PSYCHOLOGICAL CAPITAL ANAK PENYANDANG TUNADAKSA AKIBAT KECELAKAAN.

(1)

PSYCHOLOGICAL CAPITAL ANAK PENYANDANG TUNADAKSA AKIBAT KECELAKAAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Maritsa Qonitatunniswah B77211104

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016 


(2)

PSYCHOLOGICAL CAPITAL ANAK PENYANDANG TUNADAKSA AKIBAT KECELAKAAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Maritsa Qonitatunniswah B77211104

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN


(3)

(4)

(5)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui psychological capital anak penyandang tunadaksa akibat kecelakaan. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan strategi studi kasus yang datanya diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi serta beberapa dokumen pendukung. Untuk memastikan keabsahan data, digunakan triangulasi sumber, triangulasi metode, dan referensi. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang siswa laki-laki berusia 12 tahun yang pernah mengalami kecelakaan hebat dan operasi amputasi di usia 9 tahun. Subjek yang semula tertekan dan stres usai kecelakaan, kini memiliki psychological capital atau modal psikologis yang dapat menumbuhkembangkan pribadinya. Dengan Hope (harapan), Optimism (optimisme), Resilience (resiliensi), dan Self-Efficacy (kepercayaan diri) sebagai keadaan psikologi positif, subjek mampu bangkit dari keterpurukan pasca kecelakaan serta operasi amputasi.


(6)

ABSTRACT

This study aims to determine the psychological capital of physically disabled child due to an accident. The research was conducted using qualitative method with case study strategy that the data obtained through interviews, observations, and some supporting documents. To ensure the validity of data used source triangulation, method triangulation, and reference. The subject of this study was a male student aged 12 years old who had experienced a severe accident and amputation at the age of 9 years old. The subject who was initially depressed and stressed after the accident, now has a psychological capital to develop his personality. With Hope, Optimism, Resilience, and Self-efficacy as a state of positive psychology, the subject is able to rise from adversity after the accident and amputation.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhaanahuu wa Ta’ala yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga penyusun mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah meneladankan sikap ulet dan sabar sehingga penyusun dapat menuntaskan skripsi ini dengan baik.

Terselesaikannya skripsi ini bukan hanya atas jerih peluh dan panjatan doa penyusun, melainkan juga atas bantuan dan kemurahan hati berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Abd A’la, MA. selaku Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya 2. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Sholeh, M. Pd, PNI, selaku Dekan Fakultas

Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya. 3. Ibu Rizma Fitri, M. Psi. selaku Kepala Jurusan Psikologi.

4. Ibu Dr. Suryani, S. Ag., S. Psi., M. Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi. 5. Bapak Lucky Abrorry, M. Psi. selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

6. Ibu Soffy Balgies, M. Psi. selaku Dosen Wali Studi.

7. Orang tua, adik-adik, dan teman-teman Program Studi Psikologi yang selalu memotivasi penyusun untuk menyelesaikan skripsi ini.

Tiada imbalan yang dapat penyusun berikan, kecuali hanya do’a semoga Allah Subhaanahuu wa Ta’ala memberikan balasan yang lebih baik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini tidak lain karena keterbatasan kemampuan penyusun. Sebab itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga skripsi ini menjadi lebih sempurna adanya. Demikian semoga dapat memberikan manfaat.

Surabaya, 19 Januari 2016 Penyusun 


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

HALAMAN PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

INTISARI x

ABSTRACT xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian 1

B. Fokus Penelitian 7

C. Tujuan Penelitian 7

D. Manfaat Penelitian 8

E. Keaslian Penelitian 8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Psychological Capital 12

1. Pengertian Psychological Capital 12

2. Dimensi Psychological Capital 13

3. Cara Mengembangkan Psychological Capital 18 4. Kriteria Psychological Capital yang baik 21

B. Tunadaksa 22

1. Pengertian Tunadaksa 22

2. Klasifikasi Tunadaksa 23

3. Ciri-ciri Tunadaksa 26

4. Faktor Penyebab Tunadaksa 27

5. Perkembangan Anak Tunadaksa 30

6. Penyesuaian Sosial Anak Tunadaksa 32

7. Rehabilitasi Anak Tunadaksa 35

8. Pendidikan Anak Tunadaksa 37

C. Perspektif Teoritis 40

BAB III METODEPENELITIAN

A. Jenis Penelitian 43

B. Lokasi Penelitian 43

C. Sumber Data 43

D. Cara Pengumpulan Data 44

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data 45

F. Keabsahan Data 45


(9)

B. Hasil Penelitian 50

1. Deskripsi Hasil Temuan 50

2. Analisis Temuan Penelitian 74

C. Pembahasan 82

BAB V PENUTUP

A. Simpulan 86

B. Saran 86

DAFTAR PUSTAKA 87


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Informan Pendukung (Significant others) 44 Tabel 2 Jadwal Kegiatan Observasi dan Wawancara 49


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Psychological capital anak penyandang tunadaksa akibat


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara 90

Lampiran 2 Ringkasan Kodifikasi Transkrip 93

Lampiran 3 Transkrip Wawancara Partisipatif Subjek (Bagian 1) 95 Lampiran 4 Transkrip Wawancara Partisipatif Subjek (Bagian 2) 115 Lampiran 5 Transkrip Wawancara Partisipatif Informan 1 (Signif. Other) 119 Lampiran 6 Transkrip Wawancara Partisipatif Informan 2 (Signif. Other) 137 Lampiran 7 Transkrip Wawancara Partisipatif Informan 3 (Signif. Other) 152 Lampiran 8 Transkrip Wawancara Partisipatif Informan 4 (Signif. Other) 170 Lampiran 9 Transkrip Observasi Subjek (Bagian 1) 176 Lampiran 10 Transkrip Observasi Subjek (Bagian 2) 178  


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya. Fisik dan performa yang utuh beserta hati yang bersih serta akal yang sehat adalah sebuah susunan lengkap dari-Nya untuk menjadikan manusia sebagai sosok bernilai yang penuh makna dan bermanfaat bagi lingkungannya, serta untuk menjalankan titah dari-Nya untuk beribadah kepada-Nya dan beramanah sebagai khalifah di bumi.

Terlahir dan bertumbuh dengan tubuh yang sehat sempurna, tentu menjadi dambaan setiap insan. Namun ada sebagian di antara mereka yang tidak dapat memperoleh hal itu lantaran memiliki keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari, seperti kecacatan atau kelainan pada fisiknya yang secara umum dikenal sebagai tunadaksa. Istilah tunadaksa berasal dari kata tuna yang berarti kurang dan daksa yang artinya tubuh. Sehingga dapat dikatakan bahwa tunadaksa adalah cacat tubuh atau tuna fisik (Virlia & Wijaya, 2015: 372).

Tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang memiliki kelainan fisik. Khususnya anggota badan seperti tangan, kaki, atau bentuk tubuh (Smart, 2012: 44). Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasi mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami


(14)

2

kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka atau pertumbuhan salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan (Efendi, 2009: 114).

Frances G. Koening (dalam Soemantri, 2006: 123) menjelaskan bahwa tunadaksa dapat disebabkan oleh beberapa hal yakni: 1) kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan; 2) kerusakan pada waktu kelahiran; 3) infeksi; 4) kondisi traumatik atau kerusakan traumatik; 5) tumor.

Tunadaksa atau tuna fisik tersebut mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Namun tidak semua anak tunadaksa memiliki keterbelakangan mental. Malah ada yang memiliki kemampuan daya pikir lebih tinggi dibandingkan anak normal pada umumnya. Bahkan tak jarang kelainan yang dialami oleh penyandang tunadaksa tidak membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa dan pertumbuhan fisik serta kepribadiannya. Demikian pula ada di antara anak tunadaksa hanya mengalami sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan sebagaimana anak normal lainnya (Smart, 2012: 44).

.Perbedaan kondisi tuna daksa tersebut menjadikan Djaja Rahaja (dalam Smart, 2012: 45-46) membagi tunadaksa menjadi dua golongan. Golongan pertama yakni tunadaksa murni, dimana golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, poliomylitis serta cacat ortopedis lainnya. Golongan yang kedua adalah golongan tunadaksa


(15)

3

kombinasi, golongan ini masih ada yang normal, namun kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebral palsy. Sedangkan pendapat lain mengatakan tunadaksa digolongkan menjadi tiga, yaitu tunadaksa taraf ringan, taraf sedang, dan taraf berat.

Di Indonesia, jumlah penyandang disabilitas cukup banyak. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN) Kementrian Sosial tahun 2010, tercatat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 11.580.117 orang dengan perincian tunanetra berjumlah 3.474.035 orang, tunadaksa berjumlah 3.010.830 orang, tunarungu berjumlah 2.547,626 orang, tunagrahita 1.389.614 orang, dan penyandang disabilitas kronis berjumlah 1.158.012. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat seiiring bertambahnya angka kecelakaan setiap tahun (Virlia & Wijaya, 2015)

Jumlah yang cukup besar tersebut tentu membutuhkan perhatian tersendiri dari pemerintah maupun masyarakat. Sebab meski berbeda kemampuan fisiknya, namun pada dasarnya antara anak normal dan tunadaksa memilki peluang yang sama untuk melakukan aktualisasi diri. Hanya saja, banyak orang yang meragukan kemampuan anak tunadaksa. Perasaan yang iba berlebihan selalu membuat seseorang tidak mengizinkan anak tunadaksa melakukan kegiatan fisik sehingga eksistensinya sering terganggu (Smart, 2012: 45). Di samping itu, anak tunadaksa juga sering kali tidak dapat mengoptimalkan kemampuan diri lantaran timbul konflik psikologis dalam dirinya atas potensi fisik yang tidak utuh, misalnya kepercayaan diri dan harga diri (Anggraini, 2012). Atau dengan kata lain


(16)

4

penyandang tunadaksa memiliki kerentanan lebih besar untuk memiliki self-esteem yang rendah (Karyanta, 2013). Terlebih apabila lingkungan menganggap anak tunadaksa tidak berguna (Anggraini, 2012).

Menurut Feist & Feist (dalam Virlia & Wijaya, 2015), kekurangan yang terdapat pada salah satu bagian tubuh individu dapat mempengaruhi individu tersebut secara keseluruhan. Penyandang tunadaksa bila dibandingkan dengan ketunaan yang lain lebih mudah dikenali karena ketunaannya tampak secara jelas dan penyandang pun menyadari hal tersebut. Ketunaan ini menyebabkan penyandangnya dapat merasa bukan manusia yang utuh dan berbeda dengan individu lain yang bukan tunadaksa. Hal ini dapat menyebabkan mereka tidak dapat mengembangkan potensi dan kemampuannya (Tentama, 2012).

Walau banyak penyandang disabilitas yang merasa demikian dan kurang mampu mengembangkan diri, namun banyak pula tokoh yang dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal meski memiliki keterbatasan fisik, seperti Nick Vujinic (motivator tampan yang tidak memiliki tangan dan kaki), Hee Ah Lee (pianis asal Korea yang hanya memiliki dua jari di tangan kanan dan dua jari di tangan kiri, serta kaki hingga lutut saja), Sano Ami (motivator, asisten radio FM, serta cheerleader tanpa tangan dan hanya memiliki kaki kiri dengan tiga jari), Lena Maria (atlet renang, penyanyi, dan pelukis dengan kaki kiri lebih kecil dari ukuran normal serta tidak memiliki lengan), dan Ammar Bugis (profesor di bidang jurnalistik dan hafidz 30 juz Al Qur’an yang tubuhnya lumpuh total kecuali mata dan mulut).


(17)

5

Kesemua tokoh tersebut merupakan tunadaksa yang mampu menjadikan keterbatasannya sebagai sesuatu yang patut tetap disyukuri dan tidak menjadikannya sebagai hambatan mengeksplorasi bakat diri. Dengan segala aktivitas dan ketercapaiannya, mereka menjadi bukti nyata betapa seorang manusia, dengan keterbatasan fisik sekalipun, dapat meraih segala prestasi jika dia sendiri rela mengorbankan waktu dan tenaga untuk berjuang keras meraih kesuksesan itu. Mereka terbukti telah menjadi pemenang bagi diri mereka sendiri, serta bagi kebanyakan orang yang memandang sebelah mata para penyandang tunadaksa. Kisah hidup mereka telah menggambarkan betapa optimisme, harapan, kepercayaan diri, dan resiliensi (kemampuan bertahan) berpengaruh terhadap keberhasilan tunadaksa.

Keempat hal yang merupakan bagian dari modal psikologis atau psychological capital ini banyak ditelaah akhir-akhir ini dan diketahui sebagai faktor yang memiliki banyak dampak positif terhadap individu maupun organisasi (Brandt, Gomes, & Boyanova, 2010: 270), termasuk juga kepada siswa utamanya yang sedang mengalami situasi merugikan (Riolli, Savicki, & Richards, 2012). Bahkan Psychological Capital yang merupakan pendekatan positif proaktif ini dapat pula mencegah masalah perilaku pada siswa (Flay, 2002).

Bagi seorang anak usia sekolah (6-12 tahun) beragam situasi dan kondisi, baik pada diri pribadinya ataupun lingkungannya tentu teramat berpengaruh pada dirinya. Sebab pada usia ini anak sedang belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan (Hurlock, 1978). Oleh sebab itu


(18)

6

dibutuhkan modal psikologis yang baik dalam dirinya untuk menyikapi berbagai situasi yang dihadapi, termasuk situasi yang kurang menyenangkan. (Riolli, Savicki, & Richards, 2012)

Setiap orang di dunia ini tentu pernah mengalami situasi yang kurang menyenangkan. Begitupun dengan TZ (bukan nama sebenarnya). Bocah usia 12 tahun yang merupakan siswa sebuah Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) kelas tujuh (VII) ini pernah mengalami kecelakaan hebat saat duduk di bangku kelas empat (IV) SD atau ketika berusia 9 tahun. Kecelakaan tersebut menyebabkan dia harus merelakan kaki kirinya untuk diamputasi. Kecelakaan itu merupakan kejadian tak terduga yang mendadak mengubah diri TZ dari yang semula merupakan anak normal berfisik sempurna menjadi penyandang tunadaksa. Meski begitu, semangatnya untuk dapat terus bersekolah dan mengaktualisasikan diri teramat luar biasa. Tak ada raut sedih di wajahnya jika kita menemuinya. Bahkan tatkala teman-temannya merasa iba, TZ malah menunjukkan ketabahan luar biasa atas ujian yang menimpanya.

Dengan kruk di tangan dan bertumpu pada kaki kanan untuk dapat melangkah, TZ tetap berusaha dengan lincah mengikuti segala aktivitas pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas sehingga prestasi belajarnya pun memuaskan. TZ juga tidak pernah absen dari berbagai kegiatan olahraga, terutama sepak bola dan berenang. Dengan tubuh yang tidak lagi sempurna, TZ tetap mampu bermain bola dengan baik dan berenang dengan cepat mengungguli teman-temannya. Di hadapan khalayak ramai, TZ juga tak


(19)

7

jarang dengan penuh percaya diri tampil bersama tim nasyid sekolahnya untuk menyanyikan beberapa buah lagu. Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya kini, TZ tak pernah menunjukkan rasa malu dan minder sehingga teman-temannya pun tak ada yang menjauhinya dan tetap senang bermain serta belajar bersamanya.

Bagaimana psychological capital atau modal psikologis anak tunadaksa tersebut sehingga dapat menghadapi situasi kurang menyenangkan yang terjadi pada dirinya, merupakan hal yang menarik perhatian peneliti untuk dikaji secara lebih mendalam. Hal-hal yang telah diuraikan di atas mendorong peneliti untuk mengambil judul penelitian “Psychological Capital Anak Penyandang Tunadaksa Akibat Kecelakaan”

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka persoalan yang menjadi fokus penelitian ini yakni bagaimana psychological capital anak penyandang tunadaksa akibat kecelakaan?

C. Tujuan Penelitian

Ditinjau dari fokus masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yakni untuk mengetahui psychological capital anak penyandang tunadaksa akibat kecelakaan.


(20)

8

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian yang merupakan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu psikologi pada khususnya, maupun masyarakat luas pada umumnya terkait gambaran psychological capital anak tunadaksa akibat kecelakaan.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat sebagai komunitas sosial serta sekolah sebagai instansi pendidikan agar memahami psychological capital anak tunadaksa sehingga dapat dilakukan tindakan prevalensi. Di samping itu dengan mengetahui psychological capital anak tunadaksa diharapkan masyarakat yang berfisik normal lebih termotivasi untuk mengembangkan psychological capital pada dirinya.

E. Keaslian Penelitian

Pentingnya memahami penyandang tunadaksa secara lebih mendalam menjadikan banyak ilmuwan dan akademisi melakukan penelitian terhadap penyandang tunadaksa.

Salah seorang yang meneliti tunadaksa yakni Agung (2009). Dalam sebuah penelitiannya yang dilakukan terhadap seorang pria berusia kurang lebih 18 tahun yang mengalami kecacatan fisik (Tunadaksa) bawaan, dia menemukan bahwa remaja tunadaksa pada umumnya mampu menyesuaikan diri dengan baik. Penyesuaian diri pada subjek dapat dilihat dalam beberapa


(21)

9

hal diantaranya, subjek mencoba untuk belajar bersikap mandiri, subjek berusaha membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu seperti orang normal pada umumnya, subjek menganggap apa yang dialaminya merupakan sebuah cobaan yang Tuhan berikan, serta menganggap sesuatu yang diciptakan oleh-Nya tidak ada yang sia-sia, kasih sayang dan perhatian yang keluarga berikan kepada subjek membuat dirinya merasa nyaman serta aman dan mampu menghadapi kekurangan yang terjadi pada fisiknya, dan subjek selalu menjaga hubungan dengan teman-temannya agar tidak terjadi perselisihan dengan cara bercanda.

Kusumawardhani, Hartati, & Setyawan (2010) juga melakukan penelitian terhadap tunadaksa dengan meninjau hubungan kemandirian dengan adversity intelligence pada 40 remaja tunadaksa berusia 12-15 tahun di SLB-D YPAC Surakarta. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa ada hubungan positif antara adversity intelligence dengan kemandirian.

Dalam studi teoritisnya, Karyanta (2013) menelaah secara mendalam self-esteem pada penyandang tunadaksa. Dalam penelitiannya, dia menemukan bahwa penyandang tunadaksa memiliki kerentanan lebih besar untuk memiliki self esteem yang rendah, sedangkan self-esteem memiliki kaitan yang erat dengan kebahagiaan seseorang. Oleh karena itu diperlukan kajian dan tindakan lebih lanjut untuk mengembangkan self-esteem tunadaksa sehingga mereka dapat lebih produktif dan bahagia.

Selain terkait penyesuaian diri, kemandirian, adversity intelligence, dan self-esteem, penelitian terhadap penerimaan diri tunadaksa juga telah


(22)

10

dilakukan. Virlia & Wijaya (2015) menemukan bahwa penerimaan diri yang dilalui oleh tunadaksa tidaklah mudah dan dipengaruhi oleh faktor internal (seperti perasaan rendah diri atau inferior, tidak berdaya, kurang percaya diri, dan sebagainya) serta faktor eksternal (seperti dukungan keluarga, stigma dan diskriminasi dari lingkungan, dan sebagainya).

