Latar Belakang Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor <5 GT dan 5-9 GT (Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara)

1.1 Latar Belakang

Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memilki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa, dan penyediaan lapangan kerja. Pada saat krisis ekonomi, peranan sektor perikanan semakin signifikan, terutama dalam hal mendatangkan devisa. Akan tetapi ironisnya sektor perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan kalangan pengusaha, padahal bila sektor perikanan dikelola secara serius akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan ekonomi nasional serta dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat nelayan dan petani ikan Mulyadi,2005. Kebijaksanaan umum pembangunan pertanian nasional dalam lima tahun kedepan mengacu kepada GBHN yang terkait dengan pembangunan pangan dan sektor pertanian,diantaranya yaitu: 1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. 2. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global dengan mengembangkan kompetensi dan produk unggulan daerah berbasis sumber daya domestik dan menghilangkan segala bentuk perlakuan diskriminatif. 3. Memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing. Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 4. Mengoptimalkan peran pemerintah dalam mengembangkan kekuatan pelaku ekonomi pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar. 5. Mengembangkan sistem ketahanan pangan dengan mempertimbangkan aspek ketersediaan dan distribusi pangan, diversifikasi pangan dan gizi, pemberdayaanpeningkatan pendapatan petani, dan keberlanjutan pembangunan pertanian. Kebijaksanaan pembangunan yang diatur dan digariskan dalam GBHN di atas dijadikan titik tolak dalam penyusunan program ataupun perencanaan pembangunan pertanian nasional kedepan Daniel,2002. Pengertian pembangunan telah mengalami perubahan besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang kebijaksanaan. Semula pembangunan diartikan sebagai peningkatan kapasitas ekonomi untuk meningkatkan pendapatan nasional perjiwa penduduk. Implikasi pengertian ini pada kebijaksanaan ialah tumbuhnya keperluan menyalurkan sebanyak mungkin dana keuangan dan sumber alam untuk meningkatkan pendapatan nasional. Pembangunan tidak hanya pada sektor ekonomi. Meningkatkan pendapatan nasional [penting, namun tidak berjalan sendiri, perlu disertai perombakan berbagai segi kehidupan masyarakat supaya pembangunan juga menghilangkan ketimpangan, mengurangi ketidakmerataan dan menghalau kemiskinan Salim, 1984. Pembangunan ekonomi ialah usaha memperbesar pendapatan perkapita dan menaikkan produk perkapita dengan jalan menambah peralatan, modal dan menambah skill. Pendapat lain mengatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu proses, dimana pendapatan nasional riel suatu perekonomian bertambah Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 selama satu periode waktu yang panjang. Pembangunan dikatakan proses karena pembangunan bukanlah suatu kegiatan yang momentum atau perbuatan yang selesai hanya dalam satu kali dalam satu saat, melainkan merupakan kegiatan yang terus menerus Siagian, 1982. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautuan dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Sumber daya dapat pulih terdiri dari hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut, serta sumber daya perikanan laut. 2. Sumber daya tak dapat pulih terdiri dari geologi seluruh mineral misalnya minyak, gas, batu bara, emas, timah, nikel, bauksit, biji besi dan lain-lain. 3. Jasa-jasa lingkungan. Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak ada beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan dengan intensif. Akibatnya indikasi telah terlampauinya daya dukung ataukapasitas berkelanjutan potensi lestari dari ekosistem pesisir dan lautan seperti pencemaran, tangkap lebih, degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai telah muncul di kawasan-kawasan pesisir dan lautan di Indonesia secara umum antara lain: 1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha. 2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan dan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah pesisir dan lautan. Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan. 4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset, dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Mulyadi, 2005. Pengalaman selama dekade pembangunan yang lampau menunjukkan keharusan dan menjatuhkan pilihan bagi sasaran pembangunan ini terutama kepada mereka yang miskin. Oleh karena golongan miskin inilah yang menderita kemunduran dalam pembagian pendapatan selama proses pembangunan berlangsung, sedangkan jumlahnya tidak saja besar tetapi akibat pertambahan penduduk semakin meningkat, sehingga masa depan kelompok penduduk ini tidak bertambah cerah tetapi sebaliknya bertambah suram. Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok. Ciri-ciri di bawah garis kemiskinan: 1. Mereka umunya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal ataupun keterampilan. 2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. 3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. 4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. 5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dsan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan. Karena tolak ukur untuk menentukan batas garis kemiskinan belum ada dan data- data tentang kecukupan gizi pada berbagai tingkat pendapatan belum lengkap, Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 maka tingkat pendapatan atau pengeluaran untuk menentukan garis kemiskinan berbeda-beda seperti berikut ini: 1. Menurut Bank Dunia 1971 sebagai ukuran bagi penetapan garis kemiskinan nilai US 75 perjiwa setahun untuk tingkat pendapatan di kota dan US 50 perjiwa setahun untuk tingkat pendapatan di desa. 2. Ahluwa memakai studi Bank Dunia sebagai patokan untuk mengukur garis kemiskinan di berbagai negara, tingkat pendapatan perjiwa penduduk pertahun sebesar US 75 dan US 50. 3. Prof. Sumitro Djojohadikusumomenyesuaikan lebih lanjut patokan ini dan memakai garis kemiskinan US 75 perjiwa setahun di lingkungan kota dan US 50 perjiwa setahun di daerah pedesaan. 4. Prof. Sajogyo menentukan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan gizi minimal dan berdasarkan penelitian ditarik kesimpulan bahwa untuk daerah pedesaan diperlukan 240 kg dan daerah kota 360 kg ekuivalen beras perjiwa pertahun. Salim, 1984. Begitu banyak pengertian tentang kemiskinan, tetapi secara umum dapat dipastikan bahwa istilah kemiskinan selalu menunjuk pada sebuah kondisi yang serba kekurangan. Kemiskinan nelayan cenderung dialami oleh nelayan perorangan dan buruh nelayan. Pada umumnya para nelayan masih mengalami keterbatasan teknologi penangkapan. Selain itu, tidak semua nelayan memiliki alat tangkap. Bagi nelayan yang demikian, tidak ada alternatif lain kecuali harus bekerja pada orang lain yang membutuhkan tenaganya yaitu menjadi buruh nelayan. Permasalahannya adalah selain minimnya hasil tangkapan dengan alat Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 tangkap sederhana, sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para juragan juga cenderung kurang menguntungkan nelayan buruh. Pola bagi hasil adalah alternatif yang rata-rata masyarakat nelayan untuk mengurangi resiko. Pola bagi hasil juga akan dapat mengurangi resiko bagi pemilik kapal serta menjaminnya tidak memberi upah yang tidak sepadan bilamana hasil tangkapannya sedang buruk. Hal ini terjadi karena penghasilan nelayan yang tidak dapat ditentukan kepastiannya, tergantung dari jumlah ikan yang ditangkap dan hasil penjualan yang dilakukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dari pola bagi hasil tangkapan sangatlah timpang diterima antara pemilik dan awak kapal. Secara umum hasil bagi bersih yang diterima awak kapal dan pemilik kapal adalah setengah-setengah. Akan tetapi, bagian yang diterima awak kapal harus dibagi lagi dengan sejumlah awak yang terlibat dalam aktivitas kegiatan kapal. Semakin banyak jumlah awak kapal, semakin kecil bagian yang diperoleh setiap awaknya. Selain itu pola umum bagi hasil di beberapa daerah menunjukkan pemilik selain mendapat setengah dari hasil tangkapan juga memperoleh 15 dari jumlah kotor hasiltangkapan sebagai cadangan jika ada kerusakan perahu ataupun jaring. Dengan demikian pemilik kapal juragan darat rata-rata menerima sekitar 65 dari keseluruhan hasil tangkapan. Sebaliknya rata-rata awak kapal akan mendapatakan hasil jauh lebih rendah dibandingkan yang diperoleh pemilik. Bagian untuk awak kapal tersebut dibagi berdasarkan porsi keterlibatannya secara khusus sebagai awak. Semakin banyak jumlah awak, semakin kecil yang diperoleh awak Mulyadi, 2005. Peranan kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluarganya dipegang oleh ayah atau suami yang bekerja sebagai nelayan atau pekerjaan yang Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 paling langsung di bidang usaha perikanan.Bila ekonomi keluarga tidak begitu kuat atau kurang dari kebutuhan keluarga, isterinya membantu bekerja sebagai pedagang ikan, baik di pasar sebagai pedagang ikan eceran, atau sebagai pedagang ikan borongan pada para pedagang besar. Kaum wanita biasanya juga ikut membantu ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai pembersih udang, pedagang ikan asin atau pembuat jaring ikan di rumah mereka masing-masing. Bagi yang mampu biasanya istrinya juga bekerja membantu usaha suami. Sedangkan anak laki-laki atau perempuan baik bersekolah atau tidak, terlebih lagi bila orang tua mereka kurang mampu juga mempunyai peranan ekonomis dalam keluarga. Mereka digolongkan sebagai alang-alang yaitu rombongan mengikut nelayan yang berusaha mendapatkan ikan tanpa harus membeli. Operasi mereka bersamaan waktu dengan pelelangan yang dilakukan pagi hari dimusim ikan. Biasanya mereka pergi secara berkelompok 2 sampai 4 orang. Di tempat pelelangan mereka akan meminta ikan atau mengambil ikan yang tercecer sewaktu dibawa oleh para nelayan dari perahu menuju tempat pelelangan. Hasil yang dapat mereka kumpulkan pada akhir pelelangan ini seterusnya dibagi sama pada peserta kelompok. Bila tidak untuk dijual hasilnya bisa dibawa pulang untuk lauk sekeluarga di rumah Mubyarto, dkk., 1984. Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka dirumuskan beberapa identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Sejauhmana perbandingan persentase bagi hasil nelayan toke dan nelayan buruh perahu bermotor 5 GT di Kecamatan Datuk Bandar? 2. Sejauhmana perbandingan persentase bagi hasil nelayan toke dan nelayan buruh perahu bermotor 5-9 GT di Kecamatan Datuk Bandar? 3. Sejauhmana perbandingan persentase bagi hasil nelayan toke dan nelayan buruh perahu bermotor 5 GT di Kecamatan Teluk Nibung? 4. Sejauhmana perbandingan persentase bagi hasil nelayan toke dan nelayan buruh perahu bermotor 5-9 GT di Kecamatan Teluk Nibung? 5. Bagaimana perbandingan pendapatan antara nelayan toke 5 GT di Kecamatan Datuk Bandar dengan nelayan toke perahu bermotor 5 GT di Kecamatan Teluk Nibung? 6. Bagaimana perbandingan pendapatan antara nelayan buruh perahu bermotor 5 GT di Kecamatan Datuk Bandar dan nelayan buruh perahu bermotor 5 GT di Kecamatan Teluk Nibung? 7. Bagaimana perbandingan pendapatan antara nelayan toke perahu bermotor 5-9 GT di Kecamatan Datuk Bandar dengan nelayan toke perahu bermotor 5-9 GT di Kecamatan Teluk Nibung? 8. Bagaimana perbandingan pendapatan antara nelayan buruh perahu bermotor 5-9 GT di Kecamatan Datuk Bandar dengan nelayan buruh perahu bermotor 5-9 GT di Kecamatan Teluk Nibung? Deasy Yunawati : Analisis Pendapatan Dan Sistem Pembagian Hasil Nelayan Bermotor 5 GT dan 5-9 GT Studi Kasus : Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Teluk Nibung Kotamadya Tanjung Balai, Propinsi Sumatera Utara, 2008 USU Repository © 2008 9. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan nelayan toke di daerah penelitian? 10. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan nelayan buruh di daerah penelitian?

1.3 Tujuan Penelitian