KONSEP DIRI ISTRI YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

  KONSEP D DIRI ISTRI YANG MENGALAMI

  I KEKERAS ASAN DALAM RUMAH TANGGA SKRIPSI

  Diajuk jukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi M

  Fakultas Psikologi Disusun oleh:

  Debby Susanti NIM: 019114059

FAK AKULTAS PSIKOLOGI UNIVER ERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya meyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, ____________ Penulis

  Debby Susanti

  ! ! ! ! " # " # " # " #

#

# #

#

# $ # $ # $ # $

KATA PENGANTAR

  Puji syukur dan terimakasih saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas selesainya penulisan skripsi dengan judul “Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga.” Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

  Dengan selesainya skripsi ini, penulis secara pribadi ingin menghaturkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

  1. Ibu Dra. Lusia Pratidarmananstiti, M.Si, selaku dosen pembimbing yang mau dengan sabar dalam membantu penulis menyelesaikan penelitian ini.

  2. Papi Osu yang udah ompong tapi mau tetep kerja susah payah buat mami dan anak-anak...thanks banget ya pi...dan Mamiku yang cantik yang selalu memberi semangat untuk segera menyelesaikan skripsi serta memberikan nasehat kepada penulis. Makasih juga buat dukungan finansialnya...i love you.

  3. Bapak Edy Suhartanto, M.si, selaku Dekan Fakultas Psikologi atas segala bantuan baik teknis maupun non-teknis.

  4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari S.Psi, M.Si, selaku Kepala Program Studi Psikologi dan Dosen Pembimbing

  5. Semua dosen fakultas Psikologi yang dengan senang hati membantu saya selama kuliah dan selama penulisan skripsi ini.

  6. Mas Gandung, Mas Mudji, Mbak Nanik, Mas Doni, Pak Gie’, terimakasih atas semua bantuannya.

  7. Jeffry yang rese thanks ya buat support-nya disaat-saat terakhir mo jadi...

  8. Krishna, yang biarpun hujan badai menerpa tetap membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini sehingga dapat segera diselesaikan. Thank you ya udah mau free talk jam 12 malem. Jangan kapok...hehehe...Makasi juga udah mau dengerin cerita tentang orang aneh...wakakakaka...

  9. Temen-temenku tersayang: Lala, Selly, Nana, yang tetep ngasih semangat meskipun udah pada lulus duluan dan yang ga capek-capeknya nanyain,”Kapan lo lulus??”

  10. Siska, thank you ya Bu udah mau jadi tempat ngomel-ngomel dan udah jadi temen aku selama ini.

  11. Tien, Yayack, thanks ud mau jadi temen curhat....

  12. Vivi, adekku sing paling ayu dewe...hahaha...thank you ya motornya. Makasi juga buat perhatiannya selama ini.

  13. Ricky, si-”TIMI”, makasi buat ga’ ngasih support nya..ga ding, yang pasti makasi udah mau disuruh-suruh. Makasih banyak ya m’be.....

  14. Cici Henny, makasi banyak ya buat semua bantuannya.

  15. Irene anaknya mami sayang makasih ya udah hibur tiap hari, walaupun nakal tapi ngangenin banget, terutama brindilnya itu loh...

  16. Papi Redy, selaku suami kedua dan Oka, selaku suami ketiga...hehehe...Makasi ya tiap malem udah menemin ngobrol, kapan turun

  Temen-temen fakultas Psikologi yang tidak bisa saya sebutkan satu 17. persatu. Terimakasih atas semuanya. Akhir kata, segala upaya dan kemampuan telah penulis curahkan agar menjadikan skripsi ini sebagai suatu hasil karya yang bermanfaat. Penulis menyadari akan segala kekurangan dan kelemahan yang ada. Oleh karena itu penulis akan sangat berterimakasih dan berbesar hati bila ada kritik dan saran dari pembaca untuk lebih memperbaiki karya penelitian ini.

  Yogyakarta, April 2007 Penulis

  

Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Debby Susanti

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik itu kekerasan secara fisik, psikologis, maupun penelantaran rumah tangga/ekonomi.

  Metodologi yang digunakan penelitian ini adalah studi kasus terhadap seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga melalui metode wawancara semiterstruktur, observasi nonpartisipan, dan tes Thematic

  

Apperception Test (TAT) . Data yang telah diperoleh kemudian melalui tahap

  pengkodean terhadap aspek-aspek konsep diri sehingga dapat memunculkan gambaran aspek konsep diri subyek yang diteliti.

