Pendekatan sosial dan psikologi untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga

(1)

DALAM KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Akademik Program Kualifikasi S1 Kependidikan dan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh: LESNI BOREZA NIM: 109011000008

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat

siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. "Ya Tuhan Kami, janganlah

Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami

beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.

beri ma'aflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.

Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."


(6)

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,

Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang

Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah

dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan,

yang Mengadakan, yang Membentuk Rupa, yang mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadanya apa

yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Hasyr: 22-24)


(7)

i ABSTRAK

Lesni Boreza (109011000008). Pendekatan Sosial dan Psikologi untuk Menanamkan Nilai-nilai Moral pada Remaja dalam Keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang penting dan perlu ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja, mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral dan untuk mengetahui penerapan dari pendekatan yang dipakai untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi pustaka, adapun dalam analisisnya menggunakan teknik analisis isi (Content Analisys) yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang di lakukan secara objektif dan sistematis yang berhubungan dengan pendektan sosial dan psikologi untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga. Setelah semua data telah dperoleh dan kumpulkan, maka tahap selanjutnya adalah penganalisaan secara cermat agar pembahasannya dapat tersusun secara sistematis menurut pokok pembahasannya masing-masing, ini memudahkan memberi arti terhadap data. Kemudian dirumuskan suatu kesimpulan yang dapat diuji kebenarannya.

Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa nilai-nilai moral esensial merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak mulia/karakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum remaja, ini bisa dilakukan oleh para orang tua melalui pendekatan sosial dan psikologi. Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi menyentuh perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan untuk mengamalkannya. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga perilaku yang dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial. Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran diri remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku yang menyimpang dari standar sosial. Dalam hal ini orang tua hendaknya mampu menjadikan dirinya teladan bagi anak, karena kecendongan remaja masih tinggi untuk meniru tingkah laku, cara berpakaian, cara berbicara dan bersikap terhadap sesuatu akan banyak terpengaruhi oleh hal-hal yang terlihat, terdengar, dan terbaca olehnya.


(8)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Seluruh pujian hanya milik Allah, Pencipta, Pengatur, Pendidik alam semesta. Kasih sayang-Nya tidak pernah henti tercurah kepada kita setiap saat. Rasa syukur penulis sesungguhnya juga adalah bentuk kasih sayang-Nya, karena Allah memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik, sehingga sangat mustahil penulis mampu bersyukur secara sempurna, karena setiap syukur yang penulis ucapkan memerlukan syukur lainnya yang tak mungkin berakhir.

Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw yang senantiasa mampu menunjukkan bukti kehambaannya. Mudah-mudahan penulis dapat mengikuti jejak langkah beliau dalam mendekati Allah SWT sedekat-dekatnya.

Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dan motivasi baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu memberikan masukan dan semangat kepada penulis.

3. Marhamah Sholeh, Lc. MA., selaku sekertaris jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dra. Djunaidatul Munawwarah, MA, Selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan semangat, bimbingan dan masukan dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan untuk ibu, amin.

5. Ahmad Irfan Mufid, MA., Selaku Dosen Penguji I dan Drs. Abd. Haris, M.Ag., selaku Dosen Penguji II.

6. Bapak dan ibu dosen dengan penuh keikhlasan telah memberikan pelajaran paling berharga bagi penulis.

7. Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan serta Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

iii

8. Terkhusus penulis persembahkan skripsi ini untuk ibunda tercinta Leswita dan ayahanda tercinta Supuan Cik, kakak tercinta Bogi Nopriansyah, keponakan tersayang Adelia Andini dan Chika Despi Idil Fitri. Dan terkhusus juga telah usainya kuliahku ini ku persembahkan untuk ayunda tercinta Almarhumah Nefi Hailes, salam rindu yang tak henti untukmu, serta seluruh keluarga besar lainnya, yang selalu memotivasi baik moril maupun materil, mendoakan, menyemangati, dan mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Doa penulis selalu, semoga Allah memberikan umur yang panjang, melimpahkan keberkahan dan kesehatan, serta senantiasa memuliakan keluarga kita di dunia dan di akhirat, amin. 9. Habibi tersayang Afrengki Sabta Roma beserta seluruh keluarga, atas cinta

kasih, doa dan motivasinya untuk terus berjuang dalam menjalani dan melewati setiap proses studyku. Semoga Allah selalu melimpahkan kebahagiaan dan kesehatan untuk kalian, amin.

10.Untuk teman-temanku di rumah Al-Family; Amiroh Adilah, Sari Bunga, Santi Yuniartiningsih, Annisa, Sinta, Rina dan semuanya. Terima kasih banyak dalam kebersamaan kurang lebih 3 tahun ini, semoga tali persaudaraan kita terus terjaga & sukses selalu untuk menjalankan tantangan kehidupan ataupun pendidikan selanjutnya, amin.

11.Teman-teman PAI angkatan 2009 khususnya kelas A yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga persaudaraan yang terjalin selama ini membawa kebaikan untuk kita semua, sukses selalu untuk kita semua, amin. Akhirnya, penulis hanya bisa memanjatkan doa kepada Sang Pemberi Rahmatan

Lil ‘Alamin Allah SWT, semoga segala doa, ilmu, motivasi, bantuan, serta masukan dari mereka dibalas oleh-Nya dengan beribu-ribu kebaikan dan dicatat menjadi amal ibadah. Amin.

Jakarta, 11 Juni 2015


(10)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... C.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... D.Tujuan Penelitian ... 8

E.Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A.Nilai Moral Dalam Islam ... 9

1. Pengertian Nilai Moral ... 9

2. Sumber Nilai Moral... 13

B.Konsep Keluarga dalam Islam ... 15

1. Pengertian Keluarga ... 15

2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga .. 16

3. Interaksi Harmonis dalam keluarga ... 20

C.Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya ... 25

1. Pengertian Remaja ... 25

2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja ... 28

a.Perkembangan Fisik ... 29

b.Perkembangan Emosi ... 31

c.Perkembangan Kecerdasan ... 32

d.Perkembangan Jiwa Sosial ... 33

e.Perkembangan Keberagamaan ... 34

1) Percaya turut-turutan. ... 36

2) Percaya dengan kesadaran ... 36

3) Kebimbangan Beragama ... 37

4) Tidak Percaya Kepada Tuhan ... 38


(11)

v

E.Penelitian yang Relevan ... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Waktudan Objek Penelitian ... 50

B.Metode Penelitian ... 53

C.Fokus Penelitian ... 55

D.Prosedur Penelitian ... 55

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Nilai-nilai Moral Esensial Bagi Remaja ... 57

1. Jujur ... 57

2. Disiplin ... 59

3. Percaya Diri ... 61

4. Peduli... 63

5. Mandiri ... 64

B.Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilai-nilai Moral bagi Remaja ... 66

1. Pendekatan Sosial... 66

a. Imitasi ... 67

b. Sugesti ... 68

c. Identifikasi ... 69

2. Pendekatan Psikologi ... 70

a. Teori Penalaran ... 71

b. Teori Perilaku Moral (behavior) ... 74

c. Teori Kata Hati ... 76

C.Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk Penanaman Nilai-nilai Moral Remaja dalam Keluarga ... 78

1. Peran hukum, kebiasaan dan peraturan dalam perkembangan moral ... 81

2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral ... 83

3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan moral ... 87


(12)

vi

4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 95 B.Saran ... 96


(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat suatu pandangan “Tegaknya suatu bangsa tergantung pada moralnya, dan runtuhnya moral bangsa tergantung pada penghayatan dan pengamalan pada agama.” Paradigma di atas relevan dengan diutusnya para Nabi dan Rasul, dengan salah satu tugasnya untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

                               

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:21)1

Dari generasi ke generasi masyarakat suatu bangsa akan mengalami pertumbuhan yang berbeda di mana kualitas masyarakatnya akan ditentukan oleh pengalaman dan pembelajaran yang berkualitas pula, begitu juga sebaliknya. Salah satu indikator yang menentukan kualitas suatu generasi masyarakat ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh baik itu melalui pendidikan formal, informal maupun pendidikan non formal. Secara teoritik, penanaman akhlak atau pun moral pada anak juga harus diterapkan dalam berbagai lingkungan pendidikan.

