Proses dan pola interaksi sosial siswa di fabel dan non-difabel di sekolah eksklusif di kota Surakarta

Joko Teguh Prasetyo

D 0306004

JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2010

PERSETUJUAN

Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk Universitas Sebelas Maret Surakarta

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Drs. Argyo Demartoto, M, Si NIP. 19650825 199203 1 003

PENGESAHAN

Telah diterima dan disahkan oleh panitia penguji skripsi Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas sebelas maret

Panitia penguji skripsi

1. Drs. Muflich Nurhadi, SU ( ) NIP. 19510116 198103 1 002

Ketua

2. Drs. Bambang Santosa ( ) NIP. 19560721 198303 1 002

Sekretaris

3. Drs. Argyo Demartoto, M.Si ( ) NIP. 19650825 199203 1 003

Penguji

Mengetahui, Dekan FISIP UNS

Drs. H. Supriyadi, SN, SU NIP.195301 28 198103 1 001

MOTTO

Untuk mencapai kesuksesan, kita jangan hanya bertindak, tapi juga perlu bermimpi ; jangan hanya berencana, tapi juga perlu untuk percaya. To accomplish great things, we must not only act, but also dream; not only plan, but also believe. ~ Anatole France

Di balik kesuksesan seorang pria selalu ada wanita yang luar biasa di belakangnya ~ Paul I. Wellman

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini saya persembahkan untuk :

Orang tua Keluarga Kekasih

KATA PENGANTAR

Bismillahhirahmanirrahim Assalamu’alaikum wr. wb

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

kewajiban untuk menyusun penelitian skripsi dengan Judul : “Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta”.

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis terhadap pendidikan inklusif. Sehingga timbul kesadaran pentingnya membagi pengalaman yang didapatkan selama penelitian, agar mendapatkan kepuasan pada diri sendiri dan dapat membaginya lewat penyusunan skripsi ini. Banyak sekali yang penulis bisa dapatkan dari penelitian ini terutama sikap dan perilaku siswa difabel dalam berinteraksi dengan teman-temannya yang merupakan siswa non-difabel. Sehingga membuat kita lebih bersyukur lagi atas karunia yang diberikan Tuhan selama ini.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada :

1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS

2. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi FISIP UNS

3. Drs. Argyo Demartoto, M, Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, petunjuk serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta.

5. Ibu Rizka Amalia, S.Psi, selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang telah memberikan banyak bantuan dalam penyusunan skripsi ini di lokasi penelitian.

6. Ibu Ida, Isna, Bapak Joko, Ibu Uswahyu, Pak Agus, selaku guru di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus.

7. Orang tua siswa yang telah berbagi pengalaman tentang pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus bagi perkembangan anak-anak mereka.

8. Sahabat, teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis membuka diri terhadap segala kritik maupun saran yang bersifat membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman. Wassalau’alaikum wr. Wb.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Profil Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta

1. Sejarah Berdirinya Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta

2. Visi Misi dan tujuan …………………………………

3. Kurikulum dan Pembelajaran .......................................

4. Sumber Daya Manusia .......................................

5. Unit-unit Pendidikan .......................................

6. Unit-unit Pendukung .......................................

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Profil Informan ………………………………….. 120

2. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dengan Non- Difabel dan Siswa Difabel dengan Guru ……....………….. 146

B. Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta bagi Siswa Difabel

C. Pembahasan ………………………………….. 196

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………….. 207

1. Kesimpulan Empiris ………………………………….. 138

2. Kesimpulan Teoritis ………………………………….. 139

3. Kesimpulan Metodologis ………………………………….. 143

B. Saran ………………………………….. 144

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Skema Alur Penelitian ........................................

58 Gambar 1.2 : Skema Kerangka Pikir

63

…………………………

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Banyaknya Penyandang Cacat Menurut Jenis & Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2008 ......................................

5 Tabel 1.2 : Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Di Kota Surakarta Tahun 2006 .......................................

6 Tabel 1.3 : Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2006

7 Tabel 1.4 : Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta

...................................................

8 Tabel 2.1 : Daftar Siswa Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta ..............

...............

69 Tabel 2.2 : Penggolongan Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta Menurut Jenis Kecacatan ……

52 Tabel 2.3 : Data Siswa Difabel di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta

Menurut Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) …………………………………………………… 53

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 : Struktur organisasi pada Taman Pendidikan Pra Sekolah

74 Bagan 2.2 : Struktur Organisasi Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota

(TPP) Al Firdaus Tahun Pelajaran 2009/20101 ............