Tak hanya pada penyandang tunadaksa bawaan, penelitian juga ada yang dilakukan terhadap penyandang tunadaksa postnatal karena kecelakaan. Hal ini sebagaimana dilakukan Puspasari & Alfian (2012) yang menelaah makna hidup tiga orang penyandang cacat fisik postnatal setelah mengalami kecelakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para subjek menemukan makna hidupnya dalam menghadapi peristiwa kecelakaan yang menimpanya dengan cara menganggap bahwa peristiwa yang terjadi adalah murni kecelakaan yang merupakan musibah di luar kendali manusia. Hal tersebut yang kemudian menjadikan subjek dapat menerima kondisinya dengan pasrah dan menerima apa adanya.

Sedangkan penelitian terkait Psychologycal Capital, banyak dilakukan pada bidang psikologi industri dan organisasi. Sebagaimana yang dilakukan Malik (2013) yang meneliti empat komponen Psychologycal Capital di tempat kerja. Begitu pula dengan Dewi (2013) yang meneliti pengaruh modal psikologis (psychologycal capital), karakteristik entrepreneur, inovasi, manajemen SDM, dan karakteristik UKM terhadap perkembangan usaha pedagang di pasar tradisional yang menemukan bahwa baik secara parsial maupun simultan faktor di atas berpengaruh positif terhadap perkembangan


(23)

11

usaha pedagang. Di samping itu, masih terdapat banyak lagi penelitian terkait PsyCap di bidang industrial dan organisasi.

Di bidang pendidikan, Psychologycal Capital pernah diteliti oleh beberapa ahli. Salah satunya adalah Riolli, Savicki, & Richards (2012) yang meneliti Psychologycal Capital sebagai penahan dampak stres siswa. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa PsyCap membangun efek psikologis yang positif pada berbagai situasi siswa, khususnya dapat berdampak mengurangi stres yang dialami siswa.

Begitupun dengan penelitian Flay (2002) yang menemukan bahwa pendekatan positif seperti psychological capital dapat mencegah masalah perilaku pada siswa dan perkembangan yang positif pada siswa membutuhkan hal-hal positif yang komprehensif.

Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Belum peneliti temukan adanya penelitian terdahulu yang secara gamblang mengaji psychological capital tunadaksa. Sehingga fokus penelitian ini berbeda dengan yang terdahulu. Selain itu, subjek dan tempat penelitian yang digunakan juga berbeda.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Psychological Capital

1. Pengertian Psychological Capital

Psychological capital atau modal psikologis secara singkat telah disebutkan dalam berbagai karya tentang ekonomi, investasi, dan sosiologi, namun istilah PsyCap dalam bidang psikologi positif cenderung baru (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004).

Hal ini dimulai beberapa tahun yang lalu ketika psikolog Martin Seligman melakukan penelitian yang menantang lapangan untuk mengubah dari keasyikan dengan apa yang salah dan disfungsional pada orang-orang, dengan apa yang benar dan baik tentang mereka. Secara khusus, berfokus pada kekuatan daripada kelemahan, kesehatan dan vitalitas, bukan penyakit dan patologi. Dalam buku terbarunya yang berjudul Authentic Happiness, Seligman (2002) pertama mengajukan pertanyaan “apakah ada modal psikologis?”, “dan jika demikian, apa itu?”, “dan bagaimana kita mendapatkannya?”. Melalui pertanyaan tersebut dia menunjukkan bahwa "ketika kita terlibat (hanyut dalam aliran), mungkin kita berinvestasi, membangun modal psikologi untuk masa depan kita" (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004).

Psychological capital berbeda halnya dengan modal ekonomi tradisional (traditional economic capital), modal manusia (human


(25)

13   

capital), dan modal sosial (social capital). Modal ekonomi tradisional mencakup keuangan dan aset berwujud. Modal manusia mencakup pengalaman, pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan ide-ide. Modal sosial menekankan hubungan, jaringan kontak, dan pertemanan. Sedangkan Modal psikologis (Psychological capital) yang positif menekankan pada kepercayaan, harapan, optimisme, dan ketahanan (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004).

Psychological capital atau Modal psikologis ini menyangkut tentang ‘siapa Anda’, dan lebih penting lagi, 'siapa Anda menjadi'. Modal psikologis didefinisikan di sini sebagai "keadaan psikologis yang positif pada diri individu yang ditandai dengan: 1) memiliki kepercayaan (self-efficacy) untuk mengambil dan meletakkan upaya yang diperlukan untuk sukses dalam tugas yang menantang; 2) membuat atribusi positif (optimisme) tentang sukses sekarang dan di masa depan; 3) tekun menggapai tujuan dan bila perlu, mengarahkan jalan agar tujuan (harapan) berhasil; dan 4) ketika dilanda masalah dan kesulitan, mempertahankan dan melenting kembali untuk mencapai keberhasilan” (Luthans, dkk, 2007).

2. Dimensi Psychological Capital

Terdapat empat dimensi dalam psychological capital yang biasa disingkat menjadi HORE, yakni Hope, Optimism, Resilience, dan


(26)

14   

Efficacy. Menurut Luthans (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) keempat dimensi tersebut diperinci dalam uraian berikut:

a. Hope (Harapan)

Hope atau harapan adalah sesuatu yang tampak sebagai emosi, meski juga berkaitan dengan komponen kognitif. Hope secara ringkas dapat diterjemahkan sebagai suatu emosi yang berakar pada pengalaman terdahulu dan dipengaruhi oleh faktor eksternal serta kontrol keyakinan kolaboratif. Harapan juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mampu memotivasi tindakan dan mempengaruhi pikiran serta perilaku (Mclenon, dkk, 1997).

Dalam psikologi positif, hope atau harapan diidentifikasikan sebagai sebuah gaya pengaktif yang memungkinkan orang-orang, meski sedang menghadapi banyak sekali hambatan, untuk membayangkan masa depan yang menjanjikan dan untuk mengatur serta mengejar target (Helland & Winston, 2005).

b. Optimism (Optimisme)

Optimisme adalah suatu tendensi atau kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menguntungkan (Srivastava & Angelo, 2009). Menggunakan kalimat berbeda Scheier dan Carver (dalam Mclenon, dkk, 1997) menggambarkan optimisme sebagai keyakinan umum dengan hasil yang baik. Dengan kata lain, optimisme mengharapkan hal-hal untuk berlangsung sebagaimana seharusnya.


(27)

15   

Optimisme ini berkaitan dengan kekuatan ego dan pengendalian internal.

c. Resilience (Resiliensi)

Resiliensi (daya lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi (Desmita, 2009: 201).

Individu yang memiliki daya resiliensi akan cenderung membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Maksudnya yaitu bahwa resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan pada kondisi stres hebat. Stres hebat merupakan kondisi dimana individu berada di bawah tekanan besar baginya. Contohnya bisa berupa bencana alam, perceraian orang tua, trauma, kehilangan orang yang disayangi dan lain sebagainya.

Meskipun resiliensi merupakan daya bertahan dalam situasi yang stressfull, tidak berarti bahwa resiliensi merupakan suatu sifat atau traits melainkan lebih merupakan suatu proses (process) dan menurut


(28)

16   

Werner & Smith (dalam Desmita, 2009: 201), resiliensi dapat dipelajari.

Coutu (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan bahwa seorang yang resilien dikenali sebagai sebagai seorang yang: 1) tabah menerima kenyataan; 2) berkeyakinan penuh, sering kali ditopang oleh nilai-nilai yang digenggam kuat, bahwa hidup itu penuh arti; 3) berkemampuan luar biasa untuk berbuat seadanya dan beradaptasi terhadap perubahan yang signifikan.

Sedangkan menurut Wolins (dalam Desmita, 2009: 202), individu yang resilien memiliki tujuh karakteristik sebagai berikut:

1) Initiative (inisiatif), yang terlihat dari upaya mereka melakukan eksplorasi terhadap lingkungan mereka dan kemampuan individual untuk mengambil peran/ bertindak.

2) Independence (independen), yang terlihat dari kemampuan seseorang menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi dalam bertindak.

3) Insight (berwawasan), yang terlihat dari kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau bagi orang dewasa ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan menganalisis mengapa ia salah.

4) Relationship (hubungan), yang terlihat dari upaya seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.


(29)

17   

5) Humor (humor), yang terlihat dari kemampuan seseorang mengungkapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan atau mencairkan suasana kebekuan.

6) Creativity (kreativitas), yang ditunjukkan melalui permainan-permainan kreatif dan pengungkapan diri.

7) Morality (moralitas), yang ditunjukkan dengan pertimbangan seseorang tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan bertindak dengan integritas.

d. Self-Efficacy (Kepercayaan Diri)

Self-Efficacy atau yang secara umum disebut confidence secara bahasa berarti kepercayaan diri. Stajkovic & Luthans (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, sumber kognitif, dan metode kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan dengan sukses sebuah tugas tertentu dalam sebuah konteks yang telah diberikan.

Dalam teori sosialnya, Bandura (dalam Malik, 2013) menjelaskan self-efficacy sebagai kepercayaan seseorang terhadap kapabilitas dirinya untuk melakukan suatu tugas yang spesifik. Self-efficacy ini memiliki tiga dimensi, yakni: 1) Magnitude (ukuran besarnya), terkait level kesulitan tugas yang seseorang percayai dapat merealisasikan; 2) Strength (kekuatan), mengacu pada apakah keyakinan terhadap


(30)

18   

magnitude kuat atau lemah; dan Generality (keumuman) menunjukkan atau mengindikasikan bagaimana tingkat pengharapan digeneralisasikan pada berbagai situasi.

