Pelaksanaan Peraturan Daerah (Qanun) Aceh No. 7 Tahun 2014 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus di PT. AICA Mugi Indonesia, Langsa)

20

BAB II
PENGATURAN TENTANG KETENAGAKERJAAN DALAM
PERUSAHAAN YANG BERADA DI WILAYAH PROVINSI ACEH

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ketenagkerjaan
1.

Pengertian hukum ketenagakerjaan
Dalam hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan terdapat beberapa

istilah yang beragam, seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, majikan, atau
pengusaha. Istilah buruh sudah sejak lama dipakai bahkan hingga kini masih
dipergunakan

sebagai

sebutan

untuk


kelompok

pekerja

yang

sedang

memperjuangkan program organisasinya. Istilah pekerja dalam praktik sering
dipakai untuk menunjukkan status hubungan kerja, seperti pekerja kontrak,
pekerja borongan, pekerja harian, pekerja honorer, pekerja tetap, dan sebagainya.
Sedangkan istilah karyawan atau pegawai lebih sering dipakai untuk data
administrasi. 30
Pendapat lain menyatakan bahwa istilah buruh sejak dulu diidentikkan
dengan pekerjaan kasar, pendidikan rendah dan penghasilan yang rendah pula31.
Bahkan pada zaman kolonial terdapat istilah kuli, mandor atau semacamnya, yang
menempatkan buruh pada posisi yang lemah dibawah pengusaha. Padahal,
keberadaan buruh sangatlah penting artinya bagi kelangsungan perusahaan. Kata
pekerja memiliki pengertian yang sangat luas, yakni setiap orang yang melakukan

30

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 1.
Abdul Ranchman Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, (Cet. I, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 1995), hlm. 1.
31

Universitas Sumatera Utara
19

21

pekerjaan, baik didalam hubungan kerja maupun swapekerja. Istilah yang sepadan
dengan pekerja ialah karyawan, yakni orang yang bekerja atau berkarya, yang
lebih identik pada pekerjaan nonfisik, sifat pekerjaannya halus atau tidak kotor,
contohnya adalah karyawan bank dan karyawan yang bekerja pada perusahaan.
Sedangkan istilah pegawai adalah setiap orang yang bekerja pada pemerintahan,
yakni pegawai negeri yang sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
kepegawaian. 32

Disamping istilah tersebut masih terdapat istilah tenaga kerja yang
memberikan batasan tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu
melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna
menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Batasan
ini mengandung pengertian yang lebih luas lagi, yakni meliputi pejabat negara,
pegawai negeri sipil atau militer, pengusaha, buruh, swapekerja, pengangguran
dan lain-lain. 33 Dalam konteks penggunaan istilah tersebut lebih baik memilih
istilah tenaga kerja dan pekerja. Istilah tenaga kerja digunakan baik didalam
maupun diluar hubungan kerja, sedangkan pekerja khusus di dalam hubungan
kerja. Berarti setiap pekerja sudah pasti tenaga kerja, tetapi setiap tenaga kerja
belum tentu pekerja.34 Sedangkan penggunaan istilah untuk menunjukkan
majikan, maka akan lebih tepat apabila yang dipergunakan adalah istilah
pengusaha yang tampak lebih luas dibandingkan dengan majikan. 35
32

Abdul Khakim, Loc.Cit.
Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 2.
34
Ibid, hlm. 3.
35

Ibid.
33

Universitas Sumatera Utara

22

Batasan pengertian hukum ketenagakerjaan, dulu disebut hukum perburuhan
atau dalam bahasa Belanda disebut arbeidrechts, juga sama dengan pengertian
hukum itu sendiri, yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang masingmasing ahli hukum. Tidak ada satupun batasan pengertian itu yang dapat
memuaskan karena masing-masing ahli hukum memiliki sudut pandang yang
berbeda. Akibatnya pengertian yang dibuatnya (dibuat) tentu berbeda antara
pendapat yang satu dan pendapat yang lainnya.36 Sebagai perbandingan berikut
pendapat beberapa ahli hukum mengenai pengertian hukum ketenagaerjaan,
yakni:
a. Molenaar, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah bagian hukum
yang berlaku, yang pokonya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan
pengusaha, antara tenaga kerja dan tenaga kerja, serta antara tenaga kerja
dengan penguasa.37
b. M.G. Leenbach, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah hukum

yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjana itu dilakukan
dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung
bersangkutpaut dengan hubungan kerja itu.38
c. N.E.H. van Esveld, menyebutkan bahwa hukum perburuhan tidak hanya
meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan,
tapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang
melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. 39
36

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 4.
Imam Soepomo, Op.Cit., hlm. 1.
38
Ibid, hlm. 2.
39
Ibid.
37

Universitas Sumatera Utara

23


d. Mok, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang
berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain
dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan
pekerjaan itu. 40
e. Soepomo, menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah himpunan
peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan
dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah.41
f. Soetikno, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan
peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan
seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain
dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja tersebut.42
g. Halim, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah pengaturanpengaturan hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik
pihak buruh/pegawai maupun pihak majikan. 43
h. Daliyo, menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah himpunan peraturan
baik tertulis maupun tidak tertulisyang mengatur hubungan kerja antara
buruh dan majikan, buruh bekerja pada dan dibawah majikan dengan
mendapat upah sebagai balas jasanya.44


40

Abdul Khakim, Loc.Cit.
Darwan Print, Hukum ketenagakerjaan Indonesia, (Cet. I, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994), hlm. 38.
42
Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 5.
43
Ibid.
44
Ibid.
41

Universitas Sumatera Utara

24

i. Syahrani, menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu
antara buruh dengan majikan, dan hubungan antara buruh dan majikan serta

pemerintah.45
Mengingat istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang sangt luas dan
untuk menghindari adanya kesalahan persepsi terhadap penggunaan istilah lain
yang kurang sesuai dengan tuntutan perkembangan industrial, sehingga istilah
hukum ketenagakerjaan lebih tepat dibandingkan dengan istilah hukum
perburuhan46 karena hal ini sejalan dengan penamaan UU Ketenagakerjaan bukan
UU

Perburuhan.

Berdasarkan

uraian

tersebut

jika

dicermati,


hukum

ketenagkerjaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis
b. Mengatur

tentang

kejadian

hubungan

kerja

antara

pekerja

dengan


pengusaha/majikan.
c. Adanya orang yang bekerja pada dan dibawah pimpinan orang lain, dengan
mendapat upah sebagai balas jasa.
d. Mengatur perlindungan pekerja, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil,
melahirkan, keadaan organisasi pekerja/buruh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang
mengatur mengenai hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan
dengan segala kondisinya. Hal ini jelas bahwa hukum ketenagakerjaan tidak
mencakup pengaturan mengenai swapekerja (kerja dengan tanggung jawab atau
45
46

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

25

resiko sendiri), kerja yang dilakukan untuk orang lain atas dasar kesukarelaan,

serta kerja seorang pengurus/wakil suatu organisasi/perkumpulan. Hendaknya
perlu diingat pula bahwa ruang lingkup ketenagakerjaan tidak sempit, terbatas dan
sederhana. Kenyataan dalam praktiknya hukum ketenagakerjaan sangatlah
komplek dan multidimensi. Oleh sebab itu ada benarnya jika hukum
ketenagakerjaan tidak hanya mengatur hubungan kerja tetapi meliputi juga
pengaturan di luar hubungan kerja, serta perlu diindahkan oleh semua pihak dan
perlu adanya perlindungan pihak ketiga, yaitu Penguasa (Pemerintah) bila ada
pihak-pihak yang dirugikan. 47
2.

Asas hukum ketenagakerjaan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Ketenagakerjaan, maka landasan hukum

ketenagaerjaan adalah Pancasila dan UU Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 3 UU Ketenagakerjaan bahwa
pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan
ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional,
khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena
pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan
dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja. Oleh
sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk

47

Ibid, hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara

26

kerja sama yang saling mendukung.48 Jadi asas hukum ketenagakerjaan adalah
asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
3.

Tujuan hukum ketenagakerjaan
Adanya hukum yang mengatur terkait ketenagakerjaan tentu tidak terlepas

dari tujuan yang hendak dicapai, menurut Imam Soepomo tujuan atau hakekat
hukum ketenagakerjaan adalah untuk melindungi yang lemah seperti buruh,
dengan cara menempatkannya pada kedudukan yang layak. 49 Lebih spesifk tujuan
tersebut diantaranya ialah:
a. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan
harus menjaga ketertiban, keamanan dan keadilan bagi pihak-pihak yang
terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja
dan kelangsungan berusaha.
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas
dari pengusaha. Hal ini dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini
yang kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja.
4.

Sumber hukum ketenagakerjaan
Apabila ditelaah dari pengertian istilah, hukum ketenagakerjaan terdiri dari

dua kata, yakni hukum dan ketenagakerjaan. Hukum dan ketenakerjaan
merupakan dua konsep hukum.50 Konsep hukum itu sangat dibutuhkan apabila
kita mempelajari hukum. Konsep hukum itu pada dasarnya adalah batasan tentang
48

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
Penjelasan Pasal 3.
49
Imam Soepomo, Op., Cit., hlm. 6.
50
Asri Wijayanti, hukum ketenagakerjaan pasca reformasi, (Cet. II, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

27

suatu istilah tertentu. Tiap istilah ditetapkan arti dan batasan maknanya setajam
dan sejelas mungkin yang dirumuskan dalam suatu definisi. Istilah dan arti
tersebut diupayakan agar digunakan secara konsisten. Konsep yuridis (legal
concept) yaitu konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk
memahami suatu aturan hukum atau sistem aturan hukum. Hukum dapat diartikan
sebagai norma hukum, yaitu norma yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang
berwenang. Norma hukum dapat berbentuk norma hukum yang tertulis maupun
norma hukum yang tidak tertulis. 51 Baik norma hukum tertulis maupun norma
hukum tidak tertulis, keduanya dapat menjadi sumber pengaturan hukum
ketenagakerjaan. Menurut Samad sumber-sumber hukum ketenagakerjaan terdiri
dari:52
a. Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang dalam arti materil dan
formil).
b. Adat dan kebiasaan
c. Keputusan pejabat atau badan pemerintah
d. Traktat
e. Peraturan kerja (yang dimaksud adalah peraturan perusahaan)
f. Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, atau kesepakatan kerja bersama (KKB)
Selain pendapat tersebut juga ada yang menyatakan jika agama juga termasuk
sumber hukum ketenagakerjaan, mengingat terdapatnya kemungkinan pemecahan
masalah ketenagakerjaan melalui pendekatan ajaran agama yang dianutnya. Jika
adat dan kebiasaan bisa menjadi sumber hukum ketenagakerjaan, apalagi agama
51

Ibid.
Yunus Samad, hubungan industrial di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Sumberdaya
Manusia,1995), hlm.29.
52

Universitas Sumatera Utara

28

yang dianut dan bisa menjadi keyakinan dalam hidup dan kebiasaan para pihak.
Berdasarkan pengamatan Khakim pada saat bertugas disalah satu perusahaan di
Kalimantan Barat, 53 pengaruh dan peran adat sangat kental, mulai dari perekrutan,
pembinaan dan bahkan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Hal ini
menujukkan bagaimana pentingnya dukungan sistem adat dalam praktik
harmonisasi hubungan industrial di perusahaan. Kerjasama yang kooperatif antara
perusahaan dengan masyarakat adat dapat menghasilkan sinergi yang baik dan
saling menguntungkan dalam mendukung pembinaan hubungan industrial dalam
perusahaan dan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar sehingga dapat
menumbuhkembangkan sikap saling percaya untuk menjamin tenaga kerja dan
kelangsungan perusahaan.54
5.

