Menghargai Prestasi ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Nasrani, dan pemeluk agama lain berdasarkan surat al-Hajj22: 40, Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. Dari prinsip yang sama Al-Quran membenarkan kaum Muslim bersahabat dan berkomunikasi dengan memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya Shihab, 1994. Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian QS Al-Baqarah2: 253. Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat49: 13. Dalam surat Az-Zukhruf 43: 32 tujuan perbedaan itu dinyatakan: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka melalui sunnatullah penghidupan mereka di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling menggunakan memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ” Shihab, 1994. Salah satu nikmat Ilahi yang Allah berikan kepada manusia adalah rasa sosial dan kebutuhan untuk bergaul dengan orang lain dan menjalin hubungan persahabatan dengan anggota masyarakat. Orang yang memiliki teman yang baik dan memanfaatkan hubungan itu dengan benar dan logis akan memiliki kehidupan individu dan sosial yang lebih baik. Manusia yang normal tentunya memiliki kawan untuk berbicara, berbagi perasaan, saling menasehati dan saling membantu di kala susah. Sebagian orang punya kelebihan yang bisa menjalin hubungan persahabatan dengan banyak kawan sementara sebagian yang lain hanya puas dengan memiliki beberapa orang teman yang jumlahnya tak lebih dari hitungan jari. Tentunya, di antara kawan yang kita miliki adalah yang punya hubungan sangat dekat dan siap membantu dengan tulus saat kita mendapat kesusahan dan masalah. Berdasarkan hal di atas, pendidikan karakter bangsa bersahabat atau komunikatif dengan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain sudah tepat diadopsi oleh pendidikan karakter kebangsaan Kemendiknas. Islam memandang persahabatan sebagai nilai yang agung dan menentukan dalam nasib dan kehidupan seseorang. Karena itu, baik Nabi Saw maupun para Imam Maksum Ahlul Bait dalam banyak kesempatan menekankan untuk memilih sahabat dan kawan dengan benar. Misalnya dalam hadis Nabi disebutkan bahwa beliau bersabda, “Manusia beragama seperti sahabatnya. Karena itu, hendaknya dia teliti dengan siapa dia menjalin persahabatan.” Persahabatan yang paling agung adalah persahabatan yang dijalin di jalan Allah dan karena Allah, bukan untuk mendapatkan manfaat dunia, materi, jabatan atau sejenisnya. Persahabatan yang dijalin untuk saling mendapatkan keuntungan duniawi sifatnya sangat sementara. Bila keuntungan tersebut telah sirna, maka persahabatan pun putus. Berbeda dengan persahabatan yang dijalin karena Allah, tidak ada tujuan apa pun dalam persahabatan mereka, selain untuk mendapatkan ridha Allah. Orang yang semacam inilah yang kelak pada Hari Kiamat akan mendapat janji Allah.

N. Cinta Damai

Pendidikan karakter bangsa Kemendiknas menyatakan bahwa cinta damai terindikasikan dari sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Dalam bahasa Quraish Shihab, cinta kedamaian adalah esensi dari keislaman. Setiap rukun Islam, yang paling penting adalah substansinya, bukan bentuk-bentuknya. Islam adalah penyerahan diri secara totalitas kepada Allah Swt dan dalam implementasinya, seorang muslim hendaknya berkasih sayang terhadap sesama. Seorang muslim hendaknya menjaga lidahnya, menjaga akhlaknya sehingga tidak menyakiti hati orang lain. Ketika kita telah memiliki kelebihan harta yang kita butuhkan untuk makan sehari semalam, hendaknya kita menolong sesama kita yang kurang mampu. Pun saat kita berpuasa, Allah mengajarkan kita untuk turut merasakan atau berempati, karena masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang hidupnya kekurangan dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ketika berhaji, Allah menyerukan agar kita tidak bertengkar. Kita diperintahkan untuk membangun silahturahiim yang harmonis dengan sesama, tidak saling membenci ataupun saling menghujat. Sehingga, Rukun Islam bukan hanya untuk dihafalkan semata, namun juga untuk untuk dipahami, dihayati dan dilaksanakan setiap substansinya Shihab, 1994. Quraish Shihab berpendapat bahwa ciri paling sederhana dari keislaman adalah apabila sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Namun demikian, Islam sebagai agama berbeda dengan kepercayaan lain. Dalam hal ini, Quraish adalah satu dari sederetan ulama Indonesia yang dengan tegas menolak pendapat sebagian kalangan yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, terlebih dengan menjadikan kedamaian dan toleransi beragama sebagai justifikasi untuk mengorbankan keyakinan keberagamaan para penganutnya Shihab, 2007: 3. Dia mengakui bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Keragaman dan perbedaan tidak dapat dihindari walau dalam saat yang sama manusia dituntut oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial untuk menyatu dalam bentuk bantu- membantu dan topang-menopang Shihab, 2007: 28. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan beda antara perbedaan dan perselisihan. Yang pertama harus ditoleransi apalagi ia dapat menjadi sumber kekayaan intelektual serta jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi. Keragaman dan perbedaan dapat menjadi rahmat selama dialog dan syarat-syaratnya terpenuhi. Karena itu, perbedaan tidak otomatis menjadi buruk atau bencana, sebagaimana tidak juga ia selalu baik dan bermanfaat. Dan tentu saja, perbedaan bukanlah ancaman sehingga menjadi alasan untuk menyatukan pemahaman keberagamaan yang memang tidak akan pernah bisa disatukan, terutama karena terkait dengan aspek tauhid, aspek yang menjadi inti dasar keberagamaan Shihab, 2007: 29. Menurut Quraish Shihab, keberagamaan adalah fithrah sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya sebagaimana Surat al-Rum ayat 30. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama – boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu Shihab, 1997: 376. Islam terlahir dengan ide dasar perdamaian. Kedamaian yang bukan saja didambakan untuk orang per-orang, tetapi juga untuk semua pihak. Sehingga tidak heran, menurut Quraish Shihab, jika salah satu ciri seorang Muslim, adalah seperti sabda Nabi Muhammad SAW. Shihab, 1997: 376, هديو ه اسل ْ م و لْس ْلا ملس ْ م “Orang Muslim yang selamat ialah apabila orang lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya. ” Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Bab al-Muslim Man Salima al-Muslimuna min Lisanihi wa Yadihi, No. 9, Maktabah Syamilah. Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan manusia. Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata. Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh ciptaan- Nya Shihab, 1997: 378. Benar bahwa Islam memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain kecuali, menurut istilah Al- Qur‟an, adalah untuk menakut-nakuti mereka yang bermaksud melahirkan kekacauan dan disintegrasi, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anfal ayat 60. Peperangan, kalau terjadi, tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak, orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan dalam firman-Nya Surat al-Anfal ayat 61 Shihab, 1997: 379, “Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah. ” QS. Al-Anfal: 61. Ketika menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 62, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sa bi‟in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” QS. Al-Baqarah: 62. Quraish Shihab menolak pandangan sekelompok orang yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Dia mengatakan, “Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih.” Shihab1, 2000: 216. Pendapat semacam ini menurutnya nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Dia katakan, “Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu, dan atas nama Tuhan yang disembah, adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.” Shihab1, 2000: 216. Di dalam menafsirkan ayat ini, dia belum secara tegas menegaskan agar pilihan manusia jatuh kepada Islam, selain agar setiap pemeluk agama menyerahkan keputusannya kepada waktu Kemudian, “Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepadaNya semata untuk memutuskan di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan sur ga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.” Shihab1, 2000: 216. Dia menguatkan bahwa kita harus percaya bahwa di hari Kemudian ada yang dinamai penimbangan amal. Bagaimana cara menimbang dan apa alatnya tidaklah harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercaya adalah bahwa ketika itu keadilan Allah Swt. akan sangat nyata lagi sangat sempurna dan tidak seorang pun – walau yang terhukum – mengingkari keadilan itu Shihab, 2006: 141. Terdapat ayat yang hampir serupa redaksinya dengan ayat ini, yakni yang terdapat dalam firman Allah Surat al-Maidah ayat 69,