Kritik atas Jargonisasi Khilafah dalam K (1)
I. Pendahuluan
Pembahasan tentang tema khilâfah 1 senantiasa menarik, terutama 1 Khilâfah atau imâmah dalam mazhab Shî‘ah adalah salah satu rukun
iman (usûl al-‘aqâ’id). Rukun imam dalam Shî‘ah Imâmîyah ada 5, yaitu al-tawhîd , al-nubuwwah, al-imâmah, al-‘adl, dan al-ma‘âd. Lihat Muhammad al-Husayn Âl-Kâshif al-Ghatâ’, Asl al-Shî‘ah wa-Usûluhâ, Cet. ke-4 (Beirut: Mu’assasat al-A ‘lamî li-al-Matbû‘ât, 1993), 64-79.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 35
Ahmad Ali MD ketika dikaitkan dengan konteks kekinian, khususnya konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat ini dalam konteks perpolitikan di tanah air terdapat beragam gerakan seperti Hizb al-
Tahrîr Indonesia (HTI), 2 Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), 3 dan Front Pembela Islam (FPI), 4 yang berorientasi pada penegakan syariat
2 HTI cabang dari Hizbut Tahrir yang bermarkas di Palestina. Organisasi gerakan Islamis ini bertujuan untuk menghidupkan kembali
kekhilafahan, sebagai sebuah konsep politik yang diklaim didasarkan pada al-Qur’ân d an Sunnah Nabi, dan telah diwujudkan dalam sejarah kerajaan Islam yang panjang, sejak Nabi Muhammad sampai kejatuhan imperium ‘Uthmânî. Organisasi ini muncul di Indonesia pada tahun 1990-an, dan sangat aktif dalam mempropagandakan dan mensosialisa- sikan cita-citanya, dan menekan pemerintah untuk menerapkan Sharî‘ah (Syariat). HTI mengklaim bahwa sumber krisis Indonesia sekarang ini adalah tidak diterapkannya syariah dalam kehidupan Islam Indonesia. Lebih rinci mengenai HTI lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 77-84.
3 MMI adalah organisasi dan jaringan gerakan Islamis yang mengorganisir kekuatan-kekuatan Islam pada tingkat nasional untuk
memperjuangkan penegakan Syariat. Dalam kongresnya yang pertama di Yogyakarta pada Agustus 2002, organisasi ini membuat struktur organisasinya yang merefleksikan khazanah institusi politik Islam, seperti ahl al-hall wa-al-‘aqd (lembaga legislatif Islam) dan khilâfah. Dalam kongres tersebut dihasilkan struktur kepengurusan: Abu Bakar Ba’asyir sebagai ketua ahl al-hall wa-al-‘aqd, dan Irfan Suryahadi Awwas sebagai ketua Dewan eksekutif MMI. Mujani, Muslim Demokrat, 81. Tentang MMI lebih rinci lihat Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), 77-81.
4 FPI adalah organisasi tertutup yang dibangun pada 17 Agustus 1998, dengan ketua umum Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan
berkembang subur pada era pemerintahan BJ. Habibie. FPI mendesak MPR untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945. Menurut ketua FPI, Muhammad Rizieq, di dunia ini hanya ada dua parti, yakni partai Allah dan partai setan: “partai Allah adalah parti yang menerapkan syariah, sementara partai setan sebaliknya”. Jika partai-partai di dalam MPR mengajukan amandemen itu, maka mereka menjadi partai Allah. “Jika tidak”, demikian kata Rizieq, “mereka adalah partai-partai setan. PDIP, PBB, PAN, PPP, dan Fraksi TNI/Polri adalah partai setan kalau mereka menolak syariah (masuk ke dalam UUD). (Jika demikian) umat Islam tidak perlu berpartisipasi dalam pemilu 2004”. Sumber Kompas, 3 Agustus 2002, dikutip dalam Mujani, Muslim Demokrat, 83. Lebih rinci tentang FPI
36 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah Islam secara total melalui sejumlah gerakan untuk membangun dan
menegakkan sistem Khilâfah Islâmîyah atau Dawlah Islâmîyah. 5 Hizbut Tahrîr/HTI mewajibkan seluruh kaum Muslimin berada dalam satu
negara, dan satu khalîfah, tidak selainnya. Konsekuensinya mereka mengharamkan kaum Muslimin di dunia ini berada dalam lebih satu
negara dan dipimpin lebih dari satu khalîfah. 6 Gerakan ini mempunyai latar historis yang mengacu dan bertaklid pada model kekhilafahan awal Islam. Padahal sistem pemerintahan awal Islam ini, sebagaimana disangsikan Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, masih berada
dalam kekosongan perundang-undangan. 7 Menarik dikaji apakah
lihat Amal dan Panggabean, Politik Syariat Islam, 74-76. 5 Menurut HT/HTI, sistem pemerintahan/ketatanegaraan dalam
Islam bukanlah kerajaan, bukan republik, bukan kekaisaran, dan bukan pula negara kesatuan/nation state. Singkatnya, sistem pemerintahan/ negara dalam Islam adalah sistem khilâfah. Lihat ‘Abd al-Qadîm Zallûm, Nizâm al-Hukm fî al-Islâm: Hâdhâ al-Kitâb al-Muwassa‘ wa-al-Munaqqah Mabnîy ‘alâ Kitâb Nizâm al-Hukm fî al-Islâm li-Mu’allifihi Taqîy al-Dîn al- Nabhânî , Cet. ke-6 (T.Tp.: min Manshûrât Hizb al-Tahrîr, 2002), 28-33. Bagi HT, demokrasi adalah sistem kafir, karena prinsip pokok dalam demokrasi adalah menjadikan perundang-undangan bagi manusia dan bukan bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Ini secara jelas ditegaskan dalam buku yang dikeluarkan oleh HT. Hizb al-Tahrîr, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah (fî al-Hukm wa-al-Idârah) (Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir, 2005), 16-17. HTI, menegaskan bahwa konsep negara-bangsa (nation-states) yang berkembang pada awal abad ke-20 tidaklah sesuai dengan cita-cita Islam. Islam tidak mengakui bentuk-bentuk primordial berdasarkan darah dan tempat kelahiran. HT menolak nasionalisme karena menurutnya tidak mempunyai nilai sama sekali dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai ganti alternatifnya, HT menawarkan ide Dawlah Islâmîyah atau Khilâfah Islâmîyah . Lebih lanjut tentang HTI, MMI, FPI, dan orientasi gerakannya, dapat dilihat dalam Jamhari dan Jajang Jahroni (peny.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: RajaGravindo Persada, 2004), dan Amal dan Panggabean, Politik Syariat Islam.
