Uji angka lempeng total rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) - USD Repository

  UJI ANGKA LEMPENG TOTAL RIMPANG BASAH, RIMPANG KERING, DAN EKSTRAK ETANOLIK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

  SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi

  Oleh: Maria Diyan Monica

  NIM : 068114119

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  UJI ANGKA LEMPENG TOTAL RIMPANG BASAH, RIMPANG KERING, DAN EKSTRAK ETANOLIK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

  Yang diajukan oleh : Maria Diyan Monica

  NIM : 068114119 Telah disetujui oleh :

  Dosen Pembimbing Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt.

  Tanggal :

  Kupersembahkan karya sederhana ini kepada

Yohanes Bambang Soenarko (PAPA) dan M.M. Siti Subaryati

(MAMA) Sebagai bukti cinta dan baktiku

  Kakakku Eben dan keluarga

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Maria Diyan Monica Nomor Mahasiswa : 068114119

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

Uji Angka Lempeng Total Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekttrak

Etanolik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 17 Februari 2010 Yang menyatakan Maria Diyan Monica

  

PRAKATA

  Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya yang begitu melimpah penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan judul

  

“Uji Angka Lempeng Total Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak

Etanolik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) .

  Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat bagi penulis dalam memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari arahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak, yang tanpa mereka skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

  1. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

  2. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si., selaku dosen penguji atas bimbingan dan perhatiannya.

  3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt., selaku dosen penguji atas bimbingan dan perhatiannya.

  4. Segenap dosen yang telah memberikan bimbingan dan bantuan dalam bentuk apapun kepada penulis.

  5. Mas Agus dan seluruh karyawan Laboratorium Mikrobiologi Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada atas bantuan yang sangat berarti.

  6. Mas Sarwanto, Mas Wagiran, dan Mas Sigit serta segenap karyawan Fakultas Farmasi Sanata Dharma yang telah memberikan begitu banyak bantuan dan kemudahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

  7. Orang tuaku tercinta, mama dan papa atas segala doa, dukungan, dan pengorbanannya, serta seluruh keluarga terutama kakak dan adikku, dan Garbo atas segala perhatian dan bantuannya.

  8. Teman-teman angkatan 2006, terutama 2006 FST atas segenap kebersamaan selama ini.

  9. Teman-teman seperjuangan : Krismawulan, Dwi, Thomas, Joice, Melia, Wulan, dan Eka, terimakasih untuk kebersamaan dalam suka dan duka.

  10. Teman Kost “Putri Ayu”, terutama Nona, Wiwik, Rinda, Susi, yang banyak memberi semangat dan senyuman.

  11. Teman, rekan, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis, yang telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak.

  Penulis menyadari adanya keterbatasan dan kekurangan dari penulis, sehingga skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini berguna bagi seluruh pembaca, dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

  Yogyakarta Penulis

  

INTISARI

  Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman obat yang luas digunakan baik oleh masyarakat maupun industri obat tradisional sebagai bahan baku obat tradisional. Rimpang temulawak dimanfaatkan dalam berbagai bentuk hasil olahan seperti rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak. Hasil olahan rimpang temulawak tersebut melewati beberapa proses pengolahan seperti pencucian, pengeringan, dan ekstraksi. Bahan baku obat tradisional harus memenuhi persyaratan keamanan yang telah ditetapkan pemerintah, salah satunya adalah nilai Angka Lempeng Total (ALT).

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa jumlah cemaran bakteri dari rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak sehingga dapat ditentukan apakah nilai ALT tersebut melebihi batas keamanan yang telah ditetapkan atau tidak. Persyaratan ALT menurut SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 adalah 10 koloni/gram bahan untuk rajangan rimpang basah, 10 koloni/gram bahan untuk serbuk dari rimpang kering (Anonim, 1994a), dan menurut Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia adalah 10 koloni/ml ekstrak untuk ekstrak etanolik temulawak (Anonim, 2004).

  Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif yang dianalisis dengan perhitungan Angka Lempeng Total. Dari data kuantitatif 3 macam sampel dengan 3 kali replikasi yang dilakukan, diperoleh jumlah koloni untuk rimpang

  8

  8

  temulawak sebesar 2,9x10 ±0,058x10 koloni/gram sampel; untuk rimpang kering

  7

  7

  temulawak sebesar 1,4x10 ±0,058x10 koloni/gram sampel; dan untuk ekstrak

  3

  3 etanolik temulawak sebesar 1,0x10 ±0,16x10 koloni/ml sampel.

  Dari data yang didapatkan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk olahan rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak pada penelitian ini tidak memenuhi parameter keamanan nilai ALT yang telah ditetapkan pada SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia 661/MENKES/SK/VII/1994 dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia.

  

Kata kunci : Angka Lempeng Total (ALT), rimpang, ekstrak etanolik,

  Temulawak, proses pengolahan

  

ABSTRACT

  Curcuma (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) is one of the plants have been widely used by Indonesian people and traditional medicine industries as raw material in process of making traditional medicine. Curcuma rhizome used in various type such as rhizome, dried rhizome, or ethanolic extract. As raw material for traditional medicine, those products of curcuma rhizome have to fullfill the safety strandard, and one of those safety standard is Total Plate Count.

  The research was considered a non-experimental research with descriptive and comparative research design. The aim of this research was to count the Total Plate Count of curcuma rhizome, dried curcuma rhizome, and ethanolic extract of curcuma. The prerequirement of Total Plate Count according to the Indonesian Departemen of Health number 661/MENKES/SK/VII/1994 was 10 colonies/gram for rhizome, 10 colonies/gram for powder of dried rhizome (Anonym, 1994a), and according to Monography of Indonesian Herbal Medicine Extract was 10 colonies/ml for ethanolic extract of curcuma (Anonym, 2004).

  Data achieved was quantitative ones which were analyzed by applying the computation of Total Plate Count. From quantitative data of 3 samples and 3 times replication which were implementated, it was found that amount colony of

  8

  8

  curcuma rhizome = 2,9 10 ±0,058x10 colonies/gram of sample; amount colony

  7

  7

  of dried curcuma rhizome = 1,4x10 ±0,058x10 colonies/gram of sample, amount

  2

  2

  colony of ethanolic extracted curcuma = and 1,0x10 ±0,16x10 colonies/ml of sample.

  Based on the finding above,it can be concluded that curcuma rhizome, dried curcuma rhizome, and ethanolic extract of curcuma in this research not fullfill the Total Plate Count prerequirement of Indonesian Departemen of Health number 661/MENKES/SK/VII/1994 and Monography of Indonesian Herbal Medicine Extract.

  

Keywords: Total Plate Count (TPC), rhizome, ethanolic extract, Curcuma,

extraction stages.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 31 Desember 2009 Penulis

  Maria Diyan Monica

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. iv PERNYATAAN PUBLIKASI ................................................................................... v PRAKATA ............................................................................................................... vi

  INTISARI ............................................................................................................... viii

  

ABSTRACT ............................................................................................................... ix

  PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................... x DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xv DAFTAR TABEL .................................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii

  BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................... 1 1. Permasalahan............................................................................................ 4 2. Keaslian Karya ......................................................................................... 4 3. Manfaat Penelitian ................................................................................... 5 B. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ....................................................................... 6 A. Rimpang Temulawak ..................................................................................... 6

  2. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak ................................................. 7 3.

  Manfaat Temulawak................................................................................. 7 B. Proses Pengolahan Rimpang .......................................................................... 8 1.

  Pencucian ................................................................................................. 8 2. Pengeringan ............................................................................................ 10 3. Ekstraksi ................................................................................................. 11 C. Obat Tradisional ........................................................................................... 13 D.

  Cemaran Bakteri........................................................................................... 14 E. Uji Angka Lempeng Total (ALT) ................................................................ 17 F. Landasan Teori ............................................................................................. 19 G.

  Hipotesis ....................................................................................................... 20

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 21 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................... 21 B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .............................................. 21 C. Bahan Penelitian........................................................................................... 22 D. Alat Penelitian .............................................................................................. 23 E. Tata Cara Penelitian ..................................................................................... 23 1. Pengumpulan Rimpang Temulawak ...................................................... 23 2. Identifikasi Rimpang Temulawak .......................................................... 23 3. Pencucian dan Perajangan Rimpang Temulawak .................................. 23 4. Pengeringan Rimpang Temulawak ........................................................ 23 5. Penyerbukan Simplisia Temulawak ....................................................... 24

  7. Pengujian ALT Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak Etanolik Temulawak .............................................................................. 25 8. Perhitungan Koloni Bakteri.................................................................... 27 F. Analisis Data ................................................................................................ 29

  BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 30 A. Pengumpulan Bahan..................................................................................... 30 B. Identifikasi Rimpang Temulawak ................................................................ 30 C. Pengolahan Rimpang Temulawak ............................................................... 32 1. Pencucian ............................................................................................... 32 2. Perajangan .............................................................................................. 33 3. Pengeringan ............................................................................................ 33 4. Sortasi Kering ........................................................................................ 34 5. Pembuatan Serbuk .................................................................................. 34 6. Ekstraksi ................................................................................................. 35 D. Uji Angka Lempeng Total (ALT) ................................................................ 36 1. Penanganan Rimpang ............................................................................. 36 2. Homogenisasi Sampel ............................................................................ 36 3. Pengenceran Sampel .............................................................................. 37 4. Uji ALT Rimpang basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak Etanolik Temulawak ............................................................................................. 37 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 46 A. Kesimpulan .................................................................................................. 46

  DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 47 LAMPIRAN ............................................................................................................ 50 BIOGRAFI PENULIS ............................................................................................ 62

  

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Perbandingan Kontrol Media PCA, Kontrol Pelarut PDF, dan Perlakuan Sampel Setelah Inkubasi Selama 48 jam ........................... 39

  

DAFTAR TABEL

  Tabel I. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Rimpang Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam........................................................................................... 40

  Tabel II. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Rimpang Kering Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam ............................................................................ 42

  Tabel III. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam ............................................................................ 43

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Hasil Uji ALT Rimpang Basah Temulawak ....................................... 51 Lampiran 2. Hasil Uji ALT Serbuk Rimpang Kering Temulawak .......................... 53 Lampiran 3. Hasil Uji ALT Ekstrak Etanolik Temulawak ...................................... 55 Lampiran 4. Gambar Hasil Uji ALT Rimpang Basah Temulawak .......................... 57 Lampiran 5. Gambar Hasil Uji ALT Rimpang Kering Temulawak ........................ 58 Lampiran 6. Gambar Hasil Uji ALT Ekstrak Etanolik Temulawak ........................ 59 Lampiran 7. Perbandingan Hasil Pengamatan Organoleptis, Makroskopis, dan

  Mikroskopis Temulawak Bahan Penelitian dengan Standar MMI Jilid III ................................................................................................. 60

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman yang penggunaannya sangat meluas di kalangan masyarakat Indonesia. Pemanfaatan temulawak ini sangat bervariasi, mulai dari bumbu masak hingga

  sebagai tanaman bahan obat. Pemanfaatan temulawak sebagai tanaman obat didukung oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang telah menetapkan sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara klinis. Sembilan tanaman obat unggulan Indonesia tersebut di antaranya adalah sambiloto, jambu biji, jati belanda, cabe jawa, temulawak, jahe merah, kunyit, mengkudu dan salam (Plantus, 2008).

  Pemanfaatan temulawak telah ada sejak dahulu sebagai bahan baku jamu tradisional. Namun saat ini, pemanfaatan temulawak tidak hanya sebatas jamu yang dibuat secara tradisional tetapi juga telah dimanfaatkan oleh Industri Obat Tradisional (IOT). Telah dilakukan Pencanangan Gerakan Nasional Minum Temulawak (GNMT) oleh Pemerintah RI di Keraton Yogyakarta pada tanggal 14 Juli 2005 (Anonim, 2005a). Semenjak adanya GNMT yang dicanangkan pemerintah, tidak terasa pemanfaatan temulawak telah mendunia baik di dalam maupun di luar negeri antara lain di Eropa, Amerika, dan Asia (Sidik, 2006).

  Di Indonesia berbagai pabrik farmasi banyak memanfaatkan temulawak darah, mencegah stroke, mencegah penyakit jantung koroner, dan meningkatkan daya tahan tubuh (Sidik, 2006). Manfaat temulawak yang berkhasiat obat terutama dihasilkan dari kandungan kimia yang ada di dalam rimpang temulawak di antaranya adalah kurkumin dan minyak atsiri. Kurkuminoid memiliki aktivitas hepatotoksik, antiinflamasi, antiperoksidasi, dan splasmolitik, sedangkan minyak atsiri memiliki aktivitas koleretik atau meningkatkan sekresi empedu (Soediro, 1997).

  Temulawak mudah tumbuh dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Rimpang temulawak banyak digunakan sebagai rempah. Di samping itu, rimpang temulawak secara turun menurun juga telah digunakan oleh masyarakat kita untuk pemeliharaan kesehatan. Saat ini temulawak merupakan bahan obat alam yang paling banyak digunakan oleh industri obat tradisional dalam negeri untuk memproduksi obat tradisional (Anonim, 2005a).

  Temulawak dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri obat tradisional dalam berbagai bentuk hasil olahan di antaranya adalah rimpang basah temulawak, rimpang kering temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak. Berbagai bentuk yang digunakan sebagai bahan baku obat tersebut merupakan hasil olahan dari temulawak tersebut telah mengalami proses pengolahan tertentu. Teknik pengolahan tanaman obat terdiri dari sortasi, pencucian, penjemuran/penirisan, pengirisan/perajangan, dan pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai produk/diversifikasi produk (Sembiring, 2008).

  Produk yang berasal dari tanaman secara alami banyak mengandung kaidah bahwa sediaan farmasi harus memiliki sifat-sifat aman, berkhasiat, dan berkualitas tinggi maka diupayakan pula produk yang bahan bakunya memenuhi tiga kriteria tersebut. Itu sebabnya upaya penanganan pengolahan yang efektif diperlakukan sedemikian mungkin sehingga tingkat kontaminannya minim (Soediro, 1997). Proses pengolahan rimpang merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas bahan baku obat.

  Berbagai hasil olahan rimpang temulawak yang digunakan dalam pembuatan obat tradisional harus memiliki kualitas yang baik agar mutu obat tradisional yang dihasilkan juga baik. Kualitas yang baik dari bahan obat menjadi faktor penentu akan kualitas, keamanan, dan khasiat dari obat tradisional yang dihasilkan. Kualitas bahan baku obat tradisional salah satunya dilihat dari segi keamanan. Terpenuhinya standar keamanan dapat menjamin bahwa sediaan obat tidak toksis ketika dikonsumsi.

  Keamanan bahan baku obat tradisional salah satunya dilihat dari nilai Angka Lempeng Total (ALT). Nilai ALT bahan baku obat tradisional harus memenuhi nilai tertentu sesuai standar pemerintah (Anonim, 2004). Menurut SK Menteri Kesehatan Indonesia nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional batas nilai ALT untuk obat bentuk rajangan adalah 10 koloni/gram bahan, untuk serbuk adalah 10 koloni/gram bahan (Anonim, 1994a), dan menurut Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia batas ALT untuk ekstrak etanolik temulawak adalah 10 koloni/ml ekstrak (Anonim, 2004).

  Pengujian ALT dapat digunakan untuk menggambarkan cemaran bakteri karena bakteri tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau dapat memproduksi toksin (racun) yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia (Taufik, 2004). Jumlah cemaran bakteri pada bahan baku obat tradisional perlu diuji sebagai salah satu parameter keamanan obat tradisional yang menggambarkan banyaknya cemaran karena bakteri, sehingga dapat ditentukan apakah nilai ALT dari bahan baku obat tradisional tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan atau tidak.

1. Permasalahan

  Dari latar belakang diatas muncul permasalahan sebagai berikut :

  a. Berapakah nilai ALT pada rimpang basah temulawak, rimpang kering

  temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak? b. Apakah nilai ALT yang didapat pada rimpang basah temulawak, rimpang kering temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak melebihi batas keamanan yang telah ditetapkan pada SK Menteri Kesehatan Indonesia nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia? 2.

  Keaslian Penelitian

  Menurut sumber-sumber informasi yang diperoleh, penelitian ilmiah tentang uji cemaran bakteri yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :

  a. Pengujian cemaran bakteri dan cemaran kapang/khamir pada produk jamu gendong di Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Pratiwi (2005).

  b.

  Uji angka lempeng total dalam jamu gendong beras kencur yang beredar di

  Penelitian mengenai uji angka lempeng total rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

a. Manfaat teoritis : memberikan sumbangan informasi mengenai cemaran bakteri pada temulawak sebagai bahan obat tradisional.

  b.

  Manfaat praktis : memberikan keterangan keamanan tentang berbagai hasil olahan rimpang temulawak yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional yaitu rimpang basah temulawak, rimpang kering temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak.

B. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa cemaran bakteri dari beberapa hasil pengolahan rimpang temulawak yang berupa rimpang basah temulawak, rimpang kering temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak yang digambarkan dengan nilai ALT sehingga dapat ditentukan apakah nilai ALT tersebut sudah memenuhi persyaratan nilai ALT pada SK Menteri Kesehatan Indonesia nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional (Anonim, 1994a) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004).

