Uji angka kapang/khamir (AKK) dan angka lempeng total (ALT) pada jamu gendong temulawak di Pasar Tradisional Klaten.

(1)

INTISARI

Jamu temulawak merupakan jamu yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk melancarkan haid, melancarkan produksi Air Susu Ibu (ASI), menambah nafsu makan, dan mengatasi pegal linu. Adanya Angka Kapang/Khamir (AKK) dan Angka Lempeng Total (ALT) yang melebihi batas yang ditentukan oleh BPOM RI 2014 akan membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai AKK dan ALT dalam jamu gendong temulawak yang diproduksi oleh pedagang jamu gendong di pasar tradisional Klaten.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan rancangan deskripstif komparatif. Penelitian yang dilakukan meliputi penentuan dan pemilihan tempat pengambilan sampel, pengambilan sampel jamu temulawak, pengujian AKK, pengujian ALT serta analisis hasil.

Hasil pengujian yang dilakukan pada sampel jamu temulawak dari pedagang jamu gendong di pasar tradisional Klaten diperoleh nilai AKK <10 koloni/mL. Dan nilai ALT yang didapatkan adalah <10 koloni/mL sampai dengan 4,3 x 102 koloni/mL.


(2)

ABSTRACT

Jamu temulawak is an herb commonly used by peopleto expedite the launch period, the production of breast milk, increase appetite, and to

overcome stiff. The existence of the Number of Mold/ Yeast, Total Plate Count exceeding the limit specified by BPOM RI 2014 would endanger the health of the people who consume them.

The purpose of the research were to determine the Number of Mold/ Yeast and Total Plate Count in jamu temulawak thatproducedby traders in traditional markets in Klaten.

This research was non-experimental research with the framework of descriptive comparative. Research was conducted on the determination and selection of the sampling, sampling of jamu temulawak, testing of the Number of Mold/ Yeast, testing of Total Plate Count and analyisis of result.

Result of test perfomed on jamu temulawak that produced by traders in traditional market in Klaten Number of Mold/ Yeast values as <10 colony/mL and Total Plate Count values as <10 colony/mL up to 4.3 x

102 colony/mL.


(3)

UJI ANGKA KAPANG/KHAMIR (AKK) DAN ANGKA LEMPENG TOTAL (ALT) PADA JAMU GENDONG TEMULAWAK DI

PASAR TRADISIONAL KLATEN Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Farmasi

Program Studi Farmasi

Disusun oleh : Maria Dora Cahya Saphhira

NIM : 128114059

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

UJI ANGKA KAPANG/KHAMIR (AKK) DAN ANGKA LEMPENG TOTAL (ALT) PADA JAMU GENDONG TEMULAWAK DI

PASAR TRADISIONAL KLATEN Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Farmasi

Program Studi Farmasi

Disusun oleh : Maria Dora Cahya Saphhira

NIM : 128114059

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

ii


(6)

iii


(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Matius 7 : 7-8

Mintalah maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapatkan; ketoklah maka pintu

akan dibukakan bagimu. Kupersembahkan karyaku ini teruntuk :

Tuhan Yesus Kristus dan Santa Pelindungku Maria Ayah, Ibuku tercinta atas doa, cinta, kasih dan semangatnya Eyangku tercinta yang sangat menginspirasi hidupku Kedua adikku tersayang Edo dan Mimi Sahabat-sahabatku yang selalu memberi dukungan dan semangat Dika yang selalu memberikan semangat dan saran yang membangun Dan semua orang yang telah di hadirkan Tuhan dalam hidupku

Terimakasih atas segala doa, bimbingan, semangat, dukungan, kepercayaan, serta waktu yang kalian berikan selama ini kepadaku

untuk menyelesaikan karya ini. Tuhan Yang Maha Memungkinkan,

Jadikanlah aku salah satu jiwa

Yang Kau cintai dan Kau sukseskan semuda mungkin Yang menjadi pembahagia kehidupan

Ibu dan Ayahku Amin

-MT-

Dengan penuh rasa syukur dan terimakasih Maria Dora Cahya Sapphira


(8)

v


(9)

vi PRAKATA

Segala Puji dan Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas curahan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Angka Kapang/Khamir (AKK) dan Angka Lempeng Total (ALT) dalam Jamu Gendong Temulawak di Pasar Tradisional Klaten” dengan baik. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini bukanlah hal yang mudah sehingga banyak kendala yang dihadapi. Dengan segala berkat, tuntunan, nasihat, dan saran yang membangun dari berbagai pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

2. Dr. Erna Tri Wulandari, M.Si.,Apt. selaku dosen pembimbing yang telah meberikan bimbingan, arahan serta memberikan saran kepada penulis dalam menyeleaikan skripsi ini

3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen penguji atas kritik dan saran yang telah diberikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik

4. Damiana Sapta Candrasari, S.Si., M.Sc. selaku dosen penguji atas kritik dan saran yang telah diberikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik 5. Keluargaku tercinta atas curahan doa, semangat, dukungan dalam

penulisan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabatku angkatan 2012, khususnya : Anna, Naya, Meylisa, Cindy, Dita, Angga, Ella, Aris atas semangat, doa, dukungan dan kebersamaannya dalam suka dan duka selama ini.

7. Seluruh staf dan karyawan Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Sekretariat Fakultas Farmasi yang telah membantu segala keperluan dalam menyeleaikan skripsi ini

9. Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini maih jauh dari sempurna. Penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan dikemudian hari. Akhir kata semoga Tugas Akhir ini memberi dan menambah informasi yang bermanfaat bagi kita semua terutama kepada para pembaca.


(10)

vii


(11)

viii INTISARI

Jamu temulawak merupakan jamu yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk melancarkan haid, melancarkan produksi Air Susu Ibu (ASI), menambah nafsu makan, dan mengatasi pegal linu. Adanya Angka Kapang/Khamir (AKK) dan Angka Lempeng Total (ALT) yang melebihi batas yang ditentukan oleh BPOM RI 2014 akan membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai AKK dan ALT dalam jamu gendong temulawak yang diproduksi oleh pedagang jamu gendong di pasar tradisional Klaten.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan rancangan deskripstif komparatif. Penelitian yang dilakukan meliputi penentuan dan pemilihan tempat pengambilan sampel, pengambilan sampel jamu temulawak, pengujian AKK, pengujian ALT serta analisis hasil.

Hasil pengujian yang dilakukan pada sampel jamu temulawak dari pedagang jamu gendong di pasar tradisional Klaten diperoleh nilai AKK <10 koloni/mL. Dan nilai ALT yang didapatkan adalah <10 koloni/mL sampai dengan 4,3 x 102 koloni/mL.


(12)

ix

ABSTRACT

Jamu temulawak is an herb commonly used by peopleto expedite the launch period, the production of breast milk, increase appetite, and to overcome stiff. The existence of the Number of Mold/ Yeast, Total Plate Count exceeding the limit specified by BPOM RI 2014 would endanger the health of the people who consume them.

The purpose of the research were to determine the Number of Mold/ Yeast and Total Plate Count in jamu temulawak thatproducedby traders in traditional markets in Klaten.

This research was non-experimental research with the framework of descriptive comparative. Research was conducted on the determination and selection of the sampling, sampling of jamu temulawak, testing of the Number of Mold/ Yeast, testing of Total Plate Count and analyisis of result.

Result of test perfomed on jamu temulawak that produced by traders in traditional market in Klaten Number of Mold/ Yeast values as <10 colony/mL and Total Plate Count values as <10 colony/mL up to 4.3 x

102 colony/mL.


(13)

x

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... .. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

LEMBAR PUBLIKASI ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... . xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 5

2. Manfaat penelitian ... 5

3. Keaslian penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Jamu ... 8

B. Cara pembuatan obat tradisional yang baik ... 10

C. Jamu gendong ... 12

D. Jamu temulawak ... 16

E. Angka Kapang/Khamir ... 17

F. Angka Lempeng Total... 22

G. Media ... 25

H. Landasan teori ... 27

I. Hipotesis ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 30

A. Jenis dan rancangan penelitian ... 30

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 30

a. Variabel Utama ... 30

b. Variabel Pengacau ... 30

c. Definisi Operasional ... 31

C. Bahan penelitian ... 32

D. Alat penelitian ... 32

E. Tata cara penelitian ... 33

1. Pemilihan Sampel... 33

2. Penanganan Wadah/ Kemasan Penyiapan Sampel ... 33

3. Tahap Pra-Pengkayaan ... 33

4. Uji Angka Kapang Khamir ... 34


(14)

xi

F. Analisis hasil ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

1. Penentuan tempat dan pemilihan sampel ... 43

2. Pengambilan sampel jamu temulawak ... 44

3. Sterilisasi media, alat dan ruangan ... 45

4. Homogenisasi dan pengenceran sampel ... 48

5. Uji angka kapang/khamir ... 50

6. Uji angka lempeng total ... 56

BAB V PENUTUP ... 60

1. Kesimpulan ... 60

2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 64


(15)

xii

DAFTAR TABEL

TABEL I. Petunjuk perhitungan Total Plate Count (TPC)... 41 TABEL II. Angka Kapang Khamir (AKK) jamu temulawak ... 54 TABEL III. Angka Lempeng Total (ALT) jamu temulawak ... 58


(16)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Surat Ijin Penelitian di LABKES ... 65

LAMPIRAN 2. Nilai AKK Pedagang 1 (sampel A) ... 66

LAMPIRAN 3. Nilai AKK Pedagang 2 (sampel B) ... 67

LAMPIRAN 4. Nilai AKK Pedagang 3 (sampel C) ... 68

LAMPIRAN 5. Nilai ALT Pedagang 1 (sampel A) ... 69

LAMPIRAN 6. Nilai ALT Pedagang 2 (sampel B) ... 71

LAMPIRAN 7. Nilai ALT Pedagang 3 (sampel C) ... 73

LAMPIRAN 8. Pengambilan sampel jamu temulawak ... 75

LAMPIRAN 9. Uji AKK Pedagang 1 (sampel A) ... 76

LAMPIRAN 10. Uji AKK Pedagang 2 (sampel B) ... 77

LAMPIRAN 11. Uji AKK Pedagang 3 (sampel C) ... 78

LAMPIRAN 12. Uji ALT Pedagang 1 (sampel A) ... 79

LAMPIRAN 13. Uji ALT Pedagang 2 (sampel B) ... 80

LAMPIRAN 14. Uji ALT Pedagang 3 (sampel C) ... 81


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber daya alam yang potensial, salah satunya adalah tanaman obat. Tanaman obat baik berupa tanaman segar tunggal maupun campuran ataupun yang sudah diracik sedemikian rupa dikenal sebagai obat tradisional atau jamu, dan dapat digunakan untuk menyembuhkan suatu penyakit (Nugroho, 1995).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern pada zaman sekarang tidak mengurangi penggunaan obat tradisional oleh masyarakat di negara-negara berkembang terutama Indonesia (Latief, 2012). Obat bahan alam yang lebih dikenal dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sari atau galenik, atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sebagian besar produk obat tradisional yang terdaftar di Badan POM RI adalah kelompok jamu, dimana khasiat dan keamanannya hanya didasarkan pada penggunaan empiris secara turun-temurun (Wasito, 2011).