Sifat hukum ketenagakerjaan
Telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur

hubungan kerja antara tenaga kerja dan pengusaha, yang berarti mengatur
kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah maka hukum ketenagakerjaan
bersifat privat (perdata). Selain itu dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk
masalah-masalah tertentu diperlukan campur tangan pemerintah. Karenanya
hukum ketenagaerjaan bersifat publik, baik yang terkait dengan aspek hukum tata
usaha negara maupun hukum pidana.55
Apabila ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa sifat hukum ketenagakerjaan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

53

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm.16
Ibid.
55
Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 9.
54

Universitas Sumatera Utara

29

a. Hukum yang bersifat imperatif, atau dwingenrecht (hukum yang bersifat
memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak serta tidak boleh
dilanggar, contohnya yaitu:56
1) Permagangan yang dilakukan diluar wilayah Indonesia wajib mendapat izin
dari menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 25 ayat 1 UU
Ketenagakerjaan)
2) Pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan
perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan
baik mental maupun fisik tenaga kerja.
3) Setiap pemberi kerja yan mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
izin dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
4) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib mentaati ketentuan mengenai jabatan
dan standar kompetensi yang berlaku.
5) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing
yang dipekerjakannya.
6) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
meggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan.
8) Ketentuan mengenai pembuatan perjanjian kerja untuk waktu tertentu
(PKWT).

56

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

30

9) Dalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang membayar upah dibawah
upah minimum yang berlaku.
b. Hukum yang bersifat fakultatif atau aanvullendrecht (hukum yang mengatur/
melengkapi) artinya hukum yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya,
contohnya ialah:57
1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
2) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan
pekerja/buruh.
3) Hak pekerja/buruh untuk mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan
indusrial.
4) Pengecualian kewajiban ikut serta dalam program Jamsostek, dimana
program JPK dapat diabaikan sepanjang pengusaha telah memberikan
pelayanan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari standar dasar
Jamsostek.

B. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Sistem Hukum Indonesia
dan Aceh
Telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur
hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha, yang berarti mengatur
kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah maka hukum ketenagakerjaan
bersifat privat (perdata). 58 Namun hukum ketenagakerjaan adakalanya tidak hanya

57
58

Ibid, hlm. 10.
Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm.12.

Universitas Sumatera Utara

31

bersifat privat, penyebabnya adalah adanya ikut campur tangan Pemerintah dalam
masalah-masalah perburuhan serta adanya saknsi pidana dalam peraturan
perusahaan, hal ini dikarenakan pekerja perlu dilindungi oleh negara melalui
campur tangan Pemerintah. Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah
adalah membuat peraturan-peraturan yang mengikat pekerja dan majikan serta
membina dan mengawasi hubungan industrial. 59 Sehingga hukum ketenagakerjaan
selain bersifat privat dapat pula bersifat publik, baik yang terkait dengan aspek
Hukum Tata Usaha negara maupun Hukum Pidana.60
1.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam sistem hukum Indonesia
Tahap demi tahap dari peristiwa suram bagi para buruh/pekerja dapat dilewati

hingga dicetuskannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awal
kemerdekaan perjuangan bangsa Indonesia masih lebih banyak pada perang
revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan melawan bangsa penjajah yang
ingin menjajah Indonesia kembali, sehingga produk-produk hukum sebagai
pelaksana amanat UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) tentang hak warga
negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan kemanusiaan
belum dapat terealisasi. 61 Ketentuan mengenai perburuhan saat itu masih
sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial yakni Burjgelijk Wetboek (KUH
Perdata) berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yakni segala
badan dan peraturan negara yang ada masih berlaku sepanjang belum diganti

59

Ibid.
Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 6.
61
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Depok: PT Rajagrafindo
Persada, cet.11, 2012) hlm. 19.
60

Universitas Sumatera Utara

32

dengan yang baru.62 Pada saat ini hukum ketenagakerjaan mendasarkan pada
ketentuan UU Ketenagakerjaan, menggantikan UU No. 25 Tahun 1997.
Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia terletak
dibidang adminstrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana. Kedudukan
tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa ketentuan Peraturan PerundangUndangan haruslah berdasarkan pada teori hukum yang menelaah bidang tersebut.
Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia dapat dibagi
kedalam 3 subbidang berikut yaitu:
a. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata
Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata pada hakikatnya
yang memegang peranan penting didalam hubungan industrial adalah pihakpihaknya, yaitu pekerja dan majikan saja. Hubungan antara pengusaha dan
pekerja didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum
perdata.63 Pemerintah hanya sebagai pengawas atau lebih lengkapnya dapat
menjadi fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaan muncul suatu
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Selain itu, fungsi
pengawasan dari Pemerintah dapat maksimal apabila secara filosofis
kedudukan pemerintahan lebih tinggi dari yang diawasi (pekerja-pengusaha).64
Ketentuan perburuhan dalam KUH Pedata diatur dalam Buku III, Bab 7A,
Bagian Pertama (Pasal 1601a-1601c), Bagian Kedua tentang Persetujuan
Perburuhan Umumnya (Pasal 1601d-1601x), Bagian Ketiga tentang Kewajiban
Majikan (Pasal 1602a-1602z), Bagian Keempat tentang Kewajiiban Buruh
62

Ibid, hlm. 20.
Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm.14.
64
Ibid.
63

Universitas Sumatera Utara

33

(1603a-1603d), Bagian Kelima tentang Tata Cara Berakhirnya Hubungan
Kerja Yang Diterbitkan Dari Persetujuan (Pasal 1603e-1603w) dan Ketentuan
Penutup (Pasal 1603x-1603z). 65 Peraturan perburuhan dalam KUH Perdata
bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga
dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai
contoh, konsep KUH Perdata memandang pekerja sebagai “barang” yang
apabila tidak berproduksi tidak dibayar/diupah.66 Hal ini disebutkan dalam
Pasal 1602 KUH Perdata yakni “tiada upah yang harus dibayar untuk jangka
waktu selama siburuh tidak melaksanakana pekerjaan”. Demikian halnya
dengan hak-hak lain yang sepenuhnya diserahkan kepada majikan, karena
masalah perburuhan ini merupakan masalah.
b. Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam hukum tata usaha Negara
Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam hukum tata negara/tata usaha
negara yang diperhatikan ada 2 (dua) hal, yaitu subjek hukum dalam
penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum dalam
penyelenggaraan negara menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu pejabat, lembaga dan
warga negara. Pejabat dalam hal ini adalah pejabat negara yang tunduk pada
ketentuan hukum administrasi. Peranannya berkaitan dengan menjalankan
fungsi negara didalam pembuatan peraturan atau pemberian izin (bestuur),
bagaimana negara melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang dapat
terjadi politie dan bagaimana upaya hukumnya. Pemerintah sebagai

65
66

Lalu Husni, Op.Cit., hlm. 20.
Ibid, hlm. 21.

Universitas Sumatera Utara

34

penyelenggara negara dibidang ketenagakerjaan harus dapat melaksanakan
ketiga fungsi tersebut dengan baik.67
Jadi jika terkait dengan perizinan bidang ketenagakerjaan, penetapan upah
minimum, pengesahan peraturan perusahaan, pendaftaran perjanjian kerja
sama, pendaftaran serikat pekerja/serikat buruh dan sebagainya maka hal
tersebut menyangkut aspek hukum tata usaha negara.68 Tidak hanya terbatas
pada hal-hal yang berkaitan dengan keadministrasian seperti yang telah
dijelaskan diatas, namun juga menyinggung tentang hukum pajak, hukum
lingkungan, hukum tata ruang, hukum kehutanan dan lain sebagainya. 69
c. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum pidana
Jika hubungan antar pekerja dan majikan ini tetap diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak

(pekerja dan

pengusaha), maka tujuan

hukum

ketenagakerjaan untuk menciptakan keadilan sosial dibidang ketenagakerjaan
akan sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai
pihak yang lemah (homo homini lupus). Majikan sebagai pihak yang kuat
secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak pekerja yang berada pada
posisi yang lemah/rendah. Atas dasar itulah pemerintah turut serta dalam
menangani masalah ketenagakerjaan melalui berbagai peraturan perundangundangan.70 Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam hukum pidana adalah
berkaitan dengan pentingnnya penerapan sanksi hukum bagi pelanggar

67

Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm.15.
Abdul Khakim, Op.Cit., hlm.7.
69
Ibid.
70
Maimun, Op.Cit., hlm.38.
68

Universitas Sumatera Utara

35

peraturan perundang-undangan.71 Terdapat asas legalitas dalam hukum pidana,
yaitu suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila
perbuatan tersebut sudah dituangkan dalam suatu undang-undang. Penerapan
sanksi harus mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan yang dibuktikan
dengan adanya hubungan klausal antara perbuatan dengan akibat yang terjadi.
Sanksi pada hakikatnya merupakan perampasan hak seseorang, oleh karena itu
harus dibuat secara demokratis. Bentuk peraturan yang mencerminkan situasi
demokrasi adalah undang-undang atau peraturan daerah karena dalam
pembuatannya melibatkan suara atau wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR
atau DPRD.72 Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum
Indonesia yang secara teoritis dibagi menjadi 3 (tiga) dalam praktiknya harus
dijalankan secara berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan hukum yang
dilakukan oleh pengusaha dan pekerja didasarkan pada perjanjian kerja.
Selama proses pembuatan, pelaksanaan dan berakhirnya hubungan kerja harus
diawasi oleh pemerintah sebagai konsekuensi menjalankan fungsi bestuur,
politie dan rechtsprak.73 Apabila selama proses pembuatan, pelaksanaan dan
berakhirnya hubungan kerja terdapat pelanggaran hukum maka dapat
diterapkan sanksi pidana yang menjadi kajian dalam bidang hukum pidana.
Jadi peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha
maupun pekerja.

71

Abdul Khakim, Loc.Cit.
Ibid. hlm. 231.
73
Lalu Husni, Op.Cit., hlm. 22.
72

Universitas Sumatera Utara

36

Intervensi Pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan melalui Peraturan
Perundang-Undangan membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat
hukum ketenakerjaan menjadi ganda yakni sifat privat dan sifat publik. 74 Prinsip
privat melekat pada prinsip dasar hubungan kerja yang ditandai adanya perjanjian
kerja antara pekerja dengan perusahaan. Sifat publik dari hukum perusahaan dapat
dilihat dari adanya sanksi pidana ataupun sanksi administratif bagi pelanggar
ketentuan di bidang ketenagakerjaan, dan adanya ikut campur Pemerintah dalam
menetapkan besarnya standar upah (upah minimum).
2.

Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan Dalam Sistem Hukum Aceh
Pengertian Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal dengan

nama Kanun, yang artinya adalah Undang-Undang, peraturan, kitab undangundang, hukum dan kaidah.75 Adapun pengertian Qanun menurut kamus Bahasa
Arab adalah: Undang-Undang, kebiasaan atau adat.76 Jadi dapat disimpulkan
bahwa pengertian Qanun adalah : suatu Peraturan Perundang-Undangan atau
aturan hukum yang berlaku di suatu daerah (dalam hal ini di Provinsi Aceh). Di
masyarakat Aceh, penyebutan Qanun terhadap suatu aturan hukum atau untuk
penamaan suatu adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari kultur adat
dan budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Aceh banyak yang dinamakan Qanun.77
Qanun biasanya berisi aturan-aturan syariat Islam yang telah beradaptasi
menjadi adat istiadat Aceh. Ketentuan tentang Qanun terdapat di dalam UU
74

Ibid.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 442.
76
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya, 1989), hlm.357
77
Ali Hasjmy, Op.Cit., hlm. 69.
75

Universitas Sumatera Utara

37

Pemerintahan Aceh, yaitu: Pertama Qanun Aceh adalah Peraturan PerundangUndangan sejenis78 peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.79 ; Kedua Qanun Kabupaten/Kota
adalah Peraturan Perundang-Undangan sejenis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Kabupaten/Kota di Aceh.80 Dari ketentuan kedua Pasal di atas, terlihat bahwa
Qanun dapat disamakan dengan Peraturan Daerah di provinsi lain di Indonesia,
tetapi pada dasarnya pemahaman Qanun yang disamakan dengan Perda
sesungguhnya tidaklah tepat.
Qanun merupakan suatu Peraturan Perundang-Undangan yang diberlakukan
di Provinsi Aceh yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi
kekhususan dari Provinsi Aceh, hal ini berbeda dengan daerah lain yang aturanaturan dalam Perdanya tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam.81 Selain itu
berbeda dengan Perda lainnya di Indonesia, aturan-aturan Qanun dapat berisikan
aturan-aturan hukum tentang hukum acara material dan formil di Mahkamah
Syar’iah.82 Dalam hal hirarki hukum di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
kedudukan Qanun dipersamakan dengan Perda di daerah lainnya. Menurut UU
No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut: UUD RI Tahun 1945, UU/Peraturan Pemerintah
78

Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
, Op. Cit., hlm.411.
79
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh, Pasal 1 angka 21.
80
Ibid, Pasal 1 angka 22
81
Ali Hasjmy, Loc.,.Cit.
82
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

38

Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.83
Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: Termasuk dalam jenis Peraturan
Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Aceh dan
Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. Berdasarkan ketentuan di
atas, maka kedudukan Qanun diakui dalam hierarki perundang-undangan
Indonesia dan disamakan dengan Perda.84. Jika ditelaah maka kedudukan Qanun
Ketenagakerjaan dalam sistem hukum Aceh memiliki keterkaitan dengan aspek
hukum perdata, aspek hukum tata usaha negara dan aspek hukum pidana.
Pada awalnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja hanya
menyangkut kepentingan perdata, yang dalam hal ini terkait dengan aspek hukum
perdata. Akan tetapi ketika di antara pihak-pihak tersebut terjadi perbedaan
pendapat/perselisihan serta permasalahan, maka dari sini intervensi dan otoritas
pemerintah Aceh sangat diperlukan. 85 Tujuan campur tangan Pemerintah Aceh
dalam bidang ketenagakerjaan ini adalah untuk mewujudkan ketenagakerjaan
yang adil, karena Qanun Ketenagakerjaan memberikan hak-hak bagi pekerja
sebagai manusia yang utuh, karena itu harus dilindungi baik menyangkut
keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya. Selain itu
Pemerintah

juga

harus

memperhatikan

kepentingan

pengusaha

yakni

kelangsungan perusahaan yang berada di dalam wilayah Aceh. Kehadiran

83

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 249.
Jum Anggraini, kedudukan Qanun dalam sistem pemerintahan daerah dan mekanisme
pengawasannya, jurnal hukum, FH Universitas Tama Jagakarsa Jakarta, No.3 Vol.18 Juli 2011,
hlm.327.
85
Lalu Husni, Op.Cit., hlm.23
84

Universitas Sumatera Utara

39

peraturan ketenagakerjaan ini telah memberikan nuansa baru dalam khasanah
hukum ketenagakerjaan, yakni:86
a. Mensejajarkan istilah pekerja, istilah majikan diganti menjadi pengusaha dan
pemberi kerja.
b. Memberikan kesetaraan antara pekerja pria dan wanita.
c. Adanya

nuansa

dan

unsur

keislaman

dalam

pelaksanaan

kegiatan

ketenagakerjaan.
d. Penetapan hari-hari besar di Aceh sebagai hari libur, misalnya seperti libur
pada hari meugang dan libur setiap tanggal 26 Desember guna memperingati
peristiwa gempa dan tsunami Aceh.
e. Memberikan sanksi yang memadai serta menggunakan batas minimum dan
maksimum, sehingga lebih menjamin kepastian hukum dalam penegakannya.
f. Mengatur mengenai sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis,
pembatasan

kegiatan

usaha, pembekuan

kegiatan

usaha,

pembatalan

persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau
seluruh alat produksi dan pencabutan izin.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa keberadaan hukum ketenagakerjaan
baik dalam sistem hukum di Indonesia maupun dalam sistem hukum Aceh
sangatlah strategis dan mendasar, hal ini terjadi karena muatannya bukan hanya
teknis ketenagakerjaan yang biasanya berkaitan dengan bidang hukum semata
tetapi juga berkaitan erat dengan muatan sosial, ekonomi dan politik yang juga

86

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

40

berkaitan dengan masalah Hak Asasi Manusia, 87 dengan kata lain hukum
ketenagakerjaan di Indonesia dan Aceh adalah bersifat multidimensional. 88 Dalam
wacana yang ada, politik hukum merupakan realitas yang didapat antara interaksi
antara faktor-faktor politik, ekonomi, baik nasional maupun internasional juga
perkembangan dalam dunia industri dewasa ini, seperti munculnya multi serikat
pekerja, LSM, dan lembaga sosial politik yang peduli terhadap persoalan
ketenagakerjaan dan lain-lain. Kesemuanya ini perlu dilihat secara holistik dan
sistemik, sehingga akan benar-benar akan terlihat bagaimana politik hukum
mengarahkan

peraturan

perundangan

ketenagakerjaan, sehingga nantinya

peraturan ketenagakerjaan dapat aplikatif dan benar-benar mampu membawa
kemajuan di bidang ketenagakerjaan 89 di Indonesia dan Aceh.
Kedudukan hukum ketenagakerjaan semakin penting disebabkan pihak yang
dilibatkan dalam hubungan kerja umumnya berada pada posisi yang tidak
seimbang.

Timbulnya

hukum

ketenagakerjaan

dikarenakan

adanya

ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan
(antara pekerja dengan pengusaha) dengan alasan itu pula dapat dilihat bahwa
tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan
hubungan diantara keduanya,90 bahkan asas kebebasan berkontrak dalam
perjanjian kerja digambarkan oleh H. Sinzheimer tidak lebih dari sebuah

87

Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja,
(Bandung:Mandar Maju, 2004), hlm. 2.
88
Majalah nakertrans edisi 1/XXIV Februari 2004, fenomena baru ketenagakerjaan,
http://www.nakertrans.go.id/nemsdetail.php/id=139 (diakses pada tanggal 22 Mei 2016)
89
Agusmidah, dilematika hukum ketenagakerjaan tinjauan politik hukum,(Jakarta: PT.
Sofmedia,2011), hlm. 12.
90
Claire Kilpatrick, Has Nem Labour Reconfigured Employment Legislation?, Industrial
Law Jurnal, No.3 Vol.32, September 2003, hlm. 137.

Universitas Sumatera Utara

41

kepatuhan secara sukarela terhadap kondisi-kondisi yang telah ditetapkan secara
sukarela terhadap kondisi-kondisi yang telah ditetapkan secara sepihak oleh
pengusaha.
Senada dengan hal tersebut diaturnya masalah kerja dalam hukum sosial
tersendiri (dalam hal ini hukum ketenagakerjaan) adalah akibat kenyataan sosial
yang dalam kehidupan ekonomis mengalami pergeseran, dimana perlindungan
kepentingan kerja dalam kontrak/perjanjian kerja merupakan kepentingan umum
yang tidak dapat lagi diabaikan berdasarkan asas kebebasan individu serta
otonomi individu dalam mengadakan kontrak/pekerjaan kerja. 91
Bergesernya persepsi ini tidak lepas dari pengalaman sejarah negara.-negara
di dunia, Ripert yang telah membuktikan bahwa gerakan politik buruh mampu
membawa Prancis menjalani revolusi. Jadi kekuatan politik pekerja sebagai faktor
utama yang mendorong hukum ketenagakerjaan menjadi bagian dari hukum
publik.
Model hukum ketenagakerjaan di Indonesia merupakan model hukum
ketenagakerjaan yang korporatis. 92 Dalam model hukum korporatis ini, hubungan
ketenagakerjaan diatur melalui jalan legislasi dalam bentuk peraturan perundangundangan dengan demikian hukum ketenagakerjaan juga menjadi bagian dari
hukum

publik.

Sebagai

hukum

publik,

proses

pembentukan

hukum

ketenagakerjaan melibatkan peran negara dapat tanggap dan menjadi fasilitator
kedua kepentingan kelompok, yaitu antara pekerja dan pengusaha.
3.

Pembagian kewenangan dalam bidang ketenagakerjaan
91
92

Ibid.
Agusmidah, Op. Cit., hlm.14

Universitas Sumatera Utara

42

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kedudukan hukum
ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia dan Daerah Aceh dibagi menjadi 3
(tiga) yang dalam praktiknya harus dijalankan secara berhubungan satu dengan
yang lainnya. Pemerintah sebagai sentra pemerintahan mempunyai kewenangan
mutlak untuk mengeluarkan produk hukum di bidang ketenagakerjaan, namun
Pemerintah Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang berpegang pada UU
Pemerintahan Daerah juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk
hukum

ketenagakerjaan

yang

akan

diberlakukan

didalam

daerah

pemerintahannya.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004, sebagaimana terakhir
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang merupakan produk hukum monumental dalam menata kembali sistem
pemerintahan yang carut marut selama 32 tahun pemerintahan orde baru, dimana
tata pemerintahan otonomi daerah dengan paradigma pemberdayaan masyarakat
(people empowerment) ini dilaksanakan secara penuh sejak 1 Januari 2001. 93
Pada awalnya pengertian otonomi daerah menurut Pasal 1 huruf h UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 ialah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian berubah bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

93

Abdul Khakim, Op. Cit., hlm.231.

