SELF DISCLOSURE PADA PENYANDANG TUNADAKSA.

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Mushbirotul Firdah B77212117

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dimensi self-disclosure dan menggali faktor-faktor yang mendukung penyandang tunadaksa melakukan self-disclosure. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi Fenomenologis. Ketiga informan penelitian ini adalah atlet difabel NPC Surabaya dan ketiganya berjenis kelamin laki-laki. Subjek pertama berumur 21 tahun, subjek kedua berumur 20 tahun dan subjek ketiga berumur 33 tahun. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi self-disclosure, yakni descriptive self-disclosure berisi informasi kurang pribadi atau fakta tentang diri seperti tentang kegemaran dan kegiatan sehari-hari. Sedangkan evaluative self-disclosure, berisi tentang informasi yang sifatnya pribadi seperti mengungkapkan masalah. Faktor-faktor self-disclosure menggambarkan bahwa faktor yang mendorong ketiga subjek dalam mengungkapkan diri adalah faktor budaya, gender, besar kelompok, perasaan menyukai atau mempercaya, kepribadian dan usia. Keenam faktor tersebut membuat subjek menjadi pribadi yang terbuka mendapatkan timbal balik berupa respon yang positif. Hal tersebut membuat subjek yang dengan keterbatasannya mendapat dukungan untuk memiliki kesempatan yang sama dengan orang normal, bahkan jauh lebih baik yakni meraih prestasi.


(7)

ABSTRACT

This study purposed to describe the dimensions of disclosure and explore the factors that support a quadriplegic do self-disclosure. This study uses a qualitative method with phenomenological strategy. These three research informants are athletes with disabilities NPC Surabaya and three male gender. The first subject is 21 years old, the second subject was 20 years old and 33 years old third subject. The technique of collecting data using interviews and documentation.

The results showed that the dimension of disclosure, self-descriptive disclosure which contain less personal information or facts about themselves as about indulgence and daily activities. While evaluative self-disclosure, contains information of personal nature such as raising concerns. Factors self-disclosure illustrates that the factors driving the third subject in expressing themselves are cultural factors, gender, groups, feelings of love or mempercaya, personality and age. The sixth of these factors make the subject to be private, open to get reciprocal form of a positive response. It is made subject to the limitations the support to have the same opportunities as a normal person, even better that achievement.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….. i

Halaman Pengesahan ……….…………. ii

Pernyataan ………. iii

Kata Pengantar ………... iv

Daftar Isi ……… vi

Daftar Tabel ………... viii

Daftar Gambar ……… ix

Daftar Lampiran ……….. x

Intisari ……….. xi

Abstrack ………. xii

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Fokus Penelitian ……… 9

C. Tujuan Penelitian ………. 10

D. Manfaat Penelitian ……….. 10

E. Keaslian Penelitian ………. 10

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ……… 16

A. Konseptualisasi Topik yang Diteliti ………... 16

1. Self Disclosure ………. 16

a. Pengertian Self Disclosure ……….. 16

b. Dimensi Self Disclosure ………. 19

c. Aspek Self Disclosure ……… 23

d. Faktor-faktor Self Disclosure ……….. 25

e. Karakteristik Self Disclosure ………... 28

f. Manfaat Self Disclosure ……… 30

2. Tunadaksa ……… 32

a. Pengertian Tunadaksa ………. 32

b. Klasifikasi Tunadaksa ………. 33

c. Penyebab Tunadaksa ……….. 36

d. Ciri Khas Penyandang Tunadaksa Secara Fisik dan Psikologis ……… 40

B. Perspektif Teoritis ………... 43

BAB III : METODELOGI PENELITIAN ………. 46

A. Jenis Penelitian ……… 46

B. Lokasi Penelitian ………. 47

C. Sumber Data ………. 48

D. Cara Pengumpulan Data ……….. 50

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ……….. 51


(9)

BAB IV : HASIL PENELITIAN ……….. 55

A. Deskripsi Subjek ………. 55

B. Hasil Penelitian ……….. 60

1. Deskripsi Hasil Temuan ………... 60

2. Analisis Temuan Penelitian ………. 88

C. Pembahasan ……….103

BAB V : PENUTUP ………112

A. Simpulan ……….112

B. Saran ………..113

Daftar Pustaka ………..114


(10)

DAFTAR TABEL


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Teori Pertukaran Sosial ……….. 45

Gambar 2. Skema Temuan Tema Subjek O ………..100

Gambar 3. Skema Temuan Tema Subjek I ………..101


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Wawancara ……….………..117 Lampiran 2. Transkrip Wawancara ……….121 Lampiran 3. Dokumentasi ……….190


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya manusia diciptakan Allah SWT dengan sebaik-baiknya kondisi jasmani dan rohani yang disertai kemampuan untuk menjalani kehidupan. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Namun, ada beberapa orang yang terlahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna sehingga menjadi hambatan bagi mereka dalam menjalani hidup, seperti penyandang disabilitas.

Disability atau disabilitas adalah organ tubuh yang cacat berat, tidak ada (tidak berfungsi), rusak, terganggu, atau sangat kurang, juga berkaitan dengan gangguan fungsional (Chaplin, 2006). Sedangkan menurut definisi dari WHO (World Health Organization), disabilitas adalah keterbatasan atau kurangnya kemampuan organ sehingga mempengaruhi kemampuan fisik atau mental untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu (Murtie, 2014).

Data PBB mengungkapkan 10% dari total populasi penduduk dunia atau sekitar 650 juta adalah penyandang disabilitas. Laporan yang disampaikan Bank Dunia mengungkapkan sekitar 20% dari penyandang disabilitas diseluruh dunia datang dari kelas ekonomi lemah. Kondisi sosial penyandang disabilitas pada umumnya dalam keadaan rentan baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan maupun kemasyarakatan. Secara ekstrem


(14)

bahkan masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarga yang menyandang disabilitas, terutama di pedesaaan. Di sisi lain masih ada masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang disabilitas (Hikmawati & Rusmiyati, 2011).

Berdasarkan data dari Kementrian Sosial (Kemensos), jumlah penyandang disabilitas pada 2010 berjumlah 11.580.117 jiwa, dengan penyandang disabilitas di atas usia 10 tahun sebanyak 16.718 orang. Sedangkan berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker), jumlah angkatan kerja penyandang disabilitas pada 2010 mencapai 7.126.409 jiwa, dengan perincian penyandang tunanetra 2.137.923 jiwa, tunadaksa 1.852.866 jiwa, tunarungu 1.567.810 jiwa, cacat mental 712.641 jiwa dan cacat kronis 855.169 jiwa (Putri, 2016).

Terlepas dari bagaimana kondisi yang dialami penyandang disabilitas, tahun 2016 ini pemenuhan hak penyandang disabilitas semakin dilindungi oleh hukum. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penyandang Disabilitas yang merupakan revisi dari UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 17 Maret 2016. Nantinya akan ada Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang bertugas memantau, mengevaluasi dan mengedukasi yang arahnya untuk perlindungan (Ya’kub, 2016).

Kebijakan dengan ditetapkannya RUU disabilitas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hak bagi penyandang disabilitas yang mencangkup hak hidup, bebas dari stigma, privasi, keadilan dan perlindungan hukum,


(15)

pendidikan pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, kesehatan, politik, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata, kesejahteraan sosial, aksesibilitas, pelayanan publik, perlindungan dari bencana, habilitasi dan rehabilitasi, konsesi, pendapatan, hidup secara mandiri, berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi, berpindah tempat dan kewarganegaraan, bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, serta eksploitasi (Putri, 2016).

Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2011, mengungkapkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penyandang tunadaksa terbanyak dibandingkan provinsi lainnya, yaitu berjumlah 44.906 orang. Di kota Surabaya sendiri, tercatat sebanyak 611 orang. Penyandang tunadaksa merupakan hal yang seringkali dianggap suatu bencana bagi individu yang mengalaminya, bahkan dianggap suatu alasan untuk menghindar bagi individu yang normal (Puspita & Alfian, 2012).

Tunadaksa adalah orang-orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh (Smart, 2014). Sedangkan menurut Santoso (2012), tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, dan kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang.

Ketika seseorang terlahir sebagai difabel atau mengalami kecelakaan yang membuat tampilan tubuh cacat dan tidak lagi ideal maka akan mengalami kemunduran kepercayaan diri. Bahkan penyandang disabilitas


(16)

merasa fase kehidupannya telah berakhir karena selama ini kecacatan identik dengan kekurangan dan ketidakberdayaan yang mematikan potensi dirinya (Muttaqien 2013).

Seperti yang dialami Astri, seorang pelajar SMK berusia 17 tahun, mengalami kecalakaan tunggal motor yang dikendarainya di kawasan Banjir Kanal Timur, Jakarta Timur. Kecelakaan tersebut membuat kaki kanannya retak dan hancur sehingga harus diamputasi. Astri mengalami hambatan dalam pergaulan karena perubahan pada dirinya yang menjadi sosok pemalu dan tidak percaya diri (Malau, 2015).

Lain halnya dengan pengalaman hidup Petrus Canius, seorang tunadaksa yang bekerja sebagai karyawan di Yayasan Palung (GPOCP) Kalimantan, yakni sebuah lembaga konservasi orangutan dan habitatnya. Lewat situs komunitas Bruderan FIC, Petrus Canius mengungkapkan dalam pergaulan sehari-hari merasa minder dan terpuruk, karena keterbatasan fisiknya yang tidak mampu melakukan pekerjaan seperti orang dengan fisik normal lainnya (Canius, 2012).

Tunadaksa saat ini tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat, karena banyak diantaranya berprestasi di berbagai bidang. Seperti salah satu pelajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang bernama Jamaludin Cahya, seorang tunadaksa dengan keterbatasan fisik tinggi badan yang hanya 70 cm dan tidak dapat berjalan, tetapi mampu meraih Juara Nasional Desain Grafis 2014. Cahya sudah dikenal mahir dalam dunia desain grafis.


(17)

Kemampuannya dipelajari secara otodidak di SLB dengan dampingan Guru. Karya-karyanya banyak yang telah dijual (Rosadi, 2014).

Seorang motivator dunia bernama Nick Vujicic yang terkenal karena membuat komunitas Life Without Limbs, membuat film dokumenter Life’s

Greater Purpose, penulis buku Life Without Limits: Inspiration for a

Ridiculously Good Life, dan sering tampil di acara televisi. Nick terlahir dengan sindrom tetra-amelia yakni lahir tanpa dua lengan dan dua kaki. Dukungan dari orang tua dan sahabat, membuat Nick lebih bijaksana dan berani dalam menjalani kehidupan. Sampai mampu mendapat dua gelar sarjana yakni akutansi dan Perencanaan Keuangan, serta karya-karyanya di bidang motivasi (Wink, 2012).

Dari data diatas, ada tunadaksa yang mampu berprestasi dan sebagian mungkin tidak. Tunadaksa yang berprestasi mampu berekspresi secara lisan tentang informasi dalam dirinya, mengungkapkan kemampuan apa yang bisa dilakukan ataupun keinginan untuk menjadi apa. Hal ini merupakan bagian dari self-disclosure.

Self-disclosure atau pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears, 2001).

Self-disclosure juga merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan dalam hubungan

interpersonal, karena dengan adanya pengungkapan diri, seseorang dapat mengungkapkan pendapatnya, perasaannya, cita-citanya dan sebagainya, sehingga memunculkan hubungan keterbukaan. Hubungan keterbukaan ini akan memunculkan hubungan timbal balik positif yang menghasilkan rasa


(18)

aman, adanya penerimaan diri, dan secara lebih mendalam dapat melihat diri sendiri serta mampu menyelesaikan berbagai masalah hidup (Papu, dalam Muttaqien 2013).

Pengungkapan diri dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Dalam pengungkapan diri deskriptif, yakni seseorang melukiskan berbagai fakta mengenai dirinya yang mungkin belum diketahui pendengar. Seperti pekerjaan, tempat tinggal, partai yang didukung, dan sebagainya. Sedangkan pengungkapan diri evaluatif, yakni seseorang mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya. Seperti menyukai orang-orang tertentu, perasaan cemas terhadap badan yang gemuk, bahkan ketidaksukaan bangun pagi (Morton, dalam Sears, 2001). Pengungkapan deskriptif dan evaluatif merupakan dimensi dalam self-disclosure.

Hasil penelitian Muttaqien (2013), penyandang disabilitas terdorong untuk membuka diri kepada orang lain ketika mempunyai masalah atau nasib yang sama, serta mendapat perhatian dan motivasi dari orang tersebut. Kemudian dengan cara pengungkapan diri yang bersifat evaluatif, yakni mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakan untuk mendapatkan solusi atau pencerahan dari orang lain, ingin membagi cerita pengalaman baik itu senang atau sedih, dan agar orang lain dapat memahami apa yang sedang dirasakan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi self-disclosure menurut Derlega (1987), yakni nilai-nilai budaya, gender, besar kelompok, perasaan menyukai atau mempercayai, kepribadian, dan usia (dalam Ifdil, 2013). Faktor yang


(19)

mempengaruhi penyandang disabilitas dari keempat subjek untuk mengungkapkan diri berbeda-beda, antaralain membuka diri kepada orang yang mempunyai masalah yang sama atau senasib, membuka diri pada seorang guru perempuan karena telah memberi perhatian dan motivasi, subjek membuka diri pada teman dekat karena lebih mengerti situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dan membuka diri ke pada orang tua karena subjek beranggapan orang tualah yang paling paham kondisi yang sedang dirasakan (Muttaqien, 2013).

Sears (2001) mengungkapkan faktor lain dari pengungkapan diri, yakni rasa suka dan timbal balik. Rasa suka merupakan sebab penting dari penggungkapan diri. Orang lebih sering mengungkapkan dirinya pada pasangan hidupnya atau pada sahabatnya daripada rekan kerja atau teman biasa. Sedangkan timbal balik, yakni bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada orang lain, maka orang tersebut akan merasa wajib memberikan reaksi yang sepadan. Altman dan Taylor (dalam Sears, 2001) menyatakan bahwa seseorang akan jauh lebih menyukai orang yang mengungkapkan dirinya dalam tingkat yang setara dengannya.

Murtie (2014) menjelaskan beberapa ciri khas secara psikologis pada penyandang tunadaksa, pertama memiliki rasa kurang percaya diri dimana penyandang tunadaksa cenderung menutup diri sehingga potensi lain yang dimilikinya dan seharusnya bisa dikembangkan menjadi terhambat. Kedua, hambatan dalam segi emosi dan sosial yakni kurang percaya diri yang terjadi pada penyandang tunadaksa memengaruhi emosi dan hubungan sosial dengan


(20)

orang lain. Perasaan malu, minder, rendah diri, dan sensitif sering kali hadir saat harus bersosialisasi, oleh karena itu pandangan terhadap diri mereka sendiri yang buruk maka penyandang tunadaksa sering melakukan penolakan pada orang-orang yang mendekat. Ketiga, kurang mampu mengembangkan konsep diri dan mengaktualisasikan dirinya.

Seperti yang diungkapkan oleh salah satu subjek penelitian ini, yakni subjek I, bahwa subjek memiliki sifat pemalu. Meskipun demikian, subjek berusaha mengaktualisasikan dirinya. Seperti sejak SMA aktif menjadi atlet hingga sekarang saat subjek kuliah masih aktif mengikuti organisasi HIMA (Himpunan Mahasiswa) hampir dua tahun. Subjek mengaku hal tersebut dilakukan agar kepercayaan diri meningkat dan terbiasa berhadapan dengan orang-orang, karena subjek masuk dalam divisi Humas (Hasil wawancara pada tanggal 27 Juli 2016).

Uraian di atas menunjukkan bahwa penyandang tunadaksa memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah sehingga menghambat dalam mengembangkan potensi dan mengaktualisasikan dirinya. Menurut Lumsden (1996) self-disclosure dapat membantu seseorang berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri serta hubungan menjadi lebih akrab. Selain itu, Calhoun dan Acocella (1990) bahwa self-disclosure dapat menjelaskan perasaan bersalah dan cemas. Tanpa self-disclosure individu cenderung mendapat penerimaan sosial kurang baik sehingga berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya (dalam Gainau, 2009).


(21)

Hal tersebut membuktikan self-disclosure sangat penting untuk diteliti pada tunadaksa. Melihat subjek penelitian yang mampu mengembangkan potensi kemudian mampu mengaktualisasikan dirinya sehingga berprestasi dalam bidangnya serta penelitian ini dapat menginspirasi tunadaksa lainnya untuk lebih percaya diri mengungkapkan dirinya. Jadi, self-disclosure pada tunadaksa meskipun memiliki keterbatasan, tetapi tetap mampu mengungkapkan dirinya dengan percaya diri membagi perasaan pribadi dan informasi tentang berbagai fakta dalam diri kepada orang lain.

Berdasarkan penelitian di atas juga menunjukkan bahwa pengungkapan diri penyandang disabilitas lebih kepada pengungkapan diri yang bersifat evaluatif. Informasi yang dibagi sangat pribadi kepada orang-orang tertentu, yang secara langsung dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kepada orang yang dipercaya atau disukai, orang yang memiliki nasib sama dan adanya timbal balik berupa perhatian dan motivasi yang diberikan. Maka dalam penelitian ini ingin menggali bagaimana dimensi self-disclosure yang dilakukan oleh tunadaksa dan faktor-faktor apa saja yang mendukung tunadaksa dalam melakukan pengungkapan diri.

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana dimensi dan faktor-faktor apa saja yang mendukung penyandang tunadaksa melakukan self-disclosure.


(22)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dimensi self-disclosure dan menggali faktor-faktor yang medukung tunadaksa melakukan self-disclosure.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan psikologi dibidang psikologi klinis dan psikologi sosial.

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi penyandang disabilitas terurtama tunadaksa, dalam memahami dimensi self-disclosure dan faktor-faktor yang mendukung untuk melakukan pengungkapan diri, sebagai salah satu penunjang untuk mendapatkan penerimaan sosial serta menginspirasi penyandang disabilitas lainnya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Self-disclosure (pengungkapan diri) cukup banyak dilakukan oleh para peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa self-disclosure merupakan topik yang menarik untuk diteliti.

Penelitian Zainab (2013) tentang “Self Disclosure Orang Tua yang Mempunyai Anak Autis”. Hasil penelitian tersebut adalah subjek memiliki kemampuan self-disclosure yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah informasi yang diungkapkan, sifat self-disclosure, kedalaman


(23)

informasi, waktu self-disclosure, serta lawan bicara yang dapat membuat subjek melakukan self-disclosure. Faktor-faktor yang menyebabkan subjek melakukan self-disclosure yakni perasaan menyukai, besar kelompok, efek diadik dan jenis kelamin.

Penelitian oleh Muttaqien (2013) mengenai “Self Disclosure pada Remaja Difabel”. Hasil menunjukkan bahwa remaja difabel dengan kecacatan mendadak (pasca kecelakaan) melakukan self-disclosure dengan cara mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakan, masalah yang sedang dihadapi, beban pikiran yang sedang membebani dengan menceritakan kondisi tersebut agar orang tua, guru, dan teman mengetahui kondisi yang sedang dirasakannya. Faktor yang mempengaruhi

self-disclosure pada keempat subjek yakni berbeda-beda, antara lain membuka

diri kepada orang dengan nasib yang sama, membuka diri kepada guru perempuan karena telah memberi perhatian dan motivasi, membuka diri pada teman dekat dan orang tua.

Penelitian oleh Tokic & Pecnik (2012) “Parental Behaviors

Related to Adolescents Self-Disclosure: Adolescents Views”. Hasil

menunjukan bahwa remaja merasa pengungkapan diri mereka dipengaruhi oleh berbagai tindakan orang tua yang spesifik dan reaksi dalam situasi terkait pengungungkapan diri. Menurut pandangan remaja, orang tua tidak hanya dapat menghambat pengungkapan diri tetapi mereka juga dapat mendorong pengungkapan diri dengan berperilaku tertentu.


(24)

Jurnal penelitian dari Penington (2010), “Disability Disclosure: A

Literature Review”, hasil penelitian tersebut menemukan lima tema yakni

sikap terhadap karyawan penyandang disabilitas, sikap terhadap berbagai jenis penyandang disabilitas, pengungkapan selama proses perekrutan, pengungkapan sementara dalam pekerjaan, dan pengungkapan yang berhubungan dengan penyandang disabilitas yang berbeda.

Penelitian Ayyun (2010), “Self Disclosure (Pengungkapan Diri) pada Remaja Pengguna Facebook”. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa melalui facebook, remaja dapat mengungkapkan dirinya dengan efektif. Informasi yang mereka bagi tersebut terkait dengan identitas diri dan perasaan serta keadaan yang mereka alami. Akan tetapi informasi yang mereka berikan tersebut tetap dibatasi. Model self-disclosure pada remaja melalui facebook tersebut memiliki makna terkait keluasan dalam hal ini pemilihan teman dalam membagi informasi, dan kedalaman terkait dengan detail informasi yang dibagi. Semakin dekat maka informasi semakin detail yang diberikan.

Gainau (2009), penelitiannya tentang “Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa dalam Perspektif Budaya dan Implikasinya Bagi Konseling”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan Salah satu faktor penting dalam pengungkapan diri seseorang dengan orang lain adalah budaya di alam. Ada baik budaya terbuka dan budaya tertutup. Seorang mahasiswa sering melakukan kesulitan dalam pengungkapan diri nya dengan orang lain. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh konselor dalam


(25)

membantu siswa mereka untuk diungkapkan dengan orang lain. Pertama ,memberikan pemahaman bahwa setiap budaya memiliki etika tersendiri dalam mengungkapkan diri kepada orang lain sehingga siswa tahu cara mengungkapkan dirinya untuk lain. Kedua, melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan agar ia tidak merasa malu dalam bersosialisasi dengan orang lain dan ketiga, memberikan pelatihan yang dapat membuat siswa lebih percaya diri.

Penelitian dari Gibson (2012), “Opening Up: Therapist

Self-Disclosure in Theory, Reserch, and Practice”. Hasil penelitian

memberikan gambaran tentang literatur empiris dan teoritis dari terapis

self-disclosure. Kemudian ditutup dengan pertimbangan terapis

self-disclosure dalam konteks hukum, etika, dan teknologi kontemporer kerja klinis.

Penelitian Ifdil (2013), “Konsep Dasar Self Disclosure dan

Pentingnya Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling”. Hasil

menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk melakukan self-disclosure memiliki kontribusi penting dalam mencapai keberhasilan akademik dan keberhasilan interaksi sosial mereka. Seseorang yang memiliki keterbukaan diri yang tinggi cenderung untuk mengekspresikan pandangan, ide, atau gagasan jelas tanpa menyakiti perasaan orang lain.

Penelitian oleh Durand (2010), “A Comparative Study of Self-Disclosure in Face-to-Face and Email Communication Between Americans andChinese”. Hasil mengungkapkan bahwa email yang dianggap kurang


(26)

pribadi dan bahwa orang lebih nyaman sendiri mengungkapkan dalam konteks tatap muka. Alasan lain mungkin untuk tingkat rendah pengungkapan diri melalui email adalah kenyataan bahwa email merupakan bentuk komunikasi online yang lebih tua, dan banyak orang mungkin tidak menggunakannya sesering lagi.

Penelitian Harper & Harper (2006), “Understanding Student Self-Disclosure Typology Through Blogging”. Hasil penelitian menunjukkan siswa yang melakukan pengungkapan diri memainkan peran penting dalam pengalaman belajar dan memproduksi hasil pembelajaran yang positif. Blogging adalah alat web semakin populer yang berpotensi dapat membantu pendidik dengan mendorong siswa pengungkapan diri. Kedua analisis dan fokus konten kelompok digunakan untuk menilai apakah siswa keterbukaan diri mengungkapkan secara deskriptif, kategori topik, dan evaluatif. Serta blogging mendorong siswa keterbukaan diri, dan implikasi dari temuan ini juga dibahas.

Melihat beberapa hasil penelitian yang sudah ada baik di luar negeri maupun di Indonesia, persamaan yang muncul adalah topik tentang self-disclosure dan terdapat satu penelitian yang sama pada penyandang disabilitas. Meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pertama belum ada penelitian yang subjeknya spesifik membahas tentang tunadaksa yang berprestasi. Kedua, fokus penelitian yakni menggali dimensi dan faktor self-disclosure pada tunadaksa. Yang terakhir, ketiga adalah penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan


(27)

strategi fenomenologi, karena sesuai dengan realita sekarang banyak tunadaksa yang dalam keterbatasannya mampu berprestasi seperti orang normal lainnya.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Konseptualisasi Topik yang Diteliti

1. Self Disclosure

a. Pengertian Self Disclosure

Self-disclosure atau pengungkapan diri merupakan kegiatan

membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears, 2001). Kartono & Gulo (2000), self-disclosure adalah suatu proses dengan mana seseorang membuat dirinya dikenal oleh orang lain.

Pearson (1983, dalam Rini, 2012) mengartikan self-disclosure sebagai komunikasi dimana seseorang dengan sukarela dan sengaja memberitahukan orang lain mengenai dirinya secara akurat, yang tidak dapat orang lain dapatkan atau ketahui dari pihak lain. Jika seseorang secara terpaksa memberitahukan dirinya secara detail kepada orang lain, maka hal ini tidak dapat dianggap sebagai self-disclosure karena yang termasuk self-disclosure adalah setiap informasi yang ditentukan oleh seseorang untuk dibagi kepada orang lain secara sukarela.


(29)

yaitu menceritakan yang sebelumnya tidak diketahui sehingga menjadi pengetahuan yang dibagi yakni proses membuat diri sendiri untuk diketahui orang lain (dalam Joinson & Paine, 2007).

Jourard, (1971), pengungkapan diri mengacu pada ekspresi lisan yang mana seseorang mengungkapkan aspek dirinya sendiri kepada orang lain (dalam Barak & Gluck-Ofri, 2007).

Derlega, dkk (2008) self-disclosure adalah transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih dalam peran “pengungkapan” dan “penerima pengungkapan” atau “pendengar” pada tingkat kognitif, emosional, dan perilaku. Apa, kapan dan bagaimana keterbukaan diri terjadi pada satu kesempatan atau dari waktu ke waktu berpengaruh dan dipengaruhi oleh interaksi dan atau hubungan yang terbentang antara peserta.

Altman dan Taylor (1973), mengemukakan bahwa

self-disclosure merupakan kemampuan seseorang untuk

mengungkapkan informasi diri kepada orang lain yang bertujuan untuk mencapai hubungan yang akrab. Sedangkan Person (1987) mengartikan self-disclosure sebagai tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi yang akurat tentang dirinya. (dalam Gainau 2009).


(30)

Johnson (1997, dalam Ndoen, 2009), mendefinisikan pengungkapan diri sebagai pengutaraan kepada orang lain tentang bagaimana individu bereaksi terhadap situasi saat ini dan bagaimana dia memberikan informasi tentang masa lalu secara relevan, sehingga orang lain dapat memahami tindakan yang di ambil saat ini. Selanjutnya Fattah (2008), mengatakan pengungkapan diri dapat diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi yang diberikan tersebut dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita, dan lain sebagainya. Pengungkapan diri haruslah di landasi dengan kejujuran dan keterbukaan dalam memberikan informasi, atau dengan kata lain apa yang disampaikan kepada orang lain hendaklah bukan merupakan suatu topeng pribadi atau kebohongan belaka sehingga hanya menampilkan sisi yang baik saja (Fattah, dalam Ndoen, 2009).

Aranda (2006) mengungkapkan banyak hal yang dapat diungkapkan tentang diri melalui ekspresi wajah, sikap tubuh, pakaian, nada suara, dan melalui isyarat-isyarat nonverbal lainnya yang tidak terhitung jumlahnya meskipun banyak diantara perilaku tersebut tidak disengaja, namun, penyingkapan diri yang sesungguhnya adalah perilaku yang disengaja. Pengungkapan diri tidak hanya merupakan bagian integral dari komunikasi dua orang,


(31)

dua orang daripada dalam konteks komunikasi lainnya (Aranda dalam Meilena & Suryanto 2015).

Dari beberapa definisi di atas, maka self-disclosure merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain

b. Dimensi Self Disclosure

Menurut Morton (1978), terdapat dua dimensi dari pengungkapan diri, yaitu:

1) Descriptive Self Disclosure

Melukiskan berbagai fakta mengenai diri yang mungkin belum diketaui oleh orang lain. Pengungkapan diri ini berisi informasi dan fakta-fakta tentang diri sendiri yang bersifat kurang pribadi, seperti riwayat keluarga, kebiasaan-kebiasaan, dan lain-lain. 2) Evaluative Self Disclosure

Pengungkapan diri yang berisi pendapat atau perasaan pribadi, ekspresi mengenai perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, dan penilaian-penilaian pribadi seperti perasan cinta atau benci, hingga peristiwa-peristiwa yang memalukan (Morton dalam Sears, 2001).


(32)

Johnson (dalam Ndoen, 2009) pengungkapan diri memiliki dua dimensi, yaitu:

1) Keluasan

Untuk dapat mengenal seseorang lebih baik, individu menampilkan lebih banyak topik untuk dijelaskan.

2) Kedalaman

Membuat penjelasan tersebut diungkapkan secara lebih pribadi. Ada beberapa dimensi self-disclosure yang dikemukakan oleh Culbert, dkk (dalam Gainau, 2009), yaitu: ketepatan, motivasi, waktu, keintensifan, kedalaman dan keluasan.

1) Ketepatan

Ketepatan mengacu pada apakah seorang individu mengungkapkan informasi pribadinya dengan relevan dan untuk peristiwa di mana individu terlibat atau tidak (sekarang dan disini). Self-disclosure sering sekali tidak tepat atau tidak sesuai ketika menyimpang dari norma-norma. Sebuah

self-disclosure mungkin akan menyimpang dari norma dalam

hubungan yang spesifik jika individu tidak sadar akan norma-norma tersebut. Individu harus bertanggungjawab terhadap resikonya, meskipun bertentangan dengan norma. Self-disclosure yang tepat dan sesuai meningkatkan reaksi yang positif dari partisipan atau pendengar. Pernyataan negatif


(33)

sedangkan pernyataan positif merupakan pernyataan yang termasuk kategori pujian.

2) Motivasi

Motivasi berkaitan dengan apa yang menjadi dorongan seseorang untuk mengungkapkan dirinya kepada orang lain. Dorongan tersebut berasal dari dalam diri maupun dari luar. Dorongan dari dalam berkaitan dengan apa yang menjadi keinginan atau tujuan seseorang melakukan self-disclosure. Sedangkan dari luar, dipengaruhi lingkungan keluarga, sekolah, dan pekerjaan.

3) Waktu

Waktu yang digunakan dengan seseorang akan cenderung meningkatkan kemungkinan terjadinya self-disclosure. Pemilihan waktu yang tepat sangat penting untuk menentukan apakah seseorang dapat terbuka atau tidak. Dalam keterbukaan diri individu perlu memperhatikan kondisi orang lain. Bila waktunya kurang tepat yaitu kondisinya capek serta dalam keadaan sedih maka orang tersebut cenderung kurang terbuka dengan orang lain. Sedangkan waktunya tepat yaitu bahagia atau senang maka ia cenderung untuk terbuka dengan orang lain.


(34)

4) Keintensifan

Keintensifan seseorang dalam pengungkapan diri tergantung kepada siapa seseorang mengungkapkan diri, apakah teman dekat, orangtua, teman biasa, orang yang baru dikenal.

5) Kedalaman dan Keluasan

Kedalaman self-disclosure terbagi atas dua dimensi yakni self-disclosure yang dangkal dan yang dalam. Self-disclosure yang dangkal biasanya diungkapkan kepada orang yang baru dikenal. Kepada orang tersebut biasanya diceritakan aspek-aspek geografis tentang diri misalnya nama, daerah asal dan alamat.

Self-disclosure yang dalam, diceritakan kepada orang-orang

yang memiliki kedekatan hubungan (intimacy). Seseorang dalam menginformasikan dirinya secara mendalam dilakukan kepada orang yang betul – betul dipercaya dan biasanya hanya dilakukan kepada orang yang betul-betul akrab dengan dirinya, misalnya orang tua, teman dekat, teman sejenis dan pacar. Pendek kata, dangkal dalamnya seorang menceritakan dirinya ditentukan oleh yang hendak diajak berbagi cerita atau target person.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dimensi dari pengungkapan diri ada dua antara lain deskriptif, yakni dengan memberikan informasi yang sifatnya kurang pribadi


(35)

yang bersifat lebih pribadi atau lebih mendalam. c. Aspek Self Disclosure

Self-disclosure merupakan tindakan seseorang dalam

memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain. Informasi yang bersifat pribadi tersebut mencakup 6 aspek, antara lain:

1) Sikap atau opini

Mencangkup pendapat atau sikap mengenai keagamaan dan pergaulan remaja.

2) Selera dan minat

Mencangkup selera dalam pakaian, selera makanan dan minuman, kegemaran akan hobi yang disukai.

3) Pekerjaan atau pendidikan

Mencangkup keadaan lingkungan sekolah dan pergaulan sekolah.

4) Fisik

Mencangkup keadaan fisik dan kesehatan fisik. 5) Keuangan

Mencangkup keadaan keuangan seperti sumber keungan, pengeluaran yang dibutuhkan, cara mengatur keungan.


(36)

6) Kepribadian

Hal-hal yang mencangkup keadaan diri seperti marah, cemas, sedih serta hal-hal yang berhubungan dengan lawan jenis (Jourard dalam Setiawati, 2012).

Sifat alami dari self disclosure menurut Pearson (dalam Margiantari, 2012) memiliki beberapa aspek yang disebut sebagai komponen self-disclosure, yaitu:

1) Sifat Positif dan Negatif (positif and negatif nature)

Self-disclosure bermacam-macam sifatnya ada yang positif

atau negatif. Sifat yang positif meliputi pernyataan mengenai diri sendiri yang dapat dikategorikan sebagai pujian. Sifat yang negatif adalah pernyataan yang secara kritis mengevaluasi mengenai diri sendiri.

2) Kedalaman (depth)

Self-disclosure bisa dalam atau dangkal. Membicarakan mengenai aspek diri sendiri dimana hal tersebut adalah unik dan menyebabkan diri menjadi lebih transparan adalah

self-disclosure yang dalam. Sedangkan, self-disclosure yang

dangkal termasuk pernyataan mengenai diri sendiri yang hanya menunjukkan permukaan saja dan tidak intim.


(37)

Self-disclosure juga dapat diuji kaitannya dengan waktu yang terjadi dalam suatu hubungan.

4) Individu yang menerima informasi (target person)

Orang yang menjadi target self-disclosure adalah orang yang kepada siapa seseorang ingin membuka diri (Pearson, dalam Rini, 2012)

Dapat disimpulkan bahwa bahwa aspek dalam self-disclosure adalah sifat positif dan negatif (positif and negatif nature), kedalaman (depth), waktu (timing), dan individu yang menerima informasi (target person).

d. Faktor-faktor Self-Disclosure

Menurut Sears (2001), ada dua faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri, yakni:

1) Rasa Suka

Orang lebih sering mengungkapkan dirinya pada pasangan hidupnya. Individu lebih menyukai orang lain yang dapat mengungkapkan diri pada situasi tepat.


(38)

2) Timbal Balik

Individu akan jauh lebih menyukai seseorang yang mengungkapkan dirinya dalam tingkat yang setara dengan yang dilakukan terhadapnya.

Terdapat enam faktor lain menurut Derlega, dkk (1987 dalam Ifdil, 2013), diantaranya:

1) Budaya (culture)

Nilai-nilai yang dipahami seseorang mempengaruhi tingkat self-disclosure. Begitu pula kedekatan budaya antar individu. Baik budaya yang dibangun dalam keluarga, pertemanan, daerah, negara memainkan peranan penting dalam mengembangkan self-disclosure seseorang.

2) Gender

Laki-laki lebih tertutup dibandingkan perempuan (Pearson, 1987). Wanita lebih terbuka, intim dan penuh emosi dalam hal pengungkapan diri. Wanita maskulin, relatif kurang membuka diri ketimbang wanita yang nilai dalam skala maskulinitasnya lebih rendah. Pria feminin membuka diri lebih besar ketimbang pria yag nilai dalam skala feminitasnya lebih rendah.

3) Besar kelompok

Self-disclosure lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil


(39)

tentang diri sendiri, lebih sering terjadi dalam kelompok yang kecil daripada kelompok yang besar. Dengan pendengar lebih dari satu seperti monitoring sangatlah tidak mungkin karena respon yang nantinya bervariasi antara pendengar. Alasan lain adalah jika kelompoknya lebih besar dari dua, pengungkapan diri akan dianggap dipamerkan dan terjadinya pemberitaan publik. Kemudian akan dianggap hal yang umum karena sudah banyak orang yang tahu.

4) Perasaan Menyukai atau Mempercayai

Seseorang lebih membuka diri kepada orang-orang yang disukai atau dicintai, begitupula sebaliknya.

5) Kepribadian

Orang yang pandai bergaul (sociable) dan ekstrovet melakukan pengungkapan diri lebih banyak dibandingkan mereka yang kurang pandai bergaul dan lebih introvet.

6) Usia

Terdapat perbedaan frekuensi pengungkapan diri dalam grup usia yang berbeda. Pengungkapan diri pada teman dengan gender berbeda meningkat dari usia 17-50 tahun dan menurun kembali (dalam Ifdil 2013).


(40)

Berdasarkan uraian faktor-faktor self-disclosure di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang melakukan self-disclosure dipengaruhi oleh budaya, gender, besar kelompok, perasaan menyukai atau mempercayai, kepribadian dan usia seseorang.

e. Karakteristik Self Disclosure

Johnson (dalam Ndoen, 2009) pengungkapan diri yang efektif memiliki sejumlah karakteristik, antara lain:

1) Reaksi yang diberikan kepada individu atau peristiwa lebih merujuk pada perasaan daripada fakta-fakta. Untuk dapat mengungkapkan diri artinya dapat berbagi dengan orang lain bagaimana perasaan kita mengenai suatu peristiwa yang baru saja terjadi.

2) Pengungkapan diri memiliki dua dimensi, yakni keluasan dan kedalaman. Untuk dapat mengenal seseorang lebih baik, kita menampilkan lebih banyak topik untuk dijelaskan (keluasan) dan membuat penjelasan itu diungkapkan secara lebih pribadi (kedalaman).

3) Pengungkapan diri fokus pada saat ini, bukan masa lalu. Pengungkapan diri bukan berarti kita mengungkapkan secara mendalam mengenai masa lalu kita. Seseorang mengetahui dan


(41)

pemahaman mereka tentang bagaimana kita bersikap.

4) Pada tahap awal suatu hubungan, pengungkapan diri perlu saling berbalasan. Jumlah pengungkapan diri yang kita lakukan akan mempengaruhi jumlah pengungkapan diri yang dilakukan oleh orang lain.

