BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - ANISA YUNDANITA BAB IV

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui presentase medication error

  dalam proses prescribing, transcribing dan dispensing resep racikan di Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur.

  Menurut WHO (2017), medication error dapat terjadi diberbagai pelayanan kesehatan terutama di pelayanan kesehatan primer dan studi

  

medication error di pelayanan kesehatan primer masih jarang dilakukan.

  WHO (2017) juga menyatakan bahwa pelayanan kesehatan primer merupakan pelayanan kesehatan yang paling dekat dan mudah di akses oleh masyarakat. Selain itu, di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini, pelayanan kesehatan primer khususnya Puskesmas menerima program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut. Sehingga Puskesmas mampu melayani puluhan bahkan ratusan pasien setiap harinya. Hal tersebut mengakibatkan tingginya tekanan pekerjaan pada tenaga kesehatan di Puskesmas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 74 tahun 2016, tentang Standar Kefarmasian di Puskesmas, rasio untuk menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas bila memungkinkan diupayakan 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari. Sedangkan di Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur, satu orang Apoteker bekerja untuk melayani ratusan pasien perhari. Adanya hal tersebut dapat menimbulkan adanya faktor kelelahan dan mengakibatkan kinerja apoteker yang kurang optimal sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelalaian dalam melakukan praktik kefarmasian. Tingginya tekanan kerja merupakan salah satu faktor terjadinya medication

  

error. (WHO, 2017). Pada beberapa Puskesmas di Kabupaten Banyumas

  Wilayah Timur juga masih melibatkan tenaga non kesehatan untuk membantu apoteker dalam peracikan dan penyerahan obat. Padahal, menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, tidak semua orang yang dapat membaca resep, menghitung dan mengambil obat dapat memberikan obat. Hal ini dapat berbahaya dan menyebabkan penggunaan obat yang tidak rasional (Kemenkes, 2011).

  Dwiprahasto (2006) juga menyatakan bahwa medication error sangat berpotensi terjadi di Puskesmas karena umumnya di Puskesmas tidak hanya melibatkan dokter tetapi juga melibatkan perawat, bidan dan petugas obat yang sebagian besar tidak memiliki kompetensi memadai dalam penatalaksanaan pasien khususnya dalam peresepan obat. (Dwiprahasto, 2006).

  Penelitian ini dilaksanakan pada pada bulan Agustus 2017 hingga Januari 2018. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Agustus 2017 hingga Oktober 2017 kemudian mengurus surat izin penelitian dan melakukan validasi daftar tilik pada bulan November 2017. Selanjutnya melaksanakan penelitian pada bulan November 2017 hingga Januari 2018.

1. Validasi Daftar Tilik

  Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah pernyataan pada daftar tilik dapat menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. Validasi daftar tilik dilakukan menggunakan uji validasi isi (content validity) yang menguji kesesuaian antara pertanyaan dengan hal yang akan di ukur umumnya dilakukan oleh seorang ahli (expert) di bidang tersebut yaitu dengan meminta pendapat 4 orang ahli yaitu Apoteker Puskesmas 1 Purwokerto Utara, Apoteker Puskesmas 1 Sokaraja, beserta Dosen Pembimbing I yaitu Ibu Indri Hapsari, M.Si., Apt dan Dosen Pembimbing 2 yaitu Ibu Erza Genatrika, M.Sc., Apt. Para ahli tersebut kemudian dimintai pendapatnya tentang parameter pada masing-masing proses yang telah disusun. Adapun hasil uji validasi daftar tilik yang telah dilakukan terdapat dalam lampiran 9.

  Validasi yang pertama dilaksanakan pada tanggal 11 November 2017 bersama Apoteker Puskesmas 1 Purwokerto Utara. Menurut ahli, pencantuman nomor SIP dokter dirasa tidak perlu di masukan dalam parameter pada proses prescribing, karena resep yang ada di Puskesmas bersifat internal, artinya Instalasi Farmasi di Puskesmas tidak menerima resep dari luar lingkup Puskesmas dan hanya melayani permintaan obat dari dokter atau petugas kesehatan lainnya yang terdaftar secara legal di Puskesmas tersebut selain itu menurut ahli pada proses prescribing juga tidak perlu adanya nama kepala keluarga/nama orang tua pasien bagi pasien anak-anak. sebagai parameter medication error pada proses prescribing, karena biasanya yang tertulis dalam resep adalah nama pasien baik pasien dewasa maupun anak. Nama kepala keluarga dirasa tidak akan berpengaruh besar terhadap proses prescribing. Tulisan resep tidak terbaca juga disarankan oleh ahli untuk tidak dimasukan sebagai parameter prescribing karena parameter tersebut sudah mencakup semua tulisan yang ada pada resep. Ahli juga menyarankan untuk tidak memasukan penyampaian edukasi dan informasi terkait pengobatan dari apoteker kepada pasien sebagai salah satu parameter pada proses dispensing karena menurut ahli, sudah ada tenaga kesehatan lainnya yang lebih berhak untuk memberikan edukasi dan informasi terkait terapi pengobatan seperti ahli gizi atau dokter, sehingga di khawatirkan informasi yang diberikan oleh apoteker akan tumpang tindih dengan tenaga kesehatan lainnya.

  Validasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 13 November 2017 oleh Dosen Pembimbing 1 yaitu Ibu Indri Hapsari, M.Si., Apt. Pada proses ahli menyarankan untuk menghapus parameter tulisan resep tidak

  prescribing

  terbaca karena dirasa tumpang tindih dengan parameter lainnya dalam proses

  

prescribing seperti nama obat tidak jelas/nama pasien tidak jelas dan lain

  sebagainya. Ahli juga menyarankan untuk menghapus parameter tidak terdapat nama kepala keluarga dalam parameter prescribing serta menghapus tidak terdapat SIP dokter sebagai parameter pada proses prescribing karena SIP dokter hanya dimiliki oleh dokter, sedangkan yang menuliskan resep di Puskesmas bukan hanya dokter, tetapi ada tenaga kesehatan lainnya juga seperti perawat atau bidan.