3. Cara Mengembangkan Psychological Capital

Psychological capital atau modal psikologis seseorang dapat dikembangkan dan ditingkatkan berdasarkan masing-masing dimensinya.

a. Hope

Snyder, Luthans & Jensen (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menyampaikan cara mengembangkan harapan (hope) sebagai berikut:

1) Mengatur dan menglarifikasi target pribadi dan organisasi yang spesifik dan menantang.

2) Melakukan “metode langkah” untuk memecah target menjadi sub-langkah yang dapat diatur sehingga dapat menandai peningkatan dan membuat pengalaman langsung terkait setidaknya kemenangan dan kesuksesan kecil.

3) Mengembangkan setidaknya satu alternatif atau jalan kemungkinan untuk target yang telah disusun dengan disertai rencana tindakan.

4) Akui kesenangan dalam proses bekerja untuk menggapai target, dan jangan hanya fokus pada pencapaian akhir.


(31)

19   

5) Bersiap dan bersedialah untuk menekuni rintangan dan permasalahan.

6) Bersiap dan terampil mengetahui kapan dan jalan alternatif mana yang bisa dipilih ketika rute utama menuju pencapaian target tidak lagi dapat dilakukan atau tidak lagi produktif.

7) Bersiap dan pintar dalam mengetahui kapan dan bagaimana menarget kembali untuk menghindari jebakan atau harapan yang salah.

b. Optimism

Untuk mengembangkan optimisme, Schulman (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan langkah-langkah berikut: 1) Identifikasi keyakinan menaklukkan diri ketika dihadapkan pada

sebuah tantangan.

2) Evaluasi keakuratan keyakinan.

3) Sekali keyakinan yang tidak berfungsi secara normal tereduksi, ganti dengan keyakinan yang lebih membangun dan akurat yang telah dikembangkan.

c. Resiliency

Reivich & Shatte (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan cara pengembangan resiliensi dengan tahapan berikut:


(32)

20   

1) Hindari jebakan pemikiran negatif ketika suatu hal mulai memburuk.

2) Uji keakuratan keyakinan terhadap permasalahan dan bagaimana mencari solusi jitu.

3) Tetapkan ketenangan dan kefokusan ketika emosi dan stres menyerbu.

d. Self-Efficacy atau Confidence

Self-efficacy atau kepercayaan diri dapat dikembangkan dengan memperhatikan pendekatan yang disusun Bandura (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) sebagai berikut:

1) Pengalaman ahli atau pencapaian performa.

Hal ini sangat potensial untuk mengembangkan kepercayaan diri karena melibatkan informasi langsung terkait sukses. Bagaimanapun, pencapaian tidak secara langsung membangun kepercayaan diri. Proses situasional, seperti tugas yang kompleks, dan proses kognitif, seperti persepsi terhadap kemampuan seseorang, sama-sama berpengaruh terhadap perkembangan percaya diri.

2) Pengalaman atas nama orang lain atau memperagakan

Jika seseorang melihat orang lain seperti diri mereka berhasil dengan usaha yang dipertahankan, mereka akan mulai


(33)

21   

percaya bahwa diri mereka juga memiliki kapasitas untuk berhasil.

3) Persuasi sosial

Seorang individu yang kompeten dapat membantu mengembangkan kepercayaan diri orang lain dengan mempersuasi atau meyakinkan.

4) Rangsangan atau motivasi fisik dan psikis

Orang-orang sering kali bergantung pada apa yang mereka rasakan, baik secara fisik maupun psikis, untuk mengukur kapabilitas mereka. Bagaimanapun, kondisi fisik dan mental yang sempurna dapat menyebabkan tumbuhnya kepercayaan diri .

4. Kriteria Psychological Capital yang Baik

Untuk mengetahui apakah subjek memiliki psychological capital yang baik, terdapat kriteria yang dijadikan acuan yakni: 1) Percaya diri, terdiri dari sifat yakin, mandiri, individualitas, optimisme, kepemimpinan, dan dinamis; 2) Originalitas, terdiri dari sifat inovatif, kreatif, mampu mengatasi masalah baru, inisiatif, mampu mengerjakan banyak hal dengan baik, dan memiliki pengetahuan; 3) Berorientasi manusia, terdiri dari sifat suka bergaul dengan orang lain, fleksibel, responsif terhadap saran/ kritik; 4) Berorientasi hasil kerja, terdiri dari sifat ingin berprestasi, teguh, tekun, penuh semangat; 5) Berorientasi masa depan, terdiri dari sifat visioner dan memiliki persepsi yang tajam;


(34)

22   

6) Berani mengambil resiko, terdiri dari sifat senang mengambil resiko dan menyenangi tantangan (Dewi, 2013).

B. Tunadaksa

1. Pengertian Tunadaksa

Tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang memiliki kelainan fisik. Khususnya anggota badan seperti tangan, kaki, atau bentuk tubuh. Salah seorang guru dari salah satu sekolah luar biasa mengatakan tunadaksa adalah istilah lain dari tuna fisik berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Namun tidak semua anak tunadaksa memiliki keterbelakangan mental. Malah ada yang memiliki kemampuan daya pikir lebih tinggi dibandingkan anak normal pada umumnya. Bahkan tak jarang kelainan yang dialami oleh penyandang tunadaksa tidak membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa dan pertumbuhan fisik serta kepribadiannya. Demikian pula ada di antara anak tunadaksa hanya mengalami sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan sebagaimana anak normal lainnya (Smart, 2012: 44).

Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasi mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan


(35)

23   

mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, pertumbuhan salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan (Efendi, 2009: 114).

Didalam Wikipedia, pengertian tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

Antara anak normal dan tunadaksa memilki peluang yang sama untuk melakukan aktualisasi diri. Hanya saja, banyak orang yang meragukan kemampuan dari anak tunadaksa. Perasaan yang iba berlebihan selalu membuat seseorang tidak mengizinkan anak tunadaksa melakukan kegiatan fisik. Dengan adanya ketunaan pada diri mereka, eksistensinya sering terganggu. (Smart, 2012: 45)

2. Klasifikasi Tunadaksa

Terdapat beberapa penggolongan tunadaksa menurut para ahli. Djadja Rahaja (dalam Smart, 2012: 45-46) membagi tunadaksa menjadi


(36)

24   

dua golongan. Golongan pertama yakni tunadaksa murni, dimana golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, poliomylitis serta cacat ortopedis lainnya. Golongan yang kedua adalah golongan tunadaksa kombinasi, golongan ini masih ada yang normal, namun kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebral palsy. Sedangkan pendapat lain mengatakan tunadaksa digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a. Tunadaksa taraf ringan, meliputi tunadaksa murni dan tunadaksa kombinasi ringan. Umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya normal. Golongan ini kebanyakan hanya disebabkan adanya kelainan pada tubuh saja, seperti lumpuh atau cacat fisik lainnya.

b. Tunadaksa taraf sedang, merupakan tunadaksa akibat cacat bawaan, cerebral palsy ringan, dan polio ringan. Golongan ini banyak dialami dari tuna akibat cerebral palsy yang disertai dengan menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh dibawah normal.

c. Tunadaksa taraf berat, yag termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cerebral palsy berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada umumya, anak yang terkena kecacatan ini tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil, dan idiot.(Smart, 2012: 45-46)

Sedangkan Frances G. Koening (dalam Soemantri, 2006: 123), tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


(37)

25   

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi :

a. Club-foot (kaki seperti tongkat) b. Club-hand (tangan seperti tongkat)

c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki)

d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya).

e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka). f. Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak

tertutup).

g. Cretinism (kerdil/katai).

h. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal). i. Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan). j. Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).

k. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut).

l. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha). 2. Kerusakan pada waktu kelahiran:

a. Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran).

b. Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah). 3. Infeksi:


(38)

26   

a. Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku).

b. Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri).

c. Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).

d. Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang). e. Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain.

4. Kondisi traumatik atau kerusukan traumatik:

a. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan). b. Kecelakaan akibat luka bakar

c. Patah tulang 5. Tumor:

a. Oxostosis (tumor tulang)

b. Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di dalam tulang).

3. Ciri-ciri Tunadaksa

Terdapat beberapa ciri seseorang yang menyandang tunadaksa, diantaranya:

a. Anggota gerak tubuh tidak bisa digerakkan/ lemah/ kaku/ lumpuh b. Setiap bergerak mengalami kesulitan


(39)

27   

d. Hiperaktif/ tidak dapat tenang

e. Terdapat anggota gerak yang tak sama dengan keadaan normal pada umumnya. Misalkan jumlah yang lebih, ukuran yang lebih kecil dan sebagainya (Smart, 2012: 46)

4. Faktor Penyebab Tunadaksa

Seperti juga kondisi ketunaan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (pre natal), saat lahir (neo natal), dan setelah lahir (post natal). Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atau ketika dalam kandungan, diantaranya karena faktor genetik dan kerusakan pada sistem syaraf pusat. Faktor lain yang menyebabkab kelainan pada bayi selama dalam kandungan ialah (1) anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari plasenta, penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock¸ percobaan aborsi; (2) gangguan metabolisme pada ibu; dan (3) faktor rhesus.

Kondisi ketunadaksaan yang terjadi pada masa kelahiran bayi diantaranya kesulitan saat persalinan karena letak bayi sungsang atau panggul ibu terlalu kecil, pendarahan otak pada saat kelahiran, kelahiran prematur, dan gangguan placenta yang dapat mengurangi terjadinya anoxia.

Adapun kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi pada masa setelah anak lahir, diantaranya:


(40)

28   

a. Faktor penyakit, seperti meningitis (radang selaput otak), encephalitis (radang otak), influenza, diphteria, partusis.

b. Faktor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras dll

c. Pertumbuhan tubuh yang tidak sempurna. (Efendi, 2009: 122-123) Sedangkan menurut Smart (2012: 46-48), ada beberapa penyebab yang menjadikan seseorang mengalami tunadaksa. Salah satu contohnya adalah kerusakan yang terjadi pada jaringan otak. Seperti apa yang anda ketahui, otaklah yang mengendalikan semua kerja sistem pada tubuh. Jika jaringan otak rusak, jaringan yang lain pun ikut rusak. Selain karena rusaknya jaringan otak, tunadaksa juga bisa disebabkan oleh rusaknya jaringan sumsum tulang belakang, yaitu pada sistem muskulus skeletal.

Jika dilihat dari kerusakan otak, bisa terlihat pada saat sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam uraian berikut:

1. Sebelum lahir (pre-natal)

a. Pada saat hamil, ibu hamil mengalami trauma atau terkena infeksi/ penyakit sehingga otak bayi pun ikut terserang dan menimbulkan kerusakan. Misalkan infeksi, syphilis, rubella dan typhus abdominalis.

b. Terjadinya kelainan pada kehamilan sehingga menyebabkan peredaran darah terganggu, tali pusar tertekan, dan pembentukan syaraf-syaraf dalam otak pun ikut terganggu


(41)

29   

c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi secara langsung. Sedangkan, radiasi langsung dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.

d. Ibu yang sedang hamil mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya terbentur cukup keras yang kemudian secara kebetulan menganggu kepala bayi, maka dapat merusak sistem syaraf pusat.

2. Faktor keturunan

3. Usia ibu pada saat hamil

4. Pendarahan pada waktu hamil, dan 5. Keguguran yang dialami ibu 6. Saat kelahiran

a. Akibat proses kehamilan yang terlalu lama sehingga bayi kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak, akibatnya jaringan otak mengalami kerusakan

b. Pemakaian alat bantu, seperti yang pada saat proses melahirkan dapat merusak jaringan saraf oatak bayi

c. Pemakaian obat bius yang berlebihan pada ibu yang melahirkan dengan caesar dapat mempengaruhi persarafan ataupun fungsinya. 7. Setelah melahirkan


(42)

30   

b. Infeksi penyakit yang menyerang otak c. Anoxia atau Hipoxia

8. Trauma

Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi motorik dalam kehidupan manusia sangat penting, terutama jika seseorang itu ingin mengadakan kontak dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam sekitarnya. Maka peranan motorik sebagai sarana yang dapat mengantarkan seseorang untuk melakukan aktivitas mempunyai posisi yang sangat strategis, disamping kesertaan indera yang lain. Dalam aplikasinya baik dilakukan bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Oleh karena itu, dengan terganggunya fungsi motorik sebagai akibat dari penyakit, kecelakaan atau bawaan sejak lahir, akan berpengaruh terhadap keharmonisan indera yang lain dan pada gilirannya akan berpengaruh pada kondisi kejiwaanya (Efendi, 2009: 124)

5. Perkembangan Anak Tunadaksa

a. Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa

Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Pada anak-anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena, ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Misalnya, bila ada kerusakan pada tangan kanan, maka tangan kiri akan lebih berkembang sebagai kompensasi kekurangan yang dialami tangan


(43)

31   

kanan. Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut (Soemantri, 2006: 126)

b. Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa

Keadaan tunadaksa menyebabkan gangguan dan hambatan dalam keterampilan motorik seorang anak dan hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan motorik yang lebih kompleks pada tahap berikutnya. Menurut Piaget, anak tersebut mampu tidak mampu memperoleh skema baru dalam beradaptasi dengan suatu laju perkembangan yang normal. Keterlambatan ini diawali dengan hambatan dalam fungsi motorik sederhana yang akan berpengaruh terhadap kegiatan eksplorasi lingkungan anak secara wajar. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak tersebut. (Soemantri, 2006: 127).

c. Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa

Anak yang tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai anak tunadaksa secara bertahap. Sedangkan anak yang mangalami ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang normal sehingga keadaan


(44)

32   

tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang bersangkutan (Soemantri, 2006: 131).

d. Perkembangan Kepribadian Anak Tunadaksa

Pada anak-anak tunadaksa nampak bahwa dalam hubungan sosial mereka berusaha untuk meyakinkan konsep diri dalam arti fisiknya dan juga berusaha untuk meyakinkan konsep diri yang didasarinya. Dalam hal ini, anak tunadaksa mempunyai dua tipe masalah yakni:

1) Masalah penyesuaian diri yang mungkin terjadi pada kemajuan perkembangan yang normal yang dialami setiap individu yang pada saat bersamaan juga berusaha untuk memperluas ruang gerak dirinya serta mempertahankan konsep diri yang sudah dimilikinya.

2) Masalah penyesuaian diri yang semata-mata merupakan gabungan dari kenyataan bahwa keadaan tunadaksa yang bersifat fisik merupakan hambatan yang terletak antara tujuan (goal) dan keinginan untuk mencapai tujuan tersebut (Soemantri, 2006: 133).

6. Penyesuaian Sosial Anak Tunadaksa

Ragam karakteristik ketunadaksaan yang dialami oleh seorang menyebabkan tumbuhnya berbagai kondisi kepribadian dan emosi. Meskipun demikian, kelainan kepribadian dan emosi tidak secara


(45)

33   

langsung diakibatkan karena ketunaannya, melainkan ditentukan oleh bagaimana seseorang itu berinteraksi dengan lingkungannya.

Sehubungan dengan itu ada beberapa hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain sebagai berikut:

a. Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi

b. Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan (over protection) justru akan menghambat perkembangan kepribadian anak.

c. Perlakuan orang sekitar yang membedakan anak tunadaksa dengan anak normal lainnya menyebabkan anak tunadaksa merasa dirinya berbeda dengan orang lain.

Menurut Haris (dalam Efendi, 2009:131) menjelaskan berdasarkan penelitiannya diperoleh gambaran bahwa sebenarnya tidak ada pola atau ciri yang membedakan kepribadian anak tunadaksa dengan anak normal. Faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Bahkan beberapa ahli dalam referensinya menyebutkan bahwa secara spesifik faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian anak tunadaksa adalah tingkat kesulitan akibat kelainan, kapan kecacatan itu terjadi, keadaan keluarga dan dorongan sosial, status sosial dalam kelompoknya, sikap orang lain terhadap anak dan tampak atau tidaknya kecacatan yang diderita.


(46)

34   

Atas dasar itulah persepsi yang dapat menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap pembentukkan self concept-nya. Hal ini disebabkan sikap belas kasihan dari orang lain sering disalahgunakan tunadaksa. Untuk menghindari tanggung jawab, atau dibuat sarana anak tunadaksa untuk memproyeksikan kegagalannya kepada orang lain. Kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan dalam upaya penyesuaian sosialnya.

Hal lain yang menjadi masalah penyesuaian anak tunadaksa adalah bahwa orang lain terlalu membesarkan ketidakmampuannya. Persepsi yang salah tentang kemampuan anak tunadaksa dapat mengurangi kesempatan bagi anak tunadaksa untuk berpartisipasi dapat mempengaruhi lingkungannya. Ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial memyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian sosial yang baik. Dengan demikian sikap masyarakat baik secara langsung atau tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa (Efendi, 2009: 132)

Berangkat dari berbagai latar belakang yang dihadapi oleh anak tunadaksa dalam proses penyesuaian sosial, ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan anak tunadaksa dalam mencapai proses penyesuaian sosial yang sehat, antara lain:

a. Hendaknya penderita menghadapi kenyataan secara obyektif, anak dapat menerima segala hambatan diri akibat segala ketunaannya,


(47)

35   

serta menyadarinya bahwa masih ada kemampuan lain yang masih dapat dikembangkan.

b. Menyadari masalah yang dihadapi di dalam interaksi sosial, yakni anak menyadari sikap-sikap belas kasihan, ejekan yang sejenisnya, serta dirinya dapat menerima sikap-sikap acceptence maupun penghargaan dari orang lain.

c. Mengusahakan mendapat pengobatan/ terapi semaksimal mungkin. d. Mencari alat bantu atau prothese yang dapat membantu meringankan

hambatan yang disebabkan oleh ketunaannya, seperti kaki palsu, tangan palsu, dan sebagainya.

e. Berusaha mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan dirinya serta bisa hidup secara mandiri.

f. Berupaya memberikan bimbingan dan penyuluhan, baik bimbingan personal atau vokasional.

g. Berusaha memusatkan perhatiannya pada kemampuan yang dimiliiki agar dapat dijadikan sublimasi atas berbagai kekurangannya (Efendi, 2009: 130).

7. Rehabilitasi Anak Tunadaksa

Rehabilitasi merupakan upaya yang dilakukan pada penyandang kelainan fungsi tubuh, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:


(48)

36   

a. Rehabilitasi medis

Pemberian pertolongan kedokteran dan bantuan alat-alat anggota tubuh tiruan, alat-alat penguat tubuh agar meningkatkan kemampuan fisik penderita tunadaksa secara maksimal. Teknik-teknik yang digunakan dalam rehabilitasi ini yaitu operasi ortopedi, fisioterapi, activities in daily living (ADL), occupation therapy (terapi tugas), pemberian protase dan sebagainya.

b. Rehabilitasi vokasional atau karya

Merupakan rehabilitasi yang bertujuan memberikan kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode yang digunakan counseling (penyuluhan untuk menumbuhkan keberanian), revalidasi (upaya mempersiapkan diri dalam dunia kerja), vocational guidance (pemberian bimbingan untuk karir yang cocok), vocational assesment (penilaian kemampuan para tunadaksa), teamwork (kerjasama), vocational training (pemberian pelatiah kerja agar para tunadaksa dapat hidup mandiri), placement (penempatan tempat kerja yang sesuai), dan follow-up (tindak lanjut setelah para tunadaksa menempati jabatan pekerjaan).

c. Rehabilitasi psikososial

Merupakan rehabilitasi yang memiliki harapan agar para tunadaksa dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Intinya rehabilitasi ini adalah untuk memberikan bantuan konseling agar mereka dapt hidup


(49)

37   

bermasyarakat secara wajar tanpa merasa rendah diri (Efendi, 2009: 133-139)

8. Pendidikan Anak Tunadaksa

Pendidikan merupakan hak dan salah satu pelayanan yang hendaknya diterima oleh setiap anak, baik yang normal maupun yang mengalami disabilitas. Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (Astati, 2010: 13).

Menurut Connor (dalam Astati, 2010:13) pada pendidikan anak tunadaksa perlu dikembangkan tujuh aspek yang diadaptasikan, yakni: 1) Pengembangan intelektual dan akademik; 2) Membantu perkembangan fisik; 3) Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak; 4) mematangkan aspek sosial; 5) Mematangkan moral dan spiritual; 6) Meningkatkan ekspresi diri; dan 7) Mempersiapkan masa depan anak.

Untuk mengenyam pendidikan, anak tunadaksa dapat mengikuti pendidikan di tempat-tempat berikut:

a. Sekolah Khusus Berasrama, bagi anak tunadaksa yang derajat kelainannya berat dan sangat berat.


(50)

38   

b. Sekolah Khusus tanpa Asrama, bagi anak tunadaksa yang memiliki kemampuan untuk pulang-pergi ke sekolah atau tempat tinggal. c. Kelas Khusus Penuh, untuk anak tunadaksa dengan kecacatan ringan

dan kecerdasan homogen;.

d. Kelas Reguler dan Khusus, yakni anak tunadaksa mengikuti pembelajaran bersama anak normal pada pelajaran tertentu dan berada di kelas tersendiri pada pelajaran tertentu.

e. Kelas Reguler Dibantu oleh Guru Khusus, anak tunadaksa bersekolah bersama anak normal di sekolah umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.

f. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum, dimana anak tunadaksa belajar bersama anak normal di sekolah umum dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.

g. Kelas Biasa, bagi anak tunadaksa yang memiliki kecerdasan normal dan memiliki kemampuan untuk belajar bersama dengan anak normal (Astati, 2010: 15-16)

Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Pendidikan Integrasi (Terpadu)

Bagi anak tunadaksa ringan dapat mengikuti pembelajaran di sekolah biasa bersama anak normal. Namun sementara ini anak tunadaksa di sekolah umum memperoleh nilai hanya berdasarkan


(51)

39   

hadiah terutama untuk kegiatan fisik. Oleh sebab itu Kirk (dalam Astati, 2010: 16) mengemukakan bahwa diperlukan adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di sekolah umum sebagaimana dijelaskan berikut:

1) Penempatan di kelas reguler

Hal-hal yang perlu diperhatikan yakni:

a) Menyiapkan lingkungan belejar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misal trotoar dan gerbang yang cukup lebar agar dapat dilewati kursi roda.

b) Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketertinggalan anak tunadaksa jika sering tidak masuk sekolah.

c) Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswa untuk melihat masalah fisik secara langsung.

d) Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah.

2) Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus

Murid tunadaksa dengan kelainan fisik tingkat sedang dan intelegensia normal yang mengalami ketertinggalan pelajaran tertentu akibat sering sakit, diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber belajar dan kelas khusus.


(52)

40   

b. Pendidikan Segregasi (Terpisah)

Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa tanpa adanya gangguan kecerdasan secara khusus dilakukan di SLB-D. Sedangkan bagi penyandang tunadaksa dengan gangguan kecerdasan diberikan layanan pendidikan di SLB-D1 (Casmini, 2006: 4). Pelaksanaan pendidikan khusus ini didasarkan pada Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994 (Astati, 2010: 17).

C. Perspektif Teoritis

Keadaan fisik anak penyandang tunadaksa sedikit banyak mampu mempengaruhi kondisi subjek dalam menerima keadaan dirinya. Sebagaimana diungkapkan Feist & Feist (dalam Virlia & Wijaya, 2015), bahwa kekurangan yang terdapat pada salah satu bagian tubuh individu dapat mempengaruhi individu tersebut secara keseluruhan. Oleh sebab itu untuk menjadikan dirinya tetap dapat mengaktualisasikan diri, subjek perlu menumbuhkan psychological capital atau modal psikologis yang positif pada dirinya.

Psychological capital ini banyak ditelaah akhir-akhir ini dan diketahui sebagai faktor yang memiliki banyak dampak positif terhadap individu maupun organisasi (Brandt, Gomes, & Boyanova, 2010: 270), termasuk juga kepada siswa utamanya yang sedang mengalami situasi merugikan (Riolli, Savicki, & Richards, 2012).


(53)

41   

Teori utama yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yakni teori dari Luthans, dkk (2007) yang menjelaskan bahwa Psychological capital atau Modal psikologis ini menyangkut tentang ‘siapa Anda’, dan lebih penting lagi, 'siapa Anda menjadi'. Modal psikologis didefinisikan di sini sebagai "keadaan psikologis yang positif pada diri individu yang ditandai dengan: 1) memiliki kepercayaan (self-efficacy) untuk mengambil dan meletakkan upaya yang diperlukan untuk sukses dalam tugas yang menantang; 2) membuat atribusi positif (optimism) tentang sukses sekarang dan di masa depan; 3) tekun menggapai tujuan dan bila perlu, mengarahkan jalan agar tujuan atau harapan (hope) berhasil; dan 4) ketika dilanda masalah dan kesulitan, mempertahankan dan melenting kembali (resilience) untuk mencapai keberhasilan” (Luthans, dkk, 2007).

Untuk mengetahui apakah subjek memiliki psychological capital yang baik, terdapat kriteria yang dijadikan acuan yakni: 1) Percaya diri, terdiri dari sifat yakin, mandiri, individualitas, optimisme, kepemimpinan, dan dinamis; 2) Originalitas, terdiri dari sifat inovatif, kreatif, mampu mengatasi masalah baru, inisiatif, mampu mengerjakan banyak hal dengan baik, dan memiliki pengetahuan; 3) Berorientasi manusia, terdiri dari sifat suka bergaul dengan orang lain, fleksibel, responsif terhadap saran/ kritik; 4) Berorientasi hasil kerja, terdiri dari sifat ingin berprestasi, teguh, tekun, penuh semangat; 5) Berorientasi masa depan, terdiri dari sifat visioner dan memiliki persepsi yang tajam; 6) Berani mengambil resiko, terdiri dari sifat senang mengambil resiko dan menyenangi tantangan (Dewi, 2013).


(54)

42   

Dalam penelitian ini, Psychological capital anak penyandang tunadaksa akibat kecelakaan tergambar dalam skema berikut:

Gambar 1. Skema Psychological capital anak penyandang tunadaksa akibat kecelakaan

Psychological Capital Hope (Harapan) Optimism (Optimisme)

Resilience (Resiliensi) Self-Efficacy (Kepercayaan diri)

Tunadaksa Akibat Kecelakaan


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Tujuan dari desain ini adalah untuk mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara menyeluruh dan teliti sesuai dengan persoalan yang akan dipecahkan (Umar, 2008: 53)

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di kediaman subjek yang beralamat di Perumahan Gading Indah Utara dan sekolah subjek yang terletak di Ngagel Tama Utara. Penelitian juga dilakukan di kediaman dan kantor para informan. Lokasi penelitian dapat pula sewaktu-waktu berubah menyesuaikan aktivitas yang dilakukan subjek dan informan. Lokasi penelitian dibuat sefleksibel mungkin untuk menjadikan subjek yang masih belia beserta informan lainnya merasa nyaman dan dapat memberikan data selengkap-lengkapnya serta sebenar-benarnya.

C. Sumber Data

Sumber data utama pada penelitian kualitatif menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2009: 157) yakni kata-kata dan tindakan. Sedangkan dokumen dan lain sebagainya adalah data tambahan.


(56)

44   

Data penelitian diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yakni data yang diperoleh dari sumber pertama di lapangan, seorang anak penyandang tunadaksa akibat kecelakaan berinisial TZ.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa informan pendukung (significant other) serta penggunaan dokumen. Informan pendukung (significant other) yang digunakan dalam proses wawancara, dipilih berdasarkan kedekatan personal dan kepahaman informan pendukung tersebut atas subjek. Sehingga teknik yang digunakan dalam pemilihan partisipan wawancara penelitian ini adalah teknik jejaring. Informan pendukung (significant other) yang terlibat dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 1

Data Informan Pendukung (Significant others)

No. Inisial Deskripsi

1. IK Ibu Subjek

2. MF Walikelas 5 dan 6 SD Subjek

3. UT Walikelas 4 SD Subjek dan Wakasek SMP

Subjek

4. SY Walikelas 7 SMP Subjek

D. Cara Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Observasi digunakan untuk mengamati subjek secara langsung bagaimana psychological capital subjek dalam aktivitas sehari-hari. Sedangkan teknik interview atau wawancara digunakan


(57)

45   

untuk memperoleh data mengenai gambaran psychological capital subjek dengan berpedoman pada guidance wawancara.

Media yang digunakan selama pengumpulan data adalah guidance, alat rekam, dan kamera. Proses pengumpulan data dilakukan selama sekurang-kurangnya empat pekan sejak dilakukan studi pendahuluan, proses rapport hingga proses pengumpulan data selanjutnya.

