Faktor-faktor keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan di perkampungan sosial pingit yayasan sosial Soegiyapranata [PSP YSS] Yogyakarta - USD Repository

  

FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN RESOSIALISASI BEKAS

KELUARGA JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT

YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) YOGYAKARTA

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikolo gi

  Oleh : A Eko Widayantyo

  NIM : 019114020 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  Amo et facio qoud folo (akan kucintai dan kuhadapi apa yang sudah kupilih) walaupun biasanya harus bersusah payah melaluinya, dengan tubuh yang penuh luka goresan duri semak belukar

  (Kamijyo akimine) sehingga ada akhir dalam setiap peristiwa, tapi bagiku setiap akhir adalah sebuah awal baru. Skripsi dengan Judul

  

FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN RESOSIALISASI BEKAS

KELUARGA JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT

YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) YOGYAKARTA

Saya persembahkan kepada

  :

BUNDAKU MARIA

BAPAK L DAGI

  

IBU TH. SUMIYANTI

ADIKKU MARIA DWI KURNIANINGTYAS

Serta semua yang terlibat di Perkampungan Sosial

Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang saya tuliskan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  

ABSTRAK

  A Eko Widayantyo (2007). Faktor-faktor Keberhasilan Resosialisasi Bekas

  

Keluarga Jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial

Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi

  Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor keberhasilan bekas keluarga jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah 60,6 % bekas keluarga jalanan yang menetap di PSP YSS kembali lagi ke jalanan.

  Responden penelitian ini adalah warga PSP YSS yang sudah tinggal di PSP YSS minimal selama tiga bulan atau sudah menetap di masyarakat. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga keluarga. Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah metode fenomenologi. Pengumpulan data menggunakan observasi partisipan, wawancara primer dan wawancara sekunder.

  Teknik verifikasi menggunakan intersubjective validity, serta menggunakan sumber data majemuk (wawancara dengan orang dekat dan observasi partisipan).

  Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keberhasilan resosialisasi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berupa kepemilikan akan konsep tentang masyarakat, motivasi yang kuat dari luar, dukungan sosial, serta partisipasi aktif dalam masyarakat. Sedangkan faktor internal adalah kemampuan individu untuk mengatasi masalah serta kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

  Kata kunci : bekas keluarga jalanan, resosialisasi

  

ABSTRACT

  A Eko Widayantyo (2007). The factors of success in resocialization of ex-

  

homeless family in Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial

Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Yogyakarta: Faculty of Psychology

  Sanata Dharma University.

  This qualitative research aimed to investigate factors influencing the success of ex-homeless family in Perkampungan Sosial Pingit Soegiyapranata Social Foundation (PSP YSS) Yogyakarta. The background of the problem was 60,6 % of ex-homeless family who stayed in PSP YSS returned to the street.

  The respondents of this research were those who had lived in PSP YSS for at least 3 months or those who had settled there. The respondents were three family. The method applied in this research was phenomenology method. The participant observation, primary and secondary interview were conducted to collect the data. Verification technique used in this research was intersubjective validity and using complex data source (doing interview with the close people and participant observation).

  The research result shows that the success of resocialization was influenced by the external factors and the internal factors. The external factors were community concept, high external motivation, social support and active participation in the society. Whereas the internal factors were the individual`s ability to solve the problem and to adjust to the environment.

  Key words : ex- homeless family, resocialization

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis haturkan kepada Bunda Suci Maria dan PutraNya karena berkat kasihNya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Tanpa bimbinganNya, skripsi ini akan semakin lama terselesaikan.

  Penulisan skripsi ini dilakukan sekitar tiga tahun. Sebuah proses yang panjang untuk sebuah penulisan skripsi. Selama proses yang panjang ini, penulis mengalamai banyak dinamika hidup. Dinamika unt uk mengalahkan diri sendiri. Melatih fokus terhadap sebuah tujuan. Namun semua tantangan ini sudah dapat dilalui dan tiba saatnya untuk mempertanggunjawabkannya. Meskipun demikian, peneliti menyadari berbagai kekurangan yang masih ada dalam skripsi ini, oleh karena itu, masukan- masukan akan sangat berguna bagi kesempurnaan skripsi ini.

  Untuk semuanya itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dalam penyusunan skripsi ini.

  2. Bapak Dr. A. Supratiknya selaku pembimbing skripsi, yang denga n teliti memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

  4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S. Psi dan Ibu Silvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, S.Psi, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

  5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB.

  Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa membantu. Pak Gik, senyumannya menyejukkan lho Pak.

  6. Rama Windyatmoko S.J, Br. Hadi S.J realino Mataran 66 dan Keuskupan Agung Semarang, terimakasih atas dukungan dan bantuan untuk menyelesaikan skripsi ini. Mo, maaf ya, skripsinya telat dua tahun dari target awal.

  7. Keluarga-keluarga di Pingit yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Terimakasih, saya banyak belajar tentang hidup dari

  nJenengan sedaya. Tetap menjadi sahabat yang tidak terlupakan.

  8. Buat keluarga besar P2TKP; Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, Bapak Ant. Soesilastanto, Ibu Yuliana Pratiwi, dan Mbak Ertina Kusumawati yang senantiasa memberikan dukungan, serta semua temen-temen asisten P2TKP yang pernah berjuang bersama; Cik Vinda, Heru Cwt, Agung Ontel, Ari 00, Rani, Soe Lek, Yessy, Okta. Soe Lek dan Rani, kapan meh lulus??? Ayo berjuang pren. Gak lupa juga anak-anak baru Adi, Desta, Kobo, Otikwati, Abe, Tyo, Etik dkk.