  Validasi yang ketiga dilaksanakan pada tanggal 16 November 2017 oleh Dosen Pembimbing 2 yaitu Ibu Erza Genatrika, M.Sc., Apt. Menurut ahli, pencantuman nama kepala kelurga juga dirasa tidak perlu dijadikan sebagai salah satu parameter medication error pada proses prescribing. Menurut ahli, tidak ada nama kepala keluarga juga tidak perlu dijadikan sebagai salah satu parameter medication error pada proses prescribing. Ahli juga menyarankan untuk menghapus parameter tulisan resep tidak terbaca pada proses

  

prescribing dan parameter apoteker tidak menyampaikan edukasi dan

informasi terkait pengobatan pada proses dispensing.

  Validasi yang keempat dilaksanakan pada tanggal 18 November 2017 oleh Apoteker Puskesmas 1 Sokaraja. Ahli menyarankan untuk menghapus parameter tidak ada SIP dokter dan menghapus nama kepala keluarga/orangtua pasien untuk pasien anak-anak sebagai salah satu parameter dari prescribing, ahlijuga menyarankan menghapus parameter penyampaian informasi dan edukasi pengobatan dari apoteker kepada pasien terutama mengenai hal-hal gizi pada proses dispensing, serta menghapuskan apoteker tidak menyampaikan kontraindikasi obat kepada pasien pada proses

  

dispensing karena penyampaian kontraindikasi kepada pasien dikhawatirkan

justru akan menakut-nakuti pasien.

  Parameter apoteker tidak meyampaikan kontraindikasi dan salah kekuatan sediaan pada tahap dispensing. Peneliti memutuskan untuk tetap menggunakan parameter apoteker tidak menyampaikan kontraindikasi sebagai parameter medication error pada proses dispensing karena berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas tahun 2016 bahwa apoteker harus menyampaikan kontraindikasi pada pasien rawat jalan. Peneliti juga memutuskan untuk tetap menggunakan parameter salah kekuatan sediaan pada saat compounding dikarenakan terdapat beberapa jenis obat yang memiliki lebih dari satu jenis kekutan sediaan.

  Setelah melakukan validasi daftar tilik, selanjutnya melakukan penelitian. Penelitian ini dilakukan secara prospektif terhadap 100 resep racikan yang ada di Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur dengan mengamati parameter-parameter kejadian medication error pada proses prescribing, transcribing dan dispensing dalam daftar tilik yang sudah di validasi.

  Seluruh resep racikan yang diteliti diperoleh dari 6 Puskesmas yang memenuhi kriteria inklusi di Kabupaten Banyumas Wilayah Timur, yaitu Puskesmas Kalibagor, Puskesmas Banyumas, Puskesmas Somagede, Puskesmas 2 Sumpiuh, Puskesmas 1 Tambak dan Puskesmas 2 Tambak dengan jumlah resep racikan pada masing-masing Puskesmas yaitu Puskesmas Kalibagor sebanyak 17 resep racikan, Puskesmas Banyumas sebanyak 13 resep racikan, Puskesmas Somagede sebanyak 21 Resep racikan, Puskesmas 2 Sumpiuh sebanyak 22 resep racikan, Puskesmas 1 Tambak sebanyak 13 resep racikan, dan Puskesmas 2 Tambak sebanyak 14 resep racikan (Tabel 3.2).

  Pengambilan data resep racikan dilakukan secara prospektif, dimulai pada saat pasien mengantarkan resep racikan hingga pasien memperoleh obat, termasuk segala proses penyiapan dan peracikan yang dilakukan oleh apoteker. Pada saat pasien mengantarkan resep racikan yang ditulis oleh penulis resep (prescriber) hingga proses peracikan dan penyerahan obat oleh apoteker, peneliti mengamati adanya kesalahan pada proses prescribing,

  

transcribing dan dispensing yang menunjukan adanya medication error

  berdasarkan parameter-parameter dalam lembar daftar tilik yang sudah divalidasi.

2. Identifikasi Medication Error a. Identifikasi Medication Error pada Proses Prescribing

  adalah kesalahan dalam peresepan atau kesalahan

  Prescribing error

  dalam penulisan resep. Pengamatan dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan dan penulisan pada 100 resep racikan di seluruh Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur yang memenuhi kriteria inklusi sesuai dengan parameter-parameter yang menunjukan adanya medication

  error pada proses prescribing yang ada dalam daftar tilik. Dalam

  penelitian ini, terdapat 15 parameter untuk menilai adanya prescribing Adapun hasil identifikasi medication error pada proses prescribing error. tertera dalam grafik 4.1

   Identifikasi Medication Error Pada Proses Prescribing Angka Kejadian

  96 99 99 92 100

  73 72 64 68

  50

  25

  14

  1

  4

  3

2 A B C D E F G H

  I J K L M N O

Grafik 4.1 Hasil Identifikasi Medication Error pada Proses Prescribing di Puskesmas

Kabupaten Banyumas Wilayah Timur.

  Keterangan A : Tidak ada nama penulis resep B : Tidak ada paraf penulis resep C : Tidak ada tanggal penulis resep D : Salah/Tidak jelas nama pasien E : Tidak ada tanggal lahir (usia) pasien F : Tidak ada/tidak jelas alamat pasien G : Tidak ada berat badan pasien H : Nama obat tidak jelas I : Tidak ada kekuatan sediaan J : Tidak ada/salah satuan dosis K :Tidak ada bentuk sediaan L : Tidak lengkap/tidak ada jumlah obat M :Duplikasi N : Tidak ada/salah aturan pakai O : Tidak ada/ Tidak lengkap/salah aturan pakai

  Grafik tersebut menunjukan adanya kesalahan pada masing-masing parameter yaitu tidak ada nama penulis resep 64%, tidak ada paraf penulis resep 68%, tidak ada tanggal penulisan resep 1%, salah/tidak jelas nama pasien 2%, tidak ada tangal lahir (usia) pasien 14%, tidak ada/tidak jelas alamat pasien 25%, tidak ada berat badan pasien 96%, nama obat tidak jelas 4%, tidak ada kekuatan sediaan 99%, tidak ada/salah satuan dosis 99%, tidak ada bentuk sediaan 92%, tidak ada jumlah obat 3%, duplikasi 0%, tidak ada/salah aturan pakai 73%, dan tidak lengkap/tidak ada cara pembuatan sediaan 72%. Berdasarkan grafik tersebut, kesalahan terbanyak terjadi dilakukan karena penulis resep tidak mencantumkan kekuatan sediaan dan satuan dosis, yaitu sebanyak 99%.

  Terdapat 64% resep racikan yang tidak tercantum nama penulis resep. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.74 Tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Puskesmas, nama penulis resep merupakan salah satu persyaratan administratif. Artinya, jika tidak ada nama penulis resep, maka dapat dikatakan resep tersebut tidak memenuhi persyaratan administrasi. Selain untuk memenuhi persyaratan administratif, pencantuman nama prescriber dengan jelas sangat diperlukan terutama bila terdapat hal-hal yang tidak jelas/meragukan dalam resep yang perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada penulis resep. Penulisan nama dokter dan tanggal penulisan resep sangat penting dalam penulisan resep. Pentingnya penulisan nama dokter dan tanggal penulisan resep dikarenakan ketika terjadi kesalahan pada peresepan obat, apoteker, pengelola apotek atau farmasi dapat secara langsung menghubungi dokter yang bersangkutan untuk melakukan pemeriksaan kembali (Oktarilina   dan Wafiyatunisa, 2017).

  Dalam penelitian ini, dari 100 resep racikan yang diteliti, 72% resep di tulis oleh dokter umum, 1% ditulis oleh dokter gigi dan 27% ditulis oleh bidan. Bidan mempunyai kewenangan pada kesehatan ibu dan anak (KIA), melalui program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dengan tujuan untuk menurunkan angka kematian bayi dan balita. Karena itu, di Puskesmas banyak ditemukan resep yang ditulis oleh tenaga kesehatan lain selain dokter, terutama bidan. Padahal, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Apotek, resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kpada apoteker naik dalam bentuk elektronik maupun paper untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Namun, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Praktik Bidan, menyebutkan bahwa bidan memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Dalam pelayanan kesehatan tersebut, bidan berhak memberikan obat-obat tertentu yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak seperti pemberian tabet tambah darah pada ibu hamil, dan pemberian vitamin A dosis tinggi ada ibu nifas. Meski bidan dapat memberikan obat-obet tertentu untuk ibu dan anak, namun tidak disebutkan bahwa bidan berhak menuliskan resep.

  Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Disebutkan hubungan hukum antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya berupa pendelegasiaan pekerjaan. Dokter dapat mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang memiliki kompetensi dan sesuai ruang lingkup keterampilan mereka untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien yang bersangkutan. Ketentuan tersebut memberikan batas tanggungjawab baik

  bagi dokter maupun apoteker, apabila di dalam pelayanannya menimbulkan

kerugian pada pasien. Tanggungjawab dokter menyangkut segala sesuatu

yang tertulis dalam resep, sehingga apabila dalam resep tersebut terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam hal penulisan resep, maka dokter ikut bertanggungjawab terhadap pelayanan resep yang dilakukan apoteker.

  Tidak ada paraf penulis resep 68%. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016, paraf penulis resep merupakan salah satu persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam resep. Paraf penulis resep merupakan salah satu parameter keabsahan suatu resep dan merupakan suatu bukti bahwa yang tertulis dalam resep adalah benar sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keahliannya. Maka, ketika dalam suatu resep tidak terdapat paraf penulis resep, keabsahan resep tersebut perlu di pertanyakan (Susanti, 2013). Nama penulis resep, paraf serta tanggal penting, agar ketika skrining kemudian terjadi kesalahan kesesuaian farmasetis meliputi bentuk sediaan, dosis , potensi, stabilitas, inkompatibiltas, cara dan lama pemberian penulis resep bisa dihubungi untuk pemeriksaan kembali (Ulfah Bilqis, 2015)

  Pencantuman identitas penulis resep dengan lengkap dan jelas sangat diperlukan untuk memperlancar pelayanan resep di apotek, terutama apabila ada hal-hal yang meragukan dan membutuhkan konfirmasi lebih lanjut kepada penulis resep. Selain itu keberadaan identitas penulis resep juga berperan untuk menghindari penyalahgunaan resep dilingkungan masyarakat (Triutari, 2007).

  Tidak mencantumkan tanggal penulisan resep 1%. Maksud dari tidak ada tanggal penulisan resep dalam penelitian ini adalah tidak tercantumnya tanggal, bulan dan tahun penulisan resep racikan. Kesalahan yang ditemukan dalam penelitian ini dikarenakan penulisan tanggal pada resep yang hanya mencantumkan tanggal dan bulan tanpa mencantumkan tahun pembuatan resepnya sehingga pencantuman tanggal penulisan resep menjadi tidak jelas. Tanggal penulisan resep dicantumkan untuk keamanan pasien dalam hal penggambilan obat. Apoteker dapat menentukan apakah resep tersebut masih bisa dilayani di apotek atau disarankan kembali ke dokter (Megawati dan Santoso, 2017). Tanggal penulisan resep penting untuk dicantumkan, karena akan memberikan keterangan waktu berlangsungnya pengobatan penderita, sehingga dapat memastikan bahwa resep dikerjakan pada waktu yang tepat, sesuai dengan kondisi pasien saat resep ditulis. Selain itu, tanggal tersebut nantinya akan dicatat dalam rekaman pengobatan penderita (Triuntari, 2007). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 46, yang menyatakan bahwa setiap dokter wajib membuat rekam medis yang harus segera dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan kesehatan, dimana rekam medis tersebut harus mencantumkan nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

  Terjadi kesalahan pada tidak ada/tidak jelas nama pasien sebesar 2%. Pada 100 resep racikan yang diteliti, semua resep tersebut tercantum nama pasien, namun terdapat 2% penulisan nama pasien yang tidak jelas.

  Kesalahan atau ketidakjelasan nama pasien dapat menimbulkan kesalahan pada proses dispensing atau penyerahan obat kepada pasien, namun kesalahan tersebut dapat dicegah pada proses transcribing pada saat pembacaan nama pasien oleh apoteker/tenaga peracik dengan cara memastikan atau mengkonfirmasi ulang nama pasien kepada pasien atau kepada penulis resep. penulisan nama pasien dengan jelas dapat bermanfaat sebagai pembeda ketika ada nama pasien yang sama agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat pada pasien (Ulfa Bilqis, 2015) Selain itu menurut Megawati dan Santoso (2017), nama pasien di dalam resep sangat berguna untuk menghindari tertukarnya obat dengan pasien lain pada waktu pelayanan di apotek. (Megawati dan Santoso, 2017)

  Pada penelitian ini sebesar 14% resep racikan yang diteliti tidak mencantumkan tanggal lahir/usia pasien. Kesalahan tersebut terjadi karena penulisan usia pasien yang tidak lengkap/tidak jelas yaitu hanya mencantumkan angka saja tanpa memberikan keterangan hari, minggu, bulan atau tahun salah satu contohnya ada lah hanya tertulis “3” tanpa memberikan keterangan hari, minggu, bulan atau tahun. Kesalahan lainnya terjadi karena tidak adanya penulisan tanggal lahir atau usia pasien pada resep racikan. Tanggal lahir/usia pasien merupakan salah satu cara apoteker untuk memastikan kesesuaian dosis pasien (Triuntari, 2007).

  Sebanyak 25% resep racikan yang diteliti tidak mencantumkan alamat pasien dengan jelas. Beberapa Puskesmas menuliskan alamat pasien menggunakan kode desa yang sudah ditentukan sesuai kesepakatan di Puskesmas tersebut. Contohnya, kode 04 untuk desa X, kode 05 untuk desa Y. Pada penelitian ini, penulisan alamat menggunakan kode tersebut dianggap tidak jelas mencantumkan alamat pasien, karena kode tersebut hanya dimengerti oleh Puskesmas tersebut saja, sehingga apabila apoteker membuat salinan resep yang dibuat sesuai dengan resep aslinya, dan salinan resep tersebut dibawa ke apotek diluar Puskesmas, kemungkinan besar apotek tersebut tidak akan memahami maksud dari pencantuman alamat tersebut. Pencantuman alamat pasien menggunakan kode juga akan menyulitkan pada proses transcribing karena apoteker/tenaga peracik harus melihat penerjemahan kode tersebut. Penulisan alamat pasien dalam resep juga diperlukan untuk memastikan ketepatan pasien pada proses penyerahan. Pada saat penyerahan obat, selain memanggil nama pasien, untuk mengantisipasi terjadinya salah pasien, biasanya alamat dan umur pasien dapat dijadikan parameter untuk memastikan ketepatan pasien. Penulisan alamat pasien dapat membantu apabila sewaktu-waktu di perlukan oleh pihak Puskesmas terkait pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien (Triuntari, 2007) Dalam penelitian ini terdapat 96% resep racikan yang tidak mencantumkan berat badan pasien. Berat badan juga merupakan salah satu aspek yang diperlukan dalam perhitungan dosis. Dalam penentuan dosis para ahli telah membuat rumus khusus berdasarkan berat badan seseorang, untuk itu berat badan sangat perlu dicantumkan dalam penulisan resep (Megawati dan Susanto, 2017). Pada beberapa resep, terdapat pencantuman berat badan pasien oleh apoteker untuk memastikan kesesuaian dosis pasien, pada pencantuman berat badan oleh apoteker tersebut tetap dinilai tidak ada penulisan berat badan pasien, karena sebelumnya tidak tercantum berat badan pasien pada resep tersebut. Berat badan pasien menjadi sangat penting terutama untuk penyesuaian dosis pada anak-anak. Karena, umumnya obat-obat racikan untuk anak adalah obat yang sebenarnya diperuntukan untuk orang dewasa yang disesuaikan jumlah dan dosisnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulfa Bilqis (2015) yang menyatakan bahwa untuk pasien bayi dan anak, berat badan menjadi komponen yang harus ada dalam penulisan resep (Ulfa Bilqis, 2015).

