan Nagur berakhir, maka digantikan oleh Kerajaan Silou (1290-1350).

Sebelum tahun 1500, wilayah Simalungun terlepas dari Kerajaan Silou, sehingga masing-masing wilayah memegang kekuasaan masing-masing. Tahun 1500-1906 di Simalungun berdiri empat kerajaan yang disebut Raja Maroppat. Kerajaan ini terdiri dari: (1) Kerajaan Dolok Silou dan (2) Kerajaan Panei masing-masing dengan rajanya bermarga Purba; (3) Kerajaan Siantar yang rajanya bermarga Damanik; dan (4) Kerajaan Tanah Jawa yang rajanya bermarga Sinaga. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Simalungun menjadi Daerah Tingkat II Simalungun dan Kotamadya Pematang Siantar,


(47)

kemudian sesuai dengan semangat reformasi sejak 2000 yang lalu berubah menjadi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar.

Pada awalnya, etnik Simalungun menganut suatu religi yang disebut dengan Sipajuh Begu-begu atau Parbegu. Sipajuh Begu-begu adalah orang yang menyembah dan memuja roh-roh nenek moyangnya. Secara etimologis, sipajuh artinya menyembah atau menghormati—par artinya memiliki atau orang yang mengerjakan sesuatu. Selanjutnya begu dapat diartikan sebagai roh orang yang telah meinggal dunia. Selain itu boleh pula berarti harimau. Sipajuh Begu-begu berarti menyembah begu-begu. Parbegu berarti seseorang yang memiliki begu atau seseorang yang mengerjakan penyembahan kepada begu. Kini istilah ini selalu juga dikaitkan dengan begu ganjang, yang dapat diertikan sebagi roh-roh yang dapat disuruh untuk mencelakai orang lain, yang digambarkan sebagai roh yang panjang dan besar. Pada masa kini hanya sebahagian kecil saja dari etnik Simalungun yang masih menganut religi ini. Sebagian besar telah menganut agama Kristen (terutama Protestan) dan Islam. Sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, orang-orang Simalungun dapat dikelompokkan ke dalam orang-orang yang religinya bersifat animisme. Orang-orang Simalungun yang beragama Kristen Protestan terintegrasi ke dalam persekutuan iman gereja yang disebut Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Religi “asli” orang-orang Simalungun, mengajarkan penganutnya untuk mempercayai kekuatan di jagad raya ini berupa roh-roh yang dapat mengatur keberadaan hidup manusia. Untuk mendapatkan tingkat hidup yang baik, maka mereka harus mengadakan hubungan baik dengan roh-roh ini. Salah stunya mengadakan upacara-upacara. Roh-roh ini menurut mereka terdiri dari berbagai jenis, yaitu: tondui, begu, simagot, dan sahala. Tondui adalah roh seseorang, yang


(48)

juga menjadi bagi diri orang yang memilikinya. Begu adalah roh seseorang yang telah meninggal dunia dan mengembara di alam semesta ini dan mau mengganggu kehidupan manusia. Manakala simagot adalah roh manusia yang telah meninggal dunia, kemudian hidup di alam semesta, dan dapat membantu berbagai kepentingan keturunannya jika dipuja dan dihormati secara baik. Sahala adalah roh atau semangat yang dimiliki manusia selama masih hidup.

Sistem kekerabatan etnik Simalungun berdasarkan kepada sistem keturunan patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil disebut satangga, yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Anggota kerabat satu ayah disebut

sabapa, satu kakek disebut saompung. Dalam masyarakat Simalungun dikenal

istilah tolu sahundulan lima saodoran (“kedudukan yang tiga barisan yang lima”), terdiri dari: tondong (pihak pemberi isteri), sanina (pihak satu marga) dan anak

boru (pihak pengambil isteri). Ditambah dua kelompok lagi yaitu tondong ni tondong (tondong dari pihak pemberi isteri) dan boru ni boru (boru dari

pengambil isteri). Pada setiap upacara adat dan pelaksanaan horja (pesta), semua unsur kekerabatan tersebut selalu berperan. Mereka akan tampil dengan mewujudkan sifat tolong-menolongnya. Pihak yang menyumbang uang atau beras adalah tondong, sedangkan yang menyumbangkan tenaga adalah pihak boru.

Selanjutnya pada masa sekarang ini, etnik mayoritas di Kota Pematangsiantar adalah etnik Batak Toba. Mereka datang ke Pematangsiantar didukung oleh konsep budayanya yang memperluas wilayah asal mereka ke wilayah harajaon (merantau membuka kampung yang baru), termasuk ke wilayah Simalungun, terutama Pematangsiantar.

Secara umum masyarakat batak Toba, baik secara peribadi maupun berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati


(49)

kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan kesanggupan memahami makna kuasa tersebut.

Religi selain agama Kristen dan Islam, dan masih ada pengikutnya sampai kini, yang dianut oleh sebahagian masyarakat Batak Toba adalah Parmalim, Parbaringin, dan Parhudamdam. Religi-religi ini sering pula disebut agama Si Raja Batak, karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Raja Si Singamangaraja XII. Menurut Sangti, didirikannya religi-religi tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singamangaraja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaitu Parmalim; dan sebagai gerakan ekstrimis berani mati, yaitu Parhudamdam (Sangti, 1977:79). Setelah perang Lumban Gorat Balige pada tahun 1883, seorang keperayaan Raja Si Singamangaraja XII yang bernama Guru Somalaing Pardede, ditugaskan memperkuat pertahanan di wilayah Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama baru yang disebut Parmalim (Sangti, 1977:79).

Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824. Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung sekarang). Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba. Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat, mengirimkan dua orang pendeta, yaitu Munson dan Lymann. Kedua misionaris ini dibunuh oleh penduduk di bawah pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan Juli 1834. Tahun 1849, Kongsi Bibel Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. van der Tuuk untuk meneliti budaya Batak. Ia menyusun Kamus Batak-Belanda, dan menyalin sebahagian isi Alkitab ke bahasa Batak.


(50)

Tujuan utama Kongsi Bibel Nederland ini adalah merintis penginjilan ke Tanah Batak melalui budaya. Tahun 1859, Jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen mengirim pendeta muda G. Van Asselt ke Tapanuli Selatan. Ia tinggal di Sipirok sambil bekerja di perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh para pendeta dari Rheinische Mission Gesellschaft (RMG), pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission (VEM), dipimpin Dr. Fabri. Penginjilan sampai saat ini berjalan lambat. Kemudian tahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian diterima oleh masyarakat Batak Toba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di bawah pimpinannya misi penginjilan terjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade awal abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba telah menganut agama Kristen Protestan. Berdasarkan rapat pendeta pada 3 Februari 1903, penginjilan diperluas ke daerah Simalungun dan Karo, dan ternyata berhasil dengan baik (Tambunan, 1996:58-60).

Bila diperhatikan lebih jauh, khusus tentang terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba merupakan hal yang rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite7

7

Mite adalah bagian dari folklor (cerita rakyat). Dari semua bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Mengikut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh pemilik cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di duania seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belum begitu lama. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, tidak terikat oleh waktu dan ruang. Lihat William R. Bascom (1965). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini lihat Djames Danandjaja (1984:50-51).

dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba. Pada umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Toba mempercayai dirinya sebagai keturunan Si Raja Batak, yang kalau diurutkan juga sebagai


(1)

2.3.2 Teori Semiotik ... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

3.1Metode Penelitian Kualitatif ... 46

3.2Data dan Sumber Data ... 49

3.3Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.3.1 Observasi ... 51

3.3.2 Wawancara ... 52

3.3.3 Studi Kepustakaan ... 53

3.4Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV GAMBARAN UMUM SISTEM RELIGI MASYARAKAT TIONGHOA DAN TERAPANNYA DI PEMATANGSIANTAR ... 55