  Berdasarkan penelitian terhadap aspek-aspek konsep diri diketahui bahwa seorang istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai pengetahuan diri yang positif namun memiliki penilaian diri dan pengharapan diri yang negatif. Dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah negatif.

  

Self-Concept of a Wife Experiencing Abuse in the Family

Debby Susanti

ABSTRACT

  This research aimed to investigate the self concept of a wife who had been experiencing abused in the family, whether it is physical, psychological, or financially abuse.

  Methodology used in this research was a case study of a wife experiencing abuse in her family through methods, including: semi-structured interview, non- participant observation, and Thematic Apperception Test (TAT). Collected data was through the coding stage of aspects of self-concept thus able to discover the description of self-concept within the subject.

  According to the research of aspects of self-concept, it was discovered that a wife experiencing abuse in the family has positive self-knowledge but has negative self-judgment and negative self-expectation. Thus, the result is that a wife who experiencing abuse in the family has negative self-concept.

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL………………………………………………........ i LEMBAR PENGESAHAN OLEH PEMBIMBING……………………. ii LEMBAR PENGESAHAN OLEH PENGUJI………………………….. iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………... iv HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO………………………… v KATA PENGANTAR…………………………………………………… vi DAFTAR ISI…………………………………………………………….. ix DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xiii ABSTRAK……………………………………………………………….. xiv ABSTRACT……………………………………………………………… xv BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..

  1 A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1

  B. Rumusan Masalah………………………………………. 4

  C. Tujuan Penelitian………………………………………... 5

  D. Manfaat Penelitian……………………………………… 5

  1. Manfaat Praktis……………………………………... 5

  2. Manfaat Teoritis…………………………………….. 5 LANDASAN TEORI……………………………………….. 6

  BAB II A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga……………………..... 6

  1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga………. 6

  2. Jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga………. 8

  a. Kekerasan Seksual………………………………. 8

  b. Kekerasan Fisik………………………………….. 9

  c. Kekerasan Ekonomi…………………………….. 9

  d. Kekerasan Emosional atau Psikis………………. 10

  3. Karakteristik Kepribadian Korban dan Pelaku Kekerasan……………………………………. 11

  a. Karakteristik Korban……………………………. 11

  b. Karakteristik Pelaku…………………………….. 12

  4. Faktor Penyebab KDRT…………………………….. 13

  5. Memahami Pola Kekerasan Terhadap Istri………….. 14

  a. Fase I: Tahap Munculnya Ketegangan………….. 15

  b. Fase II: Tahap Pemukulan Akut………………… 15

  c. Fase III: Bulan Madu…………………………… 16

  B. Konsep Diri……………………………………………… 17

  1. Pengertian Konsep Diri……………………………… 17

  2. Konsep Diri dan Dimensi-dimensinya………………. 20 c. Dimensi Penilaian Terhadap Diri………………... 20

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kosep Diri……… 21

  4. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif……….. 24

  a. Konsep Diri Negatif……………………………... 24

  b. Konsep Diri Positif………………………………. 25

  C. Istri………………………………………………………. 27

  D. Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………………………………… 28

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………….. 30 A. Desain Penelitian………………………………………… 30 B. Subyek Penelitian………………………………………... 30 C. Identifikasi Penelitian…………………………………… 31 D. Definisi Operasional…………………………………….. 31 E. Alat Pengumpulan Data………………………………… 32

  1. Wawancara………………………………………….. 32

  2. Observasi……………………………………………. 36

  3. Tes Psikologi………………………………………… 39

  F. Kredibilitas……………………………………………… 42

  G. Analisis Data……………………………………………. 43

  H. Pengkodean (Coding)…………………………………... 44

  B. Pembahasan……………………………………………... 50

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………….. 54 A. Kesimpulan……………………………………………... 54 B. Saran……………………………………………………. 54 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 56 LAMPIRAN……………………………………………………………… 59

DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman

  1. Pengkodean (Coding) Wawancara………………………………... 60

  2. TAT………………………………………………………………… 92

  A. Analisis TAT…………………………………………………… 92

  B. Kesimpulan TAT……………………………………………….. 96

  C. Pengkodean TAT………………………………………………. 98

  3. Observasi…………………………………………………………… 101

  A. Hasil Observasi…………………………………………………. 101

  B. Pengkodean (Coding) Observasi……………………………….. 103

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Untuk sebagian orang, keluarga merupakan tempat untuk berlindung

  dan mendapatkan rasa aman dari berbagai macam ancaman serta kesulitan dari luar. Keluarga juga merupakan tempat pertama kali kita belajar sesuatu, namun untuk sebagian orang keluarga dapat menjadi sebuah neraka atau malapetaka. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat untuk berteduh dan mendapatkan rasa aman, menjadi tempat ‘penyiksaan’ lahir dan batin. Dalam hal ini biasanya yang menjadi korbannya adalah kaum yang sering dianggap lemah seperti perempuan (istri) serta anak-anak.

  Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah sangat sering didengar dan sudah menjadi fenomena tidak hanya di luar negeri, di Indonesia pun KDRT sudah banyak terjadi. Baik dari media cetak ataupun media elektronik sering menayangkan berita tentang KDRT. KDRT menyita banyak perhatian dari berbagai pihak karena setiap tahunnya jumlahnya semakin meningkat.

  Sebenarnya KDRT muncul sudah sejak lama namun belum mencuat sampai ke permukaan, sehingga masyarakat tidak mengetahuinya. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa masalah rumah tangga dalam hal ini pribadi kita tabu untuk diketahui oleh orang lain apalagi sampai dibicarakan. Mereka menganggap masalah tersebut adalah masalah interen yang tidak pantas untuk dibicarakan dan merupakan aib keluarga jika sampai diketahui oleh orang lain, sehingga banyak korban yang jarang mau melaporkan pelaku kekerasan tersebut.

  Sampai pada akhirnya muncul LSM Indonesia pertama yang bekerja untuk otonomi dan hak perempuan yaitu Yasanti (Yayasan Annisa Swasti) yang didirikan di Jogyakarta tahun 1982. Kemudian pada tiga tahun kemudian didirikan Kalyana Mitra, yaitu LSM perempuan yang menyediakan informasi tentang hak-hak perempuan. Baru pada tahun 1993 di Jogjakarta telah didirikan sebuah organisasi yang menyediakan pelayanan khusus bagi perempuan yang mengalami kekerasan yang bernama Rifka Annisa Women’s

  

Crisis Center , yang kemudian banyak ditiru diberbagai daerah lain di

Indonesia. (Hakimi dkk, 2001).

  Data dari kasus kekerasan terhadap perempuan di Rifka Annisa

  

Women’s Crisis Center Yogyakarta terus meningkat jumlahnya dari tahun ke

  tahun. Sebagai contoh, pada tahun 1994 menangani 10 kasus, pada tahun 2002 kasus yang ditangani meningkat sampai 247. Pada tahun 2004 kasus yang dilaporkan sampai bulan November tercatat 192 kasus. (Harian Kompas Senin, 22 Desember 2004). Selain itu menurut data dari Jurnal Perempuan, sebanyak 88,49% kekerasan terhadap wanita adalah kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri dan sebagai pelakunya adalah pasangannya atau

  Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah menjadi permasalahan publik dan pemerintah juga cukup serius menangani masalah KDRT, hal ini dibuktikan dengan disahkannya Undang-Undang Anti Kekerasan pada tanggal

  22 September 2004 oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri. Pengesahan Undang-Undang ini sebagai wujud dari kepedulian masyarakat Indonesia khususnya kaum perempuan yang menentang tindak kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga memuat 10 bab dan 56 pasal, yang didalamnya sudah dijabarkan secara jelas tentang hak dan kewajiban korban, asas dan tujuan, perlindungan terhadap korban, serta ketentuan pidana dan lain-lain. (http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_23_04.htm?200529)

  Sebagian besar istri yang menjadi korban kekerasan ternyata masih mau menerima atau memaafkan suami yang menjadi pelaku kekerasan, salah satu alasan mengapa seorang istri yang sudah disakiti bahkan disiksa oleh suaminya mau menerima kembali suaminya untuk kesekian kalinya adalah berkaitan dengan konsep diri istri.

  Konsep diri merupakan sebuah struktur mental yang merupakan suatu totalitas dari persepsi realistik, pengharapan dan penilaian seseorang terhadap fisik, kemampuan kognitif, emosi, moral etika, keluarga, sosial, seksualitas dan dirinya secara keseluruhan. Struktur tersebut terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara diri dengan berbagai kelompok lingkungan asuh selama hidupnya (Purwanti, 2000).