  Dalam penelitian ini terdapat sebanyak 2% penulisan nama obat yang tidak jelas. Nama obat tidak jelas merupakan penulisan nama obat yang sulit dibaca dan diterjemahkan termasuk karena penggunaan singkatan obat yang tidak lazim pada resep racikan yang dapat menimbulkan presepsi lain bagi apoteker sehingga dapat menyebabkan kesalahan pada proses transcribing dan dispensing. Walaupun apoteker di Puskesmas tersebut dapat menerjemahkan penulisan singkatan obat tersebut, tapi belum tentu apoteker lain dapat menerjemahkan singkatan obat tersebut, hal itulah yang disebut dengan singkatan obat yang tidak lazim dalam penelitian ini. Kesalahan dalam penelitian ini terjadi karena adanya penggunaan singkatan “mol” untuk paracetamol, “Dx” untuk dexametason dan “dmp” untuk domperidon yang merupakan singkatan tidak lazim . Ketika penulisan nama obat yang tidak jelas ini terjadi, maka

  

transcriber akan mengalami kesulitan untuk membaca atau memahami

  nama obat yang dimaksud, sehingga bisa memunculkan interpretasi yang berbeda antara prescriber dan transcriber. Perbedaan interpretasi nama obat ini dapat menyebabkan medication error atau kesalahan pemberian obat. Penulisan nama obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kesalahan pemberian obat, karena banyak obat yang tulisannya hampir sama atau penyebutannya sama. Untuk itu, dokter harus menuliskan nama obat dengan jelas sehingga terhindar dari kesalahan pemberian obat. (Ulfa Bilqis, 2015)

  Sebanyak 99% resep racikan yang diteliti tidak mencantumkan kekuatan sediaan. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Ika Susanti pada tahun 2013 yang menunjukan sebanyak 39% terjadi kesalahan pada proses prescribing karena tidak mencantumkan kekuatan sediaan. Penulisan kekuatan sediaan harus ditulis dengan jelas agar terhindar dari kesalahan pemberian kekuatan sediaan mengingat adanya obat-obat yang memiliki kekuatan sediaan lebih dari satu. Kekuatan sediaan sangat erat kaitannya dengan dosis obat. Dosis obat adalah jumlah atau ukuran yang dharapkan dapat memberikan efek terapi pada fungsi tubuh yang memiliki gangguan (Ulfah Bilqis, 2015). Kekuatan sediaan ini berpengaruh terhadap hasil terapi yang akan dijalani dan berkaitan dengan indeks terapi obat. Jika konsentrasi obat lebih kecil dari kebutuhan pasien maka efek terapi yang didapatkan tidak akan tercapai sedangkan jika kekuaatan sediaan lebih besar dari yang harus diberikan maka bisa menimbulkan toksik.

  Terdapat sebanyak 99% resep racikan yang diteliti tidak mencantumkan satuan dosis obat. Hal tersebut juga di tunjukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ika Susanti yang menyatakan 56% resep tidak terdapat satuan dosis. Contoh kesalahan penulisan satuan dosis adalah “Paracetamol tablet 500mg” menjadi “Pacaretamol tablet 500g” atau hanya menuliskan “paracetamol 500” tanpa menuliskan satuan dosis.

  Pada penelitian ini, kesalahan terjadi karena tidak tercantumnya kekuatan sediaan dan satuan dosisnya. Menurut Amalia dan Sukohar (2014), jumlah obat yang diminta dapat ditulis dengan satuan mg, g, IU, ml (Amalia dan Sukohar, 2014). Terjadinya kesalahan dalam satuan obat akan mempengaruhi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh (Oktarilina   dan

  Wafiyatunisa, 2017) Dalam penelitian ini, yaitu ditemukan sebanyak 92% resep racikan yang diteliti tidak mencantumkan bentuk sediaan. Tidak adanya bentuk sediaan yang tertulis dalam resep racikan, akan membuat apoteker/tenaga peracik kesulitan menerjemahkan bentuk sediaan yang dimaksud oleh penulis resep. Ketika apoteker/tenaga peracik salah menginterpretasikan bentuk sediaan yang diinginkan, maka akan terjadi kesalahan bentuk

  .

  sediaan pada proses dispensing Padahal, pemilihan bentuk sediaan ini disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada beberapa resep racikan, ditemukan penulisan bentuk sediaan secara lengkap, baik tablet, sirup maupun salep. Namun, penulisan bentuk sediaan khususnya tablet jarang ditemukan. Penulisan bentuk sediaan pada resep racikan yang diteliti mayoritas hanya menuliskan bentuk sediaan lain selain tablet, seperti sirup dan sediaan semi solid. Contohnya, ketika penulis resep meresepkan obat paracetamol tablet, penulis resep hanya menuliskan

  ”PCT” atau “Paracetamol” tanpa memberikan keterangan bentuk sediaan tablet seperti “PCT tab” atau “Paracetamol tab” dengan anggapan jika tidak ada keterangan bentuk sediaan, maka bentuk sediaan yang dimaksud adalah tablet. Namun ketika panulis resep meresepkan paracetamol sirup, penulis resep menuliskan “PCT syr” atau “Pacaretamol syr” (terdapat keterangan bentuk sediaan yang diinginkan). Tidak adanya penulisan bentuk sediaan dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda antara apoteker dengan penulis resep. Selain itu, penulisan bentuk sediaan harus ditulis dengan jelas agar tidak memicu terjadinya kesalahan pemberian bentuk sediaan obat yang akan digunakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan kondisi pasien (Ulfa Bilqis, 2015).

  Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 3% resep racikan tidak mencantumkan jumlah obat. Kesalahan terjadi karena pada resep racikan yang diteliti terdapat resep racikan yang tidak tercantum jumlah obat. Menurut Amalia dan Sukohar (2014), jumlah obat yang dibutuhkan harus ditulis menggunakan angka romawi dan di tulis dengan jelas (Amalia dan Sukohar, 2014). Pencantuman aspek jumlah obat dapat menggambarkan durasi/lama terapi tertentu yang dikehendaki oleh dokter, sesuai dengan tindakan medis yang dilakukan (Triuntari, 2007).