  9. Temen-teman di kontrakan Pong we: Acong, Oho, Dian (cuk), Adri dan sudah mengajariku tentang hidup bersama dalam suka dan duka. Thanks guys.

  10. Dani meka, Vian tm, Bambang, Seto, Tintus farmasi. Terimakasih atas pertemanan kalian di kos pojok Paingan tujuh ya......

  11. Teman-teman 01, Adi Gendut, Kris dan Pati. Makasih banyak atas pertemanan selama ini, kalian adalah rahmat bagiku. Ndut, kapan aku pinjam laptop lagi buat main game dan ngetik skripsi??? Tak lupa juga, Maria, Diana, Etik, Tyo, Deasy, Tien. Plus sesepuh Yb n Dyda.

  12. Pak Cahyo, makasih telah menanamkan bibit-bibit pengetahuan tentang outdoor activities lewat Forma.

  13. Watukali Training center, Acong, Vembri, Kobo, Tumbur, dan Mbak Etta.

  14. Teman-teman JRS nasional dan JRS Bantul. Terimakasih sudah mengajariku tentang kerja dan hidup di lembaga sosia l.

  15. Transformind Counsultainment, Mas Is, Mbak Mei, Windra, Neri, Suko, Adri, Berta, dkk. Mari kita mengembangkan diri pren.

  16. Perkampungan Sosial Pingit, terimakasih atas penerimaan dan bantuan yang tak terhingga sehingga skripsi ini selesai. Para kordinator PSP YSS mulai dari tahun gak enak, Rm Inug SJ, Rm Gogon SJ, Rm Panus SJ, Rm Toto SJ, fr. Sang-sang SJ, fr Alis SJ, fr. John SJ, fr. Budi SJ, fr Bambs SJ, fr Vincent SJ, fr Andi SJ dan fr Heru SJ. Volunternya Mbak Sum, Puji, Baba, Kris, Gembong, Imam, Dewi, Eni, Dewi anak, anak-anak PBM USD yang datang

  Kalian tidak akan mengubah mereka tapi memperkenalkan alternatif lain selain pisuhan dan kekerasan dalam hidup mereka.

  17. Kris, Baba dan Seno, terimakasih selalu mendukungku dan mengingatkanku ketika aku main game untuk kembali mengerjakan skripsi. Thanks atas rumah dan komputernya ya...... Anik, ths a lot.

  18. Pak Heri dan Mbak Etta, terimakasih sudah menjadi pelita ketika jalan di depanku gelap akibat ulahku sendiri dan tongkat untuk mendaki bukit terjal.

  19. Lusia Gita Gracia, terimakasih atas cinta, dukungan, kesetiaan dan kesabaran yang pernah kamu limpahkan. Dirimu akan tetap tersimpan dalam hatiku. Selamat berjuang!!! Kamu adalah motivator imajinerku. Aku berharap Bundaku akan menoleh ke arahku dan mengabulkan permintaanku.

  20. Sebastiana SPM, makasih yo dek, atas dukunganmu ketika aku di titik terendahku. Tetap setia dengan jalan yang sudah kamu pilih ya....

  21. Bu Guru Wanti J, terimakasih atas sms dan telponmu yang telah memacu dan memotivasiku untuk menyelesaikan skripsi ini.

  22. Bapak, Ibu dan adikku. Terimakasih banyak atas semuanya. Tanpa kalian aku tidak tahu akan seperti apa.

  23. Serta semua dosen, karyawan, teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi USD dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu (terutama angkatan 2001) yang senantiasa menyemangati saya dalam tugas ini.

  Akhirnya, saya ucapkan terimakasih atas semua yang telah mewarnai hidup saya. Karena warna itu, hidup saya semakin dikembangkan. Bunda, dampingilah dan berkatilah semuanya.

  Yogyakarta, 22 November 2007 Hormat saya, Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL………………………...….......……………………………..i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii MOTTO..................................................................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN..............................................................................v PERNYATAAN KEASLIAN DATA....................................................................vi ABSTRAK.............................................................................................................vii ABSTRACT..........................................................................................................viii KATA PENGANTAR............................................................................................ix DAFTAR ISI.........................................................................................................xiv DAFTAR TABEL................................................................................................xvii DAFTAR BAGAN.............................................................................................xviii DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xix DFTAR FOTO.......................................................................................................xx

  BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1 A. Latar Belakang.............................................................................................1 B. Masalah Penelitian.......................................................................................8 C. Tujuan............................................................................................................8 D. Manfaat Penelitian.........................................................................................8

  1. Definisi (bekas) keluarga jalanan..........................................................10

  2. Karakteristik keluarga jalanan...............................................................13

  3. Bekas keluarga jalanan..........................................................................15

  4. Karakteristik masyarakat.......................................................................16

  5. Pandangan masyarakat terhadap keluarga jalanan................................18

  B. Resosialisasi...............................................................................................20

  1. Definisi resosialisasi..............................................................................20

  2. Proses akulturasi....................................................................................21

  C. Resosialisasi Bekas Keluarga Jalanan dalam Masyarakat Umum.............27

  D. Kerangka Penelitian...................................................................................28

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN...............................................................29 A. Metode Penelitian.......................................................................................29 B. Responden Penelitian................................................................................29 C. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................31