Dewasa ini pendidikan di Indonesia diarahkan pada pembinaan karakter bangsa, berkaitan dengan ini Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 2010-2014 telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh jenjang pendidikan di Indonesia mulai tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan

1Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004), cet. 5,


(14)

Tinggi (PT) dalam sistem pendidikan di Indonesia.2 Dalam implementasinya pendidikan karakter merupakan upaya pembimbingan perilaku siswa agar mengetahui, mencintai dan melakukan kebaikan. Fokusnya pada tujuan-tujuan etika melalui proses pendalaman apresiasi dan pembiasaan.

Kemudian setelah itu turunlah kurikulum 2013 yang selain berisi deskripsi Kompetensi Dasar, berisi pula Kompetensi Inti dan Struktur Kurikulum. “Kompetensi Dasar dikembangkan dari Kompetensi Inti, sedangkan pengembangan Kompetensi Inti mengacu pada Struktur Kurikulum”.3 Kompetensi Inti merupakan kompetensi yang mengikat berbagai Kompetensi Dasar ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran. Kompetensi Inti harus dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas.

Dari pernyataan di atas telah terlihat bahwa ini menandakan telah terjadinya krisis moral dan merosotnya nilai-nilai positif bangsa kita, yang pada akhirnya hal ini menjadi kekhawatiran untuk kita semua. Diantaranya masalah-masalah yang telah menggejala di tengah masyarakat, dapat dilihat pada problem tentang penanaman moral di instansi keluarga: Keluarga pada saat ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan anak agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.4

Kini hubungan orang tua dan remaja cenderung menjadi renggang, karena lingkungan makin luas dan kesibukan orang tuapun semakin tinggi. Hingga

2

Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012), h. 2

3

Kompas.com. oleh Mohammad Nuh, Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret

2014), http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013

4

Kristi Wardani, Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara, Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, (Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010), h. 231


(15)

hubungan remaja dengan lingkungan luarpun semakin luas pula. Hal ini menyebabkan pertemuan remaja dengan orang tua semakin berkurang, karena itu kesempatan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama dan norma pada remaja juga semakin berkurang. Dengan kata lain, peran institusi keluarga menjadi tidak kokoh lagi atau tidak solid. Kemudian cara yang memberikan kebebasan kepada anaknya, egois orang tua karena pandangan liberal telah menjamur di masyarakat, gaya hidup orang tua yang glamour, ketidaktauan tentang penanganan dalam penanaman moral pada remaja, juga tidak adanya keteladanan dari keluarga terutama kedua orangtua, hal inilah yang sering terjadi dalam suatu keluarga di tengah-tengah masyarakat.

Kemudian dilihat pada problem kecenderungan remaja berprilaku yang melanggar nilai-nilai moral;

Kurangnya sopan santun kepada orang tua dan yang lebih tua darinya, adab berpakaian, pergaulan antara laki-laki dan perempuan seolah-olah tidak ada lagi batasan-batasannya. Budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat dari remaja, dari mulai gaya hidup modern yang konsumeris-kapitalistik dan hedonis yang tidak didasari akhlak dan budi pekerti yang luhur dari bangsa ini cepat masuk dan mudah ditiru oleh generasi muda.5

Perilaku negatif yang lainnya, seperti tawuran, anarkis, sikap cepat marah, ikut dalam geng-geng motor, kemudian terbaru lagi belakangan ini ada yang namanya cabe-cabean menjadi budaya baru remaja yang dapat membuat resah masyarakat, bahkan pada taraf tertentu menjadi tindakan anarkis, sampai ada yang menjadi korban atau terbunuh, dan lain-lain. Premanisme ada di mana-mana, emosi meluap-luap, cepat tersinggung, serta ingin menang sendiri menjadi bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat sendiri terutama di kalangan remaja. Tindak anti sosial dan peraturan, kejahatan mencuri ataupun menyakiti orang lain, menodong, bahkan membajak bus umum pelakunya adalah pelajar sekolah. Salah satu contoh; Puluhan pelajar SMA Negeri 46 Jakarta ditangkap aparat kepolisian karena membajak bus Kopaja untuk tawuran dikawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aksi pembajakan tersebut gagal

5

Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, h. 160


(16)

dilakukan karena sopir Kopaja dengan berani membelokan kendaraannya kedalam kantor polisi. Tidak hanya membajak, mereka mempersenjatai diri dengan berbagai senjata yang mampu melukai dan melumpuhkan pelajar sekolah lain, misalnya sabuk gir motor.6 Entah apa yang ada di benak para pelajar SMA Negeri 46 Jakarta yang telah diamankan di Mapolsek Metro Kebayoran Baru ini. Waktu jam pelajaran yang harusnya berada di kelas, mereka manfaatkan justru untuk menyerang pelajar sekolah lain. Yang lebih parah lagi, penyerangan dilakukan dengan membajak sebuah bus Kopaja yang sedang beroperasi.

Kenyataan lain yang juga menunjukkan adanya indikator kemerosotan moral yaitu banyaknya terjadi kasus peredaran narkoba dan kasus pelecehan seksual yang dilakukan juga oleh pelajar sekolah. Dalam hal ini, terjadinya pelaku pengedar dan pemakai narkoba di antaranya adalah kalangan pelajar, sementara pelecehan seksual juga terjadi di kalangan remaja, hal ini sebagai akibat dari pergaulan bebas.

Di Indonesia pada tahun 1980-an hanya terdapat 80.000 sampai 130.000 kasus penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), namun pada tahun 2008 telah meningkat menjadi sekitar 5 juta kasus penyalahgunaan napza. Pemerintah melihat semakin berbahayanya persoalan napza ini. Hal ini dikemudian hari mendorong lembaga- lembaga swadaya masyarakat untuk ikut terlibat dalam menanggulangi masalah napza ini seperti Granat, kelompok No-Drugs, dan Lain-lain. Kelompok yang menjadi sasaran Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) adalah generasi muda yang merupakan calon-calon pemimpin bangsa. Apa jadinya jika generasi muda tidak sibuk untuk meraih prestasi tertinggi, tetapi malah asik dalam penyalahgunaan napza.7

Siti Alfiasih, Kasubdit Masyarakat BNN mengatakan “saat ini (tahun 2013) diperkirakan 4 juta orang yang menjadi penyalahguna narkoba di Indonesia.

6

Dedi Irawan. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk

Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuk-tawuran_111160.html)

7

Humanitas, Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi


(17)

Pada tahun 2015, diproyeksikan angka ini akan meningkat sampai sekitar 5,1 juta orang. Bila tanpa ada kemampuan masyarakat untuk menolak, katanya, maka angka ini akan terlampaui dan menimbulkan dampak buruk yang lebih besar bagi Indonesia”.8

Kemudian berdasarkan beberapa data mengenai pergaulan bebas di kalangan remaja, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan keperawanannya saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2 persen di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Bagi mereka aborsi dilakukan sebagai jalan keluar akibat dari perilaku seks bebas.9 Pergaulan seks bebas di kalangan remaja Indonesia saat ini sungguh sangat ironis dan memprihatinkan.

Begitulah dalam kehidupan sekarang ini, generasi muda banyak berbuat sesuatu diluar pemikiran akal sehatnya karena tidak dilandasi iman yang kuat. Kasus peredaran narkoba melibatkan para remaja juga pelajar, demikian pula kasus tawuran antar pelajar tadi, penyimpangan yang dilakukan generasi muda tidak lepas dari pengaruh perkembangan kehidupan kejiwaannya yang sedang mengalami kegoncangan akibat perubahan atau berada pada masa transisi, baik dari segi jasmani maupun rohaninya yang berjalan begitu cepat. Kegoncangan pada jiwa tersebut menimbulkan berbagai keresahan yang menyebabkan labilnya pikiran, perasaan, dan kemauan begitu juga keyakinan terhadap Tuhan berubah-ubah sesuai dengan kondisi emosinya yang tidak stabil. Sebenarnya yang lebih berbahaya justru yang timbul pada diri dari masing- masing setiap orang itu sendiri.10

8

M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-Jumlah-Pengguna-Narkotika-Capai-5)

9

Puspitawati Herien, Seks Bebas di Kalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa),

Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02 Feb 2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalangan-remaja-pelajar.html)

10


(18)

Memperhatikan kasus-kasus tersebut di atas, jelas bahwa penanaman moral pada remaja tidak secara tiba-tiba ditanamkan di lingkungan sekolah (institut formal), tetapi jauh dari sebelumnya sudah harus ada penanaman nilai-nilai moral untuk bekal remaja pada lingkungan keluarga (institut informal). Untuk itu para pendidik khususnya para orang tua, perlu menguasai beberapa pendekatan dalam penanaman moral, baik secara persuasif mau pun normatif berdasarkan nilai-nilai agama Islam, melalui interaksi yang efektif, antara lain melalui pendekatan sosial dan pendekatan psikologi. Maka skripsi ini dimaksudkan untuk menjadi rambu-rambu teoritik penanaman nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga. Lebih jelasnya dengan skripsi yang berjudul:

“PENDEKATAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI UNTUK MENANAMKAN

NILAI-NILAI MORAL PADA REMAJA DALAM KELUARGA”

B. Identifikasi Masalah

Seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Masuknya budaya asing yang negatif, dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian remaja, terutama di kalangan mereka yang tidak dibekali dengan nilai-nilai moral agama yang kuat sebagai filter.

2. Kurangnya kepekaan orangtua terhadap emosi anak (remaja), yang mana di usia remaja mereka harus mendapatkan perhatian khusus dan arahan dalam membentuk kepribadian yang baik.

3. Banyaknya kasus-kasus pelanggaran nilai-nilai moral dan sosial yang terjadi pada usia remaja di Indonesia karena orang tua kurang memperhatikan pendidikan agama Islam untuk anak (remaja).

4. Terjadinya komunikasi yang kurang baik antara orangtua dan anak, mengakibatkan kurangnya pendekatan persuasif dan interaksi yang baik. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang menggambarkan luasnya persoalan moral remaja, penulis memberikan batasan masalah pada:

1. Nilai-nilai moral yang penting ditanamkan kepada anak khususnya usia remaja dalam keluarga yaitu meliputi:


(19)

a. Jujur b. Disiplin c. Percaya Diri d. Peduli e. Mandiri

Kemudian yang dimaksud nilai moral di sini adalah tidak hanya yang dipandang oleh masyarakat, tetapi juga yang terkandung dalam ajaran Agama Islam seperti Al-Qur’an dan Hadis.

2. Analisis terhadap penanaman nilai-nilai moral di atas, yaitu ditinjau dari pendekatan sosial dan psikologi.

a. Pendekatan sosial yang dimaksud adalah ditekankan pada interaksi dalam keluarga antara orangtua dan anak (remaja), baik berupa penciptaan kondisi dalam keluarga, sehingga terjadinya proses imitasi, sugesti hingga identifikasi pada anak (remaja). Ini akan dikembangkan melalui teori interaksi sosial.

b. Pendekatan psikologi yang dimaksud adalah ditekankan pada persiapan mental remaja, dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan secara rasional, pengendalian perilaku moral (behavior) dan pembentukkan kata hati, dalam membentuk sikap/perilaku, sehingga terlahirlah kepribadian.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, supaya tidak terjadi perbedaan interpretasi dan pemahaman, maka masalah ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Nilai-nilai moral apa saja yang penting ditanamkan pada anak dalam keluarga

khususnya pada usia remaja?

2. Bagaimanakah cara menanamkan nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga khususnya di usia remaja?

3. Bagaimana implementasi pendekatan sosial dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga khususnya di usia remaja?

4. Bagaimana implementasi pendekatan Psikologi dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga khususnya pada di usia remaja?


(20)

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang penting dan perlu

ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja dalam keluarga.

2. Untuk mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak khususnya untuk usia remaja.

3. Untuk mengetahui penerapan dari pendekatan yang dipakai dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak khususnya untuk usia remaja.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yakni secara teoritis dan secara praktis.

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dikalangan akademis khususnya Ilmu Pendidikan Agama Islam untuk mengungkap kompleksitas terkait berbagai permasalahan perilaku menyimpang bermasyarakat pada remaja. (Teoritis).

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi masyarakat umum terutama untuk para orangtua (keluarga) agar lebih memperhatikan keadaan serta perkembangan anak dengan memasukkan hal-hal yang bersifat positif untuk menjadi faktor terpenting dalam membantu memberikan arahan yang baik untuk remaja. (Praktis).

3. Sebagai bahan untuk menentukan pendekatan yang tepat dalam memberikan contoh yang baik untuk remaja. (Praktis).


(21)

9

BAB II KAJIAN TEORI

A. Nilai Moral Dalam Islam 1. Pengertian Nilai Moral

“Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterkaitan maupun perilaku.”11

Mohammad Noor Syam menyatakan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, bahwa “nilai adalah suatu penetapan atau kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.”12

“Nilai merupakan implikasi hubungan yang diadakan manusia yang sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai dirasakan dalam diri masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai pada suatu tingkat, dimana sementara orang-orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.”13

Menurut Muhammad Djunaidi Ghony dalam bukunya “Nilai Pendidikan”, menyimpulkan bahwa nilai itu mempunyai 4 macam arti, antara lain:

a. Bernilai, artinya berguna

b. Merupakan nilai, artinya baik, benar atau indah

c. Mengandung nilai, artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang menimbulkan sikap setuju serta suatu predikat

d. Memberi nilai, artinya memutuskan bahwa sesuatu itu diinginkan atau menunjukkan nilai.14

11

Zakiah Darajat, Ahmad Sajali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan

Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 260

12

Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan

Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133

13

Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.

114-115

14

Muhammad Djunaidi Ghony, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h.


(22)

Definisi nilai menurut M. Ali dan M. Asrori “nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu”.15 Dalam perspektif ini, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan.

Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan diyakini kebenarannya serta mendorong orang untuk mewujudkannya bagi kehidupan manusia sebagai acuan tingkah laku. Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.

Perilaku Moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Menurut Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Perkembangan Anak”, “Moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti tatacara, kebiasaan dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok”.16 Sedangkan menurut Moh. Toriquddin, “moral berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan sesuatu perbuatan”.17

Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.18 Maksudnya adalah nilai dan norma moral yang bersumber dari adat istiadat dan budaya bermasyarakat. Misalnya perbuatan seseorang dikatakan tidak bermoral, maksudnya bahwa perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.

15

Mohamad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta

didik”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. 7, h. 134

16

Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke-6, h. 74

17Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia modern”,

(Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1, h. 11

18


(23)

Dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang memuat ajaran tentang baik buruknya suatu perbuatan, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Secara umum moral itu berasal dari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.

Masalah moral itu sendiri adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan moral seseorang mengganggu ketenteraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang rusak moralnya, maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu.

Secara dinamis, nilai moral dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Jadi nilai moral merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.

Nilai moral dalam Islam disebut akhlak. “Akhlak ialah bentuk jamak dari khuluk (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at. Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika. Sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan asas-asas akhlak (moral)”.19 Jadi khuluk merupakan gambaran sifat batin manusia, kondisi mental yang mendorong perbuatan dengan mudah, tanpa pemikiran dan alasan-alasan, dalam artian adalah spontanitas.

“Akhlak adalah keadaan jiwa yang menyebabkan munculnya perbuatan -perbuatan tanpa pertimbangan yang mendalam”. 20 Pada dasarnya akhlak merupakan tingkah laku dan gerak-gerik seseorang yang sering dilakukan. Misalnya, tingkah laku dan gerak-gerik seseorang ketika bertemu dengan orangtuanya, orang yang lebih tua, temannya baik laki-laki ataupun perempuan, saudaranya, Tuhannya, dirinya atau bahkan dengan lingkungannya. Karena,

19

M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah,

2007), cet. 1, h. 2-3

20

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia,


(24)

memang objek akhlak itu bukan hanya dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya, akan tetapi juga dalam hubungannya dengan Tuhan, alam sekitar dan dirinya sendiri.

Dalam hubungan ini Abudin Nata berpendapat dalam bukunya “akhlak tasawuf” yaitu:

Bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk. Tetapi tidak semua amal yang baik atau buruk itu dapat dikatakan perbuatan akhlak. Banyak perbuatan yang tidak dapat disebut perbuatan akhlaki, dan tidak dapat dikatakan perbuatan baik atau buruk. Perbuatan manusia yang dilakukan atas dasar kemauannya atau pilihannya seperti bernafas, berkedip, berbolak-baliknya hati dan terkejut ketika tiba-tiba terang sebelum gelap tidaklah disebut akhlak, karena perbuatan tersebut yang dilakukan tanpa pilihan.21

Akhlak dapat ditarik kesimpulan sebagai ilmu tata krama, yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam.

Moral (akhlak) memiliki kaitan erat dengan keimanan (aqidah). Bahkan seringkali disebut bahwa akhlak itu buah dari iman, karena orang yang kuat imannya, akan terpelihara perbuatan-perbuatannya dari hal-hal yang keji dan rendah, dan sebaliknya juga orang yang buruk moralnya (berbuat keji dan rendah) menunjukkan ketidaksempurnaan imannya. Oleh sebab itu nilai-nilai moral dalam Islam adalah nilai-nilai yang bersumber dalam ajaran Islam itu sendiri.

Bahkan menurut Islam akhlak merupakan tolak ukur dari nilai keimanan seseorang, semakin baik akhlak seseorang maka semakin sempurna pula imannya. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw:

Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya

(akhlaknya)”.22

21

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5, h. 6

22


(25)

Bahkan kesempurnaan akhlak adalah sebagai tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad saw. seperti dalam hadits:

“Sesungguhnya aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan

kemuliaan akhlak.” (H.R Maliki).23 2. Sumber Nilai Moral

Moral dalam Islam (akhlak), tidak terbatas pada adat istiadat dan budaya yang ada dalam masyarakat, akan tetapi mendahulukan nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Adapun M. Yatimin Abdullah menegaskan bahwa “sumber ajaran moral (akhlak) yang utama ialah Al-Qur’an dan hadis”.24 Tingkah laku Nabi Muhammad saw merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia. Ini ditegaskan oleh Allah dalam A-Qur’an:

                               

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)25

Hadis Rasulullah saw meliputi perkataan dan tingkah laku beliau, merupakan sumber akhlak yang kedua setelah Al-Qur’an. Segala ucapan dan perilaku beliau senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:                   

Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm [53]: 3-4)26

23

Ibid., h. 7

24

Ibid., h. 4

25

Departemen Agama, loc. cit.

26


(26)

Dalam ayat lain Allah memerintahkan agar selalu mengikuti jejak Rasulullah saw dan tunduk kepada apa yang dibawa oleh beliau. Allah SWT berfirman:                              

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukuman-Nya”. (QS. Al-Hasyr [59]: 7)27

Kemudian Zakiyah Daradjat menegaskan bahwa sumber nilai yaitu: 1. Nilai yang Ilahi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

2. Nilai yang duniawi yaitu ra’yu (pikiran), adat istiadat dan kejadian alam.28 Bagi umat Islam, “sumber nilai yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah hanya digunakan sepanjang tidak menyimpang atau yang menunjang sistem nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah”.29 Allah SWT berfirman:                              

Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikauti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (QS. Al-An’am [6]:153)30

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa sumber nilai moral bisa berasal dari hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks pendidikan Islam, maka sumber nilai moral yang paling utama adalah Al-Qur’an dan As-sunnah Nabi Muhammad saw, yang kemudian dikembangkan menjadi nilai-nilai hasil ijtihad para ulama, dan nilai-nilai yang terimplementasi dalam kehidupan budaya umat Islam.

27

Ibid., h. 436

28

Zakiah Darajat dan Ahmad Sajali, dkk, op. cit., h. 262

29

Ibid., h. 262

30


(27)

B. Konsep Keluarga dalam Islam

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan suatu unit yang terdiri dari beberapa orang yang masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan tertentu. Keluarga itu dibina oleh sepasang manusia yang telah sepakat untuk mengarungi hidup bersama dengan tulus dan setia, didasari keyakinan yang dikukuhkan melalui pernikahan, dipateri dengan kasih sayang, ditujukan untuk saling melengkapi dan meningkatkan diri dalam menuju ridha Allah SWT.31

Menurut Abu Ahmad, “keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan primary group, kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat”.32

“Keluarga adalah multibodied organism, organism yang terdiri dari banyak badan. Keluarga merupakan satu kesatuan (entity) atau orginisme, mempunyai komponen-komponen yang membentuk organisme keluarga itu”.33 Komponen-komponen tersebut ialah anggota keluarga.

Sedangkan menurut pandangan agama Islam, terbentuknya lembaga keluarga bermula pada saat seseorang membutuhkan orang lain, yang dapat mendampinginya, ikut memikul bebannya dan saling tolong menolong di dalam merealisasikan tugas-tugas pengabdiannya terhadap Allah SWT.34

Sebagaimana Firman Allah SWT yang berbunyi:

                                    

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu

31

Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI,

2011), Cet. 1, h.19

32

Abu Ahmad, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 87

33

Ulfatmi, loc. cit., h. 19

34


(28)

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S Ar-Rum [30]: 21)35

Keluarga dapat diterjemahkan juga ke dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit pengertian keluarga didasarkan pada hubungan darah yang terdiri atas ayah, ibu dan anak, yang disebut dengan keluarga inti. Sedangkan dalam arti yang luas, semua pihak yang ada hubungan darah sehingga tampil sebagai clan atau marga yang dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama keluarga atau marga. Sementara itu arti keluarga dalam hubungan sosial tampil dalam berbagai jenis, ada yang kaitannya dengan silsilah, lingkungan kerja, mata pencaharian, profesi dan sebagainya.36

Ulfatmi menyebutkan lima ciri khas keluarga sebagai berikut:

a. Adanya hubungan yang berpasangan antara kedua jenis (pria dan wanita) b. Dikukuhkan oleh suatu pernikahan

c. Adanya pengakuan terhadap keturunan (anak) yang dilahirkan dalam rangka hubungan tersebut

d. Adanya kehidupan ekonomis yang diselenggarakan bersama e. Dilaksanakannya kehidupan berumah tangga37

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat yang bersifat langsung, artinya oleh keturunan darah perkawinan. Sebagai kelompok primer yang penting dalam masyarakat serta kesatuan sosial yang utuh, maka disitulah tahap awal proses permasyarakatan serta penanaman nilai-nilai moral pada remaja, melalui interaksi tersebut maka didapatkan pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai emosi serta sikap dalam hidup dan dengan itu akan didapatkan ketenangan dan ketentraman.

2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga

Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh keluarga dipengaruhi oleh kebudayaan sekitar dan intensitas keluarga dalam turut sertanya dengan kebudayaan dan lingkungannya, keyakinan, pandangan hidup dan sistem nilai

35

Departemen Agama, op. cit., h. 324

36

Ulfatmi, op.cit., h. 20

37


(29)

yang menggariskan tujuan hidup serta kebijaksanaan keluarga dalam rangka melaksanakan tata laksana fungsi dan tanggung jawabnya.

Sebenarnya, keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan. Keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya sendiri.

Melihat unsur-unsur yang terkandung dalam keluarga, maka keluarga akan memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi Religius b. Fungsi Biologis c. Fungsi Edukasi d. Fungsi Sosialisasi

e. Fungsi Afeksi dan Perasaan f. Fungsi Ekonomis

g. Fungsi Rekreasi

h. Fungsi proteksi atau Perlindungan38

“Dalam kajian tentang pendidikan dalam keluarga, fungsi edukatiflah yang paling menonjol. Tetapi dalam implementasinya, terlaksananya fungsi edukatif ini sangat dipengaruhi oleh terealisirnya fungsi-fungsi keluarga lainnya yaitu fungsi affeksi, proteksi, sosialisasi, religius dan sebagainya”.39 Pelaksanaan edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orang tua. Sebagai salah satu momen dari tri pusat pendidikan, keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Iklim lingkungan keluarga, sikap dan kebiasaan hidup semua anggota keluarga, keberagamaan dalam keluarga, akan memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian remaja kelak.

Zakiah Daradjat menegaskan tentang peran keluarga sebagai lembaga pendidikan dalam salah satu tulisannya;

38

Ibid., h. 21

39


(30)

Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula. Jika tidak, maka akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam keluarga amat penting. Dialah yang mengantarkan dan membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga. Menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya.40

Dalam membicarakan pasal tempat-tempat pendidikan, memang benar bahwa rumah tangga dan masyarakat termasuk dalam kategori wadah dilaksanakannya pendidikan. Rumah tangga, memiliki pengaruh yang lebih dalam pendidikan terutama dalam aspek pengaruh bahasa dan percakapan, moral dan perilaku, perasaan dan sebagainya.

Sejalan dengan hal itu, maka sebagai wadah dimana pendidikan dilaksanakan, rumah tangga atau keluarga berfungsi dan mempunyai tanggung jawab dalam tiga hal penting:

a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.

b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa.

c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.41

Pendidikan anak secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh orang tua bahkan anggota keluarga lainnya, namun pengaruh dan akibatnya sangatlah besar. Terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupan anak atau pada masa balita (di bawah lima tahun). Pada umur tersebut pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait kepada panca inderanya dan belum bertumbuh pemikiran logis atau maknawinya (abstrak), atau dapat kita katakan bahwa anak masih berpikir inderawi.

Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga terutama para orang tua untuk lebih memperhatikan dan memahami ciri-ciri anak pada umur-umur tertentu dan mengetahui keperluan utama anak pada berbagai tahap umur-umur,

40

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV

Ruhama, 1994), h. 47

41


(31)

hal ini guna mencapai tujuan dan fungsi-fungsi pendidikan dalam keluarga, yang salah satunya adalah mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasanya yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa. Karena dalam kondisi apapun pada dasarnya manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan, dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya berjalan secara baik dan benar.

Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih dan sayang para orang tua kepada anak-anaknya, hingga secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi dan membimbing keturunan mereka.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan anak. Perkembangan agama adalah terjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia sangat kompleks. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah, agama itu dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Rasul yang mulia menekankan tanggung jawab itu kepada kedua orang tua.42

Berkaitan dengan perkembangan agama, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orangtuanya.

Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada agama. Karena itu dalam

42

Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), Cet.


(32)

pembinaan anak khususnya generasi muda, perlulah kehidupan moral dan agama itu sejalan dan mendapat perhatian yang serius terutama bagi kedua orang tua.43

Dalam pendidikan dan pembinaan generasi muda, peranan wanita sangat penting, karena seorang ibulah biasanya yang paling lama berada di rumah di sisi anak-anaknya dan pembinaan itu berarti pembinaan segala aspek dari kehidupan mereka, terutama pembinaan pribadi yang mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Di samping itu perlu kita sadari bahwa pembinaan pribadi dan moral itu terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran dan pengalaman/perlakuan yang diterimanya. Atau melalui pendidikan dalam arti yang luas. Maka semakin besar umur si anak semakin banyak ia bergaul dengan ibunya dan semakin banyaklah ia menyerap pengalaman yang akan ikut membina pribadinya dari ibunya sendiri. Namun, tidak bisa kita pungkiri, bahwa peranan seorang bapak yang sebagai kepala rumah tangga (pemimpin) juga sangat penting peranannya bagi anak-anaknya.

Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah SWT, dan setiap amanat wajib dipertanggung jawabkan. Karena itu kedua orang tua memiliki tanggung jawab yang besar bagi anak-anaknya, terutama dalam penyelenggaraan pendidikan dalam keluarga dan pembinaan pribadinya. Peran kedua orangtua dalam pendidikan anak menjadi dasar bagi perkembangan pola pikir, perilaku dan sikap anak yang terbentuk, dengan harapan anak-anak yang tumbuh nanti menjadi anak yang shaleh dan berbudi pekerti baik.

3. Interaksi Harmonis dalam keluarga

Masyarakat merupakan ajang hidup anak remaja di samping keluarga dan lingkungan sekolah. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang sudah cukup lama mengadakan interaksi sosial dalam kehidupan bersama yang diliputi oleh struktur serta sistem yang mengatur kehidupan. Disamping itu di dalamnya terdapat pula kebudayaan dan salah satu unsur pokok masyarakat, yakni: Solidaritas sosial. Di dalam kehidupan manusia pastinya terjadi interaksi sosial di

43


(33)

antara individu dengan individu yang masing-masing mamiliki kesadaran dan pengertian tentang hubungan timbal balik tersebut.44

Adanya kesadaran dan pengertian akan tercerminnya dalam sifat kehidupan sehari-hari mereka yang satu sama lainnya merasa saling bergantung. Memang di dalam kehidupan sehari-hari seorang individu ternyata jarang sekali untuk mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara sendiri. Dengan demikian hubungan manusia dengan manusia lainnya di dalam masyarakat memerlukan perekat dan bekal agar hubungan tersebut terjalin dengan baik dan akrab. Agar dapat menjalin hubungan dengan baik antar sesama individu, maka peranan keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal individu sangat dibutuhkan.

Seperti halnya yang telah kita ketahui sebelumnya, keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya. Anak-anak inilah yang nantinya berkembang dan mulai bisa belajar melalui pengenalan itu. Apa yang dilihatnya, pada akhirnya akan memberinya suatu pengalaman individual. Dari situlah ia mulai dikenal sebagai individu. Individu ini pada tahap selanjutnya mulai merasakan bahwa telah ada individu-individu lainnya yang berhubungan secara fungsional. Individu-individu tersebut adalah keluarganyalah yang memelihara cara pandang dan cara menghadapi masalah-masalahnya, membinanya dengan cara menelusuri dan meramalkan hari esoknya untuk mempersiapkan pendidikan, keterampilan dan budi pekertinya. Akhirnya keluarga menjadi semacam model untuk mengidentifikasikan sebagai keluarga menjadi yang broken home, moderate atau keluarga yang harmonis.

Keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal anak, sangat berpengaruh secara langsung terhadap perkembangannya sebelum maupun sesudah terjun langsung secara individual di masyarakat. Jadi sebagian besar anak dibesarkan oleh keluarga, di samping itu kenyataan menunjukkan bahwa di dalam keluargalah anak mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang pertamakali. Pada dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil, akan

44

Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), cet. 1, h. 16-17


(34)

tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di dalam mendidik dan membina anak, dengan demikian seluk beluk kehidupan keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan anak dan remaja.

Sudarsono menjelaskan, “sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan juga untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga, maka sepantasnyalah ketika kemungkinan adanya deviasi pada perkembangan anak khususnya remaja sebagian besar pula bisa berasal dari keluarga.”45

Dalam kenyataannya sering terjadi hubungan individu dengan individu atau bahkan hubungan individu dengan kelompok mengalami gangguan yang disebabkan karena terdapat seorang atau sebagian anggota kelompok di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain, gangguan-gangguan yang terjadi tidak jarang muncul dari perbuatan-perbuatan anak remaja yang tidak terpuji serta mengancam hak-hak orang lain di tengah-tengah masyarakat, antara lain:

a. Mengancam hak milik orang lain misalnya: pencurian, penipuan dan penggelapan.

b. Mengancam hak-hak hidup dan kesehatan orang lain, seperti: pembunuhan dan penganiayaan.

c. Mengancam kehormatan orang lain dan bersifat tidak susila, seperti: pemerkosaan dan perzinahan.46

Perbuatan-perbuatan anak remaja tersebut pada akhirnya akan menimbulkan keresahan sosial sehingga kehidupan di dalam keluarga karena perbuatan si remaja tadi dan dalam masyarakat tidak harmonis lagi, ikatan solidaritas menjadi runtuh. Secara yuridis formal perbuatan-perbuatan mereka jelas melawan hukum tertulis atau undang-undang. Kemudian jika ditinjau dari segi moral dan kesusilaan, perbuatan-perbuatan tersebut melanggar moral, menyalahi norma-norma sosial dan bersifat anti susila. Kenakalan remaja yang dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat, sebenarnya bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri, kenakalan remaja akan muncul karena beberapa

45

Ibid., h. 20

46


(35)

sebab, baik karena keadaan lingkungan masyarakat dan terlebih bisa juga karena keadaan keluarga si remaja.

Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya kenakalan remaja itu bersifat kompleks. Di antaranya kondisi tersebut dapat terjadi karena kelahiran anak di luar perkawinan yang syah menurut hukum atau agama. Di samping itu kenakalan anak atau remaja juga dapat disebabkan keadaan keluarga yang tidak normal, yang mencakup keadaan ekonomi keluarga, terutama menyangkut keluarga miskin atau keluarga yang menderita kekurangan jika dibandingkan dengan keadaan ekonomi penduduk pada umumnya. Bahkan sering terjadi dalam keadaan mendesak seluruh anggota keluarga ikut mencari nafkah untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi keluarga seperti ini biasanya memiliki konsekuensi lebih lanjut dan kompleks terhadap anak-anak, antara lain: hampir setiap hari anak terlantar, biaya sekolah anak-anak tidak tercukupi, di samping itu biaya kebutuhan lainnya juga tidak tercukupi. Akibatnya akan kompleks pula, dalam kondisi yang serba sulit dapat mendorong anak atau remaja menjadi sembarangan bergaul, kemudian bisa terpengaruh gaya hidup temen sebayanya, sehingga bisa menjadi penyebab deviasi pada perkembangan anak dan remaja.47

Dalam perspektif teori sosial-psikologi memandang bahwa kebutuhan-kebutuhan remaja itu adalah berkaitan erat dengan pemuasan kebutuhan-kebutuhan mereka dalam kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan psikologi yang pokok akan mengarahkan tercapainya rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, adalah sebagai berikut:

a. Kebutuhan untuk menerima afeksi dari kelompok atau individu lain, meliputi: 1) Menerima rasa kasih sayang dari keluarga atau orang lain di luar

kehidupan keluarga

2) Menerima pemujaan atau sambutan hangat dari teman-temannya 3) Menerima penghargaan dan apresiasi dari guru dan pendidik lainnya. b. Kebutuhan untuk memberikan sumbangan kepada kelompoknya, meliputi:

1) Menyatakan afeksi kepada kelompoknya 2) Turut serta memikul tanggung jawab kelompok

47


(36)

3) Menyatakan kesediaan dan kesetiaan kepada kelompok 4) Menghayati keberhasilan dalam kelompok

c. Kebutuhan untuk memahami

d. Kebutuhan untuk mempelajari dan menyelidiki sesuatu

Jika dikaji lebih lanjut tentang interaksi dalam keluarga. Keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan remaja. Untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam keluarga, di antaranya memang diperlukan penciptaan suasana yang baik adalah usaha menciptakan terwujudnya saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling percaya dan saling menyayangi di antara suami isteri dan antara seluruh anggoata keluarga lainnya.48

Untuk pencapaian tujuan tersebut maka setiap rumah tangga dituntut untuk memiliki pola pembinaan terencana untuk keluarga khususnya terhadap anak. Di antara pola pembinaan terencana tersebut ialah memberi suri tauladan yang baik kepada anak-anak dalam berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama dan akhlak yang mulia, menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterimanya dari orang tuanya, memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya, menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana dalam sikap dan tingkah laku kehidupan sehari-hari mereka, menjaga mereka dari pergaulan teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan moral. Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga dengan anggota kelompoknya pada dasarnya dapat diidentifikasi sebagai sebuah kelas yang menjalankan proses transformasi perilaku, pengetahuan serta sikap, terutama sikap terampil dan mandiri. Selain itu sebagai sebuah lembaga pendidikan rumah tangga berkepentingan menyediakan pendidikan pra-nikah agar keharmonisan yang telah dicapai dapat diwariskan kepada generasi sesudahnya.49 Ada banyak problema yang bisa dijadikan bahan ajar terhadap remaja-remaja yang beranjak dewasa di dalam keluarga sebagai bekal bagi mereka ketika berumah tangga.

48

Zakiah Daradjat, op.cit., h. 47

49


(37)

Isyu-isyu kekerasan dalam rumah tangga, perilaku seks remaja dan akibatnya, ragam pesoalan suami isteri, pengaturan ekonomi dan pendidikan, perilaku berumah tangga serta memahami hubungan rumah tangga dengan masyarakat semuanya adalah bahan kajian yang bisa ditransfer kepada para remaja dalam rangka mempersiapkan diri mereka munuju gerbang pernikahan.

C. Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya

1. Pengertian Remaja

Remaja ada di dalam tempat marginal. Berhubung ada macam-macam persyaratan untuk dapat dikatakan dewasa, maka lebih mudah untuk dimasukkan kategori anak dari pada kategori dewasa. Baru pada akhir abad ke-18 maka masa remaja dipandang sebagai periode tertentu lepas dari periode kanak-kanak. Meskipun begitu kedudukan dan stasus remaja berbeda dari pada anak.

“Remaja berasal dari kata latin adilenscere (kata bendanya, adolensecentia yang berarti remaja), yang berarti pula “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa”.50 Lazimnya masa remaja dianggap sebagai permulaan seorang anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

Umur remaja dalam pandangan hukum dapat diketahui dari posisinya dimata hukum. Undang-Undang No. 22/ 2009 tentang lalu lintas, pasal 81 ayat 2 menetapkan syarat usia 17 tahun untuk SIM-A (Surat Izin Mengemudi Mobil) dan SIM-C (surat izin mengemudi Sepeda Motor). Undang-undang ini tidak mengecualikan mereka yang sudah menikah di bawah usia tersebut dan memperlakukan semua yang di bawah usia tersebut sebagai belum cukup usia, atau belum dewasa untuk mengemudi kendaraan bermotor. Sementara itu, Undang-Undang No. 10/ 2008, tentang Pemilu, pasal 1 angka 22 menetapkan usia 17 tahun atau sudah menikah sebagai batas usia seseorang berhak memilih dalam pemilihan umum.51

Dalam hubungannya dengan hukum, tampaknya hanya Undang-Undang Perkawinan saja yang mengenal konsep “remaja walaupun secara tidak terbuka.

50

Zakiah darajat, Psikologi, (Bandung: Teraju Mizan, 1974), h. 178

51

Sarlito W Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 14. H. 7-8


(38)

Usia minimal untuk suatu perkawinan menurut undang-undang tersebut adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 7 UU No. 1/ 1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah.

Dari segi ajaran Islam istilah remaja atau kata yang berarti remaja tidak ada dalam Islam. Di dalam Al-Quran ada kata (alfiyatu-fityatun) yang artinya orang muda. Seperti firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Kahfi :

                         

Artinya: “(ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)”. (QS. Al-Kahfi [18]: 10)52 Dan terdapat pula kata baligh yang menunjukkan seseorang tidak kanak-kanak lagi, misalnya dalam surat An-Nuur:

                                     

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.dan

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur [24]: 59)53 Pada kata baligh tersebut terdapat istilah kata baligh yang dikaitkan dengan mimpi. Kata baligh dalam istilah hukum Islam digunakan untuk penentuan umur awal kewajiban-kewajiban melaksanakan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.