  Sebanyak 73% resep racikan yang diteliti salah menuliskan aturan pemakaian obat. Penulisan frekuensi pemberian obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kesalahan informasi penggunaan obat, karena keadaan dan kondisi pasien menentukan frekuensi penggunaan obat yang tepat (Ulfah Bilqis, 2015). Kesalahan tersebut terjadi karena penulisan aturan pakai obat yang tidak sesuai dengan ka idah penulisan resep seperti “3x1” atau “3.1” untuk “S 3.dd 1” atau penulisan “k.p” (kalau perlu) untuk “p.r.n” (pro re nata) yang berarti bila perlu. Padahal menurut Amalia dan Sukohar (2014) penulisan aturan pakai dalam resep ditulis dengan singkatan latin dengan jelas. Signatura merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri dari tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu pemberian. Penulisan sigantura harus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan keberhasilan terapi (Amalia dan Sukohar, 2014).

  Sebanyak 72% tidak ada/tidak lengkap/salah menuliskan cara pembuatan sediaan pada resep racikan yang diteliti. Beberapa resep yang hanya menuliskan garis beserta angka romawi saja seperti X dengan maksud untuk sejumlah obat tersebut dibuat 10 bungkus puyer dinilai sebagai tidak ada cara pembuatan. Ada juga beberapa resep yang hanya menuliskan pulv tanpa ada keterangan jumlah puyer yang harus dibuat dinilai sebagai tidak lengkap menulis cara pembuatan, dan penulisan “puyer”, “pyr” atau “mix” pada resep racikan dinilai sebagai salah menuliskan cara pembuatan karena penulisannya tidak sesuai dengan kaidah penulisan resep. Ada berbagai pola penulisan cara pembuatan pada resep racikan yang diteliti. Untuk itu, kemampuan apoteker dalam menerjemahkan penulisan cara pembuatan yang salah atau tidak sesuai dengan peraturan ini sangat berpengaruh pada proses peracikan nantinya.

  Resep racikan yang paling banyak ditemukan adalah berbentuk pulveres. Pulveres adalah serbuk yang terbagi dalam bobot yang kurang lebih sama, dibungkus dengan kertas pekamen atau bahan pengemas lain yang cocok. Serbuk ditulis oleh penulis resep dalam dua cara. Pertama, ditulis jumlah obat lalu dibagi beberapa bungkus contohnya pct 10g m.f.pulv no XX artinya, sebanyak 10g paracetamol diserbuk kemudian dibagi menjadi 20 pulveres. Yang kedua, ditulis jumlah obat setiap bungkus dan buat beberapa bungkus. Misal pct 100mg m.f. pulv dtd no

  XX artinya, dalam satu pulveres terdaat 100mg paracetamol. (Syamsuni, 2013).

  Terdapat resep racikan berisi antibiotik sebanyak 25% dalam penelitian ini. Resep tersebut berisi obat antibiotik tablet yang di minta untuk di buat puyer dan di campurkan dengan obat lain. Dalam pengamatan yang telah dilakukan, ada beberapa cara apoteker untuk menyikapi hal tersebut. Pertama, melakukan peracikan dalam hal ini mengubah bentuk sediaannya menjadi puyer, namun tidak mencampurkannya dengan obat lain. Kedua, mengganti bentuk sediaan antibiotik tersebut dari tablet menjadi sirup sehingga antibiotik tidak dicampurkan dengan obat lain. Ketiga, mengikuti perintah dalam resep untuk mencampur antibiotik tersebut dengan obat lain. Pengubahan bentuk sediaan ini, menjadi salah bentuk sediaan dalam proses dispensing ketika apoteker tidak mengkonfirmasikan perubahan bentuk sediaan tersebut kepada penulis resep. Apoteker memisahkan antibiotik dengan obat lain karena dikhawatirkan jika gejala sudah menghilang, pasien berhenti meminum antibiotik tersebut sehingga obat antibiotik tersebut tidak dihabiskan. Penggunaan antibiotik berkaitan dengan lama penggunaan obat dan menyebabkan dosis antibiotik tidak dikonsumsi dengan tepat dan dapat memicu terjadinya resistensi (Kemenkes, 2011)

  Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.74 Tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Puskesmas, pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis.

  Adapun persyaratan administrasi meliputi nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien, nama dan paraf dokter, tanggal penulisan resep, ruangan/unit asal resep. Artinya, jika tidak ada nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien, tidak terdapat nama dan paraf dokter serta tidak ada tanggal penulisan resep, maka dapat dikatakan resep tersebut tidak memenuhi persyaratan administrasi.

  Dalam penulisan resep, terdapat beberapa hal yang harus difahami dengan baik oleh penulis resep (prescriber) maupun pembaca resep

  

(dispenser) . Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap untuk

  menghindari adanya kegagalan komunikasi/salah interprestasi dalam mengartikan resep antara prescriber dengan dispenser yang disebabkan oleh tulisan tangan prescriber tidak jelas atau penggunaan singkatan yang tidak baku serta penulisan aturan pakai yang tidak lengkap. Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara

  

prescriber dengan dispenser merupakan salah satu faktor penyebab

  timbulnya kesalahan medikasi (medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita.

b. Identifikasi Medication Error pada Proses Transcribing

  adalah kesalahan dalam membaca atau

  Transcribing error

  menerjemahkan resep. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati kemampuan apoteker atau tenaga peracik di masing-masing Puskesmas dalam menerjemahkan resep racikan dan mengamati ada tidaknya tindakan apoteker dalam menangani ketidakjelasan atau kesalahan yang terjadi pada proses prescribing, sesuai dengan 9 parameter yang menunjukan adanya

  

medication error dalam proses transcribing yang tersedia dalam daftar

  tilik. Adapun hasil identifikasi medication error pada proses dispensing tertera dalam grafik 4.2.

  

Identifikasi Medication Error Pada Proses Transcribing

Angka kejadian

  2

  2

  1.5

  1

  1

  1

0.5 A B C D E F G H

  I Grafik 4.2 Hasil Identifikasi Medication Error pada Proses Transcribing di

Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur.

  Keterangan A : Salah nama pasien B : Salah usia pasien C : Salah nama obat D : Salah bentuk sediaan E : Salah kekuatan sediaan F : Salah jumlah obat G : Tidak mampu mengetahui kesesuaian dosis obat H : Salah cara pembuatan I : Salah aturan pakai

  Berdasarkan grafik tersebut, kesalahan yang terjadi pada proses

  

transcribing dalam penelitian ini yaitu salah nama pasien dengan jumlah

  2%, serta salah usia pasien dan tidak mampu mengetahu kesesuaian dosis dengan jumlah 1%. Sedangkan pada parameter transcribing lainnya tidak ditemukan adanya kesalahan.

  Dalam analisis dan interpretasi resep, transcriber membaca dan mengartikan tulisan dalam resep yaitu nama obat, aturan pakai, cara pembuatan dan singkatan-sigkatan dalam resep, kemudian memastikan bahwa dosis yang ditulis sesuai dengan keadaan/kondisi pasien (jenis kelamin, umur dan berat badan), dan menghubungi dokter apabila ada instruksi dalam resep yang tidak jelas (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

  Pada penelitian ini sebanyak 2% kesalahan terjadi karena apoteker salah menerjemahkan nama pasien dan apoteker tidak mengkonfirmasi ulang nama pasien tersebut. Ketidakmampuan apoteker untuk membaca nama pasien tersebut terjadi akibat penulisan nama pasien yang tidak jelas pada resep racikan sehingga pada saat penyerahan obat dalam proses

  

dispensing, apoteker salah menyebutkan nama pasien. Ketika

  apoteker/tenaga peracik tidak mampu menerjemahkan nama pasien, maka apoteker dapat mengkonfirmasi ulang nama pasien kepada pasien/keluarga pasien untuk mencegah terjadinya kesalahan penulisan nama pasien di etiket atau mencegah terjadinya salah pasien pada proses dispensing.

  Salah usia pasien yang dimaksud pada proses transcribing ini adalah apoteker/tenaga peracik tidak mampu membaca/menerjemahkan usia pasien, baik yang sudah tertulis dalam resep racikan maupun tidak tertulis jelas dalam resep racikan dan tidak adanya tindakan apoteker/tenaga peracik untuk memastikan ketidakjelasan usia pasien tersebut. Dalam penelitian ini, ditemukan adanya kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam menerjemahkan usia pasien yaitu sebanyak 1%. Kesalahan tersebut disebabkan karena apoteker tidak memastikan usia pasien padahal dalam resep racikan tidak tercantum usia pasien. Usia pasien merupakan salah satu cara apoteker menilai kesesuaian dosis. Ketika apoteker tidak memastikan usia pasien, artinya apoteker juga tidak memastikan dosis obat yang diberikan kepada pasien tersebut. Ada beberapa kesalahan penulisan usia pasien pada proses prescribing yaitu penulisan usia pasien yang hanya menuliskan angka saja tanpa menuliskan keterangan usia seperti hari, bulan atau tahun, pada kesalahan tersebut apoteker memastikan dengan melihat pasien atau menanyakan ulang kepada pasien sehingga pada kasus tersebut, apoteker dinilai tidak melakukan kesalahan yang termasuk dalam salah usia pasien pada proses transcribing, karena apoteker mampu menerjemahkan dan melakukan tindakan walaupun penulisan usia pasien dalam resep racikan tersebut tidak jelas. Ketika apoteker/tenaga peracik tidak mampu menerjemahkan usia pasien, maka apoteker/tenaga peracik dapat mengkonfirmasi ulang usia pasen kepada pasien/keluarga pasien.

  Dalam penelitian ini tidak ditemukan kesalahan dalam menerjemahkan nama obat karena apoteker mampu menerjemahkan nama obat yang ditulis oleh penulis resep walaupun ada beberapa penulisan nama obat yang tidak jelas. Salah nama obat yang dimaksud adalah apoteker/tenaga peracik tidak dapat menerjemahkan nama obat atau tidak adanya tindakan apoteker/tenaga peracik untuk memastikan nama obat yang dimaksud oleh penulis resep. Ketika nama obat tidak jelas, dan apoteker tidak mampu untuk menerjemahkannya, maka apoteker harus mengkonfirmasi nama obat tersebut kepada penulis resep agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan dan penyerahan obat kepada pasien pada proses dispensing.

  Tidak terjadi kesalahan dalam menerjemahkan bentuk sediaan. Salah bentuk sediaan yang dimaksud dalam proses transcribing ini adalah kesalahan apoteker/tenaga peracik karena tidak dapat menerjemahkan bentuk sediaan yang dimaksud oleh penulis resep dan tidak adanya tindakan apoteker/tenaga peracik dalam memastikan bentuk sediaan yang tidak jelas tersebut. Kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam menerjemahkan bentuk sediaan dapat terjadi karena tidak terdapat keterangan bentuk sediaan yang tertulis dalam resep racikan. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan adanya kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam menerjemahkan bentuk sediaan. Ketika ada kesalahan penulisan bentuk sediaan dalam proses prescribing dan apoteker tidak mampu untuk menerjemahkannya, maka apoteker harus mengkonfirmasikan kepada penulis resep. Hal tersebut dapat menyamakan interpretasi resep antara apoteker dan penulis resep. Kemampuan apoteker dalam menerjemahkan bentuk sediaan yang dimaksud dalam resep dapat mencegah terjadinya medication error yang lebih buruk.