  1. Pengamatan Berperan-serta...................................................................31

  2. Wawancara............................................................................................33

  D. Pemeriksaan Keabsahan Data....................................................................34

  E. Analisis Data...............................................................................................35

  1. Organisasi data......................................................................................36

  2. Pengkodean...........................................................................................36

  3. Interpretasi.............................................................................................38

  BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................40 A. Identitas dan Deskripsi Informan...............................................................40

  1. Identitas.................................................................................................40

  2. Deskripsi Informan................................................................................41

  B. Tahap Pengambilan Data...........................................................................45

  C. Hasil Penelitian..........................................................................................46

  1. Keluarga pertama..................................................................................46

  2. Keluarga kedua......................................................................................55

  3. Keluarga ketiga.....................................................................................62

  D. Pembahasan................................................................................................67

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................72 A. Kesimpulan.................................................................................................72 B. Saran...........................................................................................................73 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................75 LAMPIRAN ..........................................................................................................80

  

DAFTAR TABEL

  TABEL 1. Identitas Subyek ..................................................................................40 TABEL 2. Tahap pengumpulan data.....................................................................45 TABEL 3. Wawancara primer...............................................................................83 TABEL 4. Catatan lapangan..................................................................................97 TABEL 5. Sumber lain/wawancara sekunder......................................................103

  DAFTAR BAGAN

  Daftar bagan kerangka penelitian ....................................................................28

  LAMPIRAN 1. Verbatim......................................................................................80 LAMPIRAN 2. Denah lokasi PSP YSS…………………………………………81 LAMPIRAN 3. Surat keterangan perijinan...........................................................82

  

DAFTAR FOTO

  FOTO 1. Tempat tinggal......................................................................................44 FOTO 2. Hasil memulung yang sudah di pisah-pisahkan....................................52 FOTO 3. RL 2 sedang menyapu jalanan serta perlengkapan..............................56

  adalah sebuah lembaga sosial yang bergerak dalam pendampingan bekas keluarga jalanan (Soemitro, 2004). Bentuk pendampingan ini berupa pemberian ide dan masukan ataupun mendengarkan dan memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi para keluarga yang tinggal di PSP YSS. Warga PSP YSS diajak untuk menggali potensi-potensi diri individu dalam setiap keluarga agar mampu mengangkat ekonomi keluarga dan ma mpu bersosialisasi kembali. Hal itu yang membuat PSP YSS mengajak mereka untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sosial seperti melakukan perkumpulan setiap hari Selasa (sarasehan antar warga PSP YSS), kumpul jumat kliwonan (pertemuan antar warga dusun), dan kerja bakti. Sebagai bekas keluarga yang tinggal di jalan, mayoritas dari mereka tidak memiliki surat identitas diri, terutama surat nikah. Keluarga-keluarga ini diajak untuk kembali memperoleh identitas diri (KTP, Kartu Keluarga, Surat Nikah, Akte Kelahiran, Surat Sehat) yang tidak dimilikinya. Di PSP YSS, mereka di ajak untuk merenda masa depan. Mereka diharapkan dapat tetap tinggal di rumah, entah mengontrak atau membeli sendiri, baik di kota maupun di desa setelah dari

  Sosialisasi adalah proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya (Salim dan Salim, 1991). Anggota masyarakat dituntut untuk belajar tentang kebudayaan yang ada di lingkungannya. Resosialisasi bisa diartikan sebagai proses pengenalan dan penghayatan kembali akan kebudayaan yang ada di lingkungan. Menurut Marshal (1994), Salim dan Salim (1991) resosialisasi dimaknai sebagai pemasyarakatan kembali sesuai dengan budaya, norma serta sanksi masyarakat.

  Schaefer (2001) mengartikan resosialisasi sebagai proses mengesampingkan pola kebiasaan dan menerima hal baru sebagai bagian dari perubahan hidup. Bisa diartikan bahwa anggota masyarakat yang mengalami resosialisasi harus melakukan adaptasi dengan meninggalkan kebudayaan yang telah ada dan memakai kebudayaan yang baru. Mereka dimasukkan dalam kebudayaan yang ada di dalam masyarakat agar bisa menyatu dengan masyarakat.

  Dengan tujuan tersebut, PSP YSS menampung keluarga jalanan. Keluarga jalanan adalah keluarga yang hidup dan tinggal di jalan dan menggantungkan hidup dari jalan. Keluarga-keluarga ini diberi tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu (Suharyadi, wawancara pribadi, 6 Agustus 2007). Keluarga-keluarga tersebut dituntut agar mamp u berkembang dalam hal ekonomi, sosial, serta budaya dalam masyarakat. Selain itu, mereka juga dituntut agar mampu mempunyai kemampuan dalam kehidupan sosial mereka antara lain cara hidup bertetangga dan memiliki identitas diri. Hal ini dimaksudkan agar mereka