  Hurlock (1978) mengemukakan bahwa konsep diri pada dasarnya merupakan pengertian dan harapan seseorang mengenai bagaimana diri yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realita yang sesungguhnya, baik secara fisik maupun psikologik. Konsep diri memiliki pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang dilakukan oleh setiap individu.

  Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melihat konsep diri istri yang mau menerima kembali suaminya meskipun dirinya sudah disakiti sedemikian rupa baik fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh suaminya. Penulis membatasi pembahasan dalam tulisan ini hanya mengenai konsep diri istri, karena didalam konsep diri terdapat aspek pengetahuan tentang diri, penilaian tentang diri serta harapan terhadap diri. Hal ini merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi perilaku istri yang selalu menerima kembali suami yang sudah menganiaya dirinya.

B. RUMUSAN MASALAH

  Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep diri yang dimiliki istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga?

TUJUAN PENELITIAN C.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik itu kekerasan secara fisik, psikologis, maupun penelantaran rumah tangga/ekonomi.

D. MANFAAT PENELITIAN

  1. Manfaat Praktis

  Manfaat bagi peneliti yaitu memberikan masukan kepada peneliti tentang konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga peneliti dapat memberikan pendampingan pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

  Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga dan konsep diri seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

  2. Manfaat Teoritis

  Memberikan sumbangan informasi bagi dunia psikologi mengenai konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

BAB II LANDASAN TEORI A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  Gelles (dalam Kristyanti, 2004) menyatakan kesulitan dalam mendefinisikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam rumah tangga dapat dirumuskan sebagai kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dalam lingkungan keluarga. Kekerasan itu sendiri meliputi kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga inti, keluarga besar atau keluarga yang menganut sistem poligami. Ini tidak hanya mencakup keluarga karena pernikahan yang sah, tetapi juga hubungan pacaran dan hubungan perkawinan yang sudah berakhir.

  Menurut undang-undang anti kekerasan no. 23 tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, 2004).

  Tursilarini (2004) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap kaum perempuan adalah segala bentuk kekerasan yang berdasar pada gender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan-perempuan, termasuk disini ancaman- ancaman dari perbuatan-perbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi ditempat umum atau didalam kehidupan pribadi seseorang. Jadi, kekerasan yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk kekerasan dari segi fisik, melainkan juga dari segi non fisik. Menurut Prastyowati (2004), tindak kekerasan terhadap istri yaitu tindakan suami yang dilakukan terhadap istri baik disengaja maupun tidak disengaja, langsung atau tidak langsung telah menimbulkan rasa sakit pada istri, baik secara fisik maupun non fisik.

  Humanitarian Affairs, salah satu publikasi PBB (dalam Chusairi, 2000), menyebutkan bahwa kekerasan terhadap istri adalah tindakan yang termasuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Tindakan itu mencakup penganiayaan secara fisik, seksual, dan psikologis. Ahli lain seperti Walker (dalam Chusairi, 2000), menyebutkan bahwa kekerasan pada istri adalah kekerasan secara fisik maupun psikis yang dilakukan oleh pasangan intimnya.

  Dari definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan baik secara fisik, seksual, psikologis dan ekonomi yang dilakukan oleh suami kepada istri yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, dimana kekerasan tersebut dapat menimbulkan luka secara fisik maupun psikologis.

2. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  Hamim (2001), menyatakan bahwa ada beberapa macam jenis kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, terutama kekerasan yang dialami oleh seorang istri sebagai korbannya. Kekerasan tersebut diantaranya yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi.

a. Kekerasan Seksual

  Kekerasan seksual berkaitan dengan pemaksaan hubungan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual atau aktivitas seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Wignjosoebroto (Hariadi dan Suyanto, 1999) berpendapat bahwa kekerasan seksual dipandang sebagai tindak perkosaan, yaitu sebuah usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Sebagai contoh: 1) Dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan orang yang tidak diinginkan.

  2) Memaksa selera seksual sendiri. 3) Tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

  b. Kekerasan Fisik

  Yaitu perbuatan yang menyebabkan cedera fisik/tubuh orang lain atau menyebabkan kerusakan secara fisik seseorang dan sampai matinya seseorang. Grant (dalam Chusairi, 2000), menyatakan bahwa kekerasan suami secara fisik dapat berbentuk pemukulan, menampar, menjambak, mendorong dan menendang, kekerasan tersebut dapat menyebabkan terlukanya seseorang secara fisik. Sebagai contoh lain kekerasan secara fisik yaitu: 1) Meludahi 2) Menyulut dengan rokok 3) Melukai dengan barang /senjata

  c. Kekerasan Ekonomi

  Pengertian penelantaran rumah tangga yaitu menelantarkan atau kelalaian yang disengaja dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan, khususnya dalam lingkup rumah tangga. Kurang menyediakan sarana perawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran (Herkutanto, 2000).