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Rimpang temulawak adalah rimpang Curcuma xanhtorrhiza Roxb. Kadar minyak atsiri tidak kurang dari 6% (Anonim, 1979).

1. Deskripsi Rimpang Temulawak

  Pemeriksaan secara organoleptis menunjukkan bahwa rimpang temulawak memiliki bau aromatik yang khas, rasa yang tajam dan pahit.

  Untuk pemeriksaan secara makroskopis menunjukkan bahwa rimpang temulawak merupakan keping tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah sampai 6 cm, tebal 2 mm sampai 5 mm, permukaan luar berkerut, warna coklat kuning sampai coklat, bidang irisan berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks, korteks sempit, tebal 3 mm sampai 4 mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga sampai coklat jingga terang (Anonim, 1979).

  Pemeriksaan secara mikroskopis menunjukkan bahwa rimpang temulawak memiliki epidermis bergabus, terdapat sedikit rambut yang berbentuk kerucut, bersel 1. Hipodermis agak menggabus, di bawahnya terdapat periderm yang kurang berkembang. Korteks dan silinder pusat parenkimatik, terdiri dari sel parenkim berdinding tipis, berisi butir pati; dalam parenkim tersebar banyak sel minyak berisi minyak berwarna kuning dan zat berbentuk jarum kecil. Butir pati berbentuk pipih, bulat panjang sampai bulat telur memanjang, panjang butir 20 µm

  • – 70 µm, lebar 5 µm sampai 30 µm, tebal 3 µm sampai 10 µm, lamela jelas, hilus di tepi. Berkas pembuluh tipe kolateral, tersebar tidak beraturan pada parenkim korteks dan pada silinder pusat; berkas pembuluh di sebelah dalam endodermis tersusun dalam lingkaran dan letaknya lebih berdekatan satu dengan yang lainnya; pembuluh didampingi oleh sel sekresi, panjang sampai 200 µm, berisi zat berbutir berwarna coklat yang dengan besi (III) klorida lp menjadi lebih tua (Anonim, 1979).

  Serbuk dari rimpang kering temulawak memiliki warna kuning kecoklatan. Fragmen pengenal yang khas adalah butir pati, fragmen parenkim dengan sel minyak, fragmen berkas pembuluh, warna kuning intensif (Anonim, 1979).

  2. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak

  Daging buah (rimpang) temulawak mempunyai beberapa kandungan senyawa kimia antara lain berupa fellandrean dan turmerol atau yang sering disebut minyak menguap. Kandungan lain adalah minyak atsiri, kamfer, glukosida, folumetik karbinol. Kandungan kimia yang ada dalam ekstrak temulawak di antaranya adalah kurkumin, desmetoksi kurkumin, minyak atsiri dengan komponen utama xantorizol dan oleoresin (Anonim, 2004).

  3. Manfaat Temulawak

  Bagian dari tanaman temulawak yang dimanfaatkan sebagai bahan obat adalah rimpang untuk dibuat jamu godog. Manfaat temulawak yang berkhasiat obat terutama dihasilkan dari kandungan kimia yang ada di dalam rimpang temulawak di antaranya adalah kurkumin dan minyak atsiri (Soediro, 1997). Rimpang ini dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal dan bekerja sebagai anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti anemia, anti oksidan, dan pencegah kanker (Anonim, 2005b). Kurkumin yang terdapat pada rimpang tumbuhan ini bermanfaat sebagai anti jerawat, di samping sebagai anti hepototoksik (anti keracunan empedu) (Anonim, 2005b).

B. Proses Pengolahan Rimpang

  Teknik pengolahan sangat berpengaruh terhadap khasiat dari produk tanaman yang diperoleh. Jika penanganan ataupun pengolahannya tidak benar maka mutu produk yang dihasilkan kurang berkhasiat atau kemungkinan dapat menimbulkan toksik apabila dikonsumsi. Teknik pengolahan tanaman obat terdiri dari sortasi, pencucian, penjemuran/penirisan, pengirisan/perajangan, dan pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai produk/diversifikasi produk (Anonim, 2009b).

1. Pencucian

  Pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi mikroba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus segera dilakukan setelah panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian menggunakan air bersih seperti air dari mata air, sumur atau PAM.