Universitas Sumatera Utara

43

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan

masyarakat

setempat

sesuai

dengan

Peraturan

Perundang-

Undangan.94
Bertolak dari sini maka sudah tentu perencanaaan, pelaksanaan, dan
pengontrolan atau pengendalian pembangunan di daerah harus melibatkan rakyat
melalui sistem keterwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya
disebut DPRD). Untuk itu pemberdayaan DPRD sendiri sebagai wakil rakyat
sebagai suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini dikarenakan
kedudukan DPRD sangat strategis dalam menentukan arah pembangunan
kebijakan di daerah. Disini rakyat harus selalu melakukan kontrol dan mengkritisi
setiap pembangunan didaerahnya.95 Oleh sebab itu DPRD sebagai lembaga
legislatif dalam merumuskan produk hukum (Peraturan Daerah) juga Gubernur
atau Bupati/Walikota dalam membuat Peraturan Gubernur atau Peraturan
Bupati/Walikota harus benar-benar cermat dengan memformulasikan kepentingan
daerah dan kepentingan nasional, yaitu memodifikasi kepentingan yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat setempat dan kepentingan nasional dalam menjaga
tegak dan utuhnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.96
Dalam membahas kewenangan harus mendasarkan pada UU Nomor 32
Tahun 2004, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah), berikut
peraturan turunannya, antara lain ialah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
94

Ibid.
Ibid.
96
Ibid. hlm. 232.
95

Universitas Sumatera Utara

44

2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah
Provinsi Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta Peraturan Pemerintah
Nomor

20

Tahun

2001

Tentang

Pembinaan

Dan

Pengawasan

Atas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan beberapa peraturan pelaksanaannya.
Adapun pembagian kewenangan dibidang ketenagakerjaan dapat dilihat
berdasarkan UU Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007. 97 Didalam UU Pemerintahan Daerah Kewenangan pemerintah
(pusat) di bidang ketenagakerjaan tidak disebutkan secara spesifik. Peran
Pemerintah disini terkait urusan yustisi, dimana Pemerintah membuat produk
hukum dengan membentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain berskala nasional yang
berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan. Kewenangan pemerintah provinsi
sendiri

adalah

melakukan

pelayanan

dibidang

ketenagakerjaan

lintas

kabupaten/kota.98
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 pembagian
kewenangan urusan pemerintahan diatur lebih terperinci dan sekaligus mencakup
urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.99 Untuk mewujudkan pembagian
urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara
Pemerintah,

Pemerintahan

Daerah

Provinsi

dan

Pemerintahan

Daerah

Kabupaten/Kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang
meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria
97

Ibid.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 13 ayat
(1) huruf h.
99
Abdul Khakim, Op.Cit., hlm.233
98

Universitas Sumatera Utara

45

tersebut

diterapkan

secara

kumulatif

sebagai

satu

kesatuan

dengan

mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan
susunan pemerintahan.100
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang
wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan
dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan,
lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan
pemerintahan

yang

bersifat

pilihan

adalah

urusan

pemerintahan

yang

diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait
dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core comtence) yang menjadi
kekhasan daerah. Urusan Pemerintahan diluar urusan wajib dan urusan pilihan
yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah, sepanjang menjadi kewenangan
daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah
yang bersangkutan.101
Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki
oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan
pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan
kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan
daerah yang bersangkutan. Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan
pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap

100

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonom,
Penjelasan, umum.
101
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

46

tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang
berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang
bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Untuk itu
pemberdayaan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah menjadi sangat penting
untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangannya.102 Pembagian urusan pemerintah dibidang
ketenagakerjaan terdiri dari beberapa subbidang, diantaranya ialah. 103
a. Dalam subbidang Kebijakan, perencanaan, pembinaan dan pengawasan yang
menjadi kewenangan di bidang ketengaakerjaan dibagi menjadi:
1) Pemerintah membuat penetapan suatu kebijakan di bidang ketenagakerjaan,
pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan
pemerintahan bidang ketenagakerjaan dalam skala nasional. Kebijakan
yang telah dibuat ini dibebankan kewajiban penyelenggaraannya kepada
Pemerintah sendiri selaku pembuat juga kepada Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota selaku penanggung jawab
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan di skala
provinsi dan kabupaten/kota. hanya bertugas menjalankan kebijakan yang
telah telah dikeluarkan oleh Pemerintah namun kedua Pemerintah Daerah
ini juga berwenang membuat penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan
strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan
skala masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Ketika Pemerintah
102
103

Ibid.
Abdul Khakim, Loc., Cit.

Universitas Sumatera Utara

47

Provinsi membuat suatu kebijakan yang skalanya mencakup provinsi maka
akan

menjadi kewajiban

bagi

Pemerintah

Kabupaten/Kota untuk

melaksanakannya juga.
2) Baik pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kot sama-sama berwenang untuk melakukakan pembinaan
dalam bentuk pengawasan, monitoring dan evaluasi dan pelaporan terkait
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dalam
skalanya masing-masing.
3) Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi

maupun

Pemerintah

Kabupaten/Kota berwenang membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah
(selanjutnya disebut SKPD) dalam daerah yang dipimpinnya guna
mempermudah

penyelenggaraan

urusan

pemerintahan

dibidang

ketenagakerjaan dengan ketentuan bahwa yang berwennag membuat
penetapan kebijakan, pedoman, standar dan kriteria pembentukan
kelembagaan/ SKPD adalah kewenangan Pemerintah.
4) Pemrintah berwenang membuat perencanaan tenaga kerja nasional,
pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota,
serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan.
Pemerintah Daerah Provinsi juga berwenang membuat perencanaan tenaga
kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenga kerja, pembinaan dan
penyelenggaraan sistem informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan
perencanaan

tenaga

kerja

dan

informasi

ketenagakerjaan

untuk

kabupaten/kota dalam skala provinsi.

Universitas Sumatera Utara

48

Sementara itu kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
adalah

melakukan

instansi/tingkat

pembinaan

perusahaan

perencanaan

serta

tenaga

melakukan

kerja

pada

pembinaan

dan

penyelenggaraan informasi ketenagakerjaan untuk skala kabupaten.

b. Dalam subbidang Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur yang
kewenangan dibidang ketenagakerjaan dibagi menjadi seperti berikut, yaitu:104
1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/
Kota sama-sama berwenang melakukan penetapan suatu kebijakan terkait
evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintah, pedoman
pelaksanaan pembinaan, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring
untuk dapat digunakan guna mengevaluasi pembinaan SDM aparatur
pelaksana urusan pemerintah dalam skala masing-masing.
2) Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi

maupun

Pemerintah

Kabupaten/Kota berwenang membuat perencanaan formasi, karier, dan
pendidikan serta pelatihan (diklat) untuk SDM aparatur pelaksana urusan
pemerintahan bidang ketenagakerjaan dalam skala nasiona, provinsi bahkan
kabupaten/kota.
3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/
Kota mempunyai kewenangan yang sama untuk melakukan pembinaan,
penyelenggaraan,

pengawasan,

dan

pengendalian,

serta

evaluasi

pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang
ketenagakerjaan skala kekuasaanya masing-masing.
104

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Op.,Cit., Lampiran.

Universitas Sumatera Utara

49

4) Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi

maupun

Pemerintah

Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang sama dalam membuat
penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang
melaksanakan urusan bidang ketenagakerjaan serta kewenangan melakukan
pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang
ketenagakerjaan di instansi yang berada dalam wilayah kekuasaanya
masing-masing.
c. Dalam subbidang Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja,
dalam sub bidang ini kewenangan pemerintahan ialah:105
1) Pemerintah

bertugas

membuat

standarisasi

kompetensi

dan

penyelenggaraan pelatihan kerja dalam skala nasional. Sementara itu
Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota
mempunyai

kewenangan

untuk

melakukan

pembinaan

dan

penyelenggaraan pelatihan kerja dalam skala provisi dan kabupaten/kota
berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Setelah
diadakannya pelatihan kerja ini nantinya akan dilakukan pengukuran
tingkat kenaikan produktivitas tenaga kerja dalam skala masing-masing.
2) Pemerintah berwenang melakukan pembinaan dan penyelenggaraan kerja
sama internasional dalam rangka penigkatan produktivitas, sementara itu
Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dituntut
untuk terus melakukan produktivitas di wilayah kerjanya masing-masing
melalui pelatihan dan pemagangan tenaga kerja.

105

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Loc.,Cit.

Universitas Sumatera Utara

50

3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/
Kota berwenang dalam pengawasan pelaksanaan perizinan dan pendaftaran
lembaga yang akan mengadakan pelatihan kerja serta penerbitan perizinan
magang keluar negeri. Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah
dengan mewajibkan lembaga pelatihan kerja untuk menyampaikan laporan
bulanan secara tertulis atas pelaksanaan kegiatan pelatihan yang telah
dilaksanakan kepada SKPD di wilayah kerja masing-masing.
4) Pemerintah, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
sertifikasi kompetensi dan akreditas lembaga sertifikasi profesi dan
lembaga pelatihan kerja skala kerja masing-masing. Pengawasan yang
dimaksud disini adalah dengan mewajibkan lembaga sertifikasi profesi dan
lembaga pelatihan kerja mengajukan pendaftaran untuk mendapatkan
akreditasi secara berkala kepada Komite Akreditasi Lembaga Pelatihan
Kerja (KALPK) yang ada di wilayah kerja masing-masing.
d. Dalam subbidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri,
pembagian kewenangan dalam subbidang ini terdiri dari:106
1) Pemerintah berwenang menyusun sistem dan penyebarluasan informasi
pasar kerja secara nasional, begitupun dengan Pemerintah Daerah Provinsi
yang mempunyai wewenang untuk menyusun sistem dan penyebarluasan
informasi pasar kerja sementara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya

106

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Loc.,Cit.

Universitas Sumatera Utara

51

berwenang untuk melakukan penyebaran informasi pasar kerja dan
pendaftaran pencari kerja dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota.
2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewennagan
untuk memberikan pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan
kepada kepada pencari kerja dan pengguna tenaga kerja dalam skala kerja
masing-masing, sedangkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya
berwenang untuk melakukan penyusunan, pengolahan dan penganalisisan
data pencari kerja dan data lowongan kerja di kabupaten/kota.
3) Pemerintah berwenang dalam penerbitan dan pengendalian izin pendirian
Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta
(LPTKS) dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan lintas provinsi,
Pemerintah Daerah Provinsi berwenang melakukan hal ini dalam provinsi
yang dipimpinnya, begitupun dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Selain

itu

Pemerintah

Daerah

Provinsi

dan

Pemerintah

Daerah

Kabupaten/Kota berwenang untuk menerbitkan rekomendasi untuk
perizinan pendirian pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan
Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan lembaga penyuluhan dan bimbingan
jabatan yang akan melakukan kegiatan di wilayah provinsi/kabupaten yang
dipimpin oleh masing-masing Kepala Daerah ini.
4) Pemerintah, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota berwenang memberikan rekomendasi kepada pihak swasta
dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair dalam skala kerja
masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

52

5) Pemerintah berwenang untuk melakukan sosialisasi terkait penempatan
tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia dan tenaga kerja perempuan.
Pemerintah

Daerah

Provinsi

berwenang untuk memfasilitasi

dan

melakukan pembinaan penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut
usi dan perempuan sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya
berwenang untuk mem