  Dalam hal ini harus hati-hati untuk membedakan antara “ketidak mampuan ekonomis” dengan “penelantaran yang disengaja”. Contoh

  1) Tidak memberikan uang belanja. 2) Memakai/menghabiskan uang istri untuk foya-foya. 3) Dilarang atau dibatasi bekerja secara layak (hidup dikendalikan)

d. Kekerasan Emosional atau Psikis

  Bentuk kekerasan ini sebetulnya sulit untuk dibatasi karena setiap orang mempunyai sensitivitas emosi yang bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada istri agar terpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini sebenarnya penting untuk perkembangan jiwa seseorang. Identifikasi yang timbul akibat kekerasan psikis lebih sulit diukur tidak seperti kekerasan fisik (Herkutanto, 2000). Tetapi secara garis besar kekerasan psikis dapat diartikan segala tindakan yang pada akhirnya berpengaruh pada kejiwaan seseorang, atau perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, rasa tidak berdaya serta penderitaan psikis berat lainnya seperti depresi. Sebagai contoh kekerasan psikis: 1) Mencela, menghina. 2) Mengancam/menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

  3) Mengisolasi istri dari dunia luar. 4) Berselingkuh

3. Karakteristik Kepribadian Korban Dan Pelaku Kekerasan

  Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya memiliki ciri fisik seperti bertubuh kecil, kurang cantik, kurang pandai, dll. Tetapi tidak menutup kemungkinan yang menjadi korban adalah perempuan yang cantik dan memiliki karir yang baik. Istri yang menjadi korban kekerasan biasanya dijauhkan oleh suaminya dari pihak keluarga istri maupun lingkungan sosialnya, karena suami tidak ingin perbuatan kejinya diketahui oleh orang lain. Sehingga ia merasa aman dalam melakukan aksinya, dan dapat terus menerus mengulangi aksinya.

  Ada beberapa karakteristik lain dari korban dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

a. Karakteristik Korban: 1) Menganut peran stereotype tradisional laki-laki dan perempuan.

  2) Pasif. Menerima segala perlakuan. 3) Menerima dominasi dan superioritas laki-laki. 4) Menyamakan dominasi dengan kejantanan (maskulinitas). 5) Merasa bahwa mereka tidak punya hak asasi. 6) Mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya. 7) Mengaku bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pasangannya. 8) Bertindak sebagai tumbal perbuatan pasangannya di luar. 9) Punya hasrat kuat untuk dibutuhkan.

  11) Punya keyakinan tak tergoyahkan bahwa keadaan akan menjadi baik, atau merasa bahwa tak ada sesuatupun yang dapat dilakukan berkaitan dengan keadaannya. 12) Rasa harga dirinya didasarkan pada kemampuan mereka menarik dan mempertahankan pasangannya.

  13) Menjadi rendah diri. 14) Meragukan kesehatan jiwanya sendiri.

b. Karakteristik Pelaku

  Dibawah ini juga ada beberapa karakteristik pelaku yang biasanya melakukan kekerasan kepada pasangangannya, antara lain: 1) Pencemburu – seringkali membayangkan bahwa pasangannya sedang “selingkuh”.

  2) Berusaha mengisolasi pasangannya. 3) Berusaha mengontrol pasangannya. 4) Berkepribadian ganda. 5) Temperamental; gampang marah tanpa alasan berarti. 6) Meyakini kekerasan sebagai tindakan lumrah. 7) Suka memproyeksikan dan memikulkan kesalahan dirinya pada pasangannya.

  8) Berasal dari keluarga dimana kekerasan biasa terjadi. 9) Menyangkal kekerasan atau kemarahan; tampak berusaha mengingkarinya.

4. Faktor Penyebab KDRT

  Faktor-faktor yang menyebabkan tindak kekerasan menurut Djannah dkk (dalam Salmah 2004) dapat dirumuskan dalam 2 faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang telah dilegalitaskan oleh masyarakat yang kadang disalahgunakan. Faktor eksternal lainnya yaitu gambaran yang tidak seimbang dalam pranata sosial dalam pembagian tugas dan posisi laki-laki dan perempuan. KDRT dipercaya sebagai fenomena yang berakar dari struktur sosial yang tidak seimbang (Sciortino & Smyth dalam Kristyanti, 2004).

  Faktor internal timbulnya kekerasan terhadap perempuan adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan.

  Rica R. Langley dan Levy. C. (dalam Djannah dkk, 2003) menyatakan bahwa kekerasan laki-laki terhadap perempuan dikarenakan: sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya untuk untuk menyelesaikan masalah yang diturunkan dari kebiasaan keluarga atau orang tua.

  Ada pandangan yang berasumsi bahwa perilaku abnormal dalam bentuk melakukan kekerasan merupakan hasil interaksi dari tiga hal yang saling berhubungan yaitu tingkah laku, proses kognitif, dan pengaruh disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat sedikitnya 6 faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri: a. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat b. Masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan didikan yang bertumpukan pada kekuatan fisik, yaitu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus kuat dan berani serta tidak toleran.

  c. Budaya yang mengkondisikan perempuan atau istri tergantung kepada laki-laki atau kepada suami, khususnya secara ekonomi.

  d. Persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dianggap harus ditutup karena termasuk wilayah privat suami-istri dan bukan sebagai persoalan sosial.

  e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan pada posisi suami, tentang aturan mendidik istri, dan tentang ajaran kepatuhan istri kepada suami.

  f. Kondisi kepribadian dan psikologi suami yang tidak stabil dan tidak benar.

5. Memahami Pola Kekerasan Terhadap Istri

  Berita tentang kekerasan domestik lebih sering kita dengar ketika seorang istri meninggal dunia akibat dibunuh oleh suaminya, padahal terbunuhnya istri tersebut merupakan akhir dari sebuah siklus kekerasan.

  Sebenarnya untuk memahami kasus kekerasan terhadap istri, ada tiga fase dalam sebuah siklus kekerasan dalam rumah tangga yang disebut dengan teori lingkaran kekerasan (Hamim, 2001). Disebut teori lingkaran karena ketiga fase ini terus berputar seperti siklus yang terus berulang.

  Teori ini dapat membantu kita untuk mengerti mengapa perempuan yang dipukul seakan menyediakan diri untuk di”keras”i pasangannya. Ketiga fase itu adalah:

  a. Fase I: Tahap Munculnya Ketegangan

  Dalam tahap ini ada ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus menerus atau sikap “cuek” masing-masing atau perpaduan keduanya saling tidak perduli. Kadang-kadang juga muncul kekerasan kecil. Biasanya bagi pasangan fase ini dianggap sebagai “bumbu” perkawinan. Ketegangan demi ketegangan selanjutnya berlalu begitu saja. Kemudian suami mulai mengintimidasi dan mencari alasan untuk menyudutkan istri.

  b. Fase II: Tahap Pemukulan Akut

  Tahap inilah yang disebut juga tahap penganiayaan, penyiksaan oleh suami sehingga mengalami penderitaan. Tahap inilah yang biasa kita baca di koran-koran atau saat berita kriminal tentang kekerasan suami terhadap istri. Kekerasan itu mungkin dengan meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasan itu bisa berhenti kalau si lakukan, atau si perempuan perlu dibawa ke rumah sakit, atau bahkan meninggal. Setelah kekerasan itu terjadi, biasanya perempuan akan merasakan ketegangan yang luar biasa. Yang pada awalnya akan mengalami shock, kaget, dan merasa tegang. Kemudian, ketika mulai sadar bahwa ia telah dianiaya ia merasa takut, sedih, jengkel dan tak berdaya.

  Beberapa perempuan akan merasa demikian tertekan hingga mungkin mulai berpikir untuk membela diri, bahkan ada beberapa perempuan berpikir untuk melarikan diri tapi biasanya seringkali tidak punya keberanian dan kesempatan utuk melarikan diri, namun ada beberapa punya keberanian dan kesempatan untuk melarikan diri. Jika pada tahap ini istri tidak bertindak apa-apa maka terjadilah fase bulan madu.

c. Fase III: Bulan Madu

  Dalam fase ini biasanya laki-laki sering kali menyesali tindakannya, bahkan sampai menyembah dan menangis untuk dimaafkan. Bentuknya biasanya bermacam-macam, ada juga rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi dan berusaha mengubah diri. Bahkan tak jarang laki-laki menunjukkan sikap mesra dan istimewanya, seperti menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh hatinya dan memaafkannya. Biasanya perempuan masih sangat berharap hal itu tidak akan terjadi Dalam periode bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh kasih sayang.

  Suasana ini menjadi semangat bagi perempuan yang mencemaskan dirinya, gagal perkawinannya, takut karena dia tidak punya keterampilan kerja, dan lain-lain. Tahap ini akhirnya pudar dan fase siklus ketegangan muncul lagi, menyulut kekerasan, dan selanjutnya terjadi bulan madu kembali. Siklus ini terus berlanjut dan kurun waktunya semakin cepat. Sampai akhirnya tidak ada kontrol lagi dari suami dan kematianpun dapat terjadi. Yang menarik pada fase bulan madu adalah waktunya yang terus memendek dan bisa hilang, sehingga tidak dapat disangkal yang terjadi hanyalah fase ketegangan dan fase penganiayaan.

B. Konsep diri

1. Pengertian Konsep diri

  Konsep diri merupakan pengertian, harapan dan penilaian seseorang mengenai bagaimana diri yang dicita-citakan dan dirinya dalam realita yang sesungguhnya secara fisik maupun psikologis. Pengertian atau pengetahuan tentang diri kita ini sendiri seperti usia, jenis kelamin, suku atau pekerjaan. Pada saat kita mempunyai rangkaian pengertian tentang dirinya, ia juga mempunyai satu rangkaian pandangan lain yaitu kemungkinan menjadi apa dimasa mendatang. Kita mempunyai dirinya sendiri. Penilaian tersebut diartikan seberapa besar kita, menyukai dirinya (Hurlock, 1998).

  Lebih lanjut, Hurlock (1998) mengungkapkan bahwa dengan bertambahnya usia, konsep diri relatif akan bertambah stabil dan hanya sedikit terjadi perubahan yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disertai masalah-masalah penyesuaian diri, penguasaan tugas-tugas perkembangan, tekanan-tekanan budaya serta harapan-harapan yang timbul akibat perubahan yang terjadi sepanjang rentang usia dewasa dini.

  Menurut Burns (1979) konsep diri adalah suatu sistem sadar dari hal-hal yang dipersepsikan, konsep-konsep dan evaluasi-evaluasi mengenai diri kita. Konsep diri pada dasarnya merupakan pengertian dan harapan kita mengenai diri yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realita sesungguhnya, baik secara fisik maupun psikologis.

  Konsep diri menurut Rogers (1961) adalah keseluruhan informasi dan kepercayaan kita mengenai karakteristik dirinya dan semua yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap orang mempunyai pendapat mengenai diri mereka sendiri. Apabila konsep diri atau pendapat mereka tentang diri mereka sendiri sesuai dengan kenyataan yang ada maka kita tersebut akan berhasil dan menunjukkan konsep diri kearah yang positif.

  Akan tetapi, apabila ada kesenjangan antara konsep diri dengan kenyataan yang ada maka kita akan mengalami kecemasan dan menunjukkan konsep

  Brooks (dalam Rakhmat, 1985) mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi mengenai diri kita sendiri baik yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain.

  Rakhmat (1985) mengemukakan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif saja, melainkan juga penilaian orang tersebut terhadap dirinya. Jadi konsep diri meliputi apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan tentang diri kita sendiri.

  Konsep diri adalah sebuah struktur mental yang merupakan suatu totalitas dari persepsi realistik, pengharapan dan penilaian seseorang terhadap fisik, kemampuan kognitif, emosi, moral etika, keluarga, sosial, seksualitas dan dirinya secara keseluruhan. Struktur tersebut terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara diri dengan berbagai kelompok lingkungan asuh selama hidupnya (Purwanti, 2000).

  Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah persepsi realistik mengenai diri kita yang bersifat fisik, sosial dan psikologis yang diperoleh melalui proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara diri dengan berbagai kelompok lingkungan dalam hidup seseorang, selain itu konsep diri juga merupakan penentu atau determinant yang paling penting terhadap tingkah laku seseorang.

  Konsep Diri dan Dimensi-Dimensinya 2.

  Rosenberg (dalam Burns, 1993) menyatakan ada aspek-aspek dari konsep diri yang membedakan sikap-sikap terhadap obyek lainnya yang manapun.