Menurut PERMENKES RI No. 003/ MENKES/PER/I/2010, Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan peryaratan yang khusus untuk itu, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada, dan memenuhi persyaratan mutu khusus untuk itu (Depkes RI,


(18)

2011). Dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No: Hk.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia antara lain dalam pasal 2 disebutkan bahwa jamu harus memenuhi kriteria : aman sesuai persyaratan yang ditetapkan ; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Obat tradisional buatan penjual jamu atau lebih dikenal dengan sebutan jamu gendong termasuk dalam kategori jamu buatan sendiri ini banyak digemari oleh masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa (Supardi dkk, 2011).

Usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong merupakan usaha yang tidak wajib memiliki ijin edar, oleh karena itu jaminan keamanan dan mutu kualitas jamu masih rendah. Salah satu parameter dari jaminan keamanan dan mutu dari jamu yang diatur dalam BPOM RI adalah tidak boleh mengandung mikroba patogen. Angka Kapang/ Khamir (AKK) tidak boleh lebih dari 103dan Angka Lempeng Total (ALT) tidak boleh lebih dari 104. Mikroba patogen yang dimaksud adalah semua mikroba yang dapat menyebabkan orang menjadi sakit apabila kemasukan mikroba tersebut. Obat tradisional untuk penggunaan secara oral perlu diwaspadai adanya mikroba seperti : Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (BPOM RI, 2014).

Uji AKK adalah uji yang digunakan untuk menghitung jumlah kapang/ khamir setelah cuplikan diinokulasikan pada media lempeng yang sesuai dan diinkubasikan pada suhu 20-25° . Tujuan uji AKK adalah sebagai jaminan bahwa sediaan jamu tidak mengandung cemaran fungi melebihi batas yang ditetapkan karena akan berpengaruh pada stabilitas sediaan dan aflatoksin yang berbahaya


(19)

bagi kesehatan (Depkes RI, 2000). Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang sangat poten yang dihasilkan dari metabolit sekunder kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi

oleh faktor cuaca, terutama suhu dan kelembaban. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dapat tumbuh kemudian akan menghasilkan aflatoksin (Depkes RI, 2000). Aflatoksin ini dapat mencemari bahan makanan yang nantinya dapat terkonsumsi oleh manusia. Penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi aflatoksin disebut dengan aflatoksis. Apabila aflatoksis ini berkelanjutan maka muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma dan kematian akibat edema otak serta perlemakan hati, ginjal dan jantung (Yenny, 2006). Uji ALT adalah uji yang digunakan untuk menghitung banyaknya bakteri yang tumbuh dan berkembang pada sampel dan juga sebagai acuan untuk menentukan kualitas keamanan dari jamu gendong (BPOM RI, 2012).

Di dalam berbagai jenis jamu ada salah satu jamu yang diminati oleh berbagai kalangan masyarakat terutama masyarakat Pulau Jawa yaitu Jamu Temulawak. Peranan temulawak diketahui pemanfaatannya sudah sejak dulu hingga sekarang berdasarkan pengalaman turun temurun. Umumnya temulawak terutama bagian rimpangnya dijadikan sebagai salah satu bahan ramuan untuk membuat jamu tradisional. Jamu temulawak ini diyakini dapat mengatasi pegal linu, rhematik, rasa lelah, diare, wasir, disentri, pembengkakan akibat infeksi, cacar, jerawat, eksim, sakit kuning, sembelit, kurang nafsu makan, radang lambung, kejang kejang, kencing darah, kurang darah dan ayan (Rostiana, 2005).


(20)

Secara umum manfaat temulawak ditinjau dari efek farmakologisnya adalah sebagai inflamasi (peradangan) dimana melalui aktivitas anti-inflamasinya temulawak efektif untuk mengobati penyakit radang sendi, rematik atau artritis rematik. Melalui aktivitas hipokolesterolemiknya, temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan mempunyai indikasi meningkatkan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) kolesterol juga mampu untuk menghambat edema (pembengkakan), meningkatkan produksi dan sekresi empedu serta sebagai antimikroba (antibiotik) serta mempunyai sifat fungistatik atau anti-jamur terhadap beberapa jamur golongan dermatophyta. Selain bersifat fungistatik, temulawak juga bersifat bakteriostatik atau anti-bakteri pada mikroba jenis staphyllococcus dan salmonella (Said, 2007).

Pemilihan Pasar Tradisional di Klaten dikarenakan pasar tersebut merupakan pasar terbesar di Kota Klaten, di pasar tersebut juga terdapat pedagang jamu tradisonal terbanyak dibanding pasar lainnya di Klaten dan juga karena di pasar tersebut merupakan pusat penjualan bahan-bahan untuk pembuatan jamu gendong seperti rimpang segar, simplisia kering, dan juga serbuk simplisia. Pedagang jamu yang berada disana merupakan pedagang jamu yang telah menetap untuk berjualan di Pasar Tradisional Klaten. Para pedagang jamu mulai menjajakan jamu gendong tersebut mulai pukul 06.00 WIB hingga jamu tersebut habis. Jamu yang dijual antara lain jamu temulawak, jamu uyup-uyup, jamu beras kencur, jamu kunir asem, jamu paitan serta jamu sari rapet. Proses pembuatan jamu temulawak masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan membersihkan bahan baku dengan cara dicuci, dihaluskan dengan cara diparut


(21)

lalu direbus. Waktu penyimpanan yang lama dan proses pembuatan yang sangat sederhana ini memungkinkan adanya cemaran mikroba dalam sediaan jamu yang dijual.

Adanya cemaran mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas dan keamanan jamu temulawak. Usaha jamu gendong merupakan usaha jamu tanpa adanya izin edar sehingga kualitas dan keamanan jamu gendong yaitu jamu temulawak tersebut belum terjamin. Hal tersebutlah yang mendorong peneliti untuk melakukan uji cemaran mikroorganisme meliputi uji angka kapang/khamir dan angka lempeng total dalam jamu temulawak yang diproduksi oleh para penjual jamu gendong sehingga dapat menjamin kualitas dan keamanan dari jamu tersebut untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai AKK dan ALT dalam jamu temulawak dari penjual jamu gendong temulawak di Pasar Tradisional Klaten. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu masyarakat untuk lebih memperhatikan keamanan dan kualitas produk jamu, khususnya dari cemaran mikrobiologis yang meliputi AKK serta ALT.

1. Permasalahan

a. Berapa AKK jamu temulawak yang diproduksi oleh pedagang jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten?

b. Berapa ALT jamu temulawak yang diproduksi oleh pedagang jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten?


(22)

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan data mengenai AKK dan ALT pada jamu temulawak yang diproduksi oleh pedagang jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi tentang keamanan dan kualitas jamu temulawak yang dijual oleh pedagang jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten dilihat dari AKK dan ALT sehingga kesehatan masyarakat lebih terjamin serta memberikan informasi pada pedagang jamu untuk lebih memperhatikan kebersihan dalam membuat jamu.

3. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka oleh penulis, belum ada publikasi mengenai uji AKK dan ALT dalam sediaan jamu gendong temulawak yang diproduksi oleh penjual jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten.


(23)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keamanan dan kualitas berdasarkan AKK serta ALT dalam sediaan jamu gendong temulawak yang diproduksi oleh penjual jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui:

a. Angka Kapang/Khamir jamu temulawak yang diproduksi oleh penjual jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten.

b. Angka Lempeng Total jamu temulawak yang diproduksi oleh penjual jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten.


(24)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Jamu

Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan sebagai pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku pada masyarakat (Depkes RI, 2012).Obat tradisional telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat dalam menjaga kesehatan dan mengobati penyakit yang diderita. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk kembali ke alam dengan memanfaatkan tanaman obat, karena obat sintesis dirasakan terlalu mahal dan efek samping yang cukup besar sehingga konsumsi obat tradisional di Indonesia cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun (Wasito, 2011).

Obat tradisional yang terbukti berkhasiat perlu dimanfaatkan dan ditingkatkan kualitasnya sehingga bisa dikembangkan dan dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Obat tradisional yang terbukti secara ilmiah berkhasiat dan memiliki mutu yang tinggi dan aman, perlu diupayakan untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan formal (Wasito, 2011).

Menurut peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Indonesia, obat bahan alam di Indonesia yang lebih dikenal dengan obat tradisional dikelompokkan menjadi tiga golongan yakni jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan dari bahan hewan, bahan mineral,


(25)

sediaan galenik atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Wasito, 2011).

Menurut data riset kesehatan dasar tahun 2010 sekitar 59,12 % penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi jamu sebagai terapi alternatif dan sebagai upaya untuk memelihara kesehatan. Dan 95% dari jumlah tersebut mengakui manfaat ramuan tradisional untuk kesehatan. Jenis tanaman obat yang paling banyak diolah menjadi ramuan antara lain jahe (50,36%), kencur (48%), temulawak (39%), meniran (13%) serta pace (11%) (Kemenkes RI, 2010).

Konsumsi jamu sebagai upaya pengobatan telah dikenal luas dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk tujuan mengobati penyakit ringan dan mencegah datangnya penyakit serta untuk tujuan kecantikan (Supardi, Herman, Yuniar, 2010). Jamu biasanya disajikan dalam bentuk seduhan, rajangan dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu masih banyak dipakai dalam pembuatannya berasal dari bahan herbal dan harganya cukup terjangkau. Jamu gendong yang terdapat di pasar-pasar tradisional kurang mendapatkan perhatian mengenai proses pembuatan dan penyimpanannya sehingga tidak ada jaminan mutu dan keamanan dari sediaan jamu tersebut (Wasito, 2011).

