Repositioning dan rebranding lembaga dakwah: strategi RMI dalam mensosialisasikan belajar di pondok pesantren melalui Gerakan Nasional “Ayo Mondok!”.

(1)

REPOSITIONING DAN REBRANDING LEMBAGA DAKWAH

Strategi RMI dalam Mensosialisasikan Belajar di Pondok Pesantren Melalui

Gerakan Nasional

Ayo Mondok

!”

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah

Oleh: Taufan Arifianto NIM. F12915312

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Taufan Arifianto

NIM : F12915312

Program : Magister (S-2)

Institusi : Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Dengan sebenar-benarnya menyatakan bahwa Tesis ini secara keseluruhan adalah hasil karya penelitian saya sendiri, kecuali pada bagaian-bagian yang telah dirujuk sumbernya.

Surabaya, 13 Juni 2017

Saya yang menyatakan


(3)

PERSETUJUAN

Tesis atas nama Taufan Arifianto ini telah disetujui Pada tanggal 13 Juni 2017

Oleh Pembimbing

Prof. Dr. H. Shonhaji Sholeh, Dip. Is NIP. 194907281967121001


(4)

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis Taufan Arifianto ini telah diuji pada tanggal 27 Juli 2017

Tim Penguji:

1. Prof. Dr. H. Idri, M. Ag. (Ketua) ... 2. Prof. Dr. H. Shonhaji Soleh, Dip.IS. (Penguji) ... 3. Dr. H. Saiful Jazil, M.Ag. (Penguji) ...

Surabaya, 27 Juli 2017 Direktur,

Prof. Dr. H. Husein Aziz, M. Ag. NIP. 195601031985031002


(5)

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berangkat dari fenomena munculnya persepsi negatif masyarakat terhadap Pondok Pesantren. Pandangan islamophobia tersebut mulai terjadi pasca serangan 11 September 2011 silam dan semakin menguat pasca kasus Bom Bali. Bila tidak dikaitkan dengan terorisme, image lainnya yang dilekatkan pada pesantren adalah institusi tradisional, hanya berkembang di daerah pedesaan, hanya diminati oleh santri desa, dan lulusannya hanya akan menjadi ustadz. Padahal, secara historis Pondok Pesantren telah terbukti memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan bangsa.

Sejak tahun 2015, terdapat usaha menghidupkan lagi semangat untuk kembali mondok dan menyasar masayarakat ekonomi menengah dalam bentuk Gerakan Nasional Ayo Mondok. Gerakan ini telah terbukti diterima baik oleh masyarakat dan telah menghasilkan banyak capaian diantaranya: Pengadaan Silaturahmi Nasional di Pasuruan tahun 2016, Pembuatan website AyoMondo(dot)net dan aplikasi Ayo Mondok sebagai sistem informasi dan database pesantren, gerakan PBPK, dan lain-lain. Peneliti mendapati bahwa strategi

Branding yang dijalankan oleh RMI dalam bentuk Gerakan Nasional Ayo Mondok telah berhasil memunculkan image baru institusi pesantren. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengeksplor lebih jauh tentang bagaimanan proses Brand Management yang dilakukan oleh RMI meliputi: deskripsi strategi branding Ayo Mondok dan latar belakang lahirnya gerakan tersebut.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, dikarenakan tujuan dari penelitian ingin melakukan eksplorasi terhadap penetapan strategi branding tersebut. Data didapatkan dengan wawancara semi terstruktur terhadap narasumber utama yaitu pengurus RMI dan pengurus Gerakan Nasional Ayo Mondok.

Hasilnya penelitian ini menemukan bahwa brand Ayo Mondok sendiri dirancang dengan desain yang modern dan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat khususnya kalangan ekonomi menengah, dengan menangkat

simbolisasi 2 santri muda dan mengusung tagline “Ayo Mondok, Pesantrenku Keren!”. Secara latar belakang, strategi branding Ayo Mondok ini mempertimbangkan semangat “Al Audah ila Al Ma’ahid”, kegelisan para pengasuh pondok pesantren terhadap menurunnya minat terhadap pondok pesantren dan kondisi eksternal masayarakat Islam Indonesia khususnya kelas menengah.


(7)

ABSTRACT

This research starts from the problem of negative perception to Pondok Pesantren. Islamophobia began to occur after the “11 September 2011 tragedy” and getting stronger after the “Bom Bali case”. If it is not referred to terrorism, other perception attached to pesantren are traditional institutions, grow only in rural areas, only interested by village students, and their graduates will only become ustadz. Despite, historically, Pondok Pesantren has been proven to greatly contribute to the progress of our nation.

Since 2015, there has been an attempt to revive the spirit to mondok and target the middle class community named “Gerakan Nasional Ayo Mondok”. This movement has been proven to be well received by the community and has got many achievements such as: Holding an Silaturahmi Nasional in Pasuruan 2016, Create a website named AyoMondok(dot)net and Ayo Mondok mobile application that provide informations and database of pesantrens, PBPK movement, and others. Researcher found that the branding strategy taken by RMI named “Gerakan Nasional Ayo Mondok” has developed a new positive image of pesantren. This research want to explore about how the Brand Management process taken by RMI, consist of: description of branding strategy “Ayo Mondok” and the background of it.

This research used a qualitative descriptive approach, since it want to explore the branding strategy of “Ayo Mondok”. Data were obtained by semi-structured interviews to the main speakers of the RMI board and the organizers of

“Gerakan Nasional Ayo Mondok”.

This study found that the brand “Ayo Mondok” is designed with modern design and can reach society in all economic class, especially among the middle class, symbolized with 2 young santri and bring "Ayo Mondok, Pesantrenku Keren!" as the tagline. The background of this strategy is considering the spirit of

Al Audah ila Al Ma'ahid, the cynicism of the boarding school cottage to the declining interest in boarding schools and the external conditions of the Islamic community of Indonesia, especially the middle class.


(8)

DAFTAR ISI

Pernyataan Keaslian ... ii

Persetujuan ... iii

Pengesahan Tim Penguji ... iv

Pedoman Transliterasi ... v

Motto ... vi

Abstrak ... vii

Ucapan Terima Kasih ... ix

Daftar Isi... x

Bab I : Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 13

C. Rumusan Masalah ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Penelitian ... 15

F. Konseptualisasi ... 16

G. Kajian Pustaka ... 17

H. Metode Penelitian ... 22

I. Sistematika Penulisan ... 27

Bab II : Pondok Pesantren Dan Teori Branding ... 29

A. Pondok Pesantren ... 29


(9)

C. Strategi membangun Brand ... 44

D. Sosialisasi Brand ... 49

Bab III : Deskripsi Gerakan Nasional Ayo Mondok ... 52

A. Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU (RMI-NU) ... 52

B. Gerakan Ayo Mondok ... 54

Bab IV : Analisis Strategi Branding Gerakan Ayo Mondok ... 63

A. Strategi Membangun Brand Ayo Mondok ... 63

1. Brand Positioning & Platform ... 63

2. Brand Identity ... 73

3. Brand Architecture ... 79

B. Sosialisasi Brand Ayo Mondok ... 84

C. Latar Belakang Penetapan Strategi Branding Ayo Mondok ... 88

Bab V : Penutup ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Keterbatasan Penelitian ... 103

C. Saran ... 103


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era tahun 2000 hingga saat ini image pondok pesantren mengalami penurunan dan justru dipersepsi dan diasosiasikan negatif oleh banyak pihak. Sejak peristiwa serangan 11 September 2001 di WTC, institusi pesantren mendapat banyak sorotan. Pesantren-pesantren di Indonesia banyak dituding menyebarkan ajaran Islam fundamentalisme dalam proses pendidikannya dan dianggap sebagai pusat penyemaian bibit-bibit terorisme2.

Hal ini semakin diperparah dengan terungkapnya kasus Bom Bali di Indonesia dan ditangkapnya beberapa otak pelaku pemboman yang merupakan alumni pondok pesantren. Pada kasus Bom Bali I dan Bom Bali II dapat dilihat bahwa pelaku pengeboman merupakan salah satu alumni dari Pondok Pesantren Ngruki yang ada di Solo. Kasus lain yaitu Pondok Pesantren Umar Bin Khattab di NTB yang digunakan sebagai sarang teorisme dan penyemai ajaran radikal. Hal-hal semacam ini turut andil dalam proses membangun persepsi di benak publik bahwa pesantren merupakan salah satu sarang teoris. Meski tidak mengherankan melihat fenomena penyebabnya, tapi tentu stigma negatif tersebut tidak sepenuhnya benar karena berpijak pada generasilasi yang berlebihan terhadap seluruh institusi pesantren3.

2Ken Andari, et al., “Konstruksi Majalah Gatra Tentang Radikalisme di Pesantren”, Jurnal

Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Vol I No.1 (2012), 2.

3Saifullah, “Dakwah Multikultural Pesantren Ngalah dalam Meredam Radikalisme Agama”,


(11)

2

Publikasi media tentang kegiatan Pesantren pada saat itu cenderung negatif. Pada tahun 2003 ada sebuah media internasional bernama Journal of Asian Affairs

menyebutkan bahwa seperti halnya Madrasa di Pakistan ada sebuah sistem

pendidikan swasta bernama “Pesantren” yang menyediakan lahan pendidikan Islam

bagi rakyat miskin untuk dididik dengan paham radikal. Disebutkan pula bahwa Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngrukijuga seringkali disebut-sebut dalam dalam beberapa media internasional dan dimasukkan ke dalam laporan International Crisis Group (ICG) sebagai basis militan muslim di Indonesia dan diduga kuat memiliki jaringan dengan Al-Qaeda 4. Bahkan yang lebih miris lagi adalah pandangan beberapa akademisi barat yang memunculkan klaim atas ajaran Al Quran yang dinilai beriis ajaran radikalisme dan kekerasan5.

Yang paling aktual adalah baru-baru ini Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saut Usman Nasution menyatakan terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme6. Pernyataan tersebut diungkap berdasarkan hasil proses profiling timnya di lapangan, 19 pondok pesantren itu terlihat mendukung dan menyemaikan ajaran radikalisme di Indonesia. Stereotip terhadap pesantren tersebut menyebabkan gelombang islamophobia kian berkembang dan meluas di masyarakat.

4 Florian Pohl, Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren Tradition in

Contemporary Indonesia (Comparative Education Review, Vol. 50, No. 3, 2006) 389-409

5 Ian Markham & Ibrahim M. Abu Rabi’, Post-September 11 Critical Assement of Modern Islamic

History, dalam 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences

(England: Oneword Publications, 2002), 22

6Resty Armenia, “BNPT: 19 Pesantren Terindikasi Ajarkan Radikalisme” dalam CNN Indonesia


(12)

3

Bila tidak dikaitkan dengan terorisme, image lainnya yang dilekatkan pada pesantrean adalah institusi yang mengembangkan pemikiran dan ajaran tradisional. Hal ini disebabkan oleh cukup banyaknya pesantren yang masih tetap menjaga dan mempertahankan bentuk pendidikan aslinya dengan semata-mata hanya mengajarkan kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama-ulama Islam abad ke 15 M. Kondisi ini masih sangat dipertahankan mengingat hal tersebut dinilai masih sejalan dengan jiwa pesantren yang selama ini menajdi pembeda dengan sistem pendidikan lainnya berupa 5 elemen dasar kegiatan pesantren, yaitu: Kyai, santri, masjid, pondok dan kitab-kitab Islam klasik. Kehilangan salah satunya akan membuat identitas dan jiwa pesantren menjadi tidak utuh7.

Menurut Zamakhsyari Dhafier8, ada beberapa pandangan stereotip yang dilekatkan pada institusi Pesantren pada era 80 an, di antaranya: Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dan tidak mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, Pesantren hanya tumbuh dan berkembang di daerah-daerah dan pedesaan, Pesantren hanya diminati oleh santri-santri dari masyarakat pedesaan, dan Lulusan pesantren hanya akan menjadi seorang ustadz pengajar ngaji yang tidak memiliki keterampilan hidup lainnya.

Yang disayangkan adalah pandangan negatif tersebut dialamatkan kepada hampir mayoritas pondok pesantren. Masyarakat menjadi memiliki persepsi negatif bila sesuatu dikaitkan dengan pesantren, padahal hendaknya persepsi dan penilaian terhadap pesantren tidak dipukul rata sebagai institusi yang mengajarkan

7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 44-60.


(13)

4

radikalisme atau tradisionalisme yang ketinggalan zaman. Hal ini sebagaimana firman Allah:

ن نش ْ كّنمر ْجي َ طْس ْل ب ءاد ش ّّ نيما ّ ق ا ن ك ا نمآ نيذّلا ي ي

مب ريبخ َّ ّنإ َّ ا ّتا ى ْ ّت ل رْق ه ا لدْعا ا لدْعت َّ ع ْ ق

ن مْعت

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu

menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu

kerjakan.”9

Tidak semua Pondok pesantren yang ada di negeri ini sebagaimana pandangan negatif di atas. Bila ada pandangan bahwa Pondok Pesantren adalah saran teroris, hal ini tidak benar adanya. Pondok pesantren yang ada di bawah RMI secara garis pemikiran berada dalam haluan Ahlussunnah wal Jamaah tidak lagi mempersoalkan tentang NKRI10. Garis pemikiran yang demikian menjadikan institusi Pondok pesantren di bawah RMI sangat jauh dari pandangan radikalisme dan terorisme. Bahkwan, para pengurus RMI dapat menjamin dan bertanggung jawab atas haluan pemikiran Pondok pesantren yang ada di bawah naungannya11.

9 QS AlMaaidah ayat 8.

10 Gus Hani, wawancara, Surabaya, 31 Maret 2017. 11 Gus Heri, wawancara, Surabaya, 31 Maret 2017.


(14)

5

Sedangkan terkait pandangan bahwa pesantren identik dengan kalangan ekonomi bawah dan tertinggal, juga tidak demikian adanya. Ketua RMI Jawa Timur menyebut bahwa tidak sedikit orang-orang yang termasuk dalam kalangan ekonomi menengah atas yang juga ada di dalam Pensatren12. Bahkan ada pula pondok pesantren yang memiliki standar infrastruktur yang merepresentasikan kebutuhan kalangan ekonomi menengah atas, seperti contohnya Pondok Pesantren Darul Ulum di Jombang yang menyediakan asrama pendidikan dengan fasilitas terbaik seperti 1 kamar tidur berisi 4 anak saja, alas tidur menggunakan spring bed, teradapt ruang mengaji dengan fasilits bagus, terdapat fasilitas katering dan layanan pencucian baju sehingga para santri tidak pelu masak dan mencuci baju sendiri, sistem keamanan menggunakan CCTV, memiliki sekolah SMP unggulan di dalamnya yang juga dikelola oleh yayasan Pondok pesantren dan lain sebagainya13.

Di sisi lain, secara historis, Pondok pesantren sebagai institusi Islam pertama kali yang hadir di Jawa sekitar 5 abad yang lalu telah terbukti memberikan sumbangsih sejarah yang besar bagi kemajuan bangsa. Institusi tersebut dapat memberikan sumbangsih real bagi masyarakat dalam bentuk kader-kader didikan yang siap berperan di masyarakat14. Kutipan Hasan Mu’arif Ambary dalam Mahmud Arif tentang pendapat Harry J. Benda menyebutkan bahwa sejarah Islam di Indonesia merupakan sejarah panjang perluasan peradaban santri dan segala pengaruhnya dalam kehidupan agama, sosial dan politik Indonesia. Pesantren

12 K.H. Reza Ahmad Zahid, wawancara, Surabaya, 25 April 2017. 13 Gus Hani & Gus Heri, wawancara, Surabaya, 31 Maret 2017.

14 Imam Tolkhah dan Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2004), 49.


(15)

6

dalam konteks perubahan sosial memegang peranannya sebagai media penyebaran dan sosialisasi Islam15.

Fungsi pesantren pada awal berdirinya sampai pada kurun waktu saat ini telah mengalami perkembangan, sebagai bentuk respon terhadap perubahan dan dinamika kondisi masyarakat yang menyertai proses hidup Pesantren. Pesantren pada masa Syaikh Maulana Malik Ibrahim berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama islam. Kedua fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan. Fungsi pendidikan merupakan pondasi untuk menjalankan dakwah dengan lebih baik, dan fungsi dakwah juga dapat dijalankan untuk memajukan pendidikan. Penelusuran lebih jauh tentang fungsi pensantren akan menghasilkan pemahaman bahwa pada era wali songo fungsi dakwah pesantren jauh lebih dominan daripada fungsi pendidikannya16.

Peran besar pesantren dalam kegiatan dakwah dapat dilihat dari fakta mayoritas penduduk Indonesia khususnya yang berada di Jawa memeluk agama Islam. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi pada masa lalu dimana

pesantren secara intensif terlibat di dalamnya. Kutipan Hasan Mu’arif Ambary dalam Mahmud Arif tentang pendapat Harry J. Benda menyebutkan bahwa sejarah Islam di Indonesia merupakan sejarah panjang perluasan peradaban santri dan segala pengaruhnya dalam kehidupan agama, sosial dan politik Indonesia.

15 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKIS,2008) 165. Lihat pula Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998) 318-319.

16 Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2008) 23.


(16)

7

Pesantren dalam konteks perubahan sosial memegang peranannya sebagai media penyebaran dan sosialisasi Islam17.

Kehidupan kegiatan dakwah dalam bentuk kegiatan Pesantren kiranya perlu dimodernisasi dan dikenalkan ulang sebagai sebuah gerakan yang lebih modern yang sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut Moh. Ali Aziz dalam dalam Abdul Basit, kegiatan dakwah yang ada di masyrakat saat ini perlu di-rebranding

karena dipandang terminologi dakwah yang saat ini dikenal oleh masyarakat dipersepsi sebagai term yang normatif, kurang sesuai dengan konteks modern dan cenderung bernuansa keakheratan. Selain itu, persepsi atas makna dakwah juga semakin sempit dan diidentikkan dengan kegiatan berbentuk ceramah atau

tabligh18.

Pandangan negatif tersebut perlu diluruskan dan diubah. Karena apabila masyarakat umum masih memandang bahwa insitusi pesantren sangat dekat dengan paham radikalisme atau masih dipandang sebagai kaum tradisional yang serba tertinggal, maka akan membuat keberadaan pesantren hanya dipandang sebelah mata dan ditinggalkan oleh kalangan kelas menengah. Lambat laun peminat pesantren akan semakin berkurang. Dari fenomena semacam ini, RMI sebagai institusi yang menaungi ribuan Pondok Pesantren yang ada di Indonesia menjadi terpanggil untuk meluruskan pandangan yang kurang benar dan sekaligus menunjukkan kondisi sebenarnya tentang Pondok Pesantren19.

17 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKIS,2008) 165. Lihat pula Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998) 318-319.

18Abdul Basit, “Dakwah Cerdas di Era Modern”, Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 03, No. 01 (Juni, 2013), 81.


(17)

8

Sejak setahun ini ada fakta menarik seputar geliat kegiatan dakwah Pondok Pesantren yang mulai kembali dihidupkan dan menyasar generasi mudah dan kalangan masayarakat ekonomi menengah. Gerakan Nasional Ayo Mondok merupakan salah satu program rintisan RMI NU Jawa Timur yang mulai dikenalkan pada tahun 2015. Ketua RMI Jawa Timur, K.H. Reza Ahmad Zahid menyatakan bahwa Gerakan Nasional Ayo Mondok ini pertama kalinya dilakukan dalam rangka mensosialisasikan pesantren pada masyarakat umum terutama masyarakat kelas menengah20.

Lebih lanjut, Gus Reza menjelaskan bahwa gerakan tersebut mendapat respon positif masyarakat sehingga membuat RMI anktifis muda NU berkoordinasi untuk menindaklanjuti fenomena tersebut. Setelah dilakukan rapat dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, diputuskan bahwa gerakan #AyoMondok akan dikembangkan menjadi program kerja RMI berskala nasional dan akan diluncurukan secara resmi

pada tanggal 1 juni 2015 (15 Sya’ban 1436H) di Gedung PBNU Jakarta. Sebagaimana dituturkan oleh Bapak Abdul Hamid21, respon positif yang dimaksud di sini adalah Gerakan #AyoMondok berhasil menjadi salah satu trending topic22 saat itu dan gerakannya menjadi cukup terkenal di beberapa media sosial23.

Gerakan ini terbukti di sambut baik oleh masyarakat, ditandai dengan jumlah santri yang memilih untuk mondok semakin hari semakin banyak. Sebagaimana

20 K.H. Reza Ahmad Zahid, wawancara, Surabaya, 25 April 2017.

21 Bapak Abdul Hamid merupakan salah satu pengurus RMI Jatim yang juga menjadi pengurus Gerakan Nasional Ayo Mondok. Beliau yang membuat dan menangani segala bentuk media sosialisasi Gerakan Nasional Ayo Mondok seperti: website resmi, laman facebook, dll. 22Trending topic merupakan sebuah bilah daftar yang terletak di sebelah kanan halaman muka media sosial Twitter. Bilah daftar tersebut menunjukkan topik yang paling populer dan banyak dibicarakan oleh penguwa Twitter. Urutan bilah daftar tersebut tersaji secara realtime dan akan berganti seiring waktu.