6 Hizb al-Tahrîr, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah, 37. 7 Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî (pemikir Muslim asal Maroko) menyatakan tesis bahwa khilâfah atau kekhalifahan (dalam teori politik Islam klasik —pen.) adalah kekosongan perundang-undangan. Tesisnya itu didasarkan pada analisa kritisnya terhadap sejarah terjadinya episode tragis dalam sejarah perpolitikan Islam, al-fitnah al-kubrá (kekacauan besar), yakni berbagai peristiwa di tahun-tahun terakhir pemerintahan ‘Uthmân
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 37
Ahmad Ali MD sistem pemerintahan kekhilafahan awal Islam itu yang mereka
promosikan masih relevan untuk saat ini, khususnya dalam konteks Indonesia? Pertanyaan serupa, haruskah negara-negara Islam dipimpin lagi oleh khalîfah, bukan presiden?
Permasalahan di atas akan diurai dengan menggunakan pendekatan pemikiran politik Islam. Dalam hal ini, teori pemikiran politik Islam awal dan teori pemikiran politik Islam kontemporer menjadi signifikan. 8
tersebut. Abdelwahab El-Affendi menyatakan bahwa episode tragis pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn (632-661 M.) ini telah mencampakkan umat Islam ke dalam keporak-porandaan. Sesungguhnya sistem kekhalifahan hanyalah didasarkan pada pemerintahan dalam fungsi “pengganti Nabi”, tidak didesain untuk kepemimpinan kenabian. Umat Islam menjadi bingung bagaimana mengatasi keadaan tersebut. Namun umat juga tidak siap melihat khalifahnya dibunuh. Dampak kehilangan khalîfah menjadi ganda: pada satu sisi, khalîfah yang menjadi simbol pengawal kebenaran harus senantiasa dicari; namun pada sisi lain umat harus kehilangan pemimpin mereka karena pembunuhan. Pada intinya, dalam fase-fase realistis, teori politik Islam klasik menghadapi dan menciptakan segudang masalah. Berdasarkan praktek al-Khulafâ’ al-Râshidûn, teori politik Islam ini harus menghadapi realitas yang berbeda, yaitu negara kekuasaan. Sikapnya terhadap realitas ini diwarnai oleh dua perangkat aspirasi yang saling bertolak belakang. Pertama, di satu sisi dalam praktek politik ia harus tetap berpedoman pada contoh-contoh yang ditetapkan oleh Nabi Saw. dan para al-Khulafâ’ al-Râshidûn. Akan tetapi, kedua, di sisi lain menyadari penafsiran yang berbeda tentang apa yang bisa diimplementasikan dan dilakukan oleh model tersebut, dan yang kedua ini telah membawa konflik yang parah. Abdelwahab El-Affendi, “Who Need an Islamic State?” (Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam) , Cet. II (Yogyakarta: LKiS, 2001), 27, 35. Oleh karena itulah, dengan tegas al-Jâbirî mengatakan, “Sungguh apa yang telah terjadi itu merupakan ekspresi dari kekosongan perundang-undangan dalam sistem pemerintahan yang didirikan setelah Nabi Saw wafat…”. Di samping itu, juga menarik perhatian bahwa teori politik Islam klasik tidak membicarakan secara sistematis dan utuh tentang lembaga kekhalifahan sebagai sebuah institusi, daripada sekadar teori khilâfah, yakni teori (yang fokus orientasinya) tentang seseorang yang berkuasa. Lihat Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, al-Dîn wa-al-Dawlah wa- al-Tatbîq al-Sharî‘ah (Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah), penerjemah Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 70, 73.
8 Dengan pendekatan ini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang 38 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
II. Teori Pemikiran Politik Islam
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa dalam pemikiran politik Islam yang paling awal, yakni pada masa Nabi Muhammad saw., Madînah merupakan tempat yang dipilih Nabi untuk menetap setelah terzalimi di Makkah, di mana pada masa tahun pertama terdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan politik. Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan, namun sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam dokumen yang terkenal dengan Mîthâq al-Madînah
(Konstitusi Madînah/Piagam Madînah). 9 Model teori khilâfah dan praktiknya, dan ‘ibrah bagi praktik sistem pemerintahan
yang lebih maslahat. 9 Piagam Madînah adalah perjanjian tertulis antara Nabi dengan
penduduk Madînah yang beragam background dan agamanya dalam kerangka membangun dan menjaga Negara Madînah. Piagam Madînah itulah yang kemudian mempersatukan negara Madînah, sehingga menjadi tempat terpeliharanya keragaman atau masyarakat majemuk (pluralis). Secara singkat, Piagam Madînah itu memuat dasar-dasar dan prinsip- prinsip hidup bermasyarakat dan bernegara, yang berisi dua hal pokok. Pertama , umat Islam, baik imigran (Muhâjirûn) maupun penduduk pribumi (Ansâr), yang terdiri dari berbagai suku, adalah satu umat, satu komunitas (ummatan wâhidah) , sehingga mereka harus bersatu. Kedua, sesama muslim dan hubungan antara komunitas Islam dan komunitas lain berdiri di atas lima prinsip: (1) bertetangga dengan baik; (2) satu sama lain saling membantu, termasuk dalam hal menghadapi musuh bersama; (3) membela mereka yang teraniaya; (4) satu sama lain saling menasihati dalam kebaikan; dan (5) saling menghormati agama masing-masing. Tentang Piagam Madînah lebih lanjut Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta: UI Press, 1995), dan Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Cet. II (Yogyakarta: UII Press, 1990), 10-15. Menurut al-Sayyid Muhammad Ma‘rûf al-Dawâlibî (w. 218 H.) dari Universitas Islam Internasional Paris, “yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madînah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia”. Dikutip oleh Nurcholish Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam:
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 39
Ahmad Ali MD Piagam Madînah inilah yang menjadi warisan Nabi, meskipun
sebelumnya telah ada praktek pengakuan yang disebut sebagai bay‘ah (baiat): dikenal dengan Bay‘ah Aqabah Pertama dan Bay‘ah Aqabah Kedua . 10
Pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn, terdapat prinsip-prinsip tentang wewenang politik dalam Islam. Prinsip pertama yang diucapkan Abû Bakr menyatakan, (a) orang-orang Arab hanya akan tunduk kepada suku Quraysh; dan (b) kewajiban mentaati pemerin- tah hanya sejauh dia mentaati Tuhan dan rasul-Nya. Implikasinya adalah keyakinan bahwa masyarakat merupakan penentu, apakah khalîfah benar-benar mengikuti perintah Tuhan dan Nabi. Ini berarti bahwa wewenang tertinggi ada pada masyarakat. Abû Bakr juga percaya bahwa dia mewakili otoritas Nabi. Ini mengimplikasikan bahwa meskipun otoritas secara teoritis berada pada masyarakat, wewenang politik tertinggi pada prakteknya tetap pada seseorang. Hal ini dipertegas oleh penolakan Abû Bakr terhadap saran dari
Telaah atas Fiqh Siyâsî Sunnî”, dalam Budy Munawwar-Rahman, Konteks- tualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 590. Pendapat senada juga dikemukakan Muhammad Hamidullâh (l. 1908): “Konstitusi yang membawa hak istimewa ini tidak hanya merupakan konstitusi negara Islam pertama, tetapi juga merupakan konstitusi pertama di muka bumi yang diumumkan oleh sebuah negara. Dikutip oleh Ali Bulac, “The Medina Document”, dalam Charles Kurzman, ed., Liberal Islam:
A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998), 173. 10 al-Jâbirî, al-Dîn wa-al-Dawlah, 9. Konsep Bay‘ah (baiat) sangat erat
dalam konsep perpolitikan Islam. Baiat adalah bentuk sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dengan masyarakatnya. Pemberian mandat dapat terwujud dalam baiat. Menurut pendapat Ibn Taymîyah, bahwa khalîfah ‘Umar ibn al-Khattâb terpilih menjadi khalîfah bukan karena penunjukan khalîfah sebelumnya tetapi karena masyarakat memberikan mandat kepadanya yang terwujud dalam baiat. Ini menunjukkan bahwa restu masyarakat yang terungkap dalam baiat menjadi dasar bagi keabsahan pemerintahan Islam. Karena itu, baiat dilaksanakan dalam suasana kebebasan berpendapat dan kemungkinan adanya oposisi meskipun selalu terkait dengan Syariat, yang wajib dipatuhi pemerintah dan masyarakat, sebagai komitmen mentaati semua aturan dalam al- Qur’ân dan Sunnah. Lihat Ahmad Sukardja, “Fiqh Siyâsah, Bagian Ajaran”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), Jilid III, 210-211.
40 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah kalangan Anshâr tentang otoritas bersama antara dua pemimpin,
satu dari Quraysh dan satu lagi dari Anshâr. Kemudian hari Abû Bakr menentukan jalan yang bijaksana untuk menunjuk seorang penerus (model wasiat) demi menghindari terulangnya keadaan yang membingungkan pasca wafatnya Nabi. Kemudian ‘Umar juga mengikuti cara yang sama. Namun begitu, satu persoalan baru muncul ketika ‘Uthmân nampak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, tetapi ia menolak untuk turun tahta. ‘Uthmân mengklaim bahwa hak istimewa menjadi khalîfah tidak bisa diambil alih atau dilepaskan. Semua keputusan khusus ini kemudian dianggap sebagai teladan dengan makna normatif. 11
Ketika teori tentang khalîfah mulai mengkristal pada periode- periode kemudian, ia dibangun berdasarkan contoh-contoh awal ini. Menurut ‘Abd al-Wahhâb al-Affandî (seorang filosuf dan ilmuan
politik kebangsaan Sudan), 12 bahwa hakikat dari teori itu menegas- kan bahwa pembentukan kekhalifahan merupakan mandat (merujuk generasi awal sebagai bukti langsung, al-Qur’ân dan “pasemon” Nabi sebagai bukti tidak langsung); ia harus mendudukkan seorang pemimpin (tidak bersifat kolektif, juga tidak bersifat ganda); individu ini harus terbaik, laki-laki muslim yang paling saleh dan berkompeten dari garis keturunan Quraysh; dia pun harus ditunjuk oleh para pemimpin masyarakat yang paling berpengaruh (ahl al-
hall wa-al-‘aqd) ; 13 dan ia harus menjalankan syariat, tetapi tidak bisa diganti atau diboikot meskipun melakukan pelanggaran yang
mencolok. 14 11 El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 30.
12 El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31. 13 Makna ahl al-hall wa-al-‘aqd, secara lughawî (etimologi) adalah orang
yang mempunyai wewenang untuk melepas dan mengikat, juga berarti Ahl al-ikhtiyâr (golongan yang berhak memilih). Di antara tugasnya adalah secara langsung memilih khalifah, imam, atau kepala negara.
14 Dalam politik Shî‘ah dan Sunnî sendiri misalnya terdapat 2 (dua) teori yang berbeda tentang khilâfah. Shî‘ah berkesimpulan bahwa hak
kepemimpinan dalam kekuasaan rûhânîyah (keagamaan) dan siyâsîyah (politik) adalah di tangan Ahl al-Bayt. Menurut Dr. Manzûr al-Dîn Ahmad, teori Shî‘ah yang disebut imâm lebih dapat diterima karena berpijak pada
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 41
Ahmad Ali MD Pengalaman pahit dari konflik intern yang menyebabkan
kematian al-Khulafâ’ al-Râshidûn juga menyebabkan umat Islam menyadari kesia-siaan kekerasan. Dari sini muncul kompromi politik antara ‘Alî r.a. dan Mu‘âwîyah r.a. Namun semua kompromi itu kemudian dilanggar setelah pertumpahan darah dan kerusakan yang mengerikan yang menyebabkan sebagian besar para pemikir menentang penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan perselisihan politik. Mereka menggariskan syarat-syarat minimum untuk menge- sahkan pemerintahan dan menekankan bahwa penguasa yang sah secara hukum tidak boleh dilawan dengan kekerasan, bahkanpun
ketika perilaku seorang penguasa itu telah menyimpang. 15 Terhadap pendirian yang salah ini segera muncul reaksi dari kelompok- kelompok kecil yang dikenal sebagai Khawârij. 16 Ajaran mereka
asas keberlangsungan petunjuk Ilahi melalui para imam ma‘sûm dan khilâfah pewarisan. Akan tetapi penulis berpendapat bahwa pendapat itu idealistis, namun kurang realistis. Sementara Sunnî tidak meyakini keberlangsungan wahyu Ilahi terhadap para imam ma‘sûm atau aturan kepewarisan khilâfah. Berdasarkan ini, menurut Sunnî, pada asasnya akad dan yang terkait dengannya memberikan hak kepada umat untuk memilih khalîfah dan menjadi tanggung jawab khalîfah melaksanakan hukum- hukum Sharî‘ah dengan cara musyawarah bersama-sama dengan orang- orang yang dipilih untuk mewakili mereka (ahl al-hall wa al-‘aqd; pada masa Rasul disebut ahl al-shûrá, dalam istilah al-Qur’ân disebut ûlî al- amr) . Jadi teori Sunnî juga berpijak pada ijmâ‘ umat. Lihat Manzûr al-Dîn Ahmad, “Islamic Political System in the Modern Age: Theory and Practice” (al-Nazarîyât al-Siyâsîyah al-Islâmîyah fî al-‘Asr al-Hadîth: al-Nazarîyah wa- al-Tatbîq), penerjemah ‘Abd al-Mu‘tî Amîn Qal‘ajî dan ‘Abd al-Jawwâd Khalf (Karachi: Saad Publications, t.t.), 36-37.
15 Pemberontakan bisa dianjurkan jika secara matematis mencapai kemenangan. Posisi ini menurut El-Affendi menghantarkan kepada
lingkaran konsesi dan digunakan untuk mensahkan hampir semua jenis pemerintahan. El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31.
16 Khawârij adalah kelompok yang keluar dari ‘Alî ibn Abî Thâlib, sebagai respon terhadap perang yang terjadi antara imam ‘Alî dan
Mu‘âwîyah. Maksud keluarnya itu adalah bukan keluar dari mentaati imam dari para imam kaum muslimin yang legal imâmahnya, tetapi keluar dari syariat dan para imam sebab mereka mengkafirkan para imam itu dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Singkatnya, menurut Abû al-Khayr, Khawârij adalah kelompok yang keluar dari ‘Alî ibn Abî Thâlib, dan karenanya keluar dari syariat dan para imam sebab
42 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah melarang kompromi dengan siapapun, dan semua orang yang
menentang pandangan mereka harus diperangi secara total. 17 Jadi ciri utama kepercayaan Khawârij dalam perilaku politik adalah hak
mutlak tidak hanya untuk menantang, tetapi juga memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, jika terbukti bahwa tindakan atau karakternya tidak segaris dengan standar baku undang-undang pemerintah atau imam. Menurut standar ini, pemerintah atau imam haruslah seorang yang mempunyai integritas (kepribadian utuh) dan adil serta tidak mengabaikan ajaran-ajaran al-Qur’ân. 18 Idealisme fanatik Khawârij tersebut segera mendorong konflik eksternal dan internal, karena di dalam diri mereka sendiri tidak ada kesepakatan mengenai isi perintah Tuhan yang memaksa mereka untuk berperang. Meskipun demikian, fenomena ini cukup mengejutkan, karena kebulatan tekat dan semangat kelompok ini menjadi legendaris. 19
pengkafiran mereka terhadap para imam dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin berdasarkan nassh hadis Nabi s.a.w. Dinamakan Khawârij karena mereka keluar dari agama, atau dari jamaah atau dari ‘Alî r.a. Setidaknya ada 8 (delapan) sebutan Khawârij: 1) al-Khawârij; 2) al-Harûrîyah (karena mereka tinggal di desa Harûrâ’ pertama kali setelah peristiwanya); 3) Ahl al-Nahrawân (nama tempat dimaka mereka diperangi ‘Ali); 4) al-Shurâh (karena ucapan mereka “Kami beli diri kami dalam mentaati Allah, yakni Kami jual diri kami dengan surga”); 5) al- Mâriqah (sifat seperti lepasnya anak panah dari busurnya); 6) al- Muhakkimah/al-Muhakkimîyah (karena kokoh pada ucapan “lâ hukm illâ li-llâh” ); 7) al-Nawâsib (karena sangat keras permusuhannya terhadap ‘Alî); dan 8) al-Shakâkîyah. Tentang Khawârij lihat lebih lanjut dalam Hasan ‘Abd al-Hafîz ‘Abd al-Rahmân Abû al-Khayr, al-Mawsû‘ah al- Mufassalah fî al-Firaq wa-al-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madhâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âsirah (Kairo: Dâr Ibn al-Jawzî, 2011), Juz I, 48-152.
17 El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31-32. 18 Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymîyah,
5. 19 Khawârij melakukan pemujaan yang berlebihan terhadap al-Qur’ân
dan mengabaikan arti Sunnah/hadîth, sehingga mereka pun pada dasarnya bukan mengangkat masalah kekhalifahan atau imâmah, tetapi mengangkat persoalan pelaksanaan Sharî‘ah (Syariat) seperti yang digariskan al-Qur’ân. Siapapun yang mampu melaksanakan Syariat tersebut dianggap memenuhi syarat menjadi imam (pemimpin). Cara
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 43
Ahmad Ali MD Kemudian di antara dua kutub defeatism (kelompok Mu‘âwîyah,
yang kemudian dikenal sebagai Sunnî) 20 dan fanatisme (kelompok Khawârij), muncul sejumlah posisi, dan yang paling terkemuka
adalah Shî‘ah (partai ‘Alî). 21 Pada awal kelahirannya, sikap Shî‘ah berpikir inilah yang menggiring mereka mengabaikan legalitas kekhali-
fahan yang semata berasal dari suku Quraysh, prinsip kunci dalam alur pemikiran Sunnî, yang dianggap mulia sepanjang sejarah negara Islam. Jadi, konsep Khawârij secara kaku dan keras menolak pemerintahan seperti itu serta menegaskan bahwa siapapun, bangsawan Arab maupun budak hina dari Ethiopia (Abissinia), lelaki atau perempuan, berhak memerintah umat Islam selama ia mampu menunjukkan kecakapan dan determinasinya melaksanakan ajaran-ajaran al-Qur’ân serinci mungkin. El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31-32, dan Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah , 6.
20 Sunnî, sebutan untuk Ahl al-Sunnah, adalah orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad s.a.w., baik tuntunan
lisan (qawl), perbuatan beliau (af‘âl) maupun persetujuannya (taqrîr), serta tradisi para sahabatnya yang mulia. Penjelasan tentang siapa-siapa yang dipandang termasuk dalam kelompok Sunnî, sebagaimana diakui M. Quraish Shihab, misalnya, ditemukan kesulitan. M. Quraish Shihab, Sunnah-Shî‘ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 57. Pengertian Sunnî juga dapat dipahami, dari surat Sâlim al-Bishrî (Shaykh al-Azhar), kepada ‘Abd al-Husayn Sharaf al-Dîn al-Mûsawî (tokoh Shî‘ah), yaitu golongan terbesar kaum Muslim yang mengikuti aliran Ash’arî dalam bidang akidah, dan empat mazhab (Mâlik, Shâfi‘î, Ahmad ibn Hanbal, dan Hanafî) dalam bidang Sharî‘ah (hukum). Kategori Ahl al-Sunnah disebutkan secara jelas oleh ‘Abd al-Qâhir ibn T{âhir ibn Muhammad (w. 429 H./ 1037 M.) —seorang usûlî, berkebangsaan Baghdad, al-Isfirâ‘înî al- Tamîmî— penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq. Menurutnya kelompok Sunnî adalah para pengikut al-Awzâ‘î, al-Thawrî, Ibn Abî Laylá, dan Ahl al- Z{ahîr dalam bidang hukum. Para tokoh utamanya dalam bidang teologi adalah imam Abû al-Hasan al-Ash‘arî, al-Bâqillânî, meskipun ia tidak sepenuhnya setuju dengan semua pendapat al-Ash‘arî, imam al-Haramayn al-Juwaynî dan al-Ghazâlî, seorang yang berperan besar bagi penyebaran paham ini. Lihat ‘Abd al-Qâhir ibn T{âhir ibn Muhammad, al-Farq Bayn al-Firaq (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, t.t.), 19-20.
21 Asal kata Shî‘ah (bentuk nisbatnya: Shî‘î) adalah al-firqah min al- nâs (kelompok manusia), baik untuk arti seorang, dua orang atau jamak,
baik laki-laki maupun perempuan dengan lafad satu dan makna satu. Pada dasarnya Shî‘ah adalah istilah umum yang pengertiannya mencakup semua pendukung ‘Alî ibn Abî T{âlib r.a. dan Ahl baytihi
44 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah merupakan sikap politik yang mendukung ‘Alî sebagai pemimpin,
bukan karena siapa dirinya, tetapi karena keberpihakan kelompok itu kepadanya. Dalam teori politik Shî‘ah, mereka menolak prinsip keturunan (regenerasi) dalam menjabati kedudukan politik. Akan tetapi, ternyata prinsip regenerasi ini tidak menyelesaikan masalah, karena Shî‘ah melakukan segala hal terhadap para penentangnya. 22
(keturunannya), sehingga menjadi nama khusus. Al-Azharî, sebagaimana dikutip oleh Muhsin al-Amîn, mengatakan bahwa: “Makna Shî‘ah adalah kaum yang condong kepada ‘itrah nabi dan mencintai mereka”. Lihat al- Imâm al-Sayyîd Muhsin al-Amîn, A‘yân al-Shî‘ah, ed. al-Sayyid Hasan al- Amîn (Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Matbû‘ât, 1998), Juz I, 19. Para pengamat pelbagai kelompok dan pendapat menyebutkan beragam varian Shî‘ah. Shaykh Ahl al-Sunnah wa-al-Jamâ‘ah, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Ash‘arî (w. 330 H.), misalnya dalam kitabnya Maqâlât al- Islâmîyîn , memklasifikasikan Shî‘ah kepada 3 (tiga) varian besar: 1) al- Ghâlîyah: kelompok yang mengkultuskan ‘Alî r.a. secara ekstrim; bahkan mempertuhankan dirinya atau menganggapnya sebagai nabî, terdiri atas
15 firqah; 2) al-Râfid}ah: kelompok yang mengklaim adanya teks dalil mengenai ‘Alî r.a. sebagai orang yang paling berhak atas kekhalifahan; di samping juga mereka berlepas diri dari para khalîfah sebelumnya dan para sahabat pada umumnya; mereka selain al-Kâmilîyah berjumlah 24 (dua puluh empat) sekte, dan disebut juga sebagai al-Imâmîyah; 3) al- Zaydîyah: para pengikut Zayd ibn ‘Alî ibn al-Husayn; mereka lebih mengutamakan ‘Alî r.a. daripada semua sahabat yang lain, tetapi tetap mengakui kekhalifahan Abû Bakr dan ‘Umar r.a. Secara khusus tentang sejarah Imâmîyah, Rafîd}ah, dan Ja‘farîyah lihat al-Amîn, A‘yân al-Shî‘ah,
27, 22-24. Lebih rinci tentang Shî‘ah lihat al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Ash‘arî, Maqâlât al-Islâmîyîn wa-Ikhtilâf al-Musallîn, ed. Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd (Kairo: Maktabat al-Nahd}ah al-Misrîyah, 1950), 65-155, Abû al-Khayr, al-Mawsû‘ah al-Mufassalah fî al- Firaq , Juz I, 153, 156, dan Ahmad Ali MD, “Hadîth sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Shî‘ah”, Refleksi: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Usûl al-Dîn. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol.
XIII, No. 2, 2012. 22 Paling kurang 3 (tiga) garis suksesi yang berbeda, bersaing demi
kesetiaan kepada Shî‘ah. Bertahun-tahun Shî‘ah berkembang, dari hanya sebagai partai politik menjadi sekte yang berkembang, yang berbeda dari mainstream (arus utama) dalam wilayah hukum. Meskipun begitu, kesuksesan yang dicapai oleh negara yang diilhami oleh Shî‘ah, tidak membawa perbedaan dari praktik umum negara-kekuasaan yang didirikan oleh Mu‘âwîyah yang bersandar pada paksaan, pajak ilegal dan dispensasi korup dari dana publik. Jadi, satu masa (abad IV Hijriah),
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 45
Ahmad Ali MD Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada masa al-Khulafâ’
al-Râshidûn, tidak terdapat satu pola yang baku mengenai cara pengangkatan khalîfah atau kepala negara. Pada masa ini hubungan khalîfah dengan rakyat adalah hubungan antara dua peserta dari suatu kesepakatan atau “kontrak sosial” yang memberikan kepada
masing-masing hak dan kewajiban atas dasar timbal balik. 23 Itulah dinamika yang terjadi pada masa khilâfah al-Khulafâ’ al-Râshidûn, 24 menjadi ‘ibrah penting bagi perpolitikan kita.
Dengan demikian, tiga paradigma (Sunnî, Shî‘ah, dan Khawârij) di atas berimplikasi pada pertentangan-pertentangan teologis yang melahirkan sekte-sekte. Karena perbedaan-perbedaan ini menyang- kut masalah-masalah penting secara keagamaan, ketiga vaksi Islam ini mengembangkan versi-versi Islam yang berbeda dan membentuk fuqahâ’ yang berbeda pula. Pada masa awal Islam, ketiga vaksi terse- but, menurut Enayat, sebagaimana dijelaskan oleh M. Din Syamsud- din, telah memunculkan 3 (tiga) paradigma besar di atas dalam teori politik Islam. Dalam konteks ini, pemikiran politik Islam menjadi subordinan dan merupakan bagian dari teologi dan jurisprudensi Islam. Ketiadaan independensi pemikiran politik pada masa Islam pra-modern telah meniscayakan munculnya fakta bahwa masalah- masalah politik tidak dibicarakan secara terpisah dari pelbagai disiplin. Sebagai contoh, seperti hakikat negara, kualifikasi penguasa,
hampir seluruh dunia Islam berada di bawah pemerintahan Shî‘ah. Namun, negara-negara itu tidak berbeda dengan pesaingannya, negara Sunnî. Bahkan, beberapa di antaranya, lebih tidak adil dan jauh menyim- pang dari cita-cita Islam, dibandingkan negara-negara tetangganya yang dekaden atau negara-negara sebelumnya. El-Affendi, “Who Need an Islamic State?” , 32-33. Memang seringkali Islam dijadikan sasaran ekstremisme/ penyimpangan dalam berbagai aspek, termasuk aspek politik. Lihat Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994), 90 dst.
23 El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 30-31. 24 Pada masa itu, terjadi pelbagai penyimpangan terhadap ajaran
Islam dan terjadi pelbagai peperangan antar sesama Muslim, pemberontakan atau kudeta terhadap khalîfah yang sah, seperti peristiwa al-mihnah al-kubrá .