4.1 Berbagai Sistem Religi Masyarakat Tionghoa ... 56

4.1.1 Konghucu ... 57

4.1.2 Taoisme (Dao) ... 60

4.1.3 Agama Buddha ... 61

4.2 Terapan Ketiga Sistem Religi pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar ... 67

4.3 Hari-hari Raya dan Upacara Orang Tionghoa di Pematangsiantar ... 68

4.4 Penghormatan Leluhur ... 74

4.4.1 Perayaan untuk Leluhur ... 75

4.4.2 Altar Keluarga ... 77

4.4.3 Puak Poi ... 78

4.5 Gambaran Umum Kota Pematangsiantar dan Masyarakatnya ... 80

BAB V FUNGSI DAN MAKNA PUAK POI DALAM KONTEKS UPACARA PAISIN MASYARAKAT TIONGHOA DI PEMATANGSIANTAR ... 99


(2)

5.2.1 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi ... 102

5.2.1.1 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi dengan Tuhan dan Dewa ... 103

5.2.1.2 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi dengan Para Leluhur ... 107

5.2.2 Fungsi Menyelesaikan Berbagai Permasalahan Manusia ... 108

5.2.3 Fungsi Menjaga Keseimbangan Kosmos ... 110

5.2.4 Memperkuat Ajaran-ajaran Sistem Religi Masyarakat Tionghoa ... 111

5.2.5 Menguatkan Integrasi Keturunan dan Kekerabatan ... 112

5.2.6 Menjaga Kontinuitas Kebudayaan dalam Proses Perubahan ... 113

5.2 Makna ... 117

5.2.1 Makna Puak Poi Dikaji dari Aspek Etimologi ... 117

5.2.2 Makna Puak Poi dalam Kebudayaan Menurut Pandangan Masyarakat ... 118

5.4.3 Makna Jawaban yang Didapat dari Sepasang Puak Poi ... 120

5.2.4 Analisis Semiotik Jawaban yang Didapat dari Sepasang Puak Poi ... 127

5.2.5 Analisis Semiotik Teks Pertanyaan dan Harapan ... 129

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 134

6.1Simpulan ... 134

6.2 Saran ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 140

a. Buku dan Artikel ... 140

b. Internet ... 144

DAFTAR INFORMAN ... 147


(3)

(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Puak poi Berwarna Merah Terbuat dari Kayu ... 31

Gambar 2.2 Puak poi yang Terbuat dari Bambu ... 32

Gambar 4.1 Peta Wilayah Persebaran Agama Buddha di Dunia ... 67

Gambar 4.2 Altar Keluarga ... 78

Gambar 4.3 Peta Kota Pematangsiantar ... 95

Gambar 4.4 Logo Kota Pematangsiantar ... 97

Gambar 4.5 Monumen Wacana Tata Nugraha sebagai Ikon Kota Pematangsiantar ... 97

Gambar 4.6 Salah satu Vihara di Kota Pematangsiantar ... 98

Gambar 5.1 Sengpoi ... 122

Gambar 5.2 Jiupoi ... 124

Gambar 5.3 Kampoi ... 126


(5)

DAFTAR BAGAN

halaman

Bagan 1.1 Latar Belakang Penelitian Fungsi dan Makna Puak poi dalam Upacara Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat

Tionghoa di Pematangsiantar ... 17

Bagan 2.1 Proses Upacara Paisin dan Penggunaan Piak poi ... 34

Bagan 4.1 Persentase Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar Kelompok Etnik ... 92

Bagan 5.1 Fungsi Puak poi sebagai Sarana Komunikasi dengan Tuhan dan para Dewa ... 107

Bagan 5.2 Fungsi Puak poi sebagai Sarana Komunikasi dengan para Leluhur ... 108

Bagan 5.3 Fungsi-fungsi Puak poi ... 116

Bagan 5.4 Kemungkinan Hasil Lemparan Sepasang Puak poi Satu Terbuka dan Tertutup ... 121

Bagan 5.5 Sengpoi ... 123

Bagan 5.6 Jiupoi... 125

Bagan 5.7 Kampoi ... 126


(6)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 4.1 Empat Kebijakan Utama dan Lima Hubungan Utama

Dalam Sistem Religi Konfusius ... 60 Tabel 4.2 Kepercayaan Terhadap Mahluk Gaib pada Sistem Religi Dao (Taoisme) ... 61 Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Kota Pematangsiantar

Berdasar Kelompok Etnik ... 81 Tabel 5.2 Fungsi-fungsi Puak poi terhadap Tampilan Puak poi

sebagai Indeks ... 128