Jamu termasuk cairan obat dalam sehingga jamu merupakan obat tradisional yang tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris (Suharmiati, 2002).


(26)

Menurut persyaratan obat tradisional yang meliputi keseragaman volume, angka kapang khamir, angka lempeng total, mikroba patogen, aflatoksin, bahan tambahan cairan obat dalam seperti pengawet, pewarna, wadah dan penyimpanan. Angka kapang khamir tidak boleh lebih dari 103 dan angka lempeng total tidak boleh lebih dari 104. Mikroba patogen harus mempunyai nilai negatif. Cairan obat dalam tidak boleh mengandung mikroba patogen karena mikroba ini sangat berbahaya karena menyebabkan infeksi penyakit. Persyaratan obat tradisional yang baik bertujuan untuk melindungi konsumen dan menjaga mutu serta kualitas dari obat tradisional tersebut (BPOM, 2012).

A. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)

Dalam membuat obat tradisional sebaiknya berpedoman pada Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) untuk memperoleh obat tradisional yang berkualitas dan aman bagi konsumen. Petunjuk operasional CPOTB mengatur tentang pembuatan segala macam obat tradisional, salah satunya jamu. CPOTB menekankan aspek-aspek penting dalam pembuatan obat tradisional yaitu faktor pembuatan jamu, bahan baku jamu, tempat pengolahan serta proses pengemasan (BPOM, 2005).

Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku.

Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk


(27)

menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Tujuan dari CPOTB ini adalah untuk melindungi masyarakat terhadap hal-hal merugikan dari penggunaan obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu (BPOM, 2005).

CPOTB wajib diterapkan oleh industri obat tradisional yang memiliki ijin edar. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu gendong tidak memerlukan izin edar. Usaha jamu gendong dan jamu racikan memang tidak diwajibkan untuk menerapkan CPOTB namun, CPOTB dapat menjadi acuan dalam proses pembuatan produk jamu sehingga kualitas mutu tetap terjamin dan aman untuk dikonsumsi. Usaha jamu gendong dan jamu racik tidak memerlukan ijin edar karena lingkup distribusinya yang kecil sehingga pengawasannya dianggap mudah (Depkes, 2012).

Menurut BPOM RI Nomor : HK.00.05.4.1380 ; Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk tergantung dari bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia yang menangani. Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Untuk itu


(28)

sistem mutu hendaklah dibangun, dimantapkan dan diterapkan sehingga kebijakan yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai. Dengan demikian penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk obat tradisional Indonesia agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di pasar dalam negeri maupun internasional.

B. Jamu Gendong

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional yang dimaksud dengan jamu gendong adalah usaha peracikan, pencampuran, pengolahan dan pengedaran obat tradisional dalam bentuk cairan, pilis, tapel, atau parem, tanpa penandaan dan atau merek dagang serta dijajakan untuk langsung digunakan.

Menurut Suharmiati (2003), dinyatakan bahwa pada dasarnya jamu gendong adalah obat tradisional yang didasarkan pada pengalaman secara turun temurun, baik secara lisan maupun tertulis. Resep yang digunakan tidak secara khusus dipelajari tetapi hanya berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan nenek moyang. Sebagian masyarakat menganggap jamu gendong sebagai jamu sehat, sehingga pemanfaatannya tidak terbatas dalam arti tidak mengenal usia, jenis kelamin dan kondisi kesehatan. Berdasarkan kenyataan tersebut, sampai saat ini jamu gendong oleh masyarakat digunakan untuk menjaga kesehatan, penyegar badan dan perawatan tubuh. Jamu gendong tidak memerlukan izin produksi namun tetap harus memenuhi standar yang dibutuhkan


(29)

yaitu jenis tanaman, kebersihan bahan baku, peralatan yang digunakan, pengemas dan personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional.

Masyarakat Indonesia tentu tidak asing lagi dengan temulawak . Tanaman obat ini merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia dengan khasiat pengobatan cukup mujarab. Tanaman yang termasuk kedalam jenis temu-temuan ini sudah sejak lama dijadikan sebagai bahan ramuan obat tradisional (Suharmiati, 2003).

Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mengolah jamu gendong mulai dari memilih bahan baku, membersihkan, menakar, melumatkan, menyaring dan memasukkan ke wadah setelah jamu gendong siap. Setiap tahapan proses tersebut berisiko terhadap terjadinya pencemaran mikrobiologi. Dalam buku Suharmiati (2003) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan, pengolahan dan penggunaan yaitu:

1. Bahan baku yang digunakan adalah bahan yang masih segar (tidak rusak, tidak busuk atau tidak berjamur) dan dicuci sebelum digunakan. Dapat pula menggunakan bahan yang sudah dikeringkan dengan memilih bahan yang tidak berjamur, tidak dimakan serangga dan sebelum digunakan dicuci dahulu. Pembuat jamu gendong harus dapat mengidentifikasi bahan baku agar tidak tertukar dengan bahan yang mirip atau tercampur dengan bahan lain. Penanganan bahan baku meliputi pemilihan bahan baku (sortasi), pencucian dan penyimpanan jika diperlukan. Sortasi dilakukan untuk membuang bahan lain yang tidak berguna seperti rumput, kotoran binatang dan bahan-bahan yang telah membusuk yang dapat mempengaruhi mutu jamu gendong.


(30)

Bahan baku sebelum digunakan harus dicuci dengan air dari sumber yang bersih agar terbebas dari tanah dan kotoran.

2. Kualitas air yang digunakan untuk mencuci dan membuat jamu gendong harus diperhatikan karena air merupakan bahan baku utama selain tanaman berkhasiat. Air yang digunakan untuk membuat ramuan adalah air bersih dan matang. Sesuai dengan ketentuan badan dunia (WHO) maupun badan setempat (Departemen Kesehatan) serta ketentuan/ peraturan laun yang berlaku seperti APHA (American Public Health Association atau Asosiassi Kesehatan Masyarakat AS), layak tidaknya air untuk kehidupan manusia ditentukan berdasarkan persyaratan kualitas secara fisik, secara kimia dan secara biologis. Parameter fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna. Suhunya sebaiknya sejuk dan tidak panas. Dari aspek kimiawi, bahan air minum tidak boleh mengandung partikel terlarut dalam jumlah tinggi serta logam berat (Hg, Ni, Pb, Zn dan Ag) atau zat beracun seperti senyawa hidrokarbon dan detergen. Dari parameter mikrobiologi tidak boleh ditemui adanya bakteri patogen (Escherichia colli, Clostridium perfringens dan Salmonella). Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) air minum golongan B maksimum adalah 12 mg/l. COD adalah suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan untuk mengoksidasi bahanbahan organik yang terdapat dalam air. Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD) dalam air


(31)

bersih maksimum adalah 6 mg/l. BOD adalah jumlah zat terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah bahan-bahan buangan di dalam air.

3. Peralatan yang digunakan untuk merebus obat tradisional sebaiknya panci yang dilapisi email atau periuk (kuali) dari tanah liat. Hal yang perlu diperhatikan mengenai wadah dan peralatan untuk pembuatan jamu gendong adalah peralatan harus dibersihkan dahulu sebelum digunakan, peralatan yang terbuat dari kayu (misalnya telenan, sendok/pengaduk dan lain-lain) atau yang terbuat dari tanah liat atau batu (misalnya ulek-ulek dan lumpang) harus dicuci dengan sabun. Botol yang digunakan untuk tempat jamu yang siap dipasarkan, sebelum diisi dengan jamu harus disterilkan terlebih dahulu dengan direndam dan dicuci menggunakan sabun baik bagian dalam maupun luarnya. Setelah dibilas sampai bersih dan tidak berbau, botol ditiriskan sampai kering, selanjutnya botol direbus dengan air mendidih selama kurang lebih 20 menit.

4. Pengolahan, sebelum mengolah jamu harus mencuci tangan terlebih dahulu, menyiapkan bahan baku yang telah dipilih dan meletakkan ramuan di tempat yang bersih. Cara pembuatan ramuan tradisional dapat digunakan dengan beberapa cara yaitu bahan direbus dengan air, bahan ditumbuk dalam bentuk segar dan diperas airnya, bahan ditumbuk dalam bentuk kering, bahan diparut kemudian diperas dan bahan diekstrak dibuat serbuk kemudian diseduh dengan air. Untuk


(32)

daya tahan ramuan yang dibuat dengan cara direbus harus segera digunakan. Ramuan tersebut dapat disimpan selama 24 jam dan setelah melewati waktu tersebut sebaiknya dibuang karena dapat tercampur kuman atau kotoran dari udara atau lingkungan sekitar. Ramuan yang dibuat dengan perasan tanpa direbus hanya dapat disimpan selama 12 jam.

5. Higiene perorangan yaitu pengetahuan higiene perorangan penjual jamu gendong terkait dengan perilaku pengolahan jamu gendong yang terdiri dari beberapa aspek antara lain pemeliharaan rambut, pemeliharaan kulit, pemeliharaan tangan (kebiasaan mencuci tangan dan pemeliharaan kuku) dan pemeliharaan kulit muka.

C. Jamu Temulawak

Jamu temulawak memiliki khasiat sebagai penurun kolesterol, nyeri haid, penambah nafsu makan, mengatasi gangguan hati dan penyakit kuning, perut kembung, demam kanker, wasir, jerawat dan diare. Jika menggunakan perasan air temulawak yang tidak direbus atau diseduh dengan air panas sebaiknya diendapkan terlebih dahulu supaya tepungnya tidak ikut terminum dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal (Wasito, 2011).

Jamu merupakan cairan obat dalam yang termasuk dalam obat tradisional yang tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris (Suharmiati, 2002). Berdasarkan survey peneliti jamu temulawak di Pasar Klaten dibuat dari campuran rimpang temulawak dan air. Cara pembuatan nya adalah dengan mengupas temulawak lalu dicuci kemudian ditumbuk


(33)

kemudian hasil tumbukan ditambahkan air matang kemudian disaring dan direbus sampai mendidih.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) yang berupa rimpang segar merupakan bagian yang digunakan pada pembuatan jamu temulawak yang mengandung kurkuminoid berupa kurkumin, demetoksikurkumin serta minyak atsiri terdiri dari alfakurkumin dan xantorizol (Latief, 2012).

Rimpang temulawak dapat digunakan sebagai perangsang ASI, mengobati sakit gangguan hati, demam, sakit kuning, pegal-pegal, sembelit, obat peluruh haid dan obat kuat (Rukmana, 1995).

D. Angka Kapang Khamir

Salah satu parameter keamanan dari sediaan jamu temulawak adalah angka kapang/ khamir. AKK adalah jumlah koloni kapang dan khamir yang tumbuh dari cuplikan (sampel uji) yang diinokulasikan pada media yang sesuai setelah inkubasi selama 5-7 hari pada suhu 20-25℃ dan dinyatakan dalam koloni/ml (Badan POM RI, 2006). Prinsip uji AKK adalah pertumbuhan kapang/khamir setelah cuplikan diinokulasikan pada media lempeng yang sesuai dan diinkubasikan pada suhu 20-25℃. Tujuan uji AKK adalah memberikan jaminan bahwa sediaan jamu gendong tidak mengandung cemaran fungi melebihi batas ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas sediaan dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).

Tujuan dilakukan uji AKK adalah memberikan jaminan bahwa sediaan obat tradisional tidak mengandung cemaran fungi melebihi batas yang ditetapkan


(34)

karena mempengaruhi stabilitas dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan. Prinsip dari uji AKK ini adalah penentuan adanya kapang/ khamir secara mikrobiologis dinyatakan dalam koloni/ml (Depkes RI, 2000).

Kapang atau mold merupakan jamur yang berbentuk menyerupai benang multiseluler, tidak berklorofil dan belum mempunyai diferensiasi jaringan. Spesies kapang yang non-patogen meliputi spesies-spesies yang melakukan perombakan bahan-bahan organik di tanah, dan perusakan pada serat-serat kayu dan bahan-bahan lain. Kapang hidup di dalam tanah, buah-buahan, dalam air dan pada bahan-bahan makanan. Kapang dapat bersifat saprofit dan parasit pada tanaman, manusia dan hewan (Jutono, 1972).

Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi. Kapang merupakan fungi multiseluler yang mempunyai filamen, dan pertumbuhannya pada makanan mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula akan berwarna putih tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang. Sifat-sifat morfologi kapang, baik penampakan makroskopik maupun mikroskopik, digunakan dalam identifikasi dan klasifikasi kapang. Kapang terdiri dari suatu thallus (jamak = thalli) yang tersusun dari filamen yang bercabang yang disebut hifa (tunggal = hypha, jamak = hyphae). Kumpulan dari hifa disebut miselium (tunggal = mycelium, jamak = mycelia). Hifa tumbuh dari spora yang melakukan germinasi dimana tuba ini akan membentuk filamen yang panjang dan bercabang yang disebut hifa, kemudian seterusnya akan membentuk suatu massa hifa yang


(35)

disebut miselium. Pembentukkan miselium merupakan sifat yang membedakan grup-grup di dalam fungi (Fardiaz, 1992).

Secara alamiah kapang berkembang biak dengan cara, aseksual dengan pembelahan, penguncupan, atau pembentukkan spora, secara seksual dengan peleburan nukleus dari kedua induknya. Pada pembelahan, sel membagi diri menjadi dua sel anak. Cara penguncupan, suatu sel anak tumbuh dari penonjolan kecil pada sel inang yang bertambah besar, akhirnya membiakkan diri menjadi kapang yang baru (Waluyo, 2007). Kapang bersifat mesofilik, yaitu mampu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25℃sampai 30℃. Semua kapang bersifat aerobik, yakni membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya. Kebanyakan kapang dapat tumbuh baik pada pH yang luas yakni: 2,0–8,5, tetapi biasanya pertumbuhannya akan baik bila pada kondisi asam atau pH rendah (Waluyo, 2007). Beberapa kapang dapat langsung bersifat patogenik dan menyebabkan penyakit pada manusia dan tanaman, diantaranya kapang yang menginfeksi pernafasan dan kulit pada manusia. Kapang yang menyebabkan proses pembusukan pangan atau pertumbuhannya dalam bahan pangan juga memproduksi racun yang dikenal sebagai mikotoksin. Sebagai suatu kelompok zat, mikotoksin dapat menyebabkan gangguan hati, ginjal, dan susunan syaraf pusat dari manusia maupun hewan (Winarno, 1980).

Tubuh kapang terdiri dari kumpulan benang-benang halus bewarna putih yang disebut hifa. Hifa-hifa ini dapat terus tumbuh dan bercabang membentuk miselium. Setiap hifa mempunyai lebar antara 5-19 mikron (Tarigan, 1998).


(36)

Adanya kapang dalam makanan atau minuman sangat berbahaya karena kapang menghasilkan mikotoksin. Mikotoksin adalah metabolit sekunder dari kapang yang bersifat sitotoksik, merusak struktur sel, seperti membran dan merusak proses pembentukan sel yang penting bagi tubuh. Penyakit yang disebabkan oleh mikotoksin yang berbahaya disebut dengan mikotoksis. Ada 5 jenis mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan yaitu, aflatoksin, fumonisin, okratoksin, trikotesena dan zearalenon. Aflatoksin terutama dihasilkan oleh Apergilus flavus dan Aspergilus parasiticus. Terdapat enam jenis aflatoksin yang

sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin 1, 2,�1,�2, (Ahmad, 2009).

Khamir (yeast) merupakan fungi bersel satu (uniseluler), tidak berfilamen, berbentuk oval atau bulat, berukuran lebih besar dibanding bakteri, tidak berflagel. Khamir bersifat fakultatif, artinya khamir dapat hidup dalam keadaan aerob ataupun anaerob. Khamir bereproduksi melalui pertunasan atau pembelahan sel (Pratiwi, 2008). Salah satu contoh khamir adalah Candida albicans yang secara alami terdapat dalam tubuh sebagai flora normal selaput mukosa saluran pencernaan dan genitalis wanita. Jamur ini secara bebas dapat ditemukan ditanah, air dan kotoran binatang. Candida albicans yang terkonsumsi manusia akan dihantarkan melalui aliran darah keseluruh organ tubuh, termasuk selaput otak. Jamur ini dapat menyebabkan infeksi mulut (sariawan), terutama pada bayi (Jawetz, 1996).

Beberapa kelompok khamir yang dominan ditemukan dalam air dan ekosistem tanah adalah genus Cryptococcus, Candida dan Debaryomyces (Kanti,


(37)

2005). Candida albicans adalah flora normal selaput mukosa saluran pernapasan, saluran pencernaan dan genitalia wanita. Kadang-kadang Candida menyebabkan penyakit sistemik progresif pada penderita yang lemah atau sistem imunnya tertekan. Candida albicans dapat menyebabkan infeksi mulut (sariawan), terutama pada bayi. Infeksi terjadi pada selaput mukosa pipi dan tampak sebagai bercak-bercak putih yang sebagian besar terdiri atas pseudomiselium dan epitel yang terkelupas dan hanya terdapat erosi minimal pada selaput. Candida albicans juga dapat menyebabkan vulvovaginitis atau keputihan pada wanita. Penyakit ini menyerupai sariawan tetapi menimbulkan iritasi, gatal yang hebat dan pengeluaran sekret. Dalam keadaan pH normal yang asam bakteri vagina tidak menimbulkan penyakit, namun karena hilangnya pH asam merupakan predisposisi timbulnya vulvovaginitis kandida. Cryptococcus neoformans juga ditemukan ditemukan pada kotoran burung. Cryptococcus neoformans menyebabkan infeksi yang disebut kriotokosis yang berifat opportunistik (Jawetz, 1996).

Kapang/ khamir dapat tumbuh selama proses penyimpanan bahan baku jamu, penyimpanan makanan dan minuman, serta dalam kondisi tanah lembab. Khamir dapat menyebabkan pembusukan dan dekomposisi bahan pangan karena sifatnya, yaitu mikroba fermentatif yang dapat menguraikan unsur organik menjadi alkohol dan �2. Contoh khamir yang dapat menyebabkan pembusukan bahan pangan adalah Saccaromyces cerevisiae (SNI, 2009).

Angka kapang/ khamir adalah jumlah koloni kapang dan khamir yang ditumbuhkan dalam media yang sesuai setelah diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20-25℃ dan dinyatakan dalam satuan koloni/ mL (PPOMN, 2006). Jumlah


(38)

kapang (jamur) dan khamir yang besar menunjukkan kemunduran dari mutu obat tradisional. Kapang dan khamir akan berkembang baik bila tempat tumbuhnya cocok (BPOM RI, 2014). Untuk mengetahui jumlah AKK dapat dilakukan dengan metode MA PPOMN nomor 96/mik/00. Uji AKK memiliki prinsip pertumbuhan kapang/ khamir setelah cuplikan diinokulasikan pada media yang sesuai dan diinokulasikan pada suhu 20-25℃ (Fardiaz, 1993). Perhitungan AKK berdasarkan prosedur Metode Analisis Pusat Pengujian Obat dan Makanan (MA PPOMN, 2006).

E. Angka Lempeng Total

Angka Lempeng Total (ALT) adalah pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah sampel diinkubasi dalam perbenihan yang cocok selama 24-48 jam pada suhu 37℃. Dalam pengujian ALT digunakan metode pour plate dengan cara menginokulasikan bakteri pada media agar tuang pada suhu 45℃ dalam cawan petri. Ketika agar memadat, sel-sel bakteri tidak dapat bergerak dalam agar dan akan tumbuh menjadi koloni (SNI, 1992).

Angka lempeng total merupakan salah satu cara untuk menghitung cemaran mikroba, dimana cara ini merupakan bagian dari metode hitung cawan. Prinsip pada metode hitungan cawan adalah jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut akan berkembang biak membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dapat dihitung dengan menggunakan mata tanpa mikroskop. Metode hitungan cawan merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik karena beberapa hal yaitu :


(39)

1). Hanya sel yang masih hidup yang dapat dihitung. 2). Beberapa jenis jasad renik dapat dihitung satu kali.

3). Dapat digunakan untuk isolasi dan identitas jasad renik karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari jasad renik yang menetap menampakkan pertumbuhan yang spesifik (Fardiaz, 1992).

Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba yang ada pada suatu sampel, umumnya dikenal dengan Angka Lempeng Total (ALT). Uji ALT dan lebih tepatnya ALT bakteri aerob mesofil atau anaerob mesofil menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni bakteri yang dapat diamati secara visual dan dihitung dalam satuan koloni (cfu) per ml/g atau koloni/ 100ml. Cara yang digunakan antara lain dengan cara tuang dan tetes dan cara sebar (BPOM RI, 2008).

Uji ALT dapat digunakan untuk menghitung banyaknya bakteri yang tumbuh dan berkembang pada sampel , juga sebagai acuan yang dapat menentukan kualitas dan keamanan jamu gendong. Jamu gendong dikatakan berkualitas apabila tidak ada sama sekali cemaran mikroba yang tumbuh atau apabila ada maka jumlahnya haruslah berada di batas yang sudah ditentukan oleh BPOM RI 2014, yaitu tidak lebih dari 103 koloni/ ml untuk angka kapang/ khamir dan 104 koloni/ ml untuk angka lempeng total (BPOM RI, 2014).

Prinsip pengujian Angka Lempeng Total menurut Metode Analisis Mikrobiologi (MA PPOMN nomor 96/mik/00) adalah pertumbuhan koloni bakteri


(40)

aerob mesofil setelah cuplikan diinokulasikan pada media lempeng agar dengan metode pour plate dan diinkubasi pada suhu yang sesuai. Pada pengujian Angka Lempeng Total menggunakan media PCA (Plate Count Agar) sebagai media padatnya. Digunakan juga pereaksi khusus Triphenyl Tetrazolium Chloride 0,5 % (TTC) (BPOM, 2008).

Menurut Depkes RI disebutkan bahwa ALT harus ditekan sekecil mungkin meskipun mikroba tersebut tidak membahayakan kesehatan, tetapi kadang-kadang karena pengaruh sesuatu yang dapat menjadi mikroba membahayakan. Yang jelas angka lempeng total tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat berapa industri tersebut melaksanakan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Makin kecil angka lempeng total bagi setiap produk makin tinggi nilai pengetrapan CPOTB di industri tersebut.

Koloni yang tumbuh tidak selalu berasal dari 1 sel mikroba, karena ada beberapa mikroba tertentu yang cenderung berkelompok atau berantai. Bila ditumbuhkan pada media dan lingkungan yang sesuai, kelompok bakteri ini akan menghasilkan 1 koloni. Oleh karena itu, seringkali digunakan istilah Colony Forming Unit (CFU) untuk menghitung jumlah mikroba hidup. Sebaiknya hanya lempeng agar yang mengandung 25-250 koloni saja yang digunakan dalam perhitungan (SNI, 1992).

Pengenceran dari sampel sangat penting untuk menghindari koloni bakteri atau kapang/ khamir yang saling menumpuk karena konsentrasi sangat pekat sehingga didapatkan koloni yang terpisah dan dapat dihitung dengan mudah


(41)

pengenceran ini sangat membantu terutama untuk sampel dengan cemaran sangat tinggi (BPOM RI, 2008). Lempeng agar dengan koloni > 250 koloni akan sulit dihitung sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam perhitungan sangat besar. Digunakan pengenceran sampel untuk membantu memperoleh perhitungan dalam jumlah yang benar (Lay, 1994).

F. Media

Mikroba membutuhkan banyak nutrisi untuk dapat melakukan sintesa protoplasma dan bagian-bagian sel lainnya. Setiap nutrisi yang dibutuhkan mikroorganime dapat berbeda karena sifat fisiologi setiap mikroorganisme dapat berbeda karena sifat fisiologi setiap mikroorganisme juga berbeda (Sumarsih, 2007). Media pertumbuhan mikroorganisme adalah bahan yang tersusun dari bermacam-macam zat makanan atau nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam menyusun komponen sel-selnya (Aulia, 2012). Media dapat berupa cairan seperti kaldu dan dapat berupa padatan seperti agar dan gelatin. Media harus mengandung sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfor dan faktor pertumbuhan organik (Radji, 2011).

Media dibedakan menjadi:

1. Media umum, yaitu media yang dapat dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan satu atau lebih kelompok mikroba secara umum. 2. Media pengaya, yaitu dipergunakan dengan maksud “memberikan

kesempatan” terhadap suatu jenis atau kelompok mikroba untuk tumbuh menjadi cepat.


(42)

3. Media selektif, yaitu media yang hanya dapat ditumbuhi oleh satu atau lebih jenis mikroba tertentu tetapi akan menghambat atau mematikan untuk jenis-jenis lainnya.

4. Media diferensiasi, yaitu media yang dipergunakan untuk pengujian senyawa atau benda tertentu dengan bantuan mikroba.

5. Media penguji, yaitu media yang dipergunakan untuk pengujian senyawa atau benda tertentu dengan bantuan mikroba.

6. Media enumerasi, yaitu media yang dipergunakan untuk menghitung jumlah mikroba pada suatu bahan.

(Suriawiria, 2005). Media pertumbuhan dapat digunakan untuk hal-hal berikut :

1. isolat mikroorganime menjadi kultur murni, 2. memanipulasi komposisi media pertumbuhannya, 3. menumbuhkan mikroorganisme,

4. memperbanyak jumlah mikroba,

5. menguji sifat-sifat fisiologis mikroba, 6. menghitung jumlah mikroba

(Aulia, 2012).

Dalam penelitian ini, media yang digunakan sebagai tempat tumbuh koloni kapang/ khamir dan juga sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan kapang/ khamir adalah Potatoes Dextrose Agar atau biasa disebut PDA. PDA merupakan media yang digunakan untuk memacu produksi konidia oleh fungi. Infus dari kentang dan dextrosa pada media ini menyediakan faktor nutrien yang sangat baik


(43)

untuk pertumbuhan fungi (Murray, 1999). Media yang digunakan untuk pengujian ALT adalah Plate Count Agar (PCA) yang mengandung tripton, glukosa dan yeast extract untuk nutrisi pertumbuhan bakteri (Bridson, 2006).

Plate count agar (PCA) adalah mikrobiologi medium pertumbuhan umum

digunakan untuk menilai atau memonitor "total" atau layak pertumbuhan bakteri dari sampel. PCA adalah bukan media selektif. Komposisi agar-agar pelat menghitung dapat bervariasi, tetapi biasanya mengandung (b/v) yaitu 0,5% pepton, 0,25% ekstrak ragi, 0,1% glukosa, 1,5%agar-agar, dan pH disesuaikan (Atlas, 2000).

G. Landasan Teori

Hal-hal yang dapat mempengaruhi kualitas jamu cair adalah bahan yang digunakan, cara penyimpanan bahan, lama penyimpanan bahan, pencucian bahan, peralatan yang digunakan, dan air yang digunakan.

Bahan yang digunakan oleh pedagang jamu gendong temulawak adalah rimpang segar temulawak dan air. Temulawak yang dipilih ialah temulawak yang masih segar yang ditandai dengan kulit temulawak yang tidak keriput dan tidak berjamur.

Penyimpanan bahan dilakukan dengan cara meletakkan rimpang segar temulawak pada nampan dan disimpan pada tempat sejuk dan kering. Para pedagang jamu selalu membeli bahan untuk jamu setiap harinya sehingga rimpang temulawak yang dibeli akan selalu diproses sebagai jamu temulawak pada pagi harinya. Menurut survei peneliti bahan baku yang diperoleh dari Pasar Tradisional


(44)

Klaten yang dijual oleh pedagang bahan jamu selalu baru setiap minggunya dan bahan-bahan tersebut didapatkan dari petani empon-empon dari daerah Manjung Klaten.

Peralatan yang digunakan oleh pedagang jamu selalu kering dan bersih. Para pedagang jamu selalu mencuci peralatannya sebelum digunakan, seperti kuali tanah, pengaduk, sendok, telenan, pisau dan alu. Semua alat tersebut dicuci bersih menggunakan sabun cuci piring dan kemudian dikeringkan dengan cara di angin-anginkan hingga kering.

Pembuatan jamu temulawak dilakukan dengan membersihkan temulawak dari kulit nya hingga bersih kemudian mencucinya dengan air mengalir 3-5 kali pencucian lalu setelah dicuci bersih temulawak dirajang dan selanjutnya temulawak dicuci kembali dengan dibilas menggunakan air mengalir dengan tujuan supaya temulawak benar-benar bersih. Air yang digunakan oleh pedagang jamu adalah air PAM. Setelah itu temulawak yang telah dirajang kemudian dihaluskan dengan cara ditumbuk hingga lembut kemudian hasil tumbukan dimasukkan kedalam kuali lalu ditambahkan air untuk diambil saripatinya dengan cara disaring. Saripati yang telah didapat kemudian direbus dengan mencampurkannya dengan air sebanyak 2 liter dan direbus dengan kuali tanah yang kering dan bersih lalu dipanaskan diatas api kecil sampai mendidih ± 20 menit. Setelah mendidih jamu temulawak tersebut dibiarkan hingga suam-suam kuku didalam kuali kemudian dimasukkan kedalam botol jamu dari bahan gelas yang digunakan khusus untuk jamu sebab pedagang jamu tidak lagi menggunakan


(45)

botol bekas plastik karena para pedagang jamu menganggap botol plastik akan mengurangi kualitas jamu dari segi aroma dan rasa.

H. HIPOTESIS

Jamu gendong temulawak di Pasar Tradisional Klaten diduga memiliki nilai angka kapang/ khamir dan angka lempeng total yang masuk kedalam range atau nilai maksimal sesuai ketentuan BPOM RI 2014.


(46)

30 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif dan komparatif, karena dalam penelitian ini tidak dilakukan manipulasi pada subjek penelitian. Peneliti akan mendeskripsikan keadaan yang ada dan membandingkan dengan ketentuan pemerintah yang ada pada BPOM RI/12/2014 tentang persyaratan mutu obat tradisional.

B. Variabel dan Definisi Operasional Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Variabel utama a. Variabel bebas

Cairan jamu gendong temulawak yang diproduksi oleh pedagang jamu gendong temulawak di Pasar Tradisional Klaten.

b. Variabel tergantung

Angka Lempeng Total dan Angka Kapang/ Khamir 2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Media pertumbuhan, yaitu Potato Dextrose Agar (PDA) dan Plate Count Agar (PCA), suhu inkubasi 35℃ untuk uji ALT dan 25℃ untuk uji AKK. Dengan waktu inkubasi 24-48 jam untuk uji ALT dan 5-7 hari untuk uji AKK.


(47)

b. Variabel pengacau tak terkendali

Cara pembuatan jamu temulawak, cara penyimpanan setelah pembuatan jamu temulawak, waktu penyimpanan jamu temulawak setelah pembuatan serta kualitas bahan yang digunakan.

3. Definisi operasional

a. Jamu temulawak yang digunakan adalah jamu cair dengan komposisi rimpang segar temulawak dan air yang dibuat dengan cara dihaluskan dan direbus lalu dimasukkan dalam wadah kaca oleh pedagang jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten.

b. Uji Angka kapang/ khamir (AKK) adalah suatu uji cemaran mikroba yang dilakukan dengan menghitung jumlah kapang dan atau khamir yang terdapat dalam jamu temulawak dengan menggunakan media PDA, lalu dilakukan inkubasi selama 5 hari serta mengacu pada Metode Analisis Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (MA PPOMN).

c. Uji Angka lempeng total (ALT) adalah suatu uji cemaran mikroba yang dilakukan dengan menghitung jumlah bakteri aerob mesofil yang terdapat dalam jamu temulawak dengan menggunakan media PCA, lalu dilakukan inkubasi selama 48 jam serta mengacu pada metode Standar Nasional Indonesia (SNI).


(48)

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

Bahan utama yang digunakan yaitu jamu temulawak yang dijual oleh penjual jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten.

2. Bahan kimia

a. Media yang digunakan untuk pengujian AKK adalah Potato Dextrose Agar (PDA)

b. Media yang digunakan dalam pengujian ALT adalah Plate Count Agar (PCA)

c. Kloramfenikol 1%, PDF (Pepton Diluid Fluid), BPW (Buffered Peptone Water), Aquadest steril, Etanol 70%

D. Alat Penelitian

Laminar Air Flow (Telstar PV-100),Autoclaf (KT-40 ALP), Inkubator (Memmert), Oven (WTB binder), Vortex, Stomacher Seward, Mikroskop, Pipet tetes, Tabung reaksi dilengkapi tabung Durham, Cawan Petri, Pipet Volume, Beker Glass, Gelas Ukur, Bunsen, Stirer magnetik, Neraca Analitik (Mettler AE 200), Erlenmeyer, Waterbath (Memmert WNB 22).


(49)

E. Tata Cara Penelitian 1. Pemilihan dan Pengambilan Sampel

Sampel jamu yang dipilih diambil dari jamu temulawak yang dijual oleh penjual jamu gendong di Pasar Tradisional Klaten. Sampel diambil dari 3 pedagang jamu gendong di pasar tersebut. Masing-masing pedagang diambil 1 sampel dengan satu kali pengambilan sampel dan dilakukan replikasi sebanyak 3 kali.

2. Penanganan Wadah/ Kemasan Penyiapan Sampel

Kemasan jamu yang akan dibuka dibersihkan dengan kapas beralkohol 70% kemudian dibuka secara aseptis didekat nyala api spiritus.

3. Tahap Pra-Pengkayaan

a. Homogenisasi sampel untuk uji AKK

10 ml jamu temulawak diambil dan dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml kemudian ditambah larutan pengencer Pepton Dilution Fluid (PDF) hingga tanda batas sehingga diperoleh pengenceran 10−1.

b. Homogenisasi sampel untuk uji ALT

Secara aseptis diambil sebanyak 25 ml sampel kedalam labu ukur 250 ml, lalu ditambahkan 225 ml BPW dan homogenkan hingga diperoleh pengenceran 10−1.

c. Pengenceran sampel untuk uji AKK

Tiga buah labu ukur 10 ml disiapkan, masing-masing telah diisi dengan 9 ml PDF. Dipipet 1 ml sampel pengenceran 10−1 dan dimasukkan kedalam tabung pertama yang telah berisi PDF hingga diperoleh


(50)

pengenceran 10−2 lalu dikocok homogen dengan vortex. Dibuat pengenceran berikutnya sampai 10−4.

d. Pengenceran sampel untuk uji ALT

5 buah labu ukur 10 ml disiapkan masing-masing telah diisi dengan 9 ml pengencer BPW. Dipipet 1 ml pengenceran 10−1 dari hasil homogenisasi pada penyiapan sampel dan dimasukkan ke dalam tabung pertama yang telah diisi 9 ml BPW hingga diperoleh pengenceran

10−2dan dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Kemudian dibuat pengenceran selanjutnya hingga 10−6.

4. Uji Angka Kapang Khamir

a. Pembuatan larutan kloramfenikol

Sebanyak 1 gram kloramfenikol dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest steril.

b. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA)

Sebanyak 39 gram serbuk PDA disuspensikan dalam 1000 ml aquadest, kemudian dilarutkan dengan pemanasan dan diaduk hingga merata, dimasukkan dalam wadah yang sesuai. Kemudian ditambahkan kloramfenikol 100 gram/L media dicampur hingga merata. Sterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121˚C. Kemudian dituang ke dalam cawan petri atau tabung reaksi steril dan dibiarkan memadat. c. Uji Angka Kapang Khamir

Dari masing-masing pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri steril secara duplo. Media PDA yang telah dicairkan (suhu 45±1℃)


(51)

sebanyak 20 ml dituangkan ke dalam cawan petri yang sebelumnya telah ditambah dengan 1 ml larutan kloramfenikol dan digoyangkan sehingga campuran tersebut merata. Setelah agar membeku cawan petri dibalik dan diinkubasikan pada suhu 25℃ atau pada suhu kamar selama 5 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai hari ke-5. Koloni kapang dan khamir dihitung setelah 5 hari.

Uji sterilitas media dilakukan dengan menuangkan media PDA dalam cawan petri dan dibiarkan memadat. Uji sterilitas pengencer dilakukan dengan cara menuangkan media PDA dan 1 ml pengencer (PDF) lalu dibiarkan memadat.

5. Uji Angka Lempeng Total

a. Pembuatan Media Plate Count Agar (PCA)

Sebanyak 29 g PCA ditimbang dan di campurkan dengan 1650 ml aquadest, dipanaskan hingga larutan jernih. Kemudian disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121℃.

b. Larutan Pengencer Buffered Pepton Water (BPW)

Sebanyak 20 g serbuk BPW dilarutkan dalam 1 L air suling dan diukur pH 7,0 ± 1. Kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121℃ .

c. Uji Angka Lempeng Total (ALT)

Dari masing-masing pengenceran dipipet 1 ml kedalam cawan petri steril secara duplo. Dalam setiap cawan petri dituangkan sebanyak 15 ml media PCA yang telah dicairkan yang bersuhu 45±1℃ dalam waktu 15 menit


(52)

dari pengenceran pertama. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati agar sampel tersebar merata kemudian dibuat duplo. Dilakukan pula uji kontrol untuk mengetahui sterilitas media dan pengencer. Uji sterilitas media dilakukan dilakukan dengan cara menuangkan media PCA dalam suatu cawan petri dan biarkan memadat.

Seluruh cawan petri diinkubasi terbalik pada suhu 37℃ selama 24 jam hingga 48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung. Dihitung Angka Lempeng Total dalam 1 ml contoh dengan mengkalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.


(53)

F. Analisis Hasil

Analisis data dilakukan secara deskriptif komparatif yaitu dengan menganalisis hasil uji AKK dengan metode MA PPOMN nomor 96/mik/00, analisis ALT dengan metode SNI 2897:2008. Dengan uraian sebagai berikut :

1. Cara menghitung dan menyatakan hasil AKK :

Cara menghitung dan menyatakan hasil AKK sesuai dengan MA PPOMN nomor 96/mik/00. Cawan petri dipilih dari suatu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni 10-150 koloni. Jumlah koloni dari kedua cawan dihitung lalu dikalikan dengan faktor pengencerannya. Bila pada cawan petri dari 2 tingkat pengenceran yang berurutan menunjukkan jumlah antara 10-150, maka dihitung jumlah koloni dan dikalikan faktor pengenceran, kemudian diambil angka rata-rata. Hasil dinyatakan sebagai angka kapang/khamir dalam tiap ml atau gram contoh. Untuk beberapa kemungkinan lain yang berbeda dari pernyataan diatas, maka diikuti petunjuk sebagai berikut :

1) Bila hanya salah satu diantara kedua cawan petri dari pengenceran yang sama menunjukkan jumlah koloni antara 10-150 koloni, dihitung jumlah koloni dari kedua cawan dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

2) Bila pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi didapat jumlah koloni pada pengenceran dibawahnya, maka dipilih tingkat pengenceran terendah (misal pada pengenceran 10−2 diperoleh 60 koloni dan pengenceran 10−3 diperoleh 20 koloni, maka dipilih jumlah koloni pada tingkat pengenceran 10−2 yaitu 20 koloni, maka


(54)

dipilih jumlah koloni pada tingkat pengenceran 10−2 yaitu 20 koloni).

3) Bila dari seluruh cawan petri tidak ada satupun yang menunjukkan jumlah antara 10-150 koloni , maka dicatat angka sebenarnya dari tingkat pengenceran terendah dan dihitung sebagai angka kapang/khamir perkiraan .

4) Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan karena faktor inhibitor, maka angka kapang/ khamir dilaporkan sebagai kurang dari satu dikalikan faktor pengenceran terendah.

(MA PPOMN, 2006). 2. Cara menghitung dan menyatakan hasil ALT :

a. Perhitungan jumlah koloni

Perhitungan ALT sesuai dengan metode SNI 2897:2008. Jumlah koloni pada setiap seri pengenceran dihitung kecuali cawan petri yang terdapat koloni menyebar (spreader colonies). Pilih cawan petri (simplo dan duplo) dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni 25 sampai dengan 250 setiap cawan. Semua koloni dalam cawan petri dihitung dengan menggunakan alat penghitung koloni (colony counter). Hitung rata-rata jumlah koloni dan kalikan dengan faktor

pengenceran. Hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri per mililiter atau gram.

b. Interpretasi hasil


(55)

Bila cawan duplo dari pengenceran terendah menghasilkan koloni kurang dari 25, hitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran. Rerata jumlah koloni per cawan dan kalikan dengan faktor pengenceran untuk menentukan nilai TPC (Total Plate Count). Tandai nilai TPC dengan tanda bintang ( Tabel 1 nomor 3) untuk menandai bahwa penghitungannya diluar 25 koloni sampai dengan 250 koloni per cawan.

2. Cawan dengan jumlah koloni kurang dari 250

Bila jumlah koloni per cawan dari 250, hitung koloni-koloni pada cawan untuk memberikan gambaran koloni secara representatif. Tandai penghitungan TPC dengan tanda bintang untuk menandai bahwa penghitungannya diluar 25 koloni sampai dengan 250 koloni per cawan (Tabel 1 nomor 4).

3. Spreaders

Koloni yang menyebar (spreaders) biasanya dibagi dalam 3 bentuk: a) Rantai koloni tidak terpisah secara jelas disebabkan oleh

disintegrasi rumpun bakteri.

b) Terbentuk lapisan air antara agar dan dasar cawan.

c) Terbentuknya lapisan air pada sisi atau permukaan cawan .

Bila cawan yang disiapkan untuk sampel lebih banyak ditumbuhi oleh spreader seperti (a) dan total area yang melebihi 25% dan 50%


(56)

dari setiap pengenceran, kemudian laporkan jumlahnya sebagai TPC (Tabel 1 nomor 5)

Selain 3 (tiga) bentuk spreader, dapat dihitung sebagai satu pertumbuhan koloni. untuk tipe (a) bila hanya terdapat satu rantai hitunglah sebagai koloni tunggal. Bila ada satu atau lebih rantai yang terlihat dari sumber lain, hitung tiap sumber itu sebagai satu koloni, termasuk untuk tipe (b) dan (c) juga dihitung sebagai koloni. Gabungkan perhitungan koloni dan perhitungan spreader untuk menghitung TPC.

4. Cawan tanpa koloni

Bila cawan petri dari semua pengenceran tidak menghasilkan koloni, laporkan TPC sebagai kurang dari 1 kali pengenceran terendah yang digunakan. Tandai TPC dengan tanda bintang bahwa penghitungannya diluar 25 koloni sampai dengan 250 koloni (Tabel 1 nomor 6).

5. Cawan duplo, cawan yang satu dengan 25 koloni sampai dengan 250 koloni dan cawan yang lain lebih dari 250 koloni

Bila cawan yang satu menghasilkan koloni antara 25 sampai dengan 250 dan yang lain lebih dari 250 koloni, hitung kedua cawan dalam penghitungan TPC (Tabel 1 nomor 7).

6. Cawan duplo, satu cawan dari setiap pengenceran dengan 25 koloni sampai dengan 250 koloni

Bila 1 cawan dari setiap pengenceran menghasilkan 25 koloni sampai dengan 250 koloni, dan cawan lain kurang dari 25 koloni atau


(57)

menghasilkan lebih dari 250 koloni, hitung keempat dalam penghitungan TPC (Tabel 1 nomor 8)

Tabel I. Petunjuk perhitungan Total Plate Count (TPC)

NO − − − TPC per

ml atau gram

Keterangan

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 ===

===

175 208

16

17 190.000

Bila hanya satu pengenceran yang berada dalam batas yang sesuai, hitung jumlah rerata dari pengenceran tersebut.

2 ===

===

224 225

25

30 250.000

Bila hanya dua pengenceran yang berada dalam batas yang sesuai, hitung jumlah masing-masing dari pengenceran sebelum merata-ratakan jumlah yang sebenarnya.

3 18

14

2 0

0

0 1600*

Jumlah koloni kurang dari 25 koloni pada pengenceran terendah, hitung jumlahnya dan kalikan dengan faktor pengencerannya dan beri tanda* (diluar jumlah koloni 25 sampai dengan 250)

4 ===

===

=== ===

523

487 5.100.00*

Jumlah koloni lebih dari 250 koloni, hitung koloni yang dapat dihitung atau yang mewakili, beri tanda* (diluar jumlah koloni 25 sampai dengan 250)

5 ===

===

245 230

35

Spreader 290.000

Bila ada dua pengenceran diantara jumlah koloni 25-250, tetapi ada spreader, hitung jumlahnya dan kalikan dengan faktor pengenceran, namun untuk spreader tidak dihitung.

6 0

0

0 0

0

0 100*

Bila cawan tanpa koloni, jumlah TPC adalah kurang dari satu kali pengenceran terendah yang digunakan dan beri tanda*

7 ===

===

245 278

23

20 260.000*

Jumlah koloni 25-250 koloni dan yang lain >250 koloni, hitung kedua cawan petri, termasuk yang >250, dan rerata jumlahnya


(58)

8 === ===

225 255

21

40 270.000

Bila salah satu cawan dengan jumlah 25 koloni dari tiap pengenceran, hitung jumlah dari tiap pengenceran termasuk yang kurang dari 25 koloni, lalu rerata jumlah sebenarnya.

9 = = = = = = = = = = = = 220 240 260 230 18 48 30 28 260.000 270.000

Bila hanya satu cawan yang menyimpang dari setiap pengenceran, hitung jumlah dari setiap pengenceran termasuk yang kurang dari 25 koloni atau lebih dari 250 koloni, kemudian rerata jumlah sebenarnya.

3. Pelaporan hasil

(i) Bulatkan angka menjadi 2 angka yang sesuai, bila angka ketiga 6 atau diatasnya, maka angka ketiga menjadi 0 (nol) dan angka kedua naik 1 angka, misalnya 456 menjadi 460 (4,6 x 102). (ii) Bila angka ketiga 4 atau dibawahnya, maka angka ketiga menjadi

0 (nol) dan angka kedua tetap, misalnya 454 menjadi 450 (4,5 x

102).

(iii) Bila angka ketiga 5, maka angka tersebut dapat dibulatkan menjadi 0 (nol) dan angka kedua adalah genap, misalnya 445 menjadi 440 (4,4 x 102).

(iv) Bila angka ketiga 5, maka angka tersebut dapat dibulatkan menjadi 0 (nol) dan angka kedua naik 1 angka, misalnya 445 menjadi 460 (4,6 x 102).


(59)

43 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan tempat dan pemilihan sampel

Sampel jamu temulawak diambil dari pedagang jamu gendong yang aktif berjualan di Pasar Tradisional Kota Klaten. Pasar ini dipilih karena pasar ini merupakan pasar yang berada strategis ditengah pusat kota Klaten, di pasar tersebut juga merupakan pasar pusat penjualan bahan baku jamu seperti rimpang dalam bentuk segar, simplisia, dan serbuk simplisia, serta merupakan pasar dengan penjual jamu gendong terbanyak dibanding pasar tradisional wilayah lain di Kabupaten Klaten. Pasar ini sangat terkenal karena merupakan pasar tradisional terbesar dan terlengkap di Kota Klaten dan selalu ramai oleh pembeli. Menurut survey peneliti di pasar tersebut terdapat 5 penjual jamu gendong yang berjualan di tempat tersebut dan jamu temulawak merupakan salah satu jamu yang dijual oleh pedadang jamu gendong. Penggunaan jumlah sampel minimal untuk penelitian deskriptif adalah 10% dari jumlah populasi. Peneliti mengambil sampel dari 3 pedagang jamu gendong secara acak dan dianggap dapat mempresentasikan pembuatan jamu temulawak oleh pedagang lainnya. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, jamu temulawak yang dijual oleh 3 pedagang tersebut terjual habis setiap hari. Teknik pemilihan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan cara mengambil masing-masing satu sampel jamu temulawak dari setiap pedagang jamu di Pasar Tradisional Klaten. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 WIB karena pada jam tersebut para pedagang jamu telah menjajakan jamu di Pasar Tradisional Klaten. Dilakukan satu kali pengambilan


(60)

sampel dan diuji dengan replikasi sebanyak 3 (tiga) kali serta dilakukan duplo pada setiap sampel jamu temulawak. Pada saat pengambilan sampel dipindahkan ke dalam botol kaca steril yang kemudian ditempatkan ke dalam coolbox untuk meminimlakan kontaminasi mikroba selama perjalanan menuju laboratorium. Penelitian ini dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta. Sampel jamu temulawak dipilih karena jamu ini berkhasiat untuk menambah nafsu makan, melancarkan haid, melancarkan ASI dan mengatasi pegal linu. Konsumen utama jamu ini adalah ibu-ibu yang menyusui/ sedang haid dan para buruh panggul. Apabila nilai AKK dan ALT pada jamu temulawak tinggi maka akan berbahaya apabila dikonsumsi oleh konsumen terutama konsumen ibu-ibu yang menyusui beserta bayinya. AKK yang tinggi dapat menyebabkan gangguan penyakit hati dan kandidiasis baik ibu maupun bayinya. Sedangkan ALT yang tinggi menyebabkan penyakit demam dan diare pada orang yang mengkonsumsinya (Jawetz, 1996).

B. Pengambilan sampel jamu temulawak

Sampel jamu temulawak diambil sebanyak satu kali pengambilan dengan jumlah sampel 9 dimana seluruh sampel didapatkan dari 3 pedagang jamu gendong. Pengambilan sampel dilakukan pada hari Senin, 21 September 2015 pukul. 06.00. Berdasarkan survey peneliti pedagang jamu gendong mempunyai cara yang sama dalam mengolah jamu gendong tersebut yakni dengan cara mengupas dan membersihkan rimpang segar temulawak kemudian mencuci rimpang dengan air bersih sampai benar-benar bersih lalu menghaluskannya dengan cara di tumbuk dengan alu setelah itu kemudian merebus air hingga


(61)

mendidih dan digunakan untuk membuat jamu, jamu dimasak dalam api kecil selama rata-rata 20 menit setelah itu jamu dimasukkan kedalam botol kaca khusus jamu. Pada saat pengambilan sampel, sampel jamu temulawak dimasukkan kedalam botol kaca steril dan tertutup rapat. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada kontaminasi bakteri maupun jamur yang berasal dari wadah yang digunakan pada saat pengambilan sampel. Kemudian botol kaca steril ditempatkan kedalam coolbox untuk menghambat pertumbuhan mikroba patogen selama perjalanan menuju laboratorium.

C. Sterilisasi Media, Alat dan Ruangan

Sterilisasi adalah proses penghilangan semua jenis organisme hidup,dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma,virus) yang terdapat dalam suatu benda. Proses ini melibatkan aplikasi biocidal agent atau proses fisik dengan tujuan untuk membunuh atau menghilangkan mikroorganisme. Sterilisasi didesain untuk membunuh atau menghilangkan mikroorganisme. Target metode inaktivasi dilihat dari metode dan tipe mikroorganisme yaitu dari asam nukleat, protein atau membran mikroorganisme tersebut. Sedangkan agen kimia untuk sterilisasi disebut sterilant (Pratiwi,2006).