46 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah dan hak-hak rakyat adalah bagian dari risalah yang tak terpisahkan
dalam jurisprudensi dan teologi Islam—semua terjalin dalam lingkup Sharî‘ah yang tak terbantah. 25
Menurut Din Syamsuddin, pergumulan antara bahasan isu-isu politik dalam kerangka sains Islam, dengan perkembangan ide-ide dalam persoalan-persoalan sosio-kultural, ekonomi, dan politik membawa berbagai kecenderungan dalam pemikiran politik, yakni
1) kecenderungan juristik, 2) kecenderungan birokratis-adminis- tratif, dan 3) kecenderungan filosofis. 26 Pada intinya, pemikiran
politik Islam umumnya merupakan produk “perdebatan besar” antara pemikiran Sunnî, Shî‘ah dan Khawârij yang terfokus pada masalah religi politik tentang Imâmah dan Khilâfah (Kekhalifahan). Perdebatan itu melibatkan berbagai masalah seperti obligasi politik, syarat-syarat pemerintahan Islam, proses terwujudnya konstitusi
dan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada. 27 Pemikiran politik ini berkecenderungan juris, karena digagas oleh para teolog- hukum/fiqh (fuqahâ’). Hal ini, karena fuqahâ’ kaum Sunnî cenderung mengaitkan institusi politik dengan institusi khalîfah: menurut mereka khalîfah sebagai institusi hakikatnya adalah simbol supremasi Sharî‘ah atau wahyu atas akal, atau dengan kata lain, agama atas politik (al-
dîn ‘alá al-dawlah) . 28 Peran pemikiran politik, dalam perspektif ini, bukanlah untuk membuat spekulasi normatif ataupun deduksi
25 Meskipun demikian, sejarah Islam pada era kekhalifahan diliputi berbagai isu politik, sehingga pada masa ini, perkembangan pemikiran
Islam seperti teologi, jurisprudensi dan mistisisme pada tingkat tertentu, masuk ke dalam dimensi politik. M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik: Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2000), 93.
26 Syamsuddin, Islam dan Politik, 93. 27 Lihat Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government
According to Ibn Taymiyah (Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam) (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 1, 5.
28 Hal ini menurut Gibb, sebagaimana dijelaskan Syamsuddin, meru- pakan respon atas kaum Shî‘ah dan kaum Khawârij, sebagai rival-rival-
nya, yang argumen utamanya jelas adalah bahwa kaum Sunnî, dengan mendukung khalîfah yang palsu, telah menyimpang dari garis Islam yang benar, dan karenanya berdosa. Syamsuddin, Islam dan Politik, 94.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 47
Ahmad Ali MD empirik tetapi juga mengelaborasi wahyu atau Sharî‘ah, atau lebih
tepatnya, mencari ajaran-ajaran dari Sharî‘ah untuk menjustivikasi situasi politik nyata dan untuk memberikan legitimasi politik. 29 Adapun kecenderungan administratif-birokratik masih relatif sama dengan kecenderungan teori politik jurisik, yakni memberikan justivikasi dan legitimasi atas tatanan politik yang ada, namun jelas dengan tipe eksposisi teoritis yang berbeda. Jika kecenderungan juristik berkepentingan dengan eksposisi legal dari teori pemerintahan yang secara logis diturunkan dari prinsip-prinsip Sharî‘ah , maka kecenderungan administratif-birokratik berkepen- tingan dengan eksposisi eksemplar dari administrasi pemerintahan yang diambil dari sejarah sebelumnya. 30 Dengan demikian, stressing utama dalam kecenderungan administratif-birokratis adalah mengetahui kewajiban-kewajiban praktis dari penguasa dan menyediakan ajaran-ajaran moral untuk diterapkan dalam
kehidupan politik. 31 Sementara kecenderungan filosofis ialah kecenderungan pemikiran politik yang didasarkan atas deduksi kontemplatif dari tujuan akhir hidup manusia untuk mempertahankan hakikat dan peran yang ideal dari pemerintahan dalam mencapai tujuan tersebut. Tugas pemikiran politik dalam konteks ini bukan untuk menentukan nilai dan kebaikan realitas- realitas politik aktual, misalnya menelaah seberapa jauh realitas politik ini sesuai dengan prinsip-prinsip Sharî‘ah, melainkan memberikan standar kesempurnaan suatu sistem politik, mungkin
29 Syamsuddin, Islam dan Politik, 94. 30 Syamsuddin, Islam dan Politik, 104.
31 Ini menurut Limbton, sebagaimana dijelaskan Syamsuddin, sejalan bukan dengan teori-teori politik para fuqahâ’ yang didasarkan atas Sharî‘ah
dan praktek masyarakat Muslim awal, tetapi dengan kewajiban- kewajiban moral politik biasa yang didasarkan atas tuntutan politik praktis. Pemikiran politik yang termasuk dalam kategori kecenderungan ini adalah teori “Cahaya Ilâhîyah” al-Ghazâlî sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Nasîhât al-Mulk. Lihat Syamsuddin, Islam dan Politik, 108.
32 Pemikiran politik yang berkecenderungan filosofis di antaranya teori “Masyarakat Utama” al-Fârâbî, dan “Negara Ideal-Spiritual”-nya
Ikhwân al-Shafâ. Lihat Syamsuddin, Islam dan Politik, 105-107. Mengenai 48 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah lewat penafsiran alegoris atas Sharî‘ah. 32
Dalam konteks pemikiran politik Islam kontemporer, pemikiran politik para pemikir politik Muslim kontemporer (secara singkat) ke dalam 3 (tiga) macam aliran. 33 Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang paripurna dalam arti lengkap dengan segala macam petunjuk bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan, dengan merujuk kepada pola dan model politik masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn. Aliran ini memahami Islam sebagai pandangan hidup menyeluruh, yang diungkapkan dalam Syariat. Bahkan ide ini telah ditafsirkan lebih jauh bahwa Islam merupakan “totalitas integral yang menawarkan solusi bagi semua persoalan kehidupan”. 34 Menurut penulis, aliran ini dapat
al-Farâbi dan Ikhwân al-Shafâ dan pemikiran politiknya di atas lihat dalam M. Saeed Sheikh, Islâmic Philosophy (London: The Octagon Press, 1992), 65-66, dan Syamsuddin, Islam dan Politik, 108-114.