79 Bagan 2.3 : Struktur organisasi Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus

Surakarta Tahun Pelajaran 2009/2010 ........................

89 Bagan 2.4 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Al Firdaus Kota Surakarta

Kota Surakarta ............................................................

90 Bagan 2.5 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Atas (SMA) Al Firdaus Kota Surakarta

.....................................

91 Bagan 2.6 : Struktur organisasi Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan

.....................................

100 Bagan 2.7 : Prosedur Standar Intervensi Pusat Pelayanan Anak

Khusus (PUSPA) Al Firdaus ....................................

Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus .................

101

DAFTAR MATRIKS

Matriks 3.1 : Profil Informan ………………………………….. 136 Matriks 3.2 : Keterbatasan Siswa Difabel dalam Berinteraksi Sosial …. 150 Matriks 3.3 : Gangguan Interaksi dan Sosialisasi pada Siswa Difabel

Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta ………… 159 Matriks 3.4 : Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel ………………….. 166 Matriks 3.5 : Pola Interaksi Sosial ………........…………………….. 178 Matriks 3.6 : Aksesibilitas Seklah Dasar (SD) Al Firdaus Bagi Siswa

Difabel ………........…………………….......................... 196

ABSTRAK

Joko Teguh Prasetyo. D0306004. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Skripsi. Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif tentang Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Penelitian telah dilaksanakan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan metode interaktif melalui wawancara dan dengan metode non interaktif melalui catatan dokumen observasi tak berperan. Pengambilan sampel dilakukan purposive sampling. Analisa data menggunakan model analisa interaktif, sedangkan validitas data menggunakan triangulasi data/ sumber.

Kemudahan dalam penelitian skripsi ini adalah sikap yang terbuka dari para stakeholder terkait, yaitu : guru dan orang tua siswa difabel, serta keterbukaan dari informan (siswa difabel), yaitu : Abdul (bukan nama sebenarnya), Rahman (bukan nama sebenarnya), Tian (bukan nama sebenarnya), Nanda (bukan nama sebenarnya), Putra (bukan nama sebenarnya), Ian (bukan nama sebenarnya), dan Iman (bukan nama sebenarnya). Sedangkan kesulitannya adalah terbatasnya siswa difabel autis sebagai responden penelitian, karena sulit untuk beradaptasi dengan orang baru.

Penelitian ini membuktikan bahwa tidak adanya kesulitan interaksi sosial pada siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus. Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai sekolah inklusif memiliki sarana dan prasarana yang kurang memadai, tetapi dalam hal manajerial telah memiliki program unggulan dalam pelayanan khusus bagi siswa difabel, yaitu melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Output siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu mewujudkan generasi yang beriman dan bertakwa berwawasan iptek serta mampu menuju kearah kemandirian.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Difabel yang merupakan kepanjangan dari "different ability" merupakan salah satu masalah sosial yang masih dihadapi oleh Negara Indonesia saat ini. Banyaknya kaum difabel yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat Indonesia, membuat kaum ini merasa terdiskriminasi di segala bidang kehidupan. Di bidang pendidikan anak difabel juga mengalami pendiskriminasian, dimana pendidikan yang diperoleh anak difabel dibedakan dengan anak non-difabel pada umumnya.

Kesamaan hak anak atas pendidikan dijamin sepenuhnya didalam instrumen hukum (baik internasional maupun nasional). Pendidikan bertujuan memperkuat Hak Asasi Manusia. Walaupun tujuan dan sasarannya berbeda-beda menurut konteks nasional budaya, politik, agama serta sejarah masing-masing. Hak anak difabel atas pendidikan diperjelas kembali dalam Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1989), Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Deklarasi Salamanca dan Kerangka Aksi Unesco (1994), Undang-undang Penyandang Cacat (1997), dan Kerangka Aksi Dakar (2000). Dalam Deklarasi Salamanca dipesankan untuk menerima setiap orang dan menghargai perbedaan.

Selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang ada.

Kongres Internasional ke-8 tentang Mengikutsertakan Anak Penyandang Cacat ke Dalam Masyarakat : Menuju Kewarganegaraan yang Penuh, yang dilaksanakan pada Juni 2004 di Stavanger, menegaskan adanya hak yang sama bagi yang berkebutuhan khusus maupun bagi yang tidak berkebutuhan khusus. Kewarganegaraan yang penuh memberi konsekuensi bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam semua aspek kehidupan, seperti layanan kesehatan, pendidikan, program perawatan, maupun rekreasi. Hal ini berarti, anak difabel juga memiliki hak untuk berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, serta mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara. (European Journal of Psychology of Education Vol. XXI, 2006 : 231-238).

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai setiap kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti tidak terkecuali bagi anak difabel. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan adanya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Sebaliknya, setiap lembaga pendidikan haruslah memberi kesempatan tersebut.

Hak anak yang berkebutuhan khusus juga menjadi bagian yang diatur dalam Konvensi Hak Anak (diratifikasi melalui Keppres Nomor 20 Tahun 1990) Hak anak yang berkebutuhan khusus juga menjadi bagian yang diatur dalam Konvensi Hak Anak (diratifikasi melalui Keppres Nomor 20 Tahun 1990)

1. Mendapat kesempatan yang sama dan aksesibilitas bagi pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

2. Menerima pendidikan, pelatihan dengan cara yang memungkinkan demi tercapainya integrasi sosial.

3. Dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan guru pengelola sekolah, atau teman-temannya.

Mengenai sistem pendidikan, dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan (dapat diartikan siswa difabel) diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Hal ini berarti, tidak ada keharusan dilaksanakan melalui berbagai sekolah luar biasa, melainkan juga dapat diselenggarakan melalui sekolah umum. Hal yang terpenting. Pendidikan haruslah diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.

Pada dasarnya anak difabel memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan anak non-difabel dalam mewujudkan kesejahteraan hidupnya. (Undang-Undang.No4/ 1997 tentang Penyandang Cacat; PP No 72/ 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa; PP No.13/ 1988 tentang Usaha

Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; Undang-Undang.No.25/ 1997 tentang Ketenagakerjaan, UUSPN No.20/ 2003).

Pendidikan sangat diperlukan dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial. Hak atas pendidikan merupakan bagian esensial dalam hak asasi manusia seseorang. Bahkan dapat dikatakan, pendidikan merupakan prasyarat bagi terlaksananya hak-hak dasar yang lain bagi seseorang. Dalam lingkup hak ekonomi, sosial dan budaya, hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, untuk memperoleh pembayaran yang setara dengan pekerjaan yang dilakukan, untuk membentuk serikat buruh, atau untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, untuk menikmati manfaat kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan kemampuannya, hanya dapat dilaksanakan secara berarti setelah seseorang memperoleh tingkat pendidikan minimum.

Fenomena yang ada dalam pendidikan sekolah umum Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU), selalu dijumpai siswa difabel tingkat ringan, seperti : anak berkesulitan belajar, lamban belajar/ tunagrahita ringan, low vision, penyimpangan perilaku dan emosi, dan sebagainya. Mereka membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, namun tidak didapatkan dari sekolah. Sementara itu siswa difabel yang termasuk gradasi sedang dan berat tidak diijinkan sekolah di sekolah umum.

Sistem pendidikan inklusif diharapkan mampu menjadi jawabannya karena dianggap dapat memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak difabel, namun dalam pelaksanaannya bentuk pendidikan ini belum berjalan sebagaimana diharapkan karena beberapa hal, seperti: masalah terbatasnya jumlah sekolah berpendidikan inklusif, keterbatasan sumber daya pengajarnya, sikap dan perlakuan yang diskriminatif, dan penolakan sebagian orang tua murid.

Sejak lahirnya Direktorat Pendidikan Luar Biasa di Lingkungan Ditjen. Dikdasmen Depdiknas telah diciptakan suatu model atau sistem pendidikan yang disebut pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif pada dasarnya adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (anak difabel) untuk belajar bersama-sama dengan anak sebayanya di sekolah umum. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1.450 sekolah luar biasa (SLB) dan hanya 400 yang negeri. Selain itu, sebanyak 800 sekolah sudah menjadi sekolah inklusif. (Kompas, 17 November 2009).

Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya kaum difabel baik sebagai tempat tinggal permanen maupun pelatihan-pelatihan. Banyaknya difabel di kota ini dapat dilihat dari jumlah kaum difabel dengan berbagai jenis kecacatan dari tabel berikut ini:

Tabel 1.1

Banyaknya Penyandang Cacat Menurut Jenis & Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2008

Rungu/W icara (1)

16 Pasar Kliwon

Sumber : BPMPPPA dan KB Kota Surakarta 2008

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa Di Kota Surakarta terdapat 498 orang penyandang cacat tubuh, 278 tunanetra, 489 orang tuna mental dan 199 orang tuna rungu/ wicara. Sedangkan daftar anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1.2

Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kota Surakarta Tahun

Tahun 2006 No

Kriteria Cacat

JUMLAH

1 Anak Balita Terlantar

2 Anak Terlantar

3 Anak yang menjadi KTK

4 Anak Nakal

5 Anak Jalanan

6 Anak cacat (difabel.)

2075 Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta Tahun 2006

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa jumlah terbanyak anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta yaitu dengan kriteria anak cacat (difabel) pada tahun 2006 berjumlah 812 jiwa yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 464 jiwa dan perempuan berjumlah 348 jiwa. Dari tabel diatas, tampak bahwa jumlah anak cacat (difabel) memiliki angka tertinggi diantara jumlah anak penyandang masalaha kesejahteraan sosial lainnya.

Keadaan anak yang mempunyai cacat fisik, mental, maupun mental dan fisik (ganda) pada usia 0-18 tahun di Kota Surakarta dapat dilihat melalui tabel dibawah ini :

Tabel 1.3

Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2006

Tahun 2006 No

Kriteria Cacat

JUMLAH

1 Cacat tubuh

2 Cacat Rungu Wicara

3 Cacat Netra

4 Cacat Mental Reterdasi

5 Cacat Mental Eks Psikotik

6 Cacat Ganda

7 Cacat Bibir Sumbing

810 Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta Tahun 2006

Kota Surakarta dijadikan program kota layak anak, didalam program kota layak anak ini Kota Surakarta dituntut untuk memenuhi segala fasilitas menyangkut kesejahteraan anak baik di bidang kesehatan, hukum maupun pendidikan. Dibidang pendidikan Kota Surakarta diharuskan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan didalam Konvensi Hak Anak, termasuk menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak-anak baik non-difabel dan difabel. Salah satunya dengan menyediakan sekolah inklusif.

Di Kota Surakarta terdapat beberapa sekolah inklusif untuk memenuhi kebutuhan hak anak difabel untuk memperoleh pendidikan. Adapun daftar sekolah inklusif di Kota Surakarta menurut LPPM UNS adalah sebagai berikut:

Tabel 1.4 Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta No

Nama Sekolah

1 SDN Bromontakan

2 SDN Pajang I

3 SDN Petoran

4 SDN Manahan

5 SD Al Firdaus Surakarta

6 SMPN 12

7 SMP SMU Al Firdaus Surakarta

8 SMAN 8 Surakarta

9 SMU Muhammadiyah 6 Surakarta

10 SMKN 9 Surakarta Sumber : LPPM UNS 2009

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak permasalahan yang melekat pada difabel dan terutama pada siswa difabel yang sama sekali tidak pernah menjadi perhatian baik oleh masyarakat difabel itu sendiri maupun non-difabel. Berdasarkan realitas sosial diatas maka kegiatan penelitian ini lebih difokuskan pada Proses dan Pola interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta?

2. Bagaimanakah aksesibilitas bagi siswa difabel yang diberikan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta, demi menghasilkan output atau hasil sumber daya manusia yang berkualitas?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta.

2. Mengetahui aksesibilitas bagi siswa difabel yang diberikan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta, demi menghasilkan output atau hasil sumber daya manusia yang berkualitas?

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Teoritis Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan untuk penelitian sejenis dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kota Surakarta dan Dinas Pendidikan dan Olah Raga (DISDIKPORA) Kota Surakarta untuk lebih memperhatikan pendidikan kaum difabel terkait dengan sekolah inklusif dan aksesibilitasnya terhadap kaum difabel di Kota Surakarta.

b. Dapat digunakan sebagai salah satu contoh bagi Lembaga Pendidikan yang lain bahwa Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar Al Fidaus merupakan salah satu Sekolah Inklusif terbaik di Kota Surakarta.

E. LANDASAN TEORI Permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan sosiologi. Roucek dan Waren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok sosial. Menurut WF.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses- proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Menurut Pitirim A Sorokin menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang diharapkan untuk mempelajari :

1. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial.

2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan non sosial. (Soekanto, 1990 : 19-20)

Sedangkan Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemarji menyatakan bahwa: “Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur

sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.” (Soekanto, 1987 : 15)

Dalam beberapa hal sosiologi dikatakan mirip dengan psikologi, terutama dalam teori interaksi simbolik yang banyak dipengaruhi oleh psikoanalisa. Untuk membedakan kedua ilmu tersebut Soeprapto menyatakan bahwa:

“Sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mengkaji secara ilmiah mengenai kehidupan manusia. Sosiologi merupakan suatu ilmu dimana di dalamnya dipelajari haikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan perilaku manusia yang terjadi secara teratur dan bisa berulang-ulang. Hal inilah yang membedakannya dengan psikologi yang dikenal sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada karakterstik individu per individu.

Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari individu dalam kapasitasnya sebagai masyarakat.” (Soeprapto, 2002 : 1)

Menurut Max Weber yang dikenal sebagai pendukung paradigma definisi sosial yang menjadi sudut pandang dari penelitian ini: “Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan memahami tindakan

sosial secara interpretatif agar diperoleh kejelasan mengenai sebab-sebab, proses, dan konsekuensinya. Dengan kata lain sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan demikian bisa diperoleh penjelasan kausal mengenai arah dan konsekuensi dari tindakan itu.” (Raho, 2004 : 3)

Setiap ilmu memiliki teori-teori sendiri. Tapi kepastian dari teori-teori itu berbeda dari satu ilmu ke ilmu yang lainnya. Derajat kepastian di dalam ilmu alam, fisika, atau kimia biasanya lebih tinggi dari pada derajat kepastian di dalam teori-teori ilmu sosial. Teori-teori di dalam ilmu sosial, tidak lebih dari suatu perspektif atau cara pandang dalam meneropong kehidupan masyarakat. Sebuah teori dalam ilmu sosial bertahan selama belum ada penjelasan lain yang mengatakan sebaliknya.

Manusia merupakan makhluk sosial, dimana dasar kehidupan bersama adalah komunikasi, terutama lambang-lambang sebagai kunci untuk memahami kehidupan sosial manusia. Suatu lambang merupakan tanda, benda atau gerakan yang secara sosial dianggap mempunyai arti-arti tertentu.

Mead mengatakan tentang kehidupan bersama manusia, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak-pihak lain dengan perantaraan lambang-lambang tertentu yang dipunyai bersama. Dengan Mead mengatakan tentang kehidupan bersama manusia, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak-pihak lain dengan perantaraan lambang-lambang tertentu yang dipunyai bersama. Dengan

Dari definisi tersebut tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu- ilmu sosial lainnya obyek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai batasan yang cukup luas yang memcakup berbagai faktor termasuk didalamnya juga mencakup tentang pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tersebut. (Soekanto, 1990 : 23).

Salah satu cara untuk mengelompokkan teori-teori sosiologi adalah yang dianjurkan George Ritzer dalam bukunya ‘Sosiologi: Ilmu Berparadigma Ganda’. Pengelompokkan yang dilakukan oleh George Ritzer itu didasarkan pada paradigma-paradigma yang ada dalam sosiologi. Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab serta aturan-aturan apa saja yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. (Ritzer, 2002 : 6-7).

Menurut Ritzer, didalam sosiologi, ada tiga paradigma utama, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Pertama paradigma fakta sosial, paradigma yang dipelopori oleh Emile Durkheim ini menekankan pokok persoalan sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah sesuatu (thing) yang berada diluar individu dan berbeda dari ide-ide tetapi bisa mempengaruhi individu didalam bertingkah laku. Secara garis besar, fakta sosial kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, sistem sosial, keluarga, pemerintah, institusi politik, kebiasaan, hukum, undang-undang, nilai-nilai dan sebagainya. Teori yang berada dalam naungan paradigma fakta sosial adalah teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.

Yang kedua adalah paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang kongkrit dan realistis ialah perilaku manuisa yang tampak dan kemungkinan perulangannya. Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar pribadi dan hubungan pribadi dengan lingkungan. Menurut penganut paradigma ini tingkah laku seorang individu memiliki hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi dia dalam bertingkah laku. Jadi ada hubungan antara perubahan tingkah laku individu dengan perubahan lingkungan sosial yang dialami individu. Teori yang searah dengan paradigma ini adalah teori pertukaran.

Terakhir adalah paradigma definisi sosial, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yang menekankan kenyataan sosial yang subyektif. Model pemersatu dari paradigma ini adalah karya-karya Max Weber dan juga Talcott Parsons. Karya Weber membantu mengarahkan perhatian sosiologi sebagai studi atau ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative Terakhir adalah paradigma definisi sosial, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yang menekankan kenyataan sosial yang subyektif. Model pemersatu dari paradigma ini adalah karya-karya Max Weber dan juga Talcott Parsons. Karya Weber membantu mengarahkan perhatian sosiologi sebagai studi atau ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative

Perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa aktor dalam paradigma definisi sosial bersifat dinamis dan kreatif, karena mereka memberikan interpretasi sebelum mereka memberikan reaksi atas tindakan sosial. Sedangkan pada paradigma perilaku sosial, aktor kurang kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya lebih ditentukan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya seperti norma, nilai-nilai, atau struktur sosial.

Paradigma yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma definisi sosial. Ada tiga teori yang mencakup dalam paradigma definisi sosial yaitu Teori Aksi, Teori Interaksionisme Simbolik, dan Teori Fenomenologi. Paradigma definisi sosial lebih menekankan pada tindakan manusia yang penuh arti. Weber sebagai pengemuka eksemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Yang dimaksudkannya dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.

Tindakan sosial seperti yang dikemukakan oleh Weber, juga dapat berupa tindakan-tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain, juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang berbeda. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. (Ritzer, 2002: 38).

Secara definitif Weber berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Di dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar, yaitu pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Konsep terakhir ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama. Dalam mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti mencoba menginterpretasikan tindakan dan memahami motif serta tindakan si aktor. Dalam hal ini Weber menyarankan dua cara, dengan melalui kesungguhan dan dengan mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor.

Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe, yang mana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Keempat tipe tersebut yaitu :

1. Zwerk rational Yakni tindakan murni. Dalam hal ini maka aktor tidak hanya sekedar menilai cara terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.

2. Werktrational action Dalam tindakan ini aktor tidak dapat menentukan apakah cara-cara yang dipakai merupakan cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan ataukah 2. Werktrational action Dalam tindakan ini aktor tidak dapat menentukan apakah cara-cara yang dipakai merupakan cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan ataukah

3. Affectual action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh emosi dan kepura-puraan si aktor, tindakan ini sukar dipahami dan tidak rasional.

4. Traditional action

Tindakan yang didasarkan akan kebiasaan-kebiasaan melakukan sesuatu di masa lain. (Johnson, 1994: 220-222).

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta dan aksesibilitas apa saja yang diberikan oleh sekolah kepada siswa difabel di Kota Surakarta demi menghasilkan output sumber daya manusia yang berkualitas. Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori interaksionisme simbolik. Substansi dasar dari teori tersebut adalah bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar.

Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process.

Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama

Jadi tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya. Tetapi tindakan itu merupakan hasil daripada proses interprestasi terhadap stimulus. Jadi merupakan proses dari belajar, dalam arti memahami simbol-simbol itu. Meskipun norma-norma, nilai- nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya.

Bagian lainnya yang penting adalah konstruksi tentang diri “self”. Diri itu tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan teratur, motivasi dan norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mendefinisikan “aku”, manusia menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan Bagian lainnya yang penting adalah konstruksi tentang diri “self”. Diri itu tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan teratur, motivasi dan norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mendefinisikan “aku”, manusia menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan

Jadi dalam teori tersebut terkandung pengertian bahwa manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinyu.

Selain teori interaksionisme simbolik dan teori aksi diatas, penelitian Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta ini juga menggunakan teori kritis dari Max Horkheimer dan juga Jurgen Habermas.

Di dalam gagasan kritis Horkheimer menitik beratkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional. Dalam bahasa yang lebih terperinci, bisa disingkat dalam pokok-pokok sebagai berikut :

a. Sebagai tipe arah khusus, teori kritis menyelamatkan hasil tindakan.

b. Teori kritis berorientasi nilai, sekaligus mengajarkan bagaimana seharusnya kita hidup.

c. Teori kritis berorientasi pada ilmu yang bebarengan dengan sisi kematian, adat istiadat, kebiasaan, dan tradisi.

d. Teori kritis bersifat holistik dan tidak reduksionistik.

e. Teori kritis memulai dengan sebuah kepentingan dalam menafsirkan makna tindakan, dengan maksud meningkatkan hubungan komunikasi dan mereproduksi hubungan sosial.

f. Teori kritis mengasumsikan bahwa adalah mungkin merefleksikan penggunaan bahasa sehingga bisa menuju pemahaman yang lebih lengkap pada cara dimana realitas dekonstruksi secara sosial.

g. Teori kritis mengasumsikan bahwa orang tidak selau menyadari aturan-aturan tempat ia tinggal dan mengorganisasikan pengalaman mereka dalam hidup.

h. Teori kritis selalu berbentuk sebuah kritik atas cara, dimana individu dibatasi untuk bertindak dan selalu mengidentifikasi diri mereka dalam kerangka lembaga sosial khusus

(Susilo, 2008 : 140).