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Proses pengumpulan dan analisis data baik berupa narasi, deskripsi, dokumen tertulis dan tidak tertulis dilakukan secara simultan. Dalam penelitian ini tahap-tahap analisis yang akan peneliti lakukan adalah: Pertama, mengubah hasil wawancara dalam bentuk verbatim. Kedua, memilah dan memilih data yang relevan untuk keperluan analisis. Artinya, data yang tidak relevan dibuang. Ketiga, menganalisis data yang telah dipilah dan dipilih sesuai dengan kepentingan analisis, dan akhirnya menarik kesimpulan.

F. Keabsahan Data

Untuk memperoleh temuan dan interpretasi data yang absah (trustworthiness) maka perlu adanya upaya untuk melakukan pengecekan data atau pemeriksaan data yang didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria (Moleong, 2009: 326) yang dapat digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan


(58)

46   

(dependability), dan kepastian (confirmability). Dari keempat kriteria tersebut peneliti memilih dua diantaranya untuk digunakan, yakni:

1. Kredibilitas Data

Untuk proses keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua cara yaitu:

Pertama, triangulasi yaitu merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain diluar data itu, untuk meningkatkan keabsahan data. Pada penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah: (a) triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan apa yang dikatakan oleh subjek dengan yang dikatakan informan pendukung (significant other) dengan maksud agar data yang diperoleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu sumber saja (yaitu subjek) tetapi juga diperoleh dari beberapa sumber lain seperti teman dekat subjek; (b) triangulasi metode, yaitu dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti berusaha mengecek kembali data yang diperoleh melalui wawancara.

Kedua, menggunakan bahan referensi yaitu referensi yang utama berupa buku-buku psikologi yang berkaitan dengan psychological capital. Hal ini dimaksudkan agar data yang diperoleh memiliki dukungan dari teori-teori yang telah ada.


(59)

47   

2. Ketegasan (confirmabilitas)

Kriteria ini digunakan untuk mencocokkan data observasi dan data wawancara atau data pendukung lainnya. Dalam proses ini temuan-temuan penelitian dicocokkan kembali dengan data yang diperoleh lewat rekaman atau wawancara. Apabila diketahui data-data tersebut cukup koheren, maka temuan penelitian ini dipandang cukup tinggi tingkat konfirmabilitasnya. Untuk melihat konfirmabilitas data, peneliti meminta bantuan kepada para ahli terutama kepada para pembimbing. Pengecekan hasil dilakukan secara berulang-ulang serta dicocokkan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.


(60)

 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek (disebut TZ)

Subjek pada penelitian ini adalah TZ, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang merupakan anak ke-4 dari 6 bersaudara, terlahir dari pasangan AS dan IK. Bocah berkulit kuning langsat ini kini duduk di bangku kelas VII (tujuh) sebuah Sekolah Menengah Pertama Islam di Surabaya.

Sekitar dua setengah tahun yang lalu, tepatnya saat semester dua kelas IV (empat) SD atau saat berusia 9 tahun, TZ mengalami sebuah kecelakaan hebat yang menyebabkan dia harus merelakan kaki kirinya untuk diamputasi. Kecelakaan tersebut terjadi tatkala TZ baru saja dijemput oleh dua orang kakak perempuannya setelah bermain di sebuah Mall yang terletak di Surabaya Timur. Dalam perjalanan menuju rumah, motor yang dikendarai kakaknya terserempet truk sehingga menjadikan kedua kakak TZ terlempar. Sedangkan TZ sendiri terseret truk bersama motor sejauh beberapa meter. Hal tersebut yang kemudian menjadikan telapak kaki TZ hancur dan harus diamputasi sampai betis.

Kecelakaan itu merupakan kejadian tak terduga yang mendadak mengubah diri TZ dari yang semula merupakan anak normal berfisik sempurna menjadi penyandang tunadaksa. Di saat baru saja diamputasi, TZ beraktivitas dengan dibantu kursi roda lantaran masih dalam masa pemulihan pasca operasi. Beberapa waktu kemudian, dia beraktivitas dengan dibantu


(61)

49

kruk. Sedangkan kini, TZ dapat beraktivitas lebih lincah menggunakan alat bantu berupa kaki palsu yang dikenakan layaknya sepatu dan terikat kuat pada bagian betis.

Sejak duduk di bangku SD, TZ dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dan energik. Dia tidak hanya duduk diam saja meski kala itu masih mengenakan alat bantu berupa kursi roda maupun kruk, melainkan juga bermain sepak bola, berenang, dan bernasyid di atas panggung. Prestasi akademisnya pun tergolong memuaskan dengan nilai rata-rata Ujian Nasional Sekolah Dasar 90,5. Memasuki jenjang pendidikan SMP, TZ pun tidak hanya mengikuti pembelajaran di kelas sejak pagi hingga sore hari saja, melainkan juga mengikuti beberapa esktrakurikuler dan terlibat aktif dalam kepengurusan OSIS.

Berikut jadwal kegiatan observasi dan wawancara terhadap subjek dan significant others dalam proses pengumpulan data:

Tabel 2

Jadwal Kegiatan Observasi dan Wawancara

No. Hari/ Tanggal Jenis Kegiatan Tempat 1. Sabtu, 15 Agustus 2015 Membangun rapport

dan meminta informant consent

Rumah Subjek 2. Sabtu, 15 Agustus 2015 Observasi dan

Wawancara Subjek Tahap 1

Rumah Subjek 3. Sabtu, 15 Agustus 2015 Wawancara

Significant other 1

Rumah Subjek 4. Selasa, 8 September 2015 Observasi dan

Wawancara Subjek Tahap 2

SMP Subjek 5. Sabtu, 31 Oktober 2015 Wawancara

Significant other 2

SD Subjek 6. Sabtu, 7 Nopember 2015 Wawancara SMP Subjek


(62)

50

Significant other 3 7. Selasa, 10 Nopember 2015 Wawancara

Significant other 4

SMP Subjek

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Hasil Temuan

Hasil penelitian ini ditujukan agar dapat mengetahui psychological capital anak penyandang tunadaksa akibat kecelakaan, yang dalam hal ini subjek yang digunakan berinisial TZ. Menurut Luthans, dkk (2007) terdapat empat hal yang menandai modal psikologis seseorang, yakni hope (harapan), optimism (optimisme), resilience (resiliensi), dan self-efficacy (kepercayaan diri).

a. Hope (Harapan)

Harapan merupakan sesuatu yang mampu memotivasi tindakan dan mempengaruhi pikiran serta perilaku. Sebelum mengalami kecelakaan dan operasi amputasi, TZ memiliki impian sebagai pemain sepak bola, pemadam kebakaran, dan atlet lompat tinggi.

“Banyak. Pemain sepak bola. Pemadam kebakaran. Terus atlet lompat tinggi. Soalnya suka lompat-lompat.” (CHW 1;2;2)

Usai menjalani operasi amputasi yang menyebabkan perubahan pada fisiknya, TZ mulai menggemari aktivitas renang dan impiannya berganti ingin menjadi atlet renang.

“Setelah kecelakaan itu pengen jadi atlet renang.” (CHW 1;2;3)


(63)

51

Hal ini senada pula dengan penjelasan IK dan UT yang mengungkapkan bahwa TZ gemar berenang dan bercita-cita menjadi atlet renang.

“Ya saya nanya. Dia suka berenang jadi sejak dulu itu pinginnya jadi atlet renang. Meskipun kakinya begitu ya setelah sembuh boleh masuk air yaudah dia mintanya diantar renaang aja hehe.” (CHW 2;1;4)

“Cita-citanya langsung saya nggak tanya. Tapi waktu itu dia suka renang. Akhirnya diarahkan ke ekstra renang. Dia semangat. Terus diikutkan kursus juga. Setelah itu ya kalau ditanya dia cita-citanya jadi atlet ya.” (CHW 4;1;3)

Seiring berjalannya waktu dan usia tumbuh kembangnya, kini TZ menggemari semakin banyak aktivitas, diantaranya bermain ping-pong (tenis meja).

“Ya lumayan sih. Pokoknya kalo ada waktu di sekolah langsung bilang “ustadz, mau main pingpong ustadz”. Dibukain tempat pingpong yaudah main aja rame-rame hehe.” (CHW 1;1;1)

Antusiasmenya terhadap tenis meja (ping-pong) tersebut sangat nampak saat TZ menceritakan kegemarannya bermain ping-pong di sekolah.

“Subjek menceritakan minat dan impiannya dengan ekspresi gembira, spontan, dan penuh harap. Ketika menceritakan kegemarannya bermain ping-pong, dia memeragakan gerakan bermain tenis meja.” (CHO 1;1;2) Selain gemar bermain ping-pong (tenis meja), TZ juga menggeluti robotik, multimedia, futsal, dan basket. Dia memiliki beberapa impian yakni ingin menjadi pembuat mobil, pembuat robot, guru atau dosen, serta atlet ping-pong.


(64)

52

“Suka antara robotik sama multimedia.” (CHW 1;1;1) “Ya main basket kadang masih. Futsal juga kadang-kadang.” (CHW 1;1;1)

“Gatau bingung. Gonta ganti. Pingin banyak. Mau bikin mobil. Terus bikin robot. Habis itu mau jadi guru atau dosen. Terus mikir lagi mau jadi atlet ping pong haha. Sueerueh.” (CHW 1;1;1)

Pernyataan TZ tersebut didukung oleh ibu subjek (IK) yang mengungkapkan bahwa TZ memang memiliki beragam impian dan masih mencari jati diri.

“Wah macam-macam. Katanya mau jadi pembuat mobil. Terus kapan ini ikut robotik bilang katanya soalnya mau jago bikin robot. Sampai saya bilang “Lhah cik akehe. Kapan iko renang” hehe. Masih mencari jati diri.” (CHW 2;1;5)

MF dan UT selaku guru TZ pun mengungkapkan hal senada, bahwa TZ memiliki beberapa keinginan, diantaranya dia bercita-cita menjadi atlet renang dan pembuat robot.

He em. Itu semua sekelas saya minta nulis ya. cita-citanya, impiannya. Terakhir yang saya tahu dia ingin jadi atlet. Karena memang dia di kelas 6 itu perenang tercepat dan terjauh, sama temannya VK.

Dia itu bisa mengitari kolam arus di Kenpark tiga kali dengan cepat. Padahal kondisi fisiknya ya seperti itu. Tapi ada profesi lagi selain atlet cuman saya lupa apa lagi keinginannya itu.” (CHW 3;1;2)

“Kalau sekarang itu dia ikut ekskul apa ya. Multimedia kalau nggak salah. Sama robotik. Dia mau bikin robot katanya hehe.” (CHW 4;1;13)

b. Optimism (Optimisme)


(1)

84

sempat tertinggal pelajaran, namun hal tersebut tidak menjadikan dirinya menyerah. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan subjek memperoleh nilai akademis yang membanggakan.

Fisik yang berkekurangan tidak menghalangi subjek untuk memiliki harapan tinggi yang kemudian hal tersebut menjadikan dirinya senantiasa bersemangat dan optimis untuk mengejar target dan impian, serta menuntaskan berbagai tantangan yang dihadapi. Hal ini sebagaimana penuturan Helland & Weinston (2005) bahwa harapan merupakan sebuah gaya pengaktif yang memungkinkan seseorang, meski sedang menghadapi banyak sekali hambatan, untuk membayangkan masa depan yang menjanjikan dan untuk mengatur serta mengejar target.

Masa-masa sulit itu pun kemudian dapat subjek lalui. Semenjak duduk di kelas 6 SD, dengan berpikir positif dan memperkaya kesyukuran atas Kuasa Allah yang menjadikannya tetap mampu berjalan dan beraktivitas, subjek dapat secara tegar menerima kondisi dirinya yang tidak lagi sempurna dan melenting kembali (resilence) untuk menggapai prestasi dan berjibaku dengan segala rutinitas kehidupan. Dengan kata lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh Desmita (2009: 201), subjek memiliki kemampuan yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Kemampuan subjek untuk dapat resilien ini tentunya juga dipengaruhi oleh dukungan orang tua, kawan, dan


(2)

85

lingkungan sekitar, serta perkembangan pola pikir subjek seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Grotberg (1995), bahwa kualitas resiliensi setiap orang tidaklah sama, sebab kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi situasi–situasi yang tidak menyenangkan serta seberapa besar dukungan sosial dalam pembentukan resiliensi seseorang.

Seiring dengan proses penerimaan dirinya yang meningkat, subjek memiliki kepercayaan diri yang bertumbuh pesat. Dari yang semula masih malu untuk bersekolah dan enggan keluar kelas, hingga kemudian dengan penuh percaya diri subjek dapat berinteraksi dengan kawan dari dalam dan luar sekolah, bergaul secara akrab dengan teman yang sudah lama atau baru dikenal, melakukan beragam aktivitas olahraga, mengurus keperluan sendiri termasuk memasak makanan praktis, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan OSIS, menunjukkan kemampuannya bernasyid di hadapan banyak penonton sekalipun kala itu masih mengenakan kruk ataupun ketika kini telah dibantu dengan kaki palsu yang lebih memudahkan gerak tubuhnya, mengendarai sepeda motor automatic, serta berbagai aktivitas lainnya.

Tidak hanya itu, emosi dan kemampuan penyesuaian diri subjek juga berkembang baik sehingga dirinya dapat benar-benar menerima kondisi fisiknya. Hal ini lantaran lingkungannya mendukung penuh untuk menjadikan subjek tumbuh menjadi anak yang tangguh. Hal ini sebagaimana yang diutarakan Haris (dalam Efendi, 2009:131) bahwa faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi anak tunadaksa adalah lingkungan.


(3)

86 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki

psychological capital atau modal psikologis yang dapat

menumbuhkembangkan pribadinya. Dengan Hope (harapan), Optimism

(optimisme), Resilience (resiliensi), dan Self-Efficacy (kepercayaan diri)

sebagai keadaan psikologi positif, subjek mampu bangkit dari keterpurukan pasca kecelakaan serta operasi amputasi.

B. Saran

Sebagai akhir dari laporan penelitian ini disampaikan saran sebagai berikut:

1. Bagi TZ selaku subjek penelitian untuk senantiasa meningkatkan harapan, optimisme, daya juang dan kepercayaan diri agar dapat terus bertumbuh dan berkembang menjadi sosok yang tangguh serta prestatif walau dihadang oleh beragam ujian. Semakin berat halang rintang yang dihadapi seseorang, semakin tinggi derajat sang insan di mata Tuhan. 2. Direkomendasikan bagi peneliti studi kasus dengan topik serupa untuk

menambah jumlah subjek agar hasil penelitian lebih kuat, sehingga dapat digeneralisasikan dan dapat dijadikan telaah mendalam bagi banyak kalangan.


(4)

   

DAFTAR PUSTAKA

Agung, S. (2009). Penyesuaian Diri pada Remaja Tuna Daksa Bawaan. Jurnal Universitas Gunadarma.

Anggraini, L. (2012). Penyesuaian Diri pada Remaja Penyandang

Tunadaksa (Studi Deskriptif di Sekolah SLB YPAC Surabaya). (Skripsi Dipublikasikan Online). Program Studi Psikologi Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Astati. (2010). Karakteristik dan Pendidikan Anak Tunadaksa dan Tunalaras. Modul Pengantar Pendidikan Luar Biasa Dipublikasikan Online.

Bandura, A. (1994). Self-Efficacy. Encyclopedia of Human Behavior (Vol. 4 p.p. 71-81) New York: Academic Press.

Brandt, T., Gomes J. F. S, Boyanova, D. (2010). Personality and Pscychological Capital as Indicators of Future Job Success?. LTA 3/11, p.p. 263-289.

Casmini, M. (2006). Pendidikan Segregasi. Modul Dipublikasikan Online. Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: remaja

Rosdakarya.

Dewi, R. S. (2013) Pengaruh Faktor Modal Psikologis, Karakteristik Entrepreneur, Inovasi, Manajemen Sumber Daya Manusia, dan Karakteristik UKM terhadap Perkembangan Usaha Pedagang di Pasar Tradisional (Studi Kasus pada Pedagang Sembako dan Snack di Pasar Peterongan). Jurnal Administrasi Bisnis, Volume 2, Nomor 1.

Efendi, M. (2009). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.

Flay, B. R. (2002). Positive Youth Development Requires Comprehensive

Health Promotion Programs. American Journal of Health Behavior,

Vol. 26, No. 6, p.p. 407-424

Grotbeg, E. (2005). A Guide to Promoting Resilience in Children. Benard : Van Leer Foundation

Hee Ah Lee, Kisah Pianis Berjari Empat yang Inspiratif. (2014). Diakses dari https://www.maxmanroe.com/hee-ah-lee-kisah-pianis-berjari-empat-yang-inspiratif.html.


(5)

88

Helland, M. R. & Winston, B. E. (2005). Towards a Deeper Understanding of

Hope and Leadership. Journal of Leadership and Organizational

Studies, Vol. 12, No. 2, p.p. 42-54.

Hurlock, E. (1978). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Holmes, T. H, & Rahe, T. H. (1967). The Social Readjustment Rating Scale. Journal of Psychosomatic Research.Volume 11, p. 213.

Karyanta, N. A. (2013). Self-Esteem pada Penyandang Tunadaksa. Jurnal Program Studi Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kusumawardhani, A., Hartati, S., & Setyawan, I. (2010). Hubungan Kemandirian dengan Adversity Intelligence pada Remaja Tuna Daksa di

SLB-D YPAC Surakarta. Proceeding Konferensi Nasional II Ikatan

Psikologi Klinis – Himpsi.

Luthans, F., Luthans, K. W., Luthans, B. C. (2004). Positive Psychology Capital: Beyond Human and Social Capital. Business Horizon 47/1 January-February 2004. p.p. 45-50..

Luthans, dkk. (2007). Positive Psychological Capital: Measurement and Relationship with Performance and Satisfaction. Leadership Institute Faculty Publication.

Malik, A. (2013). Efficacy, Hope, Optimism and Resilience at Workplace Positive Organizational Behavior. International Journal of Scientific and research Publication, Volume 3, Issue 10.

Mclenon, J., dkk. (1997). A Perspective Study of Hope, Optimism, and Health. Psychological Reports, 1997, 81, p.p. 723-733.

Moleong, L. (2009). Metode Penelitian Kualitatif Cetakan Keduapuluh

Enam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Puspasari, D., Alfian, I. N. (2012). Makna Hidup Penyandang Cacat Fisik Postnatal Karena Kecelakaan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol.1 No. 02.

Riolli, L., Savicki, V., Richards, J. (2012). Psychological Capital as a Buffer to Student Stress. Psychology 2012, Vol 3, No 12A, p.p. 1202-1207. Sano Ami, Tunadaksa yang Menggenggam Dunia. (2012). Diakses dari


(6)

89

Smart, A. (2012). Anak Cacat Bukan Kiamat (Metode dan Terapi anak

Berkebutuhan Khusus). Jogjakarta: Kata Hati.

Soemantri, S. (2006). Psikologi Anak Khusus. Jakarta: PT Refika Aditama. Srivastava, S. & Angelo, K. M. (2009). Optimism, Effects on Relationship.

Encyclopedia of Human Relationship. Thousand Oaks, CA: Sage. Umar, H. (2008). Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

Virlia, S. & Wijaya, A. (2015). Penerimaan Diri pada Penyandang

Tunadaksa. Seminar Psikologi dan Kemanusiaan Pscyhology Forum

UMM, p.p. 372-377.