Apabila alat maupun media yang digunakan selama pengerjaan tidak steril, maka tidak dapat dibedakan apakah cemaran mikroba yang tumbuh berasal dari sampel atau hasil dari kontaminasi alat maupun media, sehingga perlu dilakukan sterilisasi untuk membebaskan alat dan media dari segala macam bentuk kontaminasi (Hadioetomo, 1985).


(62)

Menurut Hadioetomo (1985), ada beberapa cara yang digunakan dalam sterilisasi bahan maupun alat, diantaranya sterilisasi menggunakan pemanasan, radiasi, filtrasi dan secara kimia. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan saat pemilihan metode sterilisasi tergantung pada sifat dan jenis bahan yang akan disterilisasi.

Jenis media yang digunakan dalam penelitian adalah media umum dimana media tersebut mempunyai sifat tidak tahan terhadap panas yang sangat tinggi dan dengan durasi yang lama sehingga proses sterilisasi media dilakukan dengan sterilisasi panas basah menggunakan autoklaf pada suhu 121℃ selama 15 menit. Prinsip kerja dari metode ini adalah dengan mendenaturasi atau mengkoagulasikan protein yang merupakan komposisi utama dinding sel pada mikroorganisme. Uap panas bertekanan tinggi akan memecah dinding sel bakteri sehingga bakteri akan mati. Media tidak disterilisasi dengan metode panas kering karena pada media terkandung banyak nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan kapang/ khamir maupun koloni bakteri yang akan diisolasi. Apabila menggunakan metode panas kering dengan oven pada suhu 180℃ dan dengan durasi yang lama (1-2 jam) maka akan merusak nutrisi yang terkandung dalam media sehingga media tidak dapat mensuplai makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang/ khamir maupun koloni bakteri sehingga menyebabkan pertumbuhan kapang/ khamir maupun bakteri mejadi tidak optimal. Kemudian metode yang digunakan dalam sterilisasi alat pada penelitian ini adalah dengan sterilisasi panas kering menggunakan oven. Sterilisasi dengan metode panas kering membutuhkan suhu yang tinggi yaitu 160℃ sampai dengan 180℃dan berlangsung selama 1-2


(63)

jam supaya bakteri mengalami dehidrasi dalam udara panas dan kering sehingga akan mematikan bakteri. Prinsip kerja metode ini adalah menggunakan prinsip kerja aliran udara panas kering. Bakteri akan mengalami dehidrasi dalam udara panas kering sehingga lama-lama bakteri akan mati. Metode ini digunakan untuk sterilisasi benda-benda kaca seperti labu ukur, pipet tetes, pipet volume, cawan petri, gelas beker, gelas ukur, serta erlenmeyer. Alat-alat yang disterilisasi dibungkus dengan aluminium foil agar tidak terkontaminasi dan tidak kontak dengan udara maupun benda lain ketika dikeluarkan dari oven (Pratiwi, 2008).

Sterilisasi ruangan dilakukan dengan mengelap permukaan tempat bekerja menggunakan alkohol 70% sebelum memulai pekerjaan. Apabila menggunakan Laminar Air Flow (LAF) perlu dilakukan sterilisasi dengan memnyemprotkan alkohol 70% pada dinding bagian dalam LAF kemudian dilap menggunakan kapas steril. Kemudian LAF ditutup dan lampu UV dinyalakan selama 3 jam pada panjang gelombang sinar UV 260-270 nm sehingga akan menghambat replikasi DNA sehingga mikroorganisme akan mati (Suriawiria, 2005).

D. Homogenisasi dan Pengenceran Sampel

Homogenisasi sampel adalah suatu tahap awal yang harus dilakukan pada sampel supaya diperoleh distribusi mikroba yang merata di dalam sampel sehingga mudah untuk diamati. Tujuan homogenisasi sampel adalah untuk membebaskan sel-sel bakteri atau jamur yang masih terlindungi oleh partikel dari sampel yang akan diperiksa serta untuk mengaktifkan kembali sel-sel dari bakteri atau jamur yang masih terlindungi oleh partikel dari sampel yang akan diperiksa serta untuk mengaktifkan kembali sel-sel bakteri ataupun jamur yang


(64)

kemungkinan pertumbuhannya tergangggu karena berbagai kondisi yang kurang sesuai di dalam sampel (Radji, 2010).

Menurut PPOMN (2006), prinsip dari homogenisasi adalah membebaskan sel-sel bakteri yang mungkin terlindungi oleh partikel makanan dan untuk menggiatkan kembali sel-sel bakteri yang mungkin viabilitasnya berkurang karena kondisi yang kurang menguntungkan didalam makanan.

Homogenisasi sampel jamu temulawak dilakukan degan menggojok sampel yang ada didalam botol steril hingga homogen. Proses penggojokan ini bertujuan agar sampel yang berada didalam botol dapat homogen antara cairan dan endapan. Kemudian pembuatan suspensi AKK yang dilakukan dengan mengambil 10 ml jamu temulawak secara aseptis. Lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang telah berisi 90 ml larutan pengencer PDF (Pepton Diluid Fluid), sehingga diperoleh pegenceran 1:10 atau 10−1 lalu digojok menggunakan stomacher dan dilanjutkan dengan pengenceran yang diperlukan. Sedangkan pembuatan suspensi ALT dilakukan dengan mengambil 10 ml jamu temulawak secara aseptis. Lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang telah berisi 90 ml larutan pengencer BPW (Buffered Pepton Water), sehingga diperoleh pegenceran 1:10 atau 10−1 lalu digojok menggunakan stomacher dan dilanjutkan dengan pengenceran yang diperlukan.

Pembuatan suspensi dilakukan untuk melepaskan spora-spora kapang dan khamir sehingga spora-spora yang sudah terlepas dapat membentuk koloni. Lalu suspensi tersebut dimasukkan kedalam plastik steril dan diaduk homogen


(65)

menggunakan stomacher supaya sampel mampu bercampur homogen dengan pelarut. Pengenceran AKK dilanjutkan dengan menyiapkan 3 tabung reaksi yang telah diisi dengan 9 ml PDF. 1 ml pengenceran 10−1 dari hasil homogenisasi penyiapan sampel dipipet kemudian dimasukkan kedalam tabung pertama yang telah berisi PDF sehingga diperoleh pengenceran 10−2 lalu digojog sampai homogen dengan vortex. . Pengenceran ALT dilanjutkan dengan menyiapkan 5 tabung reaksi yang telah diisi dengan 9 ml BPW. 1 ml pengenceran 10−1 dari hasil homogenisasi penyiapan sampel dipipet kemudian dimasukkan kedalam tabung pertama yang telah berisi PDF sehingga diperoleh pengenceran 10−2 lalu digojog sampai homogen dengan vortex. Tahap selanjutnya yaitu membuat pengenceran hingga 10−4 untuk AKK dan 10−6 untuk ALT sebagai orientasi untuk menentukan tingkat pengenceran yang paling efektif dimana koloni mudah dihitung dan sesuai dengan range.

E. Uji Angka Kapang Khamir

Uji Angka Kapang Khamir adalah salah satu uji yang dijadikan syarat suatu produk obat tradisional untuk menilai kualitas dari produk dilihat dari cemaran mikrobianya. Dimana uji AKK tersebut dilakukan dengan menghitung jumlah koloni kapang/khamir yang terdapat dalam jamu temulawak dari penjual jamu gendong di pasar tradisional Klaten. Prinsip dari uji ini yaitu menumbuhkan kapang/khamir dalam media yang sesuai yang dapat menyediakan nutrisi bagi pertumbuhan kapang/khamir kemudian menghitungnya. Menurut Depkes RI (2000) uji angka khamir perlu dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa sediaan simplisia tidak mengandung cemaran fungi melebihi batas yang


(1)

Lampiran 11. Uji AKK jamu temulawak sampel C (pedagang 3) pada inkubasi 5 hari

Pengenceran 10−1 Pengenceran 10−2


(2)

Lampiran 12. Uji ALT jamu temulawak sampel A (pedagang 1) pada inkubasi 48 jam

Pengenceran 10−1 Pengenceran 10−2

Pengenceran 10−3 Pengenceran 10−4


(3)

Lampiran 13. Uji ALT jamu temulawak sampel B (pedagang 2) pada inkubasi 48 jam

Pengenceran 10−1 Pengenceran 10−2

Pengenceran 10−3 Pengenceran 10−4


(4)

Lampiran 14. Uji ALT jamu temulawak sampel C (pedagang 3) pada inkubasi 48 jam

Pengenceran 10−1 Pengenceran 10−2

Pengenceran 10−3 Pengenceran 10−4


(5)

Lampiran 15. Foto Kontrol Media dan Kontrol Negatif

Kontrol Media PDA Kontrol Negatif PDA+PDF


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “Uji Angka

Kapang/Khamir (AKK) dan Angka Lempeng Total

(ALT) dalam Jamu Gendong Temulawak di Pasar

Tradisional Klaten” memiliki nama lengkap Maria Dora Cahya Sapphira. Penulis lahir di Klaten pada

tanggal 27 Mei 1994, merupakan anak pertama dari

tiga bersaudara. Pendidikan formal yang pernah

ditempuh yaitu TK Indriyasana 2 Klaten (1999-2000), SD Pangudi Luhur

Soegijapranata Klaten (2000-2006), SMP Pangudi Luhur 1 Klaten (2006-2009),

SMA N 2 Klaten (2009-2012) kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di tahun 2012. Semasa

menempuh kuliah penulis aktif di berbagai kegiatan. Penulis pernah menjadi

Anggota Seksi Liturgi pada Perayaan Pekan Suci (2013), Anggota Seksi Dana dan

Usaha dalam Acara World No Tobacco Day dengan Tema Mencegah Konsumsi

Rokok dan Mengurangi Rokok di Tempat Umum. Penulis pernah mengikuti

Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat dengan judul

Sosialisasi dan Pelatihan Pembuatan Makanan Pendamping Gizi Lansia Instan

Waluh (MP-GLIW) Sehatkan Jantung, Cegah Kanker dan Stroke kepada Kader

Posyandu Dero, Condong Catur, Yogyakarta yang kemudian didanai oleh Menteri