Teori kritis mendasarkan pada kritik atas banyak hal, seperti ilmu positifis,rasionalitas, teknologi, ilmu hukum, kesatuan keluarga, pola-pola birokrasi, bahasa, seni, musik, sastra, kepribadian otoriter, dan psikoanalisa. Teori kritis mempunyai beberapa ciri khas:

1. Kritis terhdap masyarakat. Marx menjalankan kritis terhadap politik dan ekonomi pada zamannya. Mazhab Frankfurt juga mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan peyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat rapuh, karena itu harus dirubah.

2. Teori kritis berfikir secara historis dengan berpijak pada proses masyarakat yang historis. Teori kritis meneruskan posisi dasar Hegel dan Marx. Dengan demikian, teori tersebut selalu berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial yang tertentu misalnya material- ekonomis.

3. Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Itulah yang terjadi dengan pemikiran filsafat modern. Menurut Mazhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.

4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktik, pengetahuan dari tindakan, rasio teoretis dari rasio praktis. Perlu dicatat bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukan dengan rasio instrumental yang yang hanya memperhitungkan alat atau sarana saja. Frankfurt menunjukan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis selalu harus melayani transformasi praktis masyarakat. (Santoso, 2007 : 97).

Menurut Habermas setidaknya ada enam tema dalam program teori kritis, yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat post-liberal, sosialis dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni dan kritik atas positivis. Habermas, mengatakan bahwa segala bentuk ilmu harus dialamatkan kepada kepentingan kognitif, sehingga itu tidak bebas nilai. Setiap ilmu dan teori apapun haarus memiliki pertautan dengan nilai dan kepentingan (Santoso, 2007 : 224).

Ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Habermas menyebut “refleksi diri” (substreflexion). Melalui refleksi ini orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah inklusif difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel. (Santoso, 2007 : 233).

Proses belajar masyarakat tergantung pada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya. Individu-individulah yang memiliki peranan penting Proses belajar masyarakat tergantung pada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya. Individu-individulah yang memiliki peranan penting

Menurut Richard Dewey dan W.J Humber, kemauan merupakan :

a. Hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan.

b. Berdasarkan pengetahuan tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan.

c. Dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi yang diperlukan untuk mencapai tujuan.

d. Pengeluaran energi yang sebenarnya dengan satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan. (Rakhmat, 2007 : 43).

Siswa difabel merupakan salah satu individu yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, jika dari dalam diri difabel itu sendiri tidak memiliki kemauan untuk berubah, maka proses belajar tidak akan terjadi, dan sekolah inklusif tidak akan terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Siswa difabel memiliki kemauan untuk mendapatkan kesetaraan dalam bidang pendidikan dengan siswa non-difabel dan ikut bersaing dalam pendidikan. Untuk mewujudkan cita-cita dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah melaksanakan program sekolah inklusif, dan salah satunya yaitu di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta.

F. DEFINISI KONSEPTUAL

1. Difabel

Kecacatan yang oleh masyarakat kita masih dimaknai sebagai sifat abnormal, ketidak sempurnaan, dan keadaan yang rusak sehingga perlu untuk disempurnakan. Pemaknaan kata cacat sebagai ketidak sempurnaan ini menjadi sangat kontroversial jika dikaitkan dengan hakikat penciptaan manusia. Jika entitas manusia dipandang sebagai hasil dari sebuah proses maka kecacatan atau ketidaksempurnaan yang dilekatkan pada para penyandang cacat dapat juga dimaknai sebagai ketidaksempurnaan dari sebuah proses penciptaan manusia yang dilakukan oleh Allah SWT. Dihadapan Allah, dimensi spiritual melalui keimanan dan amal sholeh lebih utama dibanding fisik. Dari sini dilihat bahwa tidak ada alasan untuk bersikap diskriminatif terhadap difabel.

Dalam teori bahasa dan kekuasaan yang perkenalkan oleh Michael Fucoult penyandang cacat sebagai salah satu kelompok minoritas tak berdaya serta tak punya pilihan sehingga menerima begitu saja istilah yang dilekatkan pada dirinya selama berabad-abad dan dipahami sebagai sebuah “budaya” yang tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat kita. Cara berfikir diatas telah dikontruksikan oleh masyarakat kita selama berabad- abad menjadi bagian dari kehidupan mereka hingga tidak disadari hal tersebut sebagai sebuah kesalahan (ketidakadilan). Bahkan sebagian dari masyarakat awam kita masih meyakini bahwa kecacatan adalah kutukan atau dosa. Hanya karena istilah yang “kebetulan” disandangnya para penyandang cacat harus hidup menjadi kelompok marginal tersingkir dipojok

bumi ini.