33 Syamsuddin, Islam dan Politik, 205-210 dan 235-236. 34 Lihat Bahtiar Effendy, “Islâm and Democracy: in Search of a Viable
Synthesis” , dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995, 2. 35 Tentang paradigma integralistik ini berpijak pada pengelompokan
paradigma tentang relasi antara agama dan negara, yang mencakup tiga tipe (model). Pertama, paradigma integralistik (unified paradigm), yaitu agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi wilayah politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (dinive sovereignity), yakni kedaulatan yang berasal dan berada di “tangan Tuhan”. Dalam perspektif paradigma ini pember- lakuan dan penerapan Syariat (hukum Islam) sebagai hukum negara adalah keniscayaan. Kedua, paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), yang memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbolik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal-balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang; demikian pula negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral- spiritual. Dalam perspektif ini, penegakan negara merupakan tugas suci yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat taqarrub ilá Allâh. Jadi, Hukum Islam menduduki posisi sentral sebagai sumber legitimasi bagi realitas politik. Negara juga memiliki peranan besar untuk menegak- kan hukum Islam dalam porsinya yang benar. Ketiga, paradigma seku- laristik (secularistic paradigm), sebagai antitesis kedua paradigma di atas,
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 49
Ahmad Ali MD dimasukkan ke dalam paradigma integralistik (unified paradigm). 35
Masykuri Abdillah dan Din Syamsuddin menggolongkan aliran ini ke dalam aliran tradisionalis dengan paradigma tradisionalis/ formalistik (arus formalisme). Sejumlah pemikir teori politik Islam kontemporer yang termasuk dalam kategori ini adalah Muhammad Rashîd Rid}á (1865-1935) dan ‘Abd al-Kalâm Azad (1888-1958). 36 Pendekatan ini juga digunakan oleh sejumlah pemikir politik Islam klasik, seperti al-Mâwardî (364-450/975-1059), al-Ghazâlî, dan Sa‘d al-Dîn al-Taftâzânî. Paradigma di atas juga dapat digolongkan seba- gai paradigma Fundamentalis, sejumlah tokoh yang termasuk di dalamnya adalah Abû al-A‘lâ al-Mawdûdî dan Sayyid Qutb dengan al-Ikhwân-nya. Kedua, aliran yang berkeyakinan bahwa Islam adalah sama sekali sama dengan agama-agama yang lain, dan Nabi Muhammad adalah nabi biasa tanpa misi untuk mendirikan negara. Tokoh dalam hal ini adalah ‘Alî ‘Abd al-Razzîq sebagai juru bicara- nya. Aliran ini dapat dikelompokkan ke dalam paradigma seku- laristik (secularistic paradigm), atau meminjam istilah Din Syamsuddin dapat digolongkan ke dalam paradigma modernisme. Sedangkan yang ketiga, aliran yang pada satu sisi menolak anggapan bahwa Islam adalah segala-galanya, termasuk sistem politik, dan pada sisi lain tidak setuju dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama sekali sama dengan agama-agama yang lain, aliran yang percaya bahwa dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika
dan sebagai gantinya paradigma ini mengajukan pemisahan (disparitas) antara agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Konsep al- dunyâ–al-akhîrah, al-dîn-al-dawlah , dan umûr al-dunyâ-umûr al-dîn didiko- tomikan secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak Islam dijadikan dasar (konstitusi) negara, atau minimal, menolak determi- nasi Islam pada bentuk negara tertentu. Singkatnya, Hukum Islam tidak dapat serta merta diterapkan dan diberlakukan dalam suatu wilayah politik tertentu, di samping tidak dapat dijadikan hukum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya. Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), 22 dst.
36 Syamsuddin, Islam dan Politik, 117-128, dan M. Din Syamsuddin, “Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia” , dalam
Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995, 47. 50 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti yang ditemu-
kan dalam al-Qur’ân, yang memiliki fleksibilitas dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman yang lain serta antara satu budaya dengan budaya yang lain. 37 Aliran ini menurut penulis dapat disebut sebagai aliran substansialis dan menggunakan para-
digma simbiotik (symbiotic paradigm). 38 Di antara tokohnya adalah Muhammad Husayn Haykal, dan Muhammad ‘Abduh.
III. Khilâfah Tidaklah Baku
Telah dikemukakan di muka bahwa tidak ada sistem kekhilafahan yang telah mengkristal secara sistematis dan utuh, dalam istilah al- Jâbirî sistem pemerintahan Islam masih mengalami kekosongan perundang-undangan. Menurut al-Jâbirî kekosongan ini tampak jelas bagi kita dalam 3 (tiga) masalah utama: 39
1) tidak ada penentuan metode tertentu yang diundangkan dalam memilih khalîfah; 2) tidak ada batasan bagi masa jabatan “khalîfah”; dan 3) tidak ada pembatasan wewenang seorang “khalîfah”. Intinya tidak ada sistem pemerintahan yang disyariatkan oleh Islam; yang ada hanyalah sistem yang lahir bersamaan dengan perkembangan dakwah Islam di mana pada masa awalnya berpijak pada model seorang “komandan perang”. Inilah yang dibutuhkan dan yang dituntut oleh situasi saat ini. Ketika negara Arab Islam itu berkembang seiring dengan adanya berbagai penaklukan, harta rampasan dan penyebaran Islam, maka model seorang “komandan perang” itu tidak bisa lagi mengikuti perkem- bangan yang telah terjadi sehingga muncullah kekosongan perun- dang-undangan yang terungkap pada tiga hal di atas. Karena masalah
37 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 235-236. Inilah aliran model Islam substansialis yang lebih menekankan substansi daripada bentuk (format),
nilai-nilai seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan daripada simbol-simbol, yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan praktis demokrasi. Lihat misalnya El-Effendy, “Islam and Democracy”, 15.
38 Tentang arus substansialis lihat Syamsuddin, “Islamic Political Thought” , 47.
39 Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 73-79. Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Ahmad Ali MD ini tidak ditangani dengan penanganan damai dan berdasarkan
hukum (fiqhîyah), maka yang bicara adalah pedang dan karena itulah kemudian “khilâfah berubah menjadi kerajaan”. 40
Masalah lain yang menarik perhatian adalah teori politik Islam klasik tidak membicarakan secara sistematis dan utuh tentang lembaga kekhalifahan, sebagai sebuah institusi, daripada sekadar teori khalîfah, yakni teori yang fokus orientasinya tentang person, siapa yang berkuasa. Fuqahâ’—di bidang fiqh politik dalam pemikiran politik Islam klasik—tetap berpegang pada peristiwa di Thaqîfah Banî Sa‘îdah , dengan asumsi bahwa apa yang terjadi ketika itu serta keputusan yang diambil mereka merupakan peristiwa yang memiliki kekuatan hukum (legitimate) dalam Islam. Bagi mereka, peristiwa tersebut merupakan dasar bagi analogi (qiyâs), yang terdiri dari 3
(tiga) unsur utama: 41 Unsur pertama adalah upaya membatasi seluruh persoalan kepada masalah “siapa yang akan menggantikan Nabi,” yakni kepada pemilihan seseorang yang akan menjadi pemimpin kaum Muslim. Akibatnya, teori khalîfah Sunnî tidak membicarakan negara sebagai sebuah institusi melainkan difokuskan pada orang yang akan dibaiat untuk memerintah berdasarkan Kitâbullâh dan Sunnah Rasul dalam jangka waktu tak terbatas. Unsur kedua dalam teori khalîfah Sunnî adalah kesatuan khalîfah dalam arti bahwa khalîfah harus satu orang untuk seluruh daerah Islam. Singkatnya, meskipun ada wakil-wakil khalîfah di daerah-daerah yang berkuasa atas nama dia, seperti para menteri dan gubernur, tetapi khalîfah kaum Muslim dalam pandangan teori fiqh tetaplah harus satu orang, tidak boleh mengakui keabsahan lebih dari seorang khalîfah. Ini tentu hanya terjadi dalam tataran teori fiqh, sedangkan dalam tataran realitas, daerah-daerah Islam telah menyaksikan berbagai negara dalam satu zaman dan saling bersaing, bahkan kadang-kadang berperang satu sama lain. Sungguhpun begitu, semuanya tetap merupakan negara- negara Islam. Adapun unsur ketiga, khalîfah—dalam pandangan Sunnî—harus berdasarkan “pilihan” bukan “teks” (prinsip ini dike-
40 Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 79-80. 41 Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 66-68.