  Rogers (dalam Calhoun & Acocella, 1995) juga memandang konsep diri sebagai gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri, pengharapan bagi diri dan penilaian terhadap diri sendiri. Komponen-komponen yang terkandung dalam konsep diri yaitu:

  a. Dimensi Pengetahuan Tentang Diri

  Gambaran diri atau pengetahuan tentang diri yaitu segala pengetahuan atau informasi yang seseorang ketahui tentang dirinya seperti umur, jenis kelamin, penampilan, peran yang sedang dipegang, pandangan tentang watak kepribadian yang dirasa ada pada dirinya, pandangan tentang sikap yang ada pada dirinya, kemampuan yang dimiliki, serta kecakapan yang dikuasai.

  b. Dimensi Pengharapan Diri

  Yaitu suatu pandangan tentang kemungkinan menjadi apa individu dimasa mendatang atau dengan kata lain dimensi pengharapan ini merupakan gambaran diri yang ideal. Diri yang seperti apakah yang diinginkan dikemudian hari.

  c. Dimensi Penilaian Terhadap Diri Yaitu pandangan tentang harga atau kewajaran sebagai pribadi.

  Bagaimana individu merasa tentang dirinya, apa suka atau tidak suka dengan pribadi yang dianggap sebagai pribadi kita. Jika seseorang suka dengan dirinya, maka ia memiliki harga diri yang tinggi, sebaliknya jika seseorang tidak suka maka ia memiliki harga diri yang rendah.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep diri

  Rahkmat (1985) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri. Hal tersebut antara lain: a. Penerimaan orang lain

  Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap dan menghormati diri kita. Sebaliknya, apabila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, maka kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita.

  b. Pergaulan dengan kelompok rujukan Apabila kita bergaul dengan kelompok atau teman sepermainan kita, seringkali ada kelompok yang secara emosional mengikat kita dan berengaruh terhadap pembentukan konsep diri yang kita miliki. Dengan melihat kelompok, seseorang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

  Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang. Menurut Burns (1993), faktor-faktor tersebut adalah: a. Usia

  Adanya perbedaan usia menentukan perbedaan bagaimana konsep diri lebih dikarenakan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu sesuai dengan peran seksnya dan perbedaan pengalaman yang diperoleh seseorang sehingga akan semakin mempengaruhi luasnya wawasan kognitif. Selanjutnya akan menentukan bagaimana persepsi seseorang terhadap pengalamannya dan akhirnya turut juga berpengaruh dalam mempersepsi ”self-nya”.

  b. Peran Seksual Peran seksual adalah pengetahuan individu sendiri apakah ia termasuk laki-laki ataukah perempuan. Peran seksual akan mempengaruhi perkembangan konsep diri individu. Itu berarti, peran seksual yang diterapkan pada seorang anak lambat laun akan membentuk konsep diri pada anak. Perbedaan peran seksual ini mengakibatkan adanya perbedaan perilaku terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perilaku terhadap kedua jenis kelamin ini telah diterapkan sejak dini pada kehidupan anak. Orang tua akan memberikan perlakuan yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Orang tua mengajarkan anak laki-laki untuk bersikap sebagai makhluk kuat, mandiri, bertanggung jawab dan harus melindungi perempuan dan anak-anak. Pembedaan perlakuan ini yang akan membentuk konsep diri laki-laki sesuai dengan peran seksnya.

  c. Keadaan Fisik Gambaran fisik dipahami melalui pengalaman langsung dan persepsi mengenai tubuhnya sendiri. Adanya ketidak sempurnaan tubuh seseorang, proses evaluasi tentang tubuhnya didasarkan pada norma sosial dan umpan balik dari orang lain. Penilaian yang positif terhadap keadaan fisik seseorang baik dari diri sendiri maupun orang lain sangat membantu perkembangan konsep diri kearah yang positif.

  d. Sikap-sikap orang di lingkungan sekitarnya Rogers (1961), menyatakan bahwa perkembangan konsep diri ditentukan oleh interaksi yang terbentuk antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Ini berhubungan dengan umpan balik yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya terhadap perilaku individu tersebut. Umpan balik yang diberikan orang dilingkungannya akan mempengaruhi konsep diri individu. Jika umpan balik yang diberikan orang-orang dilngkungannya menunjukkan penerimaan maka individu merasa diterima dan akan membantu perkembangan diri ke arah positif. Tetapi jika umpan balik yang diberikan oleh orang-orang dilingkungannya menunjukkan penolakan maka individu akan merasa terabaikan, terasing, merasa rendah diri dan akan membentuk konsep diri ke arah yang negatif.