PANEN KRITIK ATAS ABOLISI

PANEN KRITIK ATAS ABOLISI
Apakah Presiden Megawati akan memilih abolisi atau malahan rehabilitasi untuk
ditujukan kepada mantan Presiden Soeharto masih belum jelas. Paling tidak
sampai akhir tahun 2001 belum ada keputusan yang final untuk memfungsikan
hak prerogratif Presiden yang memang telah diatur dalam UUD 45 itu. Yang
terjadi justru Presiden beserta keluarganya dalam rombongan besar sebanyak 60
orang pergi ke Istana Tampaksiring Bali untuk menyanmbut pesta ulang tahun
Taufik Kiemas pada akhir tahun itu.. Ini tentunya membingungkan publik
sebagaimana disinyalir oleh Dr Andi Malarangeng, dan membuat rakyat bertanyatanya sebagaimana banyak dikemukakan di media..
Yang jelas, niat untuk memberikan abolisi sebelum langkah hukum menemukan
kepastian itu justru menerbitkan panen kritik terhadap Presiden Megawati.
Kelompok Petisi 50, kelompok mantan napol, PBB dan berbagai kalangan
menyatakan tidak setuju terhadap pemberian abolisi. Sebab pemberian abolisi
sebelum ada kepastian penetapan hukum atas kasus mantan Presiden Soeharto
justru akan dijadikan payung pelindung bagi kroni-kroni Soeharto, juga bagi
mantan tokoh Golkar yang di masa silam terlibat dalam berbagai kasus ketika
menggerakkan mesin politiknya.
Indonesia memang berbeda dengan Korea Selatan. Ketika di Korea Selatan ada
Presiden yang dilengserkan dianggap bersalah secara hukum, ia kemudian diadili.
Setelah keputusan pengadilan berupa vonis dijatuhkan, kemudian mantan presiden
itu diampuni. Secara hukum masalah ini selesai, secara politik dan kemanusiaan

juga masalah ini dapat diselesaikan dengan penuh kearifan. Artinya, meski
terbukti bersalah secara hukum, karena presiden itu merupakan pemimpin bangsa,
maka bangsa Korea Selatan tetap menghormatinya, dengan cara memberi
pengampunan.
Indonesia juga berbeda dengan Afrika Selatan dalam menuntaskan masalah besar
bangsanya. Pasca berkuasanya rezim apartheid atau rezim rasialis, di Afrika
Selatan terjadi rekonsiliasi total. Bekas penguasa rezim rasialis itu berani dengan
jiwa besar dan penyesalan yang mendalam mengakui dosa-dosa dan kekejaman
politiknya terhadap warga kulit hitam. Terjadi proses klarifikasi atas dosa-dosa
politik, dosa hukum dosa ekonomi dan dosa-dosa kemanusiaan yang dilakukan di
masa silam. Kemudian warga kulit hitam dengan jiwa besar mengampuni dosadosa dan kekejaman itu, karena mereka menginginkan masa depan yang jelas dan
jernih tanpa ganjalan. Masa silam yang pahit dikubur dalam-dalam agar di masa
depan mereka dapat merasakan manisnya hidup tanpa dendam dan damainya
hidup tanpa kekerasan.
Di Indonesia banyak yang tidak jelas dan tidak tuntas. Masalah dosa-dosa politik,
dosa hukum, dosa ekonomi dan dosa kemanusiaan yang dilakukan oleh Rezim
Orde Baru dan Rezim Orde Lama sebelumnya tidak pernah diklarifikasi. Oleh
karena itu yang kemudian laten dan berbiak menjadi penyakit di tubuh bangsa
Indonesia adalah dendam-dendam politik, dendam-dendam hukum, dendamdendam ekonomi dan dendam-dendam kemanusiaan. Pendeknya, mata rantai
dendam sejarah. Yang menderita adalah bangsa Indonesia sendiri, dan yang selalu


tercemar namanya adalah para pemimpinnya. Presiden Soekarno, Presiden
Soeharto, Presiden Habibie dan Presdien KH Abdurrahman Wahid, hampir selalu
menjadi bulan-bulanan hujatan, dan menjadi korban kemarahan para korban
kebijakannya tanpa ada penyelesaian yang jelas dan tuntas. Kesalahan mereka
sepertinya merupakan kesalahan yang tak termaafkan sepanjang sejarah. Padahal
mereka adalah para pemimpin bangsa yang jelas banyak jasanya bagi bangsa
Indonesia.
Dalam konteks inilah pemberian abolisi, atau malahan rehabilitasi yang diberikan
oleh Presiden Megawati terhadap mantan Presiden Soeharto dapat dikaji dan
dicermati. Presiden Megawati sendiri menyatakan bahwa para pemimpin bangsa
harus dihormati. Ketika muncul isyu akan adanya abolisi, di tengah-tengah
sakitnya mantan Presiden Soeharto yang parah sampai kemudian dirawat di RSUP
Pertamina, maka merebaklah berbagai tanggapan yang tidak seragam. Ada yang
menanggapinya dengan tenang dan menyatakan setuju atas akan diberikannya
keputusan abolisi, tetapi banyak pula yang marah dan menolak abolisi, dengan
alasan bahwa status hukum mantan Presiden Seoharto masih belum jelas.
Yang mengherankan, sekaligus memprihatinkan, isyu ini kemudian malahan
bergeser tentang ide abolisi itu sesungguhnya datang dari mana. Apakah murni
merupakan pendapat murni Presiden Megawati, atau bukan. Yusril Ihza Mahendra

sebagai seorang menteri mengatakan bahwa ide abolisi itu murni berasal dari
Presiden Megawati, tetapi Bambang Kesowo sebagai Sekretris Presiden
membantahnya. Ini menunjukkan bahwa isyu abolisi telah memasuki kancah
politisasi yang tidak perlu karena dapat mengarah para propaganda. Sebab
masalah ini kemudian mengambang, dan pendapat DPR pun perlu didengarkan.
Kemudian muncul isyu yang lebih jauh lagi. Yaitu yang perlu diputuskan oleh
Presiden Megawati bukan hanya abolisi, tetapi justru rehabilitasi. Jika ini
dilakukan maka proses rehabilitasi terhadap Presiden Soekarno, Habibie dan KH
Abruddahman Wahid menjadi mudah dilakukan, karena telah ada kasus awal yang
dapat dijadikan rujukannya. Mungkin Indonesia tidak perlu menempuh pola
Korea Selatan, karena secara politik semua mantan presiden itu telah menerima
vonis dan sanksi, yaitu dilengserkan dari kekuasaannya. Tapi banyak yang
berpendapat vonis hukum masih diperlukan untuk kepastian hukum. Kalau pola
Afrika Selatan mau ditempuh apakah mungkin? Apakah para penguasa rezimrezim sebelum ini bersedia mengakui bahwa mereka telah melakukan dosa politik,
dosa hukum, dosa ekonomi dan dosa kemanusiaan, sehingga dengan pengakuan
itu langkah rekonsiliasi menjadi mungkin dilakukan? Bersediakah mereka dan
pengikut mereka, juga bersediakah rakyat atau kelompok rakyat yang menjadi
korban kekejaman politik, kekejaman hukum, kekejaman ekonomi dan kekejaman
kemansiaan itu semua sama-sama menghentikan propaganda politiknya, yang
hanya memiliki satu nada dasar, bahwa merekalah yang selama ini benar dan

merekalah satu-satunya yang berhak mengklaim sebagai pembawa bendera
kebenaran? Sepertinya semua ini masih jauh., (tof dari berbagai sumber).
--------------------------------------------------------------------------------------------------Sumber:
Suara Muhammadiyah

Edisi 2 2002