52 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah mukakan untuk menentang Shî‘ah). Intinya teori khilâfah versi Sunnî
pada dasarnya merupakan legislasi bagi kenyataan yang tengah terjadi. Akibatnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara teori- teori fuqahâ’ mengenai masalah khilâfah dengan potret atau pelbagai potret dari realitas pemerintahan Islam. 42
Ajaran-ajaran Islam tentang masalah kenegaraan ini hanya bersifat garis besar, sehingga terjadi variasi dan perbedaan pemikiran ulama, baik pada masa klasik maupun modern/kontemporer. Bahkan bila dibandingkan antara pemikiran klasik dengan pemikiran kontemporer perbedaan ini nampak lebih besar. Para pemikir politik Islam pada masa klasik dan pertengahan tidak mempersoalkan kedudukan negara dengan agama, apakah terintegrasi (paradigma integralistik) ataukah terpisah (paradigma sekuler dan/atau para- digma simbiosis-mutualisme), karena dalam kenyataannya sistem kekhilafahan mengintegrasikan agama dan negara. Perbedaan itu terdapat pada apakah pendirian negara itu wajib shar‘î atau wajib
‘aqlî , serta perbedaan tentang syarat-syarat kepala negara. 43 Menurut Masykuri Abdillah, 44 perbedaan konsep, di samping disebabkan oleh pandangan-pandangan individu para pemikir politik itu dalam
memahami ajaran Islam, dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam pemerintahan serta pengaruh asing, terutama peradaban Romawi Timur dan Persia serta filsafat Yunani. 45 Dalam hubungan- nya dengan pemerintahan, mereka dapat dikelompokkan menjadi
3 (tiga) kelompok: (a) mereka yang terlibat langsung dalam pemerintahan, seperti Ibn Abî Rabî‘, al-Mâwardî, dan Ibn Khaldûn (1332-1406); (b) mereka yang berada di luar kekuasaan, tetapi masih
42 Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 68. 43 Lihat Masykuri Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam
Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern”, dalam Tashwirul Afkar , edisi No. 7, Tahun 2000, 102.
44 Saat ini Guru Besar Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 45 Pengaruh asing ini misalnya tentang pendirian kas negara (bayt
al-mâl) pada masa pemerintahan ‘Umar, yang diadopsi dari sistem Romawi Timur; dan pembentukan kementerian (wazîrah) pada masa Dinasti ‘Abbâsîyah, yang diadopsi dari sistem Persia. Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam”, 102.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012 53
Ahmad Ali MD sering berpartisipasi dalam bentuk kritik-kritik terhadap kekuasaan,
seperti al-Ghazâlî (w. 1111) dan Ibn Taymîyah (1263-1328); dan (c) mereka yang terlepas dari konteks politik yang ada, sehingga lebih bersifat spekulatif, seperti al-Fârâbî. Meskipun demikian, mereka umumnya menjustivikasi praktek kenegaraan yang ada, termasuk tentang bentuk monarki, padahal praktek ini tidak terjadi pada periode al-Khulafâ’ al-Râshidûn—sebuah periode yang dinilai paling ideal dalam praktek kenegaraan dalam Islam. Hanya al-Mâwardî yang mencoba merumuskan pemikirannya dengan merujuk kepada praktek kenegaraan al-Khulafâ’ al-Râshidûn dengan masa Dinasti ‘Umayyah dan ‘Abbâsîyah, yakni teori pengangkatan kepala negara melalui dua cara, yaitu (a) pemilihan kepala negara oleh ahl al-hall wa-al-‘aqd , dan (b) penunjukan oleh kepala negara sebelumnya. Meskipun dalam prakteknya al-Mâwardî, yang ketika menulis buku al-Ahkâm al-Sult}ânîyah itu menjadi hakim agung (aqd}â al-qud}ât) pada masa khalîfah al-Qâdir Billâh (381-423 H/991-1031 M), mendukung cara kedua, sebuah sikap yang lazim ketika itu. Dalam hal pemikiran, meskipun pemikiran al-Fârâbî bersifat spekulatif yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani, pemikirannya tentang kebebasan dinilai sangat sesuai dengan gagasan demokrasi dan kebebasan yang menjadi ciri pemikiran politik abad pencerahan (Aufklaerung, abad ke-16-17), dan kini menjadi sistem yang dinilai paling manusiawi. Kalau pada masa klasik dan pertengahan tidak ada perdebatan tentang apakah umat Islam harus melakukan integrasi atau pemisahan antara agama (Islam) dan negara (al-dawlah), maka pada masa kontemporer pun terdapat perbedaan. Menurut Abdillah, perbedaan ini muncul teruta- ma sejak adanya interaksi antara masyarakat Islam dengan Barat yang membawa sistem mereka bersamaan dengan penjajahan mereka atas sebagian besar negara-negara Muslim. Menurutnya, persepsi para pemikir atau tokoh Islam tentang hubungan Islam dengan negara ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, sebagai- mana telah disebutkan di atas: kelompok konservatif (yang meliputi kelompok tradisionalis, dan kelompok fundamentalis), kelompok
46 Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam”, 103. 54 Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah modernis, dan kelompok sekular. 46 Meskipun terdapat perbedaan
karakteristik tersebut, umumnya pemikiran politik Islam kontem- porer ini merespon sistem politik Barat, seperti nasionalisme, sosial- isme, liberalisme, dan demokrasi, serta prinsip-prinsip yang berka- itan dengannya, seperti persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Respon ini terkadang menolak sepenuhnya, menerima sepenuhnya, atau menerima dengan melakukan penyesuaian (adjustment). Sebagai contoh, kelompok pertama (konservatif) menolak sistem politik Barat, kelompok kedua (modernis) menerima secara selektif atau dengan penyesuaian tertentu, sedangkan kelompok ketiga (sekular)
menerima sepenuhnya. 47 Karena kurangnya pemikiran inovatif ini, beberapa sarjana Muslim sendiri melihat adanya krisis pemikiran politik Islam pada masa kontemporer ini. Krisis ini dapat dilihat dari beberapa gejala, terutama sempitnya ruang gerak untuk melaksanakan Syariat Islam di sebagian besar negara Muslim; dan kecenderungan para elite politik untuk berpaling dari Syariat, dan