“Masa remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan. Masa ini dikenal sebagai suatu periode peralihan, suatu masa perubahan yang sangat pesat, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang

52

Departemen Agama, op. cit., h. 235

53


(39)

menakutkan, masa yang tidak realistic dan pada akhirnya mengalami masa ambang dewasa”.54

Kemudian mengenai perkembangan remaja. Para ahli psikologi pada umumnya menunjuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakterisitik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak terlepas dari perubahan yang terjadi pada struktur biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. Perubahan kemampuan dan karakterisitik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan struktur biologis sering dikenal istilah “kematangan”.55

Perkembangan berkaitan erat dengan pertumbuhan. Berkat adanya pertumbuhan maka pada saatnya anak akan mencapai kematangan. Perbedaan antara pertumbuhan dan kematangan, pertumbuhan menunjukkan perubahan biologis yang bersifat kuantitatif, seperti bertambah panjang ukuran tungkai, bertambah lebarnya lingkar kepala, bertambah beratnya tubuh, dan semakin sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf.

Adapun tahapan fase perkembangan individu berdasarkan psikologis. Para ahli menggunakan aspek psikologis sebagai landasan menganalisa tahap perkembangan yang khas bagi individu pada umumnya dapat digunakan sebagai masa perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain dalam perkembangannya. Dalam hal ini para ahli berpendapat bahwa dalam perkembangan pada umumnya individu mengalami kegoncangan. Kegoncangan tersebut terjadi dua kali yaitu pada tahun ketiga dan keempat dan pada permulaan masa pubertas.

Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:

a. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang disebut masa kanak-kanak).

b. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang disebut masa keserasian bersekolah.

54

M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3, h. 25

55


(40)

c. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang disebut masa kematangan.56

Pendapat para ahli tentang pembagian fase atau rentangan usia adalah beragam, tetapi pada umumnya setiap fase melewati atau melalui proses perkembangan yang sama. Dan pada umumnya fase usia tersebut terdapat pada tiga fase usia yaitu masa kanak, masa remaja/puber, dan masa dewasa.

Jika berbicara fase perkembangan remaja, maka batas usia remaja lebih banyak bergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup. Yang dapat ditentukan dengan pasti adalah permulaannya yaitu puber pertama atau mulainya perubahan jasmani dari anak menjadi dewasa kira-kira umur akhir 12 atau permulaan 13 tahun.57 Atau disebut masa remaja pertama yaitu pada usia 13-16 tahun dan masa remaja terakhir pada usia 17-21 tahun.

2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja

“Perkembangan pribadi manusia menurut psikologi berlangsung sejak terjadinya konsepsi sampai mati yaitu sejak terjadinya sel bapak-ibu (konsepsi) sampai mati individu senantiasa mengalami perubahan-perubahan atau perkembangan”. 58 Perkembangan yang dimaksud adalah merupakan istilah perkembangan secara umum yang diartikan sebagai serangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung secara teratur, progresif, jalin menjalin dan terarah kepada kematangan atau kedewasaan.

Masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Alisuf Sabri mengemukakan ada empat ciri perubahan yang bersifat universal selama masa remaja, yaitu:

1) Meningkatnya emosi, intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi; perubahan emosi ini banyak terjadi pada masa awal remaja.

56

Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2007), cet. 1, h. 75

57

Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,

1977). Cet. 4. h. 109

58


(41)

2) Perubahan fisik, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah-masalah baru sehingga selama masa ini si remaja merasa ditimbuni masalah.

3) Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang dianggap penting/bernilai pada masa kanak-kanak sekarang tidak lagi. Kalau pada masa kanak-kanak segi kwantitas yang dipentingkan, sekarang segi kwalitas yang diutamakan.

4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.59

Menurut Zakiah Daradjat ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan remaja ditandai dengan:

a. Perkembangan Fisik

Pada remaja pertumbuhan jasmani menjadi cepat, badannya berubah dari kanak-kanak menjadi dewasa dalam masa empat tahun (usia 13-16 tahun). Perubahan tubuhnya tidak serentak dan kadang-kadang tidak seimbang, sehingga keserasian gerak hilang. Tanpa disengaja ia sering jatuh dan menjatuhkan barang yang dipegangnya, seperti piring, gelas, cangkir dan sebagainya. Hidungnya kelihatan besar, karena hidung lebih cepat tumbuh daripada bagian muka yang lainnya. Akibatnya, rupanya kurang cantik atau kurang gagah.60

Secara lengkap Sarlito menyebutkan urutan perubahan-perubahan fisik tersebut sebagai berikut; Pada anak perempuan: 1) Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-aanggota badan menjadi memanjang), 2) Pertumbuhan payudara, 3) Tumbuh bulu halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan, 4) Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya, 5) Bulu kemaluan menjadi keriting, 6) Haid, 7) Tumbuh bulu-bulu ketiak. Pada anak laki-laki: 1) Pertumbuhan tulang-tulang, 2) Testis (buah pelir) membesar, 3) Tumbuh bulu kemaluan yang halus, dan berwarna gelap, 4) Awal

59

M. Alisuf Sabri, op.cit., h. 26

60


(42)

perubahan suara, 5) Ejakulasi (keluarnya air mani), 6) Bulu kemaluan menjadi keriting, 7) Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya, 8) Tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot), 9) Tumbuh bulu ketiak, 10) Akhir perubahan suara, 11) Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap, 12) Tumbuh bulu di dada. 61

Semua perubahan jasmani cepat itu, menimbulkan kecemasan pada remaja, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan kekuatiran bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya.62

Menurut Pustika Rucita, B.A., M. Psi. seperti dikutip Tribun Pontianak, Smart Mom, Minggu 29 April 2012, Psikolog dari personal Growth Counseling and Development Center, “proses kembang tumbuh anak usia ini (remaja) akan menjadi pesat. Pembentukan alat reproduksi mereka juga akan menjadi matang, yang berpengaruh pada kestabilan hormon. Masa remaja sering dianggap sebagai usia labil atau diistilahkan dengan: masa “ombak dan badai”, yang mana anak -anak tengah mencari identitas diri”.63 Adanya proses hormonal yang yang terus berkembang itu menurut Pustika, kerap membuat emosi anak-anak menjadi tidak selalu stabil. Terkadang mereka mudah terganggu oleh hal-hal kecil dan cenderung menjadi sensitif.

Zakiah Daradjat menambahkan pertumbuhan jasmani pada remaja membawa pula kepada timbulnya dorongan seks, yang memantul dalam tingkah laku dan perhatian terhadap jenis lain dan teman-temannya. kalau dulu waktu umur sekolah dasar, perhatian kepada teman lawan jenis itu kurang, tapi sekarang timbul rasa senang ingin mendekat dan bergaul dengan mereka. Akan tetapi keinginan itu mungkin akan dihalangi oleh perasaan yang goncang, karena ketidakserasian pertumbuhan jasmani. Maka sikapnya pun mundur maju dan kadang-kadang tampak kaku.64

61

Sarlito W Sarwono, op. cit., h. 62-63

62

Zakiah Daradjat, op. cit.,h. 133

63

Moh Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 118

64


(43)

Perubahan cepat yang kurang menyenangkan itu,bila tidak dipahami oleh remaja, akan menjadi resah dan takut. Jangan-jangan ia akan bertumbuh menjadi manusia yang tidak cantik, tidak tampan dan mempunyai kelainan, begitu kira-kira pendapatnya. Hal ini akan masuk akal, karena remaja mulai menapak menuju dewasa disertai oleh berbagai faktor yang jika tidak difahaminya, akan menyebabkannya cemas, takut dan menggoncangkan jiwanya.

Perubahan cepat yang terjadi pada fisik remaja, membawa pula pada sikap dan perhatian terhadap dirinya sendiri yang telah menjadi seperti orang dewasa itu.Ia menuntut agar orang dewasa memperlakukannya tidak lagi seperti kanak-kanak. Di lain pihak ia merasa belum mampu mandiri dan masih memerlukan bantuan orang tua untuk membiayai keperluan hidupnya.