Menurut Margiantari (2012), karakteristik self-disclosure antara lain:

1) Muncul dalam hubungan pasangan atau satu lawan satu. 2) Keterbukaan diri berlangsung simetrikal.

3) Keterbukaan diri muncul bertahap.

4) Keterbukaan diri muncul dalam hubungan yang positif. 5) Keterbukaan diri dilandasi oleh rasa „trust’ atau percaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan karakteristik dari self-disclosure antara lain muncul dalam hubungan pasangan atau satu lawan satu, keterbukaan diri berlangsung simetrikal, bertahap, dalam hubungan yang positif, dilandasi oleh rasa „trust’ atau percaya


(42)

f. Manfaat Self Disclosure

Menurut Derlega dan Grzelak (1979 dalam Sears, 2001) ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu:

1) Ekspresi

Kesempatan untuk mengekspresikan perasaan. 2) Penjernihan diri

Membicarakan masalah kepada orang lain dapat menjernihkan pikiran sehingga dapat melihat duduk persoalan dengan baik. 3) Keabsahan sosial

Tanggapan penderngar setelah mengungkapkan diri. 4) Kendati sosial

Mengungkapkan atau menyembunyikan informasi. 5) Perkembangan hubungan.

Ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh seseorang jika mengungkap diri kepada orang lain menurut Gainau (2009), antara lain:

1) Mengenal diri sendiri.

Seseorang dapat lebih mengenal diri sendiri melalui


(43)

dalam perilakunya.

2) Adanya kemampuan menanggulangi masalah

Seseorang dapat mengatasi masalah, karena ada dukungan dan bukan penolakan, sehingga dapat menyelesaikan atau mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya.

3) Mengurangi Beban

Jika individu menyimpan rahasia dan tidak mengungkapkannya kepada orang lain, maka akan terasa berat sekali memikulnya. Dengan adanya keterbukaan diri, individu akan merasakan beban itu terkurangi, sehingga orang tersebut ringan beban masalah yang dihadapinya.

Johnson (1990 dalam Ifdil, 2013) menyatakan bahwa self-disclosure berpengaruh besar terhadap hubungan sosial, yaitu: 1) Self-disclosure merupakan dasar bagi hubungan yang sehat

antara dua orang.

2) Semakin terbuka seseorang kepada orang lain, semakin orang tersebut menyukai dirinya.

3) Orang yang rela mengungkapkan diri kepada orang lain cenderung memiliki sifat-sifat kompeten, adaptif, dan terbuka.


(44)

4) Mengungkapkan diri pada orang lain merupakan dasar yang memungkinkan komunikasi yang intim baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

5) Mengungkapkan diri berarti bersikap realistik, sehingga keterbukaan diri bersikap jujur, tulus, dan autentik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat dari pengungkapan diri ialah berekspresi, penjernihan diri, keabsahan sosial, kendati sosial, dan perkembangan hubungan.

2. Tunadaksa

a. Pengertian Tunadaksa

Tunadaksa adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki kelainan fisik khususnya anggota badan, atau berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya (Smart, 2014).

Menurut Santoso (2012) tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang.


(45)

sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (Somantri, dalam Agung, 2012).

Dapat disimpulkan pengertian tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang.

b. Klasifikasi Tunadaksa

Menurut Koening (dalam Septian, 2012), tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut

Tingkat gangguan pada tunadaksa sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

1) Ringan

Kategori ringan adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik namun dapat ditingkatkan melalui terapi.

2) Sedang

Kategori sedang yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan secara motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik.


(46)

3) Berat

Kategori berat adalah mereka yang memiliki keterbatasan penuh dalam melakukan aktivitas fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

Penyandang tunadaksa menurut Halahan & Kauffman (1991, dalam Murtie, 2014) diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:

1) Tunadaksa Ortopedi

Merupakan penyandang tunadaksa yang mengalami kecacatan tertentu di bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian. Cacat ini bisa sebagai bawaan sewaktu lahir ataupun karena anak mengalami kecelakaan atau penyakit sehingga menyebabkan terganggunya fungsi tubuh mereka. Pada tunadaksa ortopedi, gangguan yang terjadi pada bagian tubuh anak menyebabkan bagian tubuh tertentu pada anak tersebut tidak bisa berfungsi secara normal.

2) Tunadaksa Saraf (Neurologically handicapped)

Merupakan penyandang tunadaksa yang mengalami kelemahan dalam gerak dan fungsi salah satu atau beberapa anggota tubuhnya karena adanya kelainan pada saraf di otak. Sebagai bagian terpenting yang mengendalikan seluruh saraf di dalam tubuh, saraf otak yang terganggu bisa memunculkan gangguan


(47)

kelainan saraf otak bisa berbentuk gangguan motorik, kognisi, dan emosi.

Djadja Raharja (dalam Smart, 2014), tunadaksa digolongkan menjadi dua golongan, yaitu:

1) Tunadaksa murni

Golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, poliomyelitis serta cacat ortopedis lainnya.

2) Tunadaksa kombinasi

Golongan ini masih ada yang normal, namun kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebral palsy.

Menurut Smart (2014) ada tiga golongan tunadaksa, yaitu: 1) Tunadaksa taraf ringan

Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa murni dan tunadaksa kombinasi ringan. Tunadaksa jenis ini pada umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih banyak disebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja, seperti lumpuh, anggota tubuh berkurang (bunting) dan cacat fisik lainnya.


(48)

2) Tunadaksa taraf sedang

Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cacat bawaan, cerebal palsy ringan dan polio ringan. Tuna akibat cerebral palsy disertai dengan menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh di bawah normal.

3) Tunadaksa taraf berat

Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat

cerebral palsy berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada

umumnya, tingkat kecerdasan tergolong dalam kelas debil, embesil, dan idiot.

Berdasarkan uraian di atas dapat dimpulkan bahwa klasifikasi dari tunadaksa terdapat dua, yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf (neurologically handicapped).

c. Penyebab Tunadaksa

Murtie (2014) menjelaskan penyebab seseorang menyandang tunadaksa, yaitu:

1) Faktor Kelahiran

Penyandang tunadaksa yang mengalami hal ini dikarenakan adanya masalah saat proses kelahiran. Beberapa masalah dalam kelahiran yang bisa menyebabkan tunadaksa antara lain:


(49)

untuk keluar dan terjepit.

b) Pemberian injeksi pendorong untuk mengeluarkan bayi yang berlebihan sehingga memengaruhi saraf otaknya.

c) Treatment lain seperti alat untuk mengeluarkan bayi dengan

cara ditarik yang juga bisa memengaruhi saraf bayi.

d) Injeksi bius pada Caesar yang berlebihan dan mengganggu saraf bayi.

2) Faktor kecelakaan

Kecelakaan ini bisa terjadi sewaktu masih bayi, misalnya terjatuh dari gendongan atau dari kursi dorong. Kecelakaan juga bisa terjadi saat anak sudah bisa berjalan, misalnya terjatuh dari sepeda, jatuh dari tangga, ataupun mengalami kecelakaan bersama orang lain.

3) Terkena virus

Tunadaksa juga bisa dikarenakan adanya virus yang menggerogoti tubuh sehingga ada satu atau beberapa bagian tubuh yang tidak berfungsi normal. Misalnya polio dan beberapa virus lainnya.


(50)

Santoso (2012) memaparkan tiga penyebab tunadaksa dilihat saat terjadinya kerusakan otak yang dapat pada:

1) Masa sebelum lahir

Terjadi infeksi penyakit, kelainan kandungan, kandungan radiasi, saat mengandung mengalami trauma (kecelakaan). 2) Pada saat kelahiran

Proses kelahiran terlalu lama, proses kelahiran yang mengalami kesulitan dan pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. 3) Setelah proses kelahira

Kecelakaan, infeksi penyakit dan ataxia.

Menurut Smart (2014) terdapat tujuh faktor penyebab tunadaksa, yaitu:

1) Sebelum lahir (pre-natal)

a) Pada saat ibu hamil mengalami trauma atau terkena infeksi atau penyakit, sehingga otak bayi pun ikut terserang dan menimbulkan kerusakan. Misalkan, infeksi, syphilis, rubella, dan typhus abdominalis.

b) Terjadinya kelainan pada kehamilan sehingga menyebabkan peredaran darah terganggu, tali pusat tertekan, dan pembentukan saraf-saraf dalam otak pun ikut terganggu.


(51)

d) Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukkan sistem saraf pusat.

2) Faktor keturunan

3) Usia ibu pada saat hamil 4) Pendarahan pada waktu hamil 5) Keguguran yang dialami ibu 6) Saat kelahiran

a) Akibat proses kehamilan yang terlalu lama sehingga bayi kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terganggunya sistem metabolism dalam otak bayi, akibatnya jaringan otak mengalami kerusakan.

b) Pemakaian alat bantu, seperti yang pada saat proses melahirkan dapat merusak jaringan saraf otak bayi.

c) Pemakaian obat bius yang berlebihan pada ibu yang melahirkan dengan Caesar dapat memengaruhi sistem persarafan ataupun fungsinya.

7) Setelah kelahiran

a) Kecelakaan atau trauma kepala, amputasi. b) Infeksi penyakit yang menyerang otak.


(52)

c) Anoxia atau hypoxia. d) Trauma.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab dari seseorang mengalami atau menyandang tunadaksa dikarenakan faktor kelahiran, kecelakaan dan terkena virus. d. Ciri Khas Penyandang Tunadaksa Secara Fisik dan Psikologis

Santoso (2012) mengungkapkan bahwa anak tunadaksa akan mengalami gangguan psikologis yang cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari lingkungannya.

Smart (2014), terdapat ciri-ciri fisik dari penyandang tunadaksa, antara lain:

1) Anggota gerak tubuh tidak bisa digerakkan, lemah, kaku, atau lumpuh.

2) Setiap bergerak mengalami kesulitan. 3) Tidak memiliki anggota gerak lengkap. 4) Hiperaktif atau tidak dapat tenang.

5) Terdapat anggota gerak yang tidak sama dengan keadaan normal pada umumnya. Misalkan, jumlah yang lebih, ukuran yang lebih kecil, dan sebagainya.


(53)

secara fisik dan psikologis pada penyandang tunadaksa, yaitu: 1) Mengalami hambatan dari segi fisik, baik di salah satu atau

beberapa bagian tubuh. Misalnya memiliki kelemahan pada kaki, tangan, jari-jari, atau bagian tubuh lainnya.

2) Mengalami hambatan dalam faktor motorik, baik untuk berpindah tempat, bergerak, berjalan, ataupun kurang bisa mengontrol koordinasi tubuhnya. Penyandang cerebral palsy sering kali melakukan gerakan ritmis yang bisa saja beranjak menjadi kekakuan dan kelumpuhan.

3) Memiliki rasa kurang percaya diri

Keadaan anak yang lemah dibidang fisik menyebabkan mereka kurang memiliki rasa percaya diri. Kadang kala jika tak didampingi oleh orang tua dan pendidik yang mampu memahami, anak penyandang tunadaksa cenderung menutup diri sehingga potensi lain yang dimilikinya dan seharusnya bisa dikembangkan menjadi terhambat.

4) Hambatan dalam faktor sensorik yang meliputi pengendalian berbagai bagian tubuh oleh otak. Hambatan ini bisa memengaruhi penglihatan, pendengaran, bahasa dan gaya gerak. Inilah yang membuat para penyandang disability sering kali mengalami gangguan atau hambatan dalam beberapa katagori


(54)

bukan hanya pada satu katagori saja. Hal ini dinamakan dengan cacat ganda.

5) Hambatan dalam faktor kognisi yang membuat penyandang tunadaksa memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Hal ini terlebih karena faktor lain seperti kurang percaya diri dan penangkapan yang sulit dibandingkan dengan faktor lainnya. 6) Hambatan dalam mempersepsi sesuatu hal dengan tepat.

Penyandang tunadaksa biasanya terjadi karena adanya satu hal yang ada di otak. Hal inilah yang menyebabkan keabnormalan fisik sehingga menjadi tunadaksa. Kelainan yang ada di otak ini (gangguan pada saraf penghubung dan jaringan saraf otak) kebanyakan juga memengaruhi fungsi persepsi mereka sehingga kebanyakan penyandang tunadaksa menanggapi satu stimulus yang berbeda dengan tanggapan orang-orang lainnya. Sebutan untuk hal ini adalah ketidaksingkronan persepsi terhadap satu stimulus sehingga membentuk respon yang kurang sesuai.

7) Hambatan dalam segi emosi dan sosial

Kurang percaya diri yang terjadi pada penyandang tunadaksa sangat memengaruhi emosi dan hubungan sosial mereka dengan orang lain. Perasaan malu, minder, rendah diri, dan sensitif sering kali hadir saat mereka harus bersosialisasi,


(55)

disability. Oleh karena pandangan terhadap diri mereka sendiri yang buruk maka penyandang tunadaksa sering melakukan penolakan pada orang-orang yang mendekat pada mereka. 8) Kurang mampu mengembangkan konsep diri dan

mengaktualisasikan dirinya.

9) Secara kognitif kebanyakan penyandang tunadaksa sama dengan anak-anak lainnya, namun kurang percaya diri menghambat proses pembelajaran mereka sehingga kurang pula memunculkan konsep diri yang utuh. Kurangnya kepercayaan diri ini pulalah yang menghambat aktualisasi diri para penyandang tunadaksa, terutama saat harus bergaul dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Minder, malu dan rendah diri meredam potensi mereka yang semestinya bisa berkembang dengan optimal dan maksimal.

B. Perspektif Teoritis

Self-disclosure atau pengungkapan diri merupakan kegiatan

membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears, 2001). Seorang tunadaksa yang memiliki keterbatasan fisik akan mengalami hambatan dalam mengungkapkan diri. Ada ciri khas kurang percaya diri atau minder saat berinteraksi dengan lingkungan, sehingga hubungan akrab dengan orang lain tidak baik. Namun tidak semua terjadi


(56)

pada tunadaksa. Beberapa diantaranya mampu mengatasi masalah tersebut dan mampu diterima oleh masyarakat.

Self-disclosure dibutuhkan dalam hubungan interpersonal, karena dengan adanya pengungkapan diri, seseorang dapat mengungkapkan apa kemampuan yang bisa dilakukan, perasaan, cita-cita hingga ide-idenya kepada orang lain. Hubungan keterbukaan ini akan memunculkan hubungan timbal balik positif yang menghasilkan rasa aman, adanya penerimaan diri, dan secara lebih mendalam dapat melihat diri sendiri serta mampu menyelesaikan berbagai masalah hidup (Papu, dalam Muttaqien 2013).

Timbal balik menurut Sears (2001), konsisten dengan teori pertukaran sosial dan dalam pengungkapan diri juga terdapat norma timbal balik. Bila seseorang menceritakan suatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan merasa wajib memberikan reaksi yang sepadan. Proses pengugkapan diri yang berlangsung secara bertahap, semakin lama, semakin cepat akan semakin mempererat suatu hubungan.

Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa bagaimana orang merasa (positif atau negatif) tentang hubungan kedua belah pihak akan tergantung pada, yakni pertama persepsi tentang imbalan yang akan diterima dari hubungan. Kedua, persepsi tentang biaya yang dikeluarkan. Ketiga, persepsi apakah hubungan mereka layak dan kemungkinan bahwa kedua belah pihak bisa memiliki hubungan yang lebih baik, dan


(57)

lebih baik dengan orang lain (Aronson, dkk, 2007).

Konsep dasar teori pertukaran sosial menurut Aronson, dkk, (2007) adalah reward, biaya dan hasil, serta tingkat perbandingan.Pertama reward, reward adalah hal positif, merupakan aspek memuaskan dari hubungan yang membuat seseorang berharga dan reinforcement (memperkuat). Hal ini termasuk jenis karakteristik dan perilaku dari mitra hubungan dan kemampuan untuk memperoleh sumber daya eksternal berdasarkan pengetahuan tentang seseorang, misalnya mendapatkan akses uang, status, kegiatan, atau orang-orang yang menarik lainnya.

Kedua, yakni biaya dan hasil. Semua hubungan memiliki beberapa biaya yang menyertainya, seperti melakukan kebiasaan menjengkelkan dan karakteristik lainnya.

Ketiga, yakni tingkat perbandingan. Hasil dari hubungan ini adalah perbandingan langsung dari imbalan dan biaya. Seseorang dapat menganggapnya sebagai suatu rumus matematika dimana hasil atau imbalan dikurangi biaya, seperti jika seseorang datang dengan angka negatif, hubungannya tidak dalam kondisi yang baik.

Gambar 1. Skema Teori Pertukaran Sosial Self

Disclosur e

Timbal Balik

Teori Pertukaran Sosial


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif. Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahnya (Moleong 2007). Fokus dalam penelitian ini adalah

self-disclosure (pengungkapan diri) pada tunadaksa. Untuk mendalami fokus

tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena pada penelitian ini dibutuhkan pengamatan terbuka guna menggambarkan dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu sehingga di dapatkan data yang mendalam secara deskriptif dan bukan prosedur analisis statistik berupa angka. Tujuan penelitian kualitatif pada umumnya mencangkup informasi tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, partisipan penelitian, dan lokasi penelitian (Cresswell, 2014).

Strategi yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini menggunakan strategi fenomenologi. Fenomenologi merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu dan mengharuskan peneliti untuk mengkaji subjek dengan terlibat secara langsung untuk mengembangkan pola dan relasi yang bermakna


(59)

(Moustakas, dalam Cresswell, 2014). Maka dalam konteks penelitian, fokus yang akan dikaji adalah bagaimana aspek dan faktor self-disclosure pada tunadaksa sehingga dalam keterbatasannya tetap mampu berprestasi.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian seperti wawancara dan dokumentasi.

Lokasi pengambilan data pada subjek pertama, yakni berada di Circle K Jl. Gubernur Suryo Surabaya. Significant other pertama yakni kekasih subjek pertama untuk pengambilan data juga berada di Circle K Jl. Gubernur Suryo Surabaya. Sedangkan untuk significant other kedua, yakni rekan kerja subjek pertama berada di Jl. Kedondong Kidul Gang 3 Surabaya.

Subjek kedua pengambilan data berlokasi di Universitas Negeri Surabaya Lidah Wetan. Untuk pengambilan data significant other subjek pertama yakni sahabatnya, juga berada di Universitas Negeri Surabaya Lidah Wetan.

Sedangkan untuk subjek ketiga dan significant other pertama yakni ibu subjek ketiga adalah di rumah subjek di Jl. Babadan Rukun 1 Surabaya. Serta

significant other kedua yakni rekan kerja subjek pertama berada di rumahnya,

yakni di Jl. Banyu Urip Jaya 4 Surabaya. Kemudian pengambilan data pelatih berada di SDN Klampis Ngasem 5, Jl. Manyar Tirtoyoso Selatan 1 Surabaya.


(60)

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain sebagainya (Lofland, dalam Moleong, 2007). Pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel diambil dengan kriteria-kriteria tertentu. Tujuannya adalah untuk merinci khususkan yang ada dalam ramuan konteks yang unik dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Moleong, 2007).

Maka penelitian ini mengambil subjek berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Adapun kriteria utama dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Seorang tunadaksa yang berusia dewasa dini.

Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Masa dewasa dini sebagai masa bermasalah, dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Pada masa ini juga mengalami perubahan dalam kelompok sosial. Keakraban antar teman yang ada pada masa remaja akan berlanjut ke masa dewasa. Jumlah teman akrab ini juga bergantung pada keterbukaan mereka dalam berbagai hal seperti minat, masalah, dan aspirasi (Hurlock, 2003). 2. Memiliki prestasi.


(61)

Adapun kriteria utama significant other adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kedekatan yang baik dengan subjek.

2. Telah mengetahui keseharian subjek.

Ada dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder (Bungin, 2001).

1. Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diambil dari sumber pertama subjek penelitian itu sendiri, yakni atlet tunadaksa di Surabaya. Data diambil dari hasil wawancara dan dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti selama proses penelitian. Pada penelitian ini menggunakan tiga subjek. Subjek pertama yang bernama O (nama inisial), seorang laki-laki berusia 21 tahun dan menyandang tundaksa kaki, dimana kaki kanannya tidak sempurna karena mengalami amputasi pasca kecelakaan. O adalah atlet sprinter atau lari jarak pendek dan bekerja freelance. Saat lomba O menggunakan egrang atau tongkat untuk membantunya berjalan.

Subjek kedua, yang bernama I (nama inisial), seorang laki-laki berusia 20 tahun dan menyandang tunadaksa tangan, dimana tangan kirinya tidak sempurna sejak lahir. I adalah atlet cabang olahraga lari, serta berprofesi sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya.

Subjek ketiga, bernama A (nama inisial), seorang laki-laki berusia 33 tahun dan menyandang tunadaksa tangan dimana tangan kirinya mengalami amputasi pasca kecelakaan. A adalah atlet lari dan berprofesi sebagai wiraswasta.


(62)

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data pendukung untuk significant other. Orang-orang yang menjadi sumber data sekunder adalah orang terdekat dari subjek utama. Subjek pertama adalah teman dekatnya. Subjek kedua adalah Ibunya dan subjek ketiga adalah pacar atau calon istrinya.

D. Cara Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian kualitatif dapat menggunakan beberapa teknik pengambilan data. Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara dan terwawancara (Moleong, 2007). Dalam wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face-to-face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan, mewawancarai dengan telepon, atau terlibat dalam fokus group interview (interview dalam kelompok tertentu) yang terdiri dari enam sampai delapan partisipan per kelompok. Wawancara-wawancara seperti ini tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat terbuka (open ended) yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan (Cresswell, 2014).

Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara untuk menggali data yang terkait dengan bagaimana pengungkapan diri yang


(63)

dilakukan oleh penyandang tunadaksa, aspek maupun faktor yang mendukung penyandang tunadaksa melakukan self-disclosure.

2. Dokumentasi

Menurut Creswell (2014) dokumentasi dapat digunakan untuk mengumpulkan dokumen publik yang berupa koran, majalah, diary dan surat, ataupun dokumen privat seperti buku harian, diary, surat, e-mail. Teknik pengambilan data dokumentasi dipilih untuk melengkapi dari penggunaan teknik wawancara, sehingga dalam penelitian ini akan mampu memperlihatkan bagaimana kegiatan dari atlet penyandang tunadaksa (atlet difabel) serta piagam dari prestasi yang pernah diraih.

Kedua teknik pengumpul data tersebut digunakan untuk menggali informasi dari subjek. Setelah mendapatkan data dari wawancara, kemudian dibuat transkip untuk dilakukan koding dan memberikan tema-tema yang sesuai dengan fokus penelitian.

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Creswell (2014) menjelaskan bahwa analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Langkah-langkah dalam analisis data adalah sebagai berikut:

1. Mengolah dan menginterpretasi data untuk dianalisis. Langkah ini melibatkan transkipsi wawancara, menscaning materi, mengetik data


(64)

lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis-jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.

2. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh.

3. Menganalisis lebih detail dengan menkoding data. Coding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya.

4. Terapkan proses koding untuk mendiskripsikan setting, orang-orang, kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.

5. Menunjukkan bagaimana diskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.

6. Menginterpretasi atau memaknai data.

Langkah-langkah tersebut akan diterapkan dalam penelitian ini. Data yang sudah didapat dari wawancara, kemudian dijadikan transkrip, dikoding, dan diberi tema sebagai hasil temuan dan setelah itu diinterpretasi data.

F. Keabsahan Data

Menurut Creswell (2010) validitas merupakan pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur-prosedur tertentu, sementara reliabilitas mengindikasikan bahwa pendekatan yang digunakan peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain. Ada delapan strategi validitas yang dapat digunakan, yaitu:


(65)

2. Menerapkan member checking untuk mengetahui akurasi hasil penelitian. 3. Membuat diskripsi yang kaya dan padat tentang hasil penelitian.

4. Mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti kedalam penelitian. 5. Menyajikan informasi yang berbeda atau negatif yang dapat memberikan

perlawanan pada tema-tema tertentu.

6. Memanfaatkan waktu yang relatif lama di lapangan penelitian.

7. Melakukan tanya jawab dengan sesama rekan peneliti untuk meningkatkan keakuratan hasil penelitian.

8. Mengajak seorang auditor untuk mereview keseluruhan proyek penelitian. Beberapa strategi tersebut tidak semua digunakan dalam penelitian ini. Peneliti hanya menggunakan salah satu strategi untuk memvalidasi data, yaitu dengan menggunakan strategi mentriangulasi (triangulate). Mentriangulasi merupakan sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas penelitian (Creswell 2010).

Menurut Moleong (2007), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang


(66)

berbeda (Patton, dalam Moleong, 2007). Hal itu dapat dicapai dengan jalan, sebagai berikut:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi peneliti, dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan. Uraian tersebut menjadi alasan peneliti dalam menggunakan strategi triangulasi, yakni lebih mudah untuk digunakan peneliti dalam memeriksa keabsahan data. Validasi data dengan triangulasi dalam penelitian melalui significant others.


(67)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek

1. Subjek Ke-1 (O, Atlet Sprinter)

Subjek pertama merupakan atlet sprinter atau lari jarak pendek, yang memulai karirnya sebagai atlet pada tahun 2006. Awal bergabung dengan BPOC (Badan Pembinaan Olahraga Cacat) yang sekarang menjadi NPC (National Paralympic Committee), bermula dari ajakan P salah satu anggota PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) yang juga menjadi pelatih di NPC. Saat masih SD, O tidak dapat mengikuti ujian praktik olahraga. O hanya berdiri di pinggir lapangan dan melihat teman-temannya jogging di lapangan KONI. Tiba-tiba P menhampirinya dan menanyakan kenapa O hanya diam. Setelah Irul mengetahui keadaan O, P menawarkan O untuk mengikuti olahraga khusus difabel. O berminat dan setiap minggunya P menjemput O untuk latihan. Keluarga juga mendukung O dengan seperti memberikan alat-alat olahraga dan sepatu khusus untuk lari. Ketika lomba, O menggunakan egrang atau tongkat. Banyak prestasi yang telah dicapai mulai dari tingkat Kota, tingkat antar Kota, dan tingkat Provinsi.

O lahir di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1994. O bertempat tinggal di jalan Kedondong Kidul Gang 4, Surabaya. O adalah anak laki-laki pertama dari tiga bersaudara, dua adiknya adalah perempuan. Tinggal bersama ke dua orang tua dan dua adik perempuannya. O menyandang


(68)

tunadaksa kaki dimana kaki kanannya diamputasi akibat kecelakaan motor di tol perbatasan Gresik – Surabaya, ketika O masih kelas 2 SD.

Pendidikan terakhir O adalah D1 jurusan desain grafis di perguruan tinggi swasta yaitu Institut Pembangunan Surabaya. Saat ini, O bekerja

freelance dalam bidang desain grafis yang membuat desain sesuai

pemesanan pelanggan seperti logo dan poster. O mengaku lebih suka bekerja sendiri, membuka usaha sendiri tanpa ikut orang lain. Pada tahun 2014, O pernah bekerja bersama-sama dengan para atlet difabel lainnya. Namun pada tahun 2015, O memilih untuk keluar karena merasa tidak nyaman dengan Ketua tempat dia bekerja.

Kegiatan lain yang diikuti oleh O yakni mengikuti komunitas Helm Lover Surabaya dan bergabung sejak bulan Mei 2016. Setiap minggunya komunitas tersebut mengadakan pertemuan. Helm yang dimiliki oleh O dan temannya di komunitas tersebut, harganya lebih mahal dari helm biasa, sampai O rela mengeluarkan uang banyak untuk kegemarannya tersebut. O pernah menjual helm yang dimilikinya dan mendapat keuntung dari hasil penjualannya karena motif pada permukaan helm yang langka. Setelah dijual, kemudian O membeli helm baru dengan harga yang lebih mahal. O bercerita ada keinginan untuk melakukan usaha di bidang penjualan helm tersebut.


(69)

2. Subjek ke-2 (I, Atlet Lari)

Subjek kedua merupakan atlet lari. I memulai karir sebagai atlet lari pada tahun 2012 ketika I masih menjadi pelajar SMA. Awal bergabung BPOC saat itu karena I bertemu dan mengobrol dengan Ketua NPC Surabaya yakni Pak Amin, yang kemudian mengajaknya bergabung bersama NPC. Pada akhirnya I bergabung dan mengikuti latihan dan perlombaan hingga berprestasi dalam bidang olahraga lari. Lomba pertama yang diikuti, I langsung meraih prestasi juara pertama lari 100 meter di lomba Paralympic tingkat pelajar se-Jawa Timur. Keluarga I mendukungnya menjadi atlet. Dukungan yang diberikan yakni seperti memberi izin I untuk latihan, mengikuti lomba, serta kebebasan tinggal di asrama untuk lomba agar I menjadi mandiri. Menurut I, para difabel biasanya dikekang oleh keluarga karena keterbatasan mereka tetapi tidak untuk keluarga I yang mendidiknya menjadi mandiri.

I lahir di Surabaya pada tanggal 11 Agustus 1996. I menyandang tunadaksa tangan dimana tangan kirinya tidak sempurna sejak lahir. Sekarang I adalah mahasiswa semester lima jurusan Pendidikan Luar Biasa di Universitas Negeri Surabaya. Keseharian I dihabiskan dengan kuliah, berkumpul dengan mahasiswa lain serta mengikuti organisasi HIMA (Himpunan Mahasiswa) di jurusannya. Sudah setahun lebih I bergabung di organisasi HIMA. Sejak kuliah I tidak tinggal bersama keluarganya, tetapi tinggal di Kos dekat kampus karena tempat kuliah yang jauh dari rumah.


(70)

3. Subjek ke-3 (A, Atlet Lari)

Subjek ketiga adalah atlet lari yang memulai karirnya sebagai atlet pada tahun 2003. A bergabung dengan BPOC karena bertemu P ketika A sedang bekerja di Samsat. P merekomendasikan A untuk bertemu dengan Ketua BPOC yakni Pak Kasmin. Dari Pak Kasmin, A dites kesehatan fisiknya dan lolos kemudian bergabung dengan BPOC pada tahun 2003. Banyak prestasi yang diraih oleh A, diantaranya Walikota Cup, di Situbondo, hingga juara berkelompok futsal dengan difabel lain. Selama ini keluarga mendukung A, yakni dengan memberikan semangat sebagai acuan A untuk lebih termotivasi serta berprestasi lagi.

A menyandang tunadaksa tangan dimana tangan kirinya harus diamutasi karena ketika masih kelas 5 SD, A terkena setrum kabel di loteng rumahnya. Saat ini A berumur 33 tahun, lahir di Kota Jember. A telah berkeluarga dan memiliki satu orang anak. Sekarang A tinggal bersama keluarganya yakni ibu, istri, anak, dan adiknya di jalan Babadan Rukun 1 RT 01 RW 02, Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan Surabaya. Riwayat pendidikan terakhir A adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Pekerjaan sehari-hari A yakni menawarkan jasa pembuatan STNK di Samsat Surabaya.


(1)

menciptakan kesan yang menarik dan ada yang tidak ingin mengambil resiko


(2)

BAB V PENUTUP A. SIMPULAN

Pada dimensi self-disclosure, yakni descriptive self-disclosure

subjek tunadaksa berisi informasi kurang pribadi atau fakta tentang diri

seperti tentang kegemaran dan kegiatan sehari-hari. Pengungkapan ini

ditujukan kepada orang biasa atau tidak dekat dengan subjek. Sedangkan

evaluative self-disclosure, berisi tentang informasi yang sifatnya pribadi seperti mengungkapkan masalah pekerjaan, perkuliahan dan keluarga yang

biasanya ditujukan kepada orang-orang terdekat.

Sedangkan faktor-faktor self-disclosure pada penyandang

tunadaksa menggambarkan bahwa faktor yang mendorong ketiga subjek

dalam mengungkapkan diri adalah budaya, gender, besar kelompok,

perasaan menyukai atau mempercaya, kepribadian dan usia. Keenam

faktor tersebut membuat subjek menjadi pribadi yang terbuka sehingga

dapat diterima oleh masyarakat dan mendapatkan timbal balik berupa

respon yang positif. Hal tersebut membuat subjek yang dengan

keterbatasannya mendapat dukungan untuk memiliki kesempatan yang


(3)

B. SARAN

Sebagai akhir dari laporan penelitian ini, akan disampaikan atau

direkomendasi yang ditujukan untuk:

1. Bagi penyandang difabel terutama tunadaksa agar percaya diri untuk

terbuka dengan lingkungannya meskipun memiliki keterbatasan,

karena dengan sikap seperti itu para penyandang disabilitas akan

terbiasa menghadapi masyarakat dan mampu berkembang dan belajar

banyak hal baru di lingkungan masyarakat. Sehingga akan memiliki

kesempatan yang sama dengan orang normal lainnya, yakni meraih

prestasi.

2. Bagi peneliti selanjutnya dengan tema yang sama, disarankan untuk

memperbanyak waktu penelitian dan menambahkan cara pengumpulan

data dengan menggunakan observasi. Sehingga mampu menjalin

pendekatan dengan subjek lebih baik lagi agar data yang didapatkan

lebih lengkap dan mendalam lagi. Untuk analisis temuan dengan

teori-teori psikologi agar lebih diperdalam agar hasil penelitian lebih


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agung, S. 2012. Penyesuaian Diri pada remaja Tunadaksa Bawaan. Jurnal

Penelitian Psikologi. Depok: Universitas Gunadarma

Aronson, E, Wilson, T.D, & Akert, R.M. 2007. Social Psychology Sixth Edition. New Jersey: Pearson Education

Ayyun, Q. 2010. Self Disclosure (Pengungkapan Diri) pada Remaja Pengguna

Facebook. Undergraduate Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya

Barak, A & Gluck-Ofri, O. 2007. Degree and Reciprocity of Self-Disclosure in Online Forums. Cyber Psychology & Behavior, Vol. 10, No. 3

Bungin. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial: Format-format Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press

Canisius, P. 2012. Cacat Bukan Halangan Bagi Saya untuk Hidup Normal. http://bruderfic.or.id/h-285/cacat-fisik-bukan-halangan-bagi-saya-untuk-hidup-normal.html. Diunduh pada tanggal 13 April 2016

Chaplin, J. P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Rajagrafindo

Creswell, J. N. 2014. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Derlega, V. J, Winstead, B.A, & Greene, K. 2008. Handbook of Relationship

Initiation. New York: Psychology Press

Durand, C. 2010. A Comparative Study of Self-Disclosure in Face-to-Face and

Email Communication Between Americans and Chinese. Senior Honors

Project, University of Rhode Island, Paper 197

Feist, J & Feist, G. 2012. Teori Kepribadian Edisi Tujuh. Jakarta: Salemba

Humanika

Gainau. 2009. Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa dalam Perspektif Budaya

dan Implikasinya Bagi Konseling. Jurnal Ilmiah Universitas Widya

Mandala Madiun, Vol. 33, No. 1

Gibson, M. F. 2012. Opening Up: Therapist Self-Disclosure in Theory, Reserch, and Practice. Clinical Social Work Journal, 40: 287-296

Harper & Harper. 2006. Understanding Student Self-Disclosure Typology Through Blogging. The Qualitative Report, Vol. 11, No. 2, 251-261


(5)

Hurlock, E. B. 2003. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Ifdil. 2013. Konsep Dasar Self Disclosure dan Pentingnya Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Pedagogi Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Vol. 13, No. 1

Ifdil. 2013. Konsep dasar Self Disclosure dan Pentingnya Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Vol. 13, No. 1 Joinson & Paine, 2007. The Oxford Handbook of Internet Psychology. New York:

Oxford University Press

Kartono & Gulo. 2000. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya

Malau, 2015. Kepercayaan Diri Jadi Modal Utama Penyandang Disabilitas.

http://wartakota.tribunnews.com/2015/12/02/kepercayaan-diri-jadi-modal-utama-penyandang-disabilitas. Diunduh pada tanggal 16 April 2016

Margiantari, S., Basuki, M. H., & Kana, A., G. 2012. Keterbukaan Diri pada

Janda Cerai yang Mencari Pasangan Melalui Internet. Jurnal Penelitian Psikologi. Depok: Universitas Gunadarma

Meilena, Tika & Suryanto. 2015. Self Disclosure, Perilaku Asertif dan

Kecenderungan Terhindar dari Tindakan Bullying. Persona, Jurnal

Psikologi Indonesia, Vol. 4, No. 2

Meleong, L. J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Murtie, A. 2014. Ensiklopedia Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Maxima

Muttaqien, M. I. 2013. Self Disclosure pada Remaja Difabel. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah

Ndoen, L. 2009. Pengungkapan Diri pada Mantan Narapidana. Jurnal Penelitian

Psikologi. Depok: Universitas Gunadarma

Penington, A. 2010. Disability Disclosure: A Literature Review. Journal of

Occupational Psychology, Employment and Disability, Vol. 12, No. 2 Pratiwi, W. E. 2015. Pengaruh Budaya Jawa dan Harga DIri Terhadap Asertivitas

Pada Remaja Siswa Kelas X Di SMA Negeri 3 Ponorogo. eJournal


(6)

Puspita & Alfian. 2012. Makna Hidup Penyandang Cacat Fisik Postnatal Karena

Kecelakaan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Vol. 1, No.

02. Surabaya: Universitas Airlangga.

Putri, A. L. 2016. DPR Resmi Tetapkan UU Disabilitas.

http://news.metrotvnews.com/read/2016/03/18/500455/dpr-resmi-tetapkan-uu-disabilitas. Diunduh pada tanggal 13 April 2016

Rini, Q. K. 2012. Kontribusi Self Disclosure pada Kepuasan Perkawinan Pria

Dewasa Awal. Jurnal Penelitian Psikologi. Depok: Universitas

Gunadarma

Rosadi, H. 2014. Tinggi 70 Centimeter, Juara Nasional Desain Grafis. http://www.indopos.co.id/2014/01/tinggi-70-centimeter-juara-nasional-desain-grafis.html. Diunduh pada tanggal 13 April 2016

Santoso, H. 2012. Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus.

Yogyakarta: Gaosyen Publishing

Sears, D. O. 2001. Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Setiawati, D. 2012. Efektivitas Model KNAP untuk Meningkatkan Keterbukaan

Diri Siswa SMA. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Vol. 13,

No. 01

Smart, A. 2014. Anak Cacat Bukan Kiamat. Yogyakarta: KATAHATI

Tokic & Pecnik. 2012. Parental Behaviors Related to Adolescents Self-Disclosure:

Adolescents Views. Journal of Social and Personal Relationship, 28(2),

201-222

Wink. 2012. Biografi Nick Vujicic. http://www.biografiku.com/2012/02/biografi-nick-vujicic-bukti-tuhan-maha.html. Diunduh pada tanggal 13 April 2016

Ya’kup. 2016. UU Disabilitas Makin Lindungi Penyandang Disabilitas.

http://www.antaranews.com/berita/550908/uu-disabilitas-makin-lindungi-penyandang-disabilitas. Diunduh pada tanggal 13 April 2016

Zainab, S. 2013. Self Disclosure Orang Tua yang Mempunyai Anak Autis.