(18)

9

dituturkan oleh bapak Hamid dalam petikan wawancara studi pendahuluan, pada beberapa Pesantren telah ada peningkatan minat masyarakat untuk mengunjungi, bertanya-tanya dan atau memasukkan anaknya ke dalam Pondok. Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Gerakan Nasional Ayo Mondok, bahwa sebagian besar pondok mengalami peningkatan jumlah santri diantaranya Pondok Lirboyo, Gresik dan Kendal24.

Lebih lanjut, dalam laporannya, Koordinator Gerakan Nasional Ayo Mondok KH Luqman Harits Dimyathi menyampaikan bahwa sejak diluncurkan pada 1 Juni 2015 silam, gerakan ini mendapat apresiasi positif dan dukungan dari masyarakat. Program ini berhasil menyadarkan kembali masyarakat, bahwa pondok pesantren merupakan tempat utama untuk menuntut ilmu agama. Bahkan Gubernur Jawa timur pun mengapresiasi langkah yang dijalankan oleh PBNU dan RMI NU tersebut dan menyatakan bahwa Ayo Mondok merupakan sebuah strategi dan konsep yang sangat cerdas dalam menghadapi berbagai tantangan jaman di era digital saat ini25. Dalam petikan wawancara yang saya lakukan kepada salah satu pengurus Gerakan Nasional Ayo Mondok26, dikatakan bahwa Gerakan Nasional Ayo Mondok ini bukan berupa program kerjasama antara Pondok Pesantren, tetapi

24 Gus Hani, wawancara, Surabaya, 31 Maret 2017.

25 Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyebut Gerakan Nasional Ayo Mondok sebagai jawaban atas kegalauan masyarakat selama ini terhadap persoalan moral, etika dan spiritual. Menurutnya, era digital pada satu sisi memberikan nilai positif dalam kehidupan namun di sisi lain

mengahdirkan persoalan-persoanal baru seperti kejahatan, amoralitas, dan kekerasan. Pesantren dipandang sebagai jawaban terhadap masalah tersebut karena terbukti efektif dalam menanamkan aspek moral dan spiritual dalam diri santri. Lihat “Gubernur : Ayo Mondok, Gerakan Cerdas Di Era Digital” dalam http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/gubernur-ayo-mondok-gerakan-cerdas-di-era-digital (23 Juni 2016), 1.


(19)

10

merupakan kebijakan PP RMI27 yang tentunya akan diikuti oleh semua Pesantren secara Nasional. Panduan pelaksanaan tersebut dirupakan dalam bentuk program kerja tahunan yang akan diberikan kepada Pesantren pada tahun 2016-2017.

Gerakan ini secara misi ingin mengenalkan kegiatan pondok pesantren dengan nuansa kekinian dan modern. Ada banyak program kerja yang digagas dan akan dijalankan untuk setiap pesantren yang ada secara nasional. Dalam petikan studi pendahuluan awal ini, salah satu program yang dijalankan adalah

“Pesantrenku Bersih, Pesantrenku Keren”. Program ini bertujuan untuk

mengenalkan bahwa kehidupan keseharian di Pesantren bukanlah keseharian yang kumuh dan jorok seperti persepsi masyarakat umumnya akan tetapi keseharian di dalam pesantren juga dapat dikatakan bersih dan layak huni. Dijelaskan lebih lanjut oleh Bapak Hamid, program ini digagas untuk menjawab persoalan yang saat ini yaitu fenomena orang tua yang justru lebih menanyakan tentang fasilitas dan kebersihan yang ada di dalam pondok daripada menanyakan kurikulum pondok tersebut pada saat akan memasukkan anaknya ke dalam pondok Pesantren. Program-program lain yang juga dijalankan antara lain: Kemandirian Pondok, AyoMondok(dot)net yang merupakan situs portal Pesantren secara Nasional yang akan didesain untuk dapat memudahkan masyarakat dalam mencari informasi tentang pondok pesantren28.

27 Pengurus Pusat RMI. RMI atau Rabithah Ma'ahid Islamiyah merupakan Asosiasi Pondok Pesantren Indonesia yang dikelola di bawah naungan PBNU. Dengan demikian apabila RMI membuat program yang berhubungan dengan pengelolaan pesantren, maka semua pesantren secara nasional akan serentak untuk menjalankannya.


(20)

11

Dalam konteks ini apa yang telah dilakukan oleh RMI dengan memunculkan Gerakan Ayo Mondok bukan hanya sekedar janji untuk menampilkan image

pesantren yang baik, tetapi sebagian sudah terlaksana di lapangan dan sebagaian lagi dalam proses perintisan. Hal ini sebagaimana Hadits yang dikutip oleh M.A. Mannan29:

“Jauhkanlah dirimu dari banyak bersumpah dalam penjualan, karena sesungguhnya ía memanipulasi (iklan dagang) kemudian menghilangkan keberkahan. (HR. Imam Muslim, An-Nasa’i dan lhnu Majah)

Beberapa capaian lain yang menjadikan Gerakan Nasional Ayo Mondok ini layak diapresiasi diantaranya: Program ini telah memiliki agenda berskala nasional

dengan nama “Silaturahmi Nasional Gerakan Nasional Ayo Mondok” yang

dimaksudkan sebagai wadah silaturahmi, menyamakan pandangan dan komitmen terhadap arah pengembangan Pondok Pesantren secara nasional sesuai dengan

brand yang diangkat oleh Ayo Mondok. Silatnas ini diikuti oleh perwakilan pengelolan Pondok Pesantren dari seluruh wilayah di tanah air dan terakhir diadakan pada bulan Juni 2015 di Pasuruan30.

Capaian lain yang juga dapat kita apresiasi sebagai bentuk pembaruan brand

pesantren adalah dengan diluncurkannya situs AyoMondok(dot)net yang merupakan situs penyedia informasi resmi Gerakan Nasional Ayo Mondok. Dalam situs ini masyarakat dapat melakukan pencarian berbagai Pondok Pesantren di seluruh wilayah Indonesia yang berada di bawah koordinasi RMI. Situs ini

29 M.A.Mannan,Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terjemahan M.Nastangin,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997) 10.


(21)

12

menyediakan informasi yang lengkap tentang pessantren yang dimaksud meliputi: nama pondok pesantren, alamat& peta lokasi, sejarah pendirian, jenjang pendidikan yang tersedia, fasilitas pondok, testimoni dari santri yang ada di pondok tersebut dan beberapa dokumentasi fisik bangunan dan kegiatan yang ada di sana. Dengan adanya situs ini maka masyarakat akan dimudahkan dalam mencari informasi tentang Pondok Pesantren pilihannya tanpa harus mengunjungi lokasi secara langsung. Hal ini menjadi salah satu langkah besar pondok pesantren dalam beradaptasi dengan perkembangan jaman yang semakin menjanjikan kemudahan. Dalam kutipan di laman situs tersebut, aplikasi AyoMondok(dot)net ini memang ditujukan untuk membantu orang tua santri dalam menentukan Pesantren yang sesuai untuk putra-putri mereka31.

Strategi pengenalan kembali kegiatan pondok dalam asosiasi yang berbeda dan lebih modern merupakan bentuk rebranding yang sangat sesuai dengan konteks perkembangan karakter masyarakat. Masyarakat menengah Indonesia yang merupakan jumlah muslim terbesar saat ini adalah pangsa pasar yang paling prospek untuk dikenalkan berbagai produk dakwah Islam. Hal ini sesuai dengan semangat yang diajarkan oleh Allah tentang menyampaikan sesuatu dengen memperhatikan sifat dan karakter penerimanya, yaitu:

ء شي ْنم َّ لضيف ۖ ْ ل نيبيل هم ْ ق ن س ب َّإ ل سر ْنم نْ س ْر م

يكحْلا زيزعْلا ه ۚ ء شي ْنم دْ ي

31Admin situs, “TentangKami”, dalam


(22)

13

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”32

Masih relatif sedikit lembaga sosial atau bahkan lembaga dakwah yang mau mengkaji persoalan seputar positioning & brand produk mereka. Keunikan dari topik ini adalah positioning & brand pondok pesantren yang ditawarkan melalui Gerakan Nasional Ayo Mondok! telah diterima dengan baik oleh masyarakat dan terbukti meningkatkan minat masyarakat untuk kembali mondok. Sehingga menjadi penting untuk mengkaji tentang bagaimana proses branding pondok pesantren tersebut pada akhirnya dijalankan, sebagai salah satu strategi adaptasi program dakwah pada masyarakat modern.

B. Pembatasan Masalah

Penelitian ini hendak mengungkap proses di balik lahirnya strategi branding

dalam Gerakan Nasional Ayo Mondok yang dicetuskan oleh RMI NU Jawa Timur. Ada beberapa hal yang menjadi batasan penelitian dalam tulisan ini yaitu:

1. Penelitian ini akan mendeskripsikan proses lahirnya strategi branding

dalam bentuk Gerakan Nasional Ayo Mondok yang dicetuskan oleh RMI NU Jawa Timur.


(23)

14

2. Fokus kajian diarahkan pada pendalaman tentang latar belakang, orientasi, dan bentuk-bentuk usaha dilakukan untuk membuat strategi tersebut dapat berhasil.

3. Penelitian ini tidak hendak menilai tentang efektifitas dan atau signifikansi Gerakan Nasional Ayo Mondok terhadap kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan mondok.

4. Penelitian ini tidak pula mengkaji pesantren tertentu secara spesifik, melainkan kajian diterapkan pada Lembaga RMI yaitu institusi yang menanugi Pesantren NU sebagai pencetus Gerakan Nasional Ayo Mondok tersebut.

Penelitian ini memposisikan pesantren salah satu institusi keagamaan dan media syiar islam. Pandangan masyarakat terhadap pesantren akan mempengaruhi persepsi dan asosiasi masyarakat terhadap agama Islam. Dengan demikian, usaha yang dilakukan oleh Pesantren untuk mengembangkan image-nya dapat dilihat sebagai langkah strategis untuk mencitrakan dan mendakwahkan identitas Islam yang adaptif dengan perkambangan zaman.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana strategi branding Pondok Pesantren yang dilakukan oleh RMI melalui Gerakan Nasional Ayo Mondok ?

2. Apa latar belakang dipilihnya Ayo Mondok oleh RMI sebagai strategi

branding Pondok pesantren?

D. Tujuan Penelitian


(24)

15

1. Untuk mengetahui strategi branding Pondok Pesantren yang dilakukan oleh RMI melalui Gerakan Nasional Ayo Mondok.

2. Untuk mengetahui latar belakang dipilihnya Ayo Mondok oleh RMI sebagai strategi branding Pondok pesantren.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat praktis

Temuan yang diharapkan adalah paparan tentang strategi branding yang dijalankan oleh RMI NU untuk mengangkat image Ayo Mondok sebagai representasi kegiatan pondok pesantren yang lebih modern. Temuan ini akan menjadi sangat penting bagi keberlangsungan entitas pesantren dalam kerangka persaingan dunia dakwah dan pendidikan Islam pada era modern seperti saat ini. Temuan strategi yang tepat akan dapat membantu pesantren beradaptasi dengan situasi sosial yang ada dan tetap eksis dalam mengembang misi dakwah. Pada ranah aplikasi nantinya, hasil temuan penelitian ini akan dapat diadopsi pada pondok pesantren lain dan digunakan sebagai strategi untuk membangun persepsi baru menjadikannya lebih adaptif dan kompetitif pada konteks modern seperti saat ini.

2. Manfaat Teoritis

Saat ini kajian strategi rebranding dalam organisasi dakwah relatif sedikit dan terbatas. Kajian strategi rebranding yang ada selama ini banyak mengkaji organisasi yang bergerak pada bidang bisnis, sehingga perlu ada adaptasi konsep untuk dapat diterapkan dalam organisasi nirlaba khususnya yang bergerak pada bidang dakwah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat


(25)

16

memberi sumbangsih konseptual tentang bagaimana strategi rebranding ditetapkan dan dijalankan.

F. Konseptualisasi

Positioing didefinisikan sebagai posisi identitas yang diambil oleh perusahaan atau lembaga terhadap produk atau lembaganya. Sehingga,

repositioning dapat dimaknai sebagai penataan posisi identitas sebuah produk yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga untuk menampilkan sosok baru dari produknya. Repositioning dilakukan karena dipandang identitas sebelumnya kurang menarik atau tidak sesuai dengan kondisi konsumen. Positioning yang baru diharapkan akan dapat memberikan keuntungan dalam sebuah persaingan dalam bentuk memperkuat identitas sebuah produk, menunjukkan keunggulan dibanding produk sejenis dan membangun persepsi positif dalam benak konsumen.

Brand merujuk pada tanda, simbol atau desain tertentu untuk mengidentifikasi dan membedakan sebuah produk atau jasa dengan yang sejenisnya. Rebranding dapat diartikan sebagai proses mengubah tanda, simbol atau desain tertentu yang mewakili produk menjadi sebuah tanda, simbol atau desain yang baru. Proses perubahan brand ini dilakukan apabila identitas atau logo brand sebelumnya dipandang tidak lagi menarik dan sesuai dengan identitas pasar.

Proses repositioning dan rebranding merupakah langkah yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Keduanya merupakan langkah yang perlu dilakukan oleh perusahaan atau lembaga ketika akan mengubah identitas sebuah produk tertentu. Penelitian ini akan mengekspose apa identitas baru dari institusi pondok pesantren yang coba ditawarkan oleh RMI melalui Gerakan Ayo Mondok, serta


(26)

17

bagaimanakah bentuk simbol baru yang diusung untuk merepresentasikan identitas tersebut. Penelitian ini juga akan menelusuri pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh RMI ketika menetapkan Gerakan Ayo Mondok sebagai strategi yang paling tepat untuk melakukan branding Pondok Pesantren.

G. Kajian Pustaka

Ada cukup bangan kajian pustaka di luar yang mengambil tema strategi membangun brand dan atau strategi rebranding untuk sebuah produk tertentu (baik barang, jasa atau bahkan organiasi tertentu). Banyak pula tinjauan atau sudut pandang yang digunakan untuk melihat fenomena strategi rebranding yang ada, beberapa diantaranya yang cukup menarik adalah sebagai berikut:

1. Hamim Huda, dalam tesisnya yang berjudul Modernisasi Pondok Pesantren (Studi atas Pola Pengembangan Pendidikan Modern di Pondok Pesantren Roudlotul Quran Mulyojati Metro Lampung)33. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan sumber data primer yang digali melalui observasi langsung ke 20 Pondok Pesantren di Lampung dan Sukabumi. Temuan peneliaian ini menunjukkan adanya pola yang dapat digeneralisasikan dari proses moderninasi Pesantren yang ada di wilayah tersebut, yaitu: pertama, Pesantren awalnya Salafiyah murni yang kemudian mengalami modernisasi dengan mengadopsi model pensatren modern;

kedua, Pesantren yang awalnya Salafiyah murni kemudian mengalami

33 Hamim Huda, Modernisasi Pondok Pesantren (Studi atas Pola Pengembangan Pendidikan

Modern di Pondok Pesantren Roudlotul Quran Mulyojati Metro Lampung). Tesis, Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.


(27)

18

modernisasi namun masih mempertahankan nilai-nilai salafiyahnya; dan

ketiga, Pesantren yang sejak awal dibangun merupakan pesantren modern. 2. Yusuf Nursidiq, dalam tesis yang berjudul Community Relation dan Citra Lembaga (Studi Mengenai Aktifitas Community Relation Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki dalam Membentuk Citra Positif pada Komunitas Masyarakat Ngruki, Cemani, Sukoharjo dalam Menghadapi Isu Terorisme di Indonesia)34. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data primer berupa informasi langsung dari hasil wawancara dan observasi langsung di Ponpen Al Mukmin. Temuan dalam penelitian ini menyebutkan bahwa kegiatan Comunitiy Relation telah diterapkan oleh Ponpes Al-Mukmin Ngruki terhadap masyarakat sekitar berupa partisipasi aktif Ponpes tersebut dalam berbagai kegiatan masyarakat. Kegiatan tersebut secara nyata dapat memberikan efek positif pada citra Ponpes Al Mukmin di mata masyarakat sekitar berupa kepercayaan dan loyalitas terhadapnya.

3. Khoiruman Syah, dalam skripsinya yang berjudul Strategi Branding Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar Yogyakarta35. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan 3 macam teknik pengumpulan data yaitu observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap narasumber yang ada di Kantor Pusat YPI Al-Azhar Yogyakarta. Hasil penelitian ini

34 Yusuf Nursidiq, Community Relation dan Citra Lembaga (Studi Mengenai Aktifitas Community

Relation Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki dalam Membentuk Citra Positif pada Komunitas Masyarakat Ngruki, Cemani, Sukoharjo dalam Menghadapi Isu Terorisme di Indonesia). Tesis, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.

35 Khoiruman Syah, Strategi Branding Yayasan Pesantren Islam (Ypi) Al-Azhar Yogyakarta. Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.


(28)

19

menunjukkan bahwa YPI Al-Azhar ingin mengembangkan brand yang unggul dalam bidang ilmu sains dan ilmu agama yang merupakan tindak lanjut dari keinginan Yayasan agar kualitas pendidikan di YPI Al Azhar berada di kualitas atas. Strategi yang dijalankan oleh YPI adalah dengan mengembangkan kurikulum khusus yang berkiblat pada sistem pendidiian Al Azhar Mesir.

4. Penelitian Chusnul Chotimah dalam Jurnal Islamica yang berjudul “Strategi

Public Relations Pesantren Sidogiri dalam Membangun Pesantren Sidogiri dalam Membangun Citra Lembaga Pendidikan Islam”36. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Public Relation yang dilakukan oleh Ponpes Sidogiri secara otomatis membangun image positif pondok tersebut dihadapan publik. Ponpes Sidogiri memiliki daya dukung yang kuat berupa budaya dan tradisinya, nilai-nilai salafiyah, kiai karismatik sebagai personal branding, santri, kitab kuning, sarung dan kopyah. Kesemua daya dukung tersebut dapat terimplementasikan dengan baik dalam ke dalam program-program Pondok Pesantren.

5. Penelitian Saifullah dalam jurnal Islamica yang berjudul “Dakwah

Multikultural Pesantren dalam Meredam Radikalisme Agama”37. Hasil peneitian ini menunjukkan berbagai upaya yang dilakukan oleh Pesantren Ngalah dalam melakukan deradikalisasi agama. Upaya-upaya tersebut

36Chusnul Chotimah “Strategi Public Relations Pesantren Sidogiri dalam Membangun Pesantren Sidogiri dalam Membangun Citra Lembaga Pendidikan Islam”, Jurnal Islamica Volume 7, Nomor 1 (September 2012) 186-210.

37Saifullah, “Dakwah Multikultural Pesantren dalam Meredam Radikalisme Agama”, Islamica, Vol. 8 No.2, (Maret 2014) 421-446.


(29)

20

dikembangkan dalam bentuk penguatan konstruksi sosial masyarakat dalam bingkai yang humanis, toleran, inklusif dan demokratis. Peneliti juga menjelaskan 8 langkah konkret yang dapat diambil untuk mewujudkan usaha-usaha tersebut di atas.

6. Penelitian Gamal Abdul Nasir Zakaria dalam Jurnal of Islamic and Arabic Education yang berjudul “Pondok Pesantren: Changes and Its Future”38. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa saat ini Pesantren memgang peranan yang sama dengan lembaga pendidikan negeri yang memiliki kurikulumnya sendiri. Kurikulum Pesantren memadukan aspek relijiusitas dan akademik dalam rangka membentuk santri/ siswa yang memiliki keterampilan hidup. Masa depan pesantren akan sangat dipengaruhi dari bagaimanakah caranya meramalkan perubahan situasi yang terjadi pada saat ini dan kemampuannya dalam beradaptasi dengan perubahan tersebut. 7. Penelitian Asri Andri Astuti dalam Jurnal Tarbawiyah yang berjudul

“Pesantren dan Globalisasi”39. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa Pesantren merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena di dalamnya memuat konsep pendidikan yang integral, pragmatis dan mengakar kuat pada budaya masyaakat.

Dari ragam penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terhadap pesantren, penulis dapat mengkategorisasikan ada 3 topik besar yang didalami dalam penelitian-penelitian tersebut. Kategori pertama adalah penelitian yang berfokus

38Gamal Abdul Nasir Zakaria, “Pondok Pesantren: Changes and Its Future”, Jurnal of Islamic and

Arabic Education, No. 2 Tahun ke-2 (2010),45-52.

39Asri Andri Astuti, “Pesantren dan Globalisasi”, Jurnal Tarbawiyah, Volume 11 Nomor 1 (Edisi Januari-Juli, 2014)


(30)

21

pada deskripsi tipologi pesantren dan perkembangannya. Penelitian pada kategori ini menghasilkan informasi tentang variasi model pesantren berdasarkan pola perkembangannya, tidak memberikan deskripsi lebih dalam tentang bagaimana proses dan tahapan yang dialami dalam perubahan tersebut.

Kategori kedua adalah berfokus pada bagaimana kedudukan pesantren dalam era modern seperti sekarang ini. Sebagaimana kita tahu, institusi pesantren yang sudah hadir sejak dulu kala dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan zaman. Penelitian dalam kategori ini mengesplorasi kondisi dan tuntutan yang hadir pada era globalisasi dan sekaligus menjelaskan bagaimanakah peran yang harus diambil oleh pesantren di tengah masyarakat globalisasi tersebut. Penelitian ini tidak menjelaskan tentang bagaimana langkah yang perlu dikembangkan oleh pesantren seccara lebih operasional dalam menghadapi globalisasi.

Kategori ketiga adalah penelitian yang berfokus pada strategi branding dan atau public relation yang dijalankan oleh sebuah institusi pesantren atau lembaga sejenisnya secara lebih spesifik. Penelitian ini mengeksplorasi ragam bentuk usaha yang dijalankan oleh pesantren dan lembaga dalam membangun image tertentu di masyarakat. Penelitian kategori ini sangat erat kaitannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena mengambil tema umum yang sama.

Perbedaan besar penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya adalah subyek penelitian yang diambil bukanlah institusi pesantren atau lembaga tertentu secara spesifik melainkan asosiasi yang menangani kegiatan pesantren, dalam hal ini Pengurus Gerakan Nasional Ayo Mondok dan RMI Jawa Timur. Dengan


(31)

22

mengeksplorasi subyek tersebut, maka strategi branding yang didapatkan akan lebih menyeluruh dan mencakup seluruh kondisi pesantren yang dinaunginya.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian in termasuk dalam kategori penelitian kualitatif. Hal ini dapat dilihat dari RM penelitian yang bertujuan untuk melakukan eksplorasi atas strategi repositioning dan rebranding yang dijalankan dalam bentuk Gerakan Nasional Ayo Mondok. Dengan melakukan penelitian ini peneliti berharap mendapatkan informasi secara holistik tentang bagaimana strategi Gerakan Nasional Ayo Mondok dan letar belakang penetapannya sebagai sebuah strategi positioning & branding. Data yang didapatkan dari penelitian ini adalah eksplorasi deskriptif tentang pertimbangan strategi penetapan Ayo Mondok dan eksplorasi deskriptif aplikasi strategi tersebut dalam bentuk program-program kerja.

Penelitian ini berpijak pada filosofis menjelaskan fenomena secara apa adanya. Penelitian ini dilakukan pada saat peneliti ingin melakukan eksplorasi tentang suatu fenomena atau mempelajari suatu kasus secara lebih terperinci. Informasi terperinci tersebut hanya akan dapat diketahui dengan peneliti terlibat secara langsung dalam proses komunikasi dengan pihak yang terlibat dalam suatu fenomena tertentu40. Peneliti melakukan pengumpulan data pada suatu setting alamiah sebagai lokasi penelitian dan melakukan analisis induktif dan deduktif terhadap temuan data41.

40 John C. Cresswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset terj. Ahmad Lintang Lazuardi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) 63-64


(32)

23

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kasus, dikarenakan tujuan dari penelitian ingin melakukan eksplorasi pada fenomena yang terjadi pada saat ini yaitu penetapan Gerakan Nasional Ayo Mondok sebagai sebuah strategi branding pesantren.

Pendekatan studi kasus sangat cocok diterapkan dalam konteks penelitian

yang mempertanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” sebuah fenomena terjadi.

Penelitian studi kasus juga hanya dapat diterapkan dalam fenomena yang terjadi secara kontemporer dan menampatkan peneliti dalam ruang yang terbatas dalam melakukan kontrol atas peristiwa42.

3. Subyek penelitian

Subyek penelitian merupakan pihak yang akan diekplorasi dan diharapkan dapat memberikan informasi yang sesuai dengan RM penelitian43. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah beberapa pengurus RMI yang sekaligus menjadi pengelola Gerakan Nasional Ayo Mondok, ini dikarenakan informasi terkait strategi Ayo Mondok tentunya dketahui oleh beliau-beliau tersebut. Peneliti tidak terjun ke Pondok-pondok pesantren karena locus penelitian tidak di sana. 4. Sumber data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini harus memenuhi beberapra kriteria diantaranya: Terlibat dalam proses pembuatan Gerakan Nasional Ayo Mondok, mengetahui dinamika perumusan Gerakan Nasional Ayo Mondok,

42 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode terj. M. Djauzi Mudzakir, (Jakarta: rajawali Pers, 2009) 1


(33)

24

menjadi penangungg jawab salah satu atau sebagian besar program pelaksanaan Ayo Mondok. Dengan kualifikasi semacam itu maka tidak semua pengurus RMI memenuhi kriteris sebagai narasumber yang valid.

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa pernyataan langsung dari pengurus yang terlibat dalam proses lahirnya Gerakan Nasional Ayo Mondok, diantaranya:

a. K.H. Reza Ahmad Zahid, Ketua RMI Jawa Timur (disebut narasumber 1)

b. Gus Hani, Wakil Koordinator Gerakan Nasional Ayo Mondok & Ketua bidang kerjasama dan ekonomi (disebut narasumber 2)

c. Bapak Hakim Jayli, Sekretaris Gerakan Nasional Ayo Mondok (disebut narasumber 3)

d. Gus Heri, Bendahara Gerakan Nasional Ayo Mondok (disebut narasumber 4)

e. Bapak Abdulloh Hamid, Divisi Media & promosi. Juga sebagai pengurus PPM Aswaja (disebut narasumber 5)

f. Gus Zulfa, Pengurus RMI Jawa Tengah (disebut narasumber 6)

Sedangkan untuk sumber data sekunder di dapatkan dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Gerakan Nasional Ayo Mondok baik berupa surat kabar, majalah dan atau makalah publikasi yang dibuat oleh pengurus. Dokumentasi yang digunakan adalah liputan pelaksanaan kegiatan Silatnas Ayo Mondok yang di dalamnya juga berisi paparan singkat tentang Gerakan Nasional


(34)

25

Ayo Mondok dan dokumen rapat soft-lauching Gerakan Nasional Ayo Mondok dalam bentuk file.

5. Setting penelitian

Pada mulanya peneliti akan menghubungi salah satu pengurus RMI yang menjadi pengelola Gerakan Nasional Ayo Mondok untuk menyerahkan surat ijin dan rekomendasi penelitian dari civitas dan dosen pembimbing, untuk kemudian melakukan wawancara terkait data yang dibutuhkan. Setelahnya peneliti akan melakukan Snow Ball terhadap narasumber lain yang dipandang mengetahui informasi yang dibutuhkan dan dapat diakses, yaitu menghubungi narasumber satu dengan yang lain secara berurutan. Proses Snow Ball Interview dengan para narasumber tersebut akan dilakukan terus menerus hingga mendapatkan sejumlah narasumber yang dapat memberikan informasi yang mencukupi dan mendapatkan data yang dibutuhkan sesuai RM.

6. Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian kualitatif terdapat 4 teknik pengumpulan data yaitu: Pengamatan, wawancara, dokumen dan bahan audio visual44. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan 3 metode yaitu metode wawancara mendalam, dokumen dan audio-visual. Wawancara mendalam dilakukan terhadap narasumber yang diambil dari pihak-pihak yang dipandang mengerti tentang Gerakan Nasional Ayo Mondok sebagaimana tertulis di atas. Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur, direkam dan kemudian ditulisakan sebagai data yang akan diolah. Sedangkan metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan dan

44 John C. Cresswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset terj. Ahmad Lintang Lazuardi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) 222


(35)

26

menganalisis dokumen yang dimiliki oleh subyek penelitian. Untuk teknik audio-visual peneliti menggunakan data di berupa okument liputan kegiatan Silatnas Ayo Mondok yang sudah dipublikasikan dalam channel TV 9, Surabaya dimana Bapak Hakim Jayli juga menjabat sebagai pimpinan Redaksinya.

7. Keabsahan data

Untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan adalah data yang valid, maka ada beberapa metode validasi data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu45:

a) Triangulasi metode pengumpulan data: yaitu peneliti akan membandingkan data hasil wawancara dengan narasumber dengan data berupa dokumen rencana kerja dan liputan Ayo Mondok. Bila penjelasan dari narasumber sejalan dengan berkas dokumen maka data bernilai valid.

b) Triangulasi sumber data: yaitu peneliti akan melakukan perbandingan data dari setiap narasumber yang diwawancarai dengan instrumen yang sama. Bila data yang sama dinyatakan oleh banyak narasumber maka data tersebut bernilai valid.

c) Decision Trail yaitu upaya melakukan pendokumentasian terhadap semua instrumen, metode dan data yang didapatkan selama proses pengumpulan data berlangsung. Dalam hal ini peneliti melakukan perekaman proses wawancara dan mencatat poin-poin penting dalam pernyataan narasumber selama proses wawancara berlangsung.

45 Christine Daymon & Immy Holloway, Quallitative Research in Public Relations and Marketing Communications, terj. Cahya Wiratama (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2008) 140-146


(36)

27

8. Teknik analisis data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan dan mengorganisasikan data atau mentranskrip data agar siap diolah. Data diredukasi dan diolah dengan melalui proses pengkodean, peringkasan dan penyajian akhir sebagai bentuk pembahasan46.

Metode analisa data dilakukan dengan melakukan transkrip hasil wawancara dengan narasumber Ayo Mondok menjadi sajian data-data deskriptif untuk kemudian diklasifikasikan secara sistematis dan disusun berdasarkan tema-tema tertentu. Tema yang dimaksud di sini antara lain: latar persoalan munculnya Gerakan Nasional Ayo Mondok, deksripsi Gerakan Nasional Ayo Mondok, dan pelaksanaan strategi Ayo Mondok dalam bentuk program kerja. Untuk mempertajam hasil penelitian, maka pijakan teori yang telah ditetapkan akan digunakan untuk mempertajam analisis data.

I. Sistematika Penulisan

Penelitian ini mencoba untuk menelusuri strategi repositioning dan

rebranding Pondok Pesantren yang dilakukan oleh RMI melalui Gerakan Nasional Ayo Mondok yaitu mendeskripsikan serangkaian posisi atau kesan baru yang ingin ditampilkan kepada masyarakat dan bentuk konkret dari kesan tersebut.

Repositioning dan rebranding ini merupakan rangkaian tahap yang saling berurutan dalam membentuk identitas baru sebuah institusi. Lebih lengkapnya uraian pokok-pokok penelitian akan dipaparkan sebagai berikut:


(37)

28

Bab I berisi tentang penjelasan pendahuluan penelitian meliputi paparan latar belakang, tujuan dan rumusan masalah penelitian serta metode penelitian.

Bab II berisi tentang kerangka teori Manajemen Brand yang digunakan dalam penelitian meliputi Teori Branding dan perumusan Brand serta teori tentang Strategi perwujudan brand agar dikenal luas oleh publik.

Bab III menjelaskan tentang profil singkat Gerakan Nasional Ayo Mondok. dalam paparan ini akan memaparkan proses kelahiran gerakan ini sebagai salah satu program unggulan RMI dan deskripsi singkat tentang gerakan tersebut.

Bab IV berisi tentang sajian data dan analisa penelitian yaitu paparan tentang analisis dan temuan-temuan terkait Gerakan Nasional Ayo Mondok yang dilihat dengsn perspektif teori repositioning dan rebranding sebagaiman tercantum di Bab II.

Bab V merupakan bab penutup yang berisi tentang simpulan penelitian, saran-saran kepada stake holder serta keterbatasan penelitian yang dapat menjadi pedoman pihak manapun yang ingin melakukan penelitian serupa.


(38)

BAB II

PONDOK PESANTREN DAN TEORI BRANDING

A. Pondok Pesantren

1. Definisi Pondok Pesantren

Pondok pesantren merupakan salah satu institusi keislaman yang khas berasal dai Indonesia. Beberapa literatur menyebut bahwa istilah Pondok

berasal dari Bahasa Arab “Funduq” yang memiliki arti asrama, tempat

menginap atau pesanggarahan bagi para musafir. Sedangkan kata pesantren disebut berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan. Kata santri sendiri, dalam penelusurannya merupakan salah satu istilah dari bahasa Tamil di India yang memiliki arti para penuntut ilmu47. Bahkan Steenbrink dalam bukunya menyebut bahwa sistem yang dijalakan di Pesantren diadopsi dari sistem yang telah lebih ada sebelumnya di India dan dipergunakan secara umum untuk pengajaran agama Hindu48.

Ada pula penulis lain yang menyebut bahwa santri berasal dari bahasa

sansekerta “Sastri” yang berarti melek huruf, atau dari bahasa Jawa “Cantrik”

yang berarti orang yang mengikuti kemanapun gurunya pergi49. Thoman Arnold sebagaimana dikutip oleh Gamal Abdul Nasir Zakaria, menyebutkan dalam bukunya bahwa sistem pendidikan Islam dalam bentuk pesantren telah ada dan muncul bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia pada tahun 674, dan

47 Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga- Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 145

48 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), 20 49Herman, “Sejarah Pesantren di Indonesia”, Jurnal Al-Ta’dib Volume 6, nomor 2 (Juli-Desember 2013), 146-147.


(39)

30

ini jauh lebih awal daripada sistem pendidikan umum yang dikenalkan oleh Portugis dan kolonial yang menyebarkan pendidikan katolik50.

Pesantren juga dianggap memiliki kaitan erat dengan tempat pendidikan kaum sufi untuk mendalami ajaran Tarekat. Hal ini ditandai bahwa pada masa awal syiar Islam di Indonesia lebih banyak dilajukan dengan menjalankan kegiatan-kegiatan Tarekat dan berbentuk kelompok kajian kecil untuk menjalankan wirid atau amalan zikir tertentu. Dalam proses pembelajaran Tarekat tersebut, pemimpin jamaah atau Kyai menyuruh para santrinya untuk suluk atau tinggal bersama dalam sebuah masjid dan menjalankan ibadah di bawah pimpinan Kyai tersebut. Hal ini dipandang sebagai prototipe awal sistem pembelajaran agama berbasis pesantren51.

Pandangan lain juga menyebut bahwa sebenarnya pada era abad 19 dan awal abad 20 sistem pesantren tidak lagi mengekor pada sistem pembelajaran Hindu Budha melainkan lebih banyak diwarnai oleh sistem pembelajaran Agama di Kairo Mesir. Hal ini dapat terjadi karena para pendiri Pondok Pesantren umumnya banyak mengenyam ilmu agama di arab baik berupa sistem pendidikan di Al Azhar Mesir, yang lain juga salah satunya adalah metode pembelajarda berbasis halaqah di mana santri duduk melingkar di hadapan Kyainya yang diadopsi dari sistem dakwah di Masjidil Haram Mekkah52.

50Gamal Abdul Nasir Z, “Pondok Pesantren: Change and its Future”, Journal of Islamic and

Arabic Education Volume 2, No 2 (2010), 45-52.

51Harun Nasution, et. al., Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992), 100. 52Martin Van Bruinessen,Tradisionalist and Islamist Pesantren in Contemporary Indonesia, Paper presented at the Workshop 'The Madrasa in Asia, transnational linkages and alleged or real political activities', ISIM, Leiden, 24-25 May 2004


(40)

31

Menurut KH Abdurrahman Wahid dalam kutipan Zulhimma, Pondok Pesantren didefinisikan sebagai kompleks yang umumnya berlokasi terpisah dari kehidupan sekitarnya. Di dalam kompleks tersebut terdiri dari beberapa bangunan seperti: rumah kediaman Kyai, surau atau masjid, tempat pendidikan agama atau madrasah dan tempat tinggal para siswa atau asrama53.

Zamakhsyari Dhafier menyebut secara spesifik bahwa ada 5 unsur utama yang mutlak ada dalam sebuah Pondok Pesantren yaitu: 1) Kyai yang berperan sebagai tokoh sentra dalam sebuah pondok karena darinya proses pengelolaan pesantren akan dilakukan; 2) Pondok atau Asrama yang merupakan tempat tinggal bagi para santri yang sedang menuntut ilmu agama; 3) Santri yaitu siswa yang mendalami ilmu dari Pondok Pesantren baik yang menetap di asrama atau yang berasa dari warga sekitar pondok; 4) Masjid, dalam konteks ini tidak hanya difungsikan sebagai tempat menjalankan ibadah sholat tetapi juga berfungsi sebagai tempat berjalannya proses pendidikan Agama; dan 5) Pengajaran kitab Islam klasik atau biasanya dikenal dengan sebutan Kitab Kuning54. Dengan kondisi yang demikian, maka menjadi wajar apabila sebuah pondok memiliki tata nilai sendiri dan menjadi ciri khasnya. Nilai tersebut bersumber dari ajaran-ajaran Islam yang diterapkan secara berkesinambungan dalam norma-norma hidup sehari-hari.

Dengan melihat paparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pada prinsipnya Pondok Pesantren merupakan salah satu institusi atau lembaga

53Zulhimma, “Dinamika Perkembangan Pondok Pesantrendi Indonesia”, Jurnal Darul ‘Ilmi Volume 01 No 02 (2013), 166-167.

54 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 44.


(41)

32

Keislaman yang dapat menjalankan fungsi syiar Islam bagi para santri yang mengaji di dalamnya. Dalam lingkup yang lebih umum, kegiatan syiar Pondok pesantren juga akan dapat dijalankan kepada warga masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pondok.

Secara tipologis, pondok pesantren dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu Pondok Salaf dan Pondok Khalaf (Modern). Sejarah perkembangan tipologi Pesantren ini mulai muncul dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang didirikan pada tahun 189955. Pada kurun waktu 20 tahun awal masa pendirian, Pesantren ini masih mempertahankan metode pembelajaran tradisional seperti sorogan dan weton. Pada tahun 1916 mulai diperkenalkan sistem pendidikan madrasah di dalamnya yang kemudian dikenal sebagai madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Pada tahun 1929 saat Mohammad Iljas dilantik menjadi kepala sekolah di sana, beliau membuat kebijakan untuk memperbanyak pembelajaran ilmu bahasa arab. Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 1933, Abdul Wachid Hasjim mendirikan sebuah madrasah modern yang dikenal dengan sebutan madrasah Nidhomiyah yang 70% mata pembelajarannya dicurahkan pada pelajaran-pelajaran umum. Model pengajaran semacam inilah yang pada tahun-tahun berikutnya menjadi acuan pengembangan Pesantren Modern56.

2. Dakwah fungsional pesantren

55 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 237.


(42)

33

Dakwah adalah sebuah proses perubahan situasi dan kondisi masyarakat menuju ke arah positif yang lebih baik, atau dengan kata lain dari kondisi awal yang jauh dari nilai agama menuju kondisi baru yang mencerminkan kehidupan beragama. Dengan demikian maka setiap agen dakwah baik itu personal maupun institusional memegang tanggung jawab untuk menghasilan perbaikan dalam kegiatan dakwah yang dijalankan. Dengan definisi semacam ini, maka aplikasi dakwah dalam keseharian hendaknya dapat didekati dengan pendekatan dakwah fungsional dimana menempatkan posisi teori dakwah berelasi erat dengan konteks dan situasi aktual yang dihadapi oleh masyarakat57.

M. Kholili menambahkan bahwa fungsi dakwah Pesantren dapat mengakar kuat karena ada beberapa sifat khusus yang dimlikioleh Pesantren dalam menjalankan sistemnya, diantaranya: 1) Pesantren memagang prinsip

“memanusiakan manusia” maksudnya adalah tujuan pendidikan pesantren tidak

semata untuk memberikan pengkayaan ilmu dalam bentuk penjelasan-penjelasan tetapi lebih jauh memiliki orientasi untuk memperbaiki moral, meningkatkan spiritualitas, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang baik dan sederhana; 2) Kyai sebagai Agen pemberdayaan masyarakat, maksudnya peran para pengasuh pondok peasntren dan para Kyai selama ini dipandang mampu menjadi kekuatan perantara sosial dalam membentengi titik-titik rawan dalam hubungan sistem sosial yang ada; 3) Tempat yang cocok untuk menjalankan riset agama, mengandung pengertian bahwa sistem yang dijalankan dalam

57Uwoh Saefuloh, “Implementasi Teori Dakwah Fungsional dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ummat”, Jurnal Ilmu Dakwah Volume 4 No 14 (Juli-Desember 2009), 765-766.


(43)

34

pesantren selama ini menarik minat masyarakay luar untuk mengenal lebih jauh isi dan kegiatan di dalamnya58.

Saiful Muhtadi dan Ahmad Safei sebagaimana dikutip oleh Ahidul Asror dengan tegas menyebut bahwa kegiatan dakwah merupakan proses rekayasa sosial menuju tatanan masyarakat yang lebih ideal. Dengan demikian maka kegaitan dakwah tidak dapat dikesampingkan dari proses kemasyarakatan itu sendiri dimana kegiatan dakwah menjadi salah satu elemen dalam pemecahan masalah-masalah sosial yang senantiasa berkembang59.

Degan merujuk pada paparan tersebut maka sejatinya dapat kita lihat bahwa Institusi pesantren tidak hanya dapat dimaknai sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga telah menjalankan prinsip-prinsip syiar dan dakwah Islam secara fungsional. Keberadaan Pondok Pesantren sebagai salah satu motor dakwah Islam juga perlu diparesiasi mengingat sejarah perkambangan awal Islam di Indonesia merupakan sejarah Syiar pesantren. 3. Brand dan citra Pesantren

Secara institusional dan kesejarahan, lembaga Pesantren merupakan salah satu institusi sosial keagamaan yang sudah berusia cukup tua. Pesantren selama ini telah dapat menampilkan kiprahnya dalam proses pembangunan sosial dan keagamana di masyarakat. Ada banyak kegiatan yang telah dijalankan oleh pesantren dalam rangka menjalankan pembangunan masyarakat seperti mengajarkan ilmu agama, mengobati orang sakit, bahkan bersatu untuk

58H.M. Kholili, “Pondok Pesantren danPengembangan Potensi Dakwah”, Jurnal Dakwah volume XIII No 2 (2012), 177-181.

59Ahidul Asror, “Dakwah Transformatif lembaga Pesantren dalam menghadapi Tantangan Kontemporer”, Jurnal Dakwah volume XV no 2 (2014), 294-295.


(44)

35

melawan penjajah. Hasan Muarif dalam Mohammad Kosim bahkan menyebutkan bahwa selama ini sejarah pesantren tidak menunjukkan posisi pesantren sebagai sebuah lembaga yang pasif justru sebaliknya aktif dan produktif dalam menghasilkan kebaikan di masyarakat60.

Gamal Abdul Nasir memperkuat pandangan ini dengan menyebut bahwa Pesantren sendiri telah merepresentasikan diri sebagai bagian tidak terpisahkan dalam proses perkembangan Bangsa Indonesia61. Nurcholis Madjid sebagaimana dikutip Gamal Abdul Nasir menyebut bahwa identitas Pondok Pesantren tidak hanya diasosiasikan sebagai lembaga Islam tetapi Pesantren juga dikenal sebagai simbol autentik dari Bangsa Indonesia62. Pesantren yang ada selama ini dicitrakan sebagai sebuah institusi yang sederhana, moderat dan harmoni. Hal ini disebut sebagai kekuatan besar Pesantren dan dapat terus dikembangkan sesuai dengan situasi masyarakay sekitarnya63.

Citra atau bisa disebut juga dengan Image merupakan pandangan tertentu terhadap sebuah institusi atau organisasi. Citra lahir dari penilaian masyarakat atau konsumen terhadap keberadaan dan sikap perilaku organisasi tersebut. Citra dapat berupa kesan, perasaan atau gambaran yang dipersepsikan dari sebuah organisasi yang dinilai.

Roberts sebagaimana dikutip oleh Erik Setiawan menyebutkan bahwa,

Representing the totality of all information about the world any individual has

60Mohammad Kosim, “Pesantren danWacana Radikalisme”, Jurnal Karsa Volume IX No. 1 (April 2016), 845-846.

61 Gamal Abdul Nasir Z, Pondok Pesantren: Change and its Future, 45-52. 62 Ibid, 46.


(45)

36

processed, organised, and strored”.64 Dalam pandangannya, citra dideskripsikan sebagai sebuah cakupan yang luas tentang informasi yang diorganisasikan, diolah dan disimpan oleh seorang individu tentang suatu hal.

Dalam proses manajemen pemasaran, proses membangun citra atau umum dikenal sebagai proses pencitraan merupakan sebuah strategi yang lahir dari proses pertimbangan mendalam. Sebagaimana dikutip dari Jhonatan E bahwa proses membangun citra yang positif dilakukan dengan terlebih dulu menjalanan riset pemasaran65. Riset pemasaran yang dimaksud di sini adalah identifikasi secara mendalam tentang siapa calon konsumen yang akan dipasarkan dan mendalami pula bagaimanakah kebutuhan dan keinginan calon konsumen tersebut. Hasil dari riset pemasaran yang mendalam ini akan menjadi bekal dalam menysun strategi pembangunan citra atau branding sebuah organisasi.

Citra persantren terlahir dari persepsi yang dibangun oleh masyakrat terhadap entitas pesantren yang ada di daerahnya. Citra tersebut tentunya sangat dipengaruhi kuat oleh bagaimana instituasi pesantren menampilkan dirinya, tidak hanya secara fisik melainkan secara moral perilaku dan kegiatan sehari-harinya. Ada masyarakat yang memandang bahwa pesantren tertentu merupakan pesantren Salaf, hal ini didasari oleh identifikasi masyarakat terhadap perilaku para santri dan warga pesantren yang menunjukkan simbol-simbol perilaku orang Salaf. Ada pula yang memandang pesantren dengan citra

64 Erik Setiawan, Pencitraan Pondok Pesantren dan Kearifan Lokal dalam Menggagas Pencitraan

Berbasis Kearifan Lokal (Purwokerto: Unsoed, 2012), 319-320.

65Chusnul Chotimah, “Strategi Public relations Pesantren Sidogiri dalam membangun Citra Lembaga Pendidikan Islam”, Islamica Volume 7 No 1 (September 2012), 190-191.


(46)

37

modern karena memang secara pemikiran dan bentuk fisik fasilitas di pesantren tersebut dapat dikatakan mengikuti perkembangan zaman.

Citra atau image melekat kuat dengan brand yang dimiliki oleh sebuah organisasi atau lembaga, karena sejatinya citra merupakan konstruksi perspektif masyarakat terhadap brand sebuah lembaga. Dalam konteks pesantren, brand

pesantren yang sangat kuat akan membentuk persepsi dalam benak masyarakat khususnya calon santri dan secara bawah sadar akan berdapak promotif terhadap pilihan dimana dia akan mondok. Bukti nyata dapat dilihat dari fenomena Pondok Pesantren Darussalam Gontor dan Tebu Ireng yang telah memiliki brand kuat dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Kedua pondok pesantren tersebut bahkan tidak perlu melakukan kegiatan promosi sebagaimana lembaga umumnya menarik santri namun tetap masih eksis dan jumlah santrinya tidak bisa dibilang sedikit66.

Citra pesantren perlu dikenalkan secara baik karena selain merupakan representasi indentitas lembaga keislaman, citra pesantren yang baik juga akan dapat dijadikan sebagai modal besar dalam proses promosi ajaran dan kegiatan dakwah. Tidak dapat dipungkiri bahwa perlu usaha yang sistematis untuk membangun citra positif pesantren di kalangan masyarakat, salah satunya dengan membangun brand yang kuat terhadap kegiatan mondok di Pesantren. Dengan adanya brand yang kuat, maka akan bisa memberikan efek promotif yang multiplier terhadap eksistensi pondok pesantren tersebut di kalangan masyarakat.


(47)

38

B. Teori Pemasaran Islami & Manajemen Brand

1. Pemasaran & Branding Islami

Sandikci dalam Mohd. Yusof mendefinisikan pemasaran islami sebagai sebuah bentuk pemasaran yang menyasar target segmen pasar umat Islam. Segmen pasar umat islam disebut sebagai segmenyang unik dan memiliki kekhasan sendiri sebab di dalamnya memiliki perbedan perilaku yang relatif berbeda dengan pasar secara umum (non-muslim), memiliki sumber daya yang sepsifik, dan sangat relevan dijadikan sebagai pecahan segmen tersendiri67.

Dengan eksistensi pasar muslim di kalangan masyarakat maka segmen tersebut dapat diprediksikan perilakunya, ditarget dan dijangkau oleh seluruh pemasar. Perubahan kondisi demografis dan daya beli umat muslim telah menjadikan kajian pemasaran islami sebagai salah satu bidang yang menarik. Alserhan dalam Mohd. Yusof mengamini hal tersebut dengan menyebut bahwa pelaksanaan strategi pemasaran dan branding islami telah mendapatkan momentum yang tepat dalam lingkungan kajian akademis, baik yang berasal dalam dunia Islam atau yang berada di luarnya68.

Fenomena lahirnya kajian pemasaran dan branding islami sebagai satu kajian tersendiri yang berbeda dengan kajian pemasaran pada umumnya pada kenyataannya menarik minat para akademisi dan praktisi pemasaran di berbagai belahan dunia. Bukti yang memperkuat pandangan ini adalah banyak sekali

67Mohd. Yusof & Wan Jusoh, “Islamic Branding: The Understanding and Perception”, Procedia- Social and Behavioural Sciences No 130 (2014) 179-185.


(48)

39

bermunculan jurnal akademis Islami dalam bidang bisnis dan manajemen69. Bukti lain adalah terciptanya lembaga konsultan branding Islami Ogilvy Noor yang merupakan anak perusahan Ogilvy & Mather. Disebut bahwa lembaga konsultan branding tersebut mengerti secara dalam tentang kebutuhan dasar umat Muslim dan memiliki tujuan besar untuk membangun sebuah brand yang autentik yang empatif dan terikat dengan pasar Muslim di seluruh dunia70.

Frase Islamic Branding & Marketing tidak didefinisikan sebagai brand yang terlahir atau diciptakan oleh negera muslim, akan tetapi ditujukan kepada brand yang membidik kebutuhan pasar muslim. Dengan demikian, meski ada brand yang lahir dari negara non muslim, maka masih dapat dimasukkan dalam terminologi ini. Brand harus mengikuti standar dan ketentuan ajaran islam agar dapat diterima sebagai brand yang islami71.

2. Definisi dan Urgensi Brand

Brand merujuk pada tanda, simbol atau desain tertentu untuk mengidentifikasi dan membedakan sebuah produk atau jasa dengan yang sejenisnya, sebagaimana American Marketing Association (AMA), mendefiniskan Brand sebagai berikut, “A brand is a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them, intended to identify the goods and services of one seller or group of sellers and to differentiate them from those of competition”.72

69 Jonathan A.J. Wilson & Liu, “The Challenge of Islamic Branding: Navigating Emotions & Halal”, Journal of Islamic Marketing Vol. 2 No. 1 (2011) 28-42.

70 Profil lengkap Ogilvy-Noor dapat diakses melalui website resmi http://www.ogilvynoor.com/index.php/about-us/who-we-are/

71Ahmed Maamoun, “Islamic Branding: Opportunities and Snags” Paper presentasi dalam

Proceedings of the Fourth Middle East Conference on Global Business, Economics, Finance and Social Sciences. Dubai - UAE. 13 - 15 May, 2016.

72 Kevin Lane Keller, Strategic Brand Management: Building, Measuring & Managing Brand


(49)

40

Tom Blackett mendefinsikan brand dalam 2 perspektif, yaitu aktif dan pasif. Dalam perspektif pasif brand dipandang sebagai suatu benda atau simbol yang dapat membetuk impresi terhadap suatu produk. Secara aktif brand dimaknai sebagai proses membangun impresi itu sendiri73.

Hal ini dikuatkan dalam definisi yang dikemukakan oleh Anthony G. Bennett bahwa banyak ahli mendefinisikan brand dalam 2 pandangan. Pandangan pertama brand dianggap sebagai sejumlah atribut yang melekat dalam sebuah produk, seperti nama/ merek, pengemasan, sejarah, reputasi dan cara kerja pemasarannya. Dalam definisi ini, brand akan digunakan untuk mengidentifikasi suatu produk dan layanan tertentu dan membedakannya dengan produk kompetitor. Pandangan kedua brand dipandang sebagai asosiasi yang muncul saat seseorang memikirkan sebuah brand. Mengingat brand dibuat dalam benak pelanggan, maka setiap orang akan memiliki versi masing-masing dari sebuah brand74. Pada prinsipnya brand berhubungan dengan identitas sebuah produk dan persepsi yang hendak dibenamkan dalam benak pelanggan terhadap produk tersebut.

Brand merupakan salah satu elemen mutlak yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan dalam memenangkan kompetisi pemasaran dewasa ini. Selain sebagai identitas sebuah produk (barang atau jasa) yang membedakan dengan produk lainnya, brand juga memegang peranan penting dalam

73 Tom Blackett, What is Brand? dalam Brand and Branding (London: Profile Books Ltd, 2009), 13

74 Anthonny G. Bennett, The Big Book of Marketing: Lessons and Best Practice from the World’s


(1)

103

tantangan radikalisme, keprihatinan pengasuh pondok pesantren terkait minat terhadap pesantren yang menurun, diperkuat dengan gagasan K.H. Said Aqil Syiraj yaitu “Al Audah ila Al Ma’had”berarti “kembali kepada Pesantren” yang disampaikan dalam Sidang Muktamar di Makassar, (b) Latar belakang eksternal – Naiknya jumlah masyarakat muslim kelas menengah di Indonesia, Jumlah masyarakat kota melebihi masyarakat desa, prospek pasar pesantren dari kalangan muda dan fenomena bonus demografi, munculnya pondok pesantren yang cenderung mengarah pada nilai-nilai radikalisme dan terorisme dan berseberangan dengan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah.

B. Keterbatasan Penelitian

Dari penjelasan di atas peneliti menyadari ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yaitu terkait lokus penelitian.

1. Penelitian ini tidak mendalami secara spesifik pesantren tertentu sebagai obyek pelaksana Gerakan Ayo Mondok sehingga akan menjadi relatif sulit mendeskripsikan secara lebih terperinci tentang praktek keseharian dari pogram Ayo Mondok dalam sebuah institusi pesantren secara spesifik.

2. Penelitian ini tidak melakukan penilaian atau survey langsung terhadap pandangan atau penilaian masyarakat umum tentang Gerakan Ayo Mondok, sehingga masih belum memiliki informasi akurat tentang respon masyrakat terhadap gerakan ini.


(2)

104

1. Hendaknya ada penelitian yang mendalami lokus pesantren dalam rangka mengeksplorasi secara lebih detil tentang bagaimana pelakasanaan Gerakan Nasional Ayo Mondok di lingkungan Pesantren. Penelitian sebaiknya dilakukan di pondok pesantren yang sudah memiliki kesiapan perangkat pelaksanaan dan hendaknya memilih Pondok Pesantren dari beberapa daerah yang berbeda. 2. Juga perlu mengadakan penelitian dengan tema penilaian atau survey langsung

terhadap pandangan atau penilaian masyarakat umum tentang Gerakan Ayo Mondok dan pengaruh gerakan tersebut terhadap kuantitas calon santri yang mendaftar di Pesantren.

Saran bagi stakeholder terkait agar dapat menggunakan hasil penelitian ini dalam rangka memahami secara lebih jauh konseptualisasi strategi branding Gerakan Ayo Mondok dan pertimbangan-pertimbangan dibalik penetapannya. Dengan demikian akan dapat diambil prinsip gerakan dan dapat diaplikasikan dalam konteks Pondok Pesantren manapun.

Saran bagi pengurus Gerakan Nasional Ayo Mondok hendaknya sesegera mungkin menemukan formula sosialisasi gerakannya selain menggunakan instrumen media sosial berbasis online. Hal ini dikarenakan tidak sedikit pula masayrakat Indonesia yang masih awam dengan dunia teknologi informasi dan internet.


(3)

105

DAFTAR PUSTAKA

A.J. Wilson, Jonathan & Liu, “The Challenge of Islamic Branding: Navigating Emotions & Halal”, Journal of Islamic Marketing, Vol. 2, No. 1, 2011. Aaker, David A. and J. Erich. “The Brand Relationship Spectrum: The Key to the

Brand Architecture Challenge”, California Management Review, Vol. 42, No. 4, 2000.

Abdul Nasir Zakaria, Gamal. “Pondok Pesantren: Changes and Its Future”, Jurnal of Islamic and Arabic Education, No. 2, Tahun ke-2, 2010.Agus Muhammad, “Ayo Mondok: Kembali ke Nilai-nilai dan Akhlaq Pesantren”, Pendis Edisi No.4/III/2015.

Ab Hamid, Siti Ngayesah. “Corporate image of zakat institutions in Malaysia”, Malaysian Journal of Society and Space, Vol. 12, No. 2, 2016.

Andari, Ken, et al,. “Konstruksi Majalah Gatra Tentang Radikalisme di Pesantren”, Jurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Vol I No.1, 2012.

Andri Astuti, Asri “Pesantrendan Globalisasi”, Jurnal Tarbawiyah, Vol. 11, No. 1, 2014.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKIS, 2008.

Asror, Ahidul “Dakwah Transformatif lembaga Pesantren dalam menghadapi Tantangan Kontemporer”, Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 2, 2014.

Bahr Thompson, Anne. Brand Positioning & Brand Creation dalam Brand and Branding. London: Profile Books Ltd, 2009.

Basit, Abdul. “Dakwah Cerdas di Era Modern”, Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 03, No. 01, 2013.

Bennett, Anthonny G. The Big Book of Marketing: Lessons and Best Practice from

the World’s Greatest Companies. New York: The McGraw-Hill Companies,

2010.

Blackett, Tom. What is Brand? dalam Brand and Branding. London: Profile Books Ltd, 2009.

Blackett, Tom. What Makes Brand Great dalam Brand and Branding. London: Profile Books Ltd, 2009.


(4)

106

Chotimah, Chusnul. “Strategi Public Relations Pesantren Sidogiri dalam Membangun Pesantren Sidogiri dalam Membangun Citra Lembaga Pendidikan Islam”, Islamica Vol. 7, No. 1, 2012.

Cresswell, John C. Penelitian Kualitatif & Desain Riset terj. Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Daud Ali, Mohammad & Daud, Habibah. Lembaga- Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Daymon, Christine & Holloway, Immy. Quallitative Research in Public Relations and Marketing Communications, terj. Cahya Wiratama. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2008.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.

Feldwick, Paul. Brand Communication dalam Brand and Branding. London: Profile Books Ltd, 2009.

Gobe, Mark . Emotional Branding: Paradigma Baru untuk Menghubungkan Merek dengan Pelanggan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.

H.M. Kholili, “Pondok Pesantren dan Pengembangan Potensi Dakwah”, Jurnal Dakwah, Vol. XIII, No. 2, 2012.

Hamid, Abdulloh. Pendidikan karakter Berbasis Pesantren: Pelajar dan Santri dalam era IT dan Cyber Culture. Surabaya: Imtiyaz, 2017.

Heding, Tilde et., al., Brand Management: Research, Theory and Practice. London & New York: Routledge, 2009.

Herman, “Sejarah Pesantren di Indonesia”, Jurnal Al-Ta’dib Vol. 6, No. 2, 2013. Huda, Hamim. “Modernisasi Pondok Pesantren (Studi atas Pola Pengembangan

Pendidikan Modern di Pondok Pesantren Roudlotul Quran Mulyojati Metro Lampung)”. Tesis - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Kosim, Mohammad. “Pesantren dan Wacana Radikalisme”, Jurnal Karsa, Vol. IX, No. 1, 2016.

L. J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda karya, 2010.


(5)

107

Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan Pustaka, 2005.

Lane Keller, Kevin. Strategic Brand Management: Building, Measuring & Managing Brand Equity. USA: Pearson Education, Inc., 2013.

M. Luthfi, Khabibi. “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal”, Jurnal Shahih Vol. 1 No. 1, 2016.

Maamoun, Ahmed “Islamic Branding: Opportunities and Snags” Paper presented on Proceedings of the Fourth Middle East Conference on Global Business, Economics, Finance and Social Sciences. Dubai - UAE. 2016.

Maghfur, Sya’ban. “Bimbingan Kelompok Berbasis Islam Untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Santri Pondok Pesantren Al Ishlah Darussalam Semarang”. Tesis – Uinsuka, Yogya, 2015.

Mannan, M.A. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terjemahan M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997.

Markham, Ian & M. Abu Rabi’, Ibrahim. Post-September 11 Critical Assement of Modern Islamic History, dalam 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences. England: Oneword Publications, 2002. Mu’arif Ambary, Hasan. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis

Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.

Nasution, Harun et. al,. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan,1992. Njoto, Gwenael & Feillard. Ripples from the Middle East: The Ideological Battle

for the Identity of Islam in Indonesia. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2015.

Nursidiq, Yusuf. “Community Relation dan Citra Lembaga (Studi Mengenai Aktifitas Community Relation Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki dalam Membentuk Citra Positif pada Komunitas Masyarakat Ngruki, Cemani, Sukoharjo dalam Menghadapi Isu Terorisme di Indonesia)”. Tesis - Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.

Poerwadarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Pohl, Florian. “Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren ”,


(6)

108

Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2008.

Raharjo Jati, Wasisto. “Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi” Jurnal Populasi, Vol. 23 No. 1, 2015.

Saefuloh, Uwoh “Implementasi Teori Dakwah Fungsional dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ummat”, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 4 No 14, 2009.

Saifullah, “Dakwah Multikultural Pesantren Ngalah dalam Meredam Radikalisme Agama”, Islamica Vol. 8, No. 2, 2014.

Setiawan, Erik. Pencitraan Pondok Pesantren dan Kearifan Lokal dalam Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. Purwokerto: Unsoed, 2012. Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986.

Syah, Khoiruman. “Strategi Branding Yayasan Pesantren Islam (Ypi) Al-Azhar Yogyakarta”. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.

Tolkhah, Imam dan Barizi. Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Van Bruinessen, Martin. Tradisionalist and Islamist Pesantren in Contemporary Indonesia, Paper presented at the Workshop 'The Madrasa in Asia, transnational linkages and alleged or real political activities', ISIM, Leiden, 2004.

Yin, Robert K. Studi Kasus – Desain & Metode terj. M. Djauzi Mudzakir. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Yusof, Mohd. & Jusoh, Wan. “Islamic Branding: The Understanding and Perception”, Procedia - Social and Behavioural Sciences, No. 130, 2014. Zulhimma, “Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia”, Jurnal