  Budaya jalanan yang mereka pahami adalah budaya bebas tanpa peraturan, individualis, saling “memakan”. Kebudayaan bebas yang sangat mencolok terlihat dari bagaimana mereka memilih pasangan. Mereka bebas bergonta-ganti pasangan tanpa adanya suatu ikatan resmi. Mereka seringkali memperoleh keturunan dari hubungan kumpul kebo. Dasar hubungan yang mereka pakai adalah saling suka. Apabila mereka sudah saling bosan, mereka bebas berganti kembali. Kebudayaan yang ada tidak memperlihatkan adanya norma- norma sosial seperti di masyarakat umum. Mereka tidak memiliki ikatan yang sah secara hukum agama dan negara. Pernikahan bagi mereka merupakan hal yang sangat sulit karena syarat untuk dapat menikah adalah kartu tanda penduduk (KTP), sedangkan mereka tidak memiliki KTP (Prasetyo & Koestanto, 2005; “Kami dilahirkan untuk tidak menikah”, 2004). Mencari pasangan merupakan salah satu cara untuk menghindari kekerasan pada dirinya. Selain sebagai sarana perlindungan diri (terutama untuk wanita) adanya pasangan juga berdampak pada naiknya ”status sosial” serta ekonomi mereka (Ade, 2000).

  Peraturan yang ada di jalan hanyalah hukum rimba, yaitu siapa yang kuat maka dia yang menang (Santoso, 2004). Orang yang kuat akan menindas orang yang lemah. Hal ini berdampak pada tingkat kewaspadaan yang cukup tinggi terhadap orang lain karena seringkali mereka mendapatkan pengalaman yang buruk seperti kehilangan uang atau surat-surat penting. Bahkan peristiwa pemerasan, kekerasan dan penipuan sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh

  Kebutuhan fisik mereka seperti sandang, papan merupakan hal yang sangat minim bisa mereka penuhi. Dalam kondisi seperti ini, secara otomatis mereka dituntut untuk bertahan secara individualis (hanya memperhatikan kelompok/keluarga/pasangannya) tanpa perlu memperhatikan orang lain. Mereka hanya memikirkan kebutuhan ekonomi untuk diri dan keluarganya (“Mereka yang disebut”, 2004). Biasanya, keluarga-keluarga ini akan hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Anak Jalanan Antara Ditipu dan Menipu, 2007). Lokasi yang mereka pilih adalah lokasi yang bisa membuat mereka bertahan hidup dan nyaman bagi mereka.

  Sebagai sebuah subkultur yang berada dalam kultur yang besar, seringkali oleh kelompok mayoritas keluarga-keluarga ini dipandang sebelah mata, dianggap sebagai sekelompok sampah (Ade, 2000). Stereotipe yang ada di masyarakat melihat kehidupan jalanan sebagai kehidupan yang “liar” (Ertanto, 2000). Mereka sering mendapat penghinaan dari masyarakat pada umumnya. Perilaku yang diperlihatkan oleh masyarakat umum adalah perilaku yang kurang bersahabat. Masyarakat memiliki prasangka negatif terhadap warga jalanan yang berada di luar mereka.

  Pandangan negatif masyarakat muncul disebabkan karena perbedaan budaya yang menonjol. Masyarakat hidup dalam kondisi sosial yang saling mendukung dan menghargai, seperti gotong royong (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982). Masyarakat juga hidup dalam batasan-batasan norma sosial menjelaskan perbedaan budaya yang terjadi antar sub kultur jalanan dan masyarakat umum.

  Budaya masyarakat diinternalisasi oleh anggota kelompok (Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Hal ini juga dialami oleh keluarga jalanan yang mencoba untuk masuk ke kebudayaan baru (masyarakat umum). Marvin Haris (dalam Spradley, 1997) mengatakan bahwa konsep kebudayaan dinyatakan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat, atau cara hidup masyarakat. Matsumoto (2004) mendefinisikan budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.

  Proses resosialisasi mengakibatkan mereka akan me nginternalisasi kebudayaan masyarakat umum ke dalam diri mereka agar bisa menjadi anggota kelompok masyarakat umum. Proses internalisasi yang mereka jalani akan memunculkan dua kemungkinan. Pertama, mereka akan berhasil menjalani proses internalisasi kebudayaan baru. Kedua, mereka gagal dalam proses tersebut. Mereka yang berhasil akan diterima oleh masyarakat dan mampu bertahan di dalam masyarakat umum. Bagi mereka yang gagal, maka mereka akan ditolak oleh masyarakat dan kembali ke kebudayaan jalanan.

  Mereka yang gagal dalam proses resosialisasi bisa disebabkan oleh beradaptasi dengan lingkungan sosial, antara lain terlihat dari kemampuan yang rendah dalam menjalankan norma sosial yang ada. Sebagai contoh, ada diantara mereka yang memakai uang “jimpitan” untuk diri mereka sendiri, padahal uang tersebut seharusnya disetorkan kepada pengurus RT.

  Mereka cenderung bertabiat keras (Ena, Ouda Teda, tanpa tahun; Sindhunata, tanpa tahun; Fajar dkk, tanpa tahun; Pudji, tanpa tahun; Dewanto, Aria, tanpa tahun). Tabiat keras yang mereka miliki seringkali terlihat ketika mereka mengalami konflik dengan tetangga. Mereka seringkali lebih senang menggunakan otot untuk menyelesaikan masalah. Mereka mengalami kesulitan dalam interaksi dengan orang lain bisa disebabkan karena mereka terbentuk oleh budaya saling memakan sehingga membuat mereka bertabiat keras serta oleh lingkungan individualis, padahal saat ini mereka dihadapkan pada budaya baru yang sosialis.

  Mereka kurang bisa mengatur keuangan, karena uang yang mereka dapatkan biasanya akan habis dipakai tanpa pernah berpikir untuk menyimpannya (Ade, 2000). Apabila mereka mengalami kesulitan keuangan, mereka cenderung berhutang pada rentenir dan seandainya tidak bisa membayar maka mereka akan kembali lagi ke jalan. Kemampuan berpikir mereka cenderung dangkal dan tidak berorientasi pada masa depan, melainkan pada masa kini. Hal ini cukup menjelaskan kenapa ketika mereka mengalami konflik dengan orang lain dan merasa tidak nyaman, mereka sering kembali lagi ke jalan. Selain itu, mereka mendasar dari kegagalan resosialisasi karena mereka tidak memiliki konsep tentang rumah dan mereka memiliki nilai tersendiri tentang budaya jalanan (Suyanto, 2005), serta masyarakat memiliki labeling terhadap keluarga jalanan. Stereotipe dari masyarakat umum tentang mereka akan selalu negatif dan mereka dianggap orang-orang `liar` (Ertanto, 2000). Padahal menurut Mary Hardy (1998) pemberian cap yang negatif (negative social-typing) itu akan mengakibatkan kekalnya suatu tindakan yang menyimpang.

  Bekas keluarga jalanan yang mampu bertahan di lingkungan masyarakat mengatakan bahwa mereka mampu bertahan karena niat mereka untuk hidup lebih baik dibandingkan ketika mereka masih di jalan (Nursin, wawancara pribadi, 13 Desember 2005). Hal ini memperlihatkan bahwa mereka memiliki pemikiran ke depan. Sebagai contoh, mereka ingin agar anak mereka bisa bersekolah agar anak mereka tidak kembali ke jalan (Dewanto, Aria, tanpa tahun). Mereka berpikir ketika masih di jalan, mereka tidak akan bisa lebih baik. Hal terpenting dari keberhasilan mereka hidup di masyarakat umum adalah kepemilikan konsep tentang masyarakat umum. Mereka yang berhasil dalam proses resosialisasi biasanya orang yang tidak terlalu lama tinggal di jalan dan sebelumnya mereka pernah tinggal di masyarakat umum. Motivasi, pemikiran ke depan dan konsep tentang masyarakat menjadi landasan yang cukup kuat bagi mereka agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru.

  Proses adaptasi dengan lingkungan baru mengharuskan mereka kebudayaan masyarakat ke dalam diri mereka. Berry, Portinga, Segall, & Dasen (2002) menyebutnya sebagai intercultural strategies.

  Proses perpindahan kebudayaan dari budaya jalanan kepada kebudayaan masyarakat pada umumnya akan menghasilkan culture shock bagi keluarga jalanan. Hal itu disebabkan karena kebudayaan masyarakat pada umumnya memiliki karakteristik yang sangat bertolak belakang dengan kebudayaan di jalanan. Tekanan sosial dan perubahan kebudayaan yang mereka alami akan sangat mempengaruhi bagaimana keberhasilan mereka dalam proses resosialisasi.

  B. Masalah Penelitian Masalah dalam penelitian ini adalah apa saja faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS?

  C. Tujuan Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoretis Memberikan pemahaman/wawasan tentang kehidupan bekas keluarga dan faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi di PSP YSS.

  2. Manfaat Praktis

  a. Bagi Subyek Subyek menggali kembali pengalaman-pengalaman dan merefleksikannya.

  b. Bagi Yayasan Membantu pendamping dalam memahami kebutuhan bekas keluarga jalanan dalam proses resosialisasi.

  Sebagai sarana evaluasi pendampingan.

  c. Bagi Masyarakat Umum Mengenalkan faktor- faktor yang berpengaruh terhadap proses resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS.

  1. Definisi (bekas) keluarga jalanan Keluarga jalanan adalah pria dan wanita yang hidup dan tinggal di jalanan, memiliki komitmen untuk membina hidup bersama, kadang kala memiliki anak serta berbagi dalam hal ekonomi (Suharyadi, wawancara pribadi, 6 Agustus 2007). Mereka menghabiskan waktu mereka di jalanan.

  Mereka tinggal di emperan toko, gerbong kereta api, dan lahan- lahan kosong di pinggir jalan, pasar, terminal, stasiun (Indrawati, 2004), taman-taman, bawah jembatan, dan pinggiran kali (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

  Kehidupan mereka didukung oleh jalanan karena mereka mencari nafkah dari jalan. Pekerjaan mereka biasanya sebagai pengemis, pengamen, pemulung, tukang becak.

  Di Kotamadya Yogyakarta, persebaran tempat tinggal keluarga jalanan biasanya ada di sekitar pasar Beringharjo, stasiun Lempuyangan dan Tugu, di bawah jembatan layang Lempuyangan, lahan kosong di samping asrama Syantikara dan daerah sekitar alun-alun. Namun mereka mencari nafkah di sekitar perempatan-perempatan jalan, dipasar untuk pengamen dan sangat tinggi dan mereka cenderung tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

  Warga jalanan, sama seperti manusia pada umumnya mengalami proses perkembangan dalam hidupnya, baik secara psikologis maupun secara fisiologis, mulai dari lahir, bayi, anak-anak, muda, dewasa, tua dan mati. Dalam rentang kehidupan ini, ada satu hal yang penting yaitu proses reproduksi yang dilakukan oleh sepasang manusia. Pada umumnya, pasangan manusia ya ng melakukan proses reproduksi akan bersama. Hal ini juga terjadi di kalangan warga jalanan yang sudah menginjak dewasa. Kebutuhan fisiologis dan psikologis menuntut dirinya untuk mencari pasangan yang cocok dan hidup berdua. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2002) yang mengatakan bahwa menikah pada orang dewasa adalah hal yang standar dilakukan oleh individu. Wagner (2002) mengatakan bahwa walaupun tidak tertulis, tuntutan untuk hidup berumah tangga dan memiliki keturunan seakan- akan adalah norma umum yang suka atau tidak suka harus diterima. Hal ini yang mengakibatkan munculnya keluarga jalanan. Keluarga jalanan seringkali tidak seperti keluarga di masyarakat pada umumnya. Apabila dilihat dari sudut pandang kita, mayoritas diantara mereka adalah pasangan kumpul kebo.

  Keluarga jalanan merupakan bagian dari warga jalanan. Warga jalanan memiliki tabiat yang keras. Mereka cenderung mudah marah dan berpikiran dangkal. Hal ini mengakibatkan tingkat kekerasan di jalanan mencari kesenangan dengan cara minum minuman keras. Minuman keras juga menjadi salah satu sumber kesenangan diantara mereka.

  Warga jalanan menganggap rasa aman merupakan sesuatu yang sulit untuk dicari ketika mereka berada di jalan. Mereka harus sering berhadapan dengan para pemeras, pencuri. “Harta” yang mereka miliki seringkali hilang/diminta dengan paksa oleh orang lain. Jalanan identik dengan kriminalitas. Hal ini mengakibatkan mereka memiliki sikap curiga yang cukup besar bila berhadapan dengan orang asing/tidak dikenal. Mereka merasa tidak aman bukan hanya terhadap para “gentho” (preman), tetapi juga terhadap pemerintah (Anak jalanan antara dit ipu dan menipu, 2007; Demonstrasi ratusan anak jalanan tuntut Walikota, 2007). Mereka sering mendapat “garukan” (penangkapan) dari pemerintah. Kehidupan di jalan membuat mereka menjadi individu yang individualis. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk bertahan hidup. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa aman bagi mereka, karena setiap anggota kelompok akan saling melindungi (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Ade, 2007).

  Warga jalanan secara ekonomi berada dalam kategori ekonomi menengah ke bawah, bahkan Sutejo, A. Andi (dalam Ade, 2000) mengatakan bahwa warga jalananan sebenarnya tidak miskin secara materi tetapi justru dari segi mental. Mereka bekerja di bidang informal, mereka bekerja sebagai buruh, pengamen, pengemis, tukang becak, pemulung. Mereka bekerja pada sosial, 2005). Pekerjaan mereka sangat tergantung dari lingkungan sosial yang ada di sekitar mereka. Mereka mendapatkan penghasilan setiap hari, akan tetapi seringkali kurang dan apabila cukup akan dipakai semua. Mereka biasanya menggunakan uang hasil pendapatan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup dan apabila ada yang sisa digunakan untuk bersenang- senang.

  Mayoritas warga jalanan adalah orang-orang yang tidak berpendidikan sehingga mereka buta huruf (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007). Pendidikan yang relatif rendah tersebut menjadikan kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005). Selain itu, hal ini mengakibatkan pengetahuan mereka cukup sempit.

  2. Karakteristik keluarga jalanan Keluarga-keluarga jalanan pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik yang sangat menonjol. Pertama, mereka bebas tanpa peraturan dan norma. Hal ini bisa berdampak pada hubungan dengan lawan jenis. Norma sosial yang ada sangat longgar bahkan cenderung tidak ada. Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial (2005) mengatakan bahwa hidup mereka tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat.

  Indrawati (2004) menyebut kebiasaan berganti pasangan dan seks bebas

  

abuse dan kekerasan seksual baik pada anak laki- laki maupun perempuan

(Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Suyanto, 2003; Ade, 2000).

  Kedua, hukum rimba. Di jalanan, orang yang paling kuat adalah pemegang ‘kekuasaan’ dan orang yang lemah adala h objek (Santoso, 2004; Indrawati, 2004). Hal ini yang mengakibatkan banyak sekali gentho/preman di jalanan. Para preman ini sering melakukan pemerasan dan kekerasan kepada pengamen atau orang–orang yang berada di jalan yang tidak memiliki “kekuasaan” (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007).

  Ketiga, nomaden dalam artian tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (Kisah anak-anak stasiun, 2007; Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005) sehingga mereka selalu berpindah-pindah (Guiness, 1985). Sifat nomaden ini berpengaruh secara langsung dengan kekuasaan administratif (RT/RW) karena mereka tidak menjadi bagian dari RT/RW. Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar dari mereka tidak memiliki identitas diri (KTP, kartu keluarga, akte kelahiran) (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005; Prasetyo dan Koestanto, 2005; “Kami dilahirkan”, 2004; Soewondo, 1985).

  Keempat, mereka bekerja dalam lapangan pekerjaan informal (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005) yang biasa dilakukan di jalanan. Keluarga jalanan biasanya bekerja sebagai pemulung, pengamen, tukang becak (Soewondo, 1985). pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005). Keenam, mereka menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka sebagai warga jalanan adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

  Ketujuh, kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang. Ada kenikmatan tersendiri dari sebagian warga jalanan yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh norma atau aturan yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis dan menggelandang menjadi salah satu mata pencaharian (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

  Kedelapan, dari segi kesehatan, mereka termasuk kategori warga negara dengan tingkat kesehatan fisik yang rendah (Pemulung TPA Piyungan penghasilan lebih baik dari buruh tani, 2007; Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007) akibat rendahnya gizi makanan dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan (Perlindungan anak masih kurang, 2007; Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

  3. Bekas keluarga jalanan Bekas keluarga jalanan adalah keluarga yang pernah tinggal di jalan dan sekarang tinggal di lingkungan masyarakat pada umumnya. Mereka menetap dalam suatu wilayah administrasi tertentu dan berbaur dengan

  4. Karakteristik masyarakat Masyarakat pada umumnya memiliki beberapa ciri yang cukup menonjol. Pertama, masyarakat mengenal norma sosial dan pranata sosial serta pihak otoritas. Fungs i dari norma, pranata dan pihak otoritas ini memberikan rasa aman dan penghormatan sebagai pribadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat hidup bersosial dengan orang lain. Salah satu contoh kehidupan bersosial dalam masyarakat adalah kegiatan gotong-royong.

  Kegiatan ini tidak menginginkan pamrih secara material (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982). Mereka hidup dalam batasan-batasan norma sosial dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Mereka akan mendapatkan sanksi atau hukuman jika melanggar norma-norma dan peraturan yang berlaku. Norma terbentuk supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan (Soekanto, 1990).

  Kedua, adanya kepemilikan identitas diri (KTP, kartu keluarga, surat nikah, kartu sehat). Dengan adanya identitas diri, mereka dengan mudah dapat mengakses fasilitas umum yang ada.

  Ketiga, pihak otoritas dalam masyarakat (aparat negara/pimpinan formal) membuat hukum yang jelas yang mengatur dan menjaga masyarakat (Sumintarsih, Wibowo, Herawati, 1991). Mereka diatur secara jelas tentang bagaimana hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang bermasyarakat.

  1992; Sumintarsih, Wibowo, Herawati, 1991). Masyarakat juga masih berpandangan bahwa di keluarga, kedudukan istri tergantung pada suami dan kedudukan anak perempuan tergantung pada ayah/saudara laki- laki (Murniati, 1992). Menurut Murniati (1992) lapisan kelompok atas menempatkan diri pada posisi mengatur dan menentukan nasib lapisan bawah.

  Magnis-Suseno (1984; 1978) melihat, dua karakteristik masyarakat Yogyakarta yang paling menonjol adalah prinsip rukun dan prinsip hormat.

  Prinsip rukun adalah prinsip yang digunakan dalam bersosialisasi agar tidak menimbulkan konflik terbuka. Prinsip rukun menjadikan segala sesuatu harmonis dan tertata. Prinsip hormat lebih menunjukkan sikap hormat kepada orang lain. Magnis-Suseno (1984) mengatakan bahwa gotong royong merupakan salah satu manifestasi dari prinsip rukun. Gotong royong memiliki maksud untuk saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa (Magnis-Suseno, 1984). Gotong royong menekankan agar orang bersedia menomorduakan kepentingan dan haknya sendiri demi kebersamaan seluruh desa (Magnis-Suseno, 1978; 1977). Sedangkan prinsip hormat juga dijunjung tinggi, bahkan merupakan unsur pokok dalam setiap situasi sosial (Geertz, 1983). Prinsip hormat ini terlihat dari tatakrama yang digunakan oleh masyarakat. Tatakrama bisa terlihat dari bahasa serta gerak tubuh individu dalam berinteraksi. Bahasa Jawa mengenal tingkatan-tingkatan yang digunakan untuk menghormati lawan bicara. Entah memakai kata-kata biasa atau kata-kata Krama Inggil, selalu ditentukan oleh status sosial diantara mereka (Geertz, 1983; Magnis-Suseno, 1977).

  5. Pandangan masyarakat terhadap keluarga jalanan Kondisi lingkungan sosial dan budaya yang ada di jalanan sangat berbeda dengan kondisi lingkungan masyarakat. Perbedaan yang sangat menonjol terlihat dari pandangan masyarakat yang negatif terhadap warga jalanan. Mereka memiliki stereotipe negatif tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan jalanan (Ertanto, 2000). Selain itu masyarakat menganggap mereka licik, tidak dapat dipercaya, mengganggu ketertiban, ketenangan umum, kebersihan serta keindahan kota, sampah masyarakat, tidak memiliki cita rasa susila (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005; Ade, 2000; Guiness, 1985). Selain hal-hal tersebut di atas, maraknya warga jalanan di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial, serta mengurangi keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005; Ade, 2000).

  Mereka akan gagal melakukan resosialisasi apabila tidak mampu bertahan dan mengubah pandangan masyarakat terhadap mereka yang berasal dari jalanan.

