SEKOLAH INKLUSIF DI SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS

B. SEKOLAH INKLUSIF DI SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS

Pendidikan terpadu menuju inklusi adalah pelayanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Peserta didik tersebut adalah mereka yang tergolong memerlukan layanan khusus, baik dalam arti berkelainan, lamban belajar maupun yang berkesulitan belajar Pendidikan terpadu menuju inklusi adalah pelayanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Peserta didik tersebut adalah mereka yang tergolong memerlukan layanan khusus, baik dalam arti berkelainan, lamban belajar maupun yang berkesulitan belajar

Pada tahun 2000 hingga 2004, banyak sekali pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh Dewan Lembaga Pendidikan Al Firdaus, khususnya SD Al Firdaus berkaitan dengan pembentukan sekolah inklusif di SD Al Firdaus, yaitu semakin banyaknya anak-anak difabel yang memerlukan pendidikan setara dengan pendidikan reguler di Sekolah Dasar. Atas pertimbangan tersebut, maka SD Al Firdaus memantapkan langkah untuk menyelenggarakan program sekolah inklusif di Kota Surakarta. Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Biasa membuat proyek pendidikan terpadu tersebut. Proyek tersebut direalisasikan dalam bentuk bantuan dana untuk sosialisasi, pendukung pembelajaran dan beasiswa bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.

SD Plus Al Firdaus sebagai sekolah penyelenggara program pendidikan terpadu (inklusi) menyambutnya dengan baik. Sebagai sekolah penyelenggara Program Pendidikan Terpadu menuju Inklusi SD Al Firdaus juga memiliki struktur organisasi dan job desk sendiri. Sarana dan prasarana juga mengalami peningkatan. Antara lain ruang okupasi terapi dan peralatan terapinya. Selain itu untuk mendukung terapi okupasi dan remedial ada penambahan alat permainan edukatif. Untuk ruang belajar pada bulan Februari 2005 SD Al Firdaus mendapatkan satu ruangan lagi untuk belajar dan konseling.

Bersamaan berkembangnya kompleksitas permasalahan selama tahun pelajaran 2004/ 2005, SD Al Firdaus mengadakan telaah program pembelajaran untuk anak berkesulitan dan lamban belajar dengan tenaga ahli eksternal, antara lain dengan Bapak Prof. Dr. Sunardi, M.Sc. Selanjutnya memunculkan kurikulum non gradasi. Selain itu PUSPA Al Firdaus melaksanakan kunjungan ke Sekolah Khusus Autis Fredofios di Yogyakarka. Hal ini untuk mempersiapkan program pembelajaran bagi anak autisme, karena pada bulan April 2005 SD Plus Al Firdaus menerima siswa didik yang mengalami autisme.

1. PENGGOLONGAN SISWA DIFABEL YANG DITANGANI OLEH SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS

Siswa difabel adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Adapun penggolongan siswa difabel di lembaga Pendidikan Al Firdaus saat ini dibagai menjadi beberapa golongan yaitu :

1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities)

Siswa yang memiliki kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki intelligensi normal atau di atas normal yang mengalami kesenjangan antara potensi intelektual yang mereka miliki dengan pencapaian hasil belajar. Faktor penyebabnya adalah dugaan adanya gangguan seperti Siswa yang memiliki kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki intelligensi normal atau di atas normal yang mengalami kesenjangan antara potensi intelektual yang mereka miliki dengan pencapaian hasil belajar. Faktor penyebabnya adalah dugaan adanya gangguan seperti

a) Development Learning Disabilities. Kesulitan belajar jenis ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam fungsi-fungsi psikologis dan bahasa. Meliputi : attention disorder, memory disorder, visual perceptual and perceptual motor disorder, thingking disorder dan language disorder.

2. Academic Learning Disabilities. Kesulitan belajar dalam bidang akademik merujuk pada suatu keadaan yang menghambat proses belajar dalam bidang akademik seperti kesulitan belajar membaca, belajar menulis, belajar matematika, dan dalam bidang akademik lainnya.

b. Lamban Belajar (Slow Learning)

Siswa yang mengalami lamban belajar adalah siswa yang memiliki kapasitas intelektual rata-rata bagian bawah tetapi masih di atas tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memiliki IQ sekitar 70-90. Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada umumnya.

c. Hambatan Belajar (Learning Problem)

Siswa yang memiliki hambatan belajar adalah mereka yang sebenarnya memiliki potensi yang cukup (IQ 90 ke atas) tetapi mereka memiliki masalah-masalah eksternal yang mempengaruhi aspek kognitif, afeksi dan psikomotor. Hambatan tersebut akan mengakibatkan gangguan emosi dan perilaku yang pada akhirnya menghambat proses belajar secara maksimal. Faktor penyebab hambatan belajar seperti : lingkungan belajar yang tidak menunjang, Siswa yang memiliki hambatan belajar adalah mereka yang sebenarnya memiliki potensi yang cukup (IQ 90 ke atas) tetapi mereka memiliki masalah-masalah eksternal yang mempengaruhi aspek kognitif, afeksi dan psikomotor. Hambatan tersebut akan mengakibatkan gangguan emosi dan perilaku yang pada akhirnya menghambat proses belajar secara maksimal. Faktor penyebab hambatan belajar seperti : lingkungan belajar yang tidak menunjang,

d. Berbakat Intelektual

Anak berbakat intelektual atau anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelligensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi yang nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berbakat sering juga disebut sebagai gifted dan talented

MODEL PENEMPATAN SISWA DIFABEL

Penempatan siswa difabel di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai model, antara lain:

Kelas reguler

ABK belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.

Kelas reguler dengan cluster

ABK belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok tertentu.

Kelas reguler dengan pull out

ABK belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. Di Sekolah Dasar Al Firdaus, hanya ada 1 siswa yang menggunakan model kelas reguler dengan pull out, yaitu Firmansyah Adrian, yang sekarang telah menduduki kelas VI, dimana pada awal masuk Sekolah Dasar Al Firdua, guru menerapkan sistem ini dikarenakan siswa difabel tersebut memiliki pronlem pembelajaran yang berat. Sehingga setiap saat siswa harus dikeluarkan dari kelas dan dibimbing secara khusus di ruang PUSPA oleh guru pendamping.

Kelas Khusus dengan berbagai pengintegrasian

ABK di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.

Kelas khusus Penuh

ABK berada di dalam kelas khusus pada sekolah regular. Sekolah Dasar Al Firdaus menerapkan model ini pada saat Ujian Nasional Saja, dimana siswa difabel dijadikan satu pada satu kelas tertentu untuk dapat mengikuti Ujian Nasional.

PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI

3.1. Identifikasi

1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities)

Siswa yang memiliki kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki intelligensi normal atau di atas normal yang mengalami kesenjangan antara potensi intelektual yang mereka miliki dengan pencapaian hasil belajar. Gangguan tersebut menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung. Identifikasi dilakukan dengan tes formal maupun informal. Secara umum kesulitan belajar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

a. Development Learning Disabilities. Kesulitan belajar jenis ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam fungsi-fungsi psikologis dan bahasa. Meliputi ; attention disorder , memory disorder, visual perceptual and perceptual motor disorder , thingking disorder dan language disorder .

b. Academic Learning disabilities . Kesulitan belajar dalam bidang akademik merujuk pada suatu keadaan yang menghambat proses belajar dalam bidang akademik seperti kesulitan belajar membaca, belajar menulis, belajar matematika, dan dalam bidang akademik lainnya.

b. Lamban Belajar (Slow Learner)

Siswa yang mengalami lamban belajar adalah siswa yang memiliki kapasitas intelektual rata-rata bagian bawah tetapi masih di atas tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memiliki IQ sekitar 90 - 100. Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada Siswa yang mengalami lamban belajar adalah siswa yang memiliki kapasitas intelektual rata-rata bagian bawah tetapi masih di atas tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memiliki IQ sekitar 90 - 100. Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada

3.2. Laporan Kasus

Selama tahun pelajaran 2009/ 2010 PUSPA Al Firdaus telah menerima laporan kasus sebanyak 42. Dua puluh tiga kasus dari Unit Pendampingan Taman Pra Sekolah (UP TPP) dan 19 kasus dari Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD)

3.3. Pelaksanaan Program Intervensi

a. Assessment

Suatu proses pengumpulan data tentang anak-anak yang diduga mengalami kesulitan belajar dan hambatan belajar. Kegiatan ini untuk mengungkap kekuatan dan kelemahan seorang anak. Pengumpulan data ini dilakukan oleh tenaga psikolog, okupasi terapis dan guru pembimbing khusus. Pengumpulan data dilakukan dengan tes formal, tes informal, wawancara dan observasi.

b. Analisis Kebutuhan

Berdasarkan hasil assessment maka akan diperoleh diagnosis atau kesimpulan dari identifikasi jesis gangguan/ hambatan. Hal ini menjadi dasar penyusunan program terapi atau pembelajaran yang dibutuhkan.

c. Program Pembelajaran Individual

Program ini meliputi modifikasi proses tanpa mengganggu kelancaran pembelajaran di dalam kelas. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus dengan program Kelas Pendampingannya selama tahun pelajaran 2009/2010 telah menyusun Program Pengajaran Individual (PPI) untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar dan lamban belajar di UP SD. Penyusunan Program Pengajaran Individual (PPI). Program ini memuat tentang :

Permasalahan atau kesulitan siswa Rumusan jangka panjang dan jangka pendek Materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa Metode dan media yang digunakan Waktu pelaksanaan Evaluasi

3.4. Model Pelaksanaan

Pelaksanaan program pengajaran individual berdasarkan pertemuan antara guru kelas reguler, guru kelas pendampingan, orang tua, siswa didik yang berkepentingan dan Supervisor Pelayanan Umum Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus, untuk menentukan program layanan/ terapeutik yang tepat dan disetujui beberapa pihak di atas. Jadwal pelaksanaannya berdasarkan beberapa alternatif, yaitu :

a. Program Layanan Langsung

Kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penanganan langsung, tenaga ahli seperti okupasi terapis, guru pembimbing khusus, konselor, dan tenaga ahli lainnya secara langsung memberikan intervensi pada siswa yang mengalami kesulitan/ hambatan/ gangguan.

b. Program Asistensi Pada program ini dibentuk tim terpadu yang berkolaborasi mendampingi orang tua dan guru reguler dalam menyelesaikan kesulitan belajar seorang siswa. Tim terpadu tersebut membuat program intervensi yang kemudian pelaksanaannya didelegasikan pada guru umum (reguler) atau guru pendamping khusus.

c. Program Konsultatif Pada program ini guru kelas reguler sepenuhnya menyusun PPI dan melaksanakannya. Hanya saja guru reguler melakukan konsultasi dengan tenaga ahli dalam menentukan materi, metode dan media yang digunakan. Tenaga ahli tersebut seperti okupasi terapis, guru khusus PLB, psikolog.

d. Program Referal Kasus-kasus yang tidak memungkinkan ditangani oleh tenaga di Lembaga Pendidikan Al Firdaus akan dialihtangankan pada tenaga ahli/ lembaga eksternal. Jika gejala-gejala kesulitan/hambatan/gangguan yang dialami seorang siswa sudah memungkinkan untuk dicampurkan dengan siswa-siswa reguler maka program ini akan dialihkan ke program yang lebih ringan oleh tenaga di lingkungan Lembaga Pendidikan Al Firdaus.

3.5.Evaluasi

Evaluasi dilakukan tiap semester. Hasil evaluasi tersebut bersifat narasi dan individual sebagai laporan hasil pembelajaran di Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD). Berdasarkan hasil evaluasi perkembangan dari 45 siswa di Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD) tercatat 35 anak mengalami kemajuan sesuai target pembelajaran dengan program lanjutan, 10 anak belum mengalami kemajuan sesuai target pembelajaran dan 2 anak telah lepas tangan kasus.

3.6. Alih Tangan Kasus

Berdasarkan evaluasi tingkat pencapaian target (keberhasilan) program pembelajaran/ terapi, dimungkinkan ada kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh Lembaga Pendidikan Al Firdaus. Selama tahun pelajaran 2009/ 2010 Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus pernah satu kali melakukan alih tangan kasus di Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD).

3.7. Lepas Tangan Kasus

Beberapa kasus telah dinyatakan selesai mengikuti program layanan di PUSPA Al Firdaus berdasarkan parameter tertentu.

a. Pelatihan Team Building

Pelatihan Team Building dilakasanakan dalam upaya membentuk team di unit Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dapat bekerja dengan baik.

Acara ini juga di isi dengan senam otak untuk para guru dan karyawan. Kepentingan team building ini adalah secara khusus agar guru dapat bekerja dengan optimal, untuk karyawan agar lebih paham dengan tugasnya. Pelatihan team building ini dilaksanakn di luar ruangan dan dalam ruangan, puncak acara team building disi oleh team dari Primagama Wahyu Setiawan S.Si. bertindak sebagai team motivasi di lembaga tersebut.

b. Pengembangan program dan sarana prasarana

Pengembangan ini meliputi beberapa unsur yaitu :

1. Pengembangan kurikulum : dengan kegiatan AMT.

2. Pengembangan life skill : untuk membantu siswa agar lebih mampu mandiri perlu adanya kegiatan life skill siswa dengan menjahit dan beberapa alat ketrampilan untuk membuat karya seperti boneka, dan lain-lain.

3. Media Pembelajaran khusus : beberapa alat khusus diperlukan untuk membantu meningkatkan kemampuan anak seperti alat-alat lukis, VCD dan beberapa alat pemacu ketrampilan siswa.

MODEL UJIAN AKHIR NASIONAL (UASBN) BAGI SISWA DIFABEL

Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai penyelenggara Sekolah Inklusi mengalami beberapa tantangan diantaranya adalah masalah UASBN tetapi dengan kerja keras akhirnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus mampu Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai penyelenggara Sekolah Inklusi mengalami beberapa tantangan diantaranya adalah masalah UASBN tetapi dengan kerja keras akhirnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus mampu

Dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sejak angkatan 2004/ 2005 maka siswa difabel dapat memperoleh hak pendidikan di sekolah tersebut. Namun demikian keberhasilan tersebut menyisakan permasalahan di antaranya adalah ketika anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah reguler harus mengikuti UASBN. Bagi anak berkebutuhan khusus yang high functioning atau tidak mengalami hambatan mental/ kecerdasan seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunalaras dapat mengikuti UASBN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya bagi anak berkebutuhan khusus yang low functioning atau yang mengalami hambatan mental/ kecerdasan dan mereka sudah terdaftar sebagai peserta UASBN. Bagi mereka ini tentunya akan menjadi persoalan ketika harus mengikuti UASBN dengan soal yang sama seperti anak-anak lain pada umumnya, sedangkan kemampuan mereka tidak memadai untuk itu. Kondisi ini merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya oleh kita bersama.

Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi untuk mengatasi UASBN bagi anak berkebutuhan khusus low functioning, yaitu :

1. Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memberikan keterangan peserta UASBN yang tergolong pada anak berkebutuhan khusus. Keterangan ini berguna untuk menentukan soal mana yang akan digunakan.

2. Sekolah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Jawa Tengah melakukan identifikasi dan asessment. Identifikasi dan asessment ini penting dilakukan agar diperoleh data yang akurat mengenai kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus sehingga dapat menjadi dasar dalam pembuatan soal. Setelah data diperoleh melalui identifikasi dan asessment kemudian soal dibuat oleh guru/ sekolah masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Selanjutnya pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Jawa Tengah melakukan validasi terhadap soal yang telah dibuat oleh guru/ sekolah itu.

3. Soal yang telah divalidasi itu dapat digunakan dalam UASBN bagi siswa difabel. Soal yang dikerjakan oleh siswa difabel akan berbeda dengan anak pada umumnya, bahkan bisa berbeda pula antar sesama siswa difabel.

Dalam pelaksanaan UASBN, siswa difabel mental yang tidak mampu bergabung dengan siswa non-difabel dalam pengerjaan soal di kelas, maka di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus disediakan ruangan khusus bagi mereka yaitu di ruangan PUSPA dan disediakan guru pendamping untuk memandu dalam setiap pengerjaan soal, serta pengawas ujian dari pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, agar dalam pengerjaan soal benar-benar murni.

Dalam pemilihan pengawas ujian peserta difabel, tidak sembarangan, Dalam pemilihan pengawas ujian peserta difabel, tidak sembarangan,

Dalam hasil penilaian hasil UASBN bagi siswa difabel, nilai yang diperoleh harus disajikan dalam dua bentuk, yaitu bentuk angka dan bentuk deskriptif. Dua bentuk sajian ini diperlukan agar diperoleh kejelasan dan pertanggungjawaban mengenai nilai-nilai yang diperoleh siswa difabel. Misalnya, nilai matematika 7 bagi siswa difabel berbeda dengan nilai matematika 7 yang diperoleh anak pada umumnya karena dari bentuk, kualitas, dan kuantitas pertanyaan berbeda. Bagi siswa difabel memperoleh nilai 7 harus ada penjelasan mengapa nilainya 7.

Dalam penjelasannya, kurang lebih berisi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator-indikator yang telah dicapainya sehingga dapat diwakili dengan nilai 7. Begitu pula di dalam ijazah/ STTB bagi siswa difabel, dimana terdiri dari dua lembar, lembar pertama ijazah yang di dalamnya tercantum nilai berbentuk angka-angka dan lembar kedua berbentuk deskriptif.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab III ini penulis akan menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan interpretasi data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan di lokasi penelitian.

A. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian berikut ini merupakan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan di lokasi penelitian, yaitu di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta. Adapun hasil penelitian ini diperoleh dari wawancara mendalam terhadap para informan yang terdiri beberapa siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta guru dan orang tua siswa difabel. Adapun hasil penelitiannya

adalah sebagai berikut:

PROFIL INFORMAN

Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus merupakan salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus terdapat siswa difabel yang belajar bersama dengan siswa non-difabel yang ditempatkan pada ruang dan waktu serta kurikulum pembelajaran yang sama tanpa suatu pembedaan. Tetapi pada saat-saat tertentu ada kebutuhan khusus yang wajib diikuti oleh siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA).

Program inklusif di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus telah digalakkan sejak tahun ajaran 2004/ 2005 dan hingga kini memiliki siswa difabel sebanyak 51 siswa dan non-difabel sebanyak 481 siswa. Adapun 7 orang informan yang Program inklusif di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus telah digalakkan sejak tahun ajaran 2004/ 2005 dan hingga kini memiliki siswa difabel sebanyak 51 siswa dan non-difabel sebanyak 481 siswa. Adapun 7 orang informan yang

1.1 Siswa difabel yang mempunyai gangguan fisik (Celebral Palsy) Siswa difabel yang mempunyai gangguan fisik di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebanyak 2 siswa, yaitu : Nanda (gangguan pada kedua kaki) dan Tian (gangguan pada tangan kanan), keduanya mempunyai gangguan fisik yang disebabkan karena fungsi otak saraf yang tidak baik sejak lahir. Adapun profil kedua siswa tersebut adalah sebagai berikut :

Nanda (Bukan Nama Sebenarnya)

Nanda siswa kelas 3C, merupakan penyandang Celebral Palsy atau istilah lainnya yaitu kelainan saraf otak yang meyebabkan pertumbuhan tulang kaki khususnya pada telapak kaki. Sejak lahir, Nanda telah memiliki kekurangan ini. Ketika menginjak kelas 2 kaki Nanda dioperasi. Dalam proses interaksi sosial Nanda tidak mengalami kesulitan sama sekali justru Nanda mempunyai mental yang kuat. Pada awal masuk sekolah justru yang merasa malu adalah orang tua Nanda. Mereka malu karena teman-teman Nanda sering menanyakan : “Tante kakinya Nanda kenapa? Kok kayak bebek?”. Banyak teman laki-lakinya suka menirukan cara jalan Nanda dibelakangnya.

Rasa malu orang tua Nanda menimbulkan motivasi untuk melakukan operasi pada kedua kaki Nanda di salah satu rumah sakit di Jakarta. Pasca operasi satu bulan penuh Nanda memakai kursi roda yang disediakan oleh sekolah dan selama satu bulan itu Nanda ditunggui ibunya di sekolah Rasa malu orang tua Nanda menimbulkan motivasi untuk melakukan operasi pada kedua kaki Nanda di salah satu rumah sakit di Jakarta. Pasca operasi satu bulan penuh Nanda memakai kursi roda yang disediakan oleh sekolah dan selama satu bulan itu Nanda ditunggui ibunya di sekolah

Setelah kondisi Nanda benar-benar pulih, tetap saja kakinya masih belum normal, akhirnya para guru dan tenaga terapis memberikan solusi bahwa Nanda harus memakai sepatu terbalik yakni sepatu kaki kanan dipakai di kaki kiri dan sepatu kaki kiri dipakai untuk kaki kanan selama proses pemulihan, agar bentuk kaki kembali normal. Setelah naik di kelas tiga sekarang Nanda sudah kembali normal seperti anak lainnya dan juga pemakaian sepatunya pun juga sudah sama dengan anak lainnya.

Dalam kaitanya dengan proses belajar mengajar kepada Nanda digunakan kurikulum yang sama dengan siswa non-difabel tetapi Nanda tetap mengikuti jam tambahan untuk pelajaran Matematika yang dilaksanakan oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Hal ini disebabkan karena seringnya siswa tidak masuk sekolah pra operasi dan pasca operasi. Program intervensi diberikan pada Nanda agar siswa mampu mengikuti seluruh pelajaran kurikulum reguler. Nanda mempunyai kelebihan pada bidang seni tarik suara, Nanda pernah meraih juara tiga lomba menyanyi yang diselenggarakan oleh Yayasan Raka Perkasa.

Tian (Bukan Nama Sebenarnya)

Tian siswa kelas 4C, merupakan penyandang Celebral Palsy. Yang menyebabkan kecacatan pada Tian adalah karena ada gangguan pada semua saraf di bagian tubuh sebelah kanan dan juga menyebabkan pertumbuhan tulang di bagian tangan dan kaki sebelah kanan tidak sempurna.

Ketika awal masuk sekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini Tian malu dengan kondisi yang ada pada dirinya, karena sering diejek teman-temannya “gak punya tangan”. Hal ini menyebabkan Tian kurang bersosialisasi dan sedikit pendiam. Akan tetapi menginjak di kelas 4 Tian sudah terbiasa dengan kondisinya dan begitu juga teman-temannya bisa menerima Tian apa adanya bahkan saling tolong menolong jika Tian mengalami kesulitan dalam hal pelajaran atau hal lainnya. Dari segi interaksi sosial Tian tidak mengalami kesulitan sama sekali hanya sering malu akan keadaan dirinya, tetapi sekarang sudah memiliki rasa percaya diri yang kuat.

Dalam segi akademis secara umum Tian tidak mengalami kesulitan atau gangguan karena kecacatan yang dialaminya dan tidak mempengaruhinya dalam proses belajar, bahkan prestasi Tian dapat bersaing dengan anak non-difabel dikelasnya. Dalam penyaluran bakat Tian mengikuti kegiatan ekstrakurikuler olahraga Tae Kwondo yang memerlukan fisik dan mental yang kuat, saat ini Tian sudah mencapai tingkatan sabuk hijau garis dua.

Orang tua Tian sangat peduli dengan keadaan Tian. Setiap satu minggu sekali orang tua Tian membawanya untuk melakukan terapi di Orthopedi Rehabilitasi Centrum demi perbaikan saraf dan tulang serta akan dibuatkan alat bantu penyandang cacat yang bernama split guna penyembuhan pada tangan kanannya.

1.2 Penyandang Autis dan Gangguan Sosialisasi serta Interaksi Siswa difabel yang merupakan penyanang autis dan mempunyai gangguan fisik di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebanyak 5 siswa, yaitu : Rahman, Abdul, Putra, Iman, dan Ian. Adapun profil kelima siswa tersebut adalah sebagai berikut :

Rahman (Bukan Nama Sebenarnya)

Rahman siswa kelas 1A yang menurut ahli terapis diindikasikan sebagai penyandang autis. Ibu Rahman merupakan seorang bidan, sehingga tahu tentang penanganan Rahman sejak dini. Rahman sebelumnya juga merupakan siswa di Yayasan Al Firdaus yaitu dari Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) dan Taman Kanak-kanak (TK) AL Firdaus, sehingga pemantauan pendidikan dan perkembangan anak menjadi lebih mudah karena dari awal sudah mempunyai riwayat pendidikan di Yayasan Al Firdaus.

Ibu Uswahyu sebagai wali kelas Rahman mengatakan bahwa Rahman mengalami kesulitan pembelajaran di kelas karena sistem motoriknya tidak jalan dan tampak pasif. Apabila diajari menulis atau Ibu Uswahyu sebagai wali kelas Rahman mengatakan bahwa Rahman mengalami kesulitan pembelajaran di kelas karena sistem motoriknya tidak jalan dan tampak pasif. Apabila diajari menulis atau

Rahman juga cenderung pasif dalam hal berinteraksi sosial dengan temannya, pendiam tidak mau bertanya sebelum ditanya dan juga jarang mengajak temannya bermain. Dari pihak siswa non-difabel memiliki rasa toleransi yang cukup tinggi terhadap Rahman. Teman-temannya selalu berusaha mengajak Rahman untuk bermain bersama namun, saat bermain dia tidak dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik. Rahman sangat pasif dan hanya ikut-ikut saja tanpa ada tujuan, bahkan Rahman tidak menyadari bahwa dia sedang bermain bersama teman-temannya.

Kurikulum pembelajaran untuk Rahman sama dengan murid-murid yang lain, karena masih kelas satu jadi targetnya untuk sementara hanya bisa membaca, menulis dan berhitung. Mata pelajaran yang digemari oleh Rahman adalah menggambar dan mewarnai. Ketika duduk di Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) dan Taman Kanak-kanak (TK) AL Firdaus Rahman pernah juara satu menggambar.

Untuk perawatan terapi terhadap Rahman dilakukan disekolah melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dengan pengenalan gambar dan istilah, selain itu pihak orang tua Rahman juga Untuk perawatan terapi terhadap Rahman dilakukan disekolah melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dengan pengenalan gambar dan istilah, selain itu pihak orang tua Rahman juga

Abdul (Bukan Nama Sebenarnya)

Abdul adalah siswa kelas 2 SD Al Firdaus yang memiliki keterbatasan yaitu autis taraf ringan. Dalam interaksi sosial dengan teman- temannya satu kelas Abdul cenderung pendiam dan jarang bermain bersama. Apabila ada temannya yang meledek dan membuatnya emosi dia cenderung memukul atau melempar sesuatu. Apabila bermain Abdul hanya mengikuti permainan temannya atau hanya ikut-ikutan saja tanpa mengerti maksud dan tujuan teman-temannya itu. Apabila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaan Abdul atau sedang sedih yang berlebihan Abdul biasanya menangis sambil berteriak.

Sementara itu untuk masalah akademik Abdul mengikuti kurikulum pembelajaran yang ada. Dalam kaitanya dengan kemampuan membaca dan menulis Abdul sudah bisa membaca dengan lancar tetapi untuk menulis belum terlalu Abdul jarang bertanya apabila tidak tahu atau belum paham karena kesulitan untuk mengungkapkan apa yang akan ditanyakan kepada guru. Sementara itu untuk kemampuan lainnya Abdul sudah dapat mengikuti mata pelajaran Matematika dan mempunyai nilai di atas rata- rata.

Selama ini Abdul sudah mampu mengikuti pelajaran dan tugas yang diberikan oleh guru, bahkan apabila tugasnya belum selesai tetapi jam Selama ini Abdul sudah mampu mengikuti pelajaran dan tugas yang diberikan oleh guru, bahkan apabila tugasnya belum selesai tetapi jam

Untuk terapi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Abdul diberi intervensi lebih mengenai kerapian menggambar dan mewarnai untuk melatih kerapiannya serta dilatih untuk berinteraksi sosial dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Selain itu juga diberi terapi-terapi lainnya untuk menambah kemampuan Abdul.

Putra (Bukan Nama Sebenarnya)

Putra siswa kelas 3C ini merupakan salah satu murid berkebutuhan khusus atau difabel penyandang autis taraf ringan akan tetapi walaupun sama-sama penyandang autis tetapi Putra berbeda dengan Ian kakak kelasnya yang berada di kelas 6. Di dalam perilaku sosial anak-anak autis seperti Putra selalu tergantung situasi dan dari keadaan perasaan hati atau mood dan keinginan si anak tersebut. Seperti misalnya: apabila Putra marah atau tidak suka dengan apa yang dilakukan teman karena mengejeknya maka Putra cenderung berteriak dan bahkan pernah sampai mengangkat kursi untuk dilempar ke teman yang mengejeknya. Dari pihak sekolah juga memberikan bimbingan konseling apabila terjadi konflik Putra siswa kelas 3C ini merupakan salah satu murid berkebutuhan khusus atau difabel penyandang autis taraf ringan akan tetapi walaupun sama-sama penyandang autis tetapi Putra berbeda dengan Ian kakak kelasnya yang berada di kelas 6. Di dalam perilaku sosial anak-anak autis seperti Putra selalu tergantung situasi dan dari keadaan perasaan hati atau mood dan keinginan si anak tersebut. Seperti misalnya: apabila Putra marah atau tidak suka dengan apa yang dilakukan teman karena mengejeknya maka Putra cenderung berteriak dan bahkan pernah sampai mengangkat kursi untuk dilempar ke teman yang mengejeknya. Dari pihak sekolah juga memberikan bimbingan konseling apabila terjadi konflik

Komunikasi Putra dengan guru tidak berbeda dengan anak lain, tetapi untuk anak autis seperti Putra ini kadang-kadang suka berteriak- teriak, suka menceritakan apa yang dialaminya namun terkadang tidak sesuai dengan topik yang sedang dibahas atau dibicarakan. Untuk rutinitas atau kegiatan Putra sama dengan murid lain tetapi Putra lebih suka menyendiri dan jarang mengajak temannya untuk bermain, seperti misalnya pada saat jam istirahat. Berkaitan dengan masalah kurikulum, Putra memperoleh kurikulum pembelajaran yang sama dengan murid- murid lain tetapi apabila terlihat mengalami kesulitan sekolah memberikan guru pendamping. Selain guru pendamping sekolah SD Al Firdaus ini selaku sekolah inklusif memberikan terapi khusus untuk siswa difabel seperti Putra diberi terapi melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) melalui program intervensi tiga kali satu minggu dan juga kegiatan outing untuk anak berkebutuhan khusus yang bertujuan agar anak-anak berkebutuhan khusus ini mampu mandiri dan yang diberikan berguna untuk kehidupan siswa difabel tersebut.

Kegiatan outing adalah kegiatan dimana anak diajak belajar diluar sekolah bersama-sama dengan murid-murid berkebutuhan khusus lain yang dilakukan minimal dua kali dalam satu semester. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutinitas yang diselenggarakan oleh Komite Sekolah Kegiatan outing adalah kegiatan dimana anak diajak belajar diluar sekolah bersama-sama dengan murid-murid berkebutuhan khusus lain yang dilakukan minimal dua kali dalam satu semester. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutinitas yang diselenggarakan oleh Komite Sekolah

Orang tua Putra menjalin kerjasama yang baik dengan guru sehingga kekurangan Putra ini tertangani dengan baik. Antara orang tua dan guru memberikan informasi yang sama agar dapat diaplikasikan di rumah dengan baik, sehingga perkembangan Putra juga baik. Jadi antara pihak orang tua dan pihak sekolah khususnya wali kelas terdapat sebuah komunikasi yang baik dan program yang seimbang antara di rumah dan di sekolah.

Iman (Bukan Nama Sebenarnya)

Iman siswa kelas 4C mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran atau gangguan belajar yang sering disebut LD (Learning Disability). Jika dilihat dari penampilan fisik Iman memang tidak terlihat kekurangan sama sekali, akan tetapi terlihat kekurangan ketika adanya kegiatan belajar mengajar, yaitu kurang bisa fokus dan kurang bisa memahami perintah atau tugas yang harus dilakukan atau dikerjakan. Untuk memahami dan menghafalkan dalam bentuk kalimat yang panjang masih susah, selain itu Iman siswa kelas 4C mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran atau gangguan belajar yang sering disebut LD (Learning Disability). Jika dilihat dari penampilan fisik Iman memang tidak terlihat kekurangan sama sekali, akan tetapi terlihat kekurangan ketika adanya kegiatan belajar mengajar, yaitu kurang bisa fokus dan kurang bisa memahami perintah atau tugas yang harus dilakukan atau dikerjakan. Untuk memahami dan menghafalkan dalam bentuk kalimat yang panjang masih susah, selain itu

Pada mata pelajaran Matematika Iman masih susah atau kesulitan menghitung dengan perkalian yang besar dan belum paham dengan konsep pembagian. Oleh karena itu khusus untuk Iman maka kurikulumnya juga di modifikasi, misalnya: apabila murid yang lain diberi 20 soal maka untuk Iman hanya 15 soal, dan untuk waktu mengerjakan tugas yang lain misalnya 2 jam untuk Iman hanya 1 jam. Apabila dibanding dengan nilai akademis Tian teman satu kelas yang juga mengalami keterbatasan fisik, Iman masih jauh di bawah anak yang berkemampuan normal di akademis dan oleh sebab itu Iman dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus dan harus diberi terapi dan pendampingan dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA).

Kemampuan interaksi sosial Iman pada awalnya memang sedikit terganggu tetapi kemudian lama kelamaan setelah mendapatkan bimbingan dan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, Iman dapat berinteraksi sosial dengan anak-anak lain dengan baik, berbicara lancar dan bergaul dengan murid lain tanpa ada batasan. Hanya saja hingga saat ini kemampuan belajarnya yang mengalami gangguan dan ketertinggalan. Untuk kemampuan lainnya Iman memiliki bakat di dunia seni khususnya di bidang seni tari dan pernah juara tingkat propinsi. Untuk minat mata pelajaran Iman lebih minat dengan mata pelajaran Bahasa Jawa bahkan hafal tokoh-tokoh pewayangan.

Ian (Bukan Nama Sebenarnya)

Ian adalah salah satu penyandang autis taraf ringan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Saat ini Ian duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Usia Ian yaitu 15 tahun, setara dengan usia siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada umumnya, tetapi hingga saat ini Ian hanya mampu menguasai pelajaran kelas 2 Sekolah Dasar dan diperkirakan akan mampu menguasai pelajaran-pelajaran kelas 6 Sekolah Dasar pada saat umur 20 tahun nanti. Ian masuk di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada kelas 2, sebelumnya Ian merupakan siswa pindahan dari SD Negeri Non Inklusif. Penanganan Ian dari Taman Kanak-kanak hingga kelas 1 Sekolah Dasar kurang baik dan tidak diarahkan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus, karena Sekolah Dasar Negeri Non Inklusif tidak tahu tentang tata cara penanganan untuk Anak Berkebutuhan Khusus seperti Ian.

Pada awal masuk sampai di kelas 4 lebih banyak digunakan sistem pull out untuk Ian, setelah masuk kelas 5 sampai sekarang kelas 6, sudah jarang menggunakan sistem pull out. Sistem pull out ini diterapkan kepada Ian karena interaksi dan sosialisasi Ian terhadap teman-temannya cenderung ke arah negatif dengan perilaku yang membahayakan. Misalnya dengan mengambil pisau di ruang makan untuk membunuh temannya yang mengejek dia, kemudian marah sambil berteriak-teriak dan melempar serta memukul barang-barang milik sekolah untuk membalas perlakuan teman-temannya yang sering mengganggu Ian.

Ian suka mengasingkan diri di ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), karena situasi dan kondisi ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sangat tenang yang memungkinkan untuk dapat menenangkan pikiran disana serta didampingi oleh guru pendamping dan konselor dalam menangani kasus Ian.

Untuk menangani Ian harus ada cara khusus misalnya: apabila Ian tidak mau disuruh atau tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On”. Jadi guru akan memberi reward bila Ian menuruti guru dan punishmen bila tidak mau menurut dengan guru.

Ian memiliki tingkat imajinasi yang tinggi, dia menyukai hal-hal yang berhubungan dengan dinosaurus. Setiap mata pelajaranpun selalu dihubungkan dengan dinosaurus, sehingga para guru juga harus pandai dalam mengkaitkan atau tidak mengkaitkan antara pelajaran yang diterima oleh Ian dengan kehidupan dinosaurus

Ian cenderung mengulang pertanyaan yang sudah pernah ditanyakan, maka dari pihak guru pengajar khususnya wali kelas biasanya apabila Ian bertanya tentang kesukaannya yaitu dinosaurus di luar pelajaran tersebut contohnya ketika Ian bertanya mengenai dinosaurus di mata pelajaran yang sedang diterangkan maka guru juga menerangkan kalau dinosurus ini sudah punah dan sudah tidak ada di jaman sekarang ini.

Selain imajinasi tinggi, anak autis seperti Ian cenderung emosinya tidak terkontrol dan hanya tergantung mood atau perasaan. Pernah pada saat jam istirahat Ian pergi ke dapur untuk mengambil pisau, kemudian ditanya oleh guru, “Buat apa ambil pisau? Ian menjawab buat bunuh temannya karena menjengkelkan.” Selain itu juga pernah terjadi sebuah kejadian yakni Ian ke luar kelas mengambil batu untuk dilempar ke temannya yang ada di kelas karena suka menggodanya. Perkembangan jiwa Ian lebih ke arah yang negatif dibandingkan dengan Putra yang menuju ke arah positif. Walaupun sama-sama penderita autis, tetapi Ian dan Putra tidak bisa akur, bahkan jika bertemu saling bertengkar satu sama lain.

Ian memiliki daya seksualitas yang tinggi suatu ketika pernah pada saat istirahat Ian mengejar-ngejar teman perempuan satu kelasnya dan bila ditanya “Kenapa mengejar-ngejar temanya?” Ian menjawab bahwa ia suka dan mau menikah dengan teman perempuan satu kelasnya. Setiap bertemu dengan orang tua teman perempuan satu kelas tersebut ketika menjemput Ian bilang “Tante aku mau menikah dengan anaknya”. Selain itu ketika pada masa awal duduk di kelas 6 setiap pagi atau mau pulang sekolah Ian selalu meminta peluk dari ibu gurunya dan ketika dipeluk Ian tersenyum ketawa kemudian Ibu gurunya bertanya, “Kenapa kok ketika dipeluk Ian ketawa? Ian menjawab payudara ibu guru seperti milik mama” Ternyata setiap pagi mau berangkat sekolah Ian dipeluk mamanya dan menjadi kebiasaan dan berpikiran ke arah seksual. Semenjak itu apabila Ian Ian memiliki daya seksualitas yang tinggi suatu ketika pernah pada saat istirahat Ian mengejar-ngejar teman perempuan satu kelasnya dan bila ditanya “Kenapa mengejar-ngejar temanya?” Ian menjawab bahwa ia suka dan mau menikah dengan teman perempuan satu kelasnya. Setiap bertemu dengan orang tua teman perempuan satu kelas tersebut ketika menjemput Ian bilang “Tante aku mau menikah dengan anaknya”. Selain itu ketika pada masa awal duduk di kelas 6 setiap pagi atau mau pulang sekolah Ian selalu meminta peluk dari ibu gurunya dan ketika dipeluk Ian tersenyum ketawa kemudian Ibu gurunya bertanya, “Kenapa kok ketika dipeluk Ian ketawa? Ian menjawab payudara ibu guru seperti milik mama” Ternyata setiap pagi mau berangkat sekolah Ian dipeluk mamanya dan menjadi kebiasaan dan berpikiran ke arah seksual. Semenjak itu apabila Ian

Dalam kaitanya dengan kerjasama apabila ada pekerjaan kelompok atau pekerjaan keterampilan bersama, Ian cenderung mondar-mandir melihat pekerjaan teman-temannya yang lain, hanya membawa bahan untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk bekerja sama. Ian paling tidak suka diskusi, apabila sedang diskusi teman-temannya harus ikut jalan pikirannya. Apabila sedang istirahat Ian lebih suka menyendiri, biasanya jajan kemudian menyendiri makan di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Untuk berinteraksi sosial dengan teman-temannya seperti ketika istirahat Ian sangat jarang berinteraksi sosial bahkan apabila istirahat atau pelajaran Ian bertemu Putra murid kelas 3 maka selalu terjadi konflik karena Putra selalu menggoda, padahal mereka sama-sama penyandang autis. Ketika Ian sedang menyanyi Putra pasti mengejek kalau suara Ian jelek begitu juga sebaliknya apabila Putra sedang pidato atau bercerita Ian juga selalu mengejeknya, karena reaksi yang berlebihan ini yang mengundang Putra dan kadang teman yang lainnya untuk menggoda si Ian. Ian menyukai pelajaran science atau pengetahuan alam dan IT, dunia maya atau internet.

Apabila ada pelajaran yang dia tidak suka khususnya seperti Kewarganegaraan, dan pelajaran sosial dia selalu keluar kelas atau ke Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Oleh karena itu Ian diberi metode khusus karena apabila temannya diterangkan sekali maka Ian harus diterangkan berulang-ulang dan harus ada guru pendamping yang selalu mendampingi lalu menjelaskan. Ian paling tidak suka pelajaran membaca dan menulis.

Ian mendapat program terapis atau intervensi dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) tiga kali dalam satu minggu. Dalam kurikulumnya untuk Ian ada modifikasi, misalnya: apabila anak lain atau non-difabel jenjang nilai 1-100 kalau Ian 1-70. Khusus untuk UASBN karena Ian sudah kelas 6. Maka menurut wali kelasnya tidak ada masalah karena materi dan pengisian jawaban untuk Ian hanya melingkari tetapi untuk membacanya harus ada bantuan atau pendamping yang membantu membacakan soal tetapi tidak mengarahkan ke jawaban hal ini disebabkan karena Ian tidak suka membaca bila kalimatnya panjang. Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh di lapangan maka berikut ini peneliti menyajikan matriks profil informan yaitu siswa difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta :

Matriks 3.1

Profil Informan (Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta)

NAMA NO

KELAS

PROFIL SISWA

1. Rahman

1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain.

(Bukan Nama 3. Kekuatan : Memahami instruksi. Mau berinteraksi dengan orang lain. Keterampilan motorik kasar dan halus sudah cukup bagus. Mampu Sebenarnya)

membaca suku kata hidup. Mampu menulis kata dengan dengan didektekan persuku kata. Sudah mampu menulis di buku kotak kecil. IA Mampu membilang benda sampai dengan 20. Anak selalu membawa alat tulis. Tidak mempunyai hambatan sosialisasi, anak yang terbuka. Ada kemauan bercerita dan menjawab pertanyaan tentang peristiwa yang dialaminya. Suka melukis. Anak sudah mampu membaca iqro 2 hal 27 dan belum mampu menghafal surat Al falaq, An Nas, Al Maun, Al Kafirun, doa masuk dan keluar kamar mandi. 4. Kelemahan : Sulit untuk memahami instruksi bertingkat2.Cenderung mengulang pertanyaan. Muncul gerakan tremor ketika memegang benda kecil dan ringan. Belum mampu membaca suku kata berakhiran kosonan. Kesulitan mencontoh tulisan dari papan tulis. Masih diarahkan dalam menempatkan huruf sesuai aturan. Belum mampu mengurutkan bilangan dari yang terkecil ke bilangan yang terbesar. Belum mampu mempersiapkan perlengkapan alat tulis. Tidak mampu mengungkapkan perasaannya. Melukis masih belum rapi. Anak belum mampu membaca iqro 4 hal 18 dan sudah mampu menghafal surat Al Fatihah, An Nas, Al Falaq, Al Ikhas, Al Lahab, Al-Kafirun, Al Kautsar, Al FIL, Al Nasr, doa makan, doa tidur dan doa masuk kamar mandi. 5. Kebutuhan : Pengulangan instruksi dan memahami instruksi. Memperkaya kosa kata dengan memberi penjelasan dalam buku cerita. Mengurangi gerakan tremor. Latihan membaca. Kemampuan visual persepsi. pemahaman aturan melukis di kotak kecil. latihan mengurutkan bilangan dari yang terkecil ke bilangan yang terbesar. Persiapan alat tulis dan buku sebelum pelajaran. Anak mampu

10. Interaksi antar siswa : Baik

2. Abdul

1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi

(Bukan Nama

2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain. 3. Kekuatan : Anak mampu mengikuti tugas yang diberikan dikelas dengan cepat, bahasa reseptif: mampu mengerti makna bahasa

Sebenarnya) sederhana yang sering dipakai sehari-hari, bahasa ekspresif: anak mampu mengungkapkan bahasa ekspresif misalnya saat anak senang

IIC dan tidak senang dengan sesuatu, menginginkan sesuatu, saat marah dan lainnya, bila diajak komunikasi dua arah anak mampu menangapi dan menjawab, motorik kasar: anak mampu melompat, melempar, berlari, berputar meskipun gerakan masih kaku, motorik halus: anak mampu menulis dengan pola pegang pensil three pod pinch, menggambar mewarnai mandiri tetapi masih seering keluar garis, kemampuan menulis: mampu menulis dengan mengcopy tulisan yang ada dipapan tulis, mampu menulis dengan dikte suku kata,kata konsonan mati dan konsonan rangkap, kemampuan membaca: mampu membaca suku kata hidup, suku kata berkonsonan mati

175

dan konsonan rangkap, kemampuan matematika: mampu membilang sampai dengan 10000, ma,pu menjumlah dengan teknik meyimpan dan mengurang dengan teknik meminjam, anak mau bersosialisasi dengan teman-teman saat jam istirahat dengan bergabung bersama- sama anak lainnya, untuk toilet training mampu mandiri, berpakaian, makanan, minuman, mandi mandiri, mau berbagi makanan, mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar, mampu menyelesaikan aktifitas berhitung dan menulis dalam waktu yang cepat. 4. Kelemahan : Anak sulit dihentikan atau diganti dengan pelajaran yang lain bila tugas pada pelajaran yang sebelumnya belum selesai, bahasa reseptif: anak sering menanyakan makna bahasa-bahasa yang jarang didengar dalam keseharian seperti: syahid, tumbas, boros dan lainya, bahasa ekspresif yang dikeluarkan jika anak sedih terlalu berlebihan yaitu menaggis sambil berteriak, anak lebih sering menjawab pertanyaan jika ditanya, tetapi anak jarang memulai pembicaraan serta sering mengalamikesulitan mengungkapkan pertanyaan yang ingin ditanyakan, belum mampu surving dan memukul satelkok dengan baik ketika bulu tangkis, mewaarnai belum rapi, tulisan anak kurang rapi dan terlalu besar, hanya mengikuti pola permainan teman-temanya, anak belum mampu melakukan sholat lima waktu, belum mampu menata jadwal sendiri, masih kaku dalam melaksanakan aktifitas, anak lebih cenderung memukul jika ada seseorang yang keterlaluanmemancing emosinya. 5. Kebutuhan : Memahami batas waktu menyelesaikan tiap tugas, membutuhkan lebih banyak kosa kata dan penjelasan kata-kata yang jarang didengar dalam keseharian, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi, membutuhkan banyak latihan untuk memulai pembicaraan, mampu bermain bulu tangkis dengan baik, mewarnai dengan rapi, menulis dengan rapi dan sesuai dengan garis dan kotak, mengetahui cara bermain, mampu melaksanakan sholat lima waktu, mampu menata jadwal sendiri, mengetahui durasi waktu tiap tugas, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi. 6. Langkah Bantuan : Memberikan pemahaan durasi waktu tiap tugas, memakai media gambar untuk bercerita, meminta anak mengulangi bercerita, menjelaskan kata-kata yang ditanyakan, sosial story, berlaatih bulu tangkis setiap hari jumat, berlatih mewarnai, sosial story mengenai perlunya menulis rapi dan mengarahkan anak untuk menulis sesuai dengan kotak yang ada, melatih anak bertukar bekal dengan teman, latihan bermain kelompok, strategi fisual, memberikan pemahaman dan mengingatkan anak tentang waktu mengerjakan tugas, memperbanyak latihan soal yang berkaitan dengan latihan berhitung, dan menulis.

7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menggambar dan berhitung 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang

10. Interaksi antar siswa : Baik

3. Putra

1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain dan masih tergantung keadaan hati atau

(Bukan Nama

keinginan.

Sebenarnya) 3. Kekuatan : Mampu menghafal pelajaran ilmu pengetahuan alam (science) dengan cepat dan secara spontan berlagak seperti guru

IIIC

menerangkan di depan kelas dengan percaya diri. 4. Kelemahan : Anak tidak mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman. Bahkan disaat ada kegiatan makan siang bersama, anak tidak dapat mengambil makanannya sendiri. Jika ada yang mengganggu cenderung marah, menangis, dan melempar. Jika diajak komunkasi dua arah, anak mampu menanggapi, tetapi memerlukan waktu yang lama. Anak tidak peka terhadap keadaan dan kejadian disekitarnya. Tidak bisa mengikuti pelajaran yang bersifat sosial, seperti ilmu pengetahuan sosial dan kewarganegaran, dimana dalam mata pelajaran tersebut berisikan norma-norma sosial dan aplikasinya dilakukan dalam masyarakat. 5. Kebutuhan : Pengulangan instruksi dan memahami instruksi. Memberi penjelasan setiap kalimat yang diterangkan. membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi, membutuhkan banyak latihan untuk memulai pembicaraan, mampu bermain bulu tangkis dengan baik, mewarnai dengan rapi, menulis dengan rapi dan sesuai dengan garis dan kotak, mengetahui cara bermain, mampu melaksanakan sholat lima waktu, mampu menata jadwal sendiri, mengetahui durasi waktu tiap tugas, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi. 6. Langkah Bantuan : Setiap mata pelajaran sosial, guru pendamping harus mendampingi untuk mendefinisikan ulang setiap kalimatnya disertai dengan contohnya. Agar ana mengerti akan maksud dari mata pelajaran tersebut dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari- hari 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan penambahan jam pelajaran sosial dan kewarganegaraan

8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menerangkan tentang science 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang

10. Interaksi antar siswa : Baik

4. Nanda

1. Jenis Kecacatan : Celebral Palsy 2. Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel

(Bukan Nama

3. Kekuatan : Menonjol di mata pelajaran seni, khususnya menyanyi

Sebenarnya) 4. Kelemahan : Pada mata pelajaran matematika memiliki ketertinggalan, dikarenakan setelah operasi kaki, sering tidak masuk, sehingga

membutuhkan guru pendamping khusus pada mata pelajaran matematika 5. Kebutuhan : Memberikan tambahan pembelajaran berhitung

IIIC 6. Langkah Bantuan : Pada mata pelajaran matematika, avisa menggunakan sistem pull out, dimana dia ditarik dari kelas untuk ditempatkan

diruang khusus dengan guru pendamping dan guru lainnya yang khusus mata pelajaran matemtika. Dalam ruangan tersebut anak diberikan pelajaran lebih detail daripada teman-temannya. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan menambah jam pelajaran matematika 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Baik 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang

10. Interaksi antar siswa : baik

5. Iman

1. Jenis Kecacatan : Learning Disability (Gangguan Belajar) 2. Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel

(Bukan Nama 3. Kekuatan : Anak mau menyelesaikan tugas yang diberikan guru kelas. Anak tidak cepat putus asa apabila tidak bisa, anak semangat Sebenarnya)

dalam mengerjakan tugas sampai selesai. Motorik kasar : anak dapat menari dengan lincah, pandai mengolah tubuh. Tulisan anak bagus. IVA

Suka dipelajaran bahasa jawa, khususnya tokoh-tokoh pewayangan. Paham konsep perkalian meskipun masih menghitung secara penambahan dengan jari. Bagus dalam bersosialisasi. Tidak nudah tersinggung walaupun diejek teman saat dia tidak bisa. Disiplin

178

terhadap peralatan sekolah (berusaha menghubungi rumah saat buku paket/ peralatan sekolah tertinggal dirumah, berusaha meminjam alat ke kelas lain sementara anak belum membeli). Pandai menari. Mudah dalam menghafal ayat Al-Quran. 4. Kelemahan : Kurang memahami instruksi tugas dalam buku. Kurang konsentrasi. Motorik halus: anak lama dalam menulis, menulis sangat pelan karena posisi menulis anak terlalu ditekan sehingga anak gampang capek. Pemahaman dalam menerima materi kurang. Sulit menghafal dalam kalimat yang panjang. Penggunaan huruf kapital dalam menulis belum sesuai (imam, jL. Merapi). Anak kesulitan menghitung perkalian yang lebih besar. Belum memahami konsep pembagian. Manja(meminta sesuatu harus terpenuhi saat itu juga, keinginan yidak bisa ditunda). Hampir setiap mata pelajaran selalu ijin ke kamar mandi sehingga mengakibatkan ketertinggalan materi yang disampaikan guru. Sering keliru dalam membaca huruf hijayah. Panjang dan pendek membaca belum benar. 5. Kebutuhan : Pengulangan instruksi. Tugas cepat selesai. Latihan senso motorik. Peyederhanaan materi. Pengulangan materi. Mudah menghafal. Latihan menulis sesuai kapital. Menghafal perkalian. Memahami konsep pembagian. Menahan diri. Tidak terlalu sering kekamar mandi. Selalu mengasah keterampilan dalam menarinya. Benar dalam membaca huruf Al-Quran beserta panjang pendeknya. 6. Langkah Bantuan : Pengulangan instruksi. Peyederhanaan instruksi. Mengingatkan anak untuk konsentrasi. Melatih konsenntrasi dengan permainan jumbopas/logika. Terapi okupasi. Belajar dengan mind maping. Merangkum dan mengemas materi. Pelajaran dengan permainan. Mengemas hafalan dengan permainan (cth: komponen peta:judul, skala menjadi jusuf kala). Memberikan pemakaian huruf kapital, praktik saat mencatat, memberi reward saat penggunaan huruf kapital benar. Memberi hafalan perkalian. Memberi teknik perkalian dengan jari secara bertahap. Mengajarkan konsep pembagian adalah kebalikan dari perkalian. Tidak memberikan apa yang diinginkannya. Dibolehkan ijin kekamar mandi saat pergantian jam pelajaran. Mengikut sertakan dalam sanggar tari. Mencari info lomba-lomba. Latihan membaca iqro minimal 2lembar per hari. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan menambah jam pelajaran matematika 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menari 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang

10. Interaksi antar siswa : Baik

6. Tian

1. Jenis Kecacatan : Celebral Palsy dan Gangguan sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi.

(Bukan Nama

3. Kekuatan : Mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Mampu berinteraksi dan bersosialisasi.

Sebenarnya) 4. Kelemahan : Malu ketika bersalaman dengan guru maupun teman non-difabel, karena keadaan tangan kanan kecil. Dalam mata pelajaran IVA

ketrampilan, mengalami kesulitan, karena tangan susah untuk digunakan menggunting, menempel, dan melipat. Dalam kesehariannya yang aktif adalah tangan kirinya. 5. Kebutuhan : Memberikan pendampingan pada mata pelajaran matematika 6. Langkah Bantuan : Pada mata pelajaran matematika, anak tetap berada diruang kelas bersama teman-temannya, hanya didampingi oleh guru pendamping. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Taekwondo 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang

10. Interaksi antar siswa : Baik

7. Ian

1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi VI 2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Hanya mampu berinteraksi dengan orang-orang yang disukainya.

3. Kekuatan : Anak mampu mengerjakan tugas yang diberikan dengan instruksi secara lisan baik dari guru kelas maupun guru pendamping. Pemahaman instruksi baik. Bahasa reseptil: penggunaan bahasa sederhana anak akan mengerti maknanya. Bahasa ekspresif: anak mampu mengungkapkan bahasa ekspresif misalnya saat perasaan anak sedang senang dan sedih, anak menginginkan sesuatu, anak marah; baik dengan ucapan atau sikap. Apabila anak diajak berkomunikasi dua arah, anak mampu menanggapi dan menjawab dengan benar. Motorik halus: anak mampu menulis dengan rapi tanpa keluar garis, mampu membuat table dengan garis yang lurus serta ukuran yang benar, mampu menggambar, mewarnai mandiri tanpa keluar garis. Motorik kasar: anak mampu melompat, menggerakan tangan dan kepala secara bergantian dalam 1x hitungan, menekuk lutut untuk menjaga keseimbangan, melempar, berputar

180

berlari; meskipun gerakan masih kaku. Secara umum kemampuan akademis sama dengan anak lainnya kecuali pada pelajaran matematika. Anak hafal perkalian 1dan 2. jika anak diajak komunikasi dua arah anak mampu menanggapi dan menjawab dengan lancar dan benar. Anak mau berteman dengan anak yang bisa menanggapi ceritanya (anak mudah akrab dengan orang lain meskipun belum kenal). Anak sudah mampu mencuci peralatan makan yang kotor dan membersihkan bagian yang kotor pada pakaian. Anak mau mengakui kesalahan secara jelas ketika bersalah dan patuh terhadap konsekuensi yanga telah disepakatinya. Anak sangat pandai menghafal lyric lagu dalam waktu yang relatif singkat dan mampu menyanyikan nya dengan nada yang tepat. Anak banyak hafal surat- surat pendek. 4. Kelemahan : Anak masih menolak jika mengerjakan soal dan catatan dalam jumlah yang terlalu banyak (lebih dari 10 soal). Anak masih malas jika harus menulis dengan waktu yang cepat. Anak selalu menulis catatan dalam bentuk yang lebih ringkas dan yang ditulis oleh guru. Anak belum mengerti tahapan mengerjakan soal UASBN. Bahasa reseptif: penggunaan kata dalam penulisan naskah drama, pidato maupun laporan pengamatan belum mengrti maknanya seperti(kronologis, tenaga medis, penghijauan, antagonis, prolog, berkenaan, intonasi, lafal). Bahasa ekspresif yang diucapkan terkadang tidak tepat. Anak lebih sering menjawab pertanyaan ketika ditanya, tetapi anak jarang untuk memulai pertanyaan. Anak masih membutuhkan waktu yang lama untuk menulis. Anak belum bisa mengikuti irama kecepatan gerakan kelompok. Anak belum hafal perkalian 3dan 4. anak belum tahu konsep pembagian 2 secara tepat. Anak belum mampu menulis dengan menggunakan kaidah EYD terutama dalampenulisan naskah drama, pidato, dan laporan pengamatan. Anak hanya mau berteman dengan anak yang memiliki sesuatu yang menarik inatnya dan bisa menanggapi cerita dan khayalannya. Anak silit menerima perubahan. Anak belum mengerti cara mencuci baju dengan benar. Anak masih mengulang kesalahan yang sama meskipun anak sudah meminta maaf dan mengaku jera. Anak belum mau langsung kekelas bila telah tiba di sekolah. 5. Kebutuhan : Modifikasi soal terutama soal matematika. Membutuhkan waktu lama untuk menulis. Membutuhkan point penting dari catatan guru dipapan tulis. Pemahaman tahapan (langkah-langkah ) mengerjakan soal UASBN. Membutuhkan lebih banyak kosa kata dan kata-kata kiasan, ungkapan dan istilah dalam penulisan naskah drama, pidato dan laporan pengamatan. Membutuhkan latihan untuk menggunakan bahasa ekspresif yang tepat. Membuthkan banyak latihan intuk memulai bertanya. Banyak latihan motorik halus.

181

Membutuhkan lebih banyak olahraga brkelompok dengan irama gerakan mengikuti kelompok secara bersama-sama. Membutuhkan banyak latihan perkalian 3 dan 4. Membutuhkan banyak latihan menghafal pembagian 2. Anak masih membutuhkan waktu yang lama dalam pembagian. Latihan menulisa menggunakan penulisan kalimat pada naskah pidato, drama, dan laporan pengamatan menggunakan EYD. Membutuhkan latihan bersosialisasi dengan teman antar kels. Butuh lebih fleksibel dalam menerima perubahan. Latihan mencuci baju dengan benar melipiti penggunaan air, sabun, sampai tatacara yang benar untuk mengucek. Anak masih membutuhkan pemahaman perilaku yang baik dan buruk. Anak membutuhkan motivasi untuk mau langsung ke kelas bila telah tiba di sekolah. Penyaluran potensi atau bakat yang sesuai. Hafalan surat pendek Al-Qur’an. 6. Langkah Bantuan : Memberikan tugas secara bertahap. Tidak perlu menulis soal dan membuat / mempunyai catatan hanya jika pada kondisi anak benar-benar tidak mau menulis. Sesekali guru pendamping menuliskan jawaban maupun catatan dari anak. Guru pendamping membacakan poin penting dari catatan guru kelas. Social story mengenai tahapan mengerjakan soal UASBN. Lebih banyak menambah kosa kata dan kata-kata kiasan, ungkapan dan, istilah dalam kalimat terutama dalam naskah drama, pidato, dan laporan pengamatan. Latihan bermain peran dengan berbagai eatak. Memberikan kesempatan kepada anak untuk memulai bertanya dengan media tulis, missal: melakukan wawancara sederhana dengan guru (menanyakan hobby, alamat, dan lainya). Memberikan latihan motorik halus (meremas kertas, permainan boneka tangan atau boneka jari, bermsin lempsr tsngkap bola, latihan menjimpit kelerang satu per satu di lantai, dan lainya). Memberikan reward pada saat anak mau berolah raga berkelompok. Memberi latihan lari haling rintang. Latihan menghafal perkalian dengan bantuan media audio(missal: mendengarkan rekaman hafalan perkalian dari suaranya sendiri). Latihan belajar menghafal pembagian dengan bantuan media visual (misal: kartu table pembagian secara acak bertahap dan kartu pembagian seperti domino) dan media audio seperti perkalian. Memberikan latihan menulis kalimat naskah pidato, drama, dan laporan pengamatan sesuai dengan aturan EYD. Latihan bersosialisasi yang baik dengan teman. Sosialisasi awal (memberikan penjelasan) sebelum adanya perubahan bagi dirinya. Membimbing anak ketika memperaktikan mencuci baju. Pemberian reward dari konsekuensi pelanggaran. Pembiasaan dan pemberian pemahaman etika siswa yang disiplin ketika tiba disekolah. Mengikutsertakan anak dalam kompetisi / perlombaan yang mengembangkan bakatnya (pada waktu-waktu tertentu) membuat rekaman lagu-lagu dengan bahasa

10. Interaksi antar siswa : Baik

Sumber : Data Primer, April 2010

2. PROSES DAN POLA INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL DENGAN SISWA NON DIFABEL DAN SISWA DIFABEL DENGAN GURU

Siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki berbagai macam keterbatasan, antara lain yaitu keterbatasan fisik (Celebral Palsy), autisme, serta gangguan bersosialisasi dan berinteraksi. Siswa difabel pada umumnya dan apapun jenis gangguan yang dimilikinya, mereka memiliki keterbatasan dalam berinteraksi dan bersosialisasi, terutama bagi siswa difabel autisme. Pada umumnya mereka merasa minder, tidak percaya diri dan terbelakang.

Siswa difabel penyandang autis sering dikira tuli oleh orangtuanya karena tidak bereaksi apabila dipanggil. Sejalan dengan pertambahan usia, anak lebih senang sendiri, tidak tertarik pada anak lain atau anggota keluarga yang lain, tidak responsif terhadap isyarat sosial seperti kontak mata atau senyuman. Sering tidak ada perilaku melekat dan kegagalan yang relatif awal pada pertalian dengan orang tertentu. Anak sering tidak mampu membedakan orang yang paling penting dalam kehidupannya, seperti orangtua, saudara dan guru bahkan hampir tidak menunjukkan rasa cemas saat perpisahan bila ditinggal dalam lingkungan yang asing dengan orang asing, juga lemah dalam respon timbal balik.

2.1 Keterbatasan dalam berinteraksi sosial, antara lain sebagai berikut :

a. Penyandang autistik lebih suka menyendiri

Anak penyandang autis hanya akan asyik dengan dirinya sendirinya dan mainannya tanpa merespon keberadaan orang lain di sekitarnya. Tetapi akan marah apabila mainannya diambil atau diganti Anak penyandang autis hanya akan asyik dengan dirinya sendirinya dan mainannya tanpa merespon keberadaan orang lain di sekitarnya. Tetapi akan marah apabila mainannya diambil atau diganti

“Anak saya Putra lebih suka menyendiri dirumah dan saat diterapi diberikan bunyi-bunyian kerincingan di belakang kepalanya dia tidak langsung menengok, tetapi tangannya yang langsung meyambar tanpa harus melihat, dia juga asyik memegang mainannya tanpa menengok kesana kemari dan tidak memperdulikan keadaan sekitar.” (Minggu, 11 April 2010).

b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan

Kontak mata (eye contact) adalah kejadian ketika dua orang melihat mata satu sama lain pada saat yang sama. Kontak mata merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang disebut

okulesik dan memiliki pengaruh yang besar dalam perilaku sosial . Frekuensi dan arti kontak mata sering bervariasi dalam berbagai budaya manusia . Kontak mata dan ekspresi wajah memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan sosial dan perasaan, orang-orang tanpa sengaja sering memperhatikan mata orang lain untuk menduga perasaan orang tersebut. Melalui kontak mata, seseorang juga dapat memeriksa apakah lawan bicara memperhatikannya, dan apakah lawan bicara setuju dengan pembicaraannya. Dalam beberapa konteks, pertemuan mata sering membangkitkan perasaan yang kuat. Kontak mata juga penting dalam mendekati lawan jenis, karena dapat mengukur ketertarikan satu sama lain.

Selain itu anak penyandang autisme mempunyai gangguan kemampuan bersosialisasi terutama ditandai oleh minimal atau tidak adanya kontak mata. Atau pandangan matanya ada tetapi kualitasnya tidak lekat. Sekilas sepertinya pandangan dia menembus mata kita, tetapi dia seakan-akan melihat ke arah sesuatu yang berada antara kita dan dia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Isna selaku guru pendamping Putra adalah sebagai berikut :

“Putra kalau diajak ngobrol atau bersalaman selalu tidak mau menatap orangnya, pasti wajahnya berpaling kesana kemari tidak fokus. Begitupula disaat pelajaran berlangsung, kurang memperhatikan ketika guru memberikan materi pembelajaran. Tatapan matanya sering kosong dan seperti orang melamun, serta selalu berimajinasi. Ekspresi wajahnya juga tidak dapat ditebak apakah dia sedang sedih atau senang, kesannya datar dan tidak berekspresi. Kadang ketawa-ketawa sendiri, kadang menangis sendiri, tapi hal itu belum bisa menandakan bahwa dia tersenyum karena senang atau menangis karena sedih.” (Selasa, 23 Maret 2010).

c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman

Dia cenderung bermain sendiri dan tidak tertarik untuk bermain dengan taman-teman lainnya, atau seandainya kita masukkan dalam kelompok teman sebaya dia akan asyik bermain sendiri dan tidak mau bermain bersama. Sehingga kalau dibiarkan dia akan menikmati dan asyik bermain sendiri. Kadang-kadang ada yang menangis dan tertawa tanpa sebab. Anak penyandang autisme biasanya tidak bisa bermain yang sifatnya resiprokal (timbal balik) dengan teman-teman sebayanya, jadi bentuk permainan yang dilakukannya hanya searah. Misalnya hanya mengejar terus dan tidak paham apa yang harus Dia cenderung bermain sendiri dan tidak tertarik untuk bermain dengan taman-teman lainnya, atau seandainya kita masukkan dalam kelompok teman sebaya dia akan asyik bermain sendiri dan tidak mau bermain bersama. Sehingga kalau dibiarkan dia akan menikmati dan asyik bermain sendiri. Kadang-kadang ada yang menangis dan tertawa tanpa sebab. Anak penyandang autisme biasanya tidak bisa bermain yang sifatnya resiprokal (timbal balik) dengan teman-teman sebayanya, jadi bentuk permainan yang dilakukannya hanya searah. Misalnya hanya mengejar terus dan tidak paham apa yang harus

“Dimana saat teman-temannya bermain sepakbola, dia hanya diam saja disudut lapangan sambil asyik makan semangka, dan ketika ada bola didekatnya, maka didiamkan saja, acuh terhadap teman yang menghampirinya, dan tidak perduli dengan teman-teman yang sedang bermain sepakbola.” (Observasi, Jumat, 5 Maret 2010 ).

d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh, seperti yang dilakukan oleh Ian berikut ini :

“Ketika jam istirahat, Ian suka menyendiri ke ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), padahal teman- teman yang lain asyik bermain, tetapi Ian tidak mau bermain bersama, bahkan Ian lebih nyaman sendirian di ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dan makan dengan tenang.” (Observasi, Jumat, 5 Maret 2010 ).

e. Ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik sangat kaku, tidak ada timbal balik sosial atau emosional, tidak memiliki ekspresi

emosional. Hal ini terlihat pada ekspresi wajah yang biasa saja ketika bertemu ibunya ataupun ketika digendong oleh bapaknya, seperti yang dilakukan oleh Ian berikut ini

“Saat menghadiri acara lomba bagi siswa difabel pada hari Minggu, 11 April 2010 di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, yang dilaksanakan oleh PT. Raka Perkasa, Ian dari awal ia datang pukul 08.00 WIB hingga gilirannya maju pentas ke panggung pada pukul 12.00 WIB, ia hanya duduk diam saja, dan dibelai oleh ayahnya, sama sekali tidak ada reaksi, hanya diam saja. Ian mengobrol juga tidak sering hanya sepatah atau dua patah kata saja. Ian selalu didampingi oleh kedua orang tuanya ketika menghadiri acara-acara perlombaan bagi siswa difabel di Kota Surakarta.” (Observasi, Minggu, 11 April 2010).

Pada masyarakat tertentu, sosialisasi terjadi hampir selama masa bayi dan anak-anak saja. Misalnya pada masyarakat yang primitif dan mempunyai sistem sosial yang tertutup dan tidak banyak perubahan dalam teknologi. Dalam masyarakat modern, sosialisasi terus berlangsung selama proses sosialisasi keluarga. Unsur penting lainnya yang berpengaruh terhadap perilaku sosial adalah termasuk teman, televisi, film dan berbagai macam bahan bacaan.

Dalam kelangsungan hidupnya manusia tidak dapat hidup secara sendiri, tetapi dia memerlukan hidup bersama dengan orang lain. Hidup bermasyarakat adalah syarat mutlak bagi manusia supaya ia dapat menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya.

Dalam bersosialisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sifat dasar

Sifat dasar adalah keseluruhan potensi yang diwarisi oleh orangtuanya atau lebih cenderung disebut sebagai sifat keturunan.

2. Lingkungan prenatal

Lingkungan prenatal adalah lingkungan sebelum dilahirkan yaitu sejak dalam kandungan. Lingkungan prenatal itu embrio mendapat pengaruh dari ibu secara tidak langsung.

3. Perbedaan individu

Perbedaan individu adalah perbedaan-perbedaan yang ada pada individu, meliputi ciri-ciri fisik, mental dan emosional, personal dan sosial.

4. Lingkungan

Lingkungan adalah kondisi yang mengelilingi individu yang mempengaruhi proses sosialisasi.

5. Motivasi

Motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu yang didorong oleh keinginan baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

Walaupun bukan satu-satunya gejala utama pada difabel, tetapi pada kenyataannya gangguan interaksi dan sosialisasi ini terdapat pada hampir seluruh penyandang autis, termasuk pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta, yaitu pada Putra dan Ian, yang merupakan informan penelitian ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan maka peneliti menyajikan matriks tentang keterbatasan, gangguan interaksi dan sosialisasi pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta :

Matriks 3.2 Keterbatasan Siswa Difabel dalam Berinteraksi Sosial

N Nama Siswa

Keterbatasan Siswa dalam Gangguan Interaksi dan Sosialisasi Siswa o

Jenis Gangguan

Berinteraksi Sosial

Difabel

Cenderung menyendiri dan pasif dalam (Bukan Nama Gangguan Interaksi dan

1. Rahman

Autism Spectrum Disorder dan

Siswa jarang memberikan respon

berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang Sebenarnya)

atau tanggapan.

Sosialisasi

mengajak bermain.

Cenderung menyendiri dan pasif dalam (Bukan Nama Gangguan Interaksi dan

2. Abdul

Autism Spectrum Disorder dan

Siswa jarang memberikan respon

berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang Sebenarnya)

atau tanggapan.

Sosialisasi

mengajak bermain.

Cenderung menyendiri dan pasif dalam (Bukan Nama Gangguan Interaksi dan

3. Putra

Autism Spectrum Disorder dan

Siswa jarang memberikan respon

berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang Sebenarnya)

atau tanggapan.

Sosialisasi

mengajak bermain dan masih tergantung keadaan hati atau keinginan.

4. Nanda

Normal dan mampu berinteraksi serta (Bukan Nama

Celebral Palsy

Siswa tidak mengalami masalah

bersosialisasi dengan siswa non-difabel Sebenarnya)

dalam berinteraksi

5. Iman

Normal dan mampu berinteraksi serta (Bukan Nama

Gangguan Belajar

Siswa tidak mengalami masalah

bersosialisasi dengan siswa non-difabel, Sebenarnya)

dalam berinteraksi

hanya saja mengalami gangguan belajar pada mata pelajaran tertentu sehingga disaat kegiatan belajar berlangsung, siswa tidak fokus terhadap pelajaran yang ada.

Normal dan mampu berinteraksi serta (Bukan Nama sosialisasi

6. Tian

Celebral Palsy dan Gangguan

Siswa tidak percaya diri

bersosialisasi dengan siswa non-difabel Sebenarnya)

Cenderung menyendiri dan pasif dalam (Bukan Nama Gangguan Interaksi dan

7. Ian

Autism Spectrum Disorder dan

Siswa jarang memberikan respon

berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang Sebenarnya)

atau tanggapan.

Sosialisasi

mengajak bermain. Hanya mampu bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang- orang tertentu. Hanya memiliki rasa takut dengan Kepala Sekolah, wali kelas, ketua PUSPA dan ibunya.

Sumber : Data Diolah, Mei 2010

2.2 Perilaku yang mencerminkan gangguan interaksi dan sosialisasi, antara lain :

a. Stereotipik

Gerakan stereotipik adalah gerakan motorik kasar tidak wajar yang dilakukan berulang-ulang. Para ahli menyebutkan bahwa gerakan stereotipik merupakan gejala utama dari anak difabel. Hampir seluruh penyandang autis memiliki gerak stereotipik. Biasanya anak penyandang autis memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/ berjalan bolak balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang. Keadaan ini dapat berkurang pada situasi yang lebih terstruktur (tetap). Karena anak penyandang autis tidak tahan dalam situasi transisi atau perubahan. Pindah ke rumah baru, memindahkan perabotan rumah tangga dalam ruangan dan makan pagi sebelum mandi apabila merupakan kebalikan dari rutinitas, dapat menyebabkan penyandang autis menjadi cemas, tegang, panik atau temper tantrum (ngadat, marah, menangis sambil berguling-guling). Seperti yang dilakukan oleh Putra, yaitu ketika dia berjalan kaki, suka bertepuk tangan sendiri, bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, dan melakukan gerakan-gerakan yang berulang-ulang. Juga yang dilakukan oleh Ian yaitu ketika dia berjalan, gerakannya sangat kaku, mata hanya memandang kedepan kesatu arah saja dengan berbicara sendiri.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku orang tua Putra, berikut ini : “Dulu waktu sebelum saya tahu bahwa anak saya memiliki gangguan

autis, pada umur 2 tahun setelah dia bisa berjalan, dia selalu aktif berjalan kesana kemari hingga keliling perumahan. Saya punya pembantu selalu tidak krasan, slalu ganti pembantu hanya karena mereka tidak sanggup mengurus Putra. Putra sangat aktif tidak bisa diam. Dinasehati marah, anaknya semaunya sendiri. Dia suka jalan- jalan berkeliling perumahan berkali-kali sambil menyanyi sendiri, bertepuk tangan sendiri, berputar-putar kayak burung ditengah jalan. Yang saya tau ya hal itu wajar karena anak saya senang melakukan hal tersebut setiap harinya.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010).

b. Hiperaktif atau Hipoaktifitas

Hiperaktif atau sering disebut juga sebagai Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH) adalah gangguan perilaku yang sering terjadi pada anak ditandai dengan perilaku motorik yang berlebihan, sehingga rentang perhatiannya pada sesuatu sangat buruk.

Penyebabnya adalah gangguan di otak bagian depan yang disebut lobus frontalis dan sekitarnya, yang mengontrol proses berpikir dan yang mempengaruhi perilaku anak. Faktor genetika juga diduga berpengaruh kuat, karena 90% dari saudara kembar anak GPPH juga menyandang kelainan yang sama. Disamping faktor genetika, juga ada faktor pemicu lainnya, yaitu berat badan lahir yang kurang, gangguan pernapasan bayi pada saat lahir, keracunan dalam rahim dan trauma kepala.

Pengobatan GPPH adalah pengobatan jangka panjang. Beberapa anak memerlukan obat-obatan untuk memperbaiki gangguan neuro- transmitternya. Tetapi bisa juga dengan terapi perilaku yang berbeda-beda dan terapi musik yang dapat membantu menenangkan hiperaktivitas dan impulsivitas anak. Pengobatan ini pernah dilakukan oleh Ibu Karmita selaku orang tua siswa di AFIS Colomadu. Ibu karmita menyatakan bahwa:

“Saya pernah mengajak Putra untuk melakukan terapi pertama kali di AFIS Colomadu oleh dokter Prasetyo. Disana Alif diterapi diberikan bunyi-bunyian kerincingan di belakang kepalanya, dia tidak langsung menengok arah suara, tetapi tangannya langsung menyambar kerincingan tersebut tanpa menengok ke arah belakang.” (Wawancara, 11 April 2010).

Siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus tidak ada yang hiperaktif, perilaku siswa di sekolah biasa saja dan mampu berinteraksi sosial dengan teman-teman non-difabel. Ada beberapa siswa autis yang lebih bersikap hipoaktif, yaitu memiliki tingkat aktivitas yang rendah.

Hipoaktifitas sering diartikan dimana seorang anak yang dalam melakukan kegiatan yang sangat minim atau kurang. Bahkan ada yang tidak melakukan kegiatan sama sekali. Anak difabel khususnya penyandang autis lebih banyak mengalami gangguan perilaku hiperaktifitas dibanding hipoaktifitas. Hipoaktifitas terjadi pada Rahman, hal ini sesuai pernyataan Ibu Uswahyu berikut ini :

“Ketika dia tidak diajak bermain dahulu, maka dia akan tetap diam dikelas, tetapi jika dia diajak bermain, dia hanya mengikuti teman- temannya saja, tidak memiliki respon yang bagus dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-temannya.” (Wawancara, Selasa 23 Maret 2010).

c. Temperamental dan Menyakiti diri sendiri

Beberapa difabel menunjukkan perubahan emosional yang tiba- tiba, tanpa sebab yang jelas mendadak tertawa atau terjadi ledakan tangis. Kadang-kadang anak selain agresif terhadap orang lain juga menyakiti dirinya sendiri. Anak sering menyerang orang lain, membentur-benturkan kepalanya ke tembok, memukul-mukulkan tangannya ke kepala, membanting kursi, mengambil pisau, seperti yang dilakukan oleh Ian yang memiliki kecenderungan emosi tidak terkontrol dan hanya tergantung mood atau perasaan.

“Pernah pada saat jam istirahat Ian pergi ke dapur untuk mengambil pisau, kemudian ditanya oleh guru, “buat apa ambil pisau? Ian menjawab buat bunuh temannya karena jengkelin.” Selain itu juga pernah terjadi kejadian Ian ke luar kelas mengambil batu buat melempar temannya yang ada di kelas karena suka menggodanya.” (Wawancara, Selasa, 23 Maret 2010).

Adapun sikap membanting kursi yang dilakukan oleh Putra, menurut penuturan Ibu Karmita selaku orang tua murid, seperti berikut ini:

“Waktu Taman Kanak-kanak (TK) saya pernah dipanggil oleh Kepala Sekolah Putra, karena Putra pernah melempar kursi ke temannya, karena teman-temannya Putra mengejek dia. Tetapi Putra sendiri tidak pernah mau menceritakan segala kegiatannya di sekolah kepada saya. Putra sifatnya sangat tertutup bahkan dengan saya sekalipun. Dia lebih suka menceritakan hal-hal yang bisa menyenangkan hati saya, tetapi pintar menyembunyikan hal-hal yang tidak saya sukai.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010).

d. Gangguan koordinasi motorik

Gangguan koordinasi motorik mengakibatkan anak difabel mempunyai kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyelaraskan gerakan-gerakan motorik dalam tubuhnya. Elisabeth B. Hurlock mengungkapkan bahwa hal ini mungkin timbul dari kerusakan otak pada Gangguan koordinasi motorik mengakibatkan anak difabel mempunyai kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyelaraskan gerakan-gerakan motorik dalam tubuhnya. Elisabeth B. Hurlock mengungkapkan bahwa hal ini mungkin timbul dari kerusakan otak pada

Gangguan koordinasi motorik ini terjadi pada Tian seperti yang diungkapkan oleh Ibu Trisno, selaku orang tua murid, yang menyatakan bahwa :

“Pada Tian, kerusakan otak saraf pada waktu kondisi pra lahir menyebabkan tangan kanannya kecil sebelah, atau tidak seimbangnya fisik tangan kanan dan tangan kiri, sehingga dalam mengerjakan pekerjaan yang menggunakan tangan kanan, Tian mengalami kesulitan.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010).

Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh dilapangan maka berikut ini peneliti menyajikan matriks tentang gangguan interaksi sosial siswa difabel yang penjelasannya telah diuraikan diatas :

Matriks 3.3

Gangguan Interaksi dan Sosialisasi pada Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta Macam Gangguan Interaksi dan Sosialisasi

Tian Ian

1. Stereotipik

2. Hiperaktif atau Hipoaktif

X PASIF

X PASIF

3. Tidak suka pada perubahan

4. Duduk bengong dengan tatapan kosong

5. Minat dan aktivitas yang terbatas

6. Temperamental

7. Menyakiti diri sendiri

8. Gangguan koordinasi motorik

9. Seperti tidak mengenal takut

10. Lebih suka menyendiri

11. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar

untuk bertatapan

12. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman

13. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh

14. Ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak - gerik sangat

kaku

Sumber : Data Diolah, Mei 2010

2.3 Proses interaksi sosial. Menurut Herbert Blumer proses interaksi sosial adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process .

Proses interaksi sosial seperti yang diungkapkan oleh Herbert Blumer tidak serta merta terjadi pada siswa Ian, Putra, Rahman Miftahurrahman, Abdul Abdul KhPutraatulloh, dan Iman, melainkan melalui proses yang cukup panjang dimana mereka dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Proses yang cukup panjang tersebut salah satunya dilakukan melalui bidang pendidikan, yaitu pembelajaran ke arah kemandirian di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta, dengan peran guru, orang tua dan teman- temannya yaitu siswa non-difabel yang sangat dibutuhkan.

Konstruksi tentang interaksionisme simbolik dan aksi bagi siswa difabel autisme sangat melekat pada diri masing-masing siswa. Setiap siswa memiliki karakter yang berbeda-beda dan mereka memiliki sifat individual yang kemudian sulit untuk dikembangkan dan diaplikasikan ke dalam Konstruksi tentang interaksionisme simbolik dan aksi bagi siswa difabel autisme sangat melekat pada diri masing-masing siswa. Setiap siswa memiliki karakter yang berbeda-beda dan mereka memiliki sifat individual yang kemudian sulit untuk dikembangkan dan diaplikasikan ke dalam

”Ian itu kalo ada mata pelajaran yang tidak dia sukai, dia akan keluar sekolah. Ketika ada pelajaran praktek yang membutuhkan kerjasama kelompok, Ian tidak bisa mengambil peran di dalam sebuah kelompok. Ian hanya membawakan bahan praktikum saja, kemudian saat kerja kelompok, Ian hanya jalan mondar-mandir dan bertindak sesukanya, tanpa memperdulikan pekerjaan kelompoknya. Ketika istirahat pun Ian hanya senang jajan kemudian dibawa ke ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Sifat semau gue yang hingga sekarang ada pada diri Ian, bahkan sangat jarang Ian mau mengobrol dengan teman-temannya. Seperti kebanyakan penderita autis, bahwa Ian lebih suka mengobrol dengan dirinya sendiri dan memaksa orang lain yang ikut mengobrol dengannya harus mengikuti kearah mana obrolan Ian mengarah. Ian lebih memiliki imajinasinya sendiri dan orang lain bahkan tidak mampu mengikuti arah imajinasinya itu”

Adapun penuturan Bapak Joko selaku guru matematika Putra berkaitan dengan proses interaksi sosial Putra menyebutkan bahwa : ”Jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kemauan dirinya,

Putra cenderung berteriak dan lari keluar kelas tanpa memperdulikan teman-teman bahkan guru yang ada di kelas tersebut. Putra juga sering menari-nari sendiri, menyanyi sendiri, tertawa sendiri, atau tiba-tiba menangis sendiri. Teman-teman yang semula tidak menyadarinya sering mengejek, tetapi lama kelamaan siswa non- difabel harus mampu untuk memberikan toleransi kepada Putra dalam seluruh tindakannya. Putra lebih suka berinteraksi dengan dirinya sendiri melalui gerakan-gerakan yang dia mainkan.” (Selasa,

2 Maret 2010)

Berbeda pada kasus yang dialami oleh Rahman dan Abdul, yaitu bahwa mereka bersikap pasif, dimana saat pembelajaran dimulai, mereka hanya diam dan tidak mampu untuk bertanya meskipun mereka ingin bertanya, tetapi tidak tahu apa yang akan ditanyakan. Jika disuruh menjawab mereka bisa tetapi untuk merespon atau memulai pertanyaan kembali Berbeda pada kasus yang dialami oleh Rahman dan Abdul, yaitu bahwa mereka bersikap pasif, dimana saat pembelajaran dimulai, mereka hanya diam dan tidak mampu untuk bertanya meskipun mereka ingin bertanya, tetapi tidak tahu apa yang akan ditanyakan. Jika disuruh menjawab mereka bisa tetapi untuk merespon atau memulai pertanyaan kembali

Di sekolah inklusif Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel.

Berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor antara lain :

5. Imitasi

Salah satu segi positif dari faktor imitasi adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah- kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Bentuk imitasi yang diterapkan oleh para guru yaitu selalu memberikan contoh yang konkrit dalam setiap kegiatan belajar mengajar melalui masing- masing guru pendamping. Contoh konkrit tersebut bisa berupa guiding block, gambar, lukisan, puzzle, maupun contoh yang langsung diberikan oleh guru pendamping. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut :

“Imitasi yaitu memberikan contoh konkrit ini berlaku pada ke lima siswa difabel yaitu : Ian, Putra, Rahman, dan Abdul, dimana masing-masing siswa ini diberikan bentuk- bentuk imitasi yang berbeda. Jika Abdul dan Rahman lebih “Imitasi yaitu memberikan contoh konkrit ini berlaku pada ke lima siswa difabel yaitu : Ian, Putra, Rahman, dan Abdul, dimana masing-masing siswa ini diberikan bentuk- bentuk imitasi yang berbeda. Jika Abdul dan Rahman lebih

6. Sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Sugesti dilakukan untuk mensugesti kegiatan yang positif dalam setiap kegiatan pembelajaran agar siswa mau melakukan kegiatan positif tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian terkait faktor sugesti sebagai berikut :

“Sugesti yang diberikan pada Ian contohnya setiap pembelajaran yang ada selalu sedikit dikaitkan dengan masalah dinosaurus, karena Ian menyukai dinosaurus. Tetapi pada mata pelajaran yang tidak dapat dihubungkan dengan dinosaurus, guru memberikan penjelasan yang menerangkan tentang dinosaurus tetapi dijauhkan dari mata pelajaran tersebut. Siswa Putra juga sering bertanya pada tema yang diluar mata pelajaran, maka guru memberikan sugesti-sugesti mengenai kebenaran dan realita yang ada tanpa menghilangkan imajinasi mereka.“ (Selasa, 23 Maret 2010).

7. Identifikasi

Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sebagai berikut :

“Rahman dalam mengidentifikasi permasalahan hanya dapat dilakukan dengan cara menunjukkan gambar, cerita, maupun simbol-simbol yang lain. Sama juga halnya dengan Ian, Putra, Nanda, Iman, Abdul, dan Seeptian. Dimana tingkat identifikasi masing-masing siswa berbeda-beda. Jika Nanda, Iman, dan Tian kurang dapat mengidentifikasi permasalahan pada mata pelajaran matematika, berbeda halnya dengan Putra, Ian, dan Abdul, kurang mampu mengidentifikasi permasalahan pada mata pelajaran sosial yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Itulah manfaat dari seorang guru pendamping yaitu membantu

dalam memahami mengidentifikasi setiap mata pelajaran yang ada.” (Selasa,

8. Proses simpati

Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati ini dilakukan oleh guru agar mampu mengambil hati para siswa difabel, agar menyenangi diri mereka sehingga mempermudah proses pembelajaran.

Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian, dimana beliau harus mampu memiliki rasa simpati kepada Ian agar Ian mau mendengarkan nasehat-nasehatnya. Seperti penuturan Ibu Ida berikut ini :

“Rasa simpati saya ini bisa berupa punishment dan reward, ketika Ian tidak menuruti nasehat ibu Ida, maka Ian tidak akan mendapatkan hadian berupa lagu ”My Hearth Will Go On” yang disenangi oleh Ian. sehingga proses simpati sangat diperlukan oleh guru yang diperuntukkan siswa difabel agar mereka mampu berinteraksi dengan baik.” (Selasa, 23 Maret 2010).

Dari data yang diperoleh di lapangan dan penjelasan tersebut diatas maka berikut ini peneliti menyajikan data matriks tentang proses interaksi sosial siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta :

Matriks 3.4 Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel

No Nama Siswa

Proses Interaksi Siswa Difabel

Guru dan teman-teman (Bukan Nama yang konkrit dalam kegiatan atau proses mempengaruhi

1. Rahman

Guru memberikan contoh

Guru memberikan sugesti

Rahman dalam

memiliki rasa simpati yang Sebenarnya)

mengidentifikasi

belajar mengajar melalui

yang bersifat positif bahwa

permasalahan hanya dapat

tinggi terhadap Rahman,

masing-masing guru

segala nasehat yang

dilakukan dengan cara

dimana ketika berada di

pendamping, misalnya

diberikan oleh guru adalah

menunjukkan gambar,

sekolah, guru

menggambar lukisan, puzzle, untuk kebaikan siswa itu

cerita, maupun simbol-

memperlakukan Rahman

dan guiding block.

sendiri.

simbol yang lain. Maka

lebih khusus daripada

Rahman memiliki seorang

perlakuan terhadap siswa

guru pendamping untuk

non-difabel. Teman-teman

membantu dalam

non-difabel pun juga memahami mengidentifikasi memiliki rasa simpati yang setiap mata pelajaran yang

tinggi terhadap Rahman,

ada agar siswa mampu

sehingga teman-temannya

menerapkannya di

memiliki sikap tolong-

lingkungan keluarga,

menolong yang tinggi

sekolah, maupun

terhadap Rahman.

masyarakat.

Guru dan teman-teman (Bukan Nama mendampingi Abdul pada

2. Abdul

Guru pendamping

Guru memberikan sugesti

Abdul kurang mampu

memiliki rasa simpati yang Sebenarnya)

atau proses mempengaruhi

mengidentifikasi

pelajaran matematika. Dan

yang bersifat positif bahwa

permasalahan pada mata

tinggi terhadap Abdul,

dimana ketika berada di contoh dengan gambar

pelajaran sosial yang

sekolah, guru lukisan, puzzle, dan guiding

diberikan oleh guru adalah

berhubungan dengan

untuk kebaikan siswa itu

masyarakat dan lingkungan memperlakukan Abdul

block sendiri.

sekitar. Maka Abdul

lebih khusus daripada

memiliki seorang guru

perlakuan terhadap siswa

pendamping untuk

non-difabel. Teman-teman

non-difabel pun juga memahami mengidentifikasi memiliki rasa simpati yang setiap mata pelajaran yang

membantu dalam

tinggi terhadap Abdul,

ada agar siswa mampu

sehingga teman-temannya

menerapkannya di

memiliki sikap tolong-

lingkungan keluarga,

menolong yang tinggi

sekolah, maupun

terhadap Abdul.

masyarakat.

Guru dan teman-teman (Bukan Nama mendampingi Putra pada

3. Putra Guru pendamping

Guru memberikan sugesti

Putra kurang mampu

memiliki rasa simpati yang Sebenarnya)

atau proses mempengaruhi

mengidentifikasi

pelajaran sosial dan

tinggi terhadap Putra, kewarganegaraan. Dan

yang bersifat positif bahwa

permasalahan pada mata

dimana ketika berada di menerangkan serta memberi diberikan oleh guru adalah

segala nasehat yang

pelajaran sosial yang

sekolah, guru contoh dengan sikap dan

berhubungan dengan

masyarakat dan lingkungan memperlakukan Putra lebih gerakan tubuh (gesture) lebih sendiri.

untuk kebaikan siswa itu

khusus daripada perlakuan dari satu kali dalam setiap

sekitar. Maka Putra

terhadap siswa non-difabel. bahasan

memiliki seorang guru

pendamping untuk

Teman-teman non-difabel

membantu dalam

pun juga memiliki rasa memahami mengidentifikasi simpati yang tinggi terhadap setiap mata pelajaran yang

Putra, sehingga teman-

ada agar siswa mampu

temannya memiliki sikap

menerapkannya di

tolong-menolong yang

tinggi terhadap Putra.

sekolah, maupun masyarakat.

4. Nanda Guru pendamping

Rasa simpati yang dimiliki (Bukan Nama mendampingi Nanda pada

Guru memberikan sugesti

Nanda dapat

oleh guru dan teman-teman Sebenarnya)

atau proses mempengaruhi

mengidentifikasi sendiri

pada Nanda biasa saja, menerangkan lebih dari satu segala nasehat yang

pelajaran matematika. Dan

yang bersifat positif bahwa

dalam berbagai hal tanpa

karena memang Nanda kali dalam setiap bahasan.

adanya bantuan dari guru

diberikan oleh guru adalah

maupun teman. Karena

merupakan murid yang

untuk kebaikan siswa itu

dalam hal berinteraksi,

biasa saja, walaupun

sendiri.

Nanda tidak bermasalah.

difabel, tapi tidak ada

Tetapi Nanda tetap

perlakuan khusus bagi diberikan guru pendamping, Nanda. karena pada mata pelajaran tertentu Nanda kurang mampu mengidentifikasikan mata pelajaran tersebut.

5. Iman Guru pendamping

Iman dapat mengidentifikasi Rasa simpati yang dimiliki (Bukan Nama mendampingi Iman pada

Guru memberikan sugesti

oleh guru dan teman-teman Sebenarnya)

atau proses mempengaruhi

sendiri dalam berbagai hal

pelajaran matematika. Dan

pada Iman biasa saja, menerangkan lebih dari satu segala nasehat yang

yang bersifat positif bahwa

tanpa adanya bantuan dari

guru maupun teman. Karena karena memang Iman kali dalam setiap bahasan.

diberikan oleh guru adalah

dalam hal berinteraksi, Iman merupakan murid yang

untuk kebaikan siswa itu

tidak bermasalah. Tetapi

biasa saja, walaupun

sendiri.

Iman tetap diberikan guru

difabel, tapi tidak ada

pendamping, karena pada

perlakuan khusus bagi

mata pelajaran tertentu Iman Iman. kurang mampu mengidentifikasikan mata pelajaran tersebut.

Tian dapat mengidentifikasi Rasa simpati yang dimiliki (Bukan Nama mendampingi Tian pada

6. Tian Guru pendamping

Guru memberikan sugesti

oleh guru dan teman-teman Sebenarnya)

atau proses mempengaruhi

sendiri dalam berbagai hal

pelajaran ketrampilan.

pada Tian biasa saja, karena Karena tangannya sulit

yang bersifat positif bahwa

tanpa adanya bantuan dari

guru maupun teman. Karena memang Tian merupakan digunakan untuk

segala nasehat yang

dalam hal berinteraksi, Tian murid yang biasa saja, menggunting, menempel, dan untuk kebaikan siswa itu

diberikan oleh guru adalah

walaupun difabel, tapi tidak merangkai

tidak bermasalah. Tetapi

sendiri.

Tian tetap diberikan guru

ada perlakuan khusus bagi

pendamping, karena pada

Tian.

mata pelajaran tertentu Tian kurang mampu mengidentifikasikan mata pelajaran tersebut.

Rasa simpati Ian bisa (Bukan Nama mendampingi Ian pada

7. Ian Guru pendamping

Sugesti yang diberikan pada Ian kurang mampu

berupa punishment dan Sebenarnya)

Ian contohnya setiap

mengidentifikasi

reward, ketika Ian tidak kewarganegaraan. Dan

pelajaran sosial dan

pembelajaran yang ada selalu permasalahan pada mata

menuruti nasehat ibu Ida, menerangkan serta memebri masalah dinosaurus, karena

sedikit dikaitkan dengan

pelajaran sosial yang

maka Ian tidak akan contoh dengan sikap dan

berhubungan dengan

masyarakat dan lingkungan mendapatkan hadian berupa gerakan tubuh (gesture) lebih Tetapi pada mata pelajaran

Ian menyukai dinosaurus.

lagu ”My Hearth Will Go dari satu kali dalam setiap

sekitar. Maka Ian memiliki

On” yang disenangi oleh bahasan

yang tidak dapat

seorang guru pendamping

untuk membantu Ian dalam Ian. sehingga proses simpati dinosaurus, guru memberikan memahami mengidentifikasi sangat diperlukan oleh guru penjelasan yang

dihubungkan dengan

setiap mata pelajaran yang

yang diperuntukkan siswa

menerangkan tentang

ada agar siswa mampu

difabel agar mereka mampu

dinosaurus tetapi dijauhkan

menerapkannya di

berinteraksi dengan baik

dari mata pelajaran tersebut. lingkungan keluarga, Siswa Putra juga sering

sekolah, maupun

bertanya pada tema yang

masyarakat.

Sumber : Data Diolah, Mei 2010

2.4 Pola Interaksi Sosial

a) Kerja sama

Kerja sama yang merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yaitu suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian- keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.

Kerja sama belum seluruhnya dapat berjalan dengan baik pada siswa difabel. Siswa difabel khususnya difabel autis sangat sulit untuk aktif dalam sebuah kerjasama, dikarenakan sifat dari autis sendiri yang lebih bersifat individu. Hal ini tampak pada sikap siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus berikut ini :

“Menurut penuturan Ibu Ida selaku wali kelas Ian, dalam masalah kerjasama apabila ada pekerjaan kelompok atau pekerjaan keterampilan bersama, Ian cenderung mondar-mandir melihat kerjaan teman-temannya yang lain, hanya membawa bahan untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk bekerja sama. Apalagi untuk diskusi dan interaksi Ian paling tidak suka diskusi, apabila sedang diskusi teman-temannya harus ikut jalan pikirannya. Untuk berkomunikasi dengan jalan pikiran teman-temannya apabila sedang berdiskusi sulit, teman- temannya harus mengikuti jalan pikiran Ian.” (Selasa, 23 Maret 2010)

Ada beberapa bentuk kerja sama (cooperation). Kerja sama dibedakan lagi menjadi : Kerja sama Spontan (Spontaneous Cooperation ), Kerja sama Langsung (Directed Cooperation), Kerja sama Kontrak (Contractual Cooperation), dan Kerja sama Tradisional (Traditional Cooperation.

Kerjasama yang ada antara siswa di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus hanya Kerjasama Langsung (Directed Cooperation), yaitu kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa. Dimana guru memerintahkan siswa difabel untuk mengerjakan soal di papan tulis dengan maju ke depan ataupun dengan melakukan pembelajaran secara kelompok, tetapi hal ini tidak berhasil diterapkan pada Ian.

“Bapak Joko selaku guru matematika Nanda dan Putra menuturkan : Nanda jika disuruh untuk mengerjakan soal di papan tulis langsung bisa, tetapi berbeda dengan Putra yang satu kelas juga dengan Nanda, kalau Putra itu harus diajarin oleh guru pendampingnya dulu, baru mau maju ke depan, itupun prosesnya lama sekali untuk mau maju ke depan, harus dirayu-rayu dulu. Ibu Ida selaku wali kelas Ian dalam menangani Ian harus ada cara tersendiri diantaranya yaitu apabila Ian tidak mau disuruh atau tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On”. Jadi guru membiasakan memberikan reward bila menuruti guru dan punishme bila tidak mau menurut dengan guru. (Selasa, 23 Maret 2010).”

b) Persaingan

Persaingan merupakan sikap bersaing, ingin saling mengalahkan. Persaingan dapat berarti kearah positif dan negatif, dimana persaingan positif yaitu persaingan yang saling bekerjasama tetapi tidak saling Persaingan merupakan sikap bersaing, ingin saling mengalahkan. Persaingan dapat berarti kearah positif dan negatif, dimana persaingan positif yaitu persaingan yang saling bekerjasama tetapi tidak saling

“Apabila nilai saya jelek dibawah 7 saya harus rajin belajar dan harus didampingi oleh ibu Indi guru pendamping saya, pokoknya biar nilainya bagus biar bisa pinter. Saya dirumah juga belajar ditemani ibu, dan ikut les privat dirumah.” (Selasa, 24 Mei 2010).

c) Pertikaian

Pertiakaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Pertikaian yang terjadi diantara siswa baik itu siswa difabel maupun non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sangat jarang, tetapi ada salah satu kejadian Pertikaian yang menarik dan sangat membuat para guru heran, yaitu pertikaian sesama siswa difabel autis, yaitu Ian dan Putra, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut :

“Salah satu yang membuat para guru heran adalah antara Ian dan Putra ini jika ketemu saling berantem. Mereka sepertinya tidak mau diganggu dan dimasuki dunia imajinasinya dengan anak autis yang lain. Bahkan itu selalu seperti itu, jika bertemu jika bertemu si Putra mengganggu dengan tertawa-tawa atau bernyanyi didepannya atau mengejek, kemudian si Ian mengacung-acungkan tangannya dengan menggenngam serasa mau memukul dan berteriak-teriak.” (Selasa, 23 Maret 2010).

Ketika peneliti mewawancarai Putra yang didampingi oleh Ibu Rizka, maka:

“Saat ditanya oleh peneliti dan Ibu Rizka dengan pertanyaan : Kenapa kamu senang mengganggu Ian? Dijawab oleh Putra bahwa saya senang mengganggu Ian karena saya merasa senang, bisa terhibur hatinya melihat Ina marah-marah. Suatu ketika pernah saya dikejar-kejar Ian, ya saya terus lari aja. Ibu Rizka menyampaikan bahwa pertentangan seperti ini hal yang wajar yang dilakukan oleh kedua siswa tersebut dan tidak berakibat fatal.” (Selasa, 24 Mei 2010).

d) Akomodasi

Bentuk-bentuk akomodasi menurut Gillin dan Gillin, adalah sebagai berikut : Koersi (coercion), Kompromi (compromise), Arbitrasi (arbitration), Mediasi (mediation), Konsiliasi (conciliation), Toleransi (toleration), Stalemate, Ajudikasi (ajudication), Displacement, dan Konversi (convertion). Bentuk-bentuk akomodasi tersebut tidak seluruhnya digunakan dalam penyelesaian masalah antara guru, siswa non-difabel dan siswa difabel namun hanya beberapa bentuk saja antara lain :

11. Koersi (coercion)

Koersi yaitu bentuk akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap pihak lain yang lebih lemah. Berarti terjadi penguasaan (dominasi) suatu kelompok atas kelompok yang lemah. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, bentuk dari akomodasi koersi yaitu yang guru berkuasa atas siswa difabel. Hal ini dilakukan oleh guru ketika memberikan stimulus kepada siswa apabila siswa kurang atau tidak bisa memahami suatu materi di dalam pembelajaran.

Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, berikut ini :

” Ketika Ian tidak mampu memahami pelajaran, maka guru pendamping memberikan contoh-contoh yang konkret yang bisa dicontohkan kepada Ian khususnya pada mata pelajaran sosial yang berhubungan dengan masyarakat. Karena Ian merupakan anak yang pasif dan hanya dapat bergerak seperti robot, jika tidak diberikan contoh yang konkret, dia tidak bisa melakukan apapun. Sedikit memaksa dan pemaksaan tersebut terjadi berulang-ulang agar siswa memahami apa yang dijelaskan oleh guru.” (Selasa, 9 Maret 2010).

12. Kompromi (compromise)

Kompromi yaitu bentuk akomodasi ketika pihak-pihak yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar tercapai suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melakukan kompromi adalah semua pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya. Dalam hal ini guru memberikan bentuk punishment dan reward kepada siswa ketika siswa tidak mau mendengarkan nasehat-nasehatnya.

“Untuk menangani Ian harus ada cara tersendiri diantaranya yaitu dengan berkompromi, dengan adanya bentuk punisment dan reward. Apabila Ian tidak mau disuruh atau tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On ”. Jadi guru membiasakan memberikan reward bila menuruti guru dan punishme bila tidak mau menurut dengan guru.” (Selasa, 9 Maret 2010).

13. Toleransi (tolerance)

Toleransi yaitu bentuk akomodasi yang terjadi tanpa persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya keinginan- keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak. Toleransi dalam hal ini dapat berbentuk sikap saling menghargai antara guru, siswa difabel, dan siswa non-difabel. Guru harus mampu memberikan toleransi pada saat siswa difabel mengerjakan tugas-tugasnya. Siswa non-difabel lebih aktif mengajak berinteraksi siswa difabel.

Sikap toleransi ini dimiliki oleh seluruh siswa non- difabel dan guru dalam memahmi sikap siswa non-difabel. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, berikut ini :

“Guru-guru dan teman-teman non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap teman-temannya yang difabel, contohnya saja saat ada belajar kelompok, Ian cenderung mondar-mandir melihat kerjaan teman- temannya yang lain. Ia hanya membawa bahan untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk bekerja sama. Apalagi untuk diskusi dan interaksi Ian paling tidak suka diskusi, maka dari itu teman- temannya membiarkan Ian melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginannya itu, yang penting Ian tidak mengganggu saat belajar kelompok berlangsung.” (Selasa, 9 Maret 2010).

Menurut data yang diperoleh di lapangan serta penjelasan tersebut diatas maka peneliti menyajikan matriks mengenai bentuk- Menurut data yang diperoleh di lapangan serta penjelasan tersebut diatas maka peneliti menyajikan matriks mengenai bentuk-

Matriks 3.5 Pola Interaksi Sosial

No Nama Siswa

Bentuk Interaksi Sosial

Akomodasi

Toleransi. Siswa non- (Bukan Nama secara langsung (setelah

1. Rahman

Dapat melakukan kerjasama Belum memiliki rasa

Tidak pernah mengalami

difabel dan guru memiliki Sebenarnya)

bersaing dengan teman, baik pertentangan baik dengan

diperintah oleh guru) serta

persaingan yang bersifat

teman maupun dengan guru. sikap toleransi dan tolong

adanya Kerukunan yang

positif maupun negatif

menolong yang tinggi

mencakup gotong-royong

terhadap Rahman, dimana

dan tolong menolong

memberikan peluang waktu lebih terhadap setiap kegiatan yang ada di sekolah.

Toleransi. Siswa non- (Bukan Nama secara langsung (setelah

2. Abdul

Dapat melakukan kerjasama Belum memiliki rasa

Tidak pernah mengalami

difabel dan guru memiliki Sebenarnya)

bersaing dengan teman, baik pertentangan baik dengan

diperintah oleh guru) serta

persaingan yang bersifat

teman maupun dengan guru. sikap toleransi dan tolong

adanya Kerukunan yang

positif maupun negatif

menolong yang tinggi

mencakup gotong-royong

terhadap Abdul, dimana

dan tolong menolong

memberikan peluang waktu lebih terhadap setiap kegiatan yang ada di sekolah.

Toleransi. Siswa non- (Bukan Nama secara langsung (setelah

3. Putra

Dapat melakukan kerjasama Tidak memiliki rasa bersaing Alif memiliki sifat

difabel dan guru memiliki Sebenarnya)

dengan teman, baik

bertentangan dengan Ian,

diperintah oleh guru) serta

persaingan yang bersifat

sehingga saat mereka

sikap toleransi dan tolong

menolong yang tinggi mencakup gotong-royong

positif maupun negatif

bertemu satu sama lain

terhadap Putra, dimana dan tolong menolong

selalu bertengkar

memberikan peluang waktu lebih terhadap setiap kegiatan yang ada di sekolah.

4. Nanda

Toleransi. Siswa non- (Bukan Nama secara langsung (setelah

Dapat melakukan kerjasama Ada rasa bersaing yang

Tidak pernah mengalami

difabel dan guru memiliki Sebenarnya)

positif, yaitu tidak mau

pertentangan baik dengan

diperintah oleh guru) serta

teman maupun dengan guru. sikap toleransi dan tolong adanya Kerukunan yang

mendapatkan nilai jelek dan

menolong yang tinggi mencakup gotong-royong

ingin mendapatkan rangking

terhadap Nanda, dimana dan tolong menolong

memberikan waktu belajar di sekolah lebih terhadap setiap mata pelajaran yang ada.

5. Iman

Toleransi. Siswa non- (Bukan Nama secara langsung (setelah

Dapat melakukan kerjasama Ada rasa bersaing yang

Memiliki pertentangan

difabel dan guru memiliki Sebenarnya)

positif, yaitu tidak mau

terhadap mata pelajaran

diperintah oleh guru) serta

sikap toleransi dan tolong adanya Kerukunan yang

mendapatkan nilai jelek dan

yang tidak disenanginya.

menolong yang tinggi mencakup gotong-royong

ingin mendapatkan rangking Contohnya pada mata

terhadap Iman, dimana dan tolong menolong

pelajaran matematika,

dimana ketika mata

memberikan waktu belajar

pelajaran tersebut

di sekolah lebih terhadap

berlangsung, Iman selalu

setiap mata pelajaran yang

minta ijin keluar sebagai

ada.

alasan menghindari pembelajaran pada mata pelajaran tersebut.

6. Tian Dapat melakukan kerjasama Ada rasa bersaing yang

Memiliki pertentangan

Toleransi. Siswa non-

(Bukan Nama secara langsung (setelah

difabel dan guru memiliki Sebenarnya)

positif, yaitu tidak mau

terhadap mata pelajaran

diperintah oleh guru) serta

mendapatkan nilai jelek dan

ketrampilan, karena banyak sikap toleransi dan tolong

adanya Kerukunan yang

ingin mendapatkan rangking beraktivitas menggunakan

menolong yang tinggi

mencakup gotong-royong

tangan. Dimana tangan

terhadap Tian, dimana

dan tolong menolong

kanan Tian tidak dapat

memberikan waktu belajar digunakan secara maksimal di sekolah lebih terhadap untuk menggunting,

setiap mata pelajaran yang

menempel, dan

ada.

menggambar.

Toleransi. Siswa non- (Bukan Nama kerjasama serta sikap gotong- dengan teman, baik

7. Ian

Tidak dapat melakukan

Tidak memiliki rasa bersaing Firmansyah Adrian

memiliki sifat bertentangan difabel dan guru memiliki Sebenarnya)

royong dan tolong menolong persaingan yang bersifat

dengan Alif, sehingga saat

sikap toleransi dan tolong

hanya dapat dilakukan ketika positif maupun negatif

mereka bertemu satu sama

menolong yang tinggi

diberi perintah

lain selalu bertengkar

terhadap Rahman, dimana memberikan ijin kepada Ian untuk tidak mengikuti beberapa kegiatan yang tidak disenangi oleh Ian. Guru memberikan ganti kegiatan positif lainnya di ruang PUSPA, sedangkan teman-temannya bersikap wajar terhadap keadaan Ian.

Sumber : Data Diolah, Mei 2010

B. AKSESIBILITAS BAGI SISWA DIFABEL YANG DIBERIKAN OLEH SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS KOTA SURAKARTA

4.1 Aksesibilitas Sarana dan Prasarana

Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1998 adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam aspek bidang pendidikan, siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta mendapatkan berbagai macam aksesibilitas sarana dan prasarana berupa alat bantu dengar bagi tunarungu, kursi roda, alat-alat bantu untuk pembelajaran. Aksesibilitas yang disediakan oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus adalah penyediaan ruangan khusus bagi siswa difabel yang mengalami depresi berat disaat mengikuti program belajar mengajar, yaitu ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) serta penyediaan guru khusus yang menangani siswa difabel sehingga satu siswa difabel didampingi oleh satu guru khusus, disediakan pula tenaga profesional teraphist orthopedi.

4.2 Pelayanan dan Informasi Medis

Siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus juga mendapatkan pelayanan medis dan akses terhadap informasi yang leluasa tentang diagnosa, pelayanan psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis yang mereka terima pada semua tingkatan. Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), memberikan informasi Siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus juga mendapatkan pelayanan medis dan akses terhadap informasi yang leluasa tentang diagnosa, pelayanan psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis yang mereka terima pada semua tingkatan. Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), memberikan informasi

“Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus tidak sepenuhnya memiliki akses- akses yang lengkap bagi siswa difabel. Akses yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus seperti kursi roda, alat-alat wirausaha, alat-alat peraga, alat-alat olahraga, alat pendengar, dan yang utama yaitu Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) itu sendiri. Dimana Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) merupakan satu-satunya tempat bagi siswa difabel mendapatkan pelayanan khusus jika mengalami kesulitan dalam hal pembelajaran serta mengalami gangguan interaksi dan sosialisasi. Saya sebagai seorang konselor pada saat ada pendaftaran siswa telah memberikan informasi kepada masing-masing orang tua siswa difabel bahwa akses yang dimiliki oleh Sekolah (SD) Al Firdaus tidak sebanyak yang dimiliki oleh Sekolah Luar Biasa (SLB). Seperti siswa yang menggunakan kursi roda, tidak dapat bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, dikarenakan tidak ada fasilitas trailer. Tetapi Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki kursi roda, yang pernah digunakan oleh Nanda, siswa yang berkebutuhan khusus dengan jenis Celebral Palsy, pada saat kelas 2 melakukan operasi pada kedua kakinya, dan setelah operasi menggunakan kursi roda saat sekolah. Tetapi karena kebetulan kelasnya dilantai bawah, maka kursi roda tersebut dapat digunakan sementara. Jika sudah menduduki kelas 4, 5, dan 6, maka kursi roda tidak dapat digunakan lagi karena kelasnya berada dilantai 2, dimana tidak ada trailler dan diharuskan bisa naik atau turun melalui anak tangga.” (Selasa, 2 Maret 2010)

Satu-satunya layanan yang paling unggul di Yayasan Al Firdaus khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Banyak orang tua murid yang memiliki putra/ putri difabel memilih Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai tempat pendidikan putra/ putri mereka, dengan alasan adanya layanan Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) ini. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus

(PUSPA) memiliki program-program khusus bagi siswa difabel, salah satunya adalah menjadikan siswa difabel mandiri dan mampu berinteraksi, bersosialisasi, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan ibu Trisno salah satu orang tua murid Anak Berkebutuhan Khusus, anaknya yang bernama Tian, tentang pilihan menyekolahkan putra/ putri mereka di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu :

“Anak saya itu pertama ada gangguan pada saraf bagian kanan dari tubuh. Selama masuk pertama kali di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini pertama kali minder, mentalnya down, karena pada awal masuk sekolah sering diejek tidak punya tangan. Saya mengetahui Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari mencari-mencari informasi, terus saya ke Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus agar landasan agama anak saya kuat dan juga di sana terdapat Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang cukup bagus umtuk menangani Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam problem komunikasi yang dialami anak saya ini, tidak ada masalah, ya pada awal sekolah tadi minder karena sering diejek temannya, kemudian setelah lama-kelamaan menjadi terbiasa dan tidak minder lagi. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini anak saya mengikuti keterampilan atau ekstra kurikuler taekwondo dan ini sudah sabuk hijau garis dua. Harapan saya setelah anak saya sekolah di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus, anak saya supaya lebih bisa beradaptasi dan “Anak saya itu pertama ada gangguan pada saraf bagian kanan dari tubuh. Selama masuk pertama kali di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini pertama kali minder, mentalnya down, karena pada awal masuk sekolah sering diejek tidak punya tangan. Saya mengetahui Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari mencari-mencari informasi, terus saya ke Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus agar landasan agama anak saya kuat dan juga di sana terdapat Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang cukup bagus umtuk menangani Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam problem komunikasi yang dialami anak saya ini, tidak ada masalah, ya pada awal sekolah tadi minder karena sering diejek temannya, kemudian setelah lama-kelamaan menjadi terbiasa dan tidak minder lagi. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini anak saya mengikuti keterampilan atau ekstra kurikuler taekwondo dan ini sudah sabuk hijau garis dua. Harapan saya setelah anak saya sekolah di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus, anak saya supaya lebih bisa beradaptasi dan

Hal ini sama seperti apa yang diutarakan ibu Karmita seorang single parent , dan juga salah satu orangtua murid yang memiliki anak Anak Berkebutuhan Khusus yang bernama Putra menceritakan mengenai kondisi anaknya.

“Pada awal mulanya tidak tahu Putra ini kalau autis, awalnya Putra ini dimasukan di Play Goup Budi Mulia karena dekat dengan tempat saya bekerja dan juga dikarenakan dirumah hanya dengan pembantu saja. Saya sering ganti pembantu karena mereka tidak kuat untuk mengasuh Putra. Putra ini dirumah sering aktif sukanya jalan-jalan keliling komplek perumahan dan si pembantu tidak kuat bila harus mengikuti dan menjaga Putra keliling komplek dan juga harus masih mengerjakan pekerjaan rumah.

Setelah selesai dari Play Group Putra ini di masukan di salah satu Taman Kanak-kanak di tempat tinggalnya di daerah Mojosongo, di Taman Kanak-kanak ini Putra sudah bisa lancar membaca tetapi belum bisa mengucapkan kata maupun kalimat, seperti anak bisu, kemudian guru TK menyuruh agar Putra di terapi. Pertamanya di terapi di dokter Prasetyo di Akademi Fisioterapi Colomadu, disana saat Putra diterapi apabila diberikan bunyi- bunyian kerincingan di belakang kepalanya dia tidak langsung menengok tetapi tangannya yang langsung meyambar tanpa harus melihat. Kemudian dari dokter Prasetyo dirujuk supaya ke Yayasan Penyandang Anak Cacat Kota Barat untuk melakukan terapi.

Dikarenakan di Kota Barat antrian panjang dan pelayanannya lama Putra mulai bosan dan selalu marah-marah. Saat tiba giliran Putra diperiksa oleh dokter, pemeriksaannya cuma sebentar, dan diajak pulang tidak mau sampai marah. Putra tidak mau diajak pulang karena merasa senang dan nyaman berada di Yayasan Penyandang Anak Cacat karena mainan disana banyak. Karena pelayanannya lama dan antrinya banyak, kemudian saya pindah terapi ke Natura Medika dengan rujukan dari dokter Budi.hingga satu setengah bulan.

Saya selalu berpikir bahwa setelah jenjang Taman kanak- kanak, Putra harus saya masukkan ke Sekolah Dasar, tetapi saya tidak ingin anak saya dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa, sehingga saya selalu mencari-cari informasi mengenai sekolah umum untuk Putra. Pada awalnya saya tidak tahu tentang sekolah inklusif, setelah banyak membaca brosur dan informasi lainnya serta bertanya Saya selalu berpikir bahwa setelah jenjang Taman kanak- kanak, Putra harus saya masukkan ke Sekolah Dasar, tetapi saya tidak ingin anak saya dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa, sehingga saya selalu mencari-cari informasi mengenai sekolah umum untuk Putra. Pada awalnya saya tidak tahu tentang sekolah inklusif, setelah banyak membaca brosur dan informasi lainnya serta bertanya

Dari situlah saya jadi tahu tentang sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus. Selain itu dikarenakan di SD Al Firdaus terdapat Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang bagus dan jam sekolah yang agak padat menjadikan saya dengan mudah bisa menyamakan jadwal kerjanya sama dengan jam sekolah anaknya. Sehingga setelah selesai kerja anaknya juga selesai sekolah dan bisa langsung dijemput. Waktu kelas satu Putra ini setiap makan bersama teman-temannya belum bisa mengambil sendiri harus ada yang membantu mengambilkan, dan juga tidak ada respon ketika melihat teman-temanya, selain itu yang terjadi sampai sekarang tidak pernah mau bercerita kepada saya tentang segala hal yang dialaminya di sekolah. Putra apabila diejek temannya marah dan bila ada sesuatu halyang tidak sesuai dengan keinginanya Putra berteriak dan juga pernah sampai membanting kursi untuk dilempar keteman yang mengejeknya.

Tetapi setelah tiga tahun bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dan diterapi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), Putra sudah mengalami perubahan yang semula diam saja ketika melihat temannya, menjadi ada respon walaupun hanya sedikit. Kemampuan anak saya yang sangat menonjol ada di bidang pelajaran science atau ilmu pengetahuan alam dan matematika. Harapan saya setelah Putra bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu supaya menjadi anak yang bisa mandiri dan memiliki dasar agama yang kuat.” (Minggu, 11 April 2010).

4.3 Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial di SD Al Firdaus terutama dalam bidang sosial, pendidikan dan pelatihan ketrampilan komputer dan internet diberikan kepada siswa difabel, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi sosial mereka.

Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus memiliki program khusus bagi siswa difabel, yaitu program ketrampilan kewirausahaan. Program ini adalah program belajar yang difasilitasi oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) diperuntukkan bagi seluruh siswa Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada umumnya dan siswa difabel pada khususnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), berikut ini :

“Setiap satu semester sekali, sekolah mengadakan latihan kewirausahaan bagi seluruh siswa khususnya siswa difabel. Kewirausahaan tersebut berupa masak memasak dan kemudian menjual hasil masakannya tersebut. Program ini diadakan untuk melatih kemandirian siswa dalam berwiraswasta, sehingga diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri nantinya. Adapun setiap hari jumat diadakan ekstrakurikuler, dimana seluruh siswa termasuk siswa difabel diharuskan mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan ekstrakurikuler ini diikuti salah satunya oleh Tian dan Iman yang mengikuti taekwondo dan catur.” (Selasa,

23 Maret 2010).

4.4 Akses Pendidikan (kurikulum)

Kurikulum yang diberikan oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus kepada siswa difabel merupakan kurikulum modifikasi. Kurikulum modifikasi merupakan kurikulum yang diterapkan pada sekolah reguler sesuai dengan Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional ditambah dengan kurikulum individu siswa difabel. Kurikulum individu siswa difabel ini sifatnya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan siswa difabel. Dalam mata pelajaran yang kurang disenangi atau memiliki nilai paling rendah, biasanya mata pelajaran inilah yang ditambahkan dalam Kurikulum yang diberikan oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus kepada siswa difabel merupakan kurikulum modifikasi. Kurikulum modifikasi merupakan kurikulum yang diterapkan pada sekolah reguler sesuai dengan Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional ditambah dengan kurikulum individu siswa difabel. Kurikulum individu siswa difabel ini sifatnya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan siswa difabel. Dalam mata pelajaran yang kurang disenangi atau memiliki nilai paling rendah, biasanya mata pelajaran inilah yang ditambahkan dalam

“Nanda itu lemah di mata pelajaran matematika. Lemahnya mata pelajaran matematika dikarenakan tidak pernah masuk sekolah setelah operasi kaki (Cerebral Palsy) pada saat kelas 2. Karena mata pelajaran matematika sifatnya bertahap harus mulai dari dasar, maka Nanda mendapatkan kurikulum modifikasi khusus pada mata pelajaran matematika. Karena dasar dari mata pelajaran matematika, Nanda tidak dapat mengikuti dengan lancar. Ada waktu khusus dimana Nanda harus mengikuti program intervensi yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bertempat diruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus.” (Selasa, 2 Maret 2010)

Kurikulum modifikasi hanya dibuat oleh Konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dan dikonsultasikan oleh guru pendamping serta wali kelas masing-masing siswa difabel sebelumnya. Adapun pihak-pihak terkait yang terdapat di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus adalah : Wali kelas, guru pendamping, terapis, konselor, dan orang tua yang saling bekerjasama demi perkembangan siswa Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada umumnya dan siswa difabel pada khususnya. Kurikulum modifikasi mayoritas diterapkan pada siswa difabel jenis autis dan gangguan kesulitan belajar, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa siswa difabel Celebral Palsy juga diberikan kurikulum tambahan seperti pada kasus Nanda diatas. Kurikulum modifikasi lainnya diterapkan pada Ian difabel autisme, Iman difabel gangguan sosialisasi, dan Putra difabel autisme. Menurut penuturan Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, tentang kurikulum pembelajaran Ian, bahwa :

“Dalam kurikulumnya sendiri untuk Ian di modifikasi seluruh mata pelajaran. Karena Ian tidak dapat mengikuti seluruh mata pelajaran, dikarenakan mengalami autisme atau keterlambatan berfikir. Apabila anak lain atau non-difabel jenjang nilai 1-100 maka Ian 1-

70. Khususnya untuk ujian UASBN karena Ian sudah kelas 6, menurut wali kelasnya tidak ada masalah karena Ian untuk materi dan pengisian jawaban hanya melingkari tetapi untuk membacanya nanti harus ada bantuan atau pendamping yang membantu membacakan soal tetapi tidak mengarahkan kejawaban karena Ian hanya tidak terlalu suka membaca bila kalimatnya banyak atau panjang. Ian memiliki fisik kelas 6, tetapi kemampuan akademisnya kelas 2. Dan menurut ahli terapis diperkirakan bahwa Ian mampu untuk memiliki kemampuan kelas 6 pada umur 20 tahun nanti.” (Selasa, 2 Maret 2010)

Ibu Wahyu selaku guru wali kelas Rahman Miftakhur Rahman terkait dengan kurikulum Rahman, menuturkan bahwa:

“Untuk kurikulum Rahman masih disamakan dengan murid-murid non-difabel yang lain, karena masih duduk dikelas satu, jadi target yang harus dicapai Rahman untuk sementara hanya bisa membaca, menulis, dan berhitung. Belum ada kurikulum khusus bagi anak kelas satu, dua, dan tiga serta belum ada penjurusan bakat, yaitu seluruh siswa diwajibkan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler guna mengembangkan bakatnya. Mata pelajaran yang menonjol dan prestasi Rahman pada mata pelajaran seni khususnya menggambar, karena Rahman lebih suka menggambar dan mewarnai. Kebetulan Rahman sebelumnya telah bersekolah di Play Group dan Taman kanak-kanak Al Firdaus, sehingga guru dan orang tua sudah saling mengetahui sebelumnya dan memiliki ikatan kerjasama yang kuat demi perkembangan Rahman. Saat di Play Group dan Taman kanak-kanak Al Firdaus Rahman pernah menjuarai lomba menggambar, yaitu sebagai juara I.” (Selasa, 2 Maret 2010)

Di dalam kurikulum di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus terdapat penyaluran bakat dan minat siswa, tetapi di kelas 1 sampai kelas 3 belum ada pengarahan bakat dan minat. Mulai kelas 4 baru bakat dan minat siswa diarahkan seperti olah raga contohnya: taekwondo, bulu tangkis, voli, dan futsal. Kesenian: menggambar, seni musik, menari dan lainya. Selain Rahman ada juga murid di kelas 2 yaitu Abdul yang juga salah satu siswa autis. Menurut penuturan ibu Rizka yang selaku konselor di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini, terkait dengan kurikulum Abdul bahwa:

“Untuk kurikulum Abdul masih disamakan dengan murid-murid non-difabel yang lain, karena masih duduk dikelas dua tapi sudah ada guru pendamping sendiri, jadi target yang harus dicapai untuk anak masih standar yang sama yaitu baca, tulis, dan berhitung tapi masih di arahkan atau dibantu dengan guru pendamping. Dan untuk bakat yang menonjol Abdul ini memiliki bakat berhitung atau bakat di pelajaran matematika, Abdul kemampuan matematikanya sudah mampu membilang sampai dengan 10 000, dan juga sudah mampu menjumlah dengan cara meyimpan dan mengurang dengan teknik meminjam dan sudah dapat menyelesaikan tugas berhitung dengan cepat.” (Selasa, 2 Maret 2010)

Di kelas tiga juga terdapat siswa penyandang autis yang memiliki kemampuan di bidang pelajaran sains atau pengetahuan alam, siswa ini bernama Putra. Menurut pernyataan ibu Isna selaku wali kelas dan juga bapak Joko selaku guru matematika bahwa:

“Untuk kurikulum Putra diberikan kurikulum yang sama dengan murui-murid lain tetapi apabila terlihat mengalami kesuliatan sekolah memberikan guru pendamping dan diberi program intervensi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Untuk Putra ini dalam minat dan bakatnya sudah terlihat tetapi baru “Untuk kurikulum Putra diberikan kurikulum yang sama dengan murui-murid lain tetapi apabila terlihat mengalami kesuliatan sekolah memberikan guru pendamping dan diberi program intervensi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Untuk Putra ini dalam minat dan bakatnya sudah terlihat tetapi baru

Sementara itu di kelas empat terdapat dua siswa difabel yang memiliki kecacatan yang berbeda yaitu Tian yang secara kasat mata kecacatannya itu sudah tampak karena Tian ini penderita Celebral Palsy yaitu kerusakan otak saraf khususnya pada Tian otak bagian kanan, yang menyebabkan pertumbuhan tulang Tian menjadi lain dan terhambat. Selain Tian ada siswa yang bernama Iman yang menderita kesulitan belajar. Menurut penuturan wali kelas bahwa:

“Tian untuk secara umum tidak ada masalah mengenai kurikulim belajar, secara umum baik dan dapat mengikuti pelajaran dengan lancar tanpa ada hambatan walaupun kondisi fisik Tian sendiri seperti itu (terbatas karena kecacatan pada tanganya), untuk menulis Tian menggunakan tangan kiri dan untuk penyaluran bakatnya sendiri Tian justru memilih mengikuti kegiatan olahraga taekwondo walaupun secara fisiknya atau tangan kanannya yang kurang sempurna namun Tian dapat mengikutinya dengan baik.” (Selasa, 9 Maret 2010).

Berbeda dengan Iman apabila dilihat dari penampilan fisik Iman memang tidak terlihat kekurangan sama sekali tetapi untuk akademik baru terlihat kekurangan Iman. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Agus :

“Iman di dalam kurikulum sendiri mengikuti kurikulum modifikasi dikarenakan Iman masih mengalami kesulitan mengikuti kurikulum umum yang diberikan kepada teman-teman satu kelasnya kesulitannya antaranya, kurang bisa fokus dan kurang bisa memahami perintah atau tugas yang harus dilakukan atau dikerjakan. Untuk memahami dan menghafalkan dalam bentuk kalimat yang panjang masih susah, selain itu kemampuan menulisnya juga masih kurang belum bisa menggunakan huruf kapital dengan benar. Dan untuk di pelajaran matematika Iman masih susah atau kesulitan menghitung dengan perkalian yang besar dan belum paham dengan konsep pembagian. Maka dari itu untuk Iman kurikulumnya masih harus ikut di modifikasi apabila murid yang lain 20 soal untuk Iman hanya 15 soal, dan untuk waktu mengerjakan tugas yang lain 2 jam untuk Iman hanya 1jam, Iman untuk masalah akademis masih jauh dibawah anak yang berkemampuan normal dan oleh sebab itu Iman dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus dan harus diberi terapi dan guru pendamping dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus

(PUSPA). Untuk penyaluran bakat khususnya sendiri Iman lebih suka ke seni, khususnya pada seni tari dan selain itu prestasi di bakat khususnya ini sudah sampai di tingkat provinsi yaitu menjuarai lomba tari se Jawa Tengah. Dan untuk pelajaran yang paling menonjol sendiri Iman memiliki nilai lebih pada bahasa jawa.” (Selasa, 9 Maret 2010).

Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki target output bagi siswa difabel yang berbeda, sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa. Selain itu juga melihat bakat dan minat siswa yang satu dengan yang lainnya. Pada umumnya setiap siswa harus dapat menguasai materi atau kurikulum yang sudah diberikan sekolah agar dapat melanjutkan ke jenjang yang selanjutnya. Hal ini seperti yang telah disampaikan salah seorang orang tua murid yaitu ibu Karmita orang tua Putra yang mengatakan bahwa:

“Harapan saya setelah Putra ini bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus supaya menjadi anak yang bisa mandiri dan kelak bisa hidup sendiri mandiri tanpa harus menggantungkan ke orang lain.” (Minggu, 11 April 2010).

Selain ibu Karmita orang tua Putra ada juga orang tua siswa yang anaknya juga salah satu siswa difabel atau berkebutuhan khusus yang mempunyai harapan lain seperti yang diutarakan ibu Siska orang tua dari Abdul yaitu:

“Setelah anak saya bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus supaya lebih bisa tergali bakat-bakatnya dibidang yang menonjol seperti pada matematikanya.” (Minggu, 11 April 2010).

Hal ini seperti yang diutarakan ibu Trisno orang tua Tian siswa Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yang mempunyai keterbatasan Celebral Palsy mengatakan harapannya seperti berikut ini:

“Harapan saya setelah anak saya sekolah di Sekolah Dasar AL Firdaus ini, anak saya supaya lebih bisa beradaptasi dan berinteraksi dengan orang lain dan tidak minderan.” (Minggu, 11 April 2010).

Selain out put yang diinginkan atau diharapkan dari orang tua, sekolah sendiri juga memberikan target dan tujuan out put yang harus dicapai seperti yang diutarakan guru wali kelas Ian ibu Ida berikut ini:

“Saya mendidik Ian supaya menjadi anak yang lebih mandiri dan bisa hidup tanpa bantuan oaring lain sampai saya memaksa orangtua Ian apa yang harus dilakukan dirumah dan di sekolah harus sama, jadi program atau tindakan yang dilakukan Ian harus diselaraskan baik di rumah maupun disekolah ini perlunya kerjasama antara kami dari pihak sekolah dan orang tua Ian yang mengawasinya di rumah.” (Selasa, 9 Maret 2010)

Alumni siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus baru 1 orang siswa yang lulus dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus, sehingga perkembangan anak tersebut hingga kini tetap dipantau oleh guru-guru dari Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Siswa tersebut penderita IQ rendah atau gangguan belajar ringan, dimana dia sudah dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik.

Semua orang tua yang memiliki anak difabel tentunya merasakan kesulitan yang tidak terbayangkan sebelumnya dengan kehadiran anak tersebut. Sebagai orang tua, umumnya ingin selalu memberikan sesuatu yang terbaik bagi semua anak-anak kita baik anak yang difabel maupun non-difabel. Orang tua melalui Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus telah mempercayakan pendidikan anaknya mulai dari melatih kemandirian, menanamkan nilai-nilai sosial, sampai dengan Semua orang tua yang memiliki anak difabel tentunya merasakan kesulitan yang tidak terbayangkan sebelumnya dengan kehadiran anak tersebut. Sebagai orang tua, umumnya ingin selalu memberikan sesuatu yang terbaik bagi semua anak-anak kita baik anak yang difabel maupun non-difabel. Orang tua melalui Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus telah mempercayakan pendidikan anaknya mulai dari melatih kemandirian, menanamkan nilai-nilai sosial, sampai dengan

3.4.1 Melatih Kemandirian

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku orang tua Putra, sebagai berikut : “Saya sekolahkan Putra di sekolah inklusif Sekolah dasar

(SD) Al Firdaus, agar Putra bisa mandiri. Kalau saya sekolahkan di Sekolah Luar Biasa, tentu saja dia hanya bergaul dengan anak-anak autis lainnya, malah akan tidak mandiri nantinya. Beda kalau saya sekolahkan di sekolah inklusif kan mau tidak mau dia harus berinteraksi dan bersosialisasi dengan anak-anak non-difabel pada umumnya, yang akan dapat membantu Putra ke arah kemandirian. Dari pihak pengajar juga diberikan guru pendamping khusus dalam menangani Putra. Saya percayakan Putra pada Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus agar Putra bisa hidup mandiri saat dewasa nanti” (Minggu, 11 April 2010).

3.4.2 Penanaman Nilai-nilai Sosial

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian, sebagai berikut : “Ian sekarang jika bertengkar atau berbuat salah kepada

orang lain, dia tidak segan-segan untuk langsung meminta maaf, itulah yang saya tanamkan dari dasar Ian masuk sekolah. Walaupun pada kenyataannya Ian sering berbuat salah dan sering meminta maaf. Ian juga tidak pernah menyentuh barang yang bukan miliknya, sekalipun sebuah koran yang disediakan untuk umum, karena Ian merasa koran itu tidak ada yang memilikinya dan bukan miliknya. Jika Ian ingin meminjam selalu meminta ijin terlebih dahulu, sehingga jika ingin ijin membaca koran, dia bingung, mau ijin kepada siapa.” (Selasa, 23 Maret 2010).

3.4.3 Mempersiapkan Masa Depan

Setelah anak mulai terlepas dari “ketidakberdayaannya”, maka perlu untuk mengembangkan minat anak pada dunia. Orangtua harus memperhatikan arah minat anak karena akan membantu masa depan anak kelak. Berbagai alternatif kegiatan bisa diperkenalkan kepada anak, seperti menggambar, menyanyi, memasak, komputer, olahraga, dan lain-lain. Pengembangan minat tersebut dapat mengupayakan penggunaan kelebihan anak untuk mengatasi kekurangannya.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Retno selaku orang tua murid, sebagai berikut : “Anak saya Tian saya ikutkan berbagai macam kegiatan di

sekolah dan dirumah, biar tidak minder dan memiliki rasa percaya diri. Di sekolah Ian ikut ekstrakurikuler taekwondo dan catur, kegiatan ini positif bagi perkembangan anak saya. Setiap ada perlombaan juga saya ikutkan, biasanya dia ikut lomba gambar. Saya sering mengikutkan berbagai macam perlombaan agar dia mampu berinteraksi bertemu banyak orang asing dan rasa percaya diri itu muncul. (Minggu, 11 April 2010).

Menurut penuturan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bahwa : “Nanda baik dirumah maupun disekolah diikutkan dengan

kegiatan menyanyi. Sedangkan Ian ditajamkan lagi dengan berbagai macam hafalan-hafalan surat Al-Qur`an, dan Putra ditajamkan lagi pada hal science, karena Putra sangat berbakat dalam bidang science. Untuk Abdul dan Rahman belum diikutkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah karena masih kelas I dan kelas II. Kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan pengembangan bakat anak diperuntukkan bagi siswa yang sudah kelas III, IV, V, dan VI.” (Selasa, 9 Maret 2010).

Lembaga pendidikan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus menyediakan aksesibilitas dan fasilitas bagi perkembangan siswa difabel. Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh dilapangan maka berikut ini peneliti menyajikan matriks tentang Aksesibilitas Sekolah Dasar Al Firdaus :

Matriks 3.6 Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus bagi Siswa Difabel

No

BENTUK AKSESIBILITAS

SARANA DAN

PENDIDIKAN PRASARANA

INFORMASI DAN

SOSIAL

KOMUNIKASI

1. Kursi Roda

Pusat Pelayanan Anak

Mendapatkan pendidikan Mendapatkan kurikulum

Berkebutuhan Khusus (PUSPA)

dan pelatihan ketrampilan yang sama dengan siswa komputer dan internet

non-difabel

2. Ayunan

Layanan Internet dan Komputer

Konsultasi dan penempatan kerja

3. Trampolin

Mendapatkan pelayanan kesehatan Mendapatkan latihan

kewirausahaan

4. Alat memasak

Mendapatkan Pelayanan Sosial

5. Alat bantu praktikum

Mendapatkan guru pendamping

6. Alat musik

7. Bola dan guiding block

8. Puzzl e

9. Gambar-gambar dan balok

10. Alat bantu dengar Sumber : Data Diolah, Mei 2010

C. PEMBAHASAN

Pendidikan merupakan suatu kegiatan (formal/ nonformal) yang diselenggarakan oleh orang dewasa (orang yang matang dalam pemikiran) kepada anak-anak dalam rangka membuka, mengembangkan, dan meningkatkan pengembangan psikologis, mental, dan akademis dengan pengertian untuk membuat mereka menjadi mandiri secara individu. Proses yang dimaksud mencakup setiap anak terlepas dari suku, jenis kelamin, status sosial, kecacatan, bahasa, kebangsaan (pendidikan untuk semua). Dua hal terpenting yang berperan dalam mempercepat kesuksesan pelaksanaan pendidikan inklusi adalah kebijakan yang berfokus untuk memfasilitasi dan memberi akses bagi mereka yang berkebutuhan khusus, dan bagaimana sikap atau opini masyarakat yang menyangkut interaksi dengan anak-anak atau mereka yang berkebutuhan khusus.

Fenomena yang ada saat ini bahwa anak–anak difabel mulai mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan, yaitu pendidikan yang setara dengan anak-anak non-difabel, melalui adanya sekolah inklusif, khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Siswa difabel merupakan salah satu individu yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, jika dari dalam diri difabel itu sendiri tidak memiliki kemauan untuk berubah, maka proses belajar tidak akan terjadi, dan sekolah inklusif tidak akan terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya.

Siswa difabel memiliki kemauan untuk mendapatkan kesetaraan dalam bidang pendidikan dengan siswa non-difabel dan ikut bersaing dalam pendidikan. Untuk mewujudkan cita-cita dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah melaksanakan program sekolah inklusif, dan salah satunya yaitu di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta.

Dalam sekolah inklusif, secara tidak langsung siswa difabel harus mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan siswa non-difabel demi perkembangannya. Interaksi sosial siswa difabel, siswa non-difabel, serta guru di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta dapat dianalisis dengan teori “Interaksionisme Simbolik”.

Interaksionisme simbolik menunjuk kepada jenis interaksi yang sangat khusus antara individu-individu, yaitu antara siswa difabel, siswa non-difabel, dan guru. Kekhususan interaksi itu nampak dalam kenyataan bahwa dalam berinteraksi, manusia tidak hanya memberikan reaksi terhadap tingkah laku atau perbuatan sesamanya melainkan terlebih dahulu menafsirkan atau memberikan interpretasi sebelum bertindak.

Menurut teori interaksionisme simbolik, tindakan tidak selalu diarahkan pada diri sendiri, namun juga ada alternatif-alternatif lain, seperti emosi, luapan perasaan dan kebiasaan-kebiasaan lain. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh pihak-pihak yang terlibat atas interaksi sosial.

Komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang berupa kata, frase atau kalimat yang diucapkan dan didengar, tetapi juga proses non verbal. Proses non verbal meliputi isyarat, ekspresi wajah, kontak mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, artefak, diam, temporalitas dan ciri poralinguistik.

Istilah “interaksionisme simbolik” tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi Istilah “interaksionisme simbolik” tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi

Seperti yang terjadi pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta, menurut pengungkapan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bahwa :

“Ian menepukkan tangan, hal tersebut menunjukkan bahwa sedang senang. Ian sedang berteriak-teriak menggambarkan kalau dirinya tidak suka. Putra tertawa dan menari-nari menunjukkan bahwa dirinya sedang bahagia. Putra berteriak serta mengangkat kursi itu menggambarkan kalau dirinya sedang marah dan ketidaksetujuannya terhadap kehadiran atau perlakuan orang lain padanya.” (Selasa, 23 Maret 2010)

Adakalanya senyuman merupakan simbol dari ketidaksukaannya terhadap perilaku siswa difabe. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, sebagai berikut :

“Ketika ada diskusi kelompok, Ian tidak pernah suka dengan hal tersebut, sehingga Ian suka mengganggu dan mengacaukan kelas. Tetapi ketika Ian melihat saya tersenyum dan saya merangkulnya, dia langsung tahu apa yang saya maksud dengan senyuman saya itu. Saya tersenyum tandanya menyuruh Ian untuk duduk dan diam jika ia tidak ingin ikut belajar kelompok dengan temannya.” (Selasa, 9 Maret 2010).

Perilaku manusia merupakan suatu rangkaian yang diantaranya terdiri dari sikap dan tindakan. Sikap merupakan sebuah konsep yang dianggap paling penting dalam ilmu-ilmu sosial. Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan diri kita sendiri.

Tindakan sosial diartikan sebagai tindakan yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Dalam kaitanya dengan rasionalitas Marx Weber membagi tindakan sosial ke dalam empat tipe, yang mana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Keempat tipe tersebut yaitu : zwerk rational, werktrational action, affectual action, dan traditional action . Berdasarkan ke empat tipe rasionalitas tersebut. Maka tindakan sehari-hari yang dilakukan oleh siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta dapat dikategorikan kedalam tindakan traditional action yaitu dimana tindakan yang dilakukan para siswa difabel khususnya para penyandang autis adalah atas dasar kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu, jadi para guru di Sekolah Dasar Al Firdaus ini memberikan beberapa metode kepada siswa difabel untuk membiasakan apa yang dianggapnya lemah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut :

“Ketika guru pendamping iman merasa nilai iman dibawah standar siswa pada umumnya, guru pendamping iman ibu Indi yang mendampingi iman melakukan metode intervensi kepada iman untuk mengulang dan membiasakan agar iman ini untuk diberikan tambahan pelajaran khususnya untuk materi yang mendapatkan nilai buruk, seperti pada pelajaran Matematika, Bahasa Arab dan Bahasa inggris.” (Selasa, 6 April 2010). Adapula tindakan yang mencerminkan kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu

yang menjadi ciri tersendiri bagi para siswa difabel khususnya siswa autis. Secara umum anak autis sulit untuk menerima perubahan secara langsung dan harus ada pemahaman yang bisa meyakinkan anak tersebut ketika mengalami perubahan dalam kebiasaan sehari-hari, misalnya yang terjadi pada Putra.

“Pada awal kelas 3 Putra ini sulit sekali beradaptasi dengan waktu ketika pada kelas 2 jadwal pulang sekolah adalah pukul 13.05 kemudian pada kelas 3 “Pada awal kelas 3 Putra ini sulit sekali beradaptasi dengan waktu ketika pada kelas 2 jadwal pulang sekolah adalah pukul 13.05 kemudian pada kelas 3

Hal ini berbeda dengan kasus Ian, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, sebagai berikut : “Ian pada awal masuk sekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, dia tidak

mau mengikuti sholat, kemudian guru memberikan penjelasan berulang kali tentang makna dan cara sholat kepada Ian. Ibu Ida memberikan penjelasan bahwa saat adzan, Ian harus mengambil air wudhlu, kemudian saat menunggu qomat, Ian boleh berada di kelas, tetapi setelah qomat harus segera ke masjid untuk mendirikan sholat. Setelah beberapa bulan proses tersebut berlangsung, Ian mengikuti aturan sholat yang telah dijelaskan Ibu Ida. Tetapi aturan tersebut ternyata tidak dapat diterapkan pada sholat Jumat. Karena dalam sholat Jumat setelah adzan ada dakwah kemudian qomat setelah itu sholat. Sedangkan Ian sudah terlanjur paham tentang penjelasan pertama dimana tidak ada dakwah dalam sholat biasanya, sehingga sampai saat ini Ian tidak bisa mengikuti Sholat Jumat sebagaimana mestinya. Untuk merubah sikap dan aturan yang seperti ini sangat sulit diterapkan pada Ian, harus mulai dari awal lagi dan butuh proses yang semakin lama lagi” (Selasa, 23 Maret 2010).

Berkaitan dengan hal diatas manusia sebagai aktor mempunyai kemampuan untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai Voluntarisme, yaitu kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan salah satu asumsi fundamental teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle yaitu sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu, tindakan manusia tanpa ada tujuan dan maksud tertentu.

Selain teori interaksionisme simbolik dan teori aksi diatas, penelitian Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta ini juga menggunakan teori kritis dari Max Horkheimer dan Jurgen Habermas. Di dalam gagasan kritis Horkheimer menitikberatkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat rasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional. Teori kritis yang tampak pada penelitian ini adalah bahwa siswa difabel mengalami perkembangan psikologis dan ego. Salah satunya yang terjadi antara lain semangat siswa difabel yang tidak mau kalah dan semangat dalam memperoleh nilai yang bagus seperti yang di utarakan Iman bahwa:

“Apabila nilai saya jelek dibawah 7 saya harus rajin belajar dan harus didampingi oleh ibu Indi guru pendamping saya, pokoknya biar nilainya bagus biar bisa pinter.” (Selasa, 24 Mei 2010).

Selain untuk menunjukkan identitas dan keaktifannya dilingkungan baik lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal, siswa difabel juga harus mendapatkan hak yang sama setara dengan siswa non-difabel. Hal ini seperti yang diungkapkan ibu Ida wali kelas Ian sebagai berikut:

“Materi dan soal yang diujikan di UASBN untuk Ian sama dengan siswa non- difabel hanya cuma masalah membaca soalnya saja yang harus dibantu, karena Ian ini tidak suka membaca soal-soal yang panjang. Walaupun Ian ini autis kemampuan akademiknya sama dengan siswa non-difabel jadinya tidak ada pembedaan atau diskriminasi disekolah ini.” (Selasa, 23 Maret 2010).

Adapun penuturan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) mengenai materi, kurikulum, dan soal ujian siswa difabel, bahwa :

“Untuk siswa dengan gangguan Cerebral Palsy, yaitu pada Nanda dan Tian, serta pada siswa yang nengalami gangguan belajar yaitu pada Iman, bahwa kurikulum, mata pelajaran, dan soal-soal ujiannya adalah sama dengan siswa non-difabel. Hanya saja ada tambahan pelajaran bagi mata pelajaran yang dirasa siswa mengalami ketertinggalan atau nilainya buruk. Bimbingan pelajaran tambahan dilakukan di ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), diluar jam mata pelajaran. Kemudian untuk Abdul dan Rahman, kurikulum, materi dan soal-soalnya sama dengan siswa non-difabel. Karena mereka masih menduduki kelas I dan kelas II, maka target pembelajaran adalah bisa membaca, menulis, dan berhitung, maka seluruh kurikulum masih sama dengan siswa non-difabel. Berbeda pada siswa autis, yaitu Ian dan Putra, walaupun mereka juga memiliki kurikulum, mata pelajaran, dan soal-soal yang sama, tetapi tetap saja ada beberapa faktor yang dibedakan oleh konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) disesuaikan dengan kemampuan anak. Dimana contohnya jika Ian, yaitu target nilainya diturunkan, jika siswa non-difabel yaitu memiliki target nilai antara 0-100, maka Ian ditargetkan antara 0-70 saja. Pada dasarnya seluruh kurikulum, materi dan soal yaitu disesuakikan dengan kemampuan anak.” (Selasa, 9 Maret 2010).

Selain masalah akademis atau kurikulum di sekolah inklusif seperti Sekolah Dasar Al Firdaus ini juga ada beberapa kendala antara lain dari sisi aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta sebagai salah satu Sekolah Inklusif di Kota Surakarta, yaitu : fasilitas fisik atau sarana prasarana penunjang. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut :

“Untuk penerimaan siswa baru khususnya untuk siswa berkebutuhan khusus atau siswa difabel kami dari pihak sekolah akan memberikan tes dan wawancara terlebih dahulu. Kami juga memberikan penawaran dan penjelasan kepada orang tua calon siswa mengenai masalah fasilitas penunjang belajar siswa dikarenakan fasilitas yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus saat ini terbatas untuk jenis difabel tertentu saja, jadi untuk siswa seperti contohnya tuna netra kami belum bisa menerima dikarenakan kami belum memiliki fasilitas bagi tunanetra, seperti huruf braile. Dan untuk siswa yang memakai kursi roda kami juga belum bisa menerima, karena sekolah kami tidak memiliki trailler, dimana lokasi ruang kelas kami ada yang dilantai 2, dan siswa diharuskan mampu untuk menaiki atau menuruni anak tangga. Kami tidak memiliki fasilitas trailler untuk menaiki dan menuruni tangga menggunakan kursi roda. Untuk akses komunikasi dan informasi kami memang sudah memberikan seperti sekolah lainnya, yaitu berupa komputer dan internet, dimana seluruh siswa baik difabel maupun non-difabel mendapatkan fasilitas tersebut. Khusus bagi siswa difabel mendapatkan fasilitas cek kesehatan, serta bagi siswa autisme kami memiliki berbagai macam alat bantu seperti trampolin, ayunan, guiding block, bola, dan alat-alat wiraswasta, untuk membantu mengembangkan ketrampilan dan daya pikir bagi siswa autis, sehingga diharapkan dengan adanya fasilitas seperti itu siswa difabel dapat hidup mandiri nantinya.” (Selasa, 9 Maret 2010).

Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri, rasio dalam sejarah serta bersifat emansipatoris dan untuk melakukan transformasi sosial. Kritik juga merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi tentang asal-usul tentang kesadaran, tidak berpihak kepada kemanusiaan dan melakukan pemberdayaan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan.

Ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Habermas menyebut “refleksi diri” (self reflexion). Melalui refleksi ini orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut.

Dalam hubungannya dengan sekolah inklusif di Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain.

Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Nanda tentang interaksi sosial dengan teman-temannya yang non-difabel, sebagai berikut :

”Teman-teman saya baik kok, kalau saya butuh bantuan, mereka mau membantu, bahkan ada yang mau berteman akrab dengan saya. Dulu pas kelas

2 saya sering diejek ama teman-teman laki-laki saya karena katanya jalannya seperti bebek, dan mereka mengikut cara jalan saya, tapi ya sudah itu kan hal biasa, sekarang sudah tidak lagi soalnya sudah dioperasi. Sekarang mereka semua baik sama saya dan saling menolong. Saat saya bertanya atau belajar kelompok, teman-teman juga asyik, tidak menjauhi saya, malah selalu mendekati.” (Selasa, 24 Mei 2010).

Interaksi sosial siswa difabel autis berbeda dengan difabel Celebral Palsy, dimana para penyandang autis jarang berinteraksi sosial dengan teman-teman non- difabel. tetapi pada umumnya tidak ada hambatan komunikasi dan interaksi sosial diantara siswa difabel autis dan siswa non-difabel. Hanya saja untuk memulai komunikasi harus dilakukan berulang kali dan dengan pendekatan yang tidak biasa, dimana pendekatan tersebut dilakukan berulang-ulang dan secara teratur. Mereka memiliki dunianya sendiri atau memiliki imajinasi yang tinggi, sehingga jika kita ingin berkomunikasi harus mampu memasuki dunia imajinasi mereka.

Hanya beberapa orang saja yang ditakuti dan ditaati oleh siswa difabel, contohnya adalah bahwa Ian hanya takut dan menurut pada 4 orang saja, yaitu : Kepala Sekolah, Kepala Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), guru walikelas, dan orang tuanya saja.

Di lingkungan masyarakat anak difabel hingga saat ini masih terkesan harus “dikasihani” padahal hal tersebut salah, dimana anak difabel harus diajarkan lebih keras untuk dapat hidup mandiri melalui pendidikan pada umumnya dan pendidikan inklusif pada khususnya. Masyarakat saat ini harus lebih peka terhadap hak yang dimiliki oleh anak difabel, salah satunya adalah hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang sama dengan anak non-difabel. Melalui pendidikan inklusif inilah hak anak-anak difabel tersebut didapatkan.

Pendidikan inklusif sebaiknya terus ditingkatkan oleh Pemerintah, tidak hanya Pendidikan di Sekolah Luar Biasa saja. Sehingga siswa difabel memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan seperti siswa non-difabel pada umumnya. Memiliki kurikulum pendidikan yang sama tanpa membedakan kurikulum yang satu dengan yang lainnya. Bahkan untuk perkembangan interaksi kearah kemandirian siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif dan siswa difabel yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa memiliki perbedaan tingkat perkembangannya. Hal ini telah terbukti seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut :

“Kurikulum di Sekolah Luar Biasa lain dengan kurikulum di sekolah inklusif, selain itu interaksi siswanya juga lebih berkembang, karena mereka berteman dengan siswa non-difabel. Jika di Sekolah Luar Biasa kan teman-temannya ya siswa difabel semua, maka tidak akan berkembang nantinya. Memang di sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini menekankan pada Interaksi siswa agar dapat mandiri.” (Selasa, 23 Maret 2010). Namun demikian, sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif tidak serta

merta mau menerima anak difabel pada umumnya, tetapi melalui seleksi tes dan wawancara, sehingga persaingan untuk mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan dan pengajaran bagi anak difabel juga sangat ketat seperti pada anak non- merta mau menerima anak difabel pada umumnya, tetapi melalui seleksi tes dan wawancara, sehingga persaingan untuk mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan dan pengajaran bagi anak difabel juga sangat ketat seperti pada anak non-

BAB IV PENUTUP

Pada bagian penutup ini, penulis akan memaparkan secara singkat kesimpulan dan memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang berjudul “Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta”.

Difabel merupakan sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Walaupun sudah lama muncul, tapi masih banyak juga orang tua yang belum mengerti tentang difabel ini, bahkan mengartikannya dengan anak idiot/ aneh, padahal difabel adalah semacam keterlambatan perkembangan. Di dalam skripsi ini penulis telah membahas mengenai aksesibilitas dan interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yang merupakan salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah inklusif sangat diperlukan demi perkembangan interaksi sosial siswa difabel dan mempersiapkan masa depannya kelak. Dengan keterbatasan aksesibilitas yang dimiliki oleh sekolah inklusif, diharapkan kedepannya mampu menambah aksesibilitas yang diperlukan bagi siswa difabel, karena pendidikan inklusif sangat dibutuhkan oleh siswa difabel terutama dalam membina kemandirian, rasa percaya diri, dan interaksi sosial yang nantinya dapat digunakan dalam masyarakat.

KESIMPULAN

Fenomena yang ada dalam masyarakat sekarang ini adalah semakin kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan penyandang cacat atau difabel. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Sehingga masyarakat sebagai sistem sosial berusaha agar fenomena ini tidak lagi menjadi hal yang menakutkan, dan perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk memecahkan persoalan ini.

Gangguan komunikasi pada siswa difabel ditandai tiga gejala utama yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan perilaku yang stereotipik. Di antara ketiga hal tersebut, yang paling penting diperbaiki lebih dahulu adalah interaksi sosial. apabila interaksi sosial membaik, maka seringkali gangguan komunikasi berkurang dan perilaku akan membaik secara otomatis.

1. Kesimpulan Empiris

Setiap orangtua pasti tidak berharap dan ditakdirkan untuk memiliki anak difabel, yang mengalami kesulitan dalam hal : bahasa, perilaku, dan interaksi sosial. Maka yang dapat dilakukan orangtua adalah bertanggung jawab atas kelangsungan hidup maupun kesejahteraan mereka di kemudian hari, salah satunya bertanggungjawab dalam hal pendidikan.

Setiap anak memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan. Melalui pendidikan inklusif, setiap siswa baik itu siswa difabel dan non- difabel mendapatkan materi, kurikulum, tempat, dan waktu pembelajaran yang Setiap anak memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan. Melalui pendidikan inklusif, setiap siswa baik itu siswa difabel dan non- difabel mendapatkan materi, kurikulum, tempat, dan waktu pembelajaran yang

Anak difabel memerlukan penanganan secara menyeluruh, yang tentunya harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, khususnya di bidang pendidikan. Melalui pendidikan inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini siswa difabel telah banyak mengalami perubahan sikap yang terkait dengan masalah gangguan interaksi sosial dan sosialisasi. Saat pertama kali masuk di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa sangat tidak percaya diri, sulit untuk berinteraksi sosial dan bersosialisasi bersama teman-teman, serta mempunyai nilai pelajaran yang rendah. Tetapi setelah melalui proses pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa difabel kini mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman non-difabel serta memiliki rasa percaya diri dan mandiri. Sikap-sikap inilah yang nantinya akan dibutuhkan oleh para siswa difabel ketika mereka memasuki dunia kerja maupun untuk bekal hidup di masa mendatang.

2. Kesimpulan Teoritis

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teori sebagai alat untuk menganalisa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian, yaitu : Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Aksi dan Teori Kritis.

Teori Interaksionisme Simbolik menurut George Herbert Mead menekankan pada tindakan Sosial dari Max Weber. Teori Interaksionisme

Simbolik menyatakan bahwa perilaku dijelaskan menurut gerak-gerak refleks yang dipelajari atau yang sudah menjadi kebiasaan, rangsangan-rangsangan lingkungan, atau proses-proses psikologis yang pada prinsipnya semua itu dapat diukur secara empiris. Perkembangan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa verbal maupun non verbal bagi anak penyandang autis sangat lambat, maka segala keinginannya akan diungkapkan secara simbolik sebagai bentuk komunikasi. Begitu pula bentuk komunikasi orang tua kepada anaknya yang walaupun verbal, tetapi hanya satu-dua kata saja, karena pemahaman yang minim dari sang anak.

Istilah “interaksi simbolik” menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol dalam menginterpretasikan makna. Hal ini sangat dibutuhkan oleh Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus ketika menangani siswa difabel dalam hal memahami seluruh mata pelajaran yang ada, yaitu dengan adanya guru pendamping yang selalu mendampingi siswa difabel ketika menerima pelajaran di kelas, kemudian menerangkannya kembali kepada siswa, karena siswa difabel membutuhkan pemahaman yang berulang kali agar dapat mengerti maksud dari pelajaran yang didapatkan. Adapula simbol-simbol berupa alat bantu yang digunakan oleh guru untuk mempermudah menerangkan kepada siswa difabel, yaitu berupa puzzle, guiding block, dan gambar-gambar. Hal ini dilakukan Istilah “interaksi simbolik” menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol dalam menginterpretasikan makna. Hal ini sangat dibutuhkan oleh Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus ketika menangani siswa difabel dalam hal memahami seluruh mata pelajaran yang ada, yaitu dengan adanya guru pendamping yang selalu mendampingi siswa difabel ketika menerima pelajaran di kelas, kemudian menerangkannya kembali kepada siswa, karena siswa difabel membutuhkan pemahaman yang berulang kali agar dapat mengerti maksud dari pelajaran yang didapatkan. Adapula simbol-simbol berupa alat bantu yang digunakan oleh guru untuk mempermudah menerangkan kepada siswa difabel, yaitu berupa puzzle, guiding block, dan gambar-gambar. Hal ini dilakukan

menekankan pada tindakan sosial karya Max Weber. Secara definitive Max Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dalam definisi sosial ini terkandung dua konsep dasarnya, yaitu tindakan sosial dan konsep tentang penafsiran serta pemahamannya.

Menurut teori aksi, tindakan yang dilakukan siswa difabel dengan berinteraksi dengan siswa non difabel dan guru, muncul dari kesadaran pribadi sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Dalam hal ini berlaku pada siswa difabel untuk berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar sebagai upaya bersama untuk mewujudkan hak-hak difabel dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan setara dengan non difabel pada umumnya. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu sehingga apa yang dilakukan siswa-siswa difabel tersebut bukan tanpa tujuan yang jelas, akan tetapi dengan melihat tindakan mereka mengikuti program tambahan atau intervensi dan terapi merupakan langkah yang diambil dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan dengan tujuan kesetaraan hak dan kemampuan mereka dengan siswa non difabel lainnya.

Teori Kritis dalam gagasan kritis Horkheimer menitikberatkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional. Anak difabel di masyarakat masih dikesampingkan, dimana mereka masih dikasihani dan tidak diberikan ruang lebih untuk mengembangkan potensi dan bakat mereka. Anak difabel seharusnya tidak boleh dikasihani, tetapi harus diberikan pendidikan yang lebih agar dapat bertahan dan bersaing dalam kehidupan masa mendatang. Pendidikan untuk anak difabel dapat dilakukan melalui pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) serta melalui pendidikan inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus.

Pendidikan inklusif adalah program dari pemerintah dimana siswa difabel dan non-difabel dapat belajar bersama di tempat dan di ruangan yang sama serta mendapatkan kurikulum yang sama, sedangkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) pada dasarnya teman-teman mereka juga merupakan siswa difabel, sehingga dalam pengembangan interaksi sosial sangat kurang, karena mereka ada pada situasi dimana seluruh teman-temannya difabel semua. Pemerintah telah memberikan program sekolah inklusif ini dengan merujuk kepada hak-hak difabel, dimana mereka juga berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang sama.

Perkembangan psikologis siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif terbukti lebih baik, karena lingkungan di sekolah inklusif memberikan pengaruh yang sangat baik bagi siswa difabel. Mereka harus dapat berinteraksi dan Perkembangan psikologis siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif terbukti lebih baik, karena lingkungan di sekolah inklusif memberikan pengaruh yang sangat baik bagi siswa difabel. Mereka harus dapat berinteraksi dan

3. Kesimpulan Metodologis

Berdasarkan masalah yang telah dibahas maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan. Dengan demikian data-data yang telah terkumpulkan dari hasil penelitian dideskripsikan kemudian disimpulkan sebagai informasi aktual tentang peran orang dalam penanaman nilai-nilai sosial terhadap anak difabel.

Dalam teknik pengumpulan data, penulis berperan sebagai Human instrument yang turun ke lapangan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data. Pengumpulan data dilakukan baik interaktif maupun non interaktif. Metode wawancara mendalam digunakan untuk metode interaktif dan catatan dokumen dan observasi tak berperan digunakan untuk metode noninteraktif..

Pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling , yaitu peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Dengan demikian, penulis dapat memperoleh data-data dari informan yang selain tahu permasalahan penelitian juga sanggup untuk memberikan data yang penulis butuhkan.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis interaktif. Reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dilakukan sejak atau Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis interaktif. Reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dilakukan sejak atau

SARAN

Sebagai penutup dalam penelitian untuk penyusunan skripsi yang berjudul “Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini penulis mengajukan beberapa saran yang bisa dipertimbangkan dan ditindaklanjuti.

Untuk masyarakat

Apabila menjumpai anak dengan difabel di sekitar kita, jangan menghina keterbatasan yang mereka miliki. Karena dukungan semacam itu dapat meningkatkan semangat anak difabel itu sendiri beserta orang- orang disekelilingnya. Apabila mengetahui informasi yang tepat mengenai difabel itu sendiri khususnya mengenai sekolah inklusif hendaknya dapat memberikan informasi kepada para orangtua yang belum mengetahui, untuk selanjutnya dilakukan penanganan secara dini, khususnya di bidang pendidikan. Di tangan orang yang tepat anak akan mendapatkan intervensi yang tepat pula.

Bagi orangtua

Diharapkan para orangtua anak penyandang difabel jangan berhenti untuk selalu mencari informasi dan ikut menyebarluaskan pengalamannya kepada masyarakat umum melalui seminar ataupun kegiatan positif lainnya. Seperti yang telah dilaksanakan Komite Sekolah

Al Firdaus, bahwa organisasi yang terdiri dari orang tua murid dan guru ini pernah mengadakan seminar pendidikan dengan Kak Seto, kemudian kegiatan rutin yang dilaksanakan adalah kegiatan outting, dimana siswa difabel dan non-difabel diberikan kesempatan untuk belajar diluar, dirumah teman-temannya secara bergantian. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan interaksi sosial bagi siswa non-difabel pada umumnya dan siswa difabel pada khususnya. Apabila istilah Difabel sudah tidak asing di telinga masyarakat umum, maka tidak akan ada yang namanya rasa malu dan ketakutan akan dikucilkan.

Bagi Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus

Berupaya tetap bekerjasama dengan sekolah-sekolah baik itu sekolah umum maupun Sekolah Luar Biasa demi perkembangan pendidikan siswa difabel. Tetap memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswa difabel melalui program khusus yang diberikan melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA).

Menambah sarana dan prasarana termasuk perbaikan ruangan Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang dijadikan sebagai tempat menyendirinya siswa difabel serta perbaikan ruang terapi, agar siswa difabel yang melakukan terapi maupun konsultasi di ruang tersebut merasa nyaman serta merubah struktur bangunan sekolah dengan menambah trailer, sehingga siswa difabel yang menggunakan kursi roda juga dapat bersekolah di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus.

Saran yang lain walaupun sarana dan prasarana yang ada sudah cukup memadai, tetapi seharusnya sarana yang ada tidak hanya untuk siswa autis, celebral palsy, dan hambatan belajar saja, melainkan juga bagi untuk difabel tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, dan lainnya karena pada hakekatnya sekolah inklusif adalah sekolah umum yang dapat menerima siswa difabel dari berbagai jenis difabel.

Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus telah menjadi sekolah rujukan bagi pendidikan inklusif lainnya untuk memberikan layanan bagi siswa difabel di sekolah lain melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Hal ini perlu ditingkatkan lagi khususnya dari segi pelayanan dan manajemennya terkait dengan kepercayaan pemerintah Kota Surakarta menjadikan satu-satunya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai sekolah percontohan pendidikan inklusif untuk sekolah yang lainnya.

Bagi pemerintah

Agar menyediakan sekolah-sekolah umum yang mau dan mampu menampung anak penyandang difabel (sekolah inklusif) dan lebih memberikan fasilitas kepada sekolah inklusif guna menunjang pendidikan bagi siswa difabel, karena saat ini sekolah inklusif yang telah berjalan dengan baik ternyata belum memiliki fasilitas yang menyeluruh dengan adanya keterbatasan dana. Selain itu juga pemerintah juga harus memperhatikan hak-hak anak difabel, apa yang dibutuhkan dan yang Agar menyediakan sekolah-sekolah umum yang mau dan mampu menampung anak penyandang difabel (sekolah inklusif) dan lebih memberikan fasilitas kepada sekolah inklusif guna menunjang pendidikan bagi siswa difabel, karena saat ini sekolah inklusif yang telah berjalan dengan baik ternyata belum memiliki fasilitas yang menyeluruh dengan adanya keterbatasan dana. Selain itu juga pemerintah juga harus memperhatikan hak-hak anak difabel, apa yang dibutuhkan dan yang

4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah RI No.43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, dan beberapa peraturan lainya.

Dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat berkaitan dengan aksesibilitas disebutkan pada pasal 2 bahwa penyediaan aksesibilitas dimaksudkan baik untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat hidup bermasyarakat sedangkan pada pasal 3 disebutkan peyediaan aksesibilitas yang dimaksud pada pasal (1) dan pasal (2) diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Jelas sekali amanat dari undang-undang tersebut bahwa pemerintah dan atau masyarakat wajib menyelenggarakan aksesibilitas terhadap difabel. Hal tersebut juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah bahkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umun. Selain itu juga pada tahun 2009, Menteri Pendidikan berhasil menggulirkan peraturan tentang Pendidikan Inklusi dalam bentuk Surat Keputusan Menteri No. 70 tentang Pendidikan

Inklusi Untuk Anak-anak Penyandang Cacat dan Anak-anak Berbakat. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola pelaksanaan pendidikan inklusif. Mereka mewajibkan pengelolaan sekolah di masing-masing Kabupaten dan Kota sementara pemerintah Nasional dan Propinsi akan berperan sebagai pendukung yang efektif untuk memastikan bahwa sekolah inklusif mendapatkan dana yang memadai. Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang baik antar bagian (divisi) di Depdiknas. Ini semua adalah upaya pemerintah untuk terciptanya hak-hak difabel, untuk memenuhi kebutuhan dan haknya di berbagai bidang khususnya pendidikan. Di beberapa Negara maju seperti Amerika dan Eropa sudah terdapat banyak program penempatan kerja bagi para penyandang difabel dewasa. Hendaknya di Indonesia, dengan keahlian (skill) khusus ini, mereka diharapkan bisa memperoleh pekerjaan yang layak dalam masyarakat. Walaupun kesempatan untuk bekerja memang lebih terbatas pada keahlian (skill) khusus yang harus diberikan dan dikembangkan pada diri mereka.

Masih banyak hal yang patut kita ketahui dan kita kaji tentang dunia anak difabel, baik di lingkungan rumah, sekolah dan di masyarakat. Penulis berharap akan semakin banyak penelitian yang berkaitan dengan difabel dan sekolah inklusif. Dengan harapan dapat memperbanyak wacana tentang difabel dan pendidikan bagi siswa difabel selain di Sekolah Luar Biasa itu sendiri. Yang menjadikan fenomena interaksi sosial siswa difabel di sekolah inklusif ini menarik Masih banyak hal yang patut kita ketahui dan kita kaji tentang dunia anak difabel, baik di lingkungan rumah, sekolah dan di masyarakat. Penulis berharap akan semakin banyak penelitian yang berkaitan dengan difabel dan sekolah inklusif. Dengan harapan dapat memperbanyak wacana tentang difabel dan pendidikan bagi siswa difabel selain di Sekolah Luar Biasa itu sendiri. Yang menjadikan fenomena interaksi sosial siswa difabel di sekolah inklusif ini menarik

Yang menjadikan penelitian difabel ini sulit adalah mencari informasi langsung dari siswa difabelnya, karena mereka sulit menerima orang baru dan berbagai bentuk perubahan yang ada, sehingga penulis mendapatkan banyak informasi dari siswa non-difabel, guru, dan orang tua siswa difabel. Peneliti hanya mengamati perilaku siswa difabel selama penelitian berlangsung dan mencari informasi melalui siswa non-difabel, guru, dan orang tua.

Sebagai akhir kata, mudah-mudahan skripsi dapat bermanfaat dan bila ada saran dan kritik dengan senang hati penulis akan menerimanya sebagai bahan untuk lebih menyempurnakan skripsi ini.