Pelaksanaan qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat di Aceh: studi putusan Mahkamah Syar’iyyah Tahun 2010 di Provinsi Aceh

(1)

Skripsi

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh gelar S.Sy

Oleh:

DEWI ROBIATUL MUNAWAROH

NIM: 1111045100016

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015 H/1436 M


(2)

(3)

(4)

Mahkamah Syar’iyyah Tahun 2010 Di Provinsi Aceh). Dosen Pembimbing: Dr. Khamami Zada, MA.

Skripsi ini dilatar belakangi oleh maraknya khalwat dalam pergaulan, dan Pemerintah Aceh memberlakukan Qanun Khalwat dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Khalwat bukan termasuk ke dalam jarimah qishash maupun hadd, akan tetapi khalwat merupakan jarimah takzir yang perlu untuk diwaspadai. Pokok pembahasan dalam penelitian ini ialah Putusan Mahkamah Syar’iyyah di aceh Tahun 2010, Qanun Nomor 14 Tahun 2003, dan fiqh.

Skripsi ini menyimpulkan bahwa terdapat kesesuaian antara Putusan Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Aceh Nomor: 03/JN/2010/MS-ACEH dan Putusan Mahkamah Syar’iyyah Kutacane Nomor: 0027/JN.B/2010/MS-KC dengan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat baik di dalam aspek yang dilarang, subjek hukum, maupun sanksi atau hukuman yang diberikan kepada pelaku pelanggaran khalwat. Akan tetapi berbeda dengan hasil perbandingan antara putusan Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Aceh Nomor: 03/JN/2010/MS

-ACEH dan Putusan Mahkamah Syar’iyyah Kutacane Nomor:

0027/JN.B/2010/MS-KC dengan fiqh, dari ketiga aspek yang telah disebutkan, ada salah satu aspek dalam putusan Mahkamah Syar’iyyah yang tidak sesuai dengan fiqh yaitu dalam aspek subjek hukum, bahwa di dalam kedua putusan tersebut yang dijadikan subjek hukum ialah setiap muslim yang berada di Provinsi Aceh, sedangkan di dalam fiqh yang menjadi subjek hukum dalam larangan khalwat ialah setiap lelaki dan perempuan baik muslim maupun non muslim. Adapun dalam aspek yang dilarang dan sanksi, telah sesuai.

Dalam metode penelitian ini menggunakan jenis penilitian hukum normatif, dan menggunakan analisis deskriptif komparatif yaitu dengan cara menggambarkan serta menjabarkan pelaksanaan syari’at Islam di Provinsi Aceh khususnya dalam ruang lingkup peraturan khalwat, lalu menganalisis putusan Mahkamah Syar’iyyah tentang khalwat pada Tahun 2010 dan kemudian membandingkan isi dari putusan tersebut dengan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat dan membandingkan pula dengan fiqh. Ada tiga aspek yang dibandingkan, yaitu: aspek yang dilarang, subjek hukum, dan sanksi/hukuman terhadap pelaku khalwat. Sumber data yang digunakan ialah putusan Mahakamah Syar’iyyah, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, dan kitab-kitab fiqh. Kata kunci: Qanun, khalwat, dan Mahkamah Syar’iyyah.


(5)

kekuatan, serta petunjuk kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pelaksanaan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di Aceh (Studi Putusan Mahkamah Syar‟iyyah Tahun 2010 di Provinsi Aceh),

sebagai pelengkap syarat guna mencapai gelar sarjana pada Fakultas Syari‟ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, serta para pengikutnya.

مْيظاعلا ِيلاعلا لاب ََا اةَوق اَاو الْواح اَ

“Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia”.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang dihadapi. Namun berkat kesungguhan dan

kesabaran, serta do‟a dan dorongan dari berbagai pihak, keluarga, para sahabat

dan khususnya bapak dosen pembimbing, sehingga segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat di atasi. Maka dengan ini, penulis banyak mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi,

baik berupa pemikiran, saran, dukungan, serta do‟a. Di antaranya kepada:

1. Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

telah memberikan dukungan, do‟a serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Khamami Zada. MA,. selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih banyak penulis ucapkan atas waktu dan tenaga bapak yang telah diluangkan selama bimbingan.

4. Kepada seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada Dosen Prodi Jinayah Siyasah yang telah mengajarkan penulis selama perkuliahan dengan sabar dan ikhlas, terima kasih banyak dan maaf sedalam-dalamnya atas segala kekurangan dari penulis selama waktu perkuliahan.

5. Kepada Ayahanda Bapak H. Burhanuddin, S.Pdi. dan Ibunda Hj.

Romdloni yang telah mencurahkan segala usaha dan do‟a untuk

kesuksesan dan kemudahan penulis dalam menyelesaikan studi ini. Skripsi ini penulis persembahkan untuk ayahanda dan ibunda tercinta.

6. Kepada saudara-saudaraku Doni Nurkamaludin, Vivi Durrotul

Mufidzah, dan Lili Halimatus Sa‟diyah yang telah memberikan motivasi serta do‟anya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(7)

dukungan, maupun bantuan secara langsung.

8. Teman-teman Pidana Islam Angkatan 2011, yang telah mendukung dan membantu penulis selama belajar mulai dari awal perkuliahan sampai akhir semester 7.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada semua pihak, karena skripsi ini merupakan karya manusia yang memiliki banyak kekurangan, kelemahan dan ketidaksempurnaan, sehingga dukungan doa, motivasi, serta bantuannya sangat berguna. Semoga Allah membalas kebaikan untuk semuanya dan semoga langkah kita semua selalu diridhoi dan diberkahi oleh Allah Swt. Akhir kalimat, Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, amiin.

Jakarta, 1 Mei 2015 M Jakarta, 12 Rajab 1436 H


(8)

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 12

Bab II KHALWAT DAN „UQUBATNYA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Khalwat ... 15

B. Hukum dan Larangan Khalwat dalam Hukum Pidana Islam ... 18

C. „Uqubat Pelaku Khalwat dalam Hukum Pidana Islam ... 31

Bab III PELAKSANAAN SYARI‟AT ISLAM DI ACEH A. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh .... 38

B. Peraturan Tentang Khalwat di Aceh ... 48

C. Mahkamah Syar‟iyyah atau Peradilan Syari‟at Islam ... 52

Bab IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH SYAR‟IYYAH TENTANG KHALWAT, QANUN NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT, DAN FIQH A. Putusan Mahkamah Syar‟iyyah Tentang Khalwat ... 56

B. Perbandingan Putusan Mahkamah Syar‟iyyah Tentang Khalwat dengan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 ... 63

C. Perbandingan Putusan Mahkamah Syar‟iyyah Aceh dengan Fiqh ... 70

Bab V PENUTUP A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(9)

A.Latar Belakang

Pergaulan merupakan proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu dapat juga oleh individu dengan kelompok. Pergaulan juga merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup khusus nya manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, sehingga pergaulan akan terjadi setiap harinya antar sesama makhluk hidup. Karena secara alamiah manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri tanpa makhluk lain, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya manusia selalu hidup bermasyarakat.1

Akan tetapi dengan berkembangnya kehidupan pergaulan sesama manusia menjadi banyak yang menyimpang, seperti pergaulan yang melewati batasan syariat Islam contoh bergaulnya laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di suatu tempat yang sunyi atau sepi (berkhalwat). Hal ini juga sering terjadi di Aceh. Bahkan setelah diberlakukannya Qanun Nomor 14 Tahun 2003.

Seperti data laporan kasus ini, yang diambil dari Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tahun 2005 terdapat 8 kasus khalwat, pada tahun 2006 terjadi peningkatan menjadi 21 kasus khalwat, tahun 2007

1

Christiani Widowati, “Hukum Sebagai Norma Sosial Memiliki Sifat Mewajibkan”, dalam Adil Jurnal Hukum (Jakarta, Vol.4 NO.1 Juli 2013), hal, 151.


(10)

terdapat 127 kasus khalwat dan tahun 2008 tcrdapat 491 kasus khalwat. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam pelanggaran khalwat setiap tahunnya.2

Pada tahun 2013, pelanggaran khalwat juga masih mendominasi dalam

berbagai bentuk pelanggaran syari‟at Islam. Terdapat 329 kasus pelanggaran Syari‟at Islam yang ditangani Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh.

221 kasus merupakan kasus pelanggaran terhadap Qanun Khalwat, 153 kasus merupakan pelanggaran terhadap Qanun pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syiar Islam, 6 kasus merupakan pelanggaran minuman khamar, dan 2 kasus pelanggaran judi.3

Maka dari laporan kasus tersebut, dapat dilihat bahwa telah banyak penyimpangan dalam pergaulan manusia, biasanya penyimpangan tersebut terjadi pada kalangan remaja, namun memungkinkan juga terjadi pelanggaran oleh orang dewasa baik yang sudah menikah maupun belum.