  Tidak terjadi kesalahan menerjemahkan kekuatan sediaan dalam penelitian ini. Salah kekuatan sediaan yang dimaksud dalam proses

  

transcribing ini adalah kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam

  menerjemahkan kekuatan sediaan pada resep racikan atau tidak adanya tindakan apoteker untuk memastikan kekuatan sediaan yang dibutuhkan pasien ketika apoteker/tenaga peracik tidak dapat menerjemahkan kekuatan sediaan yang dimaksud dalam resep racikan. Salah membaca atau mengartikan kekuatan sediaan dalam proses transcribing akan sangat berpengaruh pada pengambilan kekuatan obat saat peracikan. Kemampuan apoteker untuk dapat menerjemahkan kekuatan obat yang dimaksud dalam resep, sangat berperan untuk mencegah terjadinya medication error.

  Ketika apoteker tidak mampu untuk menerjemahkan kekuatan sediaan yang dimaksud, maka apoteker harus mengkonfirmasi kekuatan sediaan yang dikehendaki oleh penulis resep.

  Pada penelitian ini tidak ditemukan kesalahan apoteker dalam menerjemahkan jumlah obat. Salah jumlah obat yang dimaksud adalah apoteker/tenaga peracik salah membaca dan menerjemahkan jumlah obat yang tertulis pada resep racikan atau tidak adanya tindakan apoteker untuk memastikan jumlah obat yang tidak ditulis penulis resep dalam resep racikan. Kesalahan penerjemahan jumlah obat dapat terjadi karena ada tidak tercantumnya jumlah obat pada resep racikan atau penulisan jumlah obat yang tidak jelas. Jumlah obat akan sangat berpengaruh dengan dosis dan durasi waktu penggunaan obat oleh pasien. Maka, ketika apoteker tidak dapat menerjemahkan jumlah obat dalam resep, apoteker harus mengkonfirmasi jumlah obat yang di kehendaki oleh penulis resep.

  Dalam penelitian ini, sebanyak 1% apoteker/tenaga peracik tidak mampu mengetahui kesesuaian dosis obat. Kesalahan tersebut disebabkan karena apoteker tidak memastikan usia pasien padahal dalam resep racikan tidak tercantum usia pasien. Padahal, menurut Kemenkes RI tahun 2011, usia pasien merupakan salah satu cara apoteker menilai kesesuaian dosis. Ketika apoteker tidak memastikan usia pasien, artinya apoteker juga tidak memastikan dosis obat yang diberikan kepada pasien tersebut. Ada beberapa kejadian salah dosis yang terjadi, namun apoteker mampu menangani ketidaksesuaian dosis tersebut dengan menghitung kembali dosis obat yang sesuai dengan umur atau berat badan pasien. Artinya, pada proses transcribing apoteker mengerti atau memahami ada kesalahan pada dosis obat dan mampu bertindak ketika menemukan kesalahan tersebut. Namun perubahan dosis tersebut tentunya atas konfirmasi/persetujuan dari penulis resep. Penyerahan obat dengan dosis melebihi dosis maksimum dapat dilakukan dengan membubuhkan tanda seru dan paraf penulis resep, atau dengan diberi garis bawah pada nama obat tersebut (Syamsuni, 2013).

  Dalam penelitian ini, tidak ditemukan kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam menerjemahkan cara pembuatan obat pada resep racikan. Padahal, tidak semua cara pembuatan obat dalam resep tertulis dengan benar. Contoh kesalahan penulisan cara pembatan obat pada resep adalah dengan hanya menuliskan “X”, “pyr”, “mix”, “pulv” . Meskipun penulisan cara pembuatan obat tidak dituliskan dengan benar, apoteker di Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur mampu menerjemahkan cara pembuatan obat pada resep racikan tersebut. Kesalahan penerjemahan cara pembuatan dapat mengakibatkan kesalahan pada bentuk sediaan yang diberikan, padahal bentuk sediaan disesuaikan dengan kebutuhan pasien (Susanti, 2013).

  Kemampuan apoteker/tenaga peracik dalam menerjemahkan penulisan aturan pemakaian obat yang salah atau tidak sesuai dengan peraturan ini sangat berpengaruh pada penggunaan obat oleh pasien. Tidak ditemukan adanya kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam menerjemahkan aturan pakai. Padahal, ada beberapa resep yang penulisan aturan pakainya tidak jelas atau tidak lengkap. Contoh kesalahan penulisan aturan pakai dalam resep yaitu penulisan

  “3.1” atau “3x1” untuk S 3 dd 1, atau penulisan “k.p” (kalau perlu) untuk p.r.n (pro renata) yang artinya bila perlu. Meskipun terjadi kesalahan penulisan aturan pakai, tulisan tersebut masih dapat diterjemahkan oleh apoteker/tenaga peracik.

  Membaca permintaan dokter dengan akurat merupakan bagian yang vital dalam memberikan obat dengan aman. Perawat dan profesional kesehatan terkait yang mempraktikan seni membaca resep kadang dapat menemui kesulitan dan kebingungan. Saat membaca permintaan dokter perhatikan nama pasien, tanggal, nama obat di tulis dengan jelas, dosis, bentuk sediaan, cara dan waktu pemberian sudah ditulis. (Nancy DiDona, 2013)

  Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep atau singkatan dalam resep, Apoteker harus hubungi penulis resep (DEPKES RI, 2008).

  Apoteker memiliki posisi yang strategis untuk meminimalkan kejadian medication error. Kontribusi yang dapat dilakukan Apoteker antara lain dengan meningkatkan pelaporan, pemberian informasi obat kepada pasien dan tenaga kesehatan lain, meningkatkan keberlangsungan rejimen pengobatan pasien, peningkatan kualitas dan keselamatan pengobatan pasien di rumah (DEPKES RI, 2008).

  Apabila Apoteker/petugas lain tidak dapat membaca tulisan dalam resep, maka harus menghubungi penulis resep untuk memperoleh klarifikasi. Petugas tidak boleh menduga-duga resep tersebut, karena akan membahayakan nyawa pasien jika salah memberikan obat. (Kementerian Kesehatan RI, 2011).