Dari penjelasan di penulis berkesimpulan bahwa perkembangan fisik remaja berkembang pesat karena dipengaruhi oleh perubahan hormon, yang berakibat timbulnya dorongan seksual disertai perubahan bagian tubuh antara laki dan perempuan. Bagi perempuan akan mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah.

b. Perkembangan Emosi

Keadaan emosi remaja yang goncang sering kali diungkapkan dengan cara yang tajam dan sungguh-sungguh. Kadang-kadang ia mudah meledak dan mudah tersinggung. Padahal ia juga mudah menyinggung perasaan orang tua atau orang lain tanpa disadarinya. Sementara itu ia mengalami perasaan aneh, ia mulai tertarik kepada temannya lawan jenis. Akan tetapi ia malu karena perkembangan tubuhnya kurang menarik. Kadang-kadang perasaannya galau tak menentu.

Di satu pihak, emosi yang menggebu-gebu ini memang menyulitkan, terutama untuk orang lain (termasuk orang tua dan guru), dalam memahami jiwa si remaja. Namun dipihak lain, bagi Sarlito emosi yang menggebu ini bermanfaat untuk remaja itu terus mencari identitas dirinya. Emosi yang tak terkendali itu antara lain disebabkan oleh konflik peran yang sedang dialami remaja. Ia ingin bebas, tetapi ia masih bergantung kepada orang tua. Ia ingin dianggap dewasa, sementara ia masih diperlakukan seperti anak kecil.


(1)

94

yaitu dengan cara pembiasaan. Metode ini memang cukup menghabiskan waktu dan tenaga, dan hasil akhirnya pun seringkali jauh dari memuaskan.

Jadi melalui keteladanan dan pembiasaan, melalui proses asimilasi maka remaja akan berupaya untuk mengubah hal-hal yang berasal dari luar, untuk disesuaikan dengan apa yang sudah ada dalam dirinya. Dan melalui proses akomodasi, remaja akan termotivasi untuk mengubah konsep, pemahaman ataupun pengertian yang lama, agar sesuai dengan yang baru. Disadari atau tidak disadari, remaja sedang melakukan proses identifikasi pada dirinya.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan melalui studi pustaka dalam menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga, penulis mengemukakan kesimpulan, bahwa:

1. Nilai-nilai moral esensial yang penting ditanamkan pada remaja di antaranya adalah jujur, disiplin, percaya diri, peduli dan mandiri. Nilai-nilai moral esensial ini merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak mulia/karakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum remaja. Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi menyentuh perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan untuk mengamalkannya.

2. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan pendekatan sosial yang dilakukan dengan cara interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan identifikasi. Pendekatan ini berfungsi untuk mempelajari contoh-contoh penerapan nilai-nilai moral secara konkrit dari keteladanan orang tua dan anggota keluarga lainnya secara praktis, dan tersedianya kondisi yang baik di dalam keluarga, ini memudahkan remaja untuk meniru. Selanjutnya orang tua membeiasakan dan mengontrol sikap dan perbuatan remaja.

3. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan juga pendekatan psikologi yang dilakukan dengan cara mempersiapkan mental remaja dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan secara rasional, pengendalian perilaku moral dan pembentukkan kata hati. Pendekatan ini berfungsi membangun kesadaran remaja melalui pengetahuan dan kemampuan nalar dan hati nuraninya (intuisi) untuk meyakini bahwa nilai-nilai esensial itu memang merupakan nilai kebajikan dan bermanfaat yang harus diikuti atau diterapkan. 4. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja untuk mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga perilaku yang dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial. Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran


(3)

96

diri remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku yang menyimpang dari standar sosial.

B. Saran

1. Bagi orang tua hendaknya mempelajari perkembangan ciri-ciri jiwa remaja, dekat dengan anak remajanya agar terjalin komunikasi, sehingga dengan lancarnya komunikasi akan ada keterbukaan diantara keduanya, dan nasehat-nasehat orang tua akan lebih bisa didengar oleh remaja. Orang tua hendaknya juga melakukan keteladanan nilai-nilai moral esensial tadi (jujur, disiplin, percaya diri, peduli,dsb) baik dari segi perkataan dan perbuatan, karena apa saja yang dilihat maupun didengar oleh remaja, itulah yang akan mereka tiru. Orang tua juga hendaknya sadar akan tanggung jawab terhadap anak-anaknya agar mereka banyak memberikan perhatikan, pengawasan dan bimbingan yang sebaik-baiknya, ini dapat dilakukan melalui bacaan-bacaan seperti: koran, majalah, buku-buku. Atau penerangan TV, radio, mengikuti seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan, sebagainya.

2. Bagi masyarakat hendaknya ikut menertibkan perilaku-perilaku masyarakat sekitar yang kurang kondusif demi menghindari kerusakan moral remaja, begitupun untuk guru-guru di sekolah. Masyarakat dan guru juga hendaknya menjadi figur teladan yang baik.

3. Bagi remaja hendaknya mengerti perkembangan dirinya, menekan gejolak emosionalnya sehingga mampu untuk mengendalikan sikap atau perbuatannya. Remaja juga hendaknya bersikap kritis terhadap perilaku yang ada di sekelilingnya, sehingga tidak hanya asal meniru tetapi juga mampu membedakan mana perilaku yang buruk dan mana perilaku yang baik untuk ikuti. Sibukkan diri dengan menyalurkan bakat-bakat yang ada di dalam diri melalui organisasi-organisasi tertentu, misalnya: organisasi sport, organisasi kesenian, pramuka, dan sebagainya, hal ini agar remaja tidak mempunyai waktu terluang yang tidak berguna.


(4)

97

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Abu, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)

Azhari Akyas, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004 Agama Departemen, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004),

cet. 5, juz ke-21

Ali Mohammad dan Asrori Mohammad, Psikologi remaja, (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2011)

Alisuf Sabri M, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3 Abdullah M. Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah,

2007), cet. 1

Bachri Thalib syamsul., Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1

Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet. 4

Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)

Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet. 1

Darajat Zakiah, Ahmad Sadali, dkk., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet ke-10

Daradjat Zakiah, Pendidikan islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV Ruhama, 1994)

Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). Cet. 4

Djunaidi Ghony Muhammad, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)

Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia, 2006), cet 1

Erika Endang, “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), skripsi


(5)

98

Farida. HM, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku

Sosial Anak Usia Dini”, ( Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), skripsi

Gerungan W. A. DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet. 7

Herien Puspitawati, Seks Bebas dikalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa), Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02Feb 2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalangan-remaja-pelajar.html)

Humanitas., Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1

Haitami Salim Moh, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013)

Hurlock Elizabeth B, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke-6

Irawan Dedi. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014),

(http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuk-tawuran_111160.html)

Koswara E, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2

Kompas.com. Mohammad Nuh., Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014),

http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013 Kasiram. Moh, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) cet. I Khiriah Husen Thaha, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994) Listyarti Retno, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan kreatif,

(Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012)

M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta,

(diakses pada tanggal 20 Maret 2014),

(http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-Jumlah-Pengguna-Narkotika-Capai-5)

Nata Abudin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5 Narendrany Hidayati Heny dan Yudiantoro Andri, Psikologi Agama, (Jakarta:


(6)

Noor Syam Mohammad, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988)

Pramono Wahyudi, Srijanti dan Purwanto, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1

Rosyadi Khoiron, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) Ruqoyah Siti, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini”, (Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012),

Sujanto Agus, PsikologiPerkembangan, ( Jakarta: AksaraBaru,1982) cet. 3 Syamsul Arifin Bambang, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, ((Jakarta: Rineka Cipta,

1989), cet. 1

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11 Toriquddin Moh., Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia

modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1

Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), Cet. 1

Wardani Kristi, “Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”, Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, (Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010)

W. Santrock John Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1 Edisi ke-11

W. Sarwono Sarlito, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 14

Zed Mestika, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet. 1

Zuriah Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. I