Syari‟at Islam telah mengatur tata cara bergaul yang baik, dan batasan -batasan dalam pergaulan baik antar individu maupun antar kelompok, baik sesama

2Susi Nurita, dkk “

Konsep Penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pencegahan Khalwat Pada Remaja Kota Banda Aceh”, PDII-LIPI, No. 345, 14-6-2015.

http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/269721, di akses 14-6-2015, jam 11.15 WIB.

3Afif, Kasus Khalwat dan Mesum Dominasi Pelanggaran Syariat Islam Di Aceh,

http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-khalwat-mesum-dominasi-pelanggaran-syariat-islam-di-aceh.html, di akses14 Juni 2015, jam 11.00 WIB.


(11)

jenis maupun lain jenis. Ada batasan-batasan yang kuat dalam pergaulan syari‟at Islam. Salah satunya yaitu Islam melarang untuk menyepi dengan lain jenis yang bukan muhrim atau berkhalwat.4

Syari‟at Islam melarang wanita muslimah menerima tamu laki-laki yang bukan muhrim di rumahnya saat suaminya sedang pergi atau tidak berada di rumah, walaupun laki-laki tersebut sudah begitu akrab dengan suaminya atau keluarganya.5 Tidak diperbolehkan pula bagi seorang muslim atau muslimah berkumpul dengan pemuda atau pemudi lain yang bukan mahramnya dalam tempat yang sepi karena sesungguhnya menyendiri bersama wanita lain itu dilarang.

Berdasarkan ketentuan syari‟at di atas, maka pemerintah Aceh pun mengatur larangan pergaulan yang dilarang dalam syari‟at Islam yaitu Qanun

Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat. Kemudian ada pula beberapa ketentuan syari‟at Islam dan hukum-hukum Islam lainnya yang diwujudkan dalam qanun

lain. Aceh telah memberlakukan syari‟at Islam sejak beberapa tahun yang lalu.

Telah diketahui bahwa daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberikan keistimewaan dan otonomi khusus yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah

4

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal, 898.

5

Musthafa As-Shiba‟i, Wanita dalam pergaulan Syari’at & Hukum Konvensional, (Jakarta: Insan Cemerlang dan PT. Intimedia Ciptanusantara), hal, 201.


(12)

Aceh, yang antara lain otonomi khusus tersebut terkait di bidang pelaksanaan

syari‟at Islam dalam kehidupan masyarakat guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang tertib, aman, tenteram, sejahtera dan adil untuk mencapai ridha Allah.6 Tidak hanya itu saja dalam UU No. 44 Tahun 1999 juga dijelaskan bahwa keistimewaan yang diberikan kepada Aceh yaitu kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.7

Isi dari visi dan misi penerapan hukum-hukum Islam, ialah menciptakan sebuah masyarakat Islam yang mulia, terhormat, bersih, aman, damai, dan sejahtera. Di dalam kamus hukum Islam tidak ada celah untuk tindakan kriminalitas, kekacauan, anarkisme, perilaku-perilaku menyimpang, kerusakan, kemungkaran apalagi kemaksiatan.8

Banyak qanun yang telah dibuat oleh Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang dikehendaki dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, misalnya pada tahun 2002, telah disahkan beberapa qanun. Pada periode akhir konflik Aceh, diberlakukan sejumlah peraturan

perundang-undangan yang menitikberatkan kepada syari‟at Islam, diantaranya ialah

6

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

7

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan.

8

Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2011), hal, 233-234.


(13)

Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Nanggroe

Aceh Darussalam, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari‟at

Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi‟ar Islam, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.9

Berdasarkan hukum positif yang tercantum dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003, bahwa khalwat (perbuatan mesum) merupakan salah satu perbuatan munkar yang dilarang dalam syari‟at Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina. Di dalam Qanun tentang khalwat Nomor 14 Tahun 2003 pasal 1 butir 20 dicantumkan bahwa khalwat atau mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.10

9

Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan, (Jakarta:LSIP, 2014), hal, 5-6.

10

Al-Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005), hal, 276.


(14)

Jika dilihat dari Qanun tentang khalwat Nomor 14 Tahun 2003, bahwa ‘uqubat dari pelanggaran khalwat ialah diancam dengan ‘uqubat takzir yakni berupa dicambuk paling tinggi 9 kali cambuk dan paling rendah yakni 3 kali cambuk dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dan paling sedikit denda Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).11

Begitupun dengan hukum Islam yang tidak lepas mengatur mengenai hal ini, hukum Islam pun mengatur hal-hal semacam ini sebab melihat maslahat dan mafsadat yang timbul dari perilaku/perbuatan tersebut. Di dalam hukum Islam perbuatan khalwat termasuk kedalam ‘uqubat takzir, karena tidak disebutkan di dalam al-Qur‟an hukumannya secara spesifik, hanya ancaman dan larangannya saja.

Maka dari laporan kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kasus pelanggaran khalwat merupakan salah satu kasus yang paling marak terjadi dari beberapa pelanggaran syariat Islam. Maka dengan begitu perlu diteliti dan dilihat sejauh mana pelaksanaan Qanun Nomor 14 Tahun 2003.

Dari pemaparan di atas, penulis hendak membuat kajian untuk mendalami hal tersebut. Maka dari itu penulis memutuskan untuk memilih judul

“PELAKSANAAN QANUN NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT DI ACEH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH SYAR‟IYYAH

TAHUN 2010 DI PROVINSI ACEH)”.

11

Al-Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, hal, 279.


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Adapun fokus masalah dalam studi ini berkisar pada penelurusan lebih dalam mengenai pelaksanaan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di Provinsi Aceh, yakni pelaksanaan qanun hanya dalam proses pengadilan (Mahkamah Syar‟iyyah) oleh hakim dalam kurun waktu 2010. Adapun wilayah yang akan lebih difokuskan dalam penelitian ini ialah mencakup putusan tentang khalwat di Mahkamah Syar‟iyyah Provinsi Aceh. Dengan demikian, dalam penelitian ini yang dijadikan masalah pokok ialah perbandingan Putusan Mahkamah Syar‟iyyah terhadap qanun dan fiqh, yang di lakukan melalui studi putusan Mahkamah Syar‟iyyah Provinsi Aceh pada Tahun 2010.

Adapun alasan mengapa memilih Putusan Mahkamah Syar‟iyyah dalam

kurun waktu 2010, karena dalam putusan yang akan diteliti terdapat hal yang menarik yang nantinya dapat dibandingkan dengan fiqh.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan dari masalah pokok di atas, dalam penelitian ini dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) sub masalah yang dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research questions), yaitu:


(16)

1. Apa putusan Mahkamah Syar‟iyyah di Provinsi Aceh Tahun 2010 tentang pelanggaran khalwat?

2. Bagaimana perbandingan antara putusan Mahkamah Syar‟iyyah tentang khalwat di Provinsi Aceh Tahun 2010 dengan peraturan yang tertera dalam Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat?

3. Bagaimana perbandingan antara putusan Mahkamah Syar‟iyyah tentang khalwat di Provinsi Aceh Tahun 2010 dengan fiqh?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi hal ini bertujuan untuk menjelaskan secara luas khalwat dalam pandangan hukum Islam, kemudian pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh, dan mengenai pelaksanaan larangan khalwat di dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 yaitu pelaksanaan hukum dalam tingkat pengadilan Mahkamah Syar‟iyyah yakni studi putusan Mahkamah

Syar‟iyyah di Provinsi Aceh Tahun 2010. Selain dari pada itu, tujuan dalam

penelitian ini juga berkisar pada perbandingan antara putusan Mahkamah

Syar‟iyyah di Provinsi Aceh Tahun 2010 dengan aturan yang ada dalam Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat itu sendiri dan membandingkan putusan Mahkamah Syar‟iyyah di Provinsi Aceh Tahun 2010 dengan Fiqh. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk:


(17)

a. Untuk mengetahui pelaksanaan Qanun Khalwat di tingkat Mahkamah

Syar‟iyyah (studi putusan Mahkamah Syariyyah di Provinsi Aceh

Tahun 2010);

b. Untuk mengetahui perbandingan antara putusan Mahkamah Syar‟iyyah

di Provinsi Aceh Tahun 2010 dengan peraturan yang tertera dalam Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat;

c. Untuk mengetahui perbandingan antara putusan Mahkamah Syar‟iyyah

di Provinsi Aceh Tahun 2010 dengan fiqh.

2. Manfaat Penelitian

Adapun hasil manfaat penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah

mengenai hukum khalwat baik dari segi qanun, putusan Mahkamah

Syar‟iyyah, maupun fiqh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap upaya menanggulangi kemaksiatan khalwat di kabupaten/kota lainnya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan

kepada masyarakat Indonesia awal mula pelaksanaan syari‟at Islam di

Aceh, dan pelaksanaan Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang larangan berkhalwat di Aceh.

d. Diharapkan penilitian ini bermanfaat untuk menjadi acuan/inspirasi bagi para penulis yang akan melakukan penelitian mengenai Qanun Khalwat di Aceh.


(18)

Ada beberapa skripsi yang membahas mengenai khalwat di Aceh, di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh Siti Idaliyah dengan judul “Tindak Pidana Khalwat di Nanggroe Aceh Darussalam (Analisis Komparatif Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat/Mesum dan Pasal 532-536 Tentang Pelanggaran Asusila Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Tahun 2013.

Siti Idaliyah dalam skripsi tersebut menemukan bahwa terdapat perbedaan di dalam Qanun Khalwat No. 14 Tahun 2003 dengan pasal asusila yang terdapat di dalam KUHP yakni pasal 532-536 KUHP. Bahwa di dalam Qanun Khalwat No. 14 Tahun 2003 suatu perbuatan khalwat akan tetap ditindak baik dilakukan di tempat tertutup maupun tempat terbuka (umum). Sedangkan pelanggaran asusila dalam KUHP pasal 532-536, bahwa pelanggaran asusila hanya akan ditindak jika dilakukan di tempat umum. Artinya bahwa orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain.

Siti Idaliyah juga membahas mengenai sejarah kemunculan atau alasan yang melatar belakangi adanya Qanun Khalwat. Bahwa hal yang melatar belakangi munculnya Qanun Nomor 14 Tahun 2003 ialah adanya Keistimewaan dan Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh antara lain di bidang pelaksanaan Syariat Islam. Siti Idaliyah membahas pula Pasal 532-536 tentang pelanggaran Asusila dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesopanan, memperlihatkan benda atau gambar yang dapat meningkatkan nafsu birahi, dan lain sebagainya.


(19)

Skripsi Hady Warman yang berjudul “Implementasi Qanun Aceh Tentang Khamar, Maisir dan Khalwat di Kabupaten Aceh Tenggara)”, Tahun 2013. Skripsi tersebut membahas mengenai bagaimana implementasi Qanun Aceh Tentang Khamar, Maisir dan Khalwat di Kabupaten Aceh Tenggara. Yakni bahwa implementasi Qanun Aceh Tentang Khamar, Maisir dan Khalwat di Kabupaten Aceh Tenggara tidak dapat berjalan dengan efektif sejak diberlakukannya undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus dikarenakan pelaksanaan qanun yang berlaku kurang tegas sehingga penyelesaian kasus kurang efektif bahkan seringkali tidak dikenakan hukuman

bagi yang melanggar; kurangnya sosialisasi dari Dinas Syari‟at Islam

khususnya kepada masyarakat Kabupaten Aceh Tenggara, dan sosialisasi dilakukan dengan tidak merata; adanya kepentingan politik yang menimbulkan dampak negatif terhadap efektifitas berlakunya Qanun Aceh di Kabupaten Aceh Tenggara; adanya oknum masyarakat yang kurang sepakat untuk diterapkannya Qanun Aceh di Kabupaten Aceh Tenggara; pembinaan masyarakat tidak berlanjut dalam memberikan pemahaman masyarakat mengenai syari‟at Islam; dan lain-lain.

Adapun penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, yakni penelitian ini membahas tentang pelaksanaan Qanun Khalwat Nomor 14 Tahun 2003 di Provinsi Aceh (Studi Putusan Mahkamah Syar‟iyyah Di Provinsi Aceh Tahun 2010). Pelaksanaan qanun dalam cakupan tingkat


(20)

Provinsi Aceh Tahun 2010, telah sesuaikah putusan Mahkamah syar‟iyyah di Provinsi Aceh pada Tahun 2010 dengan ‘uqubat yang ada dalam Qanun Aceh tentang Khalwat Nomor 14 Tahun 2003, dan apakah telah sesuai juga putusan Mahkamah Syar‟iyyah di Provinsi Aceh pada Tahun 2010 dengan fiqh. Selain dari pada itu penelitian ini membahas secara detail pandangan hukum Islam mengenai khalwat agar dapat mengetahui dan memastikan telah sesuaikah Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dengan hukum Islam.

E.Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu teknik pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian tertentu untuk menggali dan mengembangkan pengetahuan dari sumber-sumber primer maupun sekunder.12 Agar tercapai maksud dan tujuan pembahasan pokok-pokok masalah di atas, maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam rangka penelitian dan pengumpulan data dalam pembuatan skripsi ini, penulis menggunkan metode penelitian kepustakaan (library research)13, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menghimpun atau mengumpulkan data dari berbagai literatur baik data yang ada di

12

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cetakan keduabelas 2007), hal, 27.

13

Library research ini dilakukan dengan mendayagunakan sumber informasi yang terdapat diperpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Lihat Masri Singarimbun dan Sofian Effendi


(21)

perpustakaan maupun di tempat lainnya14, yaitu Qanun Aceh tentang Khalwat Nomor 14 Tahun 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Putusan

Mahkamah Syar‟iyyah Provinsi Aceh Tahun 2010, dan sumber data lainnya yang sesuai dengan bahasan yang dikaji.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis-komparatif, yaitu menjelaskan pokok permasalahan atau obyek penelitian yang penulis teliti sebagaimana adanya lalu dibandingkan dengan hal lain melalui analisis. Jadi penulis menjelaskan dan memaparkan pokok pembahasan dalam penelitian ini, yakni mengenai Qanun Aceh Tentang Khalwat Nomor 14 Tahun 2003

lalu menganalisis putusan Mahkamah Syar‟iyyah Provinsi Aceh Tahun 2010 yang kemudian membandingkan putusan Mahkamah Syar‟iyyah

Provinsi Aceh Tahun 2010 dengan Qanun Khalwat itu sendiri dan membandingkan pula dengan fiqh.

3. Tehnik Pengumpulan dan Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumenter dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahan yang terkait serta mempunyai relevansi

14


(22)

dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer dan data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini diantaranya adalah Putusan

Mahkamah Syar‟iyyah tentang khalwat tahun 2010, dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, dan Kitab-Kitab fiqh.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang didapat ialah buku-buku dan melalui jurnal-jurnal, artikel, skripsi-skripsi dan website yang berkaitan dengan obyek penelitian ini.

4. Tehnik Analisis data

Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, dan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif komparatif yang berarti mendeskripsikan, kemudian membandingkan hal yang telah dideskripsikan tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dan dalam usaha memberikan gambaran singkat mengenai isi dari skripsi ini. Penulis membagi skripsi ini ke dalam 5 bab, dan tiap babnya terdiri dari sub-sub bab yang tentunya antara satu bab dengan bab yang lainnya mempunyai keterkaitan. Adapun sistematika penulisan secara terperinci sebagai berikut:

Bab pertama, penulis menyajikan gambaran pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, yang berisi tentang mengapa penulis memilih


(23)

judul ini dalam penulisan skripsi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka atau studi review. 5) metode penelitian dan tehnik penelitian. 6) serta sistematika penulisan.

Bab kedua, penulis membahas mengenai khalwat dalam pandangan hukum pidana Islam yang dimulai dari pengertian khalwat dalam hukum pidana Islam, kemudian hukum dan larangan khalwat, serta ‘uqubat yang di berikan kepada pelaku khalwat dipandang dari hukum pidana Islam.

Bab ketiga, penulis membahas tentang pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh, yaitu dengan menjabarkan peraturan perundang-undangan tentang

pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh, lalu peraturan tentang khalwat yaitu Qanun

Nomor 14 Tahun 2003, dan sedikit membahas tentang Mahkamah Syar‟iyyah atau Peradilan Syari‟at Islam.

Bab keempat, penulis menganalisis putusan Mahkamah Syar‟iyyah Tahun 2010 tentang khalwat di Provinsi Aceh, lalu membandingkan putusan tersebut dengan Qanun khalwat dan fiqh. Pada bab keempat ini pembahsan dibagi kedalam tiga sub bab, yaitu: sub pertama menjabarkan putusan

Mahkamah Syar‟iyyah Tahun 2010 tentang khalwat di Provinsi Aceh, sub kedua membandingkan putusan Mahkamah Syar‟iyyah Tahun 2010 tentang

khalwat di Provinsi Aceh dengan Qanun Nomor 14 Tahun 2003, dan pada sub

ketiga membandingkan putusan Mahkamah Syar‟iyyah Tahun 2010 tentang khalwat di Provinsi Aceh dengan fiqh.

Bab kelima, berisi tentang kesimpulan serta saran yang menjadi penutup dari skripsi ini.


(24)

BAB II

KHALWAT DAN ‘UQUBATNYA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Khalwat

Secara etimologis khulwah atau khalwat berasal dari akar kata khala’ yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Di dalam Ensiklopedi Hukum

Islam, khalwat dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang negatif dan dapat pula diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang positif. Yaitu seorang pria dan wanita yang bersunyi-sunyi di suatu tempat yang sepi sehingga terhindar dari pandangan dan pantauan orang lain, dan memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan, hal ini dimaksud kepada khalwat yang negatif.1

Khalwat yang diartikan sebagai tindakan positif yaitu seseorang yang berada di tempat sunyi juga sepi dan bersengaja untuk mengasingkan diri untuk menyucikan diri dengan beribadah kepada Allah SWT. agar lebih dekat kepada-Nya.2Adapun yang akan dibahas di sini ialah khalwat yang diartikan sebebagai tindakan negatif, yang memungkinkan orang yang melakukannya akan menjurus kepada perbuatan maksiat atau bahkan sampai kepada perbuatan zina.

1

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal, 898.

2


(25)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khalwat secara bahasa diartikan sebagai perbuatan mengasingkan diri yakni untuk menenangkan pikiran serta mencari ketenangan batin, dan sebagainya. Secara terminologi, ada dua makna berkhalwat: pertama, mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur, beribadah, dan sebagainya; dan biasanya dilakukan selama bulan Ramadhan oleh orang muslim. Kedua, berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat sunyi atau bersembunyi.3

Dalam terminologi hukum Islam, khalwat didefinisikan dengan

“keberadaan seorang pria dan wanita ajnabi4 di tempat yang sepi tanpa didampingi oleh mahram baik dari pihak laki-laki ataupun perempuan”.5 Khalwat juga dapat diartikan dengan bersendirian dengan perempuan lain atau perbuatan menyendiri dengan perempuan yang bukan mahramnya.6 Di dalam Al-Qur‟an, surah An-Nisa ayat 23 bahwa yang termasuk ke dalam kategori mahram ialah ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara bapak yang perempuan, saudara ibu yang perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara

3

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal, 692.

4

Wanita ajnabi adalah wanita yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan laki-laki itu sehingga halal jika untuk dinikahi.

5

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, hal, 898.

6

Wanita-wanita yang haram dinikahi atau dikawini seorang lelaki baik bersifat selamanya maupun sementara.


(26)

perempuan, ibu yang menyusui, saudara perempuan sepersusuan, mertua, anak perempuan tiri yang ibunya telah digauli, menantu (istri dari anak kandung), dan saudara kandung istri.7

Adapun bunyi Surah An-Nisa‟ ayat 23 ialah sebagai berikut:

خ ْْا ا ب ْمك ااخ ْمك اَ ع ْمك ا خأ ْمك ا ب ْمك ا َمأ ْمكْيلع ْ مِ ح

مك ا َمأ ْخ ْْا ا ب

ْمكئاس ا َمأ عاضَ لا م ْمك ا خأ ْمك ْعضْ أ ي َالا

ْم ْلخد ا ك ْمل ْ إف َ ب ْم ْلخد ي َالا مكئاس ْ م ْمك ح يف ي َالا مكبئاب

مكئا ْبأ لئاح ْمكْيلع ا ج اف َ ب

َاإ ْي ْخ ْْا ْيب ا ع ْ ْ أ ْمكباْصأ ْ م ي َلا

( ًا يح ًا فغ اك ََ َ إ فلس ْدق ام

32

)

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan sesususan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaan mu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua

77


(27)

perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.

Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.8

Surat an-Nisa‟ ayat 23 di atas telah menyebutkan siapa-siapa saja yang dianggap mahram, sehingga haram untuk dinikahi dan boleh menikah dengan selain mahram. Maka haram melakukan perbuatan khalwat dengan wanita-wanita atau laki-laki bukan mahram sebelum adanya akad nikah antara keduanya yang merubah status bukan muhrim menjadi status muhrim.

B. Hukum dan Larangan Khalwat dalam Hukum Pidana Islam

Dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang menyebutkan larangan untuk mendekati zina, dan khalwat merupakan salah satu perbuatan mendekati zina. Salah satunya terdapat dalam surah al-Isra‟ ayat 32, yaitu sebagai berikut:

ا

ِِلا ا ب ْْ

ك هَ إ ى

ف ا

س ً شحا

ْيبس ءا

( ًا

23

)

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.

(al-Isra‟:32)9

Dijelaskan bahwa larangan untuk mendekati zina, karena zina merupakan perbuatan yang keji. Maka hal-hal yang menyebabkan atau mendekati terhadap hal tersebut juga dilarang. Yang dimaksud dengan mendekati perbuatan zina ialah, bahwa dekat bermakna pendek, hampir,

8

Al-Qur‟an Surat an-Nisa‟ ayat 23.

9


(28)

rapat, dan tidak jauh jaraknya antara satu dengan yang lain. Mendekati berarti menghampiri atau hampir sampai. Yakni berkhalwat merupakan perbuatan yang hampir sampai pada perbuatan zina karena bermakna mendekati dan dekat dengan zina. Maka berkhalwat atau menyendiri dengan perempuan yang bukan mahramnya, dan disepakati hukum keharamannya.10

Hal ini didukung oleh kaidah fikih yaitu, sebagai berikut:

باا باَ ل

اا

yang bermakna

Pengikut itu adalah mengikuti”.

باَ لاا

ialah sesuatu

yang tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi keberadaannya mengikuti adanya sesuatu yang lain. Sedangkan

باا

maksudnya ialah bahwa sesuatu yang tidak bisa berdiri sendiri tersebut tidak memiliki hukum secara tersendiri akan tetapi hukumnya mengikuti pokok atau sesuatu yang diikuti. Maksudnya ialah, bahwa sesuatu yang keberadaannya mengikuti sesuatu yang lain, maka hukumnya pun tidak bisa berdiri sendiri akan tetapi harus mengikuti hukum pokok yang diikutinya.11

Jadi makna kaidah di atas ialah sesuatu yang mengikuti kepada yang lain, maka hukumnya adalah hukum yang diikuti. Seperti bahwa zina

10

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:Bulan Bintang, 2003), hal, 9.

11

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah: Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2009), hal, 212.


(29)

ialah haram, maka segala perbuatan yang mendekati kepada zina seperti khalwat maka hukumnya mengikuti hukum zina yakni haram.12

Asal hukum segala yang berkaitan dengan sex adalah haram, berkaitan dengan hal ini qaidah fiqihnya ialah:

ْلاَا

مْيرْحَ لا ااضْبَا ف

“ Pada dasarnya hukum dalam masalah sex ialah haram”

Dapat dipahami dengan jelas, bahwa segala yang berkaitan dengan perbuatan sex hukum asalnya yaitu haram, sampai ada sebab-sebab yang menghalalkannya yaitu seperti melalui jalan pernikahan atau dengan milkulyamin (yaitu budak miliknya).13 Kaidah di atas dapat juga diartikan bahwa pada dasarnya farji itu haram, yang maksudnya ialah bahwa hukum asal bersenang-senang dengan wanita itu adalah haram kecuali yang

dihalalkan oleh syari‟at Islam.14

Al Yasa‟ Abu Bakar berpandangan bahwa khalwat menurut fiqh ialah dimana perbuatan tersebut berada pada suatu tempat yang tertutup dan sepi antara dua orang mukallaf yakni laki-laki dan perempuan yang bukan merupakan mahromnya maka hal tersebut pun sudah dianggap sebagai tindak pidana. Sehingga karena khalwat termasuk sebagai tindak

12

Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa’idul Fiqhiyyah), (Jakarta: Kalam

Mulia, 2001), hal, 57.

13

Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa’idul Fiqhiyyah), hal, 27.

14

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah: Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, hal, 54.


(30)

pidana, maka perbuatan pidana akan menimbulkan sanksi kepada pelakunya.15

Pada pembahasan fiqh klasik, unsur utama perbuatan khalwat ialah berada pada tempat tertutup seperti di dalam rumah atau lebih spesifiknya ialah kamar. Namun, dalam perkembangannya perbuatan seperti bermesraan, berciuman dan atau berpelukan yang dilakukan di tempat umum, di tempat ramai atau di depan orang lain juga merupakan perbuatan khalwat karena merupakan perbuatan maksiat (perbuatan yang oleh syari‟at Islam dilarang dilakukan, karena dapat membawa kepada zina).16

Dapat disimpulkan bahwa perbuatan khalwat dapat digolongkan menjadi dua macam; 1) perbuatan bersunyi-sunyi itu sendiri yaitu berada berduaan antara laki-laki dan perempuan ditempat yang tertutup. Walaupun jika keduanya tidak melakukan apapun yang berkenaan dengan perbuatan maksiat, tetapi hal tersebut telah termasuk perbuatan khalwat; 2) melakukan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan zina baik di tempat yang ramai (di luar) ataupun ditempat sepi dan tertutup.17

15

Al-Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam Provinsi Nanggore Aceh Darussalam, 2005), hal, 277.

16

Al-Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, hal, 277.

17

Al-Yasa‟ Abubakar. Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, hal, 277.


(31)

Maka jalan yang baik untuk menjadikan halal hubungan antara laki-laki dan perempuan Islam menyediakan lembaga pernikahan. Melalui penikahan segala yang haram menjadi halal bahkan ladang ibadah. Tujuan utama agar hubungan laki-laki dan perempuan di ikat dengan tali perkawinan adalah untuk menjaga dan memurnikan garis keturunan (nasab) atau hifzh an-Nasl agar anak terlahir dalam hubungan yang halal yakni pernikahan itu sendiri.

Kemurnian nasab dalam keturunan dianggap penting oleh agama Islam untuk melindungi masa depan anak yang dilahirkan tersebut. Larangan khalwat bertujuan untuk mencegah diri dari perbuatan zina. Larangan ini berbeda dengan beberapa jarimah lain yang langsung kepada zat perbuatan itu sendiri, seperti larangan mencuri, membunuh, melukai, merampok dan lain sebagainya. Larangan zina justru meliputi perbuatan zina itu sendiri dan tindakan-tindakan yang mengarah kepada zina. Hal ini menunjukan betapa syari‟at Islam sangat memperhatikan kemurnian nasab seorang anak manusia, sehingga membedakan manusia dan binatang yang tidak memiliki akal dan aturan.18

Kemudian ajaran Islam juga sangat mengatur bagaimana kehati-hatian dalam sebuah pergaulan, yaitu memelihara pandangan. Biasanya sering terjadi zina mata atau pandangan-pandangan yang tak dibatasi oleh iman baik di luar khalwat maupun didalam keadaan khalwat. Yang dari

18

Muhammad Siddiq dan Chairul Fahmi, Problematika Qanun Khalwat: Analisis Terhadap Persfektif Mahasiswa Aceh, (Banda Aceh: Aceh Justice Resaurce Center, 2009), hal, 35.


(32)

pandangan itu nantinya akan menjurus kepada perzinaan dan kedurhakaan.19 Seperti yang diatur dalam al-Qur‟an Surat An-Nur ayat 30:

ق

ْي ْ مْلل ْ

ْوضغاي ان

ا

ااْباأ ْن

ْوظافْحاياو ْم را

ْورف ا

ْي اخ ا َه َ ْمهال كْ اأ اكل ْمهاج

امب ر

ا

) ا وعا ْااي

30

(

Katakanlah kepada lelaki yang beriman: ‘hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka’. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (Q.S. An-Nuur: 30)20

Surat an-Nur ayat 30 tersebut menjelaskan perintah Allah kepada kaum lelaki yang beriman supaya menahan pandangannya atau menjaga pandangannya terhadap kaum wanita ajnabi atau wanita yang bukan mahramnya.

Diperintahkan pula untuk memelihara kemaluan mereka dari perzinahan dan/atau perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Syari‟at Islam. Sebab menghindari pandangan dan memelihara kemaluan merupakan cermin kesucian dan bentuk ketaatan kepada Allah dalam mengikuti aturan-aturan Allah yang nantinya akan kembali kepada diri kita masing-masing. Hal tersebut merupakan salah satu jalan dari menjaga atau memelihara nasab/keturunan dan memelihara kehormatan yang aturannya telah termaktub dalam maqasid as-Syari’ahatau adh-dharuriyat

19

Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), hal, 321.

20


(33)

al-Khams yang bermakna lima hal inti. Maqasid as-Syari’ah itu berarti

maksud atau tujuan disyari‟atkan hukum Islam. Maqasid as-Syari’ah sering juga disebut ‘illat21 atau tujuan hukum yang pada prinsipnya adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan.22

Kelima hal inti yang perlu dijaga tersebut ialah: 1) perlindungan terhadap agama (Hifzh ad-Din); 2) perlindungan terhadap jiwa (Hifzh an-Nafs); 3) perlindungan terhadap akal (Hifzh al-‘Aql); 4) perlindungan terhadap nasab dan kehormatan (Hifzh an-Nasl wa al-‘Irdh); 5) perlindungan terhadap harta benda ( Hifzh al-Mal).23

Dari kelima hal inti di atas, maka kemudian banyak cabang-cabang di bawahnya yang perlu ikut dijaga atau dipelihara, seperti perlindungan terhadap nasab (keturunan) dan kehormatan maka cara melindunginya ialah dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang akan merusak nasab atau merusak nama baik atau kehormatan diri salah satunya yaitu seperti perbuatan zina, perbuatan lacur, serta perbuatan-perbuatan lain yang didasari oleh nafsu seksual sehingga dari perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan rusaknya nasab seorang anak sebab dilahirkan di luar nikah. Selain rusaknya nasab, kehormatan diri pun menjadi rusak atau dipandang

21

illat ialah penyebab adanya hukum atau bisa juga diartikan sebagai alat untuk mengetahui makna dibalik suatu ketetapan yang ada, dan sama-sama juga memiliki fungsi sebagai landasan atau dasar bagi sebuah ketetapan hukum.

22

Jaenal Aripin dan Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’i, (Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2006), hal, 82.

23


(34)

hina oleh orang lain sebab perbuatan tersebut karena zina merupakan perbuatan yang keji dan jalan yang tidak baik, jalan yang baik ialah dengan melalui pernikahan.24

Untuk menghindari dari perbuatan zina, salah satunya ialah dengan menghindari perbuatan khalwat yaitu menyepi antara laki-laki dengan wanita ajnabi. Dengan tidak melakukan khalwat, maka berarti telah mengikuti aturan Allah yang terdapat dalam surah al-Isra‟ ayat 32 yakni

“Janganlah kamu mendekati zina” sebab khalwat merupakan salah satu perbuatan mendekati zina.

Menjauhi perbuatan khalwat juga dipandang sebagai kebutuhan

tingkat “hajjiyat/pelengkap” dalam menjaga atau memelihara nasab (keturunan) dan kehormatan. Karena menjauhi perbuatan khalwat ini menjadi jalan terhindarnya perbuatan zina, sehingga melengkapi tindakan

dalam menjaga nasab dan keturunan. Adapun tingkatan

dharurriyat/primer” dalam menjaga atau memelihara nasab (keturunan) dan kehormatan itu sendiri ialah dengan melaksanakan hukuman hadd zina kepada pelaku zina.25

Pada garis besarnya, dalam hukum Islam ada 3 tingkatan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia, yaitu:

24

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:Bulan Bintang, 2003), hal, 39.

25


(35)

1) Dharuriyyat/keniscayaan, dapat pula disebut dengan kebutuhan tingkat primer yaitu sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut.26 Dharuriyyat juga harus diwujudkan dalam dua sisi, pada satu sisi kebutuhan tingkat dharuriyyat harus diwujudkan dan diperjuangkan, sedangkan di sisi satunya ialah bahwa segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan dan terwujudnya kebutuhan dharuriyyat harus disingkirkan atau dicegah adanya.27

2) Hajjiyat/kebutuhan pelengkap, dapat pula disebut kebutuhan tingkat sekunder yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai kebutuhan tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan hajjiyat ini tidak terpenuhi tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri, tetapi keberadaannya dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan tingkat dharuri tersebut, sehingga mudahlah dalam memenuhi kebutuhan dharuri tadi. Dan dipandang sebagai aspek pendukung dalam menegakan kebutuhan tingkat dharuri.28

26

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-qur’an Tematik (Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia), (Jakarta: 2010), hal, 37.

27

Wael B. Hallaq. Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar Untuk Ushul Fiqh Madzhab sunni, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal, 248.

28

Tafsir Al-qur’an Tematik (Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2010), hal, 37-38.


(36)

3) Tahsiniyat/keindahan, disebut juga sebagai kebutuhan tingkat tertier yaitu sesuatu yang dibutuhkan untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tahsiniyat ini kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan sulit, namun keberadaannya dimaksudkan untuk kemuliaan akhlak dan kebaiakan tata tertib pergaulan. Seperti menjaga jarak dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan, membatasi jam main atau kegiatan malam bagi wanita. Sehingga termasuk dalam

Hifzh an-Nasl wa al-‘Irdh” yaitu perlindungan terhadap nasab dan kehormatan.29

Khalwat marak terjadi pada masa pacaran, sebab dengan menjalin hubungan pacaran biasanya timbul perasaan saling memiliki, ingin selalu bersama sehingga mencoba untuk meluapkan rasa sayangnya kepada pasangannya yang memungkinkan terjadinya tindakan yang berlebihan baik dari laki-laki maupun wanita dalam mengungkapkan kasih sayang. Padahal tindakan berlebihan dalam mengungkapkan kasih sayang tersebut dilarang oleh syari‟at. Para ulama fiqh sepakat mengharamkan berkhalwat dalam masa pacaran ini yaitu kegiatan berduaan di tempat-tempat sepi yang memungkinkan mereka melakukan maksiat, karena pacaran tidak sama dengan ikatan perkawinan yang telah diberikan kebebasan dan merubah segala yang berstatus haram menjadi halal, berbeda dengan

29


(37)

pacaran segala hal yang bersifat diperbolehkan dalam pernikahan, maka dalam hubungan pacaran masih berstatus haram.30

Marak pula berbagai kasus perkosaan atau perzinahan terhadap pembantu wanita yang dilakukan oleh majikan laki-laki ataupun sebaliknya yang dilakukan oleh pembantu laki-laki terhadap majikan wanita. Hal tersebut kemungkinan dapatnya terjadi yakni sebab diawali dengan perbuatan khalwat, yakni bediam dirumah dengan tidak adanya orang lain selain sang majikan laki-laki dan pembantu.31

Kemudian lemahnya iman juga memicu terjadi perbuatan keji dan munkar. Seseorang bertanya kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsamin: “ Apa hukum berdiam di rumah bersama pembantu laki-laki tapi tanpa berkhalwat?”. Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsamin bahwa permasalahan pembantu telah menjadi masalah sosial yang membahayakan. Berapa banyak telah terdengar peristiwa yang

menakutkan atau pelanggaran syari‟at Islam dan pelanggaran berbagai

HAM yang berhubungan dengan masalah pengadaan tenaga kerja baik itu laki-laki maupun perempuan. Telah jelas sekali dampak atau akibat yang besar dalam masyarakat, selain juga tidak ada kebutuhan mendesak untuk itu dan hanya menampakkan tingkat kehidupan yang sejahtera, namun di

30

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal, 899.

31


(38)

dalamnya terdapat sebab-sebab timbulnya fitnah yang menjadikannya harus dilarang.32

Adapun alasan pengharaman khalwat ialah hadis yang telah disebutkan dari Ibnu Abbas pada bab pertama, dan berdasarkan hadis di tersebut fukaha telah sepakat mengatakan haram perbuatan khalwat antara seorang pria dan seorang wanita ajnabi tanpa disertai dengan mahram, meskipun antara keduanya tidak melakukan hal-hal yang melanggar ajaran Islam, sebab larangan atau keharaman tersebut ditujukan kepada perbuatan khalwatnya. Larangan khalwat antara laki-laki dan teman lainnya adalah karena ada dugaan keras akan terjadinya maksiat atau hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Nabi dalam sebuah hadits dari

Amir bin Rabi‟ah, yaitu:

ااطْيَشلا اامهاثلااث َ إاف ةاأارْ اب جار َ اولْخاي اَ اَاأ

اور) .

با

ا ح ن

(

33

“Ingatlah, janganlah salah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, karena sesungguhnya yang ketiga diantara mereka adalah

setan”. (HR. Ibnu Hibban).34

32

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, hal, 899. 33

Muhammad bin Hibbanta‟lif Al-Amir „Alauddin „Ali bin Balban Al-Farisi ,Shahih Ibnu Hibban bi Tartib Ibnu Balban, (Lebanon:Al-Resalah, 1997), juz 12 hal 399-400.

34

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:Bulan Bintang, 2003), hal, 9.


(39)

Hadits Nabi tersebut menyatakan bahwa tidak halal atau jelasnya haram seorang lelaki berkhalwat atau menyepi atau menyendiri dengan seorang perempuan, sebab ketika dalam keadaan seperti itu maka yang ketiga dari mereka adalah setan. Dan setan memiliki peluang di dalamnya untuk merayu dan memperdayakan laki-laki dan perempuan tersebut untuk mengikuti nafsu yang ada pada diri, nafsu dijadikan sebagai jalannya setan. Akan tetapi di dalam hal tersebut terdapat pengecualian yakni adanya mahram yang mendampingi mereka. Maka dengan adanya mahram yang mendampingi dimaksudkan supaya bisa menutup peluang setan untuk merayu dan mengajak kepada perbuatan yang keji.35

Berdasarkan hadits di atas, Al-Munawi berkata: “Bahwa syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya (orang yang berkhalwat) dengan membisikkan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah dihadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan atau menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara

35

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal, 899.


(40)

pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada

perzinahan.”36

Dari penjabaran di atas, sehingga dapat dikatakan bahwa menyendiri dengan wanita-wanita yang selain mahram maka hukumnya haram.

C. ‘Uqubat Pelaku Khalwat dalam Hukum Pidana Islam

Larangan khalwat adalah pencegahan dini bagi perbuatan zina. syari‟at Islam dengan tegas melarang melakukan zina, Sementara khalwat/mesum merupakan washilah37 atau jalan/peluang untuk terjadinya zina. Berkaitan dengan ini, terdapat kaidah fiqh yang sesuai, yaitu:

لئااساوب رْ اا ءْيَشلاب رْ اَا

“Perintah untuk melakukan sesuatu, maka termasuk kepada washilahnya (jalannya)”.38

Maksudnya ialah sebuah perintah untuk melakukan sesuatu, maka diperintahkan pula untuk melakukan proses atau jalan untuk mencapai hal tersebut. Seperti perintah untuk shalat, maka mencakup perintah untuk melakukan hal-hal sebelum shalat seperti berwudhu, menutup aurat, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan

ال مْيراح او اا مْ ح ال مْيراحلا

36

Muhammad Abdurrauf Al-Manawi, Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami’ As-Shagiir Min Ahadis Al-Basyir An-Nadzir, (Beirut: Darul Fikr, Jilid 3), hal, 78.

37

wasîlah yaitu jalan-jalan/upaya/cara yang ditempuh menuju perwujudan suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya.

38


(41)

“Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang

dikelilingi”.

Maksudnya ialah bahwa sesuatu yang mengelilingi larangan (yang haram), maka hukumnya dianggap sama dengan yang dikelilingi tersebut atau hal yang dilarang tersebut. Seperti perbuatan khalwat yang berada disekitar zina atau dengan kata lain perbuatan yang mendekati zina, maka khalwat dihukumi sama seperti zina.

Dasar dari kaidah diatas yakni hadits Nabi Muhammad Saw:

ْعماس :لوقاي ،ريشاب انْب ا اامْع لا ْعماس :الااق ،ر ااع ْناع ،ءاَيراكا اا اثَداح ،مْياع وباأ اا اثَداح

" :لوقاي امَلاساو ْيالاع ه َلال َه الوسار

نِياب ااراحلااو ،نِياب لاَاحلا

َاش اامها ْياباو ،

ااه

يف ا اقاو ْنا او ، ضْرعاو يدل اأارْ ا ْسا ااهَ اشملا اقَ ا ناماف ،ساَ لا ان ريثاك ااهمالْعاي اَ

اعقااوي ْ اأ كشوي ، امحلا الْواح اعْراي ااراك : ااه شلا

.

(ملس و راخ لا اور)

39

“Dari Nu‟man bin Basyir berkata saya mendengar Rasulullah bersabda: „yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan diantara

keduanya ada masalah-masalah mutasyabbihaat (yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berarti ia telah membersihkan agama dan dirinya; dan barangsiapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti dia telah jatuh kepada keharaman, seperti seorang pengembala yang

39

Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Sudan: Maktabah


(42)

mengembala di sekitar pagar dari larangan, dikhawatirkan akan melanggar

(memasuki) ke dalam pagar‟.” (HR. Bukhari Muslim).

Jadi, berdasarkan kaidah-kaidah dan hadits di atas, maka dapat disimpulkan bahwa khalwat juga merupakan tindak pidana (jarimah) yang dapat dikenakan sanksi atas pelanggarannya, sebab khalwat berada dalam sekitar larangan zina, tidak mungkin berbuat zina jika tidak didahului oleh perbuatan khalwat. Maka khalwat diancam dengan ‘uqubat takzir. Sebab khalwat tidak termasuk dalam kategori hudud maupun qishash, yang aturan dan bentuk hukumnya telah ditetapkan oleh Qur‟an dan hadits.

Di dalam Hukum Pidana Islam, ada 3 kategori ‘uqubat untuk pelaku jarimah, yakni sebagai berikut:

1) Qishash dan Diyat

Qishash dalam arti bahasa

ثاا عبَ

yakni menelusuri jejak. Pengertian itu digunakan untuk arti hukuman, sebab orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan atau pelukaan berhak atas qishash, yakni hukuman yang diberikan sesuai dengan menelusuri jejak pelaku. Terkadang qishash juga diartikan dengan al-Mumatsalah, yang berarti keseimbangan dan kesepadanan. 40

Dari kata al-Mumatsalah ini kemudian muncul pengertian qishash

secara istilah syara‟

لْعف ْثمب ي ا لا ةا ااج

yakni yang artinya memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan perbuatannya.

40


(43)

Jadi dari pengertian diatas, ‘uqubat qishosh itu diberikan kepada pelaku pembunuhan dan pelukaan. 41

2) Hadd

Pengertian Hadd menurut Abdul Qadir Audah yakni:

ةابْوقعلا او داحلااو

قاح ةارَداقملا

الااعا ل ا

Hukuman hadd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah.”42

Jarimah-jarimah yang termasuk kedalam hadd yaitu ada 7 macam jarimah, yakni jarimah zina, jarimah qadzaf (menuduh zina), jarimah syurbul khamar, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah pemberontakan, dan jarimah riddah.43

3) Takzir

takzir secara bahasa bermakna ta’dib, yaitu memberi pelajaran. Dan takzir juga diartikan ar-Raddu wa al-Man’u yang berarti menolak dan mencegah. Secara jelasnya, ‘uqubat takzir yakni hukuman untuk jarimah-jarimah yang bukan termasuk jarimah qishash dan bukan pula termasuk jarimah hudud. Dan hukuman takzir juga tidak ditetapkan

41

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal, 149. 42

Abdul Qadir „Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i AL-Islamy, (Mesir:Daar At-Tirats, 2005), hal, 303.

43


(44)

oleh syara’, maka wewenang untuk menetapkan ‘uqubat diserahkan kepada ulil ‘amri.44

Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dalam hukum pidana Islam khalwat masuk ke dalam jarimah takzir dan bagi pelanggarnya diancam dengan ‘uqubat takzir, karena melihat mafsadat yang akan timbul dari perbuatan khalwat maka sepantasnya pelaku pelanggaran khalwat untuk di berikan sanksi takzir, adapun bentuk sanksinya diserahkan kepada ulil amri.

44


(45)

Aceh merupakan salah satu daerah provinsi yang termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum, dan Provinsi Aceh tersebut diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Aceh memiliki keistimewaan untuk dapat melaksanakan syari‟at Islam1 dalam cakupan wilayahnya yang diberlakukan kepada seluruh masyarakat Provinsi Aceh. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 mengenai pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sejarah perjuangan rakyat Aceh sangat dibanggakan dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia, sehingga Aceh mendapat otonomi khusus tersebut. Adapun daya juang tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Aceh salah satunya bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial, kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi para penjajah pada masa itu. Masyarakat Aceh juga menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Kurang dan lebihnya masyarakat Aceh sangat tunduk kepada ajaran Islam serta taat dalam memperhatikan fatwa ulama, ulama dipandang sebagai ahli waris Nabi


(46)

Muhammad Saw. sehingga dari penghayatan terhadap ajaran Islam itulah melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat.

Dalam era mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia peran para ulama juga sangat menentukan di Aceh, karena melalui fatwa serta bimbingan para ulama tersebut rakyat Aceh rela berjuang dan berkorban. Rakyat Aceh merasa senasib dan sepenanggungan dengan rakyat Indonesia lainnya yang menderita akibat jajahan pada masa itu, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 rakyat Aceh sangat mendukung proklamasi itu. Dukungan tersebut diwujudkan dengan kerelaan rakyat Aceh menyerahkan harta dan nyawa untuk Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian salah satu bukti kesetian rakyat Aceh kepada Republik Indonesia ialah dengan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan pada masa tersebut.

Masyarakat Aceh dianggap kental dengan ajaran Islam. Kekentalan tersebut tidak hanya pada masa kerajaan Islam masih berdiri disana, akan tetapi kekentalan tersebut masih ada hingga masa kini. Sehingga Pemerintah Aceh berupaya mempertahankan syari‟at Islam untuk tetap menyatu dalam masyarakat Aceh dan berikut Pemerintahannya.2

A. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh

2

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di


(47)

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijabarkan di atas lah Aceh mendapat keistimewaan3 dan otonomi khusus untuk mengatur daerahnya sendiri

dan diperbolehkan untuk melaksanakan syari‟at Islam namun sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun beberapa Undang-Undang yang mengatur mengenai keistimewaan dan otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh ialah:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-Undang ini dibuat dalam rangka menindaklanjuti ketentuan mengenai Keistimewaan Aceh sehingga pada saat itu dipandang perlu untuk menyusun Undang-Undang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dibuat dengan maksud untuk memberikan landasan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan daerah.

Dalam pasal 2 BAB II mengenai kewenangan, disebutkan bahwa daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki. Maksudnya adalah bahwa peraturan daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimaksud untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaannya berlaku di seluruh Kabupaten/Kota. Adapun penyelenggaraan keistimewaan tersebut meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat,


(48)

penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.4

1). Penyelenggaraan kehidupan beragama. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari‟at Islam bagi pemeluknya dalam kemasyarakatan yakni dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan membuat kebijakan daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bukan hanya itu, Pemerintah Daerah pun harus menjamin pemeluk agama lain untuk melaksanakan ibadah yang diperintah oleh agamanya dan keyakinannya masing-masing.

2). Penyelenggaraan kehidupan adat. Dalam penyelenggaraan kehidupan adat ini, Pemerintah Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syari‟at Islam.5

3). Penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di daerah diselenggarakan sesuai dengan sistem pendidikan nasional, yang maksudnya adalah bahwa kurikulum dalam setiap jenis, jalur,

4

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 BAB III Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Pasal 3.

5

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 BAB III Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Bagian Ketiga Pasal 6-7.


(49)

dan jenjang pendidikan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sama dengan kurikulum pada sistem pendidikan nasional serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari‟at Islam. Lalu Pemerintah Daerah dapat mengembangkan dan mengatur lembaga pendidikan agama Islam bagi pemeluknya di berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

4). Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pada pasal ini disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama, yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang islami.6 Pertimbangan badan tersebut dapat berbentuk fatwa atau nasihat, baik secara tertulis maupun secara lisan, yang dapat digunakan dalam pembahasan kebijakan daerah.7

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

6

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 BAB III Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Bagian Ketiga Pasal 6-7.

7

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 BAB III Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Bagian Kelima Pasal 9.


(50)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001 dan bertempat di Jakarta. undang-undang ini sebenarnya yaitu peraturan yang mengatur kewenangan pemerintah di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan Pemerintahan Daerah. Adapun hal-hal yang mendasari undang-undang ini ialah pemberian kesempatan yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Termasuk sumber-sumber ekonomi yang terdapat di daerah tersebut, menggali serta memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang terdapat dari padanya. Kemudian Pemerintah Daerah juga dapat mengaplikasikan syari‟at Islam dalam kehidupan bermasyarakat.8

Kekhususan pada Provinsi Aceh ini menjadi peluang atau kesempatan yang berharga bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, serta pembentukan dana pemberian nama dalam pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang telah lama hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, dan hal tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Aceh yang disebut Qanun.9 Maka dari

8

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

9

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.


(51)

Undang Nomor 18 Tahun 2001 inilah munculnya Qanun Aceh yang sebagian aturan-aturannya berisikan syari‟at Islam.

Adapun pengertian Qanun di dalam Undang-Undang ini pasal 1 butir 8, bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan undang-undang ini dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain, yakni dengan mengikuti asas “lex specialis derogaat lex generalis” dan Mahkamah Agung juga berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun Aceh tersebut.10

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Sepanjang Perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan atau keadilan di dalam kehidupan. Dari beberapa undang-undang yang telah diundangkan dan disahkan dipandang belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan, serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu

10

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.


(52)

dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik. 11

Maka dari pada itu, hal yang demikian menimbulkan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluasluasnya itu, masyarakat Aceh juga memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan Pemerintahan Daerah. Otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak Pemerintahan Daerah dan rakyat Aceh, akan tetapi merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.12

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ini terdapat pembedaan antara Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh hanya terdapat Qanun Aceh saja. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 ini Qanun Aceh diartikan sebagai Peraturan Perundang-Undangan sejenis peraturan Daerah Provinsi yang mengatur penyelenggaraan Pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Sedangkan Qanun Kabupaten/Kota ialah

11

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

12

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.


(53)

peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.13 Jadi, Qanun Aceh diperuntukkan untuk mengatur wilayah se-Provinsi Aceh, sedangkan Qanun Kabupaten/Kota diperuntukkan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Kabupaten/Kota saja yang berada di Provinsi Aceh.

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Mahkamah

Syar‟iyyah juga dibagi ruang lingkup wilayahnya, yakni Mahkamah Syar‟iyyah Aceh dan Mahkamah Syar‟iyyah Kabupaten/Kota14

. Adapun

selanjutnya mengenai Mahkamah Syar‟iyyah ini diatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Peradilan Syari‟at

Islam.

Selain itu yang menarik dalam Undang-Undang ini yaitu bahwa setiap Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah yakni dengan syarat tetap mengikuti standar nasional

13

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh BAB 1 Pasal 1 Butir 21-22.

14Mahkamah Syar‟iyyah Aceh dan Mahkamah Syar‟iyyah Kabupaten/Kota adalah lembaga pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian dari sitem peradilan nasional. Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 1.


(54)

pendidikan di Indonesia.15 Hal ini merupakan bentuk wujud dari salah satu urusan wajib Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh yaitu penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari‟at Islam yang hal tersebut termaktub dalam pasal 17 ayat (2).

Berkenaan dengan syari‟at Islam, di dalam BAB VXII tentang syari‟at Islam dan pelaksanaannya dibahas mengenai aturan-aturan

pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh. Disebutkan bahwa syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah, syari‟ah dan akhlak. Yang meliputi: ibadah, ahwal al-Syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah

(pendidikan), dakwah, syi‟ar, dan pembelaan Islam.16

Dari keseluruhan syari‟at Islam yang diatur di Aceh yang wajib

menaati dan mengamalkan syari‟at Islam tersebut ialah tiap-tiap jiwa yang memeluk agama Islam yang berada di Aceh. Jadi setiap Qanun yang telah berlaku di Aceh mengikat setiap muslim yang berada di wilayah Aceh.17 Adapun bagi non muslim yang bertempat tinggal atau berada di Aceh,

15

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh BAB V Pasal 18. 16

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemrintahan Aceh Pasal 125 ayat (1) dan (2).

17


(55)

maka wajib baginya untuk menghormati pelaksanaan syari‟at Islam di

Aceh.18

Selama tahun 2002, Pemerintah Provinsi Aceh telah mengesahkan 17 (tujuh belas) qanun,19 yakni sebagai bentuk penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Salah satunya ialah Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang

pelaksanaan syari‟at Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi‟ar Islam. Qanun tersebut menguatkan berlakunya syari‟at Islam secara hukum legal

di Provinsi Aceh yakni bukan sebagai hukum adat yang berlaku di Aceh.

Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh ialah

bahwa Pemerintah Aceh mengharapkan mampu melaksanakan atau

menerapkan syari‟at Islam (tuntutan ajaran Islam) dalam semua aspek kehidupan di Provinsi Aceh yang diberlakukan kepada semua muslim yang berada di Aceh, baik aspek kehidupan tersebut dalam bidang aqidah,

ibadah maupun syi‟ar Islam.20

Pelaksanaan syari‟at Islam dalam bidang aqidah yakni aqidah

Islamiyah menurut ajaran Ahlussunnah Wa al-Jama’ah. Adapun dalam bidang ibadah yang di atur dalam qanun ini ialah mencakup shalat dan

18

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemrintahan Aceh Pasal 126 ayat (1).

19

Al-Yasa Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam (Pendukung Qanun

Pelaksanaan Syari’at Islam), (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam Provinsi NAD, 2005), hal, 19. 20Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam Bidang Aqidah


(56)

puasa ramadan. Diatur pula mengenai pelaksanaan syari‟at Islam dalam

syi‟ar Islam yakni maksudnya ialah segala kegiatan yang terkandung di

dalamnya nilai-nilai ibadah yang bertujuan untuk menyemarakkan serta

mengagungkan pelaksanaan syari‟at Islam.21

Diwajibkan atas muslim

menutup aurat dengan memakai pakaian syar‟i. 22

Tujuan dari pengaturan dari aspek ibadah seperti di atas yaitu shalat

jum‟at, shalat tarawih, serta puasa ramadhan ialah, bahwa Pemerintah

Aceh bermaksud untuk mendorong serta menggalakan orang Islam untuk melaksanakan dan meningkatkan kualitas iman dan ibadahnya sebagai wujud pengabdian seorang hamba kepada Khaliknya. Karena sesungguhnya tanggung jawab pemerintah sebagai ulil amri, bukan saja mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan akan tetapi yang

bersifat ibadah baik individu maupun jama‟ah pemerintah juga perlu mengingatkan masyarakatnya untuk melaksanakan segala ibadah tersebut, agar menjadi masyarakat yang taat kepada Allah, taat kepada Nabi-Nya, dan taat kepada ulil amri.23

21

Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam Bidang Aqidah

Ibadah dan Syi‟ar Islam dan penjelasannya Pasal 1.

22Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam dalam bidang

Ibadah, Aqidah dan Syi‟ar Islam BAB VIII Ketentuan Pidana Pasal 23. 23

Penjelasan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam


(1)

Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 J u l i

2003

16 Jumadil Awal 1424

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 27 SERI D NOMOR 14

PENJELASAN ATAS

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

NOMOR 14 TAHUN 2003

TENTANG

KHALWAT / MESUM

I. UMUM

Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII M) telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebutkan “Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang Reusam bak Lakseumana”. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari’at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan ulama sebagai pewaris para Nabi.

Fakta sejarah tersebut menjadi kabur sejak Kolonial Belanda dan Jepang menguasai Aceh bahkan hingga Indonesia mencapai kemerdekaannya. Dengan

SEKRETARIS DAERAH

PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


(2)

munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari’at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Aceh yang telah lama dikenal sebagai Serambi Mekah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin dipertegas dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari’at Islam telah dirumuskan secara yuridis melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.

Secara umum Syari’at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman, taqwa dan hati nurani seseorang, juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.

Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul dan sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan negara.

Hukum tidak berjalan bila tidak ditegakkan oleh negara. Disisi lain suatu negara akan tidak tertib bila hukum tidak ditegakkan.

Khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan.

Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqubat ta’zir, sesuai qaidah syar’iy yang berbunyi :

ﻪ ﺎﺳﻮﺑﺮﻣا ﺸ ﺎﺑﺮﻣﻵا (“perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu, mencakup prosesnya”) Dalam perkembangannya khalwat/mesum tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat lain, seumpama dalam mobil atau kenderaan lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah atau hubungan mahram). Perilaku tersebut juga dapat menjurus pada terjadinya perbuatan zina.

Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya pre-emtif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah).


(3)

Untuk efektivitas pelaksanaan qanun ini di samping adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan sipelaku jarimah khalwat/mesum oleh Muhtasib dari lembaga Wilayatul Hisbah. Di samping itu juga masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah khalwat/mesum dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Peran serta masyarakat tersebut tidak dalam bentuk main hakim sendiri.

Bentuk ancaman ‘uqubat cambuk bagi sipelaku jarimah klalwat/mesum, dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarkat lainnya untuk tidak melakukan jarimah. Di samping itu ‘uqubat cambuk akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga.

Jenis ‘uqubat cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘uqubat lainnya seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.

Oleh karena materi yang diatur dalam qanun ini termasuk kompetensi Mahkamah Syar’iyah dan sementara ini qanun yang sesuai dengan kebutuhan Syariat Islam belum terbentuk, maka untuk menghindari kevakuman hukum, qanun ini juga mengatur tentang penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan ‘uqubat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3 Huruf a Cukup jelas

Pasal 3 Huruf b

Yang dimaksud dengan perbuatan yang merusak kehormatan adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan aib bagi sipelaku dan keluarganya.

Pasal 3 Huruf c, d dan e Cukup jelas

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5 Cukup jelas


(4)

Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7 Cukup jelas

Pasal 8 Cukup jelas

Pasal 9 Cukup jelas

Pasal 10

Perlindungan dan jaminan keamanan dimaksud meliputi kerahasiaan nama pelapor, keselamatan sipelapor, orang yang menyerahkan pelaku dan/atau barang bukti beserta keluarga mereka dari ancaman atau tindakan kekerasan sipelaku atau keluarganya atau pihak lainnya.

Pasal 11

Yang dimaksud dengan menuntut adalah mengajukan praperadilan dan/atau gugatan ganti rugi sebagai akibat kelalaian pejabat yang berwenang.

Pasal 12 Cukup jelas

Pasal 13 Cukup jelas

Pasal 14 Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan peringatan adalah teguran kepada tersangka untuk tidak meneruskan atau mengulangi perbuatan jarimah dengan memberitahukan ancaman ‘uqubat yang dapat dikenakan karena melanggar larangan tersebut.

Pasal 15 Cukup jelas

Pasal 16 Cukup jelas


(5)

Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1) Huruf a s/d Huruf c

Cukup jelas

Ayat (1) Huruf d

Penahanan hanya dibenarkan untuk keperluan penyidikan, penuntutan dan persidangan dan tidak mempengaruhi kadar penjatuhan ‘uqubat. Ayat (1) Huruf e s/d i

Cukup jelas

Ayat (1) Huruf j

Yang dimaksud dengan hukum yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan dan Syari’at Islam, misalnya terhadap tersangka perempuan harus dilakukan penyidikan oleh penyidik perempuan sejauh hal itu memungkinkan

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Cukup jelas

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22 Ayat (1) dan (2)

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang Islam yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 23

Selama Baital Mal belum terbentuk, penerimaan disetor ke Kas Daerah.


(6)

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25 Cukup jelas

Pasal 26 Cukup jelas

Pasal 27 Cukup jelas

Pasal 28 Cukup jelas

Pasal 29 Cukup jelas

Pasal 30 Cukup jelas

Pasal 31 Cukup jelas

Pasal 32 Cukup jelas

Pasal 33 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 30


Dokumen yang terkait

Implementasi Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : Per-09/MBU/2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (Analisis Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance di Lingkungan Int

3 148 90

Implementasi Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 7 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)

6 111 114

Implementasi Permenkes RI No. 1096/Menkes/Per/ VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga Terhadap Kelayakanan Fisik Jasaboga di Kota Sibolga tahun 2014

9 206 86

Hubungan Pengetahuan Keluarga Tentang Penyakit Stroke Dengan Dukungan Keluarga Dalam Merawat Pasien Stroke Di Ruang Rawat RA.4 RSUP HAM Medan Tahun 2012

14 163 91

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

3 76 145

Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan

0 24 135

Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam Tentang Khalwat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat)

2 44 174

Penerapan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Berdasarkan Hukum Administrasi Negara (Studi Di Kota Medan)

13 140 63

Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Nias Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Daerah Pasar Yaahowu Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

6 93 138

Pelaksanaan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di Aceh (Studi Putusan Mahkamah Syar'iyyah Tahun 2010 di Provinsi Aceh)

0 7 145