  Suyanto (2005) mengatakan bahwa kesulitan orang-orang ya ng ada di jalanan untuk mengubah budaya jalanan adalah karena mereka tidak memiliki konsep tentang rumah dan mereka sudah memiliki suatu nilai tersendiri tentang

  

Potensi tinggi , 2002) yang mengatakan bahwa kehidupan jalanan yang bebas

  sangat sulit untuk dialihkan ke dalam kehidupan `normal`. Pendapat Suyanto dan Wahyudi mungkin menjadi alasan yang cukup mendasar atas ketidakberhasilan bekas keluarga jalanan untuk melakukan pembauran dengan masyarakat umum.

  Berdasarkan data yang diambil dari PSP YSS, sejak tahun 2000- 2007, jumlah keluarga yang pernah tinggal di PSP YSS sebanyak 33 keluarga.

  Jumlah warga yang kembali ke jalan sebesar 60,6%, warga yang tinggal menetap di Yogyakarta sebesar 6,06 %, pulang ke rumah sebesar 18,18 %, dan transmigrasi sebesar 16,66%. Hal ini memperlihatkan bahwa mayoritas bekas keluarga jalanan kembali lagi ke jalan setelah tinggal di PSP YSS (Daftar warga PSP, tanpa tahun).

  Bekas keluarga jalanan yang mampu tinggal di masyarakat dan memiliki alamat yang tercatat di kantor PSP YSS sebesar 18,18% atau enam keluarga. Salah satu penyebab keberhasilan mereka adalah niat untuk bertahan (Nursin, wawancara pribadi, 13 Desember 2005), pemikiran ke depan dan konsep tentang bagaimana hidup di masyarakat. Mereka juga mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan, khususnya sukarelawan dari PSP YSS untuk berkembang. Keberhasilan mereka selain dukunga n sosial dari lingkungan juga dipengaruhi oleh bagaimana sikap lingkungan terhadap mereka.

  B. Resosialisasi

  1. Definisi resosialisasi Resosialisasi adalah pembelajaran baru tentang sikap, nilai, dan kebiasaan yang berbeda dari pengalaman dan latar belakang seseorang

  (Abarca, 2005; Lonsdale, 2005; Schaefer, 2001). Lonsdale (2005) mengkategorisasikan resosialisasi menjadi dua: (1) resosialisasi sukarela yang terjadi ketika seorang individu dengan sukarela memilih untuk mengubah sikap dan kebiasaannya, (2) resosialisasi paksaan yaitu resosialisasi yang terjadi melawan sikap bebas seseorang dan pada umumnya berlangsung pada suatu institusi. Berdasarkan definisi di atas, resosialisasi sukarela lebih didasarkan kepada kesadaran dari individu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Resosialisasi paksaan lebih didasarkan pada pemaksaan terhadap individu, contohnya perubahan yang terjadi di penjara dimana individu dipaksa untuk membentuk suatu pola kebiasaan baru.

  Resosialisasi sebagai proses pembelajaran baru tentang sikap, nilai, dan kebiasaan yang berbeda dari pengalaman dan latar belakang seseorang (Abarca, 2005; Lonsdale, 2005; Richard T. Schaefer, 2001) merupakan sebuah proses bagaimana seseorang menginternalisasi sebuah kebudayaan baru.

  Budaya didefinisikan sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar tentang sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang digunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus

  2. Proses akulturasi Proses internalisasi kebudayaan baru yang dilakukan dalam resosialisasi oleh Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) disebut sebagai

  Intercultural strategies diartikan sebagai proses intercultural strategies. dimana orang berusaha untuk hidup dalam dua kebudayaan. Intercultural

  strategies digunakan dalam pembahasan ini karena mayoritas bekas keluarga

  jalanan masih mencari nafkah dari jalanan. Mereka mengalami proses transisi dari kebudayaan jalanan ke kebudayaan masyarakat normal. Selama proses transisi tersebut, mereka akan mengalami perubahan tekanan secara psikologi. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) menyebutnya sebagai psychological

  acculturation. Tekanan yang dialami bisa berupa kontrol kognitif dan bagaimana mereka menilai masalah dalam konteks kebudayaan yang baru.

  Tekanan itu akan menghasilkan stres apabila tidak mampu diatasi oleh individu. Namun apabila individu mampu mengatasi tekanan, maka individu akan mampu beradaptasi.

  Akulturasi bisa terjadi antar kelompok dan antar individu. Resosialisasi mencoba melihat akulturasi yang terjadi dalam individu. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) membedakan akulturasi kelompok dan akulturasi individu. Perbedaan akulturasi kelompok dengan akulturasi individu didasari oleh dua alasan utama. Pertama, perubahan pada kelompok lebih pada perubahan budaya, ekonomi, dan kelompok politik, sedangkan pada tingkat

  Akulturasi individu adalah proses internalisasi kebudayaan baru yang mengakibatkan perubahan pada identitas seseorang, nilai dan sikap (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Proses akulturasi individu akan melalui beberapa faktor. Faktor- faktor akulturasi pada tingkat individu terbagai atas lima kelompok besar (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002); pertama, faktor perantara sebelum akulturasi; kedua, faktor perantara selama akulturasi; ketiga, pengalaman akulturasi; keempat stressors; kelima, stres. Apabila mereka mampu menjalaninya, maka mereka akan sampai pada tahap adaptasi, dimana mereka mampu bertahan dalam lingkungan masyarakat.