Tingkat prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon - USD Repository

  TINGKAT PRASANGKA REMAJA KEPADA TEMAN YANG BERBEDA AGAMA SETELAH KONFLIK DI AMBON SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.) Program Studi Psikologi Oleh : Friska Fintalia Nanulaita NIM : 029114127 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

  TINGKAT PRASANGKA REMAJA KEPADA TEMAN YANG BERBEDA AGAMA SETELAH KONFLIK DI AMBON SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.) Program Studi Psikologi Oleh : Friska Fintalia Nanulaita NIM : 029114127 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  Halaman Persembahan

  When the task at hand is mountain in front of you It may seem too hard to climb

  But you don’t have to climb it all at once – just one step at a time, Take one small step…. and one small step….. then another…. And you’ll find…. the task at hand that was a mountain in front of you….

  ……is a mountain You have climbed

  Skripsi ini kupersembahkan untuk Mama dan papa

  Erik dan keluarga yang sudah banyak mendukungku

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, Penulis

  Friska Fintalia Nanulaita

  

ABSTRAK

Tingkat Prasangka Remaja Kepada Teman Yang Berbeda Agama Setelah

Konflik DI Ambon

  Friska Fintalia Nanulaita Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta

  Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa tinggi tingkat prasangka remaja

terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon. Prasangka adalah sebuah

pandangan juga disertai sikap negatif yang tidak berdasar yang ditujukan kepada orang

atau kelompok lain. Sebagai sikap, prasangka mengandung komponen-komponen

kognitif, afeksi dan konatif yang cenderung lebih bermuatan negatif.

  Subjek penelitian ini adalah remaja yang berumur 15/16 tahun sampai dengan

17/18 tahun yang sedang menempuh pendidikan SMU dan yang menetap di Ambon

selama konflik terjadi. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 294 subjek dengan

jumlah subjek laki-laki sebanyak 156 subjek dan subjek perempuan sebanyak 138 subjek.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan

mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang

terjadi. Metode pengambilan data adalah penyebaran skala untuk diisi oleh subjek. Alat

pengumpulan data adalah skala prasangka. Uji coba kesahihan butir dan reliabilitas skala

penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,9193 yang menunjukkan tes

tersebut reliabel.

  Data penelitian dianalisis dengan menghitung mean teoritik dan mean empirik.

Hasil analisis data menunjukkan mean teoritik lebih lebih besar dari mean empirik (90>

62,24). Hal ini berarti tingkat prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama

setelah konflik di Ambon adalah rendah.

  

ABSTRACT

Adolescences’ Prejudice Level

Toward Their Friends from Different Religion

After the Conflict in Ambon

  Friska Fintalia Nanulaita Sanata Dharma University

  Yogyakarta This research aims to observe how high the adolescences’ prejudice level toward their friends from different religion after the conflict in Ambon is. Prejudice is a point of view which is followed by a negative attitude to other people or other groups. As an attitude, prejudice has a distinct combination of cognitive, affective, and behavior tendency which tend to be negative.

  The subjects of this research were adolescences of 15 or 16 until 17 or 18 who were still in Senior High School, and were living in Ambon during the conflict. The number of the subject was 294 subjects, consisted of 156 males and 138 females. The research was a quantitative descriptive research which aimed to describe, record, analyze, and interpret the present condition. The method of data taking was spreading a scale to be filled by the subject. The tool for data collecting was prejudice scale. The result of the validity and reliability test in this research was a reliability coefficient of 0.9193 which showed that the test was reliable.

  The data in this research was analyzed by counting the theoretical and empirical mean. The result of the data analysis showed that the theoretical mean was bigger than the empirical mean (90>62.24). This means that the adolescences’ prejudice level toward their friends from different religion after the conflict in Ambon is low.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Tingkat Prasangka Remaja Kepada Teman Yang Berbeda agama Setelah Konflik Di Ambon” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Selama penelitian sampai penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak berupa bimbingan, dorongan, serta pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

  1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi.

  2. Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku Dosen Pembimbing atas segala bimbingan, saran, serta pengarahan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

  3. Agung Santoso, S.Psi dan MM. Nimas Eki Suprawati, S.Psi., Psi selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan serta pengarahan selama kuliah

  4. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku dosen Penguji 1 atas segala masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

  5. V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si selaku dosen Penguji 2 atas segala masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

  6. Papa dan Mama atas segala doa, kesabaran, dan dukungan yang luar biasa berarti bagi aku.

  7. Goama dan Kong terima kasih untuk doa dan nasehat-nasehatnya, juga seluruh keluarga Natan

8. Iling terima kasih atas dukungan, sharingnya dan doanya, dan untuk Ibe

  makasih untuk kesempatan yang diberikan merasakan hal-hal lain selain kuliah dan kuliah

  ☺

  9. Erik thanks ya dah jadi sopir, walaupun sering telat..Kapan ya jadi pengacara??

  ☺

  10. K’uci buat semangat n doanya. Buat Diva cantik terimakasih buat kelucuan dan kepolosannya

  11. Dahlia, Ronal dan Ellen buat bantuannya selama pengambilan data di Ambon

  12. Pute, Nta untuk persahabatan dan masa-masa tertawa, tersenyum, cemberut dan airmata yang dilewati bersama. Thanks guys!!! Caiyo..GBU.

  13. Spa n Ubul-ubul thanks buat kebersamaan n keanehan-keanehan yang menyenagkan UBUL!!!

  14. Ina, Shinta, Pipin n Clare thanks ya buat bantuannya selama ini.

  15. Mbak Tina atas sharing informasinya dan dukungannya. Thanks ya mb

  16. Mon-mon (thanks ya buat terjemahannya n bantuannya selama ini), Cici n Winda makasih buat kesabaran kalian mendengar semua keluh kesahku selama ini dan warna lain dari persahabatan yang kalian hadirkan. Maaf kalo sering merebut bantal kalian He..He..

  17. Mbak Anna yang sudah banyak membantu selama kuliah dan menemani malam-malam yang sepi.

  18. Sutri, Dina, Katrin, dan semua teman-teman di Psikologi, khususnya angkatan ’02…”BERSEMANGAT!!!”.

  19. Terakhir buat CUP terima kasih buat bahan-bahan referensi dan omelannya tiap saat biar cepat lulus..I’m coming he..he…

  20. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

  Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

  Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………..i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………...ii HALAMAN PENGESAHAN ….………………………………………………..iii HALAMAN PERSEMBAHAN ….……………………………………………...iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………………v ABSTRAK ……………………………………………………………………...vi ABSTRACT ……………………………………………………………………vii KATA PENGANTAR ………………………………………………………...viii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………xi DAFTAR TABEL ……………………………………………………………..xiv DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………..xv

  BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………1 A. Latar Belakang ………………………………………………………………1 B. Rumusan Masalah …………………………………………………………...5 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………5 D. Manfaat Penelitian …………………………………………………………..6

  1. Manfaat Teoritis …………………………………………………………6

  2. Manfaat Praktis ………………………………………………………….6

  BAB II. LANDASAN TEORI …………………………………………………..7 A. Remaja ………………………………………………………………………7

  1. Pengertian Remaja ……....……………………………………………...7

  2. Perkembangan Sosial Remaja ……………………...…………………...8

  B. Prasangka …………………..………………………………………………11

  1. Pengertian Prasangka …………………………………………………..11

  2. Prasangka Sebagai Sikap ………………………………………………13

  3. Sebab-sebab Timbul Prasangka ………………………………………..15

  C. Konflik Di Ambon ……………………..…………………………………..19

  D. Tingkat Prasangka Remaja Pada Teman Yang Berbeda Agama Setelah Konflik Di Ambon ………….……………………………….......................21

  BAB III. METODE PENELITIAN ………...………………………………….23 A. Jenis Penelitian ……………………………...……………………………..23 B. Variabel Penelitian …………………………………...……………………23 C. Definisi Operasional ……………..………………………………………...24 D. Subyek Penelitian …………………………………………..…………….. 25 E. Metode Pengambilan Data ……………………………………..………….25 F. Analisis Data ………………...………………..…………………………...30 G. Validitas dan Reliabilitas ………………………………...……………….30

  1. Validitas …………………………...…………………………………..30

  2. Seleksi Aitem ………………...………………………………………..31

  3. Reliabilitas ………………...…………………………………………..33

  BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………...………...35 A. Pelaksanaan Penelitian …………………………………….…..………….35 B. Hasil Penelitian ……...………………………………..…………………..35

  1. Deskripsi Data Penelitian …………………………………………….35

  2. Hasil Wawancara ……………………………………………………. 38

  C. Pembahasan ……………………………………………………………... 41

  BAB V. PENUTUP …………………………………………………………. 46 A. Kesimpulan ……………………………………………………………… 46 B. Saran ……………………………………………………………………...46

  1. Bagi Subyek Penelitian …………………………………………….....46

  2. Bagi Peneliti Lain ………………………………………………… …47 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...48 LAMPIRAN ………………………………………………………………… 50

  

DAFTAR TABEL

  Tabel 1 Komponen Aitem Prasangka ………………………………………… 26 Tabel 2 Skor Berdasarkan Kategori Jawaban ………………………………… 27 Tabel 3 Guide Wawancara……………………………………………………...28 Tabel 4 Aitem yang gugur dan lolos setelah uji Coba ………………………... 32 Tabel 5 Nomer aitem bentuk Skala Final ……………………………………...33 Tabel 6 Deskripsi Data Penelitian …………………………………………… 36 Tabel 7 Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritis ……………………………… 37 Tabel 8 Perbedaan Mean Pada Subjek Laki-laki Dan Perempuan ………….. 38

DAFTAR LAMPIRAN

  A. Skala Dan Analisis Statistik Uji Coba

  B. Skala Dan Analisis Statistik Penelitian

  C. Lampiran Wawancara

  D. Surat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Konflik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini cenderung meningkat dan sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Faktor-faktor SARA, organisasi atau kelompok mudah dijadikan sarana

  memecah belah demi kepentingan politik kelompok (dalam Ikawati, Sumarwawi, 2004). Salah satu wilayah yang mengalami konflik adalah Ambon. Konflik ini terjadi sejak 19 Januari 1999 tepat pada saat umat Muslim merayakan Lebaran. Konflik ini diawali dengan perkelahian antara preman dari suku Bugis dengan sopir angkot beretnik Ambon. Akibat dari perkelahian ini memicu terjadinya perkelahian antar kampung dan terus berkembang menjadi konflik antar etnik. Konflik antar etnik ini terjadi antara masyarakat asli beretnik Ambon dengan pendatang beretnik Bugis, Buton dan Makasar yang terkenal dengan sebutan BBM. Konflik ini menyebabkan banyak sekali penduduk berentik Bugis, Buton dan Makasar bereksodus keluar Ambon (dalam Sarwono, 2006)

  Setelah eksodus etnik-etnik ini dari Ambon, konflik yang terjadi tidak semakin membaik tetapi kemudian berkembang menjadi konflik antar agama.

  Konflik antar agama ini terjadi antara penduduk beretnik Ambon yang beragama Muslim dan Kristen. Konflik antar agama ini kemudian terjadi

  2 dalam jangka waktu yang cukup lama ( dalam Sarwono, 2006). Dampak yang ditimbulkan dari konflik ini tidak hanya sebatas pada kerusakan fisik tetapi juga mengakibatkan banyak jatuh korban. Banyak sudah korban yang meninggal dari kedua belah pihak dan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari konflik ini.

  Jauh sebelum konflik yang terjadi kerukunan antar umat beragama di Ambon sangat terjaga. Ikatan adat istiadat, melalui pela gandong yang menjadi tali penyekat antar umat beragama Kristen maupun Islam untuk saling menghormati dan menghargai (dalam Suaedy, 2000). Namun konflik yang terjadi ini menghancurkan kehidupan kerukunan antar umat beragama ini.

  Masyarakat mudah sekali terprovokasi isu-isu yang dengan sengaja dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Isu yang paling mudah membuat masyarakat terpancing adalah isu agama. Seperti ketika suatu isu (informasi negatif yang bersifat memecahbelahkan) disebarkan pada kelompok agama Kristen tentang kelompok agama Islam maka kelompok agama Kristen akan dengan mudah mempercayainya tanpa mengkajinya secara rasional dan hal yang serupa pun terjadi di kelompok agama Islam. Pikiran-pikiran negatif yang tercipta ini dibiarkan terus berkembang dalam masyarakat.

  Masyarakat menjadi tidak lagi saling mempercayai satu sama lain. Selalu ada pikiran-pikiran negatif ketika berdekatan dengan seseorang yang berbeda dengan dirinya khususnya yang berbeda agama. Hal ini dapat terlihat

  3 dari pemukiman penduduk yang menjadi tersekat-sekat berdasarkan agama, Kristen dan Islam. Hal ini sangat menyedihkan dan juga menyusahkan karena ruang lingkup untuk melakukan mobilitas menjadi sangat sempit.

  Allport mengemukakan bahwa dengan prasangka seseorang atau sekelompok orang menganggap buruk atau memandang negatif orang lain secara tidak rasional. Menurut Sherif dan Sherif, prasangka adalah sikap yang tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain ( dalam Santi,dkk 2000). Terjadinya prasangka disebabkan karena penilaian yang tidak berdasar (unjustified) dan pengambilan sikap sebelum menilai dengan cermat, sehingga terjadi penyimpangan pandangan (bias) dari kenyataan yang sesungguhnya ( dalam Atmadji, 2002).

  Pandangan yang bias inilah yang terjadi sewaktu konflik, masyarakat dengan mudah terprovokasi oleh isu-isu yang tidak benar. Tanpa tahu apakah informasi yang didengar benar atau salah, masyarakat bisa dengan mudah menyatakan bahwa kelompok agama tertentulah yang menyababkan terjadinya sesuatu (dalam Sarwono, 2006).

  Pandangan-pandangan bias yang menyebabkan prasangka negatif terhadap sekelompok agama tertentu ini merambah pada seluruh elemen masyarakat termasuk remaja. Orang dewasa atau orang tua yang mempunyai pandangan bias dan perasaan-perasaan negatif terhadap kelompok agama lain kemudian mengkomunikasikan pandangan dan perasaan negatifnya ini kepada

  4 anak-anaknya. Orang tua juga akan marah bila anak-anaknya bergaul dengan teman yang berbeda agama (dalam Save The Children, 2006)

  Para remaja menjadi harus memilih-milih teman dalam bergaul, yang beragama Kristen tidak bisa berteman akrab dengan yang beragama Islam.

  Terkadang juga bila ada yang sebelumnya telah berteman akrab dengan teman yang berbeda agama sebelum konflik terpaksa harus terputus hubungan pertemanan atau komunikasinya. Hal ini disebabkan karena ruang lingkup untuk pertemuan yang menjadi kecil, hilangnya rasa percaya dan adanya pemikiran-pemikiran yang negatif tentang agama yang dianut oleh temannya.

  Usia remaja sebagai salah satu tahap dari perkembangan merupakan masa terjadi banyak sekali perubahan, baik fisik, emosi maupun sosial. Pada masa remaja hubungan sosial mengalami perubahan, yang awalnya lebih senang bermain sendiri dengan mainannya berubah menjadi lebih senang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Remaja lebih senang bergaul dengan teman-teman sebayanya dikarenakan remaja lebih sering berada diluar rumah bersama-sama teman-teman sebayanya sehingga dapat dimengerti mengapa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980)

  Havighurst (dalam Dariyo, 2004) mengemukakan bahwa ketika memasuki masa remaja , individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas bila dibandingkan dengan masa kanak-kanaknya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergaul dengan teman-temannya (peer-group) dibandingkan dengan keluarganya. Remaja menginginkan teman yang

  5 mempunyai minat yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua maupun guru. Menurut Hurlock (1980) yang diinginkan remaja sebagai teman adalah orang-orang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak bicara, dan seseorang yang dapat diandalkan. Berdasarkan pendapat ini, maka remaja seharusnya dalam berteman tidaklah membeda-bedakan atau memilih teman menurut suku, ras ataupun agama, tetapi lebih pada minat yang sama, dan dapat dipercaya. Kondisi inilah yang mendorong penulis ingin meneliti apakah remaja juga memiliki prasangka terhadap teman-teman sebayanya yang berbeda agama sehingga dapat mempengaruhi hubungan pertemanan mereka.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana prasangka remaja pada temannya yang berbeda agama setelah konflik di Ambon ? “

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : Bagaimana prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon.

  6 D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat secara teoritis adalah memberikan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang Psikologi Sosial mengenai tingkat prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik karena selama ini pembahasan tentang prasangka lebih didominasi tentang prasangka terhadap RAS yang terjadi di Amerika khususnya terhadap warna kulit dan masih sedikitnya adanya pembahasan secara khusus tentang prasangka yang terjadi di Indonesia.

  Sedangkan manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan gambaran secara umum kepada masyarakat ataupun pemerintah tentang tingkat prasangka pada remaja sebagai akibat dari konflik dan memberikan gambaran kepada remaja agar lebih objektif dalam berinteraksi dengan teman- teman sebaya yang berbeda agama.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. REMAJA

1. Pengertian Remaja

  Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan” (Ali dan Asrori, 2004). Istilah adolescence¸ seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1980). Piaget dalam Hurlock (1980) mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia individu yang berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat yang sama.

  Masa remaja menurut Mappiare (dalam Ali dan Asrori, 2004), berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Sedangkan menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun, bukan 21 tahun seperti sebelumnya (Hurlock, 1980). WHO sendiri (dalam Sarwono, 1994) membagi kurun usia tersebut dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

  Menurut Stanley Hall (Santrock, 2003), remaja adalah masa antara usia 12 sampai 23 tahun. Stanley Hall (Santrock, 2003) menggambarkan remaja sebagai masa goncangan (strom and stress) yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Menurut Hall (Santrock, 2003) pikiran, perasaan, dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, baik dan godaan, kebahagian dan kesedihan. Perubahan ini digambarkan oleh Hall (Santrock, 2003) seperti ini: pada satu saat remaja mungkin akan bersikap jahat pada temannya tapi juga bisa bersikap baik di waktu yang lain atau ingin berada sendirian tetapi sesaat kemudian mencari teman.

  Berdasarkan uraian diatas maka remaja adalah masa antara usia 12 sampai dengan 23 tahun dan ditandai dengan perubahan fisik, sosial, emosional maupun mental. Remaja mengalami perubahan suasana hati yang timbul secara bergantian antara senang dan sedih, namun perubahan seperti ini wajar terjadi di masa remaja.

2. Perkembangan Sosial Remaja

  Remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman- teman sebaya sebagai kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980). Misalnya sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar (Hurlock, 1980).

  Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya entah di sekolah atau di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanak-kanak. Kegemaran pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi merupakan faktor penting dalam pemilihan teman (Hurlock, 1980), tetapi remaja menginginkan teman yang mempunyai minat, pola tingkah laku, ciri fisik dan kepribadian yang sama (Hurlock, 1980 dan Mappiare dalam Ali dan Asrori,2004 ). Persamaan tersebut membuat para remaja dapat saling mengerti dan merasa aman, sehingga dapat mempercayakan masalah-masalah juga membahas hal-hal yang tidak dapat ia bicarakan dengan orang tua maupun guru (Hurlock, 1980). Sullivan (Santrock, 2003) menyatakan bahwa remaja dapat lebih mengungkapkan informasi yang bersifat mendalam dan pribadi kepada teman-teman mereka daripada para anak yang lebih kecil. Remaja juga lebih mengandalkan teman daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan kebersamaan, untuk meyakinkan harga diri dan keakraban.

  Menurut Santrock (2003) teman sebaya (peers) adalah anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama dan bagi remaja hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupannya. Hubungan teman sebaya yang baik perlu bagi perkembangan sosial yang normal pada masa remaja. Menurut Hightower (dalam Santrock, 2003) hubungan teman sebaya yang harmonis pada masa remaja berhubungan

  (Santrock, 2003) melalui interaksi teman sebayalah anak-anak dan remaja belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara, menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara mengatasi ketidaksetujuan dengan teman sebaya. Melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar menjadi teman yang memiliki kemampuan dan sensitif terhadap hubungan yang lebih akrab dengan menciptakan persahabatan yang lebih dekat dengan teman sebaya yang dipilih. Teman bagi remaja sebagai orang kepercayaan yang penting yang mampu menolong remaja untuk melewati berbagai situasi yang menjengkelkan (kesulitan dengan orang tua atau putus pada hubungan romantis) dengan menyediakan dukungan emosi dan nasihat yang memberikan informasi.

  Kondisi yang digambarkan diatas menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya (peers) merupakan hal yang penting dan positif bagi perkembangan remaja. Menurut Gunarsa, (1984) kelompok remaja merupakan hal yang positif karena kelompok teman sebaya dapat memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara bersikap, bertingkah laku dan berhubungan sosial. Kelompok teman sebaya menjadi hal yang positif dan berguna juga bagi remaja untuk pembentukan identitasnya. Menurut Erikson (dalam Gunarsa, 1984 ; Santrock, 2003) pada masa remaja tujuan utama dari seluruh perkembangan adalah pembentukan identitas diri namun pembentukan identitas tidak dimulai ataupun berakhir hanya ada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Gunarsa, 1984 ; Hurlock, 1980 ; Santrock, saya, dimana tempat saya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan remaja yang berkaitan dengan konsep identitasnya. Maka remaja untuk membentuk konsep identitasnya ini memerlukan tempat atau wadah agar dapat menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan ini. Tempat yang menjadi awal pembentukan identitas remaja berawal dari keluarga dimasa anak-anak kemudian setelah memasuki masa remaja kelompok teman sebayalah yang diperlukan remaja untuk menjadi tempat untuk menggembangkan identitasnya (dalam Soekanto,1989)

  Berdasarkan informasi diatas maka dapat disimpulkan bahwa teman sebaya merupakan sosok yang penting dan terpercaya bagi remaja selain orang tua. Teman merupakan tempat bagi remaja untuk mengungkapkan perasaan yang dirasakannya atau pemikiran-pemikirannya, hal ini mungkin disebabkan karena rasa aman dan dimengerti yang didapatkan remaja dari temannya. Teman sebaya yang dipilih oleh remaja adalah teman yang memiliki persamaan minat, kesukaan, kepribadian tanpa melihat suku, ras dan agama.

B. PRASANGKA

1. Pengertian Prasangka

  Menurut Allport dan Sears, Freedman serta Peplau (1985) prasangka adalah pandangan negatif seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain yang hanya berdasarkan kategori sosial atau rasial seseorang atau kelompok sehingga prasangka menjadi sangat tidak rasional. Selain itu

  (dalam Ahmadi Abu,1991) menyebutkan prasangka adalah mempunyai ciri khas pertentangan antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya in group dan out group. Sedangkan menurut Sherif dan Sherif prasangka adalah sikap tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh suatu kelompok dengan kelompok lain ( dalam Ahmadi Abu, 1991).

  Nelson (dalam Sarwono, 2006) menyatakan prasangka merupakan evaluasi negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain yang disebabkan karena bukan bagian dari kelompoknya. Menurut Brown (2005) prasangka merupakan seperangkat kepercayaan yang “salah” atau “irasional”, generalisasi yang semparangan atau disposisi yang “tidak beralasan” yang menyebabkan orang berperilaku negatif terhadap kelompok lain.

  Baron dan Byrne (2004) serta Gerungan (1988) menyatakan prasangka sebagai suatu sikap negatif yang ditujukan kepada orang lain atau kelompok tertentu, semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Prasangka mengarahkan seseorang atau sekelompok orang kepada keyakinan bahwa kelompok atau orang tertentu adalah golongan manusia yang rendah dan tidak dapat disejajarkan dengan manusia lain. Sikap diskriminasi seperti ini pada akhirnya dapat menimbulkan perilaku agresi (Koeswara dalam Santi,dkk 2000).

  Dari pendapat beberapa ahli yang menjelaskan tentang prasangka maka dapat disimpulkan bahwa prasangka adalah sebuah pandangan juga disertai sikap negatif yang tidak berdasar yang ditujukan kepada orang ataupun kelompok lain. Sikap negatif yang tidak berdasar ini disebabkan karena adanya kepercayaan yang salah, evaluasi negatif, ataupun adanya generalisasi yang salah. Penilaian yang tidak berdasar berupa penilaian yang diberikan hanya berdasarkan golongan, agama, ataupun suku seseorang bukannya memandang seseorang tersebut sebagai seorang individu yang utuh. Prasangka juga bermuatan kualitas suka dan tidak suka terhadap objek yang diprasangkai. Selanjutnya prasangka tidak hanya sebatas pada kepercayaan yang salah, rasa suka ataupun tidak suka tetapi juga dapat di wujudkan dalam bentuk perilaku ataupun tindakan yang tidak menyenangkan berupa diskriminasi yang pada titik ekstrem dapat berupa tindakan penyerangan terhadap objek yang diprasangkai.

2. Prasangka Sebagai Sikap

  Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok kepada orang atau kelompok lain (Gerungan 1988). Menurut Myers (1999) prasangka adalah sikap, maka sikap merupakan sebuah kombinasi dari perasaan, kecenderungan perilaku dan sebuah kepercayaan. Hal ini menunjukkan adanya komponen-komponen sikap yang terkandung dalam prasangka, maka perlulah dijelaskan tentang prasangka sebagai sikap.

  Menurut John H Harvey dan William P. Smith (dalam Ahmadi Abu 1991) sikap adalah kesiapan merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap objek atau situasi. Sedangkan menurut L.L. Thurstone (dalam Ahmadi 1991) sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga ataupun ide-ide. Menurut Traves, dkk (dalam Ahmadi Abu, 1991) sikap melibatkan tiga komponen yaitu komponen afeksi, kognitif dan konasi.

  Menurut Walgito (1990) sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya.

  Seperti halnya sikap maka prasangka juga memiliki komponen yang sama seperti sikap, tetapi prasangka cenderung berupa sikap-sikap yang bermuatan negatif. Maka tiga komponen prasangka adalah :

  1. Komponen kognitif adalah kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau pada yang benar bagi objek sikap (Azwar. S,1998).

  Menurut Wyer dan Srull (dalam Baron dan Byrne 2004) sikap memiliki fungsi sebagai kerangka pikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi dan mengambil informasi. Maka menurut Baron dan Byrne (2004) individu yang memiliki prasangka terhadap kelompok- kelompok tertentu cenderung memproses informasi tentang kelompok secara berbeda dari cara mereka memproses informasi tentang kelompok lain. Prasangka juga melibatkan keyakinan dan harapan terhadap anggota berbagai kelompok. Keyakinan-keyakinan ini disebut sebagai stereotipe. Pada prasangka meliputi keyakinan yang bervalensi negatif tentang kelompok lain. Hal ini dapat disebabkan karena informasi yang diterima kurang tepat atau generalisasi yang kurang tepat

  2. Prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak disukai (Baron dan Bryne, 1994). Komponen afektif pada prasangka berisi perasaan ataupun emosi negatif terhadap kelompok lain. Emosi-emosi negatif tersebut berupa perasaan tidak suka, membenci, tidak simpati, dll (Ahmadi Abu,1991)

  3. Komponen konatif yang menunjukkan pada pengalaman dengan kelompok. Merujuk pada perilaku diskriminatif kepada kelompok lain atau orang lain. Menurut Baron dan Byrne (2004) diskriminasi adalah tingkah laku negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok sosial yang menjadi objek prasangka.

3. Sebab-sebab Timbul Prasangka

  Ada beberapa faktor penyebab timbulnya prasangka antara lain :

  a. Proses Belajar Proses belajar yang salah bisa menjadi salah satu penyebab seseorang khususnya anak-anak sudah berada dalam sebuah lingkungan yang penuh dengan prasangka. Anak-anak akan belajar dari orang tuanya, teman- temannya ataupun dari gurunya. Anak-anak akan melihat, memperhatikan dan mendengar apa saja yang dilakukan oleh orang tuanya dan akan terekam dalam pikiran mereka (Baron dan Byrne 2004). Berdasarkan pandangan proses pembelajaran sosial (social learning), sesorang mengadopsi informasi baru, tingkah laku, atau sikap dari orang lain (Baron dan Byrne 2004). Hal ini akan semakin diperkuat apabila diberikan sebuah

  reinforcement positif berupa sikap teman-teman sebaya yang bersikap

  sama, informasi-informasi dari media massa yang kurang proposional, ataupun lingkungan yang mendukung seseorang bersikap seperti itu (Baron dan Byrne 2004). Hal ini sejalan dengan penjelasan Bandura, bahwa prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang disekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengaruh reinforcement positif dari orang-orang disekitarnya (dalam Atmadji 2002). Hal ini menunjukkan bahwa prasangka merupakan sebuah sikap yang bisa dipelajari.

  b. Realistic Conflict Theory Penyebab lain terjadinya prasangka adalah adanya kompetisi yang menyebabkan konflik dan berakibat timbulnya prasangka. Menurut

  Realistic Conflict Theory , prasangka timbul karena adanya kompetisi

  antara dua kelompok sosial yang disebabkan kerena perebutan kesempatan ataupun karena sebuah komoditas. Jika kompetisi ini terus berlanjut maka akan meningkatkan pandangan-pandangan negatif diantara anggota kelompok lain tersebut. Suatu kelompok dilabelkan sebagai musuh dan menganggap kelompoknya sebagai yang terbaik (White dalam Baron dan Byrne 2004).

  Menurut Sherif dan Sherif (dalam Baron dan Byrne 2004) kompetisi yang rasional terhadap sumber daya yang sedikit dapat dengan cepat berkembang menjadi konflik berskala penuh sehingga menimbulkan sikap negatif terhadap lawannya dan pada akhirnya bisa membentuk akar prasangka. Selanjutnya hubungan yang dipenuhi dengan konflik dapat menimbulkan jarak sosial antara kelompok atau individu. Menurut Sherif & Sherif (dalam Atmadji, 2002) jarak sosial adalah sikap negatif anggota kelompok tertentu pada anggota kelompok lain yang dijadikan norma- norma kelompok. Akibatnya jarak sosial ini menimbulkan batasan-batasan negatif diantara kelompok-kelompok.

  c. Kategorisasi Sosial Situasi lain yang dapat meningkatkan prasangka dalam kelompok adalah kategorisasi sosial. Menurut Baron dan Byrne (2004) kategorisasi sosial merupakan kecenderungan untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda : in group dan out group. Perbedaan antara in

  group dan out group dapat terjadi karena adanya perbedaan latar

  belakang seperti ras, agama, jenis kelamain, usia, latar belakang etnis, pekerjaan dan pendapatan. Kategorisasi sosial tidak hanya menyebabkan prasangka tetapi juga terjadi perbedaan perasaan dan keyakinan antara kelompok in group dan out group. Perbedaan perasaan dan keyakinan antar in group dan out group ini juga mengakibatkan terjadi kesalahan atribusi.

  Kesalahan atribusi merupakan kecenderungan untuk memberikan atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya sendiri daripada anggota kelompok lain. Menurut Lambert ; Linville dan Fischer (dalam Baron dan Byrne 2004) kelompok out group diasumsikan memiliki

  traits yang tidak diinginkan dan dipersepsikan lebih serupa daripada anggota dari in group dan sering tidak disukai.

  Perbedaan antara in group dan out group juga membentuk persepsi lebih superior dari kelompok lain yang menjadi pesaingnya. Menurut Tajfel dan Turne (dalam Baron dan Byrne 2004) persepsi superior ini terjadi dikarenakan individu berusaha meningkatkan self esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial lainnya.

  d. Stereotipe Prasangka juga bersumber dari aspek dasar kognisi sosial yaitu berpikir mengenai orang lain, menyimpan dan mengintegrasikan informasi tentang mereka, dan kemudian menggunakan informasi ini untuk menarik kesimpulan tentang mereka atau membuat penilaiaan sosial. Aspek kognisi yang dimaksud adalah stereotipe. Menurut Judd, Ryan dan Parke (dalam Baron dan Bryne 2004) stereotipe merupakan kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok lain.

  Dunning dan Sherman (dalam Baron dan Byrne 2004) juga mendeskripsikan stereotipe sebagai penjara kesimpulan (inferential prisons) : ketika stereotipe telah terbentuk, stereotipe akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai penguatan terhadap stereotipe kita, bahkan ketika hal ini tidak terjadi. Menurut Baron dan Byrne (2004) sterotipe memberikan efek kuat bagaimana kita memproses informasi, bahkan menurut Kunda & OLeson ; O’sullivan 7 Durso (dalam Baron dan Byne 2004) sterotipe bahkan mendorong seseorang memperhatikan jenis- jenis informasi tertentu saja. Informasi yang diperhatikan ini khususnya informasi yang konsisten dengan stereotipe tersebut dan bahkan ketika informasi tersebut tidak konsisten dengan stereotipe yang disadari, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit merubahnya sehingga tampaknya konsisten dengan stereotipe tersebut. Menurut Sarwono (2006) stereotipe memang berhubungan dengan prasangka, yaitu prasangka mengaktifkan stereotipe dan stereotipe menguatkan prasangka.

C. KONFLIK DI AMBON

  Kota Ambon merupakan ibu kota propinsi dari Maluku dan merupakan sentral dari kegiatan pemerintahan dan politik, ekonomi maupun pendidikan.

  Keadaan ini membuat kota Ambon mempunyai daya tarik tersendiri untuk masyarakat dari segala penjuru desa di Maluku maupun dari luar Maluku untuk datang dan hidup di Ambon ( ). Masyarakat di Ambon maupun di Maluku pada umumnya hidup dalam keberagaman dan jauh sebelum tanggal 19 Januari1999 keberagaman tersebut dapat berjalan dengan damai. Keberagaman tersebut dapat berjalan dengan damai karena diikat oleh sebuah sistem adat-istiadat yang sering disebut Pela

  

Gandong . Sistem ini memungkinkan warga yang berbeda agama ataupun suku