(http://www.scribd.com/doc/23956444/Difabel-Dan-Usaha-Dekonstruksi- Kesempurnaan).

Berdasarkan Hak Asasi Manusia, pada tanggal 9 Desember 1975, PBB mendeklarasikan Hak-Hak Penyandang Cacat melalui resolusi no. 3447(XXX) untuk meningkatkan kualitas hidup kaum difabel yang harus diikuti oleh seluruh negara anggotanya. Resolusi ini menjamin persamaan hak sebagai warga negara tanpa melihat kecacatan, menjamin hak untuk bekerja secara produktif dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial serta pelarangan perlakuan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum difabel.

Konstruksi dan sikap atas kaum difabel dilukiskan sangat indah oleh Michael Foucault dalam Madness and Civilization : A history of insanity and age of reason (1988). Yakni bagaimana sebuah diskursus yang lahir dari rahim misi pencerahan: modernitas, melegitimasi proses pengekslusian orang-orang gila. Paska abad pertengahan, orang-orang penderita lepra lenyap begitu saja, kemudian posisinya digantikan oleh keberadaan orang- orang gila. Muncul berbagai barak dan tempat-tempat yang digunakan untuk memenjarakan orang gila. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault merupakan proses yang didahului oleh sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/ medis atas orang-orang gila tersebut. Dengan demikian cacat merupakan konstruksi sosial.

Bukan persoalan mudah untuk membahas diskriminasi disini. Membahas diskriminasi dalam hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan dua pandangan yang berbeda antara sudut pandang teori dan realitas Bukan persoalan mudah untuk membahas diskriminasi disini. Membahas diskriminasi dalam hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan dua pandangan yang berbeda antara sudut pandang teori dan realitas

Perlakuan diskriminatif masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa dengan difabilitas yang dimiliki, difabel dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Fakta yang ada menunjukkan bahwa diskriminasi bukan hanya perasaan difabel, melainkan sebuah realitas yang ada di hadapan kita. Belajar dari pengalaman bahwa perlakuan diskriminatif, baik secara struktural (kebijakan negara) maupun kultural (penerimaan masyarakat) terhadap penyandang cacat hanya menciptakan masalah baru, yakni ketidakberdayaan mereka dalam kehidupan individu dan bermasyarakat.

Kaum Difabel semakin sulit mengembangkan sumber daya manusianya, dan selalu tergantung pada uluran tangan pihak lain. Yang dibutuhkan saat ini adalah dekonstruksi terhadap paham cacat-normal yang selama ini tanpa disadari dilanggengkan juga oleh sistem sosial di Indonesia. Perjuangan penyandang cacat untuk bebas dari diskriminasi dan ketidakadilan tidak saja menyangkut aksesibilitas dalam sistem sosial, Kaum Difabel semakin sulit mengembangkan sumber daya manusianya, dan selalu tergantung pada uluran tangan pihak lain. Yang dibutuhkan saat ini adalah dekonstruksi terhadap paham cacat-normal yang selama ini tanpa disadari dilanggengkan juga oleh sistem sosial di Indonesia. Perjuangan penyandang cacat untuk bebas dari diskriminasi dan ketidakadilan tidak saja menyangkut aksesibilitas dalam sistem sosial,

Istilah difabel muncul dan digunakan di Indonesia mulai akhir millennium kedua atau mulai pada tahun 1998 sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Bukan sejarah singkat untuk sampai penggunaan istilah difabel. Pada dekade 70- 80an masyarakat dan pemerintah menyebut individu yang mengalami kelainan fisik sebagai penderita cacat. Namun dalam pandangan umum, penggunaan kata penderita dianggap tidak menggambarkan secara obyektif realitas yang dialami individu yang disebut. Individu yang mengalami kelainan fisik tidak selalu hidup dalam penderitaan. Mereka juga bisa bertawa tanpa merasakan penderitaan karena kondisi yang mereka alami.

Penderitaan yang diasumsikan oleh masyarakat pada umumnya lebih disebabkan oleh persepsi orang diluar individu yang mengalami kelainan fisik. Istilah berikutnya yang digunakan adalah penyandang cacat. Namun pada perkembangannya istilah ini juga mengalami penolakan karena masih terdapat istilah cacat di dalamnya. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Kata cacat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada dasarnya lebih tepat jika dilekatkan pada barang atau benda mati.