Rasa Ingin Tahu Kewajiban Seorang Pelajar
maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat-ayat
yang lalu mengecam kekufuran dan menganjurkan kesyukuran dan tidak memiliki semangat kebangsaan. Tokoh yang tampil secara utuh dan sempurna dalam hal
semangat kebangsaan adalah Nabi Ibrahim. Beliau adalah Bapak Para Nabi yang kepibadiannya menandai uraian surah ini, sebagaimana surah ini dinaungi pula oleh
uraian tentang nikmat Ilahi dan sikap manusia atas nikmat-nikmat itu, yaitu syukur atau kufur Shihab6, 2000: 385.
Ayat di atas, berbicara tentang keturunan Nabi Ibrahim, yang lain yaitu putra beliau, Ismail. Kelompok ayat ini dengan menyebut Nabi Ibrahim yang memohon
keamanan bagi Kota Makkah, dimana anak dan istrinya bertempat tinggal, serta kesejahteraan penduduknya dan keterhindaran dari penyembahan berhala,
meskipun beliau sendiri belum menetap di tanah ini . Menurut Thabathaba‟i,
sebagaimana dikutip dalam Tafsir al-Misbah, semangat kebangsaan Ibrahim begitu mulia. Hal tersebut dapat dibaca ketika Ib
rahim mendo‟akan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa di mana keturunannya kelak berada. Ia berdo‟a: “Tuhanku,
yang selalu berbuat baik kepadaku, jadikanlah bangsa ini, Mekkah, bangsa yang aman dan jauhkanlah aku secara terus menerus hingga akhir jaman beserta anak
cucuku dari menyembah berhala-berhala. Tuhanku sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia, aku sangat menbencinya maka karena itu
aku menyatakan kepada siapapun bahwa barang siapa yang mengikutiku membenci berhala-berhala, maka sesungguhnya dia termasuk golonganku. Maka anugerahi
pulalah dia kebahagiaan dan kebaikan sebagaimana Engkau anugerahkan kepadaku. Dan barang siapa yang mendurhakai aku sehingga menyembah berhala
atau merestuinya maka sesungguhnya mereka wajar Engkau siksa. Karena mereka telah melanggar dan berdosa. Akan tetapi jika Engkau mengampuni dosa mereka,
itu pun wajar karena sessungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Shihab6, 2000: 386.
Selain itu, Quraish Shihab juga menjelaskan konsep yang mendasari paham kebangsaan, yaitu paham KesatuanPersatuan. Tidak dapat disangkal bahwa al-
Qur ‟an memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula
Kitab suci ini menyatakan bahwa Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, QS. Al-Anbiya2l: 92, dan Al-Muminun23: 52. Pertanyaan yang dapat
saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah: a Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan?; b
Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuankesatuan yang diikat oleh unsur- unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan
sejarah? Shihab6, 2000: 387.
Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran, dengan makna
yang berbeda-beda. Al-Raghib Al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Quran Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, menjelaskan bahwa ummat adalah
kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.
Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan
binatang pun demikian, “Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di
bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu ...
” QS. Al-Anam6: 38. Shihab6, 2000: 386. Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang
berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak
keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat An-Nahl 16: 20
karena alasan itu. Sesungguhnya Ibrahim adalah umat tokoh yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang
mempersekutukan Tuhan, QS. Al-Nahl16: 120. Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam al-Qur
‟an sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan.
Yang membatasi hanyalah bahasa, yang tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal. Shihab6, 2000: 386.
Di sisi lain, dalam al-Qur ‟an ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang
digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan
istilah Wahdat
Al-Ummah atau
Tauhid Al-Ummah
Kesatuanpenyatuan umat. Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan
pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H1988 M, bahwa al- Qur
‟an menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan Shihab6, 2000:
386. Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah
pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama satu dalam prinsip-prinsip ushul-nya, tiada
perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian furu ajarannya. Artinya, Kitab Suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan. Ini
juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam al- Qur
‟an surat al-Ma‟idah5: 48, “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja.
” Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai
harf imtina limtina, atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan Shihab6, 2000: 387.
Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa al-Qur ‟an menuntut penyatuan
umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan. Jamaluddin al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam
Liga Islam atau Pan-Islamisme, menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka
mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing.
“Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-
kelompok dan berselisih, setelah dating penjelasan kepada mereka ... QS Ali Imran [3]: 105 Shihab6, 2000: 387.
Kalimat dan berselisih digandengkan dengan berkelompok untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan
perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala cirisifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal
keturunan, atau bangsa. Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa
dalam banyak hal al-Qur
‟an hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-
nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan al-Qur ‟an dan salah satu
faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat Shihab6, 2000: 387. Dengan demikian, terjawablah pertanyaan semangat kebangsaan, yakni Al-
Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan, yang dikenal sampai masa kekhalifahan
Utsmaniyah, hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika
perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan
maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam Shihab6, 2000: 388.
Berdasarkan uraian di atas, maka semangat kebangsaan dengan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya selaras antara tuntutan al- Qur‟an dan
Kemendiknas. Semangat kebangsaan yang terlarang menurut al- Qur‟an adalah
pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala cirisifat yang dimiliki
oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa sekalipun. Kelenturan kandungan makna semangat kebangsaan al-
Qur‟an hanya mengamanatkan nilai- nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan al- Qur‟an dan
salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat.