Metode Penafsiran al-Misbah Karakteristik Tafsir al-Misbah

41

BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

DALAM TAFSIR AL-MISBAH Al- Qur‟an telah banyak memukau banyak orang dari berbagai tingkat intelektual, dari bermacam-macam sikap dan watak, yang hidup dalam berbagai era dan zaman. Al- Qur‟an juga telah menunjukkan kepada mereka tentang kecermatannya yang mendalam, keindahan tulisannya, serta sifat menakjubkannya yang tidak dapat diragukan lagi Nadwi, 1996: 15. Selain itu, ia juga merupakan kebenaran, kebajikan, kebaikan, dan moral yang tinggi. Sebagai bangsa yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tentu tidak salah jika menjadikan Kitab Suci umat, al- Qur‟an, sebagai inspirasi dan aspirasi dalam membangun karakter bangsa. Sebagai Kitab Suci, al- Qur‟an sarat dengan konsep dan nilai-nilai moral yang sangat relevan untuk dijadikan sebagai rujukan utama dalam pembinaan karakter masarakat, khususnya generasi mudanya. Hal ini sangat beralasan, sebab al- Qur‟an telah terbukti berhasil dalam merubah karakter bangsa Arab yang sebelumnya diwarnai dengan berbagai macam bentuk penyimpangan. Sejak hadirnya al- Qur‟an di tengah-tengah masyarakat Arab, terjadi suatu transformasi budaya dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang berperadaban. Oleh karenanya, maka pendidikan karakter bangsa yang telah di-pakem-kan oleh Pemerintahan perlu dikaji bagaimana al- Qur‟an menjelaskannya. Bab ini diperuntukkan untuk membahas pendidikan karakter bangsa di bawah naungan al- Qur‟an. Dengan demikian, diharapkan konsep pendidikan karakter bangsa Indonesia itu benar-benar Islami dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ada 18 karakter bangsa yang akan dibahas satu persatu sesuai dengan Tafsir al- Mishbah yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku.

A. Religius

Religius didefinisikan sebagai suatu sikap dan perilaku yang patuh terhadapa ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Menurut indeks al- Qur‟an yang telah dikumpulkan oleh Sukmadjaja Asyarie dan Rosy Yusuf 1994: 215-216, ciri dari kereligiusan itu bisa dilihat dari ketaatan seseorang pada agamanya. Lebih lanjut, Asyarie dan Yusuf menjelaskan bahwa Kata taat dalam dalam alquran ada 52 ayat. Sedangkan perintah untuk mentaati Allah diulang sebanyak 8 kali. Perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya terulang sebanyak 4 kali. Perintah untuk mentaati ulil amri hanya satu kali. Sedangkan ayat yang menjelaskan mentaati Allah sama dengan mentaati Rasul juga 1 kali. Kata taat terindeks di al- Qur‟an dalam 52 ayat, yaitu, 2;93,285; 3;17,173; 4;13,34,59,65,69,80,81; 5;7,92; 8;20,46; 9;71; 20;90; 24;52,53,54,56; 26;108,110,126,132,144,150,163,179; 29;65; 31;32; 33;31,35,66; 38;17,19,30,44; 43;63; 47;21,33; 48;17; 49;14; 51;50; 58;13; 64;12,16; 66;5,12; 71;3; 72;14; 81;21; 98;5. Perintah untuk mentaati Allah termaktub dalam QS: 8;1; 12;32; 17;16; 23;34; 24;47; 26;151; 33;33,67,71. Perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya dapt dilihat di QS; 3;32,50,132; 4;59. Perintah untuk mentaati ulil amri hanya satu kali, yaitu QS; 4;59. Sedangkan ayat mentaati Allah sama dengan mentaati Rasul juga 1 kali, yaitu QS; 4;80. Asyarie dan Yusuf, 1994: 215-216. Allah menurunkan peraturan hidup bagi manusia lewat disampaikannya wahyu kepada Rasul Muhammad Saw. Dalam konteks ini, Rasul adalah pemberi penjelasan pada wahyu yang telah diterimanya, lewat sabda-sabda aqwal, perbuatan-perbuatan af‟al dan pengakuannya taqrir. Ketaatan ini bukan hanya tanda bukti keimanan seseorang, tetapi menempuh kehidupan yang penuh dengan rahmat, baik dunia maupun akhirat Lajnah Pentashih al- Qur‟an-Kemenag, 2011: 87. Dalam penelusuran penulis, ada beberapa faktor indikasi religius yang pertama adalah taat, seperti dalam surat Ali‟ Imran3:132 Shihab, 2013: 12:       “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul Muhammad, agar kamu diberi rahmat.” QS. Ali‟ Imran3:132. Ayat di atas, dalam penjelasan Tafsir al-Misbah, setelah menekankan secara khusus petunjuk-Nya tentang riba, di sini dikemukakan tuntunan umum menyangkut kewajiban taat kepada Allah Swt dan Rasul Muhammad Saw. Ayat ini menggandengkan kewajiban taat kepada rasul dengan kewajiban taat kepada Allah. Penggandengan tersebut terbaca dengan jelas, dengan tidak diulanginya kata “taatilah.” Perintah menaati Rasul Saw semacam ini difahami sebagai perintah menaati-Nya dalam hal-hal yang serupa dengan apa yang diperintahkan Allah Swt. Dalam konteks larangan riba, para ulama memperkenalkan dua jenis riba. Yang pertama adalah riba al-Jahiliyah atau riba al- Nasi‟ah Sabiq12, 1988: 123, seperti riba yang dijelaskan oleh ayat ini. Yang kedua adalah riba al-Fadhl. Riba model pertama diharamkan oleh Rasul Saw. Dalam konteks larangan ini, Nabi Saw bersabda memberi petunjuk bahwa: “Gandum dengan gandum, yang serupa dengan yang serupa, dan tangan dengan tangan secara konten; emas dengan emas, yang serupa dengan serupa, dan tangan dengan tangan secara kontan; perak dengan perak, kurma dengan kurma, garam dengan garam semua serupa dengan yang serupa dan tangan dengan tangan secara kontan, siapa yang melebihkan atau menawarkan kelebihan maka dia telah melakukan riba Shihab2, 2000: 262. Perintah taat kepada Rasul dalam ayat ini, antara lain adalah perintah taat kepada beliau dalam sabda beliau melarang riba nasi‟ah yang diharamkan al-Quran karena inilah jenis riba yang dilarang al-Qur ‟an. Adapun riba al-Fadhl, berhubung karena tidak ditemukan larangannya dalam al-Quran, ia tidak dicakup oleh perintah taat kepada Rasul oleh ayat ini. Kendati demikian, jangan duga bahwa riba al- Fadhl tidak haram, jangan duga juga bahwa Allah tidak mewajibkan mengindahkan larangan Nabi itu karena di tempat lain Allah menyatakan : “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu .” QS. Al-Nisa4:59. Pengulangan kata “taatilah” di sini, sekali kepada Allah dan sekali kepada Rasul saw., menunjukkan bahwa beliau memiliki kemandirian dalam menetapkan hokum sehingga, dengan demikian, perintah taat itu mencakup segala ketentuan hukum beliau, baik ditemukan dasarnya dalam al- Qur ‟an maupun tidak. Selanjutnya, karena tidak ditemukan perintah taat yang dikaitkan secara langsung dengan ulil amri, ini berarti mereka tidak memiliki hak untuk ditaati kecuali jika apa yang mereka perintahkan atau larang sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya atau nilai-nilai yang diamanahkan agama-Nya. Dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, seseorang, baik perorangan atau kelompok, diharapkan mendapatkan rahmat dan kasih sayang. Rahmat dan kasih sayang itu tidak dijelaskan oleh ayat ini, siapa yang mencurahkannya agar pikiran dapat mengarah ke semua pihak dan tentu saja dari sumber segala sumber rahmat, yaitu Allah SWT Shihab2, 2000: 263. Faktor yang kedua, yaitu menjauhkan diri dari maksiat, salah satu godaan terbesar dalam kehidupan seorang Muslim adalah godaan setan yang akan selalu menarik dan memojokkan manusia dalam kemaksiatan yang membawa kepada dosa Lajnah Pentashih al- Qur‟an Kemenag, 2011: 89, sebagaimana tuntunan QS. al-Nur ayat 30 dan surat al- Ma‟arij ayat: 29. Allah berfirman dalam Qs. Al-Nur ayat 30 Shihab, 2013: 353:                   “Katakanlah Nabi Muhammad Saw kepada orang-orang mukmin laki-laki; hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka yakni, untuk melihat sesuatu yang terlarang, seperti aurat perempuan dan hendaklah pula memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci lebih terhormat bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti apa yang mereka perbuat. QS. Al- Nur24: 30. Tafsiran dalam Tafsir Al-Misbah, setelah memberi tuntunan menyangkut kunjungan ke rumah-rumah yang intinya melarang melihat apa yang dirahasiakan atau enggan dipertunjukkan oleh penghuni rumah, kini dilanjutkan dengan perintah memelihara pandangan dan kemaluan. Larangan ini sejalan pula dengan izin memasuki tempat-tempat umum. Karena, di tempat umum, apalagi yang jauh dari pemukiman seseorang, boleh jadi matanya liar dan dorongan seksualnya menjadi- jadi. M. Quraish Shihab Vol 8, 2000: 523 mengutip pendapat Thahir Ibn Asyur yang menghubungkan ayat di atas dengan ayat sebelumnya, bahwa setelah ayat sebelumnya menjelaskan ketentuan memasuki rumah, di sini diuraikan etika yang harus diperhatikan bila seorang telah berada di dalam rumah, yakni tidak