  Penggunaan air kotor menyebabkan jumlah mikroba pada bahan tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat pencucian perlu diperhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor maka pencucian atau pembilasan perlu diulangi satu atau dua kali. Perlu diperhatikan bahwa pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan (Anonim, 2009b). Pencucian bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain : a.

  Perendaman bertingkat Perendaman biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak mengandung kotoran seperti daun, bunga, dan buah. Proses perendaman dilakukan beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat perendaman kotoran-kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Metode ini akan menghemat penggunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang terkandung dalam bahan.

  b.

  Penyemprotan Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya banyak melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi dan lain-lain.

  Proses penyemprotan dilakukan dengan menggunakan air yang bertekanan tinggi. Untuk lebih meyakinkan kebersihan bahan, kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Proses ini biasanya menggunakan air yang cukup banyak, namun dapat mengurangi c.

  Penyikatan (manual maupun otomatis) Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat bantu sikat yang digunakan bentuknya bisa bermacam- macam, dalam hal ini perlu diperhatikan kebersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahan. Pembilasan dilakukan pada bahan yang sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan bahan yang lebih bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun meningkatkan resiko kerusakan bahan, sehingga merangsang tumbuhnya bakteri.

  Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak pengering. Selesai pengeringan dilakukan kembali penyortiran apabila bahan langsung digunakan dalam bentuk segar (Anonim, 2009b).

2. Pengeringan

  Pengeringan bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan lebih lama. Penurunan mutu atau kerusakan simplisia dapat dihambat dengan pengurangan kadar air dengan tujuan untuk penghentian reaksi enzimatik. Kandungan air dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan bakteri lainnya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa reaksi enzimatik tidak berlangsung bila

  Pengeringan yang tepat meliputi dua masalah utama yaitu pengaturan suhu dan pengaliran udara yang teratur. Cara pengeringan yang paling sederhana dilakukan adalah pengeringan di bawah sinar matahari. Kelebihan dari metode pengeringan di bawah sinar matahari adalah biaya yang murah, tetapi memiliki kekurangan yaitu suhu dan kelembaban yang tidak dapat dikontrol, serta waktu yang relatif lebih lama. Waktu pengeringan tergantung cuaca dan intensitas penyinaran, serta mudah terkontaminasi oleh bakteri dari luar, serta pengaruh sinar ultraviolet yang dapat merusak kandungan kimia dari simplisia. Cara pengeringan yang lain adalah dengan pengering mekanis (oven) yang menggunakan tambahan panas. Pengeringan dengan panas buatan ini memberikan beberapa keuntungan yaitu : tidak tergantung cuaca, tidak memerlukan tempat yang luas, kondisi pengeringan dapat dikontrol sehingga pengeringan dapat rata pada tiap bagian dari simplisia. Pengeringan dengan alat pengering mekanis akan mendapatkan hasil yang lebih baik bila kondisi pengeringan ditentukan dengan tepat dan selama pengeringan dikontrol dengan baik (Anonim, 1994b). Suhu pengeringan yang ideal adalah 50

  • – 600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah bahan simplisia yang mengandung kadar air 5-10% (Anonim, 2006).

3. Ekstraksi

  Penyarian (ekstraksi) adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pemilihan cairan penyari dan cara penyarian didasarkan pada zat aktif yang terkandung pada bahan tersebut (Anonim, 1986).

  Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana (Voigt, 1994). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar (Anonim, 1986). Ekstraksi pelarut adalah metode yang efektif untuk mengekstrak kurkuminoid (Jayaprakasha dkk, 2005).

  Larutan penyari berfungsi untuk menarik senyawa aktif dari bahan alam. Beberapa jenis larutan penyari yang biasa digunakan dalam ekstraksi adalah etanol, air, eter, dan kloroform. Alkohol bagaimanapun juga adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Alkohol dapat digunakan dalam ekstraksi senyawa-senyawa yang sedikit polar (Harbourne, 1987).

  Kurkumin merupakan senyawa aktif dari Curcuma xanthorrhiza Roxb. yang termasuk ke dalam golongon senyawa polifenol (Huda, 2006). Cara terbaik untuk memisahkan senyawa fenol adalah dengan pemekatan ekstrak tumbuhan dalam etanol-air (Harborne, 1987). Kurkumin tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol atau dimetilsulfoksida (DMSO). Di antara banyak pelarut organik, pelarut etanol adalah salah satu pelarut yang cocok untuk

  Dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004) tertera bahwa ekstraksi temulawak dapat dilakukan dengan menggunakan larutan penyari etanol 70%. Etanol dapat memiliki aksi sebagai desinfektan dengan mekanisme denaturasi protein pada konsentrasi 70-90% (Fardiaz, 1992).

  Ekstrak kental temulawak adalah ekstrak yang dibuat dari rimpang tumbuhan Curcuma xanthorrhiza Roxb., suku Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 4,6% dan kurkuminoid tidak kurang dari 14,2%. Ektrak temulawak berwarna kuning kecoklatan, dengan bau khas dan rasa yang pahit (Anonim, 2004).

C. Obat Tradisional

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Anonim, 1994a).

  Tidak seperti produk farmasi konvensional, yang biasanya dapat dibuat dari bahan sintesis dengan teknik dan prosedur pembuatan yang dapat diproduksi ulang, produk obat herbal dibuat dari bahan asal tumbuhan yang dapat terkontaminasi dan terurai, serta memiliki komposisi dan sifat yang bervariasi.

  Selain itu, dalam pembuatan dan pengawasan mutu produk herbal, prosedur dan teknik yang sering digunakan memiliki perbedaan mendasar dari yang digunakan pada produk konvensional. Pengawasan bahan awal, penyimpanan, dan pengolahan dianggap sangat penting karena sifat banyak produk obat herbal yang sering kompleks dan variabel serta jumlah dan kuantitas kecil dari penetapan bahan aktif yang terdapat di dalamnya (Anonim, 2007).

  Dalam sistem pengobatan formal Indonesia, terdapat perbedaan peran yang sangat jelas antara penggunaan obat modern (kimia) dengan obat tradisional. Utamanya adalah pada obat obat modern sudah memenuhi tiga paradigma, yaitu Mutu, Aman, dan Manfaat (Quality, Safety, Efficacy (QSE)) (Anonim, 2008).

  Sebagai upaya meningkatkan status obat tradisional menjadi sediaan fitofarmaka maka sediaan tersebut harus dibuat dalam bentuk ekstrak atau fraksi yang terstandar, serta memenuhi beberapa persyaratan antara lain : (1) jaminan

  

quality (kualitas), di mana bahan simplisia dan produk akhir harus memenuhi

  persyaratan tentang keajegan dari kandungan aktif (senyawa marker), (2) jaminan

  

safety (keamanan), di mana produk akhir harus aman atau tidak toksik pada hewan

  coba yang dipersyaratkan dan (3) jaminan efficacy (manfaat), di mana produk akhir harus menunjukkan aktivitas biologis pada uji praklinik dengan hewan coba, dan menunjukkan aktivitas biologis pada uji klinik dengan manusia (Anonim, 2008).

D. Cemaran Bakteri

  Bakteri adalah nama sekelompok mikroorganisme yang termasuk prokaryota yang bersel satu, berkembang biak dengan membelah diri dan bahan- bahan genetiknya tidak terbungkus dalam membran inti. Pada umumnya bakteri pigmen fotosintesis. Oleh karena itu ada bakteria yang bersifat heterotrof dan ada juga bakteri yang bersifat autotrof. Bakteria heterotrof dapat dibedakan menjadi bakteria yang hidup sebagai parasit dan saprofit, sedang bakteri heterotrof dapat dibedakan berdasarkan atas sumber energi yang digunakan untuk mensintesis makanannya menjadi fotoautotrof dan kemoautotrof. Bakteri dapat hidup di mana saja, ada yang dapat merugikan kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan (Pelczar, 1986).

  Di setiap tempat seperti dalam tanah, udara maupun air selalu dijumpai mikroba. Umumnya jumlah mikroba dalam tanah lebih banyak daripada dalam air ataupun udara. Umumnya bahan organik dan senyawa anorganik lebih tinggi dalam tanah sehingga cocok untuk pertumbuhan mikroba heterotrof maupun autotrof (Sumarsih, 2008).

  Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisika tanah. Komponen penyusun tanah yang terdiri atas pasir, debu, lempung dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk struktur tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur tanah. Mikroba akan membentuk mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut, dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan yang diperlukan (Sumarsih, 2008).

  Tanaman dapat tercemar oleh bakteri patogen dari air irigasi yang tercemar limbah, tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk. dekat dengan tanah. Beberapa bakteri patogen yang dapat mencemari tanaman melalui tanah adalah Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria monocytogenes (Djaafar dkk, 2007).

  Akar tanaman merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Interaksi antara bakteri dan akar tanaman akan meningkatkan ketersediaan nutrien bagi keduanya. Permukaan akar tanaman disebut rhizoplane. Sedangkan rhizosfer adalah selapis tanah yang menyelimuti permukaan akar tanaman yang masih dipengaruhi oleh aktivitas akar. Tebal tipisnya lapisan rhizosfer antar setiap tanaman berbeda. Rhizosfer merupakan habitat yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba oleh karena akar tanaman menyediakan berbagai bahan organik yang umumnya menstimulir pertumbuhan mikroba (Sumarsih, 2008).

  Mikroba terutama bakteri yang bersifat patogen dapat ditemukan di mana saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan, peralatan untuk pengolahan bahkan pada tubuh manusia. Tanaman membawa berbagai jenis mikroba, yang dapat berasal dari mikroflora alami tanaman, baik yang berasal dari lingkungan maupun yang masuk selama pemanenan, distribusi, penanganan pasca panen, pengolahan, serta penyimpanan produk. Pertumbuhan mikroba terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air dalam bahan (Djaafar dkk, 2007).

  Berdasarkan kisaran suhu pertumbuhannya, bakteri dapat digolongkan

  o

  menjadi bakteri psikrofil (tumbuh pada suhu 0-30

  C), mesofil (tumbuh pada suhu

  o o

  20-55

  C), dan termofil (tumbuh pada suhu 55-75

  C). Bakteri memerlukan a w (water activity) atau kelembaban relatif. Bakteri umumnya memerlukan a w 0,90-0,999. Sebagian besar bakteri umumnya menyukai pH netral untuk tumbuh, berkisar antara pH 7-8, meskipun ada beberapa bakteri yang tumbuh pada suasana asam dan basa (Anonim, 2009a).

E. Uji Angka Lempeng Total (ALT)

  Tujuan utama dari dilakukannya uji ALT adalah untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung bakteri patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan. Uji ALT berprinsip pada adanya pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah cuplikan diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai (Anonim, 2000).

  Analisa kuantitatif mikroba-mikroba tidak dapat dihitung secara tepat dengan pemeriksaan mikroskopik, kecuali bila sekurang-kurangnya ada 100 juta

  8

  (10 ) sel untuk tiap ml. Sejumlah tertentu bahan yang akan diperiksa diencerkan secara berturut-turut, kemudian 1 ml dari tiap larutan tersebut ditanamkan pada lempeng agar-agar nutrien dan koloni-koloni yang kemudian tumbuh dihitung. Karena hanya sel-sel yang hanya sanggup membentuk koloni saja yang dihitung, maka metode ini dikenal pula sebagai penghitungan sel hidup.

  Plate Count Agar (PCA) digunakan untuk perhitungan jumlah bakteri dalam susu, juga digunakan untuk penghitungan jumlah bakteri dalam air, makanan, produk susu serta spesimen lain. PCA berisi digesti pankreatik kasein, ekstrak ragi dan glukosa yang penting untuk pertumbuhan dari bakteri yang ditumbuhkan (Atlas, 1997).

  Uji ALT merupakan penghitungan jumlah bakteri yang hidup (viable cell

  

count ). Cara ini hanya menggambarkan jumlah sel yang hidup, sehingga

  dikatakan lebih tepat bila dibandingkan dengan cara total cell count. Pada metode ini diasumsikan bahwa setiap sel mikroba hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi 1 koloni setelah diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung, dan merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah mikroba dalam suspensi tertentu (Hadioetomo, 1985).

  Pada perhitungan ALT sebaiknya hanya lempeng agar yang mengandung 30-300 koloni saja yang digunakan dalam perhitungan. Lempeng agar dengan koloni >300 sulit untuk dihitung sehingga kemungkinan kesalahan penghitungan sangat besar. Pengenceran sampel akan membantu untuk memperoleh penghitungan jumlah yang benar, namun pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempeng agar dengan jumlah koloni yang rendah (<30 koloni). Lempeng demikian tidak absah secara statistik untuk digunakan dalam perhitungan (Lay, 1994). Nilai ALT didapatkan dari rata-rata jumlah koloni pada tiap cawan dikalikan dengan faktor pengencerannya (Anonim, 2000).