Sekolah Inklusif

2. Sekolah Inklusif

Sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler Sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler

Sekolah inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. ( http://bk3sjatim.org/?p=148 ).

Inklusif terjadi pada semua lingkungan sosial anak, pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusif berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak.

Pendidikan inklusif menurut Stainback dan Anin Back adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program yang layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan para guru agar anak-anak berhasil. (Sunardi, 1996 : 28).

Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh dikelas reguler. hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak luar biasa apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. (Sunardi,1996 : 29).

Sapon Seven ONeil menyebutkan inklusif didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa ditempatkan di sekolah terdekat di kelas biasa, bersama teman-teman seusianya. (Bintoro, 2002 : 7).

Pengertian lain juga diungkapkan oleh Subagyo Brotosedjati menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat (berkebutuhan khusus) yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di lembaga pendidikan umum, dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang bersangkutan. (Brotosedjati, 2003 : 3).

Penjelasan mengenai sekolah inklusif juga terdapat pada Undang- undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan

Nasional yang memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan SK Mendiknas No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.

Melalui pendidikan inklusif, siswa difabel dididik bersama-sama siswa non-difabel untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak difabel dan anak non-difabel yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak difabel perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak non-difabel untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD). Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi siswa selama ini.

Dalam implementasi di lapangan, Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat Dalam implementasi di lapangan, Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat

Ciri-ciri sekolah inklusif menurut Cornelia Schneider dalam “International Journal of Education Vol I. Equal is not Enough – Current Issues in Inclusive Education in the Eyes of Children ”, yaitu adalah sebagai berikut :

1. Hidup dan belajar bersama semua anak (difabel dan non-difabel) di sekolah adalah tujuan dari pendidikan inklusif.

2. Sistem inklusif untuk semua orang (difabel dan non-difabel).

3. Dalam metode pembelajarannya, menggunakan teori-teori yang sama dengan yang diberikan pada siswa non-difabel.

4. Memiliki perubahan-perubahan ide dan pengetahuan dalam pendidikan.

5. Mempertimbangkan dari semua tingkat pendidikan, sosial, dan emosional.

6. Sumber daya berasal dari seluruh sekolah, tidak hanya Sekolah Luar Biasa saja.

7. Memiliki system pembelajaran secara umum dan individual khusus bagi siswa difabel.

8. Satu kurikulum untuk seluruh siswa.

9. Seluruh siswa terlibat terlibatan dalam perencanaan pembelajaran.

10. Masing-masing siswa difabel, khusus memiliki guru pendamping, dan meiliki ruang khusus.

11. Perubahan dalam mata pelajaran praktek pendidikan.

12. Kerjasama. (International Journal of Education Vol I,. 2009 : 4).

Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif yang lebih sesuai untuk diterapkan adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusif sama dengan pendidikan reguler, seperti Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif yang lebih sesuai untuk diterapkan adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusif sama dengan pendidikan reguler, seperti

1) Kelas reguler (inklusif penuh) Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama

2) Kelas reguler dengan cluster Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3) Kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4) Kelas reguler dengan cluster dan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler.

6) Kelas khusus penuh Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. (Vaughn, Bos & Schumn, 2000: 30).

Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusif penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusif lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

Menurut Departemen Pendidikan Nasional, penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat, yaitu :

1. Landasan Filosofis Penerapan Pendidikan Inklusif Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan

2. Landasan yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia 2. Landasan yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia

Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.

3. Landasan pedagogis Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah 3. Landasan pedagogis Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah

4. Landasan empiris Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen. (http://www.scribd.com/doc/23956444/Difabel- Dan-Usaha-Dekonstruksi-Kesempurnaan).

